acebook


oo
.¤ª"˜¨¯¨¨Abdraahman Bin Abi Bakar¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨'Abd Rahman Ibn Abi Bakar¸,ø¨¨"ª¤. 
Pahlawan sampai saat terakhir. 


Ia merupakan lukisan nyata tentang kepribadian Arab dengan segala kedalaman dan kejauhannya . . . . 

Sementara bapaknya adalah orang yang  pertama beriman, dan “Shiddiq” yang memiliki corak keimanan yang tiada taranya terhadap Allah dan Rasul-Nya, serta orang kedua ketika mereka berada dalam gua. Tetapi Abdurrahman termasuk salah seorang yang keras laksana batu karang menyatu menjadi satu, senyawa dengan Agama nenek moyangnya dan berhala-berhala Quraisy … !Di perang Badar ia tampil sebagai barisan penyerang di pihak tentara musyrik.Dan di perang Uhud ia mengepalai pasukan panah yang dipersiapkan Quraisy untuk menghadapi Kaum Muslimin....Dan sebelum kedua pasukan itu bertempur, lebih dulu seperti biasa dimulai dengan perang tanding. Abdurrahman maju ke depan dan meminta lawan dari pihak Muslimin. 

Maka bangkit­lah bapaknya yakni Abu Bakar Shiddiq r.a. maju ke muka melayani tantangan anaknya itu...Tetapi Rasulullah menahan shahabatnya itu dan menghalanginya melakukan perang tanding dengan puteranya sendiri...Bagi seorang Arab asli, tak ada ciri yang lebih menonjol dari kecintaannya yang teguh terhadap apa yang diyakininya...Jika ia telah meyakini kebenaran sesuatu agama atau sebuah pendapat, maka tak ubahnya ia bagai tawanan yang diperbudak oleh keyakinannya itu hingga tak dapat melepaskan diri lagi. Kecuali bila ada keyakinan baru yang lebih kuat, yang memenuhi rongga akal dan jiwanya tanpa syak wasangka sedikit pun, yang akan menggeser keyakinannya yang pertama tadi.Demikianlah, bagaimana juga hormatnya Abdurrahman kepada bapaknya, serta kepercayaannya yang penuh kepada kematangan akal dan kebesaran jiwa serta budinya, namun keteguhan hatinya terhadap keyakinannya tetap berkuasa hingga tiada terpengaruh oleh keislaman bapaknya itu. Maka ia berdiri teguh dan tak beranjak dari tempatnya, memikul tanggung jawab aqidah dan keyakinannya itu, membela berhala-berhala Quraisy dan bertahan mati-matian di bawah bendera dan panji-panjinya, melawan Kaum Mu’minin yang telah siap mengurbankan jiwanya.Dan orang-orang kuat semacam ini, tidak buta akan ke­benaran, walaupun untuk itu diperlukan waktu yang lama. Kekerasan prinsip, cahaya kenyataan dan ketulusan mereka, akhir kesudahannya akan membimbing mereka kepada barang yang haq dan mempertemukan mereka dengan petunjuk dan kebaikan.

Dan pada suatu hari, berdentanglah saat yang telah ditetap­kan oleh taqdir itu, yakni saat yang menandai kelahiran baru dari Abdurrahman bin Abu Bakar Shiddiq . . . . Pelita-pelita petunjuk telah menyuluhi dirinya, hingga mengikis habis baying-­bayang kegelapan dan kepalsuan warisan jahiliyah. Dilihatnya Allah Maha Tunggal lagi Esa di segala sesuatu yang terdapat di sekelilingnya, dan petunjuk Allah pun mengurat-mengakar pada diri dan jiwanya, hingga ia pun menjadi salah seorang Muslim . . . !Secepatnya ia bangkit melakukan perjalanan jauh menemui Rasulullah untuk kembali ke pangkuan Agama yang haq. Maka bercahaya-cahayalah wajah Abu Bakar karena gembira ketika melihat puteranya itu bai’at kepada Rasulullah saw.Di waktu kafirnya la adalah seorang jantan! Maka sekarang ia memeluk Islam secara jantan pula! Tiada sesuatu harapan yang menariknya, tiada pula sesuatu ketakutan yang mendorongnyaHal itu tiada lain hanyalah suatu keyakinan yang benar dan tepat, yang dikaruniakan oleh hidayah Allah dan taufik-Nya! 

Dan mulai saat itu Abdurrahman pun berusaha sekuat tenaga untuk menyusul ketinggalan-ketinggalannya selama ini, baik di jalan Allah, maupun di jalan Rasul dan orang-orang Mu’min.Di masa Rasulullah saw. begitupun di masa khalifah-khalifah sepeninggalnya, Abdurrahman tak ketinggalan mengambil bagian dalam peperangan, dan tak pernah berpangku tangan dalam jihad yang aneka ragam ….Dalam peperangan Yamamah yang terkenal itu, jasanya amat besar. 

Keteguhan dan keberaniannya memiliki peranan besar dalam merebut kemenangan dari tentara Musailamah dan orang-orang murtad . . . . Bahkan ialah yang menghabisi riwayat Mahkam bin Thufeil, yang menjadi otak perencana bagi Musai­lamah, dengan segala daya upaya dan kekuatannya ia berhasil mengepung benteng terpenting yang digunakan oleh tentara murtad sebagai tempat yang strategis untuk pertahanan mereka.Tatkala Mahkam rubuh disebabkan suatu pukulan yang menentukan dari Abdurrahman, sedang orang-orang sekelilingnya lari tunggang langgang, terbukalah lowongan besar dan luas di benteng itu, hingga prajurit-prajurit Islam masuk berlompatan ke dalam benteng itu . . . .Di bawah naungan Islam sifat-sifat utama Abdurrahman bertambah tajam dan lebih menonjol. Kecintaan kepada ke­yakinannya dan kemauan yang teguh untuk mengikuti apa yang dianggapnya haq dan benar, kebenciannya terhadap bermanis mulut dan mengambil muka, semua sifat ini tetap merupakan sari hidup dan permata kepribadiannya. 

Tiada sedikit pun ia terpengaruh oleh sesuatu pancingan atau di bawah sesuatu tekanan, bahkan juga pada saat yang amat gawat, yakni ketika Mu’awiyah memutuskan hendak memberikan bai’at sebagai khalifah bagi Yazid dengan ketajaman senjata!Mu’awiyah mengirim Surat bai’at itu kepada Marwan guber­nurnya di Madinah dan menyuruh dibacakannya kepada Kaum Muslimin di mesjid. Marwan melaksanakan perintah itu, tetapi belum lagi selesai ia membacakannya, Abdurrahman bin Abu Bakar pun bangkit dengan maksud hendak merubah suasana hening yang mencekam itu menjadi banjir protes dan perlawanan keras katanya:  ”Demi Allah, rupanya bukan kebebasan memilih yang anda berikan kepada ummat Nabi Muhammad saw., tetapi anda hendak menjadikannya kerajaan seperti di Romawi hingga bila seorang kaisar meninggal, tampillah kaisar lain sebagai penggantinya … !”

Saat itu Abdurrahman melihat bahaya besar yang sedang mengancam Islam, yakni seandainya Mu’awiyah melanjutkan rencananya itu, akan merubah hukum demokrasi dalam Islam di mana rakyat dapat memilih kepala negaranya secara bebas, menjadi sistem monarki di mana rakyat akan diperintah oleh raja-raja atau kaisar-kaisar yang akan mewarisi takhta secara turun temurun … !

Belum lagi selesai Abdurrahman melontarkan kecaman keras ini ke muka Marwan, ia telah disokong oleh segolongan Muslimin yang dipimpin oleh Husein bin Ali, Abdullah bin Zubeir dan Abdullah bin Umar.Di belakang muncul beberapa keadaan mendesak yang memaksa Husein, Ibnu Zubeir dan Ibnu Umar berdiam diri terhadap rencana bai’at yang hendak dilaksanakan Mu’awiyah dengan kekuatan senjata ini. Tetapi Abdurrahman tidak putus-­putusnya menyatakan batalnya baiat ini secara terus terang!Mu’awiyah mengirim utusan untuk menyerahkan uang kepada Abdurrahman sebanyak seratus ribu dirham dengan maksud hendak membujuknya. 

Tetapi Abdurrahman melempar­kan harta itu jauh-jauh, lalu katanya kepada utusan Mu’awiyah: “Kembalilah kepadanya dan katakan bahwa Abdurrahman tak hendak menjual Agamanya dengan dunia...!”Tatkala diketahuinya setelah itu bahwa Mu’awiyah sedang bersiap-siap hendak melakukan kunjungan ke Madinah, Abdur­rahman segera meninggalkan kota itu menuju Mekah. Dan rupanya iradat Allah akan menghindarkan dirinya dari bencana dan akibat pendiriannya ini ….Karena baru saja ia sampai di luar kota Mekah dan tinggal sebentar di sana, ruhnya pun berangkat menemui Tuhannya. 

Orang-orang mengusung jenazahnya di bahu-bahu mereka dan membawanya ke suatu dataran tinggi kota Mekah lalu memakam­kannya di sana, yakni di bawah tanah yang telah menyaksikan masa jahiliyahnya …. dan juga telah menyaksikan masa Islam­nya . . . ! Yakni keislaman seorang laki-laki yang benar, berjiwa bebas dan kesatria … !



(48)  
`ABD AR RAHMAN IBN ABI BAKR  
A Hero to the End! 

        He was a clear image and reflection of Arab chivalry in its depth. His father was As-siddiiq, the first convert, an incomparable believer, one of two who were in the cave. Despite all that, his son `Abd Ar- Rahman stuck persistently and firmly to the pagan religion of his clan and to the idols of the Quraish.  

       At the Battle of Badr, he fought on the side of the Quraish. During the Battle of Uhud he was in the forefront of the spearmen recruited by the Quraish to combat the Muslims.  

        Before any fight there was a traditional dueling round (single combat). `Abd Ar-Rahman stood out asking the Muslims whom they were going to choose to fight with him. His father, Abu Bakr As-siddiiq (May Allah be pleased with him) rushed out to combat his son. However, the Prophet (PBUH) held him back, hindering him from doing so.  

       Any true Arab is primarily characterized by his loyalty to his conviction. Being convinced with a faith or an idea means being enslaved by such conviction; there is no way to rid himself of it, unless a new conviction fills his mind and soul without deceit or falsification.  

       Despite `Abd Ar-Rahman's respect for his father, his trust in his father's rationality, and the greatness of his manners and soul, despite all that, his loyalty to his conviction proved to be superior. His father's conversion to Islam did not tempt him to change his conviction.  

       He remained unchanged, carrying out the responsibilities of his faith and conviction, defending the idols of the Quraish and fighting under their standard, the way brave warriors do.  

       As for the noble and powerful men of that type, truth prevails eventually, no matter how long it takes. Their noble essence, the light of their sincerity is soon going to guide them, uniting them with guidance and blessing.  

        The clock of fate struck to announce a new birth for `Abd Ar Rahman. Light of guidance lit up sweeping away all murkiness, darkness, and devices inherited from pagan days. He soon could visualize Allah, the One and Only, in all surrounding creatures and things. It was here that guidance deepened its roots within his soul, it was here he became a Muslim.  

       Without delay he set off towards the Prophet (PBUH). He became one who returns ever to the religion of truth. Abu Bakr's face beamed with happiness and delight seeing his son swearing the oath of allegiance to the Prophet (PBUH).  

       He had been a true polytheist, but now he was a true Muslim. No greed directed his steps, no fear pushed him, just a rational, rightly-guided conviction blessed by Allah's guidance and success. Soon he started to replace previous deeds with doing the best, striving in the cause of Allah, His Prophet and the faithful.  

       During the whole period of the Prophet (PBUH) and the era of caliphs who succeeded him, `Abd Ar-Rahman never missed a battle nor refrained from taking part in any jihaad.  

       His endeavor and striving on the Day of Al-Yamaamah will never be forgotten. His firm resistance and bravery played a great role in achieving victory against the apostate army of Musailamah. It was he, Abd Ar-Rahman, who killed Muhkam Ibn At-Tufail, Musailamah's schemer and the main guard of the castle inside which the apostate army took refuge.  

 As soon as Muhkam fell down from the hard stroke of Abd Ar-Rahman, all those around him scattered, leaving a wide entrance open so the Muslim warriors could hasten inside.  

        Under the standard of Islam `Abd Ar-Rahman's habits became more bright and shining. He was loyal to his conviction, completely determined to carry out and follow what was right and true, refusing all kinds of flattery and servility. All these manners were the essence of his personality as well as his whole life. He never abandoned his principles even when tempted by a desire or influenced by a fear.  

        Even on that terrible day, when Mu'aawiyah decided to force the pledge to Yaziid by the sword. On that day, a message was sent to Marwaan, the governor of Al-Madiinah. It included the oath of allegiance which was to be read aloud in the mosque so that all the Muslims would hear it. Marwaan did what was ordered. When he finished reading it, `Abd Ar-Rahman Ibn Abi Bakr turned the atmosphere of silence and depression which covered the mosque into one of loud opposition and firm resistance saying, "By Allah, it's not the welfare of Muhammad's nation that you are seeking. On the contrary, you want to turn it into a Heraclian rule. When Heraclius dies another follows."  

       `Abd Ar-Rahman could dearly see the dangers awaiting Islam if Mu'aawiyah was to carry out his desire. He could see how the transfer of power within Islam was changing from one based on national consultation by which the nation chooses its leader, to one of autocracy, by which emperors are imposed upon the people, one after the other.  

       `Abd Ar-Rahman had hardly finished these firm and loud resisting words when a group of Muslims hurried to support him. Leading them were Al-Hussain Ibn `Aliy, `Abd Allah Ibn Az-Zubair and `Abd Allah Ibn `Umar.  

       However for some compelling reason which occurred later on, they all were forced to hold a position of silence towards this pledge of allegiance which Mu'aawiyah decided to take by force of sword. But `Abd Ar-Rahman continued to resist loudly. 

Mu'aawiyah sent him someone with 100,000 dirhams, hoping to please him. 
        Ibn As-siddiiq threw the money and said frankly to Mu'aawiyah's messenger, "Go back to him and tell him, it's not `Abd Ar-Rahman who is going to buy his life by losing his faith."  

       As soon as he heard the news that Mu`aawiyah had set off towards Al-Madiinah, he left it heading to Makkah.  

       Allah wanted to save him the temptation of such a situation and its bad results. He had hardly reached the borders of Makkah when his soul submitted itself to Allah's appeal. Men carried the body and buried it in Makkah, which had witnessed his pagan past but also witnessed his conversion to Islam, the conversion of an honest, free, and brave man.

.¤ª"˜¨¯¨¨Abdraahman Bin Abi Bakar¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨'Abd Rahman Ibn Abi Bakar¸,ø¨¨"ª¤. 


oo

Categories: