acebook

Para Sahabat - The Companions
.¤ª"˜¨¯¨¨Zaid Ibnul Khatthab oZaid Ibn Al-Khattaab¸,ø¨¨"ª¤. 
Rajawali pertempuran Yamamah. 


Pada suatu hari Nabi saw. duduk dikelilingi sejumlah orang­-orang Islam.  Selagi pembicaraan berlangsung, tiba-tiba Rasulullah terdiam sejenak,  kemudian beliau menghadapkan bicaranya kepada semua yang ada di sekelilingnya dengan ucapan: “Sesungguhnya di antara kalian ada seorang laki-laki, gerahamnya di dalam neraka, lebih besar dari gunung Uhud. . . !”

Semua yang hadir dalam majlis beserta Rasulullah saw. ini senantiasa, diliputi ketakutan dan kecemasan akan timbulnya fitnah dalam Agama kelak . . . . Masing-masing mereka merasa kecut dan takut, kalau-kalau ia lah yang akan menerima nasib yang paling jelek dan kesudahan yang terkutuk itu . . . ! Tetapi mereka semua, yang mendengar pembicaraan waktu itu, kehidupannya telah berakhir dengan kebaikan, mereka telah menemui ajal mereka sebagai syuhada di jalan Allah. 

Yang tinggal masih hidup hanyalah Abu Hurairah dan Rajjal bin ‘Unfuwah.

Setelah gugur sebagai syuhada para shahabat tersebut di atas,  Abu Hurairah merasa seluruh persendiannya gemetar dan hatinya diliputi ketakutan, kalau-kalau ramalan Nabi itu me­nimpa dirinya. Matanya tak mau terpejam ditidurkan, dan belum tenang rasa cemasnya, sampai taqdir menyingkapkan tabir orang yang bernasib celaka itu . . . . Orang yang bernama Rajjal itu murtad dari Islam dan ia bergabung dengan Musailamah al-Kaddzab, malah mengakui kenabian palsunya.Ketika itu ternyatalah apa yang diramalkan Rasul dengan nubuatnya mengenai nasib jelek dan kesudahan yang celaka itu …. Rajjal bin ‘Unfuwah ini pergi di suatu hari kepada Rasul saw. berbai’at dan masuk Islam. 

Sesudah ia menganut Islam itu kembalilah ia kepada kaumnya .. .. Ia tak pernah datang lagi ke Madinah, kecuali sesudah Rasul wafat dan terpilihnya Abu Bakar ash-Shiddiq jadi Khalifah Kaum Muslimin.  Kepada Abu Bakar telah disampaikan orang berita tentang keadaan penduduk Yamamah dan bergabungnya mereka dengan Musai­lamah. Rajjal mengusulkan kepada ash-Shiddiq agar ia sendiri diutus kepada mereka untuk mengembalikan mereka kepada Islam.Usul itu diterima oleh Khalifah ….Maka berangkatlah Rajjal ke negeri Yamamah. 

Sewaktu ia menyaksikan jumlah mereka sangat banyak serta menakutkan dan disangkanya bahwa orang-orang itu pasti menang.Maka jiwa khianatnya membisikkan agar mulai hari itu, ia menyeberang saja ke pihak gerombolan “Al-Kaddzab” si pembohong itu yang disangkanya akan jaya dan menang, lalu ditinggalkannya Islam, dan bergabung ke dalam barisan Musai­lamah yang bermurah hati kepadanya dengan mengobral janji-­janji. Bahaya Rajjal terhadap Islam lebih mengkhawatirkan dari bahaya Musailamah sendiri. 

Sebabnya karena ia dapat me­nyalahgunakan keislamannya yang lalu, dan masa-masa hidupnya bersama Rasul di Madinah, serta hafalnya akan ayat-ayat Quran yang tidak sedikit, begitupun dikirimnya ia sebagai utusan oleh Abu Bakar, Khalifah Kaum Muslimin. Semua itu disalahgunakan­nya secara keji untuk memperkuat kekuasaan Musailamah dan mengukuhkan kenabian palsunya.

Dengan sungguh-sungguh ia pergi menyebarluaskan kepada orang banyak, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw. berkata yang maksudnya: Bahwa beliau menjadikan Musailamah bin Habib sebagai serikatnya dalam perkara itu …. Sekarang, karena Rasul telah wafat, maka orang yang paling berhaq membawa bendera kenabian dan wahyu sesudahnya ialah Musai­lamah … !!

Jumlah orang-orang yang bergabung kepada Musailamah semakin bertambah banyak, disebabkan kebohongan-kebohongan Rajjal ini, dan karena penyalahgunaan keislaman dan hubungan­nya dengan Rasulullah di masa silam Berita kebohongan Rajjal ini sampai ke Madinah. 

Kemarahan orang-orang Islam menjadi berkobar karena tindakan si murtad ini, yang akan menyesatkan manusia sampai sebegitu jauh, dan yang dengan kesesatan itu akan memperluas daerah pepe­rangan, yang mau tak mau harus diterjuni Kaum Muslimin. Maka orang Islam yang paling murka dan terbakar kemarah­annya untuk menjumpai Rajjal, ialah seorang shahabat yang mulia, yang cemerlang namanya dalam buku-buku riwayat dan sejarah dengan nama tersayang Zaid ibnul Khatthab … !Pasti anda pernah mendengarnya …Ia adalah saudara dari Umar ibnul Khatthab ….

Benar … saudaranya yang lebih tua … dan lebih dahulu …Ia lebih tua dari Umar, tentu ia lebih dahulu lahirnya …Dan ia lebih dulu masuk Islam . . . sebagaimana ia lebih dahulu pula syahid di jalan Allah …Zaid adalah seorang pahlawan yang kenamaan …. Ia bekerja secara diam-diam. Kediamannya itu memancarkan permata kepahlawanannya. Keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Agamanya, merupakan keimanan yang teguh.

 Ia tidak pernah ketinggalan dari Rasulullah saw. dalam setiap kejadian penting maupun peperangan. Di setiap pertempuran niatnya telah dipatri­kan menang atau syahid … !Di saat perang Uhud, sewaktu pertempuran sedang menjadi-­jadi antara orang-orang musyrik dan orang-orang Mu’min, Zaid bin Khatthab menebas dan memukul …. 

Ia terlihat oleh adik­nya Umar bin Khatthab sewaktu baju besinya terlepas ke bawah, hingga ia berada dalam kedudukan yang mudah dijangkau musuh, maka seru Umar: 
“Hai Zaid, ambit lekas baju besiku, pakailah untuk berperang . .. !” 
Dijawab oleh Zaid:
 “Aku juga menginginkan syahid, sebagaimana yang kau inginkan hai Umar!”  Dan ia terus bertempur tanpa baju besi secara mati-matian dan dengan keberanian yang luar biasa. Telah kita katakan bahwa Zaid r.a., dengan semangat ber­kobar-kobar ingin sekali mendapatkan Rajjal, dengan maksud untuk menghabisi nyawanya yang keji itu dengan tangannya sendiri . . . . 

Menurut pandangan Zaid, bukan saja ia seorang yang murtad, bahkan lebih dari itu,ia juga seorang pembohong, munafik dan pemecah-belah. Ia murtad bukanlah karena dibawa oleh kesadarannya, tetapi karena mengharapkan keuntungan dengan kemunafikan dan kebohongan terkutuk. Dan Zaid dalam kebenciannya pada kemunafikan dan kebohongan serupa benar dengan saudaranya Umar … !Tak ada yang lebih membangkitkan kejijikan dan mengobar­kan kemarahannya seperti kemunafikan dan kebohongan dengan tujuan hina dan maksud yang rendah ini!Untuk kepentingan tujuan-tujuan yang rendah itulah, Rajjal memainkan peranan berbuat dosa,menyebabkan bertambahnya jumlah golongan yang bergabung dengan Musailamah secara menyolok.

 Dan dengan ini sebenarnya ia menyeret sebagian besar orang-orang kepada kematian dan kebinasaan dengan menemui ajal mereka di medan perang murtad kelak . . . . pertama disesatkannya mereka, kemudian dibinasakannya … ! Dan untuk tujuan apa ? Untuk tujuan ambisi dan ketamakan tercela yang telah mempengaruhi dirinya dan dibangkitkan oleh hawa nafsunya. Maka Zaid mempersiapkan dirinya untuk menyempurnakan keimanannya dengan menumpas bahaya fitnah ini,bukan hanya terhadap pribadi Musailamah, malah lebih-lebih lagi terhadap seorang yang lebih berbahaya daripadanya dan lebih berat dosanya,yaitu Rajjal bin ‘Unfuwah

Saat pertempuran Yamamah bermula dengan keadaan seram dan amat mengkhawatirkan. Khalid bin Walid menghimpun balatentara Islam, lalu dibagi-baginya tugas untuk menempati beberapa kedudukan dan diserahkannya panji-panji kepada seseorang …. Siapakah dia … ? Tiada lain dari Zaid bin Khat­thab… !Banff Hanifah, pengikut Musailamah berperang dengan berani dan mati-matian . . . . Pada mulanya neraca pertempuran berat kepada fihak musuh, dan telah banyak di antara Kaum Muslimin yang gugur menemui syahid. 

Zaid melihat gejala turunnya , mental dan gairah tempur merasuki hati sebagian Kaum Mus­limin. Ia lalu mendaki sebuah tempat yang ketinggian dan berseru kepada Leman-temannya:“Wahai saudara-saudaraku tabahkanlah hati kalian, gempur musuh, serang mereka habis-habisan . . . !Demi Allah, aku tidak akan bicara lagi sebelum mereka dibinasakan Allah atau aku menemui-Nya swt. dan menyampaikan alasan-alasanku kepada hadlirat-Nya . . . !” Kemudian ia turun dari tempat yang ketinggi­an itu dengan menggertakkan gerahamnya, sambil mengatupkan  kedua bibirnya tanpa menggerakkan lidahnya untuk mengucap­kan sepatah bisikan pun ….Ia memusatkan serangannya ke arah Rajjal. Diterobosnya barisan-barisan seperti panah lepas dari busurnya, terus mencari Rajjal sampai kelihatan olehnya bayangan orang buruannya itu. Sekarang ia maju lagi menerjang ke kiri dan ke kanan. Dan setiap bayangan orang buruannya itu ditelan gelombang manusia yang bertempur, Zaid berusaha mengejar dan mendekatinya lalu menghantamkan pedangnya. Tetapi gelombang manusia yang sangat hebat, menelan Rajjal sekali lagi, diikuti terus oleh Zaid yang menyusup di belakangnya agar manusia bedebah itu tidak luput dari tangannya . . . .

 Dan akhirnya ia dapat me­megang batang lehernya dan menebaskan pedangnya ke kepala­nya yang penuh dengan kepalsuan dan kebohongan serta pengkhianatan itu ….Dengan tewasnya si pembuat kebohongan ini, mulailah berjatuhan pula tokoh-tokoh yang lain.

 Cemas dan takut men­jalari Musailamah sendiribegitupun Muhkam bin Thufail serta seluruh balatentara Musailamah! Terbunuhnya Rajjal telah tersebar luas di kalangan mereka tak ubah bagai api yang berkobar ditiup angin kencang. Sebenarnya Musailamah  telah memberikan janji-janji yang muluk-muluk dengan kemenangan mutlak kepada para peng­ikutnya, dan bahwa ia bersama Rajjal bin ‘Unfuwah dan Muhkam bin Thufail setelah kemenangan itu, akan membawa mereka ke masa depan gemilang dengan menebarkan agama dan membina kerajaan mereka … !Demikianlah Zaid ibnul Khatthab telah menyebabkan ke­hancuran,mutlak dalam barisan Musailamah ….

Adapun orang-orang Islam sendiri demi berita tewasnya Rajjal dan kawan-kawannya tersebar di antara mereka,maka tekad dan semangat mereka membesar seperti gunung, bahkan korban-korban yang luka bangkit lagi dengan pedangnya tanpa memperdulikan luka mereka.

Bahkan mereka yang telah berada di bibir maut yang tak ada tanda-tanda hidup lagi kecuali sisa gerak dan isyarat mata, sewaktu berita gembira itu sampai ke telinga mereka, merasakan­nya seperti mimpi dan hiburan yang indah. Seandainya dapat, mereka ingin kembali hidup untuk bertempur lagi dengan menyaksikan kemenangan yang mengagumkan di akhir ke sudahannya ….Tetapi apalah gunanya untuk mereka yang demikian, sebab semua pintu surga telah terbuka lebar untuk menerima mereka, dan sesungguhnya mereka sekarang sedang menantikan nama­-nama mereka dipanggil ….Zaid ibnul Khatthab mengangkat kedua tangannya ke langit dan dengan rendah hati memohon kepada Tuhannya serta bersyukur atas bantuan nikmat-Nya.

 Selama waktu yang singkat itu, rupanya ia kembali kepada pedangnya dan sikap diamnya. setelah bersumpah takkan berbicara sampai kemenangan sem­purna tercapai, atau ia sendiri mencapai syahid . Sesungguh­nya keadaan perang berjalan menguntungkan Muslimin …dan kemenangan mutlak datang mendekat dengan cepatnya …. 

Ketika itu di kala Zaid telah yakin bahwa kemenangan sudah berada di ambang pintu,belum pernah ia mengenal penutup kehidupan yang lebih merangsang daripada sekarang. 

la berharap kiranya Allah mengaruniai-Nya mati syahid di perang Yamamah ini . . . . Angin surga pun berhembuslah memenuhi jiwanya dengan kerinduan dan mengisi lekuk matanya dengan genangan air serta membangkitkan semangat dan tekadnya yang tak kunjung padam . . . .

 Ia menyerang terus mencari tujuan ter­akhirnya yang agung . . . . Dan gugurlah pahlawan itu sebagai syahid ….Bahkan katakanlah: ia telah naik selaku syahid …. Ia telah naik dengan kebesaran, kemuliaan dan kebahagiaan …. Dan balatentara Islam pun kembalilah ke Madinah dengan mem­bawa kemenangan.

 Selagi Umar bersama Khalifah Abu Bakar menyambut kedatangan mereka, dilayangkannya pandangannya dengan penuh kerinduan, mencari-cari abangnya yang kem­bali….Zaid adalah seorang yang tinggi jangkung, karenanya mudah dikenal dari jauh . . . . Tetapi belum sampai Umar bersusah payah mencarinya, salah seorang di antara Kaum Muslimin yang kembali, mendekatinya dan menyampaikan belasungkawa atas gugurnya Zaid.

Berkatalah Umar:
“Rahmat Allah bagi Zaid ….la mendahuluiku dengan dua kebaikan …. Ia masuk Islam lebih dahulu ….Dan ia syahid lebih dahulu pula …Sekalipun tidak sedikit kemenangan-kemenangan yang diperoleh, di mana Islam berjaya dan berbahagia, namun tak pernah hilang dari fikiran al- ‘ Faruq … gelaran bagi Umar … agak sekejap pun akan abangnya Zaid . . . , 
dan sering-sering ia ber­kata: 
“Bila angin kerinduan berhembus tercium olehku harum­nya Zaid .. . !
 “Sungguh, kerinduan benar-benar membawa bau wanginya Zaid dari nama baiknya dan budinya yang tinggi . . . !

 Bahkan, Seandainya Amirul Mu’minin mengidzinkan, akan kutambahkan ke dalam pantunnya yang indah itu,beberapa kalimat yang akan melengkapi kemegahan tersebut, demikian bunyinya:
Setiap angin kemenangan Islam berhembus, 
semenjak peristiwa Yamamah, 
akan tercium selalu oleh Islam bau wangi.. nya Zaid, 
pengurbanan Zaid …kepahlawanan Zaid dan kebesaran Zaid … !! 
“Yah, keluarga al-Khatthab telah diberi berkah di bawah,

 naungan bendera Rasulullah saw ….Mereka mendapat berkah di hari mereka masuk Islam, diberi berkah di kala mereka berjihad dan mencari syahid, serta diberi berkah di hari mereka dibangkitkan kelak..

(26) 
ZAID IBN AL- KHATTAAB  
The Hawk of The Day of Al-Yamaamah 

        One day the Prophet (PBUH) sat with a group of Muslims, and while they were talking, the Messenger paused, then spoke to those who were sitting around him saying, "Among you there is a man whose molar in He is greater than Mount Uhud." 

        Fright and terror appeared upon the faces of all those present because each one of them was afraid lest he should be the person about whom the Prophet (PBUH) prophesied a dreadful end.  

        Years passed and all those Companions met their ends as martyrs except Abu Hurairah and Ar- Rajjaal Ibn `Unfuwah, who were still alive. Abu Hurairah was extremely terrified by that prophecy and did not feel comfortable until fate revealed the secret of the unfortunate man: Ar-Rajjaal Ibn `Unfuwah, who apostatized from Islam and joined Musailamah the Liar, and thus witnessed the fulfillment of prophecy upon him.  

One day, Ar-Rajjaal Ibn `Unfuwah went to the Messenger of Allah (PBUH) and acknowledged him and learned the teachings of Islam. Then he went to his people and did not return to Al Madiinah till the death of the Prophet and the choice of As-siddiiq as the Caliph of the Muslims. Ar-Rajjaal told Abu Bakr the news of the inhabitants of Al-Yamaamah and their support for Musailamah and proposed that he be sent to Al-Yamaamah as an envoy in order to confirm Islam among them! The Caliph gave him permission. Ar-Rajjaal went to Al-Yamaamah, and when he saw the numerous supporters of Musailamah, he believed that they would be the victors. His perfidious nature caused him to reserve a place in the prospective state of Musailamah. Consequently, he apostatized from Islam and joined Musailamah, who promised him a prosperous future.  

        Ar-Rajjaal was more dangerous to Islam than Musailamah himself because he exploited his previous association with Islam and the period he had lived with the Messenger in Al-Madiinah, memorizing many verses of the Holy Qur'aan, and his intercession to Abu Bakr (May Allah be pleased with him), the Caliph of the Muslims. Ar-Rajjaal exploited all those things for evil purposes and cunningly supported and confirmed the sovereignty of Musailamah and his false prophethood.  

        He walked among people saying that he heard the Messenger of Allah say that he had taken Musailamah into partnership and when the Messenger (PBUH) died, he was worthy of carrying the banner of prophethood and revelation after him.  

        The number of Musailamah's supporters increased to a great extent because of the lies of Ar-Rajjaal and his cunning exploitation of his previous relationships with Islam and the Messenger (PBUH). When the news of Ar-Rajjaal reached Al-Madiinah, the Muslims were exceedingly angry because of the lies of this dangerous apostate who used to mislead people. His evil words and deeds expanded the range of the war and intensified the conflict the Muslims had with their enemies and adversaries. The most anxious and the most eager to meet Ar-Rajjaal was Zaid Ibn Al-Khattaab, whose heroism and fame was outstanding in the biographies and books of Islamic history.  

       1 am sure that you have heard about Zaid Ibn Al-Khattaab. He was the brother of `Umar Ibn Al- Khattaab (May Allah be pleased with both). Yes, he was his elder brother. He was older than `Umar Ibn Al-Khattaab and he embraced Islam and gained the honor of martyrdom before him.  

 He was the ideal hero whose motto was "Actions speak louder than words." His faith in Allah and His Messenger and His religion was strong and firm. He never stayed away from the Messenger in any setting, and in every battle he sought martyrdom more than he sought victory.  

        On the Day of Uhud, when the fight between the believers and the polytheists was very fierce, Zaid was fighting boldly. His brother `Umar Ibn Al-khattaab (May Allah be pleased with him) saw him as his shield fell down and he was within reach of the enemies. `Umar cried, `O Zaid, take my shield and fight with it!" Zaid replied, `I want martyrdom as you want it." He continued fighting without his shield with astonishing heroism.  

        As we mentioned before, Zaid (May Allah be pleased with him) was longing to meet Ar-Rajjaal, wishing to put an end to his devilish life.  

        In Zaid's opinion, Ar-Rajjaal was not only an apostate but also a hypocrite and self-seeker. Zaid was like his brother `Umar Ibn Al -khattaab in his abhorrence of hypocrisy and lying, especially when hypocrisy aimed at selfish gain and mean purposes. For those mean purposes Ar-Rajjaal committed his atrocious acts, resulting in the numbers of Musailamah's supporters greatly increasing and causing great numbers of deaths in the Apostate Battles . First he deceived them, and finally he led them to their deaths for the sake of his devilish hopes. 

        Zaid prepared himself to conclude his faithful life by annihilating that impiety not only in Musailamah's person but also in Ar-Rajjaal Ibn `Unfuwah, who was more dangerous and more cunning.  

        The Day of Al-Yamaamah began gloomy and dim. Khaalid Ibn Al-Waliid gathered the Army of Islam and directed it to its positions and left the leadership of the army to Zaid lbn Al-Khattaab, who fought Bani Haniifah, the followers of Musailamah, boldly and fiercely. At the beginning, the battle was leaning towards the side of the polytheists, and many of the Muslims fell as martyrs. Zaid saw the feelings of horror in the hearts of some Muslims, so he climbed a hill and cried, "O people! Grit your teeth, fight your enemy and go straight By Allah, I'll never speak till Allah beats them or I meet Him and then I give my evidence." Then he descended, gritting his teeth, pressing this lips, never moving his tongue with even a whisper. 

       His only hope was to kill Ar-Rajjaal, so he began to penetrate the enemy army like an arrow searching for its target, until he saw him.  

        Then he began to attack him from right and left. Whenever the deluge of the battle swallowed Ar- Rajjaal and hid him, Zaid dived towards him until the waves pushed him to the surface again. Zaid approached him and stretched out his sword towards him, but the furious human waves swallowed Ar- Rajjaal again. Then Zaid followed and dived after him so as not to allow him to escape.  

        At last, Zaid held him by his neck and with the sword, he cut off his head which was full of vanity, lies, and villainy. By the death of the great liar, the ranks of its whole army began to fall. Musailamah and Al-Mahkam lbn At-Tufail were filled with horror. The killing of Ar-Rajjaal spread in Musailamah's army like a fire on a stormy day.  

        Musailamah used to promise them inevitable victory and that he, Ar-Rajjaal, and Al-Mahkam Ibn Attufail would promulgate their new religion and establish their state on the day following their victory! Now that Ar-Rajjaal was killed, the whole prophecy of Musailamah was seen as a lie, and tomorrow Al- Mahkam and Musailamah would meet the same fate. Thus the fatal blow of Zaid Ibn Al-Khattaab caused all that destruction in the lines of Musailamah.  

        No sooner did the Muslims hear the news than they were filled with pride and dignity. The wounded men rose again holding their swords, taking no interest in their wounds.  

  Even for those who were about to die, nothing connected them with life except that very faint light caused by hearing the good news which was like a very beautiful and rosy dream. They wished, if they had any strength to fight with, they would be able to witness the triumph of the battle in its glorious conclusion. But how could that be? Since the doors of Paradise had opened to welcome them, they were now hearing their names while they were being called to immortality!  

        Zaid raised his hands towards Heaven supplicating Allah and thanking Him for His blessings. Then he returned to his sword and his silence, as he had sworn by Allah not to utter a word until he had completed the victory or gained the honor of martyrdom.  

        The battle began to lean to the side of the Muslims and their inevitable victory began to approach rapidly. At that moment Zaid did not desire a better conclusion to his life than praying to Allah to grant him martyrdom on that Day of Yamaamah! The wind of Paradise blew to fill his soul with longing, his eyes with tears, and his determination with firmness. He began to fight as if he were searching for his glorious destiny, and the hero fell. So he died a martyr, magnanimously, gracefully and happily. The Army of Islam returned to Al-Madiinah victorious. 

        While `Umar and the Caliph Abu Bakr were welcoming those who were returning trimuphantly, `Umar began to search for his homecoming brother with longing eyes.  

       Zaid was so tall that he could be easily recognized. But before `Umar had strained his eyes, one of the returning Muslims approached and consoled him. `Umar said, `May Allah have mercy upon Zaid, he preceded me in two instances. He embraced Islam before me and gained martyrdom before me, too."  

        In spite of the victories that Islam won and enjoyed, `Umar "Al Faaruuq" (Umar) never forgot his brother Zaid, and he always said, "Whenever the east wind blows, I smell the scent of Zaid."  

        Yes! The east wind carries the perfume of Zaid (May Allah be pleased with him). But if the caliph gives me permission to add these words to his great expression so as to complete the meaning of his saying, these are the words.  ''Whenever the winds of triumph blow on Islam since the Day of Al- Yamaamah, I am finds the scent, the struggles, the heroism, and the greatness of Zaid in these winds!" Blessings be upon Al-khattaab under the flag of the Messenger (PBUH).

Blessed be they the moment they embraced Islam. Blessed be they when they fought and were martyred. And blessings be upon them in the hereafter.




.¤ª"˜¨¯¨¨Zaid Ibnul Khatthab oZaid Ibn Al-Khattaab¸,ø¨¨"ª¤. 



Categories: