acebook


 o
.¤ª"˜¨¯¨¨'Salim Maula Abu Hudzaifah¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨Saalim Mawlaa Abi Hudhaifah¸,ø¨¨"ª¤.
Blessed Be the Carrier of the Qur'aan 


Pada suatu hari Rasulullah saw. berpesan kepada para sha­habatnya, katanya:“Ambillah olehmu al-Quran itu dari empat orang, yaitu: Abdullah bin Mas’ud, Salim maula Abu Hudzaifah, Ubai bin Ka’ab dan Mu’adz bin Jabal … !”

Dulu kita telah mengenal Ibnu Mas’ud, Ubai dan Mu’adz! 

Maka siapakah kiranya shahabat yang keempat yang dijadikan Rasul sebagai andalan dan tempat bertanya dalam mengajarkan al-Quran … ?

Ia adalah Salim, maula Abu Hudzaifah …. 

Pada mulanya ia hanyalah seorang budak belian, dan kemudian Islam mem­perbaiki kedudukannya, hingga diambil sebagai anak angkat oleh salah seorang pemimpin Islam terkemuka, yang sebelum masuk Islam juga adalah seorang bangsawan Quraisy dan salah seorang pemimpinnya ….

Dan tatkala Islam menghapus adat kebiasaan memungut anak angkat, Salim pun menjadi saudara, teman sejawat serta maula ( = hamba yang telah dimerdekakan) bagi orang yang memungutnya sebagai anak tadi, yaitu shahabat yang mulia bernama Abu Hudzaifah bin ‘Utbah. Dan berkat karunia dan ni’mat dari Allah Ta’ala, Salim mencapai kedudukan tinggi dan terhormat di kalangan Muslimin, yang dipersiapkan baginya oleh keutamaan jiwanya, serta perangai dan ketaqwaannya ….Shahabat Rasul yang mulia ini disebut “Salim maula Abu Hudzaifah”, ialah karena dulunya ia seorang budak belian dan kemudian dibebaskan! 

Dan ia beriman kepada Allah dan Rasul­Nya tanpa menunggu lama..., dan mengambil tempatnya di antara orang-orang Islam angkatan pertama.Mengenai Hudzaifah bin ‘Utbah, ia adalah salah seorang yang juga lebih awal dan bersegera masuk Islam dengan me­ninggalkan bapaknya ‘Utbah bin Rabi’ah menelan amarah dan kekeeewaan yang mengeruhkan ketenangan hidupnya, disebab­kan keislaman puteranya itu. 

Hudzaifah adalah seorang yang terpandang di kalangan kaumnya, sementara bapaknya mempersiapkannya untuk menjadi pemimpin Quraisy...Bapak dari Hudzaifah inilah yang setelah terang-terangan masuk Islam mengambil Salim sebagai anak angkat, yakni setelah ia dibebaskannya, hingga mulai saat itu ia dipanggilnya “Salim bin Abi Hudzaifah”. Dan kedua orang itu pun beribadah kepada Allah dengan hati yang tunduk dan terpusat, serta menahan penganiayaan Quraisy dan tipu muslihat mereka dengan hati yang shabar tiada terkira...

Pada suatu hari turunlah ayat yang membathalkan kebiasaan mengambil anak angkat. Dan setiap anak angkat pun kembali menyandang nama bapaknya yang sesungguhnya, yakni yang telah menyebabkan lahirnya dan mengasuhnya. Umpamanya Zaid bin Haritsah yang diambil oleh Nabi saw. sebagai anak angkat dan dikenal oleh Kaum Muslimin sebagai Zaid bin Mu­hammad saw., kembali menyandang nama bapaknya Haritsah, hingga namanya menjadi Zaid bin Haritsah. 

Tetapi Salim tidak dikenal siapa bapaknya, maka ia menghubungkan diri kepada orang yang telah membebaskannya hingga dipanggilkan Salim maula Abu Hudzaifah....Mungkin ketika menghapus kebiasaan memungut memberi nama anak angkat dengan nama orang yang mengangkatnya, Islam hanya hendak mengatakan kepada Kaum Muslimin: “Janganlah kalian mencari hubungan kekeluargaan dan silatur rahmi dengan orang-orang diluar Islam sehingga persaudaraan kalian lebih kuat dengan sesama Islam sendiri dan se’aqidah yang menjadikan kalian bersaudara...!”Hal ini telah difahami sebaik-baiknya oleh Kaum Muslimin angkatan pertama. Tak ada suatu pun yang lebih mereka cintai setelah Allah dan Rasul-Nya, dari saudara-saudara mereka se­Tuhan Allah dan se-Agama Islam ! Dan telah kita saksikan bagai­mana orang-orang Anshar itu menyambut saudara-saudara mereka orang Muhajirin, hingga mereka membagi tempat ke­diaman dan segala yang mereka miliki kepada Muhajirin...! 

Dan inilah yang kita saksikan terjadi antara Abu Hudzaifah bangsawan Quraisy dengan Salim yang berasal dari budak belian yang tidak diketahui siapa bapaknya itu. Sampai akhir hayat mereka, kedua orang itu lebih dari bersaudara kandung, ketika menemui ajal, mereka meninggal bersama-sama, nyawa melayang bersama nyawa, dan tubuh yang satu terbaring di samping tubuh yang lain-..!

Itulah dia keistimewaan luar biasa dari Islam, bahkan itulah salah satu kebesaran dan keutamaannya …Salim telah beriman sebenar-benar iman, dan menempuh jalan menuju Ilahi bersama-sama orang-orang yang taqwa dan budiman. Baik bangsa maupun kedudukannya dalam masyarakat tidak menjadi persoalan lagi. Karena berkat ketaqwaan dan keikhlasannya, ia telah meningkat ke taraf yang tinggi dalam kehidupan masyarakat baru yang sengaja hendak di­bangkitkan dan ditegakkan oleh Agama Islam berdasarkan prinsip baru yang adil dan luhur.

Prinsip itu tersimpul dalam ayat mulia berikut ini:

“Sesungguhnya orang yang terrnulia di antara kalian di sisi Allah ialah yang paling taqwa (Q.s 49 al-Hujurat: 13)

dan menurut Hadits: “Tiada kelebihan bagi seorang bangsa Arab atas selain bangsa Arab kecuali taqwa, dan tidak ada kelebihan bagi seorang keturunan kulit putih atas seorang keturunan hulit hitam kecuali taqwa"Pada masyarakat baru yang maju ini, Abu Hudzaifah merasa dirinya terhormat, bila menjadi wali dari seseorang yang dulunya menjadi budak beliannya. 

Bahkan dianggapnya suatu kemuliaan bagi keluarganya, mengawinkan Salim dengan kemenakannya Fatimah binti Walid bin ‘UtbahDan pada masyarakat baru yang maju ini, yang telah meng­hancurkan kefeodalan dan kehidupan berkasta-kasta, serta meng­hapus rasialisme dan diskriminasi, maka dengan kebenaran dan kejujurannya, keimanan dan amal baktinya, Salim menempatkan dirinya selalu dalam barisan pertama.Benar.., ialah yang menjadi imam bagi orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah setiap shalat mereka di mesjid Quba’. Dan ia menjadi andalan tempat bertanya tentang Kitabullah, hingga Nabi menyuruh Kaum Muslimin belajar daripadanya. Ia banyak berbuat kebaikan dan memiliki keunggul­an yang menyebabkan Rasulullah saw. berkata kepadanya:“Segala puji bagi Allah yang menjadikan dalam golonganku, seseorang seperti kamu . . . !”

 Bahkan kawan-kawannya sesama orang beriman menyebutnya:“Salim salah seorang dari Kaum Shalihin”.

Riwayat hidup Salim seperti riwayat hidup Bilal, riwayat hidup sepuluh shahabat Nabi ahli ibadah dan riwayat hidup para shahabat lainnya yang sebelum memasuki Islam hidup sebagai budak beliau yang hina dina lagi papa. Diangkat oleh Islam dengan mendapat kesempurnaan petunjuk, sehingga ia menjadi penuntun ummat ke jalan yang benar, menjadi tokoh penentang kedhaliman pula ia adalah kesatria di medan laga. Pada Salim terhimpun keutamaan-keutamaan yang terdapat dalam Agama Islam. Keutamaan-keutamaan itu berkumpul pada diri dan sekitarnya, sementara keimanannya yang mendalam mengatur semua itu menjadi suatu susunan yang amat indah.Kelebihannya yang paling menonjol ialah mengemukakan apa yang dianggapnya benar secara terus terang. Ia tidak menutup mulut terhadap suatu kalimat yang seharusnya diucap­kannya, dan ia tak hendak mengkhianati hidupnya dengan ber­diam diri terhadap kesalahan yang menekan jiwanya...!

Setelah kota Mekah dibebaskan oleh Kaum Muslimin, Rasul­ullah mengirimkan beberapa rombongan ke kampung-kampung dan suku-suku Arab sekeliling Mekah, dan menyampaikan kepada penduduknya bahwa Rasulullah saw. sengaja mengirim mereka itu untuk berda’wah bukan untuk berperang. Dan sebagai pemimpin dari salah satu pasukan ialah Khalid bin Walid.Ketika Khalid sampai di tempat yang dituju, terjadilah suatu peristiwa yang menyebabkannya terpaksa mengunakan senjata dan menumpahkan darah. Sewaktu peristiwa ini sampai kepada Nabi saw., beliau memohon ampun kepada Tuhannya amat lama sekali sambil katanya:“Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dilaku­kan oleh Khalid . . . !”Juga peristiwa tersebut tak dapat dilupakan oleh Umar, ia pun mengambil perhatian khusus terhadap pribadi Khalid kata­nya:“Sesungguhnya pedang Khalid terlalu tajam … !”

Dalam ekspedisi yang dipimpin oleh Khalid ini ikut Salim maula Abu Hudzaifah serta shahabat-shahabat lainnya . . . . Dan demi melihat perbuatan Khalid tadi, Salim menegurnya dengan sengit dan menjelaskan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Sementara Khalid, pahlawan besar di masa jahi­liyah dan di zaman Islam itu, mula-mula diam dan mendengarkan apa yang dikemukakan temannya itu kemudian membela dirinya, akhirnya meningkat menjadi perdebatan yang sengit. 

Tetapi Salim tetap berpegang pada pendiriannya dan mengemukakan­nya tanpa takut-takut atau bermanis mulut.Ketika itu la memandang Khalid bukan sebagai salah seorang bangsawan Mekah, dan ia pun tidak merendah diri karena dahulu ia seorang budak belian, tidak . . . ! 

Karena Islam telah menyamakan mereka! Begitu pula ia tidaklah memandangnya sebagai seorang panglima yang kesalahan-kesalahannya harus dibiarkan begitu saja..., tetapi ia memandang Khalid sebagai team dan sekutunya dalam kewajiban dan tanggung jawab...! Serta ia menentang dan menyalahkan Khalid itu bukanlah karena ambisi atau suatu maksud tertentu, ia hanya melaksana­kan nasihat yang diakui haqnva dalam Islam, dan yang telah lama didengarnya dari Nabi saw. bahwa nasihat itu merupakan teras dan tiang tengah Agama, sabdanya:“Agama itu ialah nasihat … “Agama itu ialah nasihat. . . Agama itu ialah nasihat …Dan ketika Rasulullah saw. mendengar perbuatan Khalid bin Walid, beliau bertanya, katanya:‘Adakah yang menyanggahnya...?’Alangkah agungnya pertanyaan itu, dan alangkah meng­harukan...!Dan amarahnya saw. menjadi surut, ketika mereka mengata­kan pada beliau:“Ada, Salim menegur dan menyanggahnya . . .”

Salim hidup mendampingi Rasulnya dan orang-orang ber­iman. Tidak pernah ketinggalan dalam suatu peperangan mem­pertahankan Agama, dan tak kehilangan gairah dalam suatu ibadah. Sementara persaudaraannya. dengan Abu Hudzaifah, makin hari makin bertambah erat dan kukuh jua!Saat itu berpulanglah Rasulullah ke rahmatullah. Dan khi­lafat Abu Bakar r.a. menghadapi persekongkolan jahat dari orang-orang murtad. Dan tibalah saatnya pertempuran Yamamah...! Suatu peperangan sengit, yang merupakan ujian terberat bagi Islam...!Maka berangkatlah Kaum Muslimin untuk berjuang. Tidak ketinggalan Salim bersama Abu Hudzaifah saudara seagama. Di awal peperangan, Kaum Muslimin tidak bermaksud hendak menyerang. Tetapi setiap Mu’min telah merasa bahwa pepe­rangan ini adalah peperangan yang menentukan, sehingga segala akibatnya menjadi tanggung jawab bersama!

Mereka dikumpulkan sekali lagi oleh Khalid bin Walid, Yang kembali menyusun barisan dengan cara dan strategi yang mengagumkan. Kedua saudara Abu Hudzaifah dan Salim berpelukan dan sama berjanji siap mati syahid demi Agama yang haq, yang akan mengantarkan mereka kepada keberuntungan dunia dan akhirat. Lalu kedua saudara itu pun menerjunkan diri ke dalam kancah yang sedang bergejolak...!Abu Hudzaifah berseru meneriakkan:“Hai pengikut-pengikut al-Quran … ! Hiasilah al-Quran dengan amal-amal kalian

Dan bagai angin puyuh, pedangnya berkelibatan dan meng­hunjamkan tusukan-tusukan kepada anak buah Musailamah . . . sementara Salim berseru pula, katanya:-Amat buruk nasibku sebagai pemikul tanggung jawab al­Quran, apabila benteng Kaum Muslimin bobol karena kelalaianku .. .“Tidak mungkin demikian, wahai Salim. . Bahkan engkau ada­lah sebaik-baik pemikul al-Quran . . . !”ujar Abu Hudzaifah.Pedangnya bagai menari-nari menebas dan menusuk pundak orang-orang murtad, yang bangkit berontak hendak mengembali­kan jahiliyah Quraisy dan memadamkan cahaya Islam ….Tiba-tiba salah sebuah pedang orang-orang murtad itu me­nebas tangannya hingga putus . – . , tangan yang dipergunakannya untuk memanggul panji Muhajirin, setelah gugur pemanggulnya Yang pertama, ialah Zaid bin Khatthab. 

Tatkala tangan kanannya itu buntung dan panji itu jatuh segeralah dipungutnya dengan tangan kirinya lalu terus-menerus diacungkannya tinggi-tinggi sambil mengumandangkan ayat al-Quran berikut ini:

“Betapa banyaknya Nabi yang bersamanya ikut bertempur pendukung Agama Allah yang tidak sedikit jumlahnya. Mereka tidak patah semangat disebabkan cobaan’ yang menimpa mereka dalam berjuang di jalan Allah itu, daya juang mereka tidak melemah apalagi menyerah kalah, sedang Allah mengasihi orang-orang yang tabah … !”
(Q.S. 3 Ali Imran:146)

Wahai, suatu semboyan yang maha agung … ! Yakni sem­boyan yang dipilih Salim saat menghadapi ajalnya …Sekelompok orang-orang murtad mengepung dan menyerbu­nya, hingga pahlawan itu pun rubuhlah... Tetapi ruhnya belum juga keluar dari tubuhnya yang suci, sampai pertempuran itu berakhir dengan terbunuhnya Musailamah si Pembohong dan menyerah kalahnya tentara murtad serta menangnya tentara Muslimin ….Dan ketika Kaum Muslimin mencari-cari qurban dan syuhada mereka, mereka temukan Salim dalam sekarat maut. Sempat pula ia bertanya pada mereka:

“Bagaimana nasib Abu Hudzaifah …
“Ia telah menemui syahidnya”, ujar mereka.
“Baringkan daku di sampingnya . . . . katanya pula.
“Ini dia di sampingmu, wahai Salim
la telah menemui syahidnya di tempat ini … !”

Mendengar jawaban itu tersungginglah senyumnya yang akhir …. Dan setelah itu ia tidak berbicara lagi ….Ia telah menemukan bersama saudaranya apa yang mereka dambakan selama ini . . . .

Mereka masuk Islam secara bersama. Hidup secara bersama – - – -Dan kemudian mati syahid secara bersama pula …Persamaan nasib yang amat mengharukan, dan suatu taqdir yang amat indah … !

Maka pergilah menemui Tuhannya seorang tokoh Mu’min meninggalkan nama, mengenai dirinya sewaktu telah tiada lagi, Umar bin Khatthab pernah berkata:“Seandainya Salim masih hidup, pastilah ia menjadi peng­gantiku nanti . . . !”



SAALIM MAWLAA ABIHUDHAIFAH  
Blessed Be the Carrier of the Qur'aan 


The Messenger of Allah (PBUH) advised his Companions one day, 
"Take the Qur'aan from four people: Abd Allah Ibn Mas'uud, Saalim Mawlaa Abi Hudhaifah Ubai lbn Ka'b and Mu'aadh lbn Jabal."  
      
 We have met before with Ibn Mas'uud and Ubai and Mu'aadh. So, who was this fourth Companion whom the Messenger made as an authority for the teaching of the Our'aan and a source of reference? 

Verily, he was Saalim Mawlaa Abi Hudhaifah. He was a kind servant. Islam was exalted on account of him until it made him a son of one of the great Muslims who, before his Islam, was honored to be one of the most noble of the Quraish and one of their leaders. When Islam cancelled the practice of adoption, he became a brother, a friend, a protector of those whom he had adopted. Such was the glorious Companion, Abu Hudhaifah Ibn `Utbah. By the grace of Allah and His favor upon Saalim, he reached an elevated lofty position which his spiritual virtues, along with his behavior and his piety, had prepared him for.  Saalim Mawlaa Abi Hudhaifah was known by that name because he had been a slave and emancipated. He believed in Allah and His Messenger early, and took his place among the first generation.  
    
   Abu Hudhaifah Ibn `Utbah became Muslim at an early age and hastened to Islam, leaving his father, `Utbah Ibn Rabii'ah, swallowing his anger and his concerns which disturbed the purity of his life, due to the Islam of his son, who was noble among his people. His father had been preparing him for leadership among the Quraish.  
     
  Abu Hudhaifah adopted Saalim and emancipated him, and he became known as Saalim Ibn Abi Hudhaifah. Both of them continuously worshiped their Lord in awe and fear and were extremely patient under the hardship of the Quraish and their schemes. 

        One day, verses of the Qur'aan were revealed which outlawed the practice of adoption and every adopted person returned to carrying the name of his real father who had begotten him. So, Zaid Ibn Haarithah, for example, whom the Prophet had adopted and who had been known among the Muslims as Zaid lbn Muhammad, returned to carrying the name of his father, Haarithah and became Zaid Ibn Uaarithah. But Saalim's father was not known to him, so Abu Hudhaifah became his guardian and be was called Saalim Mawlaa Abi Hudhaifah. Perhaps when it cancelled the practice of adoption Islam wanted to say to the Muslims, Do not take kinship nor relationship, nor the bond by which you affirm your brotherhood as greater and stronger than Islam itself and the religious faith by which you are really made brothers. The early Muslims understood this very well. So, nothing was more loved to any one of them after Allah and His Messenger than their brethren in faith and in Islam.
  
       We have seen how the Ansaar welcomed their brethren, the Muhaajiruun. They shared with them their wealth, their homes, and all they owned. This is what we saw happening between Abu Hudhaifah, the noble of the Quraish, and Saalim, who was an emancipated slave and did not know his father.  
    
   They remained more than brothers up to the last moment of their lives, even until death: they died together spirit with spirit and body close to body. This is the unique, incomparable greatnesses of Islam, but this is only one of its greatnesses and its superiorities.  
    
   Saalim believed with a sincere faith and took his path to Allah by adopting the behavior of the devout and pious. Neither his genealogy nor his position in society had any consideration for him. He was elevated by his piety and sincerity to the highest degree of the new society which Islam came to establish and caused to rise on a new, great and just foundation, a foundation summarized in the following glorious verse 

"Surely, the most honourable of you in the sight of GOD is the most pious of 
you" (49:13) 

and in the noble hadiiths: "Arabs have no superiority over non-Arabs except in piety" and "The son of a white woman has no superiority over the son of a black woman except in piety."  

        In this new, rightly-guided society, Abu Hudhaifah, who was only a slave yesterday, found for himself honor to be in charge, to have power and to govern. Moreover, he found honor for his family, to marry Saalim to his niece Faatimah Bint Al-Waliid Ibn `Utbah. And in this new, rightly-guided society, which destroyed the unjust class structure and outlawed false distinctions and privileges, Saalim found himself always in the first rank on account of his truthfulness, faith, and bravery.  

        Yes, he became an Imam for the Muhaajiruun of Makkah to Al Madiinah during their prayer in the Qubaa' Mosque. There is proof in the Book of Allah, when the Prophet ordered the Muslims to learn from him. There were with him men of goodness and excellence, which made the Messenger say to him, "Praise be to Allah, Who made in my nation the like of you." His Muslim brothers called him "Saalim from among the Righteous."  
   
    Indeed, the story of Saalim is like the story of Bilaal and the story of many tens of slaves and the poor from whom Islam shook off the factors of servitude and weakness and made them imams and commanders in a society of guidance, reason, integrity of conduct, and frankness.  

        Saalim was a receiver of all the rightly guided virtues of Islam. These virtues accumulated in him and around him, and his truthful, deep faith arranged them in proper order in the most beautiful disposition. Among his most prominent virtues was his overt, public frankness about what he perceived as the truth. Indeed, he did not keep silent when he perceived something which he felt it was his duty to speak about. He did not betray life by maintaining silence when mistakes were made.  
      
 After Makkah was liberated by the Muslims, the Messenger of Allah (PBUH) sent some detachments to villages and tribes around Makkah to inform them that whenever he sent someone to them, they were coming only as callers to the Faith, so not to harm them or kill them.  

        At the head of one of these companies was Khaalid Ibn Al Waliid. When Khaalid reached his distination, some incident led him to use the sword and shed blood. When the Prophet (PBUH) heard the news of these events, he apologized to his Lord a long time saying, "O Allah, indeed I absolve myself from all that Khaalid has done." The Commander of the Faithful `Umar ever remained to recollect and assess him saying, "In the sword of khaalid, indeed, is a heavy burden."  

        Saalim Mawlaa Abi Hudhaifah accompanied Khaalid on this expedition, along with other Companions. As soon as Saalim saw the actions of Khaalid, he confronted him with a sharp objection and went on enumerating to him the mistakes he had committed. Khaalid, the leader, the great hero in both jaahiliyah and Islam, listened the first time, defended himself the second time, and became more forceful in speech the third time while Saalim, holding on to his point of view, spoke without fear or evasion or circumvention in speech. Saalim at that time did not look at Khaalid as a nobleman from among the nobles of Makkah, while he was one who only yesterday was a slave. No, Islam had created equality between them. He did not look at him as a leader, venerating his errors, but as a partner in duty and responsibility. Moreover, his opposition to Khaalid did not originate from a selfish purpose or interest; it was advice, consecrated by Islam, which was his right. What he heard all the time from his Prophet was a foundation and essence of the entire religion when he said,
 "Religion is sincere advice. Religion is sincere advice. Religion is sincere advice."  

        When the action of Khaalid reached the Messenger (PBUH), he asked,
 "Did anyone stand up to him?" He did not delay to question, and he was not alarmed. His anger was pacified when they said to him, "Yes, Saalim critically examined him and opposed him."  Saalim lived with his Messenger (PBUH) and the believers. He did not stay behind from any battle, nor refrain from performing any worship, and his brotherliness with Abu Hudhaifah increased daily with mutual self-sacrifice and solidarity. 

        The Messsenger (PBUH) passed away to the Most Exalted Guardian and the caliphate Abu Bakr was confronted with the conspiracies of the apostates. Then the Day of Al-Yamaamah came and it was a terrible war. Islam had not gone through anything like it. The Muslims went out to fight and Saalim and his brother Abu Hudhaifah went out to fight in the cause of Allah. At the start of the battle, the Muslims did not withstand the attack. However, each believer there felt that the battle was his own and the responsibility was his own. Khaalid lbn Al-Waliid gathered them together again and reorganized the army with astonishing skill and genius.  

        The brothers Abu Hudhaifah and Saalim embraced and pledged martyrdom in the cause of the religion of truth which gave them the happiness of this world and the next. They threw themselves into the vast, terrible sea of battle. Abu Hudhaifah was calling, "`O people of the Qur'aan, decorate the Qur'aan with your actions," and his sword was like a violent hurricane in the army of Musailamah the Liar. And Saalim was shouting, `What a bad carrier of the Qur'aan I would be if the Muslims were attacked through me.  

        Drive into a trap, O Saalim, but yes, you are our best carrier of the Qur`aan.  
      
 And Saalim's sword was forceful on the necks of the apostates who embarked upon celebrating the jaahiliyah of the Quraish and extinguishing the light of Islam. The swords of apostasy fell upon his right hand and cut it off, while he was carrying with it the standard of the Muhaajiruun after its bearer, Zaid Ibn Al-Khattaab, had fallen. When his right hand was cut off, he picked up the standard with his left and kept on waving it high while shouting the following noble Qur'aanic verses: "And how many of the Prophets have fought, and with them large troops of godly people? But they never lost heart when adversity befell them in GOD's cause, nor did they weaken, nor did they fail. And GOD loves those who show fortitude" (3:146).

        Is not that the most magnificent slogan? That is the one he chose on the day of death.  
   
    A group of apostates circled around him, so the hero fell, but his spirit kept on repeating in his purified body, until the battle ended with the killing of Musailamah the Liar, the defeat of his army, and the triumph of the Muslim army.  

        When the Muslims were examining their sacrificed and martyrs, they found Saalim in the last agony of death. He asked them, 
"What has Abu Hudhaifah done?" 
They said, "`He died a martyr." 
He said, "Lay me next to him." 
They said, "He is next to you, O Saalim." 
He had died a martyr in the same place.  

        He smiled his last smile and did not speak again. He and his companion had realized what they desired. Together they had become Muslims. Together they had lived and together they had died as martyrs.  

       Oh, the magnificence of fortune and beauty of destiny! And he went to Allah, that great believer about whom `Umar lbn Al Khattaab said while he was dying, "If Saalim were alive, I would have given him the command after me".



.¤ª"˜¨¯¨¨'Salim Maula Abu Hudzaifah¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨Saalim Mawlaa Abi Hudhaifah¸,ø¨¨"ª¤.




Categories: