acebook

Para Sahabat - The Companions


.¤ª"˜¨¯¨¨ Abu Hurairah oAbu Hurairah¸,ø¨¨"ª¤.
 Otaknya menjadi
gudang perbendaharaan pada masa Wahyu. 


Memang benar, bahwa kepintaran manusia itu mempunyai akibat yang merugikan dirinya sendiri. Dan orang-orang yang mempunyai bakat-bakat istimewa, banyak yang harus membayar mahal, justru pada waktu ia patut menerima ganjaran dan peng­hargaan ….Shahabat mulia Abu Hurairah termasuk salah seorang dari mereka . .. . 

Sungguh dia mempunyai bakat luar biasa dalam kemampuan dan kekuatan ingatan … 

Abu Hurairah r.a. mem­punyai kelebihan dalam seni menangkap apa yang didengarnya, sedang ingatannya mempunyai keistimewaan dalam seni meng­hafal dan menyimpan . . . . Didengarnya, ditampungnya lalu terpatri dalam ingatannya hingga dihafalkannya, hampir tak pernah ia melupakan satu kata atau satu huruf pun dari apa yang telah didengarnya, sekalipun usia sertambah dan masa pun telah berganti-ganti. Oleh karena itulah, ia telah mewakafkan hidupnya untuk lebih banyak mendampingi Rasulullah sehingga termasuk yang terbanyak menerima dan menghafal Hadits, Serta meriwayatkannya.Sewaktu datang masa pemalsu-pemalsu hadits yang dengan sengaja membikin hadits-hadits bohong dan palsu,seolah-olah berasal dari Rasulullah saw. 

mereka memperalat nama Abu Hurairah dan menyalahgunakan ketenarannya dalam meriwayatkan Hadits dari Nabi saw., hingga sering mereka mengeluarkan sebuah “hadits”, dengan menggunakan kata-kata:  ”Berkata Abu Hurairah . . . “.Dengan perbuatan ini hampir-hampir mereka menyebabkan ketenaran Abu Hurairah dan kedudukannya selaku penyampai Hadits dari Nabi saw. menjadi lamunan keragu-raguan dan tanda tanya, kalaulah tidak ada usaha dengan susah payah dan ketekunan yang luar biasa, serta banyak waktu yang telah di­habiskan oleh tokoh-tokoh utama para ulama Hadits yang telah membaktikan hidup mereka untuk berhidmat kepada Hadits Nabidan menyingkirkan setiap tambahan yang dimasukkan ke dalamnya.’Di sana Abu Hurairah berhasil lolos dari jaringan kepalsuan dan penambahan-penambahan yang sengaja hendak diselundup­kan oleh kaum perusak ke dalam Islam, dengan mengkambing ­hitamkan Abu Hurairah dan membebankan dosa dan kejahatan mereka kepadanya ….

Setiap anda mendengar muballigh atau penceramab atau khatib Jum’at mengatakan kalimat yang mengesankan“dari Abu Hurairah r.a. berkata ia, telah bersabda Rasulullah saw.Saya katakan ketika anda mendengar nama ini dalam rangkaian kata tersebut, dan ketika anda banyak menjumpainya, yah … banyak sekali dalam kitab-kitab Hadits, sirah, fikih serta kitab-kitab Agama pada umumnya, maka ketahuilah bahwa anda sedang menemui suatu pribadi antara sekian banyak pribadi yang paling gemar bergaul dengan Rasulullah dan mendengarkan sabdanya ….

 Karena itulah Perbendaharaannya yang mena’jubkan dalam hal Hadits dan pengarahan-pengarahan penuh hikmat yang dihafalkannya dari Nabi saw. jarang diperoleh bandingannya . . . . 

Dan dengan bakat pemberian Tuhan yang dipunyainya beserta perbendaharaan Hadits tersebut, Abu Hurairah merupa­kan salah seorang paling mampu membawa anda ke hari-hari masa kehidupan Rasulullah saw. beserta para shahabatnya r.a. dan membawa anda berkeliling, asal anda beriman teguh dan berjiwa siaga, mengitari pelosok dan berbagai ufuk yang membuktikan kehebatan Muhammad saw. beserta shahabat-shahabat­nya itu dan memberikan makna kepada kehidupan ini dan memimpinnya ke arah kesadaran dan pikiran sehat. Dan bila garis-garis yang anda hadapi ini telah menggerakkan kerinduan anda untuk mengetahui lebih dalam tentang Abu Hurairah dan mendengarkan beritanya, maka silakan anda memenuhi keinginan anda tersebut . . . .Ia adalah salah seorang yang menerima pantulan revolusi Islam, dengan segala perubahan mengagumkan yang diciptakan­nya. Dari orang upahan menjadi induk semang atau majikan . . . . Dari seorang yang terlunta-lunta di tengah-tengah lautan manusia, menjadi imam dan ikutan. Dan dari seorang yang sujud di hadapan batu-batu yang disusun menjadi orang yang beriman kepada Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa . . . . 

Inilah dia sekarang bereerita dan berkata:“Aku dibesarkan dalam keadaan yatim, dan pergi hijrah dalam keadaan miskin . . . .  Aku menerima upah sebagai pem­bantu pada Busrah binti Ghazwan demi untuk mengisi perutku…! Akulah yang melayani keluarga itu bila mereka sedang menetap dan menuntun binatang tunggangannya bila sedang bepergian . . . . 

Sekarang inilah aku, Allah telah menikahkanku dengan putri Busrah, maka segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Agama ini tiang penegak, dan menjadikan Abu Hurairah ikutan ummat …Ia datang kepada Nabi saw. di tahun yang ke tujuh Hijrah sewaktu beliau berada di Khaibar; ia memeluk Islam karena dorongan kecintaan dan kerinduan . . . . 

Dan semenjak ia ber­temu dengan Nabi saw. dan berbaiat kepadanya, hampir-hampir ia tidak berpisah lagi daripadanya kecuali pada saat-saat waktu tidur . . . . Begitulah berjalan selama masa empat tahun yang dilaluinya bersama Rasulullah saw. yakni sejak ia masuk Islam sampai wafatnya Nabi, pergi ke sisi Yang Maha Tinggi. 

Kita katakan: “Waktu yang empat tahun itu tak ubahnya bagai suatu usia manusia yang panjang lebar, penuh dengan segala yang baik, dari perkataan, sampai kepada perbuatan dan pen­dengaranDengan fitrahnya yang kuat, Abu Hurairah mendapat ke­sempatan yang besar yang memungkinkannya untuk memain­kan peranan penting dalam berbakti kepada Agama Allah.Pahlawan perang di kalangan shahabat, banyak ….Ahli fiqih, juru da’wah dan para guru juga tidak sedikit ….Tetapi lingkungan dan masyarakat memerlukan tulisan dan penulis. Di masa itu golongan manusia pada umumnya, jadi bukan hanya terbatas pada bangsa Arab Saja, tidak mementing­kan tulis-menulis. 

Dan tulis-menulis itu belum lagi merupakan bukti kemajuan di masyarakat manapun. nBahkan Eropah sendiri juga demikian keadaannya sejak kurun waktu yang belum lama ini. Kebanyakan dari raja-rajanya, tidak terkecuali Charlemagne sebagai tokoh utamanya, adalah orang-orang yang buta huruf tak tahu tulis baca, padahal me­nurut ukuran masa itu, mereka memiliki kecerdasan dan kemampuan besar ….

Kembali kita pada pembicaraan semula untuk melihat Abu Hurairah, bagaimana ia dengan fitrahnya dapat menyelami kebutuhan masyarakat baru yang dibangun oleh Islam, yaitu kebutuhan akan orang-orang yang dapat melihat dan memelihara peninggalan dan ajaran-ajarannya. Pada waktu itu memang ada para shahabat yang mampu menulis, tetapi jumlah mereka sedikit sekali, apalagi sebagiannya tak mempunyai kesempatan untuk mencatat Hadits-hadits yang diucapkan oleh Rasul.

Sebenarnya Abu Hurairah bukanlah seorang penulis, ia hanya seorang ahli hafal yang mahir, di samping memiliki kesempatan atau mampu mengadakan kesempatan yang diperlukan itu, karena ia tak punya tanah yang akan digarap, dan tidak pula perniagaan yang akan diurus… .

Ia pun menyadari bahwa dirinya termasuk orang yang masuk Islam belakangan, maka ia bertekad untuk mengejar ketinggalan­nya, dengan cara mengikuti Rasul terus-menerus dan secara tetap menyertai majlisnya . . .. Kemudian disadarinya pula adanya bakat pemberian Allah ini pada dirinya, berupa daya ingatannya yang luas dan kuat, Serta semakin sertambah kuat, tajam dan luas lagi dengan do’a Rasul saw., agar pemilik bakat ini diberi Allah berkat.

Ia menyiapkan dirinya dan menggunakan bakat dan kemampuan karunia Ilahi untuk memikul tanggung jawab dan meme­lihara peninggalan yang sangat penting ini dan mewariskannya kepada generasi kemudian ….Abu Hurairah bukan tergolong dalam barisan penulis, tetapi sebagaimana telah kita utarakan, ia adalah seorang yang terampil menghafal lagi kuat ingatan . . . . Karena ia tak punya tanah yang akan ditanami atau perniagaan yang akan menyibukkannya, ia tidak berpisah dengan Rasul, baik dalam perjalanan maupun di kala menetap ….

Begitulah ia mempermahir dirinya dan ketajaman daya ingatnya untuk menghafal Hadits-hadits Rasulullah saw. dan pengarahannya.  Sewaktu Rasul telah pulang ke Rafikul ‘Ala (wafat),Abu Hurairah terus-menerus menyampaikan Hadits-­hadits, yang menyebabkan sebagian shahabatnya merasa heran sambil bertanya-tanya di dalam hati, dari mana datangnya Hadits-hadits ini, kapan didengarnya dan diendapkannya dalam ingatannya...

Abu Hurairah telah memberikan penjelasan untuk menghilangkan kecurigaan ini, dan menghapus keragu-raguan yang menulari para shahabatnya, maka katanya: “Tuan-tuan telah mengatakan bahwa Abu Hurairah banyak sekali mengeluarkan Hadits dari Nabi saw. . . . Dan tuan-tuan katakan pula orang-­orang Muhajirin yang lebih dahulu daripadanya masuk Islam, tak ada menceritakan Hadits-hadits itu … ? 

Ketahuilah, bahwa shahabat-shahabatku orang-orang Muhajirin itu, sibuk dengan perdagangan mereka di pasar-pasar, sedang shahabat-shahabatku orang-orang Anshar sibuk dengan tanah pertanian mereka …. Sedang aku adalah seorang miskin, yang paling banyak menyertai majlis Rasulullah, maka aku hadir sewaktu yang lain absen .. dan aku selalu ingat seandainya mereka lupa karena ke­sibukan ….

Dan Nabi saw. pernah berbicara kepada kami di suatu hari, kata beliau: “Siapa yang membentangkan serbannya hingga selesai pembicaraanku, kemudian ia meraihnya ke dirinya, maka ia takkan terlupa akan suatu pun dari apa yang telah didengarnya daripadaku … ! “

Maka kuhamparkan kainku, lalu beliau berbicara kepadaku, kemudian kuraih kain itu ke diriku, dan demi Allah, tak ada suatu pun yang terlupa bagiku dari apa yang telah kudengar daripadanya...! 

Demi Allah, kalau tidaklah karena adanya ayat di dalam Kitabullah niscaya tidak akan kukabarkan kepada kalian sedikit jua pun! Ayat itu ialah:“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa­apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterang­an dan petunjuk, sesudah Kami nyatakan kepada manusia di dalam Kitab mereka itulahyang dikutuk oleh Allah dan dikutuk oleh para pengutuk (Malatkat-malatkat) . . . !”

Demikianlah Abu Hurairah menjelaskan rahasia kenapa hanya ia seorang diri yang banyak mengeluarkan riwayat dari Rasulullah saw.
Yang pertama: karena ia melowongkan waktu untuk me­nyertai Nabi lebih banyak dari para shahabat lainnya.

Kedua, karena ia memiliki daya ingatan yang kuat, yang telah-diberi berkat oleh Rasul, hingga ia jadi semakin kuat ….

Ketiga, is menceritakannya bukan karena ia gemar bercerita, tetapi karena keyakinan bahwa menyebarluaskan Hadits-hadits ini, merupakan tanggung jawabnya terhadap Agama dan hidup­nya. Kalau tidak dilakukannya berarti ia menyembunyikan kebaikan dan haq, dan termasuk orang yang lalat yang sudah tentu akan menerima hukuman kelalatannya. … !

Oleh sebab itulah ia harus  memberitakan, tak suatu pun yang menghalanginya dan tak seorang pun boleh melarang­nya . . . hingga pada suatu hari Amirul Mu’minin Umar berkata kepadanya: “Hendaklah kamu hentikan menyampaikan berita dari Rasulullah! Bila tidak, maka’kan kukembalikan kau ke tanah Daus..!” (yaitu tanah kaum dan keluarganya).Tetapi larangan ini tidaklah mengandung suatu tuduhan bagi Abu Hurairah, hanyalah sebagai pengukuhan dari suatu pandangan yang dianut oleh Umar, yaitu agar orang-orang Islam dalam jangka waktu tersebut, tidak membaca dan menghafalkan yang lain, kecuali al-Quran sampai ia melekat dan mantap dalam hati sanubari dan pikiran ….

Al-Quran adalah Kitab suci Islam, Undang-undang Dasar dan kamus lengkapnya, dan terlalu banyaknya cerita tentang Rasulullah saw. teristimewa lagi pada tahun-tahun menyusul wafatnya saw., saat sedang dihimpunnya al-Quran, dapat menyebabkan kesimpangsiuran dan campur-baur yang tak berguna dan tak perlu terjadi . . . !Oleh karena ini Umar berpesan: “Sibukkanlah dirimu dengan al-Quran karena dia adalah kalam Allah . . . “. Dan katanya lagi: “Kurangilah olehmu meriwayatkan perihal Rasulullah kecuali yang mengenai amal perbuatannya!”

Dan sewaktu beliau mengutus Abu Musa al-Asy’ari ke Irak ia berpesan kepadanya: “Sesungguhnya anda akan mendatangi suatu kaum yang dalam mesjid mereka terdengar bacaan al­Quran seperti suara lebah, maka biarkanlah seperti itu, dan jangan anda bimbangkan mereka dengan Hadits-hadits, dan aku menjadi pendukung anda dalam hal ini …….Al-Quran sudah dihimpun dengan jalan yang sangat cermat, hingga terjamin keasliannya tanpa dapat dirembesi oleh hal-hal lainnya ….

 Adapun Hadits, maka Umar tidak dapat menjamin bebasnya dari pemalsuan atau perubahahan atau diambilnya sebagai alat untuk mengada -ada terhadap Rasulullah saw. dan merugikan Agama Islam.. .

Abu Hurairah menghargai pandangan Umar, tetapi ia juga percaya terhadap dirinya dan teguh memenuhi amanat, hingga ia tak hendak menyembunyikan suatu pun dari Hadits dan ilmuselama diyakininya bahwa mrnyembunyikannya adalah dosa dan kejahatan.Demikianlah, setiap ada kesempatan untuk menumpahkan isi dadanya berupa Hadits yang pernah didengar dan ditangkap­nya tetap saja disampaikan dan dikatakannya ….

Hanya terdapat pula suatu hal yang merisaukan, yang me­nimbulkan kesulitan bagi Abu Hurairah ini, karena seringnya ia bercerita dan banyaknya Haditsnya yaitu adanya tukang Hadits yang lain yang menyebarkan hadits-hadits dari Rasul saw. Dengan menambah-nambah dan melebih-lebihkan hingga para. shahabat tidak merasa puas terhadap sebagian besar dari Hadits-haditsnya. Orang itu namanya Ka’ab al-Ahbaar, seorang Yahudi yang masuk Islam.

Pada suatu hari Marwan bin Hakam bermaksud menguji kemampuan menghafal dari Abu Hurairah. Maka dipanggilnya ia dan dibawanya duduk bersamanya, lalu dimintanya untuk mengabarkan hadits-hadits dari Rasulullah saw. Sementara itu disuruhnya penulisnya menuliskan apa yang diceritakan Abu Hurairah dari balik dinding. Sesudah berlalu satu tahun, dipanggilnya Abu Hurairah kembali, dan dimintanya mem­bacakan lagi hadits-hadits yang dulu itu Yang telah ditulis oleh sekretarisnya. Ternyata tak ada yang terlupa oleh Abu Hurairah walau agak sepatah kata pun … !

Ia berkata tentang dirinya: — “Tak ada seorang pun dari shabat-shahabat Rasul Yang lebih banyak menghafal Hadits dari pada aku, kecuali Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash,karena ia pandai menuliskannya sedang aku tidak . . . “.Dan Imam Syafi’I mengemukakan pula pendapatnya tentang Abu Hurairah: — “Ia seorang yang paling banyak hafal di antara seluruh perawi Hadits semasanya” Sementara Imam Bukhari menyatatakan pula: Ada kira-kira delapan ratus orang atau lebih dari shahabat tabi’indan ahli ilmu yang meriwayatkan Hadits dari Abu Hurairah”

Demikianlah Abu Hurairah tak ubah bagai suatu perpustakaan besar yang telah ditaqdirkan kelestarian dan keabadiannya ….

Abu Hurairah termasuk seorang ahli ibadat yang mendekat­kan diri kepada Allah, selalu melakukan ibadat bersama isterinya dan anak-anaknya semalam-malaman secara bergiliran; mula­- mula ia berjaga sambil shalat sepertiga malam kemudian di­lanjutkan oleh isterinya sepertiga malam dan sepertiganya lagi dimanfaatkan oleh puterinya Dengan demikian, tak ada satu saat pun yang berlalu setiap malam di rumah Abu Hurairah, melainkan berlangsung di sana ibadat, dzikir dan shalat!

Karena keinginannya memusatkan perhatian untuk me­nyertai Rasul saw. ia pernah menderita kepedihan lapar yang jarang diderita orang lain. Dan pernah ia menceritakan kepada kita bagaimana rasa lapar telah menggigit-gigit perutnya, maka diikatkannya batu dengan surbannya ke perutnya itu dan di­tekannya ulu hatinya dengan kedua tangannya, lalu terjatuhlah ia di mesjid sambil menggeliat-geliat kesakitan hingga sebagian shahabat menyangkanya ayan, padahal sama sekali bukan … !

Semenjak ia menganut Islam tak ada yang memberatkan dan menekan perasaan Abu Hurairah dari berbagai persoalan hidupnya ini, kecuali satu masalah yang hampir menyebabkannya tak dapat memejamkan mata. Masalah itu ialah mengenai ibunya, karena waktu itu ia menolak untuk masuk Islam . . . . Bukan hanya sampai di sana saja, bahkan ia menyakitkan perasaannya dengan menjelek-jelekkan Rasulullah di depannya ….

Pada suatu hari ibunya itu kembali mengeluarkan kata-kata Yang menyakitkan hati Abu Hurairah tentang Rasulullah saw., hingga ia tak dapat menahan tangisnya dikarenakan sedihnya, lalu ia pergi ke mesjid Rasul . .. . 

Marilah kita dengarkan ia menceritakan lanjutan berita kejadian itu sebagai berikut:
Sambil menangis aku datang kepada Rasulullah, lalu kata­ku: — “Ya Rasulallah, aku telah meminta ibuku masuk Islam.Ajakanku itu ditolaknya, dan hari ini aku pun baru saja me­mintanya masuk Islam. Sebagai jawaban ia malah mengeluarkan kata-kata yang tak kusukai terhadap diri anda. Karenanya mohon anda doakan kepada Allah kiranya ibuku itu ditunjuki-Nya kepada Islam …

Maka Rasulullah saw. berdoa:
 “Ya Allah tunjukilah ibu Abu Hurairah!”Aku pun berlari mendapatkan ibuku untuk menyampaikan kabar gembira tentang doa Rasulullah itu. 

Sewaktu sampai di muka pintu, kudapati pintu itu terkunci. Dari luar kedengaran bunyi gemercik air, dan suara ibu memanggilku: “Hai Abu Hurairah, tunggulah di tempatmu itu . . . !”

Di waktu ibu keluar ia memakai baju kurungnya, dan mem­balutkan selendangnya sambil mengucapkan: 
“Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa Rasu­luh . . . “

Aku pun segera berlari menemui Rasulullah saw. sambil menangis karena gembira, sebagaimana dahulu aku menangis karena berduka, dan kataku padanya: “Kusampaikan kabar suka ya Rasulallah, bahwa Allah telah mengabulkan doa anda . . . , Allah telah menunjuki ibuku ke dalam Islam … “. 

Kemu­dian kataku Pula: “Ya Rasulallah, mohon anda doakan kepada Allah, agar aku dan ibuku dikasihi oleh orang-orang Mu’min, baik laki-laki maupun perempuan!” 

Maka Rasul berdoa:
 “Ya Allah, mohon engkau jadikan hamba-Mu ini beserta ibunya
 dikasihi oleh sekalian orang-orang Mu’min, laki-laki dan pe­rempuan … !”

Abu Hurairah hidup sebagai seorang ahli ibadah dan seorang mujahid . .. tak pernah ia ketinggalan dalam perang, dan tidak Pula dari ibadat. 

Di zaman Umar bin Khatthab ia diangkat sebagai amir untuk daerah Bahrain, sedang Umar sebagaimana kita ketahui adalah seorang yang sangat keras dan teliti terhadap pejabat-pejabat yang diangkatnya. 

Apabila ia mengangkat se­seorang sedang ia mempunyai dua pasang pakaian maka sewaktu meninggalkan jabatannya nanti haruslah orang itu hanya mem­punyai dua pasang pakaian juga … malah lebih utama kalau ia hanya memiliki satu pasang saja! 

Apabila waktu meninggalkan jabatan itu terdapat tanda-tanda kekayaan, maka ia takkan luput dari interogasi Umar, sekalipun kekayaan itu berasal dari jalan halal yang dibolehkan syara’! Suatu dunia lain . . yang diisi oleh Umar dengan hal-hal luar biasa dan mengagumkan … !Rupanya sewaktu Abu Hurairah memangku jabatan sebagai kepala daerah Bahrain ia telah menyimpan hartayang berasal dari sumber yang halal. Hal ini diketahui oleh Umar, maka ia pun dipanggilnya datang ke Madinah  . . . 

Dan mari kita dengar­kan Abu Hurairah memaparkan soal jawab ketus yang ber­langsung antaranya dengan Amirul Mu’minin Umar;
  Kata Umar: “Hai musuh Allah dan musuh kitab-Nya, apa engkau telah mencuri harta Allah?” 
Jawabku: “Aku bukan musuh Allah dan tidak Pula musuh Kitab-Nya …hanya aku menjadi musuh orang yang memusuhi keduanya dan aku bukanlah orang yang mencuri harta Allah...!” 

 Dari mana kau peroleh sepuluh ribu itu?  Kuda kepunyaanku beranak-pinak dan pemberian orang berdatangan . . . .  Kembalikan harta itu ke perbendaharaan negara (baitul maal) … !Abu Hurairah menyerahkan hartanya itu kepada Umar, kemudian ia mengangkat tangannya ke arah langit sambil ber­doa: “Ya Allah, ampunilah Amirul Mu’minin …….Tak selang beberapa lamanya. Umar memanggil Abu Hurai­rah kembali dan menawarkan jabatan kepadanya di wilayah baru. Tapi ditolaknya dan dimintanya maaf karena tak dapat menerimanya. 

Kata Umar kepadanya: — “Kenapa, apa sebab­nya?”

Jawab Abu Hurairah: “Agar kehormatanku tidak sampai tercela, hartaku tidak dirampas, punggungku tidak dipukul...!” Kemudian katanya lagi: “Dan aku takut menghukum tanpa ilmu dan bicara tanpa belas kasih … !”

Pada suatu hari sangatlah rindu Abu Hurairah hendak ber­temu dengan Allah …. Selagi orang-orang yang mengunjunginya mendoakannya cepat sembuh dari sakitnya, ia sendiri berulang­-ulang memohon kepada Allah dengan berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku telah sangat rindu hendak bertemu dengan-Mu, Semoga Engkau pun demikian . . . !” 

Dalam usia 78 tahun, tahun yang ke-59 Hijriyah ia pun berpulang ke rahmatullah. Di sekeliling orang-orang shaleh penghuni pandam pekuburan Baqi’, di tempat yang beroleh berkah, di sanalah jasadnya di­baringkan . . . ! 

Dan sementara orang-orang yang mengiringkan jenazahnya kembali dari pekuburan, mulut dan lidah mereka tiada henti-hantinya membaca Hadits yang disampaikan Abu Hurairah kepada mereka dari Rasul yang mulia ….

Salah seorang di antara mereka yang baru masuk Islam sertanya kepada temannya: “Kenapa syekh kita yang telah berpulang ini diberi gelar Abu Hurairah (bapak kucing)? 

Tentu temannya yang telah mengetahui akan menjawabnya: “Di waktu jahiliyah namanya dulu Abdu Syamsi, dan tatkala ia memeluk Islam, ia diberi nama oleh Rasul dengan Abdurrahman. 

Ia sangat penyayang kepada binatang dan mempunyai seekor kucing, yang selalu diberinya makan, digendongnya, dibersihkannya dan diberinya tempat. 

Kucing itu selalu menyertainya seolah-olah bayang-bayangnya.

Inilah sebabnya ia diberi gelar “Bapak kucing”, moga-moga Allah ridla kepadanya dan menjadikannya ridla kepada Allah … !

(35)  
ABU HURAIRAH  
The Memory of the Revelation Era 

        It is true that a person's intelligence reckons against him, and those who own extraordinary gifts often pay the price at a time when they should receive a reward or thanks. The noble Companion Abu Hurairah is one of those. He had an unusual gift which was his strong memory.  

        He (May Allah be pleased with him) was good in the art of listening and his memory was good in the art of storing. He used to listen, understand, and memorize; then he hardly forgot one word, no matter how long his life lasted. That is why his gift made him memorize and narrate the Prophetic traditions (Hadiths) more than any of the Companions of the Messenger (PBUH).  

        During the period of Al-Wada'iin, the writers who were specialized in telling lies about the Messenger of Allah (PBUH) misused Abu Hurairah's wide reputation for narrating about the Messenger of Allah (PBUH), and whenever they fabricated a hadith they used to say, "Abu Hurairah said...." By so doing they were attempting to make Abu Hurairah's reputation and status as a narrator about the Prophet (PBUH) questionable. However, because of the extraordinary efforts exerted by great reverent people who devoted their lives to serve the Prophetic Hadith and reject every falsehood, Abu Hurairah (May Allah be pleased with him) was saved from the lies and fabrications that the vicious wanted to infiltrate into Islam through him and to make him bear their sins.  

       Now, when we hear a preacher, lecturer or the one who delivers the Friday sermon saying this transmitted expression, "Narrated by Abu Hurairah (May Allah be pleased with him): The Messenger of Allah (PBUH) said,..."  

        I say when you hear this name in that form, or when you meet it many times in books of hadith, biography, jurisprudence, and religious books generally, you have to know that you are meeting the most interesting personality of the Companions with regard to his ability and talents of listening because of the wonderful traditions and wise instructions that he memorized about the Prophet (PBUH), which was his great fortune and incomparable gift.  

        Having this gift (May Allah be pleased with him), he was naturally one of the Companions who were most capable of vividly reminding you of those days when the Messenger (PBUH) and his Companions were living and of transporting you to that horizon which witnessed the glorious deeds of the Prophet (PBUH) and his Companions who gave vitality and significance to life and led to the right path.  

        So if these lines have moved your curiosity to get introduced to Abu Hurairah and hear some things about him, here is what you want.  

        He was one of those who reflected the Islamic revolution and all the tremendous changes that it brought about! He changed from a workman to a master, from a lost man in the crowd to an Imam and outstanding man, from a worshiper of accumulated stones to a believer in Allah, the One, the irresistable.  

        He said. I was brought up as an orphan, and I emigrated as a poor man. I worked for Busrah Bint Ghazwaan for my daily food. I used to serve them when they dismounted, and walked near them when they rode. And now Allah has married her to me. All praise to Allah Who made the religion our support and made Abu Hurairah an lmam.  

        It was A.H.7 when he went to the Prophet (PBUH), while the latter was in khaibar, and embraced Islam. From the time he pledge allegiance to the Prophet (PBUH), he would not part from him except to sleep. Thus were the four years in which he lived with the Messenger of Allah (PBUH) from the time he embraced Islam till the Prophet died. We say that those four years were very long, full of virtuous words, deeds, and listening.  

        By virtue of his good nature, Abu Hurairah was able to play a prominent role by which he could serve the religion of Allah. There were many war heroes among the Companions. There were many jurisprudents, propagators of the faith, and teachers, but the milieu and people lacked writing and scribes. In that time, mankind - not only Arabs - was not much concerned with writing. It was not a sign of development in any society. It was the same even in Europe not so long ago. Most of its kings, with Charlemagne at the top of the list, could not read or write, although they were intelligent and capable at the same time.  

        Let us go back to our talk about Abu Hurairah. He realized by his nature the need of the new society that Islam was building for those who would keep its legacy and teachings. There were scribes among the Companions who used to write, but they were few. Besides, some of them had no free time to be able to write every hadith that the Messenger uttered.  

        Abu Hurairah was not a scribe, but learned by heart, and he had this necessary free time, for he had no land to plant or commerce to take care of. Believing that he had embraced Islam late, he intended to compensate for what he had missed by accompanying and sitting with the Messenger (PBUH). Besides, he himself knew the gift Allah had bestowed on him, which was his broad, retentive memory, which became even broader and stronger after the Messenger (PBUH) had invoked Allah to bless it for him. Then why should he not be one of those who took the burden of keeping this legacy and transmitting it to the coming generations? Yes, this was the role that his talents made possible for him to play, and he had to play it without flagging.  

        Abu Hurairah was not one of the scribes, but, as we said, he had a strong memory that made him retain things in his mind very quickly. He had neither land to plant nor commerce to keep him busy; hence he used to not part from the presence of the Messenger, neither in travel nor at other times.  

       Thus, he devoted himself and his precise memory to memorizing the hadiths and instructions of the Messenger of Allah (PBUH). When the Prophet (PBUH) died, Abu Hurairah kept narrating his traditions, which made some Companions wonder how he could know all those hadiths?  When did he hear them?  

       Abu Hurairah (May Allah be pleased with him) shed light on this phenomenon, as if defending himself against the doubts of some of the Companions.  

       He said: You say that Abu Hurairah narrates much about the Prophet (PBUH) and that the Muhaajiruun who preceded him to Islam do not narrate those traditions. But my friends among the Muhaajiruun were busy with their contracts in the market, and my friends among the Ansaar were busy with their lands. I was a poor man, always sitting with the Messenger of Allah, so I was present when they were absent, and I memorized if they forgot. Besides, one day the Prophet (PBUH) said, "Whoever spreads his garment till I finish my speech, then collects it to his chest, will never forget whatever I've said!" Therefore, I spread my clothes and he directed his speech to me, then I collected it. By Allah, I did not forget what he said to me later on. By Allah, I would have narrated nothing at all, but for a verse of Allah's Book:

 " Surely those who conceal the manifest Revelations and the guidance which We have revealed, after We have made it clear for the people in the Book, those it is who shall be cursed by GOD and by those who curse"
 (2:159).  

        This was the way Abu Hurairah explained the reason for being unique in narrating so many hadiths about the Messenger of Allah (PBUH). First, he had the time to accompany the Prophet more than any one else. Second, he had a strong memory blessed by the Messenger so it became stronger. Third, he did not narrate because he was fond of narrating but because spreading those traditions was the responsibility of his religion and life; otherwise he would be a concealer of the good and right, negligent of his duties, and would deserve the punishment of the negligent.  

 For these reasons he kept narrating, and nothing could stop or hinder him, even when `Umar, the Commander of the Faithful, told him, "Stop narrating about the Messenger of Allah, or I'll send you to the land of the Daws" - the land of his people. But this prohibition from the Commander of the Faithful was not an accusation of Abu Hurairah, but a support of a theory `Umar was adopting and stressing, that the Muslims during this very period should read and memorize nothing but the Qur'aan so that it would settle in their hearts and minds. The Qur'aan is Islam's book, constitution and dictionary. Narrating about the Messenger of Allah (PBUH) abundantly, especially in those years that followed his death (PBUH) when the Qur'aan was being compiled, caused unnecessary confusion. That is why `Umar used to say, "Get busy with the Qur'aan; it is Allah's words. He also used to say, "Narrate a little about the Messenger of Allah but for what can be followed."  

        When he sent Abu Muusaa Al-Ash'ariy to Iraq, he said to him, "You are going to people where you can hear the sound of the Qur'aan in their mosques as if it were a drone of bees. Let them do what they are doing and don't occupy them with traditions. I'm your partner in this." The Qur'aan had been compiled in a warranted way such that nothing had crept into it. But `Umar could not guarantee that some traditions were not slanted, forged, or taken as a way to tell lies about the Messenger of Allah (PBUH) and thus harm Islam.  

       Abu Hurairah appreciated `Umar's point of view, but he was also sure of himself and his honesty. He did not want to conceal anything of the traditions or knowledge that he thought would be a sin to conceal. Hence, whenever he found a chance to unload the traditions he had heard or understood from his breast, he did so.  

        An important reason which played a prominent role in provoking troubles around Abu Hurairah for talking about and narrating many traditions was the fact that there was another narrator in those days who used to narrate and exaggerate about the Messenger (PBUH), and the Muslim Companions were not certain of his traditions. This narrator was Ka'b Al-Ahbaar, who was a Jew who had embraced Islam.  

        Once Marwaan Ibn Al-Hakam wanted to examine Abu Hurairah's ability to memorize. He invited him to sit with him and asked him to narrate about the Messenger of Allah (PBUH) while a scribe sat behind a screen and was told to write whatever Abu Hurairah said. After a year, Marwaan invited him once again and asked him to narrate the same traditions the scribe had written. Abu Hurairah had not forgotten a single word!  

        He used to say about himself, "No one among the companions of the Messenger of Allah (PBUH) narrates about him more than I do except `Abd Allah Ibn Amr Ibn Al-'Aas. He used to write, but I didn't."  

       Imam Ash- Shaafiy (May Allah be pleased with him) said about him, "No one in his period was more capable of narrating traditions with such a memory than Abu Hurairah."  

        Al Bukhaariy (May Allah be pleased with him) said, "Almost eight hundred or more Companions, followers (the generation after the Companions) and people of knowledge narrated through Abu Hurairah." Thus, Abu Hurairah was a big, immortal school.  
    
    Abu Hurairah (May Allah be pleased with him) was an ever- and oft-returning worshiper who used to take turns with his wife and daughter in praying the whole night. He prayed one third of the night, his wife another third, and his daughter a third. Thus, not one hour of the night passed in Abu Hurairah's house without prayers. In order to be free to accompany the Messenger of Allah (PBUH), he suffered the cruelty of hunger like nobody else. He used to talk about the times when hunger was so cruel that he would put a stone on his stomach, press his liver with his hand, and fall in the mosque while twisting that stone such that some of his friends thought that he was epileptic, but he was not.  

        When he embraced Islam, he had only one continuously oppressing problem that would not let him sleep. That problem was his mother, for from that day onwards she refused to embrace Islam. Not only that, but she also used to hurt her son by speaking ill of the Messenger of Allah. One day she spoke to Abu Hurairah about the Messenger of Allah (PBUH) in a way that he hated. So, he left her crying and sad and went to the Messenger's mosque.  

       Let us listen to him narrate the rest of the story: I went to the Messenger of Allah crying and said, "O Messenger of Allah, I used to call Umm Hurairah to Islam, and she used to refuse. Today, I called her, but she spoke to me about you in a way that I hated. Invoke Allah to guide Umm Hurairah to Islam." 

So the Messenger of Allah (PBUH) said, "O Allah, guide Umm Hurairah." Then I ran out to give her the good news about the Messenger of Allah's invocation to Allah. When I arrived at the door, I found it closed, and I beard the sound of water. She called, "Stay where you are, Abu Hurairah." Then she put on her shift and veil and she came out saying, "I bear witness that there is no god but Allah and that Muhammad is His slave and Messenger." So I hurried to the Messenger of Allah (PBUH) crying out for joy as I had cried for sadness and I said, "Here is good news, O Messenger of Allah. Allah has answered your invocation. Allah has guided Umm Hurairah to Islam." I added, "O Messenger of Allah, invoke Allah to make all the believers love me and my mother." He said, "O Allah, make every believer love this slave of Yours and his mother."  
    
    Abu Hurairah led the life of a worshiper and fighter. He did not miss a battle or a pious deed. 

During the caliphate of `Umar lbn Al-Khattaab (May Allah be pleased with him), he made him governor of Bahrain. `Umar, as we know, used to call his rulers sternly to account. If he made one of them governor when he had two garments, on the day he ceased to govern, he should still own no more than those two garments, and it would be better to leave office with only one ! But if he left office with any display of wealth, he would not escape `Umar's reckoning, even if the source of his fortune was halaal. It was another world that `Umar filled with wonders and miracles.  

       When Abu Hurairah was made governor of Bahrain, he saved some money from halaal sources However, Umar knew and invited him to Al-Madiinah.  

       Let Abu Hurairah narrate the quick conversation that took place between them: `Umar said to me, "O the enemy of Allah and His Book, did you steal the money of Allah?" I said, "I am not the enemy of Allah or His Book. I am the enemy of their enemy. Besides, I am not the one who steals the money of Allah!" He said, "Then how did you gather 10,000?" I said, "I had a horse that had foaled repeatedly." `Umar said, "Put it (the money) in the Bait Al-Maal (the treasury)."  
        Abu Hurairah gave the money to `Umar and raised his hands towards the sky saying, "O Allah, forgive the Commander of the Faithful." After a while `Umar called Abu Hurairah and offered him the governorship again. However, he refused and apologized. `Umar asked why. Abu Hurairah said, "So that my honor would not be at stake, my money would not be taken, and my back would not be beaten." He added, "I'm afraid I would judge without knowledge or speak without patience."  

       One day, his yearning to meet Allah intensified. While his visitors were invoking Allah to cure him of his disease, he was imploring Allah saying, "O Allah, I love to meet You, so love to meet me." In A.H. 59, he died at the age of 78. His calm body was buried in a blessed place among the reverent inhabitants of Al-Baqii'  

        Returning from his funeral, the people kept reciting many of the traditions that he had taught them about the noble Messenger. One of the recent Muslims asked his friends, "Why was our deceased sheikh called Abu Hurairah?" His knowing friend answered, "In the pre Islamic time his name was `Abd Shams. When he embraced Islam, the Messenger called him `Abd Ar-Rahman. He used to be sympathetic towards animals. He had a cat that he used to feed, carry, clean, and shelter, and it used to accompany him as if it were his shadow. Thus, he was called Abu Hurairah, which means father of the small cat. May Allah be pleased with him."  
 



.¤ª"˜¨¯¨¨ Abu Hurairah oAbu Hurairah¸,ø¨¨"ª¤.


Categories: