acebook

Para Sahabat - The Companions

.¤ª"˜¨¯¨¨  Zaid Bin Tsabit oZaid Ibn Thaabit¸,ø¨¨"ª¤.
 Penghimpun Kitab Suci Al-Qur'an. 



Bila anda membawa al-Quran dengan tangan kanan anda, dan menghadapkan wajah anda kepada-Nya dengan sepenuh hati,dan selanjutnya menelusuri lembaran demi lembaran, surat demi surat atau ayat demi ayat, maka ketahuilah bahwa di antara orang-orang yang telah berjasa besar terhadap anda, hingga anda dapat bersyukur dan mengenal karya besar ini, adalah seorang manusia utama namanya Zaid bin Tsabit.

Dan dalam mengikuti peristiwa-peristiwa pengumpulan al-Quran sampai menjadi satu mushaf (buku), akan selalulah diingat orang bahkan tak dapat dilupakan nama shahabat besar ini.

Dan di kala diadakan penaburan bunga sebagai penghormatan dan kenang-kenangan terhadap mereka yang mendapat berkat karena jasa mereka yang tak ternilai dalam menghimpun, menyusun, menertibkan dan memelihara kesucian al-Quran, maka Zaid bin Tsabit merupakan pribadi yang mempunyai hak atau jatah terbesar dalam menerima bunga-bunga penghormatan dan penghargaan itu.Ia adalah seorang Anshar dari Madinah …. Sewaktu Rasul­ullah saw. datang berhijrah ke Madinah, umurnya baru 11 tahun. Anak kecil ini ikut masuk Islam bersama-sama keluarganya yang lain yang menganut Islam, dan ia mendapat berkat karena didoakan oleh Rasulullah sawIa dibawa oleh orang tuanya berangkat bersama-sama ke perang Badar tapi Rasulullah menolaknya ikut, karena umur dan tubuhnya yang masih kecil.

Di perang Uhud ia menghadap lagi bersama teman-teman sebayanya kepada Rasul. Dengan berhiba-hiba, mereka memohon agar dapat diterima Rasul dalam barisan Mujahidin, bahkan para keluarga anak-anak ini menyokong permintaan itu dengan gigih, penuh pengharapan . . . .Rasul melayangkan pandangannya ke pasukan berkuda cilik itu dengan pandangan terima kasih. Tapi kelihatannya beliau masih keberatan untuk membawa mereka dalam barisan mem­sela dan mempertahankan Agama Allah.

Tetapi salah seorang di antara mereka yaitu Rafi’ bin Khudaij tampil ke hadapan Rasulullah saw. dengan membawa tombaknya Serta mempermainkannya dengan gerakan yang mengagumkan, lalu katanya kepada Rasulullah saw.: “Sebagaimana anda lihat ya Rasulullah, aku. adalah seorang pelempar tombak yang mahir, maka mohon aku diidzinkan untuk ikut … !”

Rasul mengucapkan selamat terhadap pahlawan muda yang baru naik ini dengan satu senyuman manis dan ramah, lalu meng­idzinkannya turut.Melihat itu teman-temannya yang lain pun bangkit semangatnya. Maka tampil lagi ke depan anak muda yang kedua, namanya Samurah bin Jundub, dan dengan penuh sopan diperlihatkannya kedua lengannya yang kuat kekar, sementara sebagian ke­luarganya mengatakan kepada Rasul: “Samurah mampu me­rebahkan badan orang yang tinggi sekalipun … !”

Rasul pun berkenan pula melontarkan senyumannya yang menawan dan menerimanya dalam barisan . . .. Kedua anak muda itu masing-masing telah berumur lima selas tahun disamping mempunyai pertumbuhan badan yang kuat.Dari kelompok anak-anak itu masih tinggal enam orang lagi, di antaranya Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar …. Mereka terus Saja berusaha dengan segala upaya minta ikut, kadang-kadang dengan merendah-rendah dan mengharap, kadang­-kadang dengan menangis dan lain kali dengan memamerkan otot-otot lengan mereka. Tetapi karena umur mereka yang masih terlalu muda dan tulang tubuh mereka yang masih lemah, Rasul lalu menjanjikan mereka untuk pertahanan di masa mendatang….

Begitulah Zaid bersama kawan-kawannya baru mendapat giliran mengikuti barisan Rasulullah sebagai prajurit pemsela Agama Allah dalam perang Khandaq, yakni pada tahun yang kelima dari hijrah.Kepribadiannya selaku seorang Muslim yang beriman terus tumbuh dengan cepat dan menakjubkan. Ia bukan hanya terampil sebagai pejuang, tapi juga sebagai ilmuwan dengan bermacam-macam bakat dan kelebihan. Ia tak henti-hentinya menghapal al-Quran, menuliskan wahyu untuk Rasulnya, dan meningkatkan diri dalam ilmu dan hikmat. Dan sewaktu Rasul mulai menyampaikan da’wahnya ke luar negeri secara merata, dan mengirimkan surat-surat kepada raja-raja dan kaisar-kaisar dunia, maka diperintahkannyalah Zaid mempelajari sebagian bahasa asing itu yang berhasil dilaksanakannya dalam waktu yang singkat . . . .

Demikianlah kepribadian Zaid bin Tsabit menjadi cemerlang, dan ia dapat menempatkan diri dalam lingkungan pergaulan yang baru pada kedudukan yang tinggi, hingga ia pun jadi tumpuan penghormatan dan penghargaan masyarakat Islam. 

Berkata Sya’bi:“Pada suatu kali Zaid hendak pergi berkendaraan, maka Ibnu Abbas lalu memegangkan tali kendali kudanya . . . . 

Kata Zaid kepadanya:  “Tak usahlah, wahai putera paman Rasulullah . . . !” 

yang segera dijawab oleh Ibnu Abbas:  “Tidak, memang beginilah seharusnya kami lakukan terhadap ulama kami … !”

Berkata pula Qabishah: “Zaid di Madinah mengepalai peradilan urusan fatwa, qira’at dan soal pembagian pusaka . . . . “. 

Dan berkata pula Tsabit bin Ubeid: “Jarang aku melihat seseorang yang jenaka di rumahnya, tetapi paling disegani di majlisnya seperti Zaid”.

 Dan kata Ibnu Abbas pula: “Tokoh-tokoh terkemuka dari shahabat-shahabat Muhammad saw. tahu betul bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang dalam ilmunya … !”

Puji-pujian tentang kelebihannya itu yang dikemukakan secara berulang-ulang oleh shahabat-shahabatnya, dapatlah menambah pengertian kita terhadap tokoh yang oleh taqdir telah disediakan baginya tugas terpenting di antara semua tugas dalam sejarah Islam, yaitu tugas menghimpun al-Quran.Semenjak wahyu mulai turun, dan mengambil tempat di hati Rasul agar beliau termasuk golongan orang-orang yang menyampaikan peringatan dan perhatian, mengemukakan dan melaksanakan al-Quran dengan menyampaikan ayat-ayat yang mempesonakan ini:

“Bacalah dengan Nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang telah mengajar dengan pena. Mengajari manusia apa-apa yang tidak diketahuinya … !”   
(Q.S. 96 al-’Alaq: 1 — 5)

Sejak permulaan itu, wahyu turun menyertai Rasulullah saw. setiap beliau berpaling menghadapkan wajahnya ke hadlirat Allah sambil mengharapkan nur dan petunjuk-Nya.  Wahyu turun berangsur-angsur sedikit demi sedikit, seayat demi seayat . . . . Dan turunnya wahyu itu selama jangka waktu kerasulan, di sela-sela peristiwa di mana Nabi selesai menghadapi suatu peperangan, kembali menghadapi peperangan yang lain . ” di kala ia menggagalkan suatu tipu muslihat perang musuh, beralih menghadapi muslihat mereka yang lain, dan yang lain lagi. ‘ ” dan di saat beliau membina dunia baru, yakni baru dengan arti seluas kata . . . wahyu itu tetap turun, sedang Rasul membacakan dan menyampaikannya ….Maka di sanalah ada satu kelompok yang diberkati yang menumpahkan segala minat dan perhatian mereka terhadap al-Quran sejak hari-hari pertama . . . . Sebagian tampil menghapalkannya sekuasanya, dan sebagian yang lain mempunyai keterampilan menulis, memelihara ayat-ayat tersebut dengan tulisan-tulisan mereka.

Dalam jangka waktu lebih kurang duapuluh satu tahun, di mana al-Quran turun ayat demi ayat, atau beberapa ayat disusul oleh beberapa ayat, sesuai dengan tuntutan keadaan dan sebab-sebabnya, maka mereka yang ahli menghafal dan menulis­kannya itu, dalam melaksanakan amal pekerjaan mereka, men­dapat taufik yang besar dari Allah Ta’ala ….

Al-Quran tidak turun sekaligus atau sekali onggok, karena ia bukanlah kitab yang dikarang atau artikel yang disusun …. Sesungguhnya ia adalah suatu dalil dan pedoman bagi suatu ummat baru yang dibangun secara alamiah, sebingkaih demi sebingkaih dan hari demi hari, hingga bangkitlah ‘aqidah dan keyakinan, terbentuk perasaan hatinya, akal pikiran dan iradat kemauannya menurut kehendak Ilahi. la tidak memerlukan alasan, tetapi menuntun dan menggembleng manusia dari ummat ini untuk menempuh jalan ketaatan yang sempurna menuruti kehendak Allah swt.

Oleh karena itu al-Quran datang secara berkala dan terbagi­-bagi, sesuai dengan keperluan yang terjadi dalam perjalanannya yang terus berkembang dan situasi yang selalu berubah serta kendali yang berbeda arah ….Sebagaimana telah kami utarakan dahulu, tidak sedikit ahli baca dan ahli hafal al-Quran yang mencatat atau menuliskannya. 

Di antara pemimpin-pemimpinnya ialah Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas, serta seorang yang mempunyai kepribadian yang mulia yang sedang kita bicarakan sekarang ini, Zaid bin Tsabit, semoga Allah ridla kepada mereka semua . . . .

Sesudah sempurna turun wahyu, dan pada masa-masa yang terakhir dari turunnya Rasul mengulang membacakannya kepada Muslimin, dengan menertibkan susunan Surat-Surat dan ayat-ayat nya . . . . Dan sesudah wafatnya saw. Kaum Muslimin segera disibukkan oleh peperangan menghadapi kaum yang murtad …. 

Dalam pertempuran Yamamah yang telah kita bicarakan dahulu, yakni di kala membicarakan Khalid bin Walid dan Zaid bin Khatthab, banyak qurban berjatuhan sebagai syuhada’ dari golongan ahli baca dan ahli hafal al-Quran . 

Keadaan itu mengkhawatirkan. Dan belum lagi api kemurtadan padam, maka Umar dengan rasa cemas, segera menghadap Khalifah Abu Bakar Shiddiq r.a. dan dengan gigih memohon kepada beliau agar para qari’ dan huffadh segera diperintahkan menghimpun al­Quransebelum mereka keburu gugur atau mati syahid ….

Khalifah pun bershalat istikharah kepada Tuhannya . . . lalu berunding dengan para shahabatnya dan kemudian memanggil Zaid bin Tsabit, sembari berkata kepadanya: “Kamu adalah seorang anak muda yang cerdas, kami tidak meragukan kamu . . . !”

 Lalu diperintahkannya untuk segera memulai untuk menghimpun al-Quranul Karim, dengan meminta bantuan para ahli yang berpengalaman dalam soal ini.

Maka bangkitlah Zaid melakukan amal bakti yang kepadanya tergantung masa depan Islam seluruhnya sebagai suatu Agama…! Dalam melaksanakan tugas yang sangat besar dan penting ini Zaid berhasil dengan amat gemilang.

 Tiada henti-hentinya ia bekerja menghimpun ayat-ayat dan Surat-Surat dari dada para penghafal dan dari catatan serta tulisan, dengan meneliti dan mempersamakan serta memperbandingkan satu dengan lainnya, hingga akhirnya dapatlah dihimpun al-Quran yang tersusun dan teratur rapi ….

Amal karyanya ini dinilai bersih oleh kata sepakat para shahabat semoga ridla Allah kepada mereka yang hidup semasa dengan Rasul dan selalu mendengarkannya dari beliau selama tahun-tahun kerasulan, teristimewa para ulama, para penghafal dan penulisnya ….Dan berkatalah Zaid di waktu ia melukiskan kesukaran besar yang dihadapinya mengingat kesucian tugas dan kemuliaan­nya: 

“Demi Allah, seandainya mereka memintaku untuk me­mindahkan gunung dari tempatnya, akan lebih mudah kurasa dari perintah mereka menghimpun al-Quran … !”

Benarlah . . . , sesungguhnya Zaid lebih suka memikul satu atau beberapa gunung di atas pundaknya, daripada ia sampai tersalah bagaimanapun kecilnya dalam menuliskan ayat atau menyusunnya menjadi Surat sesuai dengan yang pernah dituntunkan oleh Rasulullah. Tak ada bahaya atau kecemasan yang lebih besar menimpa hati nuraninya dan Agamanya . . . . melebihi kesalahan seperti ini, bagaimanapun juga kecilnya dan tanpa disengaja olehnya …. Tetapi taufik Allah mendampinginya, dan selain itu janji-Nya pun bersamanya, firman-Nya:

“Sesungguhnya Kami yang menurunkan peringatan (al‑Quran), dan sesungguhnya Kamilah yang memeliharanya… 
(Q.S. 15 al-Hijr: 9).

Maka berhasillah Zaid melaksanakan tugasnya yang penting itu, dan telah diselesaikannya kewajiban dan tanggung jawabnya sebaik-baiknya ….Ini merupakan tahap pertama menghimpun al-Quran Tetapi penghimpunan kali ini masih tertulis dalam banyak mashaf.

 Dalam mashaf-mashaf itu ada perbedaan-perbedaan tanda-tanda harakat yang merupakan formalitas selaka, namun pengalaman meyakinkan para shahabat Rasul saw. keharusan mempersatukan semua dalam satu mashaf saja.

Maka di masa Khalifah Utsman r.a. di kala Kaum Muslimin terus-menerus melanjutkan perjuangannya dalam membebaskan ummat manusia dari penindasan penguasa di negeri-negeri lain, meninggalkan kota Madinah dan merantau ke pelosok-pelosok yang jauh . . . di saat setiap harinya orang berbondong-bondong masuk Islam dan berjanji setia kepadanya, waktu itu tampaklah dengan jelas hal-hal yang berbahaya yang diakibatkan oleh ber­bilangnya mashaf, yakni timbulnya perbedaan bacaan terhadap al-Quran, sampai-sampai di kalangan para shahabat yang mula­-mula dan angkatan pertama ….

Oleh karena itu, segolongan shahabat r.a. yang dikepalai oleh Hudzaifah ibnul Yaman tampil menghadap Utsman, dan menjelaskan keperluan yang mendesak untuk menyatukanmashaf .. .. Khalifah pun melakukan shalat istikharah kepada Tuhannya dan berunding dengan shahabat-shahabatnya . . . Dan sebagaimana Abu Bakar dulu meminta tenaga Zaid bin Tsabit, sekarang Utsman meminta bantuan tenaganya pula. ….Zaid lalu mengumpulkan shahabat-shahabat dan orang-orang yang dapat membantunya. 

Mereka ambil beberapa mashaf dari rumah Hafshah puteri Umar r.a. yang selama ini dipelihara dengan baik di sana. Dan mulailah Zaid dan para shahabatnya menggarap pekerjaan ini ….

Semua mereka yang membantu Zaid adalah penulis-penulis wahyu dan penghafal-penghafal al-Quran …. 

Namun, bila ter­dapat perbedaan  dan ternyata sedikit sekali terdapat perbedaan. itu mereka selalu berpegang kepada petunjuk dan pendapat Zaid dan menjadikannya sebagai alasan kuat dan kata putus!

Dan sekarang di kala kita dapat membaca al-Quranul Karim itu dengan mudah . . . atau kita mendengarnya dibaca orang dengan dilagukan . . . hampir-hampir tidak terbayang dalam pikiran kita kesukaran-kesukaran hebat yang dialami oleh orang­orang yang telah ditentukan Allah untuk menghimpun dan memeliharanya… !

Sungguh, tak ada bedanya dengan kedahsyatan yang mereka alami dan nyawa-nyawa yang mereka qurbankan, di kala mereka berjihad di jalan Allah, untuk mengukuhkan berdirinya Agama yang benar di muka bumi ini, dan melenyapkan kegelapan dengan cahayanya yang benderang ….



(31)  
ZAID IBN THAABIT  
The Compiler of Qur'aan! 


        If you hold the Holy Qur'aan with your right hand and concentrate your eyes upon it, and go on applying yourself eagerly and meticulously to its verdant meadows, chapter by chapter, verse by verse, remember that among those who deserve all gratitude and appreciation for such an accomplishment is a great venerable called Zaid Ibn Thaabit!  

        The event of compiling the Qur'aan into one Holy Book is only mentioned in relation with that great Companion.  

        When roses of honor are scattered on the day of remembrance of all the blessed ones who deserve credit for the compilation and preservation of the Qur'aan and putting it into its right order, Ibn Thaabit's share of those roses will be the greatest.  

        He was an Ansaar from Al-Madiinah. When the Prophet (PBUH) reached Al-Madiinah in his Hijrah, Zaid was eleven years old. The young boy embraced Islam together with the Muslims of his clan and was then blessed by a prophetic supplication of Allah.  

        His father took him to take part in the Battle of Badr, but the Prophet sent him back because of his tender age and body.  
        
On the day of Uhud, Zaid went with a group of veterans to the Prophet (PBUH), begging humbly to be accepted into any of the veteran ranks. Their relatives were more insistent, begging and hoping. The Prophet (PBUH) took a thankful look at the young horseman, seeming as if he was going to apologize for not recruiting them in this battle also. However, one of them, Raafi' Ibn Khudaij, approached the Prophet (PBUH) holding a lance, moving it skillfully with his right hand He then said to the Prophet (PBUH), "As you can see, I am a spearman. I can throw very well. Please let me!"  

       The Prophet (PBUH) greeted the mature and energetic young man with a delightful smile, then he allowed him. The blood burst into the veins of his peers.  

        The second who approached was Samurah Ibn Jundub, who set off waving with this strong hands so that some of his relatives said to the Prophet,"Samurah will kill Raafi'." The Prophet (PBUH) greeted him with a kind smile and allowed him.  

        Both Samurah and Raafi" were already 15 years old, with strong manly shapes. Six of the young peers were left, among them Zaid Ibn Thaabit and `Abd Allah Ibn `Umar. They set out to do their best, humbly begging the first time, weeping and crying the second time, and flexing their muscles the third time. However, they were too young and their bodies were still unripe, so the Prophet (PBUH) promised them to take part in the next battle.  

       That is why Zaid Ibn Thaabit began to play the role of a warrior in the cause of Allah on the Day of Al-Khandaq, in  A.H. 5.  

        His believing, faithful personality was developing rapidly and amazingly. He was not just proficient as a warrior but also as an intellectual possessing various different merits. He followed up the Qur'aanic revelation, learning it by heart, writing it for the Prophet (PBUH), proving to be exquisite in terms of knowledge and wisdom. When the Prophet (PBUH) began to proclaim his message to the outer world and to send his messages to kings and emperors, he ordered Zaid to get acquainted with some of their languages, which is what he actually did in a very short time.  

In this way Zaid Ibn Thaabit's personality became brighter and occupied a high position in the newly built society and became subject to Muslims' respect and honor.  

       Ash- Sha'biy reported:  Zaid Ibn Thaabit set out to ride, so Ibn Abbaas held the bridle. Zaid said to him, "O cousin of the Prophet (PBUH), let me pass." Ibn `Abbaas replied, "No, it's the way we treat our `Ulamaa (scholars)."  
    
   Qabaisah reported: Zaid was Al-Madiinah's most superior one in the field of judgment, jurisprudence, reciting, and the knowledge of obligatory duties.  

        Thaabit Ibn `Ubaid reported, "I've never seen a more cheerful man at home and a more respectable one at his assembly than Zaid." Ibn `Abbaas said, "The tutors of Qur'aanic recitation among the Companions of the Prophet knew that Zaid was one of those deeply rooted in knowledge."  

       All these qualities by which Zaid was described by the Prophet's Companions make us more acquainted with the person. Destiny would endow him with the honor of the assignment considered to be one of the most noble tasks in the entire Islamic history, the task of compiling the Qur'aan.  

        Since the divine revelation began to be revealed upon the Prophet's heart, he would be one of the warners! The message of the Qur'aan and the call to Allah started with these manificent verses:

 "Read: In the Name of your Lord Who created - created mankind from something which clings; Read ! And your Lord is the Most Noble; Who taught by the pen, Taught mankind what he did not know" 
(96: 1 -5)  

        Since the time the revelation started, the Prophet (PBUH) turned his face towards Allah, asking for his further enlightenment and guidance.  

        During all the years of the Islamic revelation, when the Prophet ended a battle to begin another one; and when he foiled his enemies' conspiracies and plans only to encounter a new foe and another and then another; when he was seriously building a new world, with all that seriousness means, the Qur'aan was sent down and the Prophet (PBUH) recited and proclaimed it. While there was a small blessed group moved by its keen interest in the Qur'aan from the very first day, some of them set out to learn what they could by heart, and others, who were talented in writing, set out to preserve the written verses.  

        During the course of almost 23 years the Qur'aan was sent down verse by verse, or some verses following other verses, responding to various circumstances and instances, while those reciters and scribes went on fulfilling their task with great success. The Qur'aan was not sent down as a whole; thus it was not a composed book nor an invented one. It is rather a guide for a new nation built in reality, step by step, day after day. Its faith is promoted and its heart, mind, and determination are shaped according to a divine will, a will not imposed from above, but rather by means of a total conviction in this divine will. That is how the human conduct of this nation is going to be guided.  

        Therefore, the revelation of the Qur'aan had to be piecemeal, in order to follow up the growth and advancement of such conduct and its ever changing situations and challenging difficulties. 

 Reciters as well as scribes competed and turned to recite the Qur'aan and to write it down. Leading them were `Aliy Ibn Abi Taalib, Ubaiy Ibn K'ab, `Abd Allah Ibn Mas'uud, `Abd Allah Ibn `Abbaas, and the honorable Companion we are talking about right now, Zaid Ibn Thaabit (may Allah be pleased with them all).  

        After it had been completely revealed and during the last period of revelation, the Prophet (PBUH) recited it to the Muslims with its chapters and verses put in order.  

       After the Prophet's death (PBUH) the Muslims were busy with the apostate battles.  During the Battle of Al-Yamaamah - which was mentioned when we talked about Khaalid Ibn Al- Waliid and Zaid Ibn Al-Khattaab - the number of reciters who died as martyrs was tremendous. 

The flames of war had hardly died down when Umar hurried to Caliph Abu Bakr Al-Siddiiq  (May Allah be pleased with him) asking him insistingly to compile the Qur'aan quickly before the remaining reciters and scribes of the Qur'aan passed away.  

        The caliph asked Allah for guidance and consulted his companions, then sent for Zaid Ibn Thaabit and told him, "You're a rational youth, in whom we find no faults." Then he ordered him to begin compiling the Qur'aan, assisted by people of experience in that matter. Zaid carried on his work, upon which the whole destiny of Islam as a religion depended.  

        He stood the test in accomplishing the most difficult and crucial task. He went on compiling the chapters and verses from the reciters' memories and from the written work comparing , refuting and investigating until he could gather the whole Qur'aan and put it in order.  
      
  His success was attested to by the honorable record of the Companions' consensus (May Allah be pleased with them).

 They, especially the scholars, reciters, and scribes, had heard the Qur'aan being recited by the Prophet (PBUH) during all the different phases of Islam.  

        Zaid once described the tremendous difficulty which this holy, honorable task represented  "By Allah, if they had asked me to move a whole mountain from its place, it would have been easier than the task of compiling the Qur'aan which they ordered me to fulfill"  

        Indeed, to carry a whole mountain, or several mountains, on his back would have pleased Zaid more than to make the slightest error in moving a verse or completing a chapter.  

        His conscience and religion could withstand any error except a mistake such as this, no matter how tiny or unintentional it may be. However, Allah's guidance accompanied him as well as His promise:

"Indeed! We are the One Who has revealed the Qur'aan, and We will most surely preserve it" (15 : 9).
  
        So he succeeded in accomplishing his work, his duty, and responsibility as well as it could be.  

        This was the first phase of the compilation of the Qur'aan. However, at that time it had been compiled and written down in more than one book. Although the little difference between these books was merely in the pronunciation, experience had proven the necessity of uniting them all in one book.  

       During the caliphate of `Uthmaan (may Allah be pleased with him) the Muslims continued their expansions, spreading far from Al-Madiinah.  

       During those days, Islam received each day groups of new converts embracing Islam, one group following the other swearing the oath of allegiance. It was becoming more and more obvious what a danger the variety in the Holy Books might present, especially when different tongues recited the Qur'aan. Even the dialects of the earlier and later Companions differed.  

       At that stage, a group of Companions with Hudhaifah Ibn Al Yamaan went to the Caliph `Uthmaan explaining the necessity to unite the Holy Books into one.  

        The Caliph asked Allah for His guidance and consulted his Companions. As Abu Bakr Al-Siddiiq had sought Zaid's aid, so did `Uthmaan. 

        So, Zaid brought all his companions and assistants together and they brought all the different verses of the Qur'aan from the house of Hafsah the daughter of `Umar (May Allah be pleased with them), where they were kept safe. Thereupon Zaid and his comrades started to carry on their great task.  

 All those who helped Zaid were scribes of the revelation and Qur'aan reciters. Despite that, when they disagreed - which rarely happened - they always considered Zaid's word to be the final decision.  We can only imagine the tremendous difficulties encountered by those destined by Allah to gather and preserve the Qur'aan when we read it so easily or hear it recited. It is exactly like the horrors they encountered and the souls they willingly gave away while fighting in the cause of Allah, in order to spread a virtuous, precious religion over the earth and to dispel darkness with a clear light.




.¤ª"˜¨¯¨¨
  Zaid Bin Tsabit oZaid Ibn Thaabit¸,ø¨¨"ª¤.



Categories: