acebook

Para Sahabat - The Companions
.¤ª"˜¨¯¨¨Abu Darda oAbu Ad-Dardaa'¸,ø¨¨"ª¤.  
 Seorang budiman dan ahli hikmat yang luar biasa. 


Selagi balatentara Islam berperang kalah menang di beberapa penjuru bumi, sementara itu di kota Madinah berdiam seorang ahli hikmat dan filosof yang mengagumkan, yang dari dirinya memancar mutiara yang cemerlang dan bernilai.

la senantiasa mengucapkan kata-kata kepada masyarakat sekelilingnya, : “Maukah anda sekalian, aku kabarkan amalan­-amalan yang terbaik, amalan yang terbersih di siai Allah dan paling meninggikan derajat anda, lebih baik daripada memerangi musuh dengan menghantam batang leher mereka, lalu mereka pun menebas batang leher anda, dan malah lebih baik dari uang mas dan Perak. . . ?”

Para pendengarnya sama menjulurkan kepala mereka ke muka karena ingin tahu, lalu segera menanyakan: “Apakah itu wahai Abu Darda’ . . . ?” Abu Darda’ memulai bicaran‘ya dengan wajah berseri-seri, di bawah cahaya iman dan hikmat, lalu men­jawab: “‘Dzikrullah .. .. ” 
— menyebut Serta mengingat nama. Allah —
 “Wa-ladzikrullahi akbar” 
— dan sesungguhnya dzikir kepada Allah itu lebih utama —.

Bukanlah maksud ahli hikmat yang mengagumkan ini meng­anjurkan orang menganut filsafat memencilkan diri, dan bukan Pula dengan kata-katanya itu ia menyuruh orang meninggalkan dunia, dan tidak Pula agar mengabaikan hasil Agama yang baru ini, yakni hasil yang telah dicapai dengan jihad atau kerja mati­-matian.

Benar . . . , Abu Darda’ bukanlah tipe orang yang semacam itu, karena ia telah ikut berjihad mempertahankan Agama ber­sama Rasulullah saw. sampai datangnya pertolongan Allah dengan pembebasan dan kemenangan merebut kota Mekah … Tetapi ia adalah dari golongan orang yang setiap merenung dan menyendiri, atau bersamadi di relung hikmah, dan mem­baktikan hidupnya untuk mencari hakikat dan keyakinan, menemukan dirinya dalam suatu wujud yang padu, penuh dengan sari hayat dan gairah kehidupan ….

Dan Abu Darda’ r.a. ahli hikmat yang besar di zamannya itu, adalah seorang insan yang telah dikuasai oleh kerinduan yang amat sangat untuk melihat hakikat dan menemukan­nya….

Dan karena ia telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan iman yang teguh, maka ia merasa yakin dan percaya pula bahwa iman ini dengan segala tindak lanjutnya berupa kewajiban dan pengertian, merupakan jalan yang utama dan satu-satunya untuk mencapai hakikat itu ….

Demikianlah ia tetap berpegang dan secara bulat menyerah­kan dirinya kepada Allah, dan dengan teguh hati, dengan petun­juk dan kebesaran ditempanya kehidupannya sesuai dengan cetakan dan patokannya. la terus menelusuri jejak hingga akhirnya menemukannya . . .. dan berada di atas jalan lurus hingga mencapai tingkat kebenaran yang teguh . . . . dan menempati kedudukan yang tinggi beserta orang-orang yang benar secara sempurna, yakni di saat ia menyeru Tuhannya dengan membaca ayat-Nya:

“Sesungguhnya shalatku dan ibadatku, hidup dan matiku, hanya untuk Allah semata, Tuhan alam semesta . . . . “• 
(Q.S. 6 al-An’am: 162)

Abu Darda’ dalam melawan hawa nafsu dan mengekang dirinya untuk memperoleh mutiara bathin yang sempurna telah mencapai tingkatan yang tertinggi . . . tingkatan tafani rabbani — memusatkan fikiran, perhatian dan amaliahnya kepada pengabdian — menjadikan seluruh kehidupannya semata bagi Allah Rabbul ‘alamin ….

Dan sekarang marilah kita mendekati ahli hikmat dan orang suci itu! Tidakkah anda perhatikan sinar yang bercahaya-cahaya di sekeliling keningnya . . . ? Dan tidakkah anda mencium bau yang semerbak yang bertiup dari arahnya . . . ? Itulah dia cahaya hikmat dan harumnya iman . . . !

Dan sesungguhnya iman dan hikmat telah bertemu pada laki-laki yang rindu kepada Tuhannya ini, suatu pertemuan bahagia, kebahagiaan tiada taranya … !!

Pernah ibunya ditanyai orang, tentang amal yang sangat diaenangi Abu Darda’, lalu dijawabnya: “Tafakkur dan meng­ambit i’tibar atau pelajaran!”

Sungguh benar, ia telah meresapi dengan sempurna firman Allah di dalam ayat-ayatnya yang tidak sedikit:
“Hendaklah kamu mengambil ibarat … pelajaran, per­bandingan dan sebagainya …wahai orang-orang yang mempunyai fikiran!” 
(Q.S. 59 al-Hasyr: 2)

la selalu mendorong kawan-kawannya untuk merenung dart memikir-mikirkan, katanya kepada mereka: “Berfikir… tafakkur … satu jam, lebih baik daripada beribadat satu malam … ! ” Dan sesungguhnya beribadat dan Serta tafakkur dan mencari hakikat telah menguasai seluruh dirinya dan seluruh kehidupannya.

Di saat Abu Darda’ rela mengambil Islam sebagai Agamanya, dan ia bai’at kepada Rasulullah saw. akan melaksanakan Agama yang mulia ini, pada waktu itu ia adalah seorang saudagar kaya yang berhasil di antara saudagar-saudagar kota Madinah. Dan sebelum memeluk Islam, ia telah menghabiskan sebagian besar umurnya dalam dunia perniagaan, bahkan sampai saat Rasulullah dan Kaum Muslimin lainnya hijrah ke Madinah. Tidak lama kemudian setelah ia masuk Islam, dan Islam menjadi arah hidupnya ….

Marilah kita dengarkan saat ia sendiri menceriterakan riwayat itu kepada kita: “Aku mengIslamkan diriku kepada Nabi saw. sewaktu aku menjadi saudagar . .  . Keinginanku agar ibadat dan perniagaanku dapat berhimpun pada diriku jadi satu, tetapi hal itu tidak berhasil …. Lalu aku kesampingkan perniagaan, dan menghadapkan diri kepada ibadat . . . . Dan aku tidak akan merasa gembira sedikit pun jika sekarang aku berjual beli dan beruntung setiap harinya tiga ratus dinar, sekalipun tokoku itu terletak di muka pintu mesjid … !

Perhatikan, aku tidak menyatakan kepada kalian, bahwa Allah mengharamkan jual beli . . .. Hanya aku pribadi lebih menyukai agar aku termasuk ke dalam golongan orang yang perniagaan dan jual beli itu tidak melalatkannya daripada dzikir kepada Allah Apakah anda perhatikan kalimat-kalimat yang berisikan hikmat dan bersumberkan kejujuran . . . ?, ucap­annya yang meletakkan segala sesuatu pada tempatnya … ? Ia telah menerangkan sesuatu sebelum kita sempat menanyakan kepadanya, “Apakah Allah mengharamkan niaga wahai Abu Darda’…?”

Uraiannya itu melenyapkan kesangsian yang ada dalam fikiran kita. Diiayaratkannya kepada kita tujuan yang lebih tinggi yang hendak dicapainya, menyebabkannya ia meninggalkan dagang sekalipun ia berhasil dalam hal ini. Ia sebenarnya mencari keistimewaan ruhani dan keunggulan yang menuju derajat kesempurnaan tertinggi yang dapat tercapai oleh anak manusia . . . . Ia menghendaki agar ibadat itu laksana tangga yang akan mengangkatnya ke alam kebaikan yang tinggi, hingga ia dapat menengok yang haq dalam kebesarannya, dan hakikat pada sumbernya. Seandainya yang dikehendaki hanyalah semata-mata ditunaikannya perintah dan ditinggalkannya larangan, niscaya ia sanggup menghimpun antaranya dengan dagang dan usaha­-usahanya yang lain …. Berapa banyaknya para pedagang yang shaleh, atau sebaliknya orang shaleh yang jadi pedagang ….

Dan sesungguhnya banyak terdapat di antara shahabat­-shahabat Rasulullah saw. orang-orang yang perniagaan dan jual belinya tak melalatkan mereka dari mengingat Allah .. . bahkan mereka giat mengembangkan perniagaan dan hartanya untuk dibaktikannya kepada tujuan Islam dan mencukupi kepentingan Muslimin . – - – Akan tetapi jalan yang ditempuh para shahabat yang lain itu tidak mengurangkan arti jalan hidup Abu Darda’, dan sebaliknya jalan yang ditempuhnya tidak pula mengurangkan ma’na jalan mereka, maka setiap orang dimudah­kan Allah untuk mengikuti jalan hidup yang telah ditetapkan bagi masing masing …

Abu Darda’ merasakan sendiri dengan sebenar-benarnya bahwa ia diciptakan bagi sesuatu yang memang sedang hendak dicapainya itu, yaitu mengkhususkan diri mencari hakikat dengan mengalami dan melalui latihan-latihan berat dalam menjauhi kesenangan dunia sesuai dengan keimanan yang dipimpinkan Allah kepadanya, digariskan Rasul dan Agama Islam.

Jika anda suka, sebutlah itu tashawwuf ….

Akan tetapi itu adalah tashawwuf seorang laki-laki yang telah melengkapi kecerdasan seorang mu’min, kemampuan filosof, dan pengalaman seorang pejuang serta yang menjadikan tashawwufnya suatu gerakan lincah membina ruhani, bukan hanya sekedar bayang-bayang yang baik dari bangunan ini. Benar . . . itulah ia Abu Darda’, shahabat Rasulullah saw. dan murid­nya! Itulah ia Abu Darda’ seorang suci dan ahli hikmat … se­orang laki-laki yang telah menolak dunia dengan kedua telapak tangannya dan melindunginya dengan dadanya ….

Seorang laki-laki yang mengasah jiwa dan mensucikannya, sehingga menjadi cermin yang memantulkan hikmat, kebenaran dan kebaikan, yang menjadikan Abu Darda’ sebagai seorang maka guru dan ahli hikmat yang lurus. Berbahagialah mereka yang datang menemuinya dan sedia mendengarkan ajarannya. Ayohlah, mari kita mendekatkan diri kepada hikmat­nya, wahai orang yang mempunyai fikiran ….

Kita mulai dengan filsafatnya terhadap dunia, terhadap kesenangan dan kemewahan …. Ia amat terkesan sekali sampai ke dasar jiwanya dengan ayat-ayat al-Quran yang berisi bantahan terhadap: 
“Orang yang menguinpul-ngumpul harta dan menghitung­hitungnya …. diaangkanya hartanya dapat mengekalkannya  ( Al humazah 2 – 3)

Dan ia sangat terkesan pula sampai lubuk hatinya akan sabda Rasul:
“Yang sedikit mencukupi, lebih baik dari yang banyak membawa rugi… “.
Dan bersabda Rasulullah saw.:

“Lepaskanlah dirimu dari keserakahan akan dunia sekuasa kamu, sebab siapa yang dunia menjadi tujuan utamanya, Allah akan mencerai-beraikan miliknya yang telah ter­kumpul, lalu dijadikannya kemiskinan dalam pandangan matanya. Dan siapa yang menjadikan akhirat tujuan dan cita-citanya, Allah akan menghimpunkan miliknya yang bercerai-berai, lalu dijadikan-Nya kekayaan dalam hatinya, dan dimudahkannya mendapatkan segala kebaikan “. (H.R. Thabarani Mu’jam al-Kabir)

Oleh karena itulah ia menangisi mereka yang jatuh menjadi tawanan harta kekayaan dan berkata: “0 Tuhan, aku berlindung kepada-Mu dari hati yang bercabang-cabang… !” 
Ditanya orang: ‘Dan apakah pula hati yang bercabang-cabang itu wahai Abu Darda’. . – ?”
Dijawabnya: “Memiliki harta benda di setiap lembah … Dan ia menghimbau manusia untuk memiliki dunia tanpa terikat kepadanya . . . . Itulah cara pemilikan yang hakiki! Adapun keinginan hendak menguasainya secara serakah tak akan pernah ada kesudahannya, maka yang demikian adalah seburuk-buruk corak perhambaan diri, dan perbudakan! Ketika itu ia berkata pula:
“Barang siapa yang tidak pernah merasa puas terhadap dunia, maka tak ada dunia baginya …!”
Harta baginya hanya sebagai alat bagi kehidupan yang ber­sahaja dan sederhana, tidak lebih. Bertolak dari sana, maka menjadi kewajibanlah bagi manusia mengusahakannya dari yang halal dan mendapatkannya secara sopan dan sederhana, tidak dengan kerakusan dan mati-matian.
Maka katanya pula:
“Jangan engkau makan, kecuali yang baik …. Jangan engkau usahakan, kecuali yang baik . . . , dan jangan engkau masukkan ke rumahmu, kecuali Yang baik … !”

Pernah ia menyurati shahabatnya dengan kata-kata sebagai berikut:
“Arkian ….. tidak satu pun harta kekayaan dunia yang kamu miliki, melainkan sudah ada orang lain memilikinya sebelum kamu . . . dan akan ada terus orang lain memilikinya sesudah kamu! Sebenarnya yang kamu miliki dari dunia, hanyalah sekedar yang telah kamu manfaatkan untuk dirimu …. Maka utamakanlah diri itu dari orang yang untuknya kamu kumpulkan harta itu yaitu anak-anakmu yang bakal mewariaimu.

Karena dalam mengumpul-ngumpul harta itu kamu akan memberikan­nya kepada salah satu di antara dua: Adakalanya kepada anak yang shaleh yang beramal dengannya guna mentaati Allah, maka ia berbahagia atas segala penderitaanmu .. .. Dan ada­kalanya pula kepada anak durhaka yang mempergunakan untuk maksiat, maka engkau lebih celaka lagi dengan harta yang telah kamu kumpulkan untuknya itu …. Maka percayakanlah nasib mereka kepada rizqi yang ada pada Allah, dan selamatkanlah dirimu sendiri … !”

Menurut pandangan Abu Darda’, dunia seluruhnya hanya sernata-mata titipan. Sewaktu Ciprus ditaklukkan, dan harta rampasan perang dibawa ke Madinah, orang melihat Abu Darda’ menangis . . . . Mereka dengan terharu mendekatinya dan mereka meminta Jubair bin Nafir untuk menanyainya:
“Wahai Abu Darda’, apakah sebabnya anda menangis pada saat Islam telah dimenangkan Allah bersama ahlinya … ! Pertanyaan tersebut dijawab oleh Abu Darda’ dengan suatu untaian kata yang sangat berharga dan pengertian yang mendalam: “Aduh …. wahai Jubair! Alangkah hinanya makhluq di siai Allah, bila mereka meninggalkan kewajiban­nya terhadap Allah …. Selagi ia sebagai suatu ummat yang perkasa, berjaya mempunyai kekuatan, lalu mereka tinggal­kan amanat Allah, maka jadilah mereka seperti yang engkau lihat… !”

Benarlah demikian … Menurut Abu Darda’, keruntuhan cepat yang dijumpai bala­tentara Islam pada negeri-negeri yang dibebaskan, sebabnya ialah karena negeri-negeri tersebut kehilangan pegangan ruhani yang benar yang melindunginya dan Agama yang betul yang menghubungkannya dengan Allah.

Dan karena itu pula ia mengkhawatirkan keadaan Kaum Muslimin di seat ikatan iman mereka mengendor, hubungan mereka dengan Allah menjadi lemah, dengan yang haq dan dengan kebaikan, maka berpindahlah titipan itu dari tangan mereka dengan mudah sebagaimana dulu berpindah kepada mereka dengan mudah pula …. Sebagaimana menurut keyakinannya dulu dunia seluruhnya hanya semata-mata pinjaman, begitu juga ia menjadi jembatan untuk menyeberang kepada kehidupan yang abadi dan lebih mengasyikkan ….

Pada suatu kali para shahabatnya menjenguknya sewaktu ia sedang sakit, mereka mendapatinya terbaring di atas hamparan dari kulit . . . . Mereka menawarkan kepadanya agar kulit itu diganti dengan kasur yang lebih baik dan empuk …. Tawaran ini dijawabnya sambil memberi iayarat dengan telunjuknya, sedang kedua matanya yang bercahaya-cahaya menatap jauh ke depan: “Kampung kita nun jauh di sana . . . untuknya kita mengumpulkan bekal, dan ke sana kita akan kembali . . . kita akan berangkat kepadanya . . . dan beramal untuk bekal di sana … !”

Pandangan terhadap nilai dunia ini bagi Abu Darda’ bukan hanya sekedar arah pandangan saja, tetapi lebih dari itu ia me­rupakan suatu jalan hidup . . . ! Yazid bin Mu’awiyah putera Khalifah pernah melamar anaknya dan ditolaknya. Ia tidak hendak menerima lamaran tersebut. Kemudian ia dilamar oleh salah seorang Muslim yang shaleh tetapi miakin, maka puterinya itu dinikahkannya kepadanya. Orang-orang pada tercengang dengan tindakannya itu. Abu Darda’ memberitahu mereka alasan-alasannya, katanya: “Bagaimana kiranya nanti dengan si Darda’ bila ia telah dikelilingi para pelayan dan inang pengasuh dan terpedaya oleh kemewahan istana . . . di mana letak agamanya waktu itu…?” Ia seorang yang bijaksana berjiwa lurus dengan hati yang mulia. Semua kesenangan harta benda dunia yang sangat diingini nafsunya dan didambakan kalbunya, dituduhkan . . . . Dengan sifat ini, berarti ia bukan lari dari kebahagiaan, malah sebalik­nya. Maka kebahagiaan sejati baginya, ialah menguasai dunia, bukan dikuasai dunia. Bilamana manusia hidup dalam batas bersahaja dan sederhana, dan bilamana mereka telah meng­gunakan hakikat dunia hanya sebagai jembatan yang menye­berangkannya ke kampung halaman yang tetap dan abadi, maka mereka akan memperoleh kebahagiaan sejati yakni kebahagiaan yang lebih sempurna dan lebih agung ….

Ia juga berkata: “Kebaikan bukanlah karena banyak harta dan anak-pinakmu tetapi kebaikan yang sesungguhnya ialah bila semakin besar rasa santunmu, semakin Sertambah banyak ilmu­mu, dan kamu berpacu menandingi manusia dalam mengabdi kepada Allah Ta’ala!”

Pada masa Khalifah Utsman r.a. Muawiyah menjadi gubernur di Syria, dan Abu Darda’ menjabat hakim atas kehendak Kha­lifah. Di sanalah, di Syria ia menjadi tonggak penegak yang mengingatkan orang akan jalan yang ditempuh Rasulullah dalam hidupnya, zuhudnya, dan jalan hidup para pelopor Islam yang pertama dari golongan syuhada dan shiddiqin. Negeri Syria waktu itu adalah negeri yang makmur penuh dengan nikmat dan ke­mewahan hidup. Penduduk yang mabuk dengan kesenangan dunia dan tenggelam dalam kemewahan ini, seolah-olah merasa dibatasi dengan peringatan dan nasihat Abu Darda’ . . . Abu Darda’ mengumpulkan mereka dan berdiri berpidato di hadapan mereka, demikian katanya:
“Wahai penduduk Syria ….
Kalian adalah saudara seagama, tetangga dalam rumah tangga, dan pembela melawan musuh bersama ….
Tetapi saya merasa heran melihat kalian semua, kenapa kalian tak punya rasa malu?
Kalian kumpulkan apa yang tidak kalian makan.
Kalian bangun semua yang tidak akan kalian diami.
Kalian harapkan apa yang tidak akan kalian capai.
Beberapa kurun waktu sebelum kalian, mereka pun mengum­pulkan dan menyimpannya ….
Mereka mengangan-angankan, lalu mereka berkepanjangan dengan angan-angannya ….
Mereka membina, lalu mereka teguhkan bangunanya . . . . Tetapi akhirnya semua itu jadi binasa ….
Angan-angan mereka jadi fatamorgana ….
Dan rumah-rumah mereka jadi kuburan belaka ….
Mereka itu ialah kaum ‘Ad, yang memenuhi daerah antara Aden dan Oman dengan anak-pinak dan harta benda … !”

Kemudian terbayang di antara kedua bibirnya suatu senyum­an lebar yang mengejek, ia melambaikan tangannya kepada khalayak yang penuh berdesakan dan dengan kelakar sinis yang menusuk ia pun berteriak: “Ayo, siapa yang mau membeli harta peninggalan kaum ‘Ad daripadaku dengan harga dua dirham … ?”

Seorang pria yang berwibawa, anggun, dan menyinarkan cahaya, hikmatnya meyakinkan, sikap tingkah wara, logikanya benar dan cerdas … ! Ibadat menurut Abu Darda’ bukan sekedar formalitas dan ikut-ikutan; sebenarnya adalah suatu ikhtiar mencari kebaikan dan mengerahkan segala daya upaya untuk mendapatkan rahmat dan ridla Allah, senantiasa rendah hati, dan mengingatkan manusia akan kelemahannya serta kelebihan Tuhan atasnya. Ia pun berkata:
“Carilah kebaikan sepanjang hidupmu . . . dan majulah mencari embusan karunia Allah, sebab sesungguhnya Allah mempunyai tiupan rahmat yang dapat mengenai siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya …!”
Mohonlah kepada Allah agar Ia menutupi malu atau cela dan kejahatanmu serta menghilangkan rasa ketidak tentraman­mu … !”

Ahli hikmat ini matanya selalu terbuka meneliti dan me­neropong ibadat imitasi diingatkannya setiap orang akan kepalsuannya. Kepalsuan inilah yang banyak menimpa sebagian besar orang-orang yang berwatak lemah dalam iman mereka, rnereka ‘ujub atau membanggakan diri dengan ibadat mereka, lalu mereka merasa dirinya lebih dari orang lain dan menyom­bong . . . . Marilah Kita simakkan lagi apa katanya: “Kebaikan sebesar atom (dzarrah) dari orang yang taqwa dan yakin, lebih berat dan lebih bernilai daripada ibadatnya seumpama gunung orang-orang yang menipu diri sendiri. . .

Ia berkata lagi: “Jangan kalian bebani orang dengan yang tidak sanggup dipikulnya . .. dan jangan kalian menghisab mereka dengan mengambil alih pekerjaan Tuhannya … ! Jagalah diri kalian sendiri, sebab siapa yang selalu mengingini apa yang di­punyai orang lain, niscaya akan berkepanjangan nestapa­nya … ! “

Ia tidak menghendaki seseorang ‘abid atau ahli ibadat bagai­mana juga tinggi pengabdiannya, mengaku dirinyalah secara mutlaq lebih sempurna dari hamba-hamba Allah yang lain. Sewajarnya ia memuji syukur kepada Allah atas taufiq-Nya, dan menolong mendu’akan orang lain yang belum mendapatkan taufiq itu dengan ketinggian ibadat dan keikhlasan niatnya.

Nah, pernahkah anda mengenai hikmah yang daya sorot dan daya sinarnya melebihi hikmah budiman ini … ?

Seorang shahabatnya bernama Abu Qalabah berceritera sebagai berikut: “Suatu hari Abu Darda’ melihat orang-orang sedang mencaci-maki seseorang yang terperosok pada perbuatan dosa, ia berseru: “Bagaimana pendapat kalian bila menemukan­nya terperosok ke dalam lobang . . . ? bukankah seharusnya kalian berusaha menolong mengeluarkannya dari lobang tersebut … ?” Jawab mereka: “Tentu saja . . . !” Katanya: “Kalau begitu jangan kalian cela dia, tetapi hendaklah kalian memuji syukur kepada Allah yang telah menyelamatkan kalian!” Tanya mereka pula: “Apakah anda tidak membencinya Jawabnya: “Yang kubenci adalah perbuatannya, bila ditinggal­kannya maka ia adalah saudaraku …… Seandainya apa yang telah kami kemukakan di atas bagi Abu Darda’ merupakan salah satu wajah dari kedua wajah ibadah, maka wajahnya yang lain ialah ilmu dan ma’rifat ….

Sungguh, Abu Darda’ benar-benar mengkuduskan ilmu dengan setinggi-tinggi kedudukan, disucikannya selaku ia seorang budiman, dan disucikannya selaku ia seorang ‘abid. Perhatikanlah ungkapannya tentang ilmu:
“Orang tidak mungkin mencapai tingkat muttaqin, apabila tidak berilmu, apa guna ilmu, apabila tidak dibuktikan dalam, per­buatan”.

Ilmu baginya ialah: pengertian dari hasil penelitian, jalan dalam mencapai tujuan, ma’rifat untuk membuka tabir hakikat, landasan dalam berbuat dan bertindak, daya fikir dalam mencari kebenaran dan motor kehidupan yang disinari iman, dalam melaksanakan amal bakti kepada Allah ar-Rahman.

Dalam mengkuduskan ilmu seorang budiman menganggap:
“Pendidik dan penuntut ilmu sama mempunyai kedudukan yang mulia, masing-masing mempunyai kelebihan dan pa­hala. . . “

Ia melihat pula bahwa kebesaran hidup ini yang banyak sangkut pautnya dengan segala sesuatu tergantung kepada ilmu yang baik. Resapkan ucapannya ini:
“Aku tak tabu mengapa ulama kalian pergi berlalu, sedang orang-orang jahil kalian tidak mau mempelajari ilmu? Ketahuilah bahwa guru yang baik dan muridnya, serupa pahalanya …. Dan tak ada lagi kebaikan yang lebih utama dari kebaikan mereka . . . . “.

Katanya pula:
“Manusia itu tiga macam: orang yang berilmu, orang yang belajar . . . , dan yang ketiga orang yang goblok tidak mem­punyai kebaikan apa-apa. . . .”.

Dan sebagaimana telah kami jelaskan di atas, ilmu dan amal tak pernah berpisah dari hikmat Abu Darda’ r.a. Ia berkata: “Yang paling kutakutkan nanti di hari qiamat ialah bila di­tanyakan orang di muka khalayak: “Hai ‘Uwaimir, apakah eng­kau-berilmu?, maka akan kujawab: “Ada …… Lalu ditanyakan orang lagi kepadaku: “Apa saja yang engkau amalkan dengan ilmu yang ada itu?”

Ia selalu memuliakan ulama yang mengamalkan ilmunya, menghormati mereka dengan penghormatan besar, bahkan beliau berdoa kepada Tuhannya dengan katanya: “Ya. Allah, aku ber­lindung kepada-Mu dari kutukan hati ulama . . . . .. Lalu ia ditanyai: “Bagaimana dapat hati mereka mengutuki anda?” Jawabnya r.a.; “Dibencinya aku . . . !”

Adakah anda perhatikan . . . ? Bahwa ia memandang suatu laknat yang tak tertanggungkan bila terdapat kebencian orang alim kepadanya. Oleh karena itulah ia dengan rendah hati berdoa kepada Tuhannya, agar Ia melindunginya daripadanya ….

Hikmah Abu Darda’ mengajarkan berbuat baik dalam per­saudaraan dan membina hubungan manusia dengan manusia atas dasar kejadian tabiat manusia itu sendiri, maka berkatalah ia: “Cacian dari seorang saudara, lebih baik daripada kehilang­annya …. Siapakah mereka bagimu, kalau bukan saudara atau teman? Berilah saudaramu dan berlunak lembutlah kepadanya … ! Dan jangan engkau ikut-ikutan mendengki saudaramu, nanti engkau akan seperti orang itu pula . . . ! Besok engkau akan dijelang maut, maka cukuplah bagi engkau kehilangannya …. Bagaimana anda akan menangisinya sesudah mati, sedang selagi hidup tak pernah anda memenuhi haknya… !”

Pengawasan Allah terhadap hamba-Nya menjadi dasar yang kuat bagi Abu Darda’, untuk membangun hak-hak persaudaraan di atasnya. Berkatalah Abu Darda’ r.a.: “Aku benci menganiaya seseorang . . . , dan aku lebih benci lagi, jika sampai menganiaya seseorang yang tidak mampu meminta pertolongan dari aniayaanku, kecuali kepada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar … !”

Alangkah besar jiwamu, dan terang pancaran ruhmu, wahai Abu Darda’! Ia selalu memberi peringatan keras terhadap masyarakat dari fikiran keliru yang menyangka bahwa kaum lemah mudah saja mereka perlakukan sewenang-wenang dengan menyalah. gunakan kekuasaan dan kekuatan. Diperingatkannya, bahwa di dalam kelemahan orang-orang itu, terdapat kekuatan yang ampuh, yakni jeritan hati dan memohon kepada Allah karena kelemahan mereka, lalu menyerahkan nasib mereka ke hadapan­Nya atas perlakuan orang yang menindasnya itu ….

Nah inilah dia Abu Darda’ yang budiman itu. Inilah dia.

Abu Darda’ yang zuhud, ahli ibadah dan yang selalu merindukan kembali hendak bertemu dengan Tuhannya . . . . Inilah dia., ‘Abu Darda’, yang bila orang terpesona oleh ketaqwaannya, lalu mereka meminta du’a restunya, dijawabnya dengan kerendahan’ hati yang teguh, katanya:
“Aku bukan ahli berenang . . . . hingga aku takut akan teng­gelam. . . .”.

Demikianlah Abu Darda’ benarlah ia tak pandai bere­nang? Tetapi apa pula yang akan diherankan, karena bukankah ia hasil tempaan Rasulullah saw…. , murid al-Quran …. putera Islam yang pertama . . . , dan teman sejawat Abu Bakar dan Umar, Serta tokoh-tokoh utama lainnya ..

(25)  
ABU AD-DARDAA'  
What a Wise Man Was He! 

        While the armies of Islam were advancing victoriously, there lived in Al-Madiinah a wonderful philosopher and wise man whose wisdom flowed in his blooming bright words. He kept saying to those around him, "Can I tell you about the best of your deeds which are more thriving and better than invading your enemies, cutting their throats and cutting yours, and better than dirhams and dinars?" Those who listened to him craned and hurried to ask him; "And what is that, O Abu Ad-Dardaa'?" Abu Al-Dardaa' resumed his speech and his face glittered with the light of faith and wisdom, "The remembrance of Allah; the remembrance of Allah is the greatest thing in life."  

        That wonderful wise man was not preaching an isolationist philosophy nor by his own words. He was not preaching negativism nor the retirement from the responsibilities of the new religion that considers struggle its cornerstone. Yes, Abu Ad-Dardaa' was not that kind of man, but rather he was the man who took up his sword and struggled with the Prophet of Allah (PBUH) since he had embraced Islam till the help and victory of Allah came.  
        
 However, he was that type who finds himself in his full lively existence whenever he is alone contemplating under shelter of the sanctuary of wisdom, and he dedicated his life to seeking truth and certitude. Abu Ad-Dardaa', the wise man of those great days (May Allah be pleased with him) was a person who looked forward to His Prophet (PBUH), and he also believed that this faith, with its duties and understanding, was the only ideal way to truth.  

       Thus, he was engrossed with his faith, dedicating himself to it and forming his life strictly, wisely, and seriously according to it. He walked on that path till he arrived at the truth and took his high position among the truthful ones when communing with his Lord and reciting this verse: "Truly, my prayer and 
my devotion, my life and my death are all for GOD, the Lord of the Worlds" (6 :162).  

       Yes, the struggle of Abu Ad-Dardaa against and with himself ended in the attainment of this high spiritual position, remote superiority, and personal sacrifice which made him dedicate all his life to Allah, the Cherisher of the Worlds.  

        Now, let us approach the saint and wise man. Do you observe the light that radiates round his forehead? Do you smell the good perfume coming from his direction? It is the light of wisdom and the perfume of faith. Faith and wisdom have come together happily in this man. His mother was asked about what he liked best; she answered, "Contemplation and consideration." This is completely in accord with the saying of Allah in more than one verse  
"Therefore take warning, you, who have eyes to see! " (59 : 2).  

        When he urged his brothers to contemplate and think, he said to them, "Contemplation for an hour is better than worshipping for the whole night." Worshipping and contemplation and seeking after truth overpowered him and all his life.  

        On the day he embraced Islam and pledged his allegiance to the Prophet (PBUH) in this glorious religion, he was a successful trader of Al-Madiinah. He spent a part of his life in trade before he embraced Islam and before the Prophet (PBUH) and the Muslims migrated to Al-Madiinah.  

He had just embraced Islam a short time before when ... But, let him complete the speech for us: I embraced Islam at the hands of the Prophet (PBUH) and I was a trader. I wanted to combine trade and worship, but they would never go together. I abandoned trade and retained worship. Today, it doesn't please me to sell and buy to earn 300 dinars a day, although my shop is at the door of the mosque. I can't say that Allah forbids selling, but I'd like to be of those whom neither traffic nor merchandise can divert from remembrance of Allah.  

        Do you see how he speaks completely and correctly, while wisdom and truth shine through his words. He hurries before we ask him, "Does Allah forbid trade, O Abu Ad-Dardaa'?" He hurries to sweep away this question from our minds and refers us to the superior goal that he was seeking and for which he left trade, in spite of his success as a trader. He was a man searching for spiritual excellence and superiority and looking for the maximum degree of perfection available to human beings. He wanted worship as a ladder that raises him to the highest level of goodness and approaches right in its glory and truth in its shining origin. If he wanted worship to be merely duties to be done and prohibition to be left, he could manage both his worship and his trade and deeds.  
   
     There are many good traders, and there are many good and pious persons working in trade. Among the Companions of the Prophet of Allah (PBUH), there were men whom neither traffic nor merchandise could divert from the remembrance of Allah. But they worked hard to develop their trade and their money by which they served the cause of Islam and satisfied the needs of the Muslims. But the method of those Companions does not diminish the method of Abu Ad-Dardaa', nor does his method diminish theirs, as everyone is fit for what he is created. 

        And Abu Ad-Dardaa' felt that he was created for what he devoted his life to: excellence in seeking after the truth by practicing the ultimate expression of celibacy according to the faith to which he was guided by Allah, His Prophet and Islam.  

        Call it mysticism if you wish, but it was the mysticism of a man who had plenty of them keenness of a believer, the capability of a philosopher, the experience of a fighter, and the jurisprudence of the Prophet's Companions. This made his mysticism a lively movement in establishing the soul and not merely shadows of this building.  

         Yes, that was Abu Ad-Dardaa', the Companion of the Messenger of Allah (PBUH) and his pupil. That was Abu Ad Dardaa', the saint and the wise man, a man who repelled life with both his hands, a man who secluded himself till he burnished and sanctified his soul and it became a dear mirror so that wisdom, rightness, and good reflected in it. That made Abu Ad-Dardaa' a great teacher and an upright wise man.  

        What happy persons are those who come and listen to him! Come and seek his wisdom, O people of understanding. Let us begin with his philosophy towards life and towards its delights and vanities. He was influenced to the depths of his soul by the saying of Prophet, "Little and satisfied is better than much and diverted." Allah Almighty said, " Woe to every taunting slanderer, backbiter, who piles up wealth and counts over it again and again ; thinking that his wealth will make him immortal! " (104 : 1-3).  

           The Messenger of Allah (PBUH) said, "Leave the worries of life as far as possible," and "He who makes life his only aim, Allah will sunder his unity and make poverty between his two eyes. He who makes the Hereafter his only goal, Allah makes riches in his heart and makes every good hurry to him."  

           Therefore, he lamented over those who fell captive to the ambition of wealth and said, "I seek refuge with the Lord from the dispersion of the heart." He was asked, "What is dispersion of the heart, Abu Ad-Dardaa'?" He answered, "That means I have money every where." He called people to possess life by doing without it, that is the real possessing of it. But running after its endless enticements is the worst kind of slavery. Then he said, "He who can not do without life is lifeless."  

        In his opinion, money is only a means to a mild satisfied living. Thus, people should take it legitimately (in a halaal way) and earn it kindly and mildly and not covet it greedily. He said, "Don't eat anything unless it is good, don't earn any money unless it is good, don't take anything to your house unless it is good."  

        He wrote to his companions, "After that, any temporary thing you possess in life was possessed by someone else before you, and will be owned by another after you, and you have nothing except what you offered to yourself.  

        "Give preference over yourself to him from whom you are collecting money for your sons to inherit, since you collecting money for one of the two: either a good son who spends the money in obedience to Allah, thus he will be happy with what you earned and flee from troubles; or a disobedient son who spends it in sins and disobedience to Allah, and so you will be tortured by what you had collected for him. Entrust their living to the Bounty of Allah and save yourself" 

        The whole of life from Abu Ad-Dardaa's point of view is merely a loan. When Cyprus was conquered and the booty was carried to Al Madiinah, people saw Abu Ad-Dardaa' weep. Astonished, they approached and Jubair Ibn Nufair said to him, "Why are you weeping on the day that Allah supported Islam and the Muslims?" Abu Ad Dardaa' replied with wisdom and deep understanding, "Woe to you, Jubair.' What a trifling thing creatures are if they leave the commands of Allah. It was the best nation, having dominion, but if left the commands of Allah, and therefore it came to what you see." Yes, thus he reasoned the quick collapse to the armies of Islam in the conquered countries was caused by the bankruptcy of true spiritualism that protected them and connected them with Allah. So he feared for the Muslims in the coming days when the ties of faith would decline and the bonds to Allah, truth, and goodness would languish. Consequently, the loan would be taken from their hands as easily as it bad been put in their hands before.  

        As the whole of life was merely a loan in his view, it was also a bridge to an immortal and more magnificent life.  

        Once his companions went to visit him when he was ill and found him sleeping on a piece of leather. They said to him, "If you wish, you will have better and more comfortable bedding." He replied pointing with his forefinger and looking with his bright eyes at the far distance, "Our home is there. For it, we gather and to it we return. We travel to it and we work for it."  

        This look at life was not only a point of view but also a way of life. Yaziid lbn Mu'aawiyah wanted to marry his daughter, Ad Dardaa', but he refused him and married her to a poor pious Muslim. People were greatly astonished by that behavior but Abu Ad Darda'a taught them, saying, "What about Ad- Dardaa' if she had the servants and splendors and she was dazzled by the decorations and pleasures of the palace? What then would happen to her religion?" This was a wise man of upright morals and clear heart. He refused everything that attracted the brain and fascinated the heart and by doing so he did not escape from happiness but escaped to it. Real happiness, in his belief, was to possess life, not to be possessed by it. Whenever the needs of people are limited by contentment and uprightness, they will realize the reality of life as a bridge on which they cross to the home of permanence, return, and immortality. Whenever they do so, their share of real happiness is greater and plentiful. He also said, "It is not better to have much money and many sons, but it is better to have much clemency, much knowledge, and to compete with people in the worship of Allah."  

        During the caliphate of `Uthmaan (May Allah be pleased with him), Mu'aawiyah was the governor of Syria and Abu Ad-Dardaa' agreed to occupy the position of the judge according to the caliph's desire. There in Syria, he stood strictly as an example to all those who were tempted by the pleasures of life. He began to remind them of the method of the Prophet (PBUH), his asceticism and that of the early righteous Muslims and martyrs.  

        Syria at that time was an urbanized region overflowing with the pleasures and amenities of life, and the inhabitants were greatly annoyed by that person who embittered their lives by his preaching. He gathered them and stood among them preaching, "O people of Syria, you are brothers in religion, neighbors at home, and supporters against your enemies. But, why aren't you ashamed? You earn what you don't eat, and build what you don't dwell in, and hope for what you can't achieve. The peoples before you collected cautiously, and hoped confidently, and built firmly, but their gatherings became perdition, their hope became delusion, and their homes became graves.  

        Those were the people of `Aad who filled the region from Adan to Oman with wealth and sons. Then a wide sarcastic smile would be drawn on his two lips, and be would wave his arm to the astonished multitude and cry sarcastically, "Who will buy the inheritance of `Aad people from me for two dirhams?"  

        He was a brilliant, magnificent, and luminous man. His wisdom was faithful, his feelings were pious, and his logic was perfect and cautious. In his point of view, worship was neither vanity nor pride but a request for good and exposure to the mercy of Allah and continuous supplication that reminded man of his weakness and the favor of his Lord upon him.  

        He said, "Request the good all your life, and expose yourselves to the mercy of Allah. Allah has fragrance in His mercy which He ushers upon those whom He pleases among His servants. Ask Allah to hide your defects and make your hearts steady and firm in times of trouble."  

        This wise man was always open-eyed to vanity in worship, of which he warned people. That vanity makes those who have weak faith worship proudly and boast of their worship to others. Listen to him saying, "An atom's weight of benevolence from a pious man is much better than a mountain's weight of worship from the boaster." He also said, "Don't charge people with unwanted affairs and don't call them to account as if you are their Lord. Guard your own souls. He who follows up the deeds of people will have his grief increased."  

        Abu Ad-Dardaa' did not want the worshipper, whatever rank he reaches in worship, to call people to account as if he were the Lord. He should praise Allah for His reconciliation and help by prayer, noble feelings, and good intentions for those who cannot achieve such success. Do you know any better and brighter wisdom than that of this wise man?  

        His companion Abu Qalaabah, tells us about him: One day Abu Ad-Dardaa' passed by a man who had committed a sin, and people were insulting him. He prohibited them and said, "If you found him in a ditch, would you not take him out of it?" They said, "Yes." He said to them, "Don't insult him. Praise Allah that He protected you from such an evil." They said to him, "Don't you hate him?" He said, "No, I hate his deed, and if he leaves it, he will be my brother."  

        Yes, knowledge, in his opinion, was understanding, behavior, learning, method, idea, and life. Because this sanctification is of the wise, we find him claiming that the teacher is like the student in favor, recompense, and position. He saw that the greatness of life was dependent on goodness before anything else. He said, "Why do I see your scholars going away and your ignorant people learning nothing? The teacher and the student of goodness are equal in recompense and there is goodness in the other people besides the two." He also said, "People are of three types a scholar, an educated person, and a savage."  

        As we have seen before, knowledge was not separate from following the wisdom of Abu Ad- Dardaa' (May Allah be pleased with him). He said, "The greatest fear of my soul is that it should say to me on the Day of Resurrection, in front of all the creatures, O owner, did you know? and I would reply, Yes . It will say to me, What did you do with what you knew?  

        He used to respect scholars and honor them very much. Moreover, he used to pray to Allah saying, "O Lord Almighty, I take refuge in You against the curse of the scholars' hearts.  

        It was said to him, "How could you be cursed by their hearts?" He said, "Their hearts hate me." Do you see, he believed that the scholars hate is an unbearable curse; therefore he implored Allah to grant him refuge.  

The wisdom of Abu Ad-Dardaa' (May Allah be pleased with him) recommended fraternity and established human relations on the basis of human nature itself. Thus he said, "To admonish your brother is better than to lose him. Give your brother advice and be tender with him, but do not agree with his covetousness lest you should be like him. Tomorrow death comes and you will lose him. And how can you weep over him after death when you did not give him his right while he lived?"  

       The fear of Allah in His servants is the strongest and hardest basis upon which Abu Ad-Dardaa' established the rights of fraternity. He (May Allah be pleased with him) said, "I hate to wrong anyone but I hate more and more to oppress the person who resorts to Allah, the Most High and the Most Great, for help against my injustice.  

        Abu Ad-Dardaa', what a great personality and bright soul you are! He warned people against delusion when they thought that unarmed weak people fell easy prey in their hands and power. He reminded them that those in their weakness have a destructive power when they implore Allah in their disability and offer their plea and the disgrace done to them by people.  

       This was Abu Ad-Dardaa', the wise man. He was Abu Ad- Dardaa' the hermit, the worshipper, ever seeking Allah. When people praised his piety and asked him to implore Allah for them, he replied in humility, "I can't swim well and I fear drowning."  

       All your wisdom, and you can not swim well, O Abu Ad Dardaa'? But what an astonishment, and you are nutured by the Prophet (PBUH), a student of the Qur'aan; son of early Islam, and a companion of Abu Bakr and Umar and the rest of those men!



.¤ª"˜¨¯¨¨Abu Darda oAbu Ad-Dardaa'¸,ø¨¨"ª¤.  



Categories: