acebook



.¤ª"˜¨¯¨¨Miqdaad Bin 'Amr oAl-Miqdaad Ibn 'Amr¸,ø¨¨"ª¤.
 Pelopor barisan berkuda dan ahli filsafat. 

Ketika membicarakan dirinya, para shahabat dan teman sejawatnya berkata: “Orang yang pertama memacu kudanya dalam perang sabil ialah Miqdad ibnul Aswad”. Dan Miqdad ibnul Aswad yang mereka maksudkan itu ialah tokoh kita Miqdad bin ‘Amr ini. 

Di masa jahiliyah ia menyetujui dan membuat perjanjian untuk diambil oleh al-Aswad ‘Abdi Yaghuts sebagai anak, hingga namanya berubah menjadi Miqdad ibnul Aswad. Tetapi setelah turunnya ayat mulia yang melarang merangkaikan nama anak angkat dengan nama ayah angkatnya dan mengharuskan merangkaikannya dengan nama ayah kan­dungnya, maka namanya kembali dihubungkan dengan nama ayahnya yaitu. ‘Amr bin Sa’ad.Miqdad termasuk dalam rombongan orang-orang yang mula pertama masuk Islam, dan orang ketujuh yang menyatakan ke­islamannya secara terbuka dengan terus terang, dan menanggung­kan penderitaan dari amarah murka dan kekejaman Quraisy yang dihadapinya dengan kejantanan para ksatria dan keperwiraan kaum Hawari!

Perjuangannya di medan Perang Badar tetap akan jadi tugu peringatan yang selalu semarak takkan pudar. Perjuangan yang mengantarkannya kepada suatu kedudukan puncak, yang dicita dan diangan-angankan oleh seseorang untuk menjadi miliknya….Berkatalah Abdullah bin Mas’ud yakni seorang shahabat Rasul­ullah:
“Saya telah menyaksikan perjuangan. Miqdad, sehingga saya lebih suka menjadi shahabatnya daripada segala isi bumi ini ….

Pada hari yang bermula dengan kesuraman itu . . . yakni ketika Quraisy datang dengan kekuatannya yang dahsyat, dengan semangat dan tekad yang bergelora, dengan kesombongan dan keangkuhan mereka . . . . Pada hari itu Kaum Muslimin masih sedikit, yang sebelumnya tak pernah mengalami peperangan untuk mempertahankan Islam, dan inilah peperangan pertama yang mereka terjuni ….

Sementara Rasulullah menguji keimanan para pengikutnya dan meneliti persiapan mereka untuk menghadapi tentara musuh yang datang menyerang, baik pasukan pejalan kaki maupun angkatan berkudanya . . . , para shahabat dibawanya bermusya­warah dan mereka mengetahui bahwa jika beliau meminta buah fikiran dan pendapat mereka, maka hal itu dimaksudnya secara sungguh-sungguh. Artinya dari setiap mereka dimintanya pendiri­an dan pendapat yang sebenarnya, hingga bila ada di antara mereka yang berpendapat lain yang berbeda dengan pendapat umum, maka ia tak usah takut atau akan mendapat penyesalan.

Miqdad khawatir kalau ada di antara Kaum Muslimin yang terlalu berhati-hati terhadap perang. Dari itu sebelum ada yang angkat bicara, Miqdad ingin mendahului mereka, agar dengan kalimat-kalimat yang tegas dapat menyalakan semangat perjuang­an dan turut mengambil bagian dalam membentuk pendapat umum.
Tetapi sebelum ia menggerakkan kedua bibirnya, Abu Bakar Shiddiq telah mulai bicara, dan baik sekali buah pembicaraannya itu, hingga hati Miqdad menjadi tenteram karenanya. Setelah itu Umar bin Khatthab menyusul bicara, dan buah pembicaraan­nya juga baik. Maka tampillah Miqdad, katanya:
“Ya Rasulullah ….
Teruslah laksanakan apa yang dititahkan Allah, dan kami akan bersama anda … !
Demi Allah kami tidak akan berkata seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Musa: Pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah, sedang kami akan duduk menunggu di sini. Tetapi kami akan mengatakan kepada anda: Pergilah anda bersama Tuhan anda dan berperanglah, sementara kami ikut berjuang di samping anda … !
Demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran! Seandainya anda membawa kami melalui lautan lumpur, kami akan berjuang bersama anda dengan tabah hingga mencapai tujuan, dan kami akan bertempur di sebelah kanan dan di sebelah kiri anda, di bagian depan dan di bagian belakang anda, sampai Allah memberi anda kemenang­an … !”Kata-katanya itu mengalir tak ubah bagai anak panah yang lepas dari busurnya. Dan wajah Rasulullah pun berseri-seri karenanya, sementara mulutnya komat-kamit mengucapkan do’a yang baik untuk Miqdad. 

Serta dari kata-kata tegas yang dilepasnya itu mengalirlah semangat kepahlawanan dalam kum­pulan yang baik dari orang-orang beriman, bahkan dengan kekuatan dan ketegasannya, kata-kata itu pun menjadi contoh teladan bagi siapa yang ingin bicara, menjadi semboyan dalam perjuangan … !Sungguh, kalimat-kalimat yang diucapkan Miqdad bin ‘Amr itu mencapai sasarannya di hati orang-orang Mu’min, hingga Sa’ad dan Mu’adz pemimpin kaum Anshan bangkit berdiri, katanya:“Wahai Rasulullah …. Sungguh, kami telah beriman kepada anda dan membenarkan anda, dan kami saksikan bahwa apa yang anda bawa itu adalah benar . . . , Serta untuk itu kami telah ikatkan janji dan padukan kesetiaan kami!Maka majulah wahai Rasulullah laksanakan apa yang anda kehendaki, dan kami akan selalu bersama anda … !Dan demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran, sekiranya anda membawa kami menerjuni dan mengarungi lautan ini, akan kami terjuni dan arungi, tidak seorang pun di antara kami yang akan berpaling dan tidak seorang pun yang akan mundur untuk menghadapi musuh … !Sungguh, kami akan tabah dalam peperangan, teguh dalam menghadapi musuh, dan moga-moga Allah akan memper­lihatkan kepada anda perbuatan kami yang berkenan di hati anda . . . ! Nah, kerahkanlah kami dengan berkat dari Allah . . .!”

Maka hati Rasulullah pun penuhlah dengan kegembiraan, lalu sabdanya kepada shahabat-shahabatnya:  “Berangkatlah dan besarkanlah hati kalian …Dan kedua pasukan pun berhadapanlah ….Anggota pasukan Islam yang berkuda ketika itu jumlahnya tidak lebih dari tiga orang, yaitu Miqdad bin ‘Amr, Martsad bin Abi Martsad dan Zubair bin Awwam; sementara pejuang-­pejuang lainnya terdiri atas pasukan pejalan kaki atau pengen­dara-pengendara unta.

Ucapan Miqdad yang kita kemukakan tadi, tidak saja meng­gambarkan keperwiraannya semata, tetapi juga melukiskan logikanya yang tepat dan pemikirannya yang dalam ….

Demikianlah sifat Miqdad ….la adalah seorang filosof dan ahli fikir. Hikmat dan filsafat­nya tidak saja terkesan pada ucapan semata, tapi terutama pada prinsip-prinsip hidup yang kukuh dan perjalanan hidup yang teguh tulus dan lurus, sementara pengalaman-pengalamannya menjadi sumber bagi pemikiran dan penunjang bagi filsafat itu.Pada suatu hari ia diangkat oleh Rasulullah sebagai amir di suatu daerah. Tatkala ia kembali dari tugasnya, Nabi sertanya:“Bagaimanakah pendapatmu menjadi amir?” Maka dengan penuh kejujuran dijawabnya: “Anda telah menjadikan daku menganggap diri di atas semua manusia sedang mereka semua di bawahku …. Demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran, semenjak saat ini saya tak berkeinginan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang untuk selama-lamanya … ! “

Nah, jika ini bukan suatu filsafat, maka apakah lagi yang dikatakan filsafat itu . . .? Dan jika orang ini bukan seorang filosof, maka siapakah lagi yang disebut filosof … ?

seorang laki-laki yang tak hendak tertipu oleh dirinya, tak hendak terpedaya oleh kelemahannya … ! Dipegangnya jabatan sebagai amir, hingga dirinya diliputi oleh kemegahan dan puji-pujian. Kelemahan ini disadarinya hingga ia bersumpah akan menghindarinya dan menolak untuk menjadi amir lagi setelah pengalaman pahit itu. Kemudian ternyata bahwa ia menepati janji dan sumpahnya itu, hingga semenjak itu ia tak pernah mau menerima jabatan amir …. !

Miqdad selalu mendendangkan Hadits yang didengarnya dari ‘Rasulullah saw., yakni: Orang yang berbahagia, ialah  orang yang dijauhkan dari fitnah … !”

Oleh karena jabatan sebagai amir itu dianggapnya suatu kemegahan yang menimbulkan atau hampir menimbulkan fitnah bagi dirinya, maka syarat untuk mencapai kebahagiaan baginya,  ialah menjauhinya. Di antara madhhar atau manifestasi filsafatnya ialah tidak tergesa-gesa dan sangat hati-hati menjatuhkan putusan atas seseorang. Dan ini juga dipelajarinya dari Rasulullah saw. Yang telah menyampaikan kepada ummatnya: “bahwa hati manusia lebih cepat berputarnya daripada isi periuk di kala menggelegak …. “.

Miqdad sering menangguhkan penilaian terakhir terhadap seseorang sampai dekat saat kematian mereka. Tujuannya ialah agar orang yang akan dinilainya tidak beroleh atau mengalami hal yang baru lagi . . . . Perubahan atau hal baru apakah lagi setelah maut … ? Dalam percakapan yang disampaikan kepada kita oleh salah seorang shahabat dan teman sejawatnya seperti di bawah ini, filsafatnya itu menonjol sebagai suatu renungan yang amat dalam, katanya: “Pada suatu hari kami pergi duduk-duduk ke dekat Miqdad. Tiba-tiba lewatlah seorang laki-laki, dan katanya kepada Miqdad: Sungguh berbahagialah kedua mata ini yang telah melihat Rasulullah saw.! Demi Allah, andainya kami dapat melihat apa yang anda lihat, dan menyaksikan apa yang anda saksikan … !” Miqdad pergi menghampirinya, katanya: “Apa yang mendorong kalian untuk ingin menyaksikan peristiwa yang disembunyikan Allah dari penglihatan kalian, padahal kalian tidak tahu apa akibatnya bila sempat me­nyaksikannya? Demi Allah, bukankah di masa Rasulullah saw. banyak orang yang ditelungkupkan Allah mukanya ke neraka jahannam … ! Kenapa kalian tidak mengucapkan puji kepada Allah yang menghindarkan kalian dari malapetaka seperti yang menimpa mereka itu, dan menjadikan kalian sebagai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Nabi kalian!”
Suatu hikmah . . .! Dan hikmah yang bagaiman lagi . . . ? Tidak seorang pun yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya yang anda temui, kecuali ia menginginkan dapat hidup di masa Rasulullah dan beroleh kesempatan untuk melihatnya!

Tetapi penglihatan Miqdad yang tajam dan dalam, dapat me­nembus barang ghaib yang tidak terjangkau di balik cita-cita dan keinginan itu. Bukankah tidak mustahil orang yang menginginkan hidup pada masa-masa tersebut akan menjadi salah seorang penduduk neraka? Bukankah tidak mustahil ia akan  jatuh kafir bersama orang-orang kafir lainnya … ? Maka tidakkah ia lebih baik memuji Allah yang telah menghidup­kannya di masa-masa telah tercapainya kemantapan bagi Islam, hingga ia dapat menganutnya secara mudah dan bersih …?

Demikianlah pandangan Miqdad, memancarkan hikmah dan filsafat . . . . Dan seperti demikian pula pada setiap tindakan, pengalaman dan ucapannya, ia adalah seorang filosof dan pe­mikir ulung ….
Kecintaan Miqdad kepada Islam tidak terkira besarnya . . . .

Dan cinta, bila ia tumbuh dan membesar Serta didampingi oleh hikmat, maka akan menjadikan pemiliknya manusia tinggi, yang tidak merasa puas hanya dengan kecintaan belaka, tapi dengan menunaikan kewajiban dan memikul tanggung jawab­nya….Dan Miqdad bin ‘Amr dari tipe manusia seperti ini . . . . Kecintaannya kepada Rasulullah menyebabkan hati dan ingatan­nya dipenuhi rasa tanggung jawab terhadap keselamatan yang dicintainya, hingga setiap ada kehebohan di Madinah, dengan secepat kilat Miqdad telah berada di ambang pintu rumah Rasul­ullah menunggang kudanya, sambil menghunus pedang atau lembingnya … !

Sedang kecintaannya kepada Islam menyebabkannya sertanggung jawab terhadap keamanannya, tidak saja dari tipu ­daya musuh-musuhnya, tetapi juga dari kekeliruan kawan-kawan­nya sendiri ….

Pada suatu ketika ia keluar bersama rombongan tentara yang sewaktu-waktu dapat dikepung oleh musuh. Komandan mengeluarkan perintah agar tidak seorang pun mengembalakan hewan tunggangannya. Tetapi salah seorang anggota pasukan tidak mengetahui larangan tersebut hingga melanggarnya; dan sebagai akibatnya ia menerima hukuman yang rupanya lebih besar daripada yang seharusnya, atau mungkin tidak usah sama sekali. Miqdad lewat di depan hukuman tersebut yang sedang menangis berteriak-teriak. Ketika ditanyainya ia mengisahkan  apa yang telah terjadi. Miqdad meraih tangan orang itu, dibawanya ke hadapan amir atau komandan, lalu dibicarakan dengannya keadaan bawahannya itu, hingga akhirnya tersingkap­lah kesalahan dan kekeliruan amir itu. Maka kata Miqdad kepadanya: “Sekarang suruhlah ia membalas keterlanjuran anda dan berilah ia kesempatan untuk melakukan qishash”‘Sang amir tunduk dan bersedia . . . , hanya si terhukum berlapang dada dan memberinya ma’af. Penciuman Miqdad yang tajam mengenai gentingnya suasana, dan keagungan Agama yang telah memberikan kepada mereka kebesaran ini, hingga katanya seakan-akan berdendang: “Biar saya mati, asal Islam tetap jaya … ! “

Memang, itulah yang menjadi cita-citanya, yaitu kejayaan Islam walau harus dibalas dengan nyawa sekalipun. Dan dengan keteguhan hati yang mena’jubkan ia berjuang bersama kawan­kawannya untuk mewujudkan cita-cita tersebut, hingga selayak­nyalah ia beroleh kehormatan dari Rasulullah saw. menerima ucapan berikut:“Sungguh, Allah telah menyuruhku untuk mencintaimu, dan menyampaikan pesan-Nya padaku bahwa la men­cintaimu “. Ya Allah bangkitkanlah dari antara kami dan anak cucu kami Miqdad-miqdad pahlawan, pejuang dan pembela Agama-Mu


(9)  
AL- MIQDAAD IBN `AMR  
The First Muslim Cavalryman 

        His companions said about him, "The first cavalryman to strive in the way of Allah was Al- Miqdaad Ibn Al-Aswad, our hero, and Al-Miqdaad lbn `Amr was one and the same person."   The story behind this was that Al-Miqdaad Ibn `Amr was in alliance with Al-Aswad lbn Abd Yaghuuth, who therefore adopted Al-Miqdaad. Thus, he was called Al-Miqdaad lbn Al-Aswad until the glorious verse which abrogated adoption descended, and he restored his father's name, `Amr Ibn Saad. Al-Miqdaad was one of the foremost Muslims and the seventh of the seven men who announced their Islam openly and in public. Therefore, he had his share of the Quraish's abuse and atrocities. He tolerated them with the courageousness and satisfaction of a devoted disciple.  

        His attitude during the Battle of Badr will retain its immortal glory. It was an honorable attitude that impressed all those who witnessed it and made each and every one of them wish it were he who had adopted such an attitude. `Abd Allah Ibn Mas'uud, the Companion of Allah's Prophet (PBUH) said, "I have seen Al Miqdaad (may Allah be pleased with him) maintain a firm attitude and I was overtaken by a vicarious feeling to be in his place. This feeling enveloped me to the extent that I wished more than anything in the world that it would come true."  

        The Day of Badr was a crucial one as the Quraish marched with all their might, stubborn persistence, and haughtiness against the Muslims. On that day, the Muslims were not only few, but also untried and inexperienced in jihaad. Their hearts had not been tested in action. Besides, the Battle of Badr was the dawn of their conquests. The Prophet stood there to strengthen the faith of his Companions and test their combat readiness to break through the enemy infantry and cavalry.  

        Afterwards, the Prophet (PBUH) began to consult them on war tactics. Surely, the Prophet's Companions knew that when he asked their opinion, he demanded their individual free and courageous expression, even if it happened to contradict the majority. He who expressed his opinion would not be reproached or criticized.  

        Al-Miqdaad was afraid lest one of the Muslims should have reservations about the imminent battle. Therefore, he was careful to have precedence in speech. His concise and decisive words coined the slogan of the battle, yet before he had the chance to open his mouth, Abu Bakr As-siddiiq started talking and by the time he finished his words, Al-Miqdaad's apprehensions had vanished, for Abu Bakr spoke with remarkable eloquence. `Umar Ibn Al-khattaab spoke next and followed suit. Finally Al-Miqdaad stepped forward and said, "O Prophet of Allah, go ahead with what Allah has inspired you to do. We will stand by you. By Allah, we will never say as the Children of Israel said, `So go you and your Lord and fight you two, we are sitting right here.' Instead, we will say, `Go you and your Lord and we will fight with you.' By Allah, Who has sent you with the truth, if you take us to the end of the world, we will tolerate all hardships until we reach it with you. We will fight on your left, your right, in front of you and behind you until Allah bestows victory on you." His decisive words were like bullets that made the righteous believers with them fired up with enthusiasm.  

        The Prophet's face brightened as he uttered a pious supplication for Al-Miqdaad, whose words were so strong and decisive that they drew the pattern that would be followed by anyone who spoke afterwards. Indeed, Al-Miqdaad's words left their impact on the hearts of the believers. Consequently, S'ad Ibn Mu'aadh, a leader of the Ansaar, rose and said, "O Prophet of Allah, we have believed in you and witnessed that what has descended on you is the truth. We gave you our allegiance, so go ahead with what you intend to do, and we will stand by you. By Allah Who has sent you with the truth, if you attempt to cross the sea, we will cross it hand in hand with you. None of us will lag behind or turn his back on you. We are not afraid to meet our enemy tomorrow, for we are given to terrible warfare and we are faithful in our desire to meet Allah. I pray Allah that we do what will make you proud of us. Go ahead with Allah's blessings."  
   
        The Prophet (PBUH) was extremely sanguine on hearing this and said to his Companions, "March forward and be cheerful and confident!" After a while the two armies met in fierce combat. The Muslim cavalry on that day were only three Al-Miqdaad lbn Amr, Marthid lbn Abi Marthid, and Az-Zubair Ibn Al Awaam. The rest of the Mujaahiduun were infantry or riding on camels.  

        Al-Miqdaad's previous words not only proved his valor but also his preponderant wisdom and profound thought.  

        Al-Miqdaad was a wise and intelligent man. His wisdom was not expressed in mere words but in empirical principles and a constant Unvarying conduct. His experience was the fuel of his wisdom and intelligence.  

        The Prophet (PBUH) once assigned him to rule one of the governorships, and when he returned the Prophet (PBUH) asked him, "How does it feel be a governor?" He answered with admirable honesty, "It made me feel as if I were in a silver tower above the rest of the people. By Allah Who has sent you with the truth, from now on, I will never expose myself to the temptations of governing."  

        If that was not wisdom, then what else is? If that was not a wise man, then who else is?  

        This was an honest and straightforward man who was able to detect, unveil, and admit his innermost weakness. His position as a governor made him vulnerable to haughtiness and vainglory. He detected this weakness in himself at once and took a solemn oath to avoid any position or rank that might jeopardize his piety and righteousness. He kept his oath and renounced any influential or controversial situation for the rest of his life.  

        He cherished and treasured the hadith of the Prophet (PBUH): "He who avoids fitnah (trials, afflictions, and error) is indeed a happy man."  

        He realized that because the governorship awakened latent pride and haughtiness in him and exposed him to Fitnah, it was better to avoid any position that might arouse this weakness. His wisdom was manifested in his deliberateness and perseverance in his judgment of men. This was also a trait that Allah's Prophet (PBUH) instilled in him, for he taught Muslims that the hearts of the children of Adam are incredibly capricious.  

        Al-Miqdaad was always for delaying his final judgment of a man to the moment of death so as to be absolutely positive that the man concerned would not alter, for death means finality. His wisdom was most conspicuous in the dialogue that was narrated by one of his companions: One day, we sat with Al- Miqdaad and a man passed by and addressed Al-Miqdaad saying, "All kinds of happiness are for these eyes which have seen Allah's Prophet (PBUH). By Allah, we wish that we saw what you have seen and witnessed what you have witnessed." Al-Miqdaad approached him and said, "Why should anyone wish to witness a scene that Allah did not wish him to see? He does not know what it would have been like if he had witnessed it or which party he would have been among if he went back in time. By Allah, Allah's Prophet (PBUH) saw people who were thrown right into hell, so you should thank Allah that you were spared such a trial and were honored by firm belief in Allah and His Prophet (PBUH)."  

        Undoubtedly, it is remarkable wisdom. You hardly ever meet a believer who loves Allah and the Prophet (PBUH) and does not wish to see and live within the Prophet's sight. Yet the insight of the wise and skillful Miqdaad unveiled the missing dimension of this wish. For is it not possible that if this man had lived during those times he might have ended up among the dwellers of Hell? Is it not possible that he might have sided with the disbelievers? Again, is it not far much better for him to thank Allah Whodestined him to live at a time when Islam is deeply -rooted and fully-fledged, awaiting him to quench his thirst from its inexhaustible pure spring?  

        Al-Miqdaad's viewpoint was subtly wise and intelligent. He always emerged as the wise and clever man iall his actions, deeds, and words.  
   
 Al-Miqdaad's love for Islam was not only great but also reasonable and wise. A man who has such great and wise love inside him must be raised to a high station, for he does not find pleasure in this love per se but rather in its responsibilities and obligations. Al Miqdaad definitely was this type of man. His love for the Prophet filled his heart and deepened his feeling of responsibility towards the Prophet's safety. No sooner was a call for an expedition announced than he darted towards the Prophet's house on horseback armed with his sharp sword!  

        His love for Islam filled his heart with responsibility for its protections, not only from the plots of its enemies, but also from the errors of its allies.  

        One day, his army unit went on an expedition, but the enemy troops were able to besiege them. Therefore, their commander gave an order to his soldiers not to graze their camels. One of the Muslim soldiers did not hear his order and, in consequence, disobeyed it. The commander punished him severely, more than he actually deserved. In fact, he did not deserve to be punished at all. Al-Miqdaad passed by this man and found him in tears, so he asked him what was the matter, and the latter told him what had happened. Al-Miqdaad took the man to the commander, where he argued with him until he was convinced of his error of judgment. Then Al-Miqdaad said, "Now it is the time for retaliation. He must have his qisaas - the law of equality of punishment!"  

        The commander yielded to his judgment but the soldier remitted the retaliation. Al-Miqdaad was thrown into ectasy over the greatness of the religion that made it possible for them to reach this power of courageous judgment, admirable submission, and great forgiveness. He said as if he were singing a song, " I will see Islam triumphant even if I have to die for it." Indeed, it was his utmost wish to see Islam most powerful before he died. His extraordinary effort to make his wish come true made the Prophet (PBUH) say to him, "O Al-Miqdaad, Allah ordered me to love you and told me that He loves you."


.¤ª"˜¨¯¨¨Miqdaad Bin 'Amr oAl-Miqdaad Ibn 'Amr¸,ø¨¨"ª¤.





Categories: