acebook



.¤ª"˜¨¯¨¨Sa'adz Bin Mu'adz oSa'a Ibn Mu'aadh¸,ø¨¨"ª¤.
"Kebahagiaan bagimu, wahai Abu Amr".


Pada usia 31 tahun ia masuk Islam . . . . Dan dalam usia 37 tahun ia pergi menemui syahidnya . . . . 

Dan antara hari keislamannya sampai saat wafatnya, telah diisi oleh Sa’ad bin Muadz dengan karya-karya gemilang dalam berbakti kepada Allah dan Rasul-Nya . . . .Lihatlah : . . ! Gambarkanlah dalam ingatan kalian laki-laki yang anggun berwajah tampan berseri-seri, dengan tubuh tinggi jangkung dan badan gemuk gempal … ? 

Nah, itulah dia … !

Bagai hendak dilipatnya bumi dengan melompat dan berlari menuju rumah As’ad bin Zurarah, untuk melihat seorang pria dari Mekah bernama Mush’ab bin Umeir yang dikirim oleh Muhammad saw. sebagai utusan guna menyebarkan tauhid dan Agama Islam di Madinah ….Memang, ia pergi ke sana dengan tujuan hendak mengusir perantau ini ke luar perbatasan Madinah, agar ia membawa kembali Agamanya dan membiarkan penduduk Madinah dengan agama mereka … !

Tetapi baru Saja ia bersama Useid bin Zurarah sampai ke dekat majlis Mush’ab di rumah sepupunya, tiba-tiba dadanya telah terhirup udara segar yang meniupkan rasa nyaman .Dan belum lagi ia sampai kepada hadirin dan duduk di antara mereka memasang telinga terhadap uraian-uraian Mush’ab, maka petunjuk Allah telah menerangi jiwa dan ruhnya.

Demikianlah, dalam ketentuan taqdir yang mengagumkan, mempesona dan tidak terduga, pemimpin golongan Anshar itu melemparkan lembingnya jauh-jauh, lalu mengulurkan tangan kanannya mengangkat bai’at kepada utusan Rasulullah sawDan dengan masuk Islamnya Sa’ad, bersinarlah pula di Madinah mata hari baru, yang pada garis edarnya akan berputar dan beriringan qalbu yang tidak sedikit jumlahnya, dan bersama Nabi Muhammad saw. menyerahkan diri mereka kepada Allah Robbul’alamin … !Sa’ad telah memeluk Islam, memikul tanggung jawab itu dengan keberanian dan kebesaran . . . . Dan tatkala Rasulullah hijrah ke Madinah, maka rumah-rumah kediaman Bani Abdil Asyhal, yakni kabilah Sa’ad, pintunya terbuka lebar bagi golong­an Muhajirin, begitu pula semua harta kekayaan mereka dapat dimanfa’atkan tanpa batas, pemakainya tidak perlu rendah diri dan jangan takut akan disodori bon perhitungan.Dan datanglah saat perang Badar . . . . Rasulullah saw. me­ngumpulkan shahabat-shahabatnya dari golongan Muhajirin dan Anshar untuk bermusyawarah dengan mereka tentang urusan perang itu . . . . Dihadapkannya wajahnya yang mulia ke arah orang-orang Anshar, seraya katanya: “Kemukakanlah buah fikiran kalian, wahai shahabat … !”

Maka bangkitlah Sa’ad bin Mu’adz tak ubah bagi bendera di atas tiang, katanya:“Wahai Rasulullah . .. ! Kami telah beriman kepada anda, kami percaya dan mengakui bahwa apa yang anda bawa itu adalah hal yang benar, dan telah kami berikan pula ikrar dan janji-janji kami. Maka laksanakanlah terus, ya Rasul­allah apa yang anda inginkan, dan kami akan selalu bersama anda … ! Dan demi Allah yang telah mengutus anda mem­bawa kebenaran! Seandainya anda menghadapkan kami ke lautan ini lalu anda menceburkan diri ke dalamnya, pastilah kami akan ikut mencebur, tak seorang pun yang akan mundur, dan kami tidak keberatan untuk menghadapi musuh esok pagi! 

Sungguh, kami tabah dalam pertempuran dan teguh menghadapi perjuangan . . . ! Dan semoga Allah akan memperlihatkan kepada anda tindakan kami yang menyenangkan hati . . . ! Maka marilah kita berangkat dengan berkah Allah Ta’ala … !”

Kata-kata Sa’ad itu muncul tak ubah bagai berita gembira,dan wajah Rasul pun bersinar-sinar dipenuhi rasa ridla dan bangga serta bahagia, lalu katanya kepada Kaum Muslimin:“Marilah kita berangkat dan besarkan hati kalian karena Allah telah menjanjikan kepadaku salah satu di antara dua golongan! . . . Demi Allah, . .. sungguh seolah-olah tampak olehku kehancuran orang-orang itu … !” (al-Hadits)Dan di waktu perang Uhud, yakni ketika Kaum Muslimin telah cerai-berai disebabkan serangan mendadak dari tentara musyrikin, maka takkan sulit bagi penglihatan mata untuk menemukan kedudukan Sa’ad bin Mu’adz ….

Kedua kakinya seolah-olah telah dipakukannya ke bumi di dekat Rasulullah saw. mempertahankan dan membelanya mati­-matian, suatu hal yang agung, terpancar dari sikap hidupnya ….Kemudian datanglah pula saat perang Khandak, yang dengan jelas membuktikan kejantanan Sa’ad dan kepahlawanannya . . . . Perang Khandak ini merupakan bukti nyata atas persekongkolan dan siasat licik yang dilancarkan kepada Kaum Muslimin tanpa ampun, yaitu dari orang-orang yang dalam pertentangan mereka, tidak kenal perjanjian atau keadilan.

Maka tatkala Rasulullah saw. bersama para shahabat hidup dengan sejahtera di Madinah mengabdikan diri kepada Allah Saling nasihat-menasihati agar mentaati-Nya serta mengharap agar orang-orang Quraisy menghentikan serangan dan peperang­an, kiranya segolongan pemimpin Yahudi secara diam-diam pergi ke Mekah lalu menghasut orang-orang Quraisy terhadap Rasulullah sambil memberikan janji dan ikrar akan berdiri di samping Quraisy bila terjadi peperangan dengan orang-orang Islam nanti.Pendeknya mereka telah membuat perjanjian dengan orang-­orang musyrik itu, dan bersama-sama telah mengatur rencana dan siasat peperangan. 

Di samping itu dalam perjalanan pulang mereka ke Madinah, mereka berhasil pula menghasut suatu suku terbesar di antara suku-suku Arab yaitu kabilah Gathfan dan mencapai persetujuan untuk menggabungkan diri, dengan tentara Quraisy.Siasat peperangan telah diatur dan tugas Serta peranan telah dibagi-bagi. Quraisy dan Gathfan akan menyerang Madinah dengan tentara besar, sementara orang-orang Yahudi, di waktu Kaum Muslimin mendapat serangan secara mendadak itu, akan melakukan penghancuran di dalam kota dan sekelilingnya!Maka tatkala Nabi saw. mengetahui permufakatan jahat ini, beliau mengambil langkah-langkah pengamanan. 

Dititah­kannyalah menggali khandak atau parit perlindungan sekeliling Madinah untuk membendung serbuan musuh. 

Di samping itu diutusnya pula Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah kepada Ka’ab bin Asad pemimpin Yahudi suku Quraidha untuk menyelidiki sikap mereka yang sesungguhnya terhadap orang yang akan datang, walaupun antara mereka dengan Nabi saw. sebenarnya sudah ada beberapa perjanjian dan persetujuan damai.Dan alangkah terkejutnya kedua utusan Nabi, karena ketika bertemu dengan pemimpin Bani Quraidha itu, jawabnya ialah: “Tak ada persetujuan atau perjanjian antara kami dengan Mu­hammad . . . !”

Menghadapkan penduduk Madinah kepada pertempuran sengit dan pengepungan ketat ini, terasa amat berat bagi Rasul­ullah saw.. Oleh sebab itulah beliau memikirkan sesuatu siasat untuk memisahkan suku Gathfan dari Quraisy, hingga musuh yang akan menyerang, bilangan dan kekuatan mereka akan tinggal separoh.Siasat itu segera beliau laksanakan yaitu dengan mengadakan perundingan dengan para pemimpin Gathfan dan menawarkan agar mereka mengundurkan diri dari peperangan dengan imbalan akan mendapat sepertiga dari hasil pertanian Madinah.

 Tawaran itu disetujui oleh pemimpin Gathfan, dan tinggal lagi mencatat persetujuan itu hitam di atas putih . . . .Sewaktu usaha Nabi sampai sejauh ini, beliau tertegun, karena menyadari tiadalah sewajarnya la memutuskan sendiri masalah tersebut. Maka dipanggilnyalah para shahabatnya untuk merundingkannya.

 Terutama Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah, buah fikiran mereka amat diperhatikannya, karena kedua mereka adalah pemuka Madinah,dan yang pertama kali berhak untuk membicarakan soal tersebut dan memilih langkah mana yang akan diambil ….Rasulullah menceritakan kepada mereka berdua peristiwa perundingan yang berlangsung antara Dia dengan para ­pemimpin Gathfan. Tak lupa ia menyatakan bahwa langkah itu diambilnya ialah karena ingin menghindarkan kota dan penduduk Madinah dari serangan dan pengepungan dahsyat.

Kedua pemimpin itu tampil mengajukan pertanyaan:“Wahai Rasulullah, apakah ini pendapat anda sendiri, ataukah wahyu yang dititahkan Allah … ?” 
Ujar Rasulullah:
 “Bukan, tetapi ia adalah pendapatku yang kurasa baik untuk tuan-­tuan! Demi Allah, saya tidak hendak melakukannya kecuali karena melihat orang-orang Arab hendak memanah tuan-tuan secara serentak dan mendesak tuan-tuan dari segenap jurusan. 

Maka saya bermaksud hendak membatasi kejahatan mereka sekeeil mungkin … !”Sa’ad bin Mu’adz merasa bahwa nilai mereka sebagai laki-laki dan orang-orang beriman,mendapat ujian betapa juga coraknya. Maka katanya:“Wahai Rasulullah! Dahulu kami dan orang-orang itu berada dalam kemusyrikan dan pemujaan berhala, tiada mengabdi­kan diri pada Allah dan tidak kenal kepada-Nya, sedang mereka tak mengharapkan akan dapat makan sebutir kurma pun dari hasil bumi kami kecuali bila disuguhkan atau dengan cara jual beli .. .. Sekarang, apakah setelah kami mendapat kehormatan dari Allah dengan memeluk Islam dan mendapat bimbingan untuk menerimanya, dan setelah kami dimuliakan­Nya dengan anda dan dengan Agama itu, lalu kami harus menyerahkan harta kekayaan kami … ?

 Demi Allah, kami tidak memerlukan itu, dan demi Allah, kami tak hendak memberi kepada mereka kecuali pedang . . . hingga Allah menjatuhkan putusan-Nya dalam mengadili kami dengan mereka. . . !”Tanpa membuang waktu Rasulullah saw. merubah pendiriannya dan menyampaikan kepada para pemimpin suku Gathfan bahwa shahabat-shahabatnya menolak rencana perundingan, dan bahwa beliau menyetujui dan berpegang kepada putusan shahabat­nya….Selang beberapa hari, kota Madinah mengalami penge­pungan ketat. Sebenarnya pengepungan itu lebih merupakan pilihannya sendiri daripada dipaksa orang, disebabkan adanya parit yang digali sekelilingnya untuk menjadi benteng perlin­dungan bagi dirinya. 
Kaum Muslimin pun memasuki suasana perang. Dan Sa’ad bin Mu’adz keluar membawa pedang dan tombaknya sambil berpantun:

“Berhentilah sejenak, nantikan berkecamuknya perang Maut berkejaran menyambut ajal datang menjelang … !”

Dalam salah satu perjalanan kelilingnya nadi lengannya disambar anak panah yang dilepaskan oleh salah seorang musyrik. Darah menyembur dari pembuluhnya dan segera ia dirawat secara darurat untuk menghentikan keluarnya darah. Nabi saw. menyuruh membawanya ke mesjid, dan agar didirikan kemah untuknya agar ia berada di dekatnya selama perawatan.Sa’ad, tokoh muda mereka itu dibawa oleh Kaum Muslimin ke tempatnya di mesjid Rasul. Ia menunjukkan pandangan mata­nya ke arah langit, lalu mohonnya:“Ya Allah, jika dari peperangan dengan Quraisy ini masih ada yang Engkau sisakan, maka panjangkanlah umurku untuk menghadapinya! Karena tak ada golongan yang diinginkan untuk menghadapi mereka daripada kaum yang telah meng­aniaya Rasul-Mu, telah mendustakan dan mengusirnya … ! 

Dan seandainya Engkau telah mengakhiri perang antara kami dengan mereka, jadikanlah kiranya musibah yang telah menimpa diriku sekarang ini sebagai jalan untuk menemui syahid … !

Dan janganlah aku dimatikan sebelum tercapai­nya yang memuaskan hatiku dengan Bani Quraidha … !”Allah-lah yang menjadi pembimbingmu, wahai Sa’ad bin Mu’adz … ! Karena siapakah yang mampu mengeluarkan ucapan seperti itu dalam suasana demikian, selain dirimu … ?

Dan permohonannya dikabulkan oleh Allah. Luka yang dideritanya menjadi penyebab yang mengantarkannya ke pintu syahid, karena sebulan setelah itu, akibat luka tersebut ia kem­bali menemui Tuhannya. Tetapi peristiwa itu terjadi setelah hatinya terobati terhadap Bani Quraidha.

Kisahnya ialah~setelah orang-orang Quraisy merasa putus asa untuk dapat menyerbu kota Madinah dan ke dalam barisan mereka menyelinap rasa gelisah, maka mereka sama mengemasi barang perlengkapan dan alat senjata, lalu kembali ke Mekah dengan tangan kosong.Rasulullah saw. berpendapat, mendiamkan perbuatan orang­orang Quraidha,berarti membuka kesempatan bagi kecurangan dan pengkhianatanmereka terhadap kota Madinah bilamana saja mereka menghendaki, suatu hal yang tak dapat dibiarkan berlalu! Oleh sebab itulah beliau mengerahkan shahabat-sha­habatnya kepada Bani Quraidha itu. Mereka mengepung orang-­orang Yahudi itu selama 25 hari. 

Dan tatkala dilihat oleh Bani Quraidha bahwa mereka tak dapat melepaskan diri dari Kaum Muslimin, mereka pun menyerahlah dan mengajukan permohon­an kepada Rasulullah yang mendapat jawaban bahwa nasib mereka akan tergantung kepada putusan Sa’ad bin Mu’adz. Di masa jahiliyah dahulu, Sa’ad adalah sekutu Bani Quraidha …. Nabi saw. mengirim beberapa shahabat untuk membawa Sa’ad bin Mu’adz dari kemah perawatannya di mesjid. Ia dinaikkan ke atas kendaraan, sementara badannya kelihatan lemah dan menderita sakit.
Kata Rasulullah kepadanya: 
 ”Wahai Sa’ad! Berilah kepu­tusanmu terhadap Bani Quraidha . . . !” 

Dalam fikiran Sa’ad terbayang kembali kecurangan Bani Quraidha yang berakhir dengan perang Khandak dan nyaris menghancurkan kota Madinah serta penduduknya. 
Maka ujar Sa’ad: — “Menurut pertimbanganku, orang-orang yang ikut berperang di antara mereka hendaklah dihukum mati. Perempuan dan anak mereka diambil jadi tawanan, sedang harta kekayaan mereka dibagi­-bagi . .. !”Demikianlah, sebelum meninggal, hati Sa’ad telah terobatt terhadap Bani Quraidha . . . .Luka yang diderita Sa’ad setiap hari bahkan setiap jam kian sertambah parah . . . . 

Pada suatu hari Rasulullah saw. datang menjenguknya. Kiranya didapatinya, ia dalam saat ter­akhir dari hayatnya. Maka Rasulullah meraih kepalanya dan menaruhnya di atas pangkuannya, lalu berdu’a kepada Allah, katanya: “Ya Allah, Sa’ad telah berjihad di jalan-Mu; ia telah membenarkan Rasul-Mu dan telah memenuhi kewajibannya.

Maka terimalah ruhnya dengan sebaik-baiknya cara Engkau menerima ruh . . . !”Kata-kata yang dipanjatkan Nabi itu rupanya telah mem­berikan kesejukan dan perasaan tenteram kepada ruh yang hendak pergi. 

Dengan susah payah dicobanya membuka kedua matanya dengan harapan kiranya wajah Rasulullah adalah yang terakhir dilihatnya selagi hidup ini, katanya: “Salam atasmu, wahai Rasulullah … ! Ketahuilah bahwa aku mengakui bahwa anda adalah Rasulullah!”Rasulullah pun memandangi wajah Sa’ad lalu katanya: “Kebahagiaan bagimu wahai Abu Amr … ! “

Berkata Abu Sa’id al-Khudri: — “Saya adalah salah seorang yang menggali makam untuk Sa’ad …. Dan setiap kami menggali satu lapisan tanah, tercium oleh kami wangi kesturi, hingga sampai ke liang lahat”.Musibah dengan kematian Sa’ad yang menimpa Kaum Mus­limin terasa berat sekali. Tetapi hiburan mereka juga tinggi nilainya, karena mereka dengar Rasul mereka yang mulia ber­sabda: “Sungguh, ‘Arasy Tuhan Yang Rahman bergetar dengan berpulangnya Sa’ad bin Mu’adz . . . !”

(45)  
SA'D IBN MU'AADH  
Rejoice, Abu Amr! 
        He committed himself to Islam at the age of 31 and won martyrdom at 37. This seven years lapse was a tough one in which Sa'd lbn Mu`aadh (May Allah be pleased with him) exerted all his energy in the service of Allah and His Messenger (PBUH).  

        Look Do you see that handsome, gallant, tall man with a radiant face? He is the one. He ran quickly to As'ad Ibn Zuraarah to see this man who came from Makkah, Mus`ab Ibn `Umair, whom Muhammad (PBUH) had sent to Al-Madiinah to call people to commit themselves to Islam and monotheism. He was going there to drive this stranger out of Al-Madiinah along with his religion. But no sooner had he approached Mus`ab's assembly at the house of his nephew, As'ad Ibn Zuraarah, than his heart was revived by a sweet pacifying breeze. No sooner had he reached those men who gathered there, taken his place among them and listened intently to Mus`ab's words than Allah guided him to the right path that illuminated his heart and soul. In one of the incredible miracles of fate, the leader of the Ansaar put aside his spear and shook hands with Mus`ab as a sign of his allegiance to the Prophet (PBUH).  

       A new sun shone on Al-Madiinah as soon as Sa'd Ibn Mu'aadh committed himself to Islam. It would encompass many hearts that would revolve in the sphere of Islam later on.

Sa'd committed himself to Islam and withstood the hardships that ensued with much heroism and greatness. When the Prophet (PBUH) emigrated to  Al-Madiinah,the houses of Bani Al-Ashhal - Sa'd's tribe - welcomed the Muhaajiruun, and their money was utterly at their disposal without arrogance, abuse, or limitation. When the Battle of Badr was about to take place, the Prophet (PBUH) gathered his Companions, both Ansaar and Muhaajiruun, to consult them on the preparations for war. His amiable face turned towards the Ansaar and he addressed them saying, "I want to know your opinion about what should be done concerning the imminent battle."  

       Sa`d Ibn Mu'aadh stood up and said "O Prophet of Allah, we firmly believe in you, and we witness that what descends on you is the truth. We swore a solemn oath and gave you the allegiance, so go ahead with whatever you want, and we shall stand by your side. We swear by Allah Who has sent you with the truth that if you reach the sea and cross it, we will cross it hand in hand with you. No man will lag or stay behind. We are absolutely ready to go to war against our enemy tomorrow for we are given to terrible warfare and we are sincere in our desire to meet Allah. I hope that Allah will make us do what will make you proud of us. So go on with whatever is in your mind. Allah bless you."  

       Sa'd's words made the Prophets' face brighten with satisfaction and happiness as he addressed the Muslims and said, "Rejoice, for Allah promised me one of the two parties of the enemy (either the army or the caravan). By Allah I can almost see with my own eyes where each one of the enemy will be killed."  

       In the Battle of Uhud, the Muslims lost control and dispersed as they were taken by surprise by the army of disbelievers. Everything was hectic, yet Sa'd lbn Mu'aadh stood there as if pinned to the ground next to the Prophet (PBUH). He defended him courageously as a noble warrior should do.  

        The Battle of Al-Khandaq came as a suitable opportunity for Sa`d to show his admirable manliness and amazing valor. The Khandaq Battle came as a clear sign for the shrewd and deceitful schemes with which Muslims were being ruthlessly haunted by an enemy who had no consideration whatsoever for justice or covenant. For while the Prophet (PBUH) and his Companions were living in Al-Madiinah in peace, reminding one another to worship and obey Allah, hoping that the Quraish would refrain from their hostility, a group of Jewish leaders stealthily headed for Makkah to instigate the Quraish against the Prophet (PBUH). The Jews pledged to help the Quraish if they decided to raid Al- Madiinah. They made an agreement with the disbelievers and even laid down the battle plan. Moreover, on their way home they incited Bani Ghatfaan - one of the biggest Arab tribes - and made an agreement with its leaders to join forces with the Quraish army.  

       The war plan was ready and everyone knew his role. The Quraish and Ghatfaan were to attack Al- Madiinah with an enormous army, whereas the Jews were to sabotage Al-Madiinah simultaneously with the attack.  

        When the Prophet (PBUH) found out the treacherous scheme, he resorted to counter plot. First, he ordered his Companions to dig a trench around Al-Madiinah to hold back the attackers. Second, he sent Sa'd lbn Mu'aadh and Sa`d lbn `Ubaadah to Ka'b lbn Asad, the leader of Bani Quraidhah, to learn exactly where they stood concerning the imminent war. At that time, mutual agreements and treaties were already signed between the Prophet (PBUH) and the Jews of Bani Quraidhah. The two messengers of the Prophet met with the Jewish leader, yet to their surprise he denied the agreement by saying, "We did not sign any agreement or treaty with Muhammad."  

        It was hard for the Prophet to expose the people of Al Madiinah to such a deadly invasion and exhausting siege; therefore, the only answer was to neutralize Ghatfaan so that the attacking army would lose half of its men and strength. He began to negotiate with the Ghatfaan leaders so that they would forsake the Quraish in exchange for one third of Al-Madiinah's crops. The leaders of Ghatfaan accepted this agreement, and both parties were to sign it shortly. 

       The Prophet (PBUH) could not go any further without consulting his Companions. He valued Sa'd Ibn Mu`aadh and Sa'd Ibn `Ubaadah's opinion, for they were the leaders of Al- Madiinah and had the right to have a say in any decision that affected it.  

        The Prophet (PBUH) told them about his negotiations and that he had resorted to this compensation lest Al-Madiinah and its inhabitants be exposed to this dangerous attack and horrible siege. Both Sa'ds asked the Prophet (PBUH), "Is it a matter of choice or is it an inspiration from Allah?" The Prophet (PBUH) answered, "It is actually a matter that I chose for you. By Allah, I only do this because I can clearly see that the Arabs joined forces to strike you as one man so I want to curb their strength."

Sa'd lbn Mu'aadh had the intuition that their fate as men and as believers was being subtly tested so he said, "O Messenger of Allah, when we and those Jews were disbelievers and polytheists, they did not even dream of eating a date from our land unless we gave it to them out of generosity, hospitality, or for trade purposes. So how is it, after Allah has guided us to Islam and made us honored by it and by you, that we give them our money? By Allah, we can do without this agreement, and we will give them nothing but warfare until Allah settles our dispute." The Prophet (PBUH) at once changed his mind and notified Ghatfaan's leaders that his Companions rejected the proposed agreement and that he approved and supported their opinion. 

        A few days later Al-Madiinah witnessed a horrible siege. It was, in fact, a siege which it brought upon itself rather than was forced upon it due to the trench that was dug as a protection and safely procedure. The Muslims were prepared for war. Sa'd Ibn Mu`aadh marched around with his sword and spear and recited lines of poetry that mean, `I waited anxiously for the battle to start. How beautiful death seems when the time is the right time.''  

        In one of the rounds of war, Sa`ds arm was showered with the mows of one of the disbelievers, and blood gushed severely from his wounds. He received first aid assistance to stop the bleeding, then the Prophet (PBUH) ordered him carried to the mosque where a tent was put up so that he would be near the Prophet while he was nursed. The Muslims carried their great hero into the Prophet's mosque and Sa`d looked up to the sky and said, `O Allah our Lord, if the war against the Quraish is to last any longer, please do let me live a little while longer to fight against them, for I like nothing better than fighting those people who hurt Your Prophet, disbelieved him, and even drove him to emigrate. But if the war has already ended, please make my wounds pave my way to martyrdom. I implore You, dear Allah, not to let me die until I avenge myself upon Bani Quraidhah!" 

        Allah will stand by you, Sa'd lbn Mu'aadh! For who could say such a thing in such a situation but you ? Allah did fulfill his supplication. His injury caused his death a month later, but he did not die until he had taken his revenge on the Jews of Bani Quraidhah. After the Quraish became desperate in their attempt to vanquish Al Madiinah and their soldiers were gripped by panic, they took their arms and equipment and returned to Makkah ashamed and disappointed.  

        The Prophet (PBUH) believed that Al-Madiinah had been compromised by the deceit and treachery of the Jews for too long. They left the Muslims in the lurch whenever they chose, a thing that the Prophet could no longer accept. Therefore, he ordered his Companions to march towards Bani Quraidhah, and there the Muslims besieged them for 25 days. When the Jews were certain that there was no escape from the Muslims, they pleaded with the Prophet (PBUH) to let Sa'd lbn Mu'aadh, their ally in pagan times, decide what would become of them.  

        The Prophet (PBUH) sent his Companions to bring Sa'd from his tent at the mosque. He came carried on a camel and he looked so pale and sick. The Prophet (PBUH) addressed him, "Sa`d, decide what should be done to Bani Quraidhah." Sa`d remembered their treachery and deceit in general and in the Battle of Al Khandaq in particular, when Al-Madiinah had come too close to its ruin, and said, "I say kill their warriors, capture their children, and distribute their money." Thus Sa`d did not die until he had taken his revenge.  

        Sa`d's wounds became worse every day. One day, the Prophet (PBUH) visited Sa'd and found him on the verge of death, so he put his head on his blessed lap and called upon Allah, "O Allah, Our Lord, Sa'd has striven hard in the way of Allah. He believed in Your Prophet and did his very best. So please do accept his soul with goodly acceptance." The words of the Prophet (PBUH) fell like coolness and safety on the departing noble soul. 

He strove to open his eyes, hoping that the last face he saw would be the Prophet's and said, 
"Peace be upon you, Prophet. I do witness that you are indeed the Messenger of Allah."  

       The Prophet (PBUH) took a farewell look of Sa`d's face and said, "Rejoice, Abu `Amr." Abu Sa`iid Al-Khudriy (May Allah be pleased with him) said, "I was one of those who dug Sa'd's grave, and each time we dug out a layer of sand, we smelled musk. This went on until we reached his burial niche." 

Sa'd's death was a tragic loss for the Muslims. Their only consolation was when they heard the Prophet (PBUH) say, "The throne of the Most Beneficent shook when Sa'd lbn Mu'aadh died."  


.¤ª"˜¨¯¨¨Sa'adz Bin Mu'adz oSa'a Ibn Mu'aadh¸,ø¨¨"ª¤.







.¤ª"˜¨¯¨¨Ubay Bin Ka'ab oUbaiy Ibn Ka'b¸,ø¨¨"ª¤.
"Selamat nagimu, hai Abu Munzir,
atas ilmu yang kau capai".


Pada suatu hari Rasulullah saw. menanyainya:
 “Hai Abul Munzir! Ayat manakah dari Kitabullah yang teragung?”
 Orang itu menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu!” 
Nabi saw. mengulangi pertanyaannya: 
“Abul Munzir! Ayat manakah dari Kitabullah yang teragung?” 
Maka jawabnya: “Allah tiada Tuhan melainkan Ia, Yang Maha Hidup lagi Maha Pengatur’..(Q-S. 2 al-Baqarah:255)

Rasulullah saw. pun menepuk dadanya,dan dengan rasa bangga yang tercermin pada wajahnya, katanya: “Hai Abul Munzir! Selamat bagi anda atas ilmu yang anda capai!”Abul Munzir yang mendapat ucapan selamat dari Rasul yang mulia atas ilmu dan pengertian yang dikaruniakan Allah kepadanya itu tiada lain dari Ubai bin Ka’ab, seorang shahabat yang mulia ….

Ia adalah seorang warga Anshar dari suku Kharraj, dan ikut mengambil bagian dalam perjanjian ‘Aqabah, pedang Badar dan peperangan-peperangan penting lainnya. Ia mencapai kedudukan tinggi dan derajat mulia di kalangan Muslimin angkatan pertama, hingga Amirul Mu’minin Umar sendiri pernah mengatakan tentang dirinya:“Ubai adalah pemimpin Kaum Muslimin …Ubai bin Ka’ab merupakan salah seorang perintis dari penulis-­penulis wahyu dan penulis-penulis Surat. Begitupun dalam menghafal al-Quranul Karim, membaca dan memahami ayat­-ayatnya, ia termasuk golongan terkemuka.
Pada suatu hari Rasulullah saw. mengatakan kepadanya: 
“Hai Ubai bin Ka’ab! Saya dititahkan untuk menyampaikan al-Quran padamu”. 
Ubai maklum bahwa Rasulullah saw. hanya menerima perintah-perintah itu dari wahyu . . .. Maka dengan harap-harap cemas ia menanyakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, ibu-bapakku menjadi tebusan anda! Apakah kepada anda disebut namaku?” 
Ujar Rasulullah:
“Benar! Namamu dan turunanmu di tingkat tertinggi… !”Seorang Muslim yang mencapai kedudukan seperti ini di hati Nabi saw. pastilah la seorang Muslim yang Agung, amat Agung . . . ! 

Selama tahun-tahun persahabatan, yaitu ketika Ubai bin Ka’ab selalu berdekatan dengan Nabi saw., tak putus-putusnya ia mereguk dari telaganya yang dalam itu airnya yang manis. Dan setelah berpulangnya Rasulullah, Ubai bin Ka’ab menepati janji­nya dengan tekun dan setia, baik dalam beribadat, dalam ke­teguhan beragama dan keluhuran budi . . . . Di samping itu tiada henti-hentinya ia menjadi pengawas bagi kaumnya. 

Diingatkan­nya mereka akan masa-masa Rasulullah masih hidup, diperingat­kan keteguhan iman mereka, sifat zuhud, perangai dan budi pekerti mereka.Di antara ucapan-ucapannya yang menaguinkan yang selalu didengungkannya kepada shahabat-shahabatnya ialah: “Selagi kita bersama Rasulullah tujuan kita satu ….Tetapi setelah ditinggalkan beliau tujuan kita bermacam-­macam, ada yang ke kiri dan ada yang ke kanan … !”Ia selalu berpegang kepada taqwa dan menetapi zuhud terhadap dunia, hingga tak dapat terpengaruh dan terpedaya. Karena ia selalu menilik hakikat sesuatu pada akhir kesudahan nya. 

Sebagaimana jugs corak hidup manusia, betapapun ia berenang dengan lautan kesenangan, dan kancah kemewahan, tetapi pasti ia menemui maut di mana segalanya akan berubah menjadi debu, sedang di hadapannya tiada yang terlihat kecuali hasil perbuatannya yang baik atau yang buruk ….Mengenai dunia, Ubai pernah melukiskannya sebagai ber­ikut:“Sesungguhnya makanan manusia itu sendiri, dapat diambil sebagai perumpamaan bagi dunia, biar dikatakannya enak atau tidak, tetapi yang penting menjadi apa nantinya … ?”

Bila Ubai berbicara di hadapan khalayak ramai, maka semua leher akan terulur dan telinga sama terpasang, disebabkan sama terpukau dan terpikat, sebab apabila ia berbicara mengenai Agama Allah tiada seorang pun yang ditakutinya, dan tiada udang di balik batu.

Tatkala wilayah Islam telah meluas, dan dilihatnya sebahagi­an Kaum Muslimin mulai menyeleweng dengan menjilat pada pembesar-pembesar mereka, ia tampil dan melepas kata-katanya yang tajam: “celaka mereka, demi Tuhan! Mereka celaka dan mencelakakan! Tetapi saya tidak menyesal melihat nasib mereka, Hanya saya sayangkan ialah Kaum Muslimin“yang celaka di­sebabkan mereka … !”

Karena keshalehan dan ketaqwaannya, Ubai selalu menangis setiap teringat akan Allah dan hari yang akhir . . . . Ayat-ayat al-Quranul Karim baik yang dibaca atau yang didengarnya semua menggetarkan hati dan seluruh persendiannya.Tetapi suatu ayat di antara ayat-ayat yang mulia itu, jika dibaca atau terdengar olehnya akan menyebabkannya diliputi oleh rasa duka yang tak dapat dilukiskan. Ayat itu ialah:

“Katakanlah: Ia kuasa akan mengirim siksa pada kalian, baik dari atas atau dari bawah kaki kalian, atau membaur­kan kalian dalam satu golongan terpecah-pecah, dan ditimpakan-Nya kepada kalian perbuatan kawannya sendiri… !”    
(Q.S. 6 al-An’am: 65)

Yang paling dicemaskan oleh Ubai terhadap ummat Islam ialah datangnya suatu generasi ummat bercakar-cakaran sesama mereka.
Ia selalu memohon keselamatan kepada Allah . . . dan berkat karunia Berta rahmat-Nya, hal itu diperolehnya, dan ditemui­nya Tuhannya dalam keadaan beriman, aman tenteram dan memperoleh pahala ….


(44)  
UBAIY IBN KA'B  
Rejoice with the Knowledge, Abu Al-Mundhir 

        The Prophet (PBUH) asked Abu Al-Mundhir one day,
 "Which is the greatest verse in the Holy Qur'aan?" 
He answered, "Allah and His Prophet know best." 
The Prophet (PBUH) then repeated his question,
 "which is the greatest verse in the Holy Qur'aan, Abu Al Mundhir?" 
Ubaiy finally answered 
"Allah! None has the right to be worshiped but He, the Ever-Living, the One Who sustains and protects all that exists." (2: 255)  

        The Prophet's face brightened with joy as he patted Abu Al Mundhir on the back and said, "I congratulate you for having such knowledge and insight, Abu Al-Mundhir."  

        Abu Al-Mundhir whom the Prophet (PBUH) congratulated for the insight that Allah had bestowed on him is Ubaiy Ibn Ka'b, the great Companion. He was one of the Ansaar, the citizens of Al Madiinah who helped and aided the Muhaajiruun. He belonged to Al-Khazraj tribe. He witnessed the Pledge of Al- Aqabah, the Battle of Badr,and the rest of the great events. He held a highly distinguished position among those who were the first to commit themselves to Islam.  

       The Commander of the Faithful `Umar (May Allah be pleased with him) said, "Ubaiy is the master of the Muslims."  

       Ubaiy Ibn Ka'b was one of the first Muslim scribes who wrote down the revelation that descended on the Prophet (PBUH) as well as messages. He was a pioneer in learning the Holy Qur'aan by heart, reciting it in a slow, pleasant tone and comprehending its content. 

One day, the Holy Prophet (PBUH) said to Ubaiy lbn Ka'b,
 "I was ordered to recite the Qur'aan to you." Ubaiy knew that the Prophet (PBUH) took his orders from the Spirit, therefore, he was overwhelmed with thrill and asked the Prophet (PBUH) anxiously, "You are dearer to me than my own mother and father! Please tell me, did the Spirit mention me by name?" 
The Prophet (PBUH) answered, 
"Yes, it resounded your very name and your family name in the kingdom of heaven and earth."  

        Now, a Muslim who was so close to the Prophet (PBUH) must indeed be a special one. Throughout the years in which Ubaiy Ibn Ka`b accompanied the Prophet (PBUH), he tried to stay close to him so as to quench his thirst for Islam from the Prophet's inexhaustible spring. Ubaiy Ibn Ka'b adhered tenaciously to his covenant in worship, piety, and conduct. Even after the Prophet's death, he was always there to warn people against wrongdoing and remind them of their pledge, morals, and asceticism when the Prophet was alive. He used to address his companions in such impressive words saying, "We stood as one man when the Prophet was alive, but as soon as he departed we went in different directions."  

        He was steadfast in his adherence to piety. He resorted to asceticism to escape life's seduction and delusion. He saw that life really begins when it ends and that no matter how long a man lives in luxury surrounded by graces and blessings, he will end up empty handed but for his good deeds and bad deeds. Ubaiy contemplated about life and said, "Man's food is a good example of what life is all about, for no matter how much you are careful that it tastes delicious and that its ingredients are well proportioned, look what it turns to after you digest it."  

        Whenever Ubaiy addressed people, he was like a magnet that attracted their attention and interest. He feared no one but Allah and desired nothing of life. When Islam gained more lands and influence and he saw that Muslims flattered their rulers, he warned saying, "They are ruined and will ruin others. I don't pity them, but I pity the Muslims that they will ruin."  

        His extreme piety and fear of Allah made him cry whenever Allah or the Day of Judgment was mentioned. The noble Qur'aan's verses shook his heart and soul whenever he recited them or heard them recited. Yet a certain verse made him incredibly sad: "He has the power to send torment on you from above or from under your feet, or to cover you with confusion in party strife, and make you to taste the violence of one another" (6:65).  

        The thing that Ubaiy most dreaded was that one day the Islamic nation would suffer turmoil and violence at the hands of its own sons. He always asked Allah's safely and protection. He won it by Allah's mercy and grace and met Allah as a true believer who felt completely secure and rewarded.


.¤ª"˜¨¯¨¨Ubay Bin Ka'ab oUbaiy Ibn Ka'b¸,ø¨¨"ª¤.






.¤ª"˜¨¯¨¨Habib Bin Zaid oHabiib Ibn Zaid¸,ø¨¨"ª¤.
Lambang kecintaan dan pengurbanan. 


Pada bai’at ‘Aqabah ke-II yang telah Sering kita sebut-sebut, di mana 70 orang laki-laki dan dua orang wanita mengangkat bai’at kepada Rasulullah saw. maka Habib bin Zaid dan bapaknya Zaid bin ‘Ashim termasuk 70 orang yang turut mengambil bagian . . . . Ibunya yang bernama Nusaibah binti Ka’ab me­rupakan salah seorang dari dua wanita pertama yang bai’at kepada Rasulullah tersebut sedang satunya lagi ialah bibinya saudara dari ibunya Habib bin Zaid ….Dengan demikian Habib adalah seorang Mu’min dari ang­katan lama, di mana keimanan telah menjalari persendian sampai ke tulang sumsumnya. 

Dan semenjak hijrahnya Nabi ke Madinah, ia selalu berada di sampingnya tak pernah ketinggalandalam suatu peperangan dan tidak pula melalaikan suatu kewajiban ….

Pada suatu ketika, di selatan jazirah Arab muncullah dua pimpinan pembohong durjana yang mengakui diri mereka sebagai nabi dan menggiring manusia ke lembah kesesatan ….Salah seorang di antara mereka muncul di Sana’a, yaitu al-Aswad bin Ka’ab al-’Ansi, dan yang seorang lagi di Yamamah, itulah dia Musailamatul Kaddzab, Musailamah si pembohong besar …. Kedua penipu itu menghasut anak buahnya untuk memusuhi orang-orang beriman yang mengabulkan panggilan Allah serta Rasul-Nya di kalangan suku mereka, begitupun untuk menolak para utusan Rasul ke negeri mereka. Dan lebih celaka lagi, mereka menodai serta memandang enteng kenabian itu sendiri, dan membuat bencana serta menyebar kesesatan di muka bumi… .

Pada suatu hari, dengan tidak disangka-sangka Rasulullah didatangi oleh seorang utusan yang dikirim oleh Musailamah. Utusan itu membawa sepucuk surat yang berisi: “Dari Musailamah Rasulullah kepada Muhammad Rasulullah, terkirim salam …. Kemudian, ketahuilah bahwa saya telah diangkat sebagai serikat anda dalam hal ini, hingga kami beroleh separoh bumi sedang bagi Quraisy separohnya lagi. Tetapi ternyata orang-orang Quraisy aniaya … !”

Rasulullah memanggil salah seorang jurutulis di antara shahabat-shahabatnya, lalu dituliskannya jawaban terhadap Musailamah, bunyinya sebagai berikut:
“Bismillahirrahmanirrahim . . . . Dari Muhammad Rasulullah, kepada Musailamah si pembohong. Salam bagi orang yang mau mengikuti petunjuk ….Kemudian ketahuilah bahwa bumi itu milik Allah, diwaris­kan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, sedang akhir kesudahan akan berada di pihak orang-orang yang taqwa … !”

Kalimat-kalimat Rasulullah saw. itu tak ubah cahaya fajar, yang membuka kedok pimpinan Bani Hanifah yang mengira bahwa kenabian itu tiada bedanya dengan kerajaan, hingga ia menuntut separoh wilayah berikut hamba rakyatnya … ! Jawab­an Rasulullah saw. itu dibawa langsung oleh utusan Musailamah, yang ternyata bertambah sesat dan semakin menyesatkan . . . .Penipu besar itu masih juga menyebarkan kebohongan dan kepalsuannya, sementara hasutan dan penganiayaannya terhadap orang-orang beriman kian meningkat. Maka rencana Rasulullah hendak mengirim surat kepadanya menyuruhnya menghentikan ketololan dan penyelewengan-penyelewengannya.Dan sebagai pembawa surat kepada Musailamah itu pilihan Rasulullah jatuh kepada Habib bin Zaid ….

Maka berangkatlah Habib melangkahkan kakinya dengan cepat dan berbesar hati menerima tugas yang dipercayakan kepadanya oleh Rasulullah saw. serta menaruh harapan besar kiranya dada Musailamah terbuka lebar untuk menerima kebenaran, hingga dirinya juga akan beroleh bagian pahala dan ganjaran besar ….Dan akhirnya sampailah utusan Rasulullah itu ke tempat tujuannya. Musailamah lalu membuka surat itu. Walaupun isinya bagaikan cahaya fajar, ia tak mampu membacanya, bahkan menyilaukannya. la semakin tenggelam dalam kesesatan.Dan karena Musailamah itu tidak lebih dari seorang petualang dan penipu, maka sifat-sifatnya juga adalah sifat-sifat penipu dan petualang . . . ! 

Demikianlah, ia tidak memiliki sedikit pun prikemanusiaan, kebangsaan dan kejantanan yang dapat men­cegahnya menumpahkan darah seorang utusan yang membawa suatu surat resmi, suatu pekerjaan yang amat dihormati dan dipandang suci oleh bangsa Arab umumnya … !Rupanya sudah menjadi kehendak dari Agama besar ini … Islam … hendak menambahkan dalam kelompok mata pelajar­an “kebesaran dan kepahlawanan” yang sedang dikuliahkannya di hadapan seluruh ummat manusia, suatu pelajaran baru yang kali ini diberikan dan sekaligus bertemakan “Habib bin Zaid . . . !Musailamah penipu itu mengumpulkan rakyat dan memanggil mereka untuk menghadiri suatu peristiwa di antara peristiwa-peristiwanya yang penting . . . !

Sementara itu utusan Rasulullah Habib bin Zaid dengan bekas-bekas siksaan dahsyatyang dilakukan padanya oleh orang­-orang aniaya itu, dibawa ke depan dengan rencana mereka hendak melucuti keberaniannya, hingga di hadapan khalayak ramai ia akan tampak lesu dan patah semangat lalu menyerah kalah dan ketika diminta untuk mengakui di depan mereka segera beriman kepada Musailamah, hingga dengan demikian penipu itu akan dapat menonjolkan mu’jizat palsu di depan mata anak buahnya yang sama tertipu ….

Kata Musailamah kepada Habib:Apakah kamu mengakui bahwa Muhammad itu utusan Allah?Benar, ujar Habib, saya mengakui bahwa Muhammad itu utusan Allah.Rona kemerah-merahan meliputi wajah Musailamah, lalu katanya lagi:Dan kamu mengakuiku sebagai utusan Allah?Tak pernah saya mendengar tentang itu … ! kata Habib.Wajah penipu yang kemerah-merahan tadi berubah menjadi hitam legam karena keeewa dan murka!Siasat telah gagal, dan tindakannya menyiksa utusan itu hanya percuma belaka, sementara di hadapan khalayak ramai yang telah dipanggilnya berkumpul itu, ia bagaikan menerima tamparan hebat yang menjatuhkan wibawa dan membenamkan­nya ke dalam Lumpur … !

Ketika itu Musailamah bangkit laksana seekor kerbau yang baru disembelih, lalu dipanggilnya algojonya yang segera datang dan menusuk tubuh Habib dengan ujung pedangnya …. Kemu­dian dilanjutkannya kebuasannya dengan menyayat dan membagi tubuh qurban potong demi potong, onggok demi onggok, dan anggota demi anggota …. Sementara pahlawan besar itu, tiada yang dapat dilakukannya selain bergumam mengulang-ulang senandung sucinya. “Lailaha illallah, Muhammadur Rasulul­lah….”.

Seandainya ketika itu Habib menyelamatkan dirinya dengan berpura-pura mengikuti keinginan Musailamah dan menyampai­kan keimanan dalam lipatan kalbunya, tiadalah iman itu akan kurang sedikit pun juga, dan tiadalah keislamannya akan ter­noda. . . .Tetapi ia yang merupakan seorang tokoh yang bersama ayah bunda, saudara dan bibinya telah menyaksikan bai’at ‘Aqabah, dan semenjak saat yang menentukan dan penuh berkah itu memikul tanggung jawab atas janji dan keimanannya secara penuh tanpa kurang, sedikit pun, tiadalah akan tega merusak prinsip dan kehidupannya selama ini dengan waktu sesaat yang singkat itu . . . .

Oleh sebab itu tiadalah saat, yang sebaik-baiknya lewat di depan matanya untuk memenangkan seluruh pereaturan hidup, seperti kesempatan satu-satunya ini yang akan dapat melukiskan secara gamblang seluruh kisah keimanan, kebenaran, ketabahan, kepahlawanan, pengurbanan dan semangat berapi coati di jalan petunjuk dan kebenaran, yang dalam rasa manis dan keharuannya hampir melebihi setup kemenangan dan keberhasilan manapun juga. . .Berita syahid utusannya yang mulia ini sampai ke telinga Rasulullah saw. Dengan hati tabah la menyerahkan diri kepada putusan Tuhannya. Karena dengan nur Ilahi ia dapat melihat bagaimana akhir kesudahan Musailamah si pembohong ini, bahkan dapat dikatakan menyaksikan tersungkurnya pimpinan itu dengan mata kepala.

Adapun Nusaibah binti Ka’ab yaitu ibunda dari Habib, lama sekali menggertakkan giginya. Kemudian diucapkannya janji Sakti akan menuntut bela kematian puteranya dari Musai­lamah itu sendiri dan akan ditancapkannya ujung tombak dan mata pedang ke badannya yang keji itu sampai tembus … !Dan rupanya taqdir yang ketika itu sedang memperhatikan kekecewaan, kesabaran dan ketabahannya, menyatakan ke­takjuban besar terhadap wanita itu, dan pada waktu itu juga memutuskan akan berdiri di sampingnya sampai la dapat meme­nuhi sumpahnya . . .

Tidak lama kemudian tibalah saat terjadinya peristiwa yang menentukan sejarah menangnya kebenaran yaitu perang Yama­mah . . . . Khalifatul Rasul yaitu Abu Bakar Shiddiq mengerah­kan tentara Islam menuju Yamamah di mana Musailamah telah menyiapkan pasukan terbesar ….Nusaibah ikut dalam tentara Islam itu dan segera menerjun­kan dirinya dalam kancah peperangan, tangan kanannya memegang pedang dan tangan kirinya menggenggam tombak, sementara lisannya tiada hentinya meneriakkan: “Di mana dia Musailamah musuh Allah itu?”

Dan tatkala Musailamah telah tewas menemui ajalnya, dan para pengikutnya berguguran bagai kapas yang berterbangan, sedang bendera dan panji-panji Islam berkibar dengan megahnya,  Nusaibah berdiri tegak sementara tubuhnya yang mulia dan perkasa itu penuh dengan luka-luka bekas tebasan pedang dan tusukan tombak. Ia berdiri mencari-cari wajah puteranya tercinta, Habib yang telah lebih dahulu syahid.

 Didapatinya ia memenuhi ruang dan waktu . . . !
 Setiap Nusaibah mengarahkan pandang ke setiap panji-panji yang sedang berkibar dengan megah dan jaya itu, dilihatnya di sana wajah puteranya sedang tersenyum ria, penuh kemenangan dan kebanggaan ….Benar dan tidak salah . . . !

(43)  
HABIIB IBN ZAID  
A Legend of Sacrifice and Love 

       In the Second Pledge of a `Aqabah which has been mentioned many times, 70 men and two women of Al-Madiinah gave their allegiance to the Prophet (PBUH). Among those blessed men and women were Habiib lbn Zaid and his father Zaid lbn `Aasim (May Allah be pleased with both of them). His mother was Nusaibah bint Ka'b, one of the two women who were the first to give allegiance to the Prophet (PBUH). The second woman was his maternal aunt. Thus, he was a veteran believer in whose backbone and ribs faith ran rather than blood. He lived near the Prophet (PBUH) after he emigrated to Al-Madiinah. There, he never missed an expedition in the cause of Allah or lagged behind.  

        One day the south of the Arab Peninsula witnessed the emergence of two presumptuous and arrogant liars who claimed prophethood and tried to drag people into the swamp of sin and disbelief. One of these impostors was called Al-Aswad Ibn Ka'b Al `Aansiy, from San'aa'. The other was Musailamah the Liar from Al Yamaamah. Both impostors incited people against the believers in their tribes who responded to what Allah ordained and who believed in His Prophet. They also goaded them against the Prophet's messengers whom he sent to their lands. Moreover, they even went so far as to ignite suspicion against prophethood itself and committed hideous mischief in the land, causing corruption and disbelief.  

        One day, the Prophet (PBUH) was surprised when a messenger arrived with a message from Musailamah in which he said, "From Musailamah Allah's Prophet to Muhammad Allah's Prophet. Peace be upon you. We are your partner in prophethood; consequently, we have half of the earth and the Quraish has the other half , but the Quraish want unjustly to have it all!"  

        The Prophet (PBUH) summoned one of his scribes and dictated this answer to Musailamah: "In the name of Allah, the Most Beneficient, the Most Merciful. From Muhammad the Prophet of Allah to Musailamah the Liar. Peace be upon those who followed the right path. Verily, the earth is Allah's. He gives it as a heritage to whom He will of His slaves and the blessed end is for the pious and righteous persons who fear Allah."  

       The Prophet's words were direct and crystal clear. They exposed the liar of the Bani Haniifah who thought that prophethood was a kingdom, so he demanded his piece of the cake, namely, half the earth and its people. The messenger carried the Prophet's answer to Musailamah, yet it only made him more mischievous and corrupt.  

        He went on spreading his falsehood and slander and went on abusing the believers and instigating people against them. The Prophet (PBUH) thought it best to give him one last chance, so he sent a message to convince him not to commit any more of his folly. He picked Habiib Ibn Zaid as his messenger. Habiib hastened enthusiastically with the glorious mission the Prophet (PBUH) had entrusted him with. He hoped that Musailamah's heart would be guided to the right path and that he would rewarded endlessly in the Hereafter.  

        The traveler reached his destination. Musailamah the Liar read the Prophet's message, but he was blinded by its light, which only made him more aberrant and arrogant.  

       Musailamah was really no more than a flagrant liar. He indeed behaved accordingly. He lacked the least manliness, sense of honor or decency of the Arabs which might have prevented him from shedding the blood of a messenger, which was highly respected and even held sacred by all Arabs.  

It was as though this noble religion Islam wanted to give humanity a new lesson of greatness and heroism. Only this time, both its subject matter and its tutor were one and the same person, Habiib Ibn Zaid.  

        Musailamah the Liar called upon people to witness one of his so-called memorable days. The messenger of the Prophet, Habiib Ibn Zaid, was brought in. It was clear from his wounds and bruises that he had been abused and tortured severely by those criminals. They thought that they could strip him of his valor so that he might appear in a state of complete humiliation and defeat before the crowd. They hoped that he would then give Musailamah the credibility he craved when he called upon him to witness to his fake prophethood before the crowd. Thus, the notorious liar would be able to make a fake miracle that would cement his prestige among those whom he deluded.  

       Therefore, Musailamah asked Habiib, "Do you bear witness that Muhammad is, indeed, the Messenger of Allah?" Habiib answered boldly, "Yes, I do bear witness that Muhammad is, indeed, the Messenger of Allah." Musailamah's face went white with humiliation and embarrassment yet he asked, "Do you bear witness that I am the Messenger of Allah?" Habiib scornfully replied, "Nonsense!"  

        The impostor Musailamah's humiliated face darkened with spiteful madness. His scheme had failed. His torture of Habiib had been futile. He was slapped so fiercely before the crowd which he himself had gathered to witness his so-called miracle. This slap was so strong that it shattered his assumed dignity once and for all. He became as violent as a wounded bull as he summoned his executioner, who rushed and stabbed Habiib's body with his sword. He slew him, cutting his body into small pieces, one by one Habiib made no sound beside chanting stoically, "There is no god but Allah and Muhammad is His Messenger."  

        It was as though he wanted to celebrate his Islam until the very last moment of his life. Now, if Habiib, on that day, had tried to escape this horrible death by a pretense of his faith in Musailamah's prophethood, his faith would not have been questioned, doubted or blemished in any way. But he was a man who had witnessed the Second Pledge of Al-'Aqabah along with his father, mother, brother, and aunt, and ever since those decisive blessed moments he had carried upon his shoulders the responsibility that ensued his oath and faith to the fullest. He could not for a moment hold his life and principles as separable. Therefore, he found a rare opportunity to win his life once and for all. His life was an embodiment of his faith. It embodied his stead-fastness, greatness, heroism, sacrifice, and martyrdom for the sake of Right and Truth, the splendor of which surpassed all victories.  

       The Prophet received the sad news of Habiib's martyrdom with patience, for Allah's inspiration made him see the future fate of Musailamah. He could almost see his death with his own eyes. As for Nusaibah bint Ka'b, Habiib's mother, she gnashed her teeth for a long while on hearing the terrible deed, then she swore a solemn oath to avenge her son's death upon Musailamah and to thrust her sword and spear right into his wicked body.  

        It seemed that fate watched her anguish, patience, and courage on receiving this news and showed great admiration and sympathy for her calamity and decided all at once to stand by her until she fulfilled her oath.  

       After a short while, the Battle of Al-Yamaamah took place. Abu Bakr As-Siddiiq, the Prophet's caliph, organized an army to march to Al-Yamama where Musailamah had already organized a huge army.  

        Nusaibah marched along with the Muslim army and threw herself into the battlefield armed with a sword in her right hand and a spear in her left one. She kept on shouting, "Where are you Musailamah, you enemy of Allah?"  

       When Musailamah was killed and his followers were like carded wool, the standards of Islam fluttered victoriously and proudly. Nusaibah's strong and brave body was strained with spear wounds . She stood there recalling the amiable face of her beloved son that seemed to linger about the place. 

Wherever she looked, she saw the face of her son Habiib. It was somewhere out there smiling contentedly on every victorious fluttering flag.



.¤ª"˜¨¯¨¨Habib Bin Zaid oHabiib Ibn Zaid¸,ø¨¨"ª¤.










.¤ª"˜¨¯¨¨Amr Ibnul Jamuh o'Amr Ibn Al-Jamuuh ¸,ø¨¨"ª¤.
 "Dengan cacat pincangku ini, aku bertekad merebut surga". 


Ia adalah ipar dari Abdullah bin Amr bin Haram, karena menjadi suami dari saudara perempuan Hindun binti ‘Amara Ibnul Jamuh merupakan salah seorang tokoh penduduk Madinah dan salah seorang pemimpin Bani Salamah ….

Ia didahului masuk Islam oleh putranya Mu’adz bin Amr yang termasuk kelompok 70 peserta bai’at ‘Agabah.

 Bersama shahabatnya Mu’adz bin Jabal, Mu’adz bin Amr ini menyebarkan Agama Islam di kalangan penduduk Madinah dengan keberanian luar biasa sebagai layaknya pemuda Mu’min yang gagah per­wira….

Telah menjadi kebiasaan bagi golongan bangsawan di Madi­nah, menyediakan di rumah masing-masing duplikat berhala­ berhala besar yang terdapat di tempat-tempat pemujaan umum yang dikunjungi oleh orang banyak. Maka sesuai dengan ke­dudukannya sebagai seorang bangsawan dan pemimpin, Amr bin Jamuh juga mendirikan berhala di rumahnya yang dinamakan Manaf. Putranya, Mu’adz bin Amr bersama temannya Mu’adz bin Jabal telah bermufakat akan menjadikan berhala di rumah bapaknya itu sebagai barang permainan dan penghinaan. 

Di waktu malam mereka menyelinap ke dalam rumah, lalu meng­ambil berhala itu dan membuangnya ke dalam lobang yang biasa digunakan manusia untuk membuang hajatnya.

 Pagi harinya Amr tidak melihat Manaf berada di tempatnya yang biasa, maka dicarinyalah berhala itu dan akhirnya ditemu­kannya di tempat pembuangan hajat. Bukan main marahnya Amr, lalu bentaknya:“Keparat siapa yang telah melakukan perbuatan durhaka terhadap tuhan-tuhan kita malam tadi . . . ?” Kemudian dicuci dan dibersihkannya berhala itu dan diberinya wangi-wangian.

Malam berikutnya, berdua Mu’adz bin Amr dan Mu’adz bin Jabal memperlakukan berhala itu seperti pada malam se­belumnya. Demikianlah pula pada malam-malam selanjutnya. Dan akhirnya setelah merasa bosan, Amar mengambil pedangnya lalu menaruhnya di leher Manaf, sambil berkata: “Jika kamu betul-betul dapat memberikan kebaikan, berusahalah untuk mempertahankan dirimu … !”

Pagi-pagi keesokan harinya Amr tidak menemukan berhala­nya di tempat biasa … tetapi ditemukannya kali ini di tempat pembuangan hajat itu tidak sendirian, berhala itu terikat bersama bangkai seekor anjing dengan tali yang kuat. Dan selagi ia dalam keheranan, kekecewaan serta amarah, tiba-tiba datanglah ke tempatnya itu beberapa orang bangsawan Madinah yang telah masuk Islam. 

Sambil menunjuk kepada berhala yang tergeletak tidak berdaya dan terikat pada bangkai anjing itu, mereka meng­ajak akal budi dan hati nurani Amr bin Jamuh untuk berdialog serta membeberkan kepadanya perihal Tuhan yang sesungguh­nya, Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi, yang tidak satupun yang menyamai-Nya. Begitupun tentang Muhammad saw. orang yang jujur dan terpercaya, yang muncul di arena kehidupan ini untuk memberi bukan untuk menerima, untuk memberi petunjuk dan bukan untuk menyesatkan. 

Dan mengenai Agama Islam yang datang untuk membebaskan manusia dari belenggu,  segala macam belenggu  dan menghidupkan pada mereka ruh Allah serta menerangi dalam hati mereka dengan cahaya-Nya.Maka dalam beberapa saat, Amr telah menemukan diri dan harapannya . . . . Beberapa saat kemudian ia pergi, dibersihkan­nya pakaian dan badannya lalu memakai minyak wangi dan merapikan diri, kemudian dengan kening tegak dan jiwa bersinar ia pergi untuk bai’at kepada Nabi terakhir, dan menempati kedudukannya di barisan orang-orang beriman.

Mungkin ada yang sertanya, kenapa orang-orang seperti Amr ibnul Jamuh, yang merupakan pemimpin dan bangsawan di kalangan suku bangsanya, kenapa mereka sampai mempercayai berhala-berhala itu sedemikian rupa . . . ? Kenapa akal fikiran mereka tak dapat menghindarkan diri dari kekebalan dan ke­tololan itu . . . ? Dan kenapa sekarang ini . . . setelah mereka menganut Islam dan memberikan pengorbanan . . . kita meng­anggap mereka sebagai orang-orang besar . . . ?

Di masa sekarang ini, pertanyaan seperti itu mudah saja timbul, karena bagi anak kecil sekalipun tak masuk dalam akal­nya akan mendirikan di rumahnya barang yang terbuat dari kayu lalu disembahnya . . . , walaupun masih ada para ilmuwan yang menyembah patung.Tetapi di zaman yang silam, kecenderungan-kecenderungan manusia terbuka luas untuk menerima perbuatan-perbuatan aneh seperti itu di mana kecerdasan dan daya fikir mereka tiada berdaya menghadapi arus tradisi kuno tersebut ….Sebagai contoh dapat kita kemukakan di sini, Athena. Yakni Athena di masa Perikles, Pythagoras dan Socrates! Athena yang telah mencapai tingkat berfikir yang menakjubkan, tetapi seluruh penduduknya, baik para filosof, tokoh-tokoh pemerintahan sampai kepada rakyat biasa, mempercayai patung-patung yang dipahat, dan memujanya sampai taraf yang amat hina dan memalukan! 

Sebabnya ialah karena rasa keagamaan di masa-masa yang telah jauh berselang itu tidak mencapai garis yang sejajar dengan ketinggian alam fikiran mereka ….Amr ibnul Jamuh telah menyerahkan hati dan hidupnya kepada Allah Rabbul-Alamin. Dan walaupun dari semula ia telah berbai’at pemurah dan dermawan, tetapi Islam telah melipatgandakan kedermawanannya ini, hingga seluruh harta kakayaannya diserahkannya untuk Agama dan kawan-kawan seperjuangannya.

Pernah Rasulullah saw. menanyakan kepada segolongan Bani Salamah yaitu suku Amr ibnul Jamuh, katanya: 
“Siapakah yang menjadi pemimpin kalian, hai Bani Salamah?”
 Ujar mereka: “Al-Jaddu bin Qeis, hanya sayang ia kikir …….

 Maka sabda Rasulullah Pula: 
“Apa lagi penyakit yang lebih parah dari kikir! Kalau begitu pemimpin kalian ialah si Putih Keriting, Amr ibnul Jamuh … ! “

Demikianlah kesaksian dari Rasulullah saw. ini merupakan penghormatan besar bagi Amr . – . ! 

Dan mengenai ini seorang penyair Anshar pernah berpantun:
“Amr ibnul Jamuh membiarkan kedermawanannya meraja­lela, Dan memang wajar, bila ia dibiarkan berkuasa, Jika datang permintaan, dilepasnya kendali hartanya, Silakan ambil, ujarnya, karena esok ia akan kembali berlipat ganda!”

Dan sebagaimana ia dermawan membaktikan hartanya di jalan Allah, maka Amr ibnul Jamuh tak ingin sifat pemurahnya akan kurang dalam menyerahkan jiwa raganya . . . !
 Tetapi. bagaimana caranya … ? 

Kakinya yang pincang menjadi penghalang baginya untuk ikut dalam peperangan. Ia mempunyai empat orang putra, semuanya beragama Islam dan semuanya ksatria bagaikan singa, dan ikut bersama Nabi saw. dalam setiap pepe­rangan Serta tabah dalam menunaikan tugas perjuangan ….Amr telah berketetapan hati dan telah menyiapkan per­alatannya untuk turut dalam perang Badar, tetapi putra-putranya memohon kepada Nabi agar ia mengurungkan maksudnya dengan kesadaran sendiri, atau bila terpaksa dengan larangan dari Nabi. 

Nabi pun menyampaikan kepada Amr bahwa Islam membebas­kan dirinya dari kewajiban perang, dengan alasan ketidak mampu­an disebabkan cacad kakinya yang berat itu. Tetapi ia tetap mendesak dan minta diidzinkan, hingga Rasulullah terpaksa mengeluarkan perintah agar ia tetap tinggal di Madinah.Sekarang datanglah saatnya perang Uhud. Amr lalu pergi menemui Nabi saw. memohon kepadanya agar diidzinkan turut, katanya: “Ya Rasulallah, putra-putraku bermaksud hendak menghalangiku pergi bertempur bersama anda. Demi Allah, aku amat berharap kiranya dengan kepincanganku ini aku dapat merebut surga .. . !”

Karena permintaannya yang amat sangat, Nabi saw. mem­berinya idzin untuk turut. Maka diambilnya alat-alat senjatanya, dan dengan hati yang diliputi oleh rasa puas dan gembira, ia berjalan berjingkat-jingkat. Dan dengan suara beriba-iba ia memohon kepada Allah: “Ya Allah, berilah aku kesempatan untuk menemui syahid, dan janganlah aku dikembalikan kepada keluargaku . . . !”

Dan kedua pasukan pun bertemulah di hari Uhud itu …Amr ibnul Jamuh bersama keempat putranya maju ke depan me­nebaskan pedangnya kepada tentara penyebar kesesatan dan pasukan syirik . . . .

Di tengah-tengah pertarungan yang hiruk pikuk itu Amr melompat dan berjingkat, dan sekali lompat pedangnya me­nyambar satu kepala dari kepala-kepala orang musyrik. la terus melepaskan pukulan-pukulan pedangnya ke kiri ke kanan dengan tangan kanannya, sambil menengok ke sekelilingnya, seolah-olah mengharapkan kedatangan Malaikat dengan secepatnya yang akan menemani dan mengawalnya masuk surga.Memang, ia telah memohon kepada Tuhannya agar diberi syahid, dan ia yakin bahwa Allah swt. pastilah akan mengabul­kannya. Dan ia rindu, amat rindu sekali akan berjingkat dengan kakinya yang pincang itu dalam surga, agar ahli surga itu sama mengetahui bahwa Muhammad Rasulullah saw. itu tahu bagai­mana caranya memilih shahabat dan bagaimana Pula mendidik dan menempa manusia ….Dan saat yang ditunggu-tunggunya itu pun tibalah, suatu pukulan pedang yang berkelebat  . . , memaklumkan datangnya saat keberangkatan . . . , yakni keberangkatan seorang syahid yang mulia, menuju surga jannatul khuldi, surga Firdausi yang abadi … !

Dan tatkala Kaum Muslimin memakamkan para syuhada mereka,Rasulullah saw. mengeluarkan perintah yang telah kita dengar dulu, yaitu:
“Perhatikan, tanamkanlah jasad Abdullah bin Amr bin Haram dan Amr ibnul Jamuh di makam yang satu, karena selagi hidup mereka adalah dua orang shahabat yang setia dan bersayang-sayangan … !”

Kedua shahabat yang bersayang-sayangan dan telah menemui syahid itu dikuburkan dalam sebuah makam, yakni dalam pang­kuan tanah yang menyambut jasad mereka yang suci, setelah menyaksikan kepahlawanan mereka yang luar biasa.Dan setelah berlalu masa selama 46 tahun di pemakaman dan penyatuan mereka, datanglah banjir besar yang melanda dan menggenangi tanah pekuburan, disebabkan digalinya sebuah mata air yang dialirkan Mu’awiyah melalui tempat itu. Kaum Muslimin pun segera memindahkan kerangka para syuhada. Kiranya mereka sebagai dilukiskan oleh orang-orang yang ikut memindahkan mereka: “Jasad mereka menjadi lembut, dan ujung-ujung anggota tubuh mereka jadi melengkung … !”

Ketika itu Jabir bin Abdullah masih hidup. 

Maka bersama keluarganya ia pergi memindahkan kerangka bapaknya Abdullah bin Amr bin Haram serta kerangka bapak kecilnya Amr ibnul Jamuh …. Kiranya mereka dapati kedua mereka dalam kubur seolah-olah sedang tidur nyenyak . . . . Tak sedikit pun tubuh mereka dimakan tanah, dan dari kedua bibir masing-masing belum hilang senyuman manis alamat ridla dan bangga yang telah terlukis semenjak mereka dipanggil untuk menemui Allah dulu….
Apakah anda sekalian merasa heran . . . ? 
Tidak, jangan tuan-tuan merasa heran . . . ! 
Karena jiwa-jiwa besar yang suci lagi bertaqwa, yang mampu mengendalikan arah tujuan hidupnya,membuat tubuh-tubuh kasar yang menjadi tempat kediam­annya, memiliki semacam ketahanan yang dapat menangkis sebab-sebab kelapukan dan mengatasi bencana-bencana tanah….


(42)  
`AMR IBN AI-JAMUUH  
I Want to Walk Proudly with My Lameness in Paradise! 

        He was related to Abd Allah Ibn `Amr lbn Hiraam by marriage, being the husband of his sister Hind bint `Amr. Amr Ibn Al- Jamuuh was one of the leaders of Al-Madiinah and one of the chiefs of the Salamah tribe. His son Mu'aadh lbn Amr, who was one of the seventy Ansaar of the pledge of `Aqabah preceded him in Islam.  

       Mu`aadh Ibn `Amr and his friend Mu'aadh lbn Jabal were calling the people of Al-Madiinah to Islam with the enthusiasm of bold and believing youth.  
   
        It was a custom that the nobles kept symbolic idols in their houses other than the big idols set up in places of public gathering. As a nobleman and chief, Amr lbn Al-Jamuuh made an idol to install in his house and called it Manaaf. His son Mu'aadh lbn `Amr agreed with his comrade Mu'aadh Ibn Jabal to make `Amr lbn Al-Jamuuh's idol an object of ridicule. They used to enter his house at night, take the idol and throw it into a cess pit. And when Amr would wake up he would not find Manaaf in its place, and would keep looking for it till he found it thrown into that pit. He used to rage and say, "Woe unto you, who transgressed our gods this night!" Then he would wash and perfume it. When night came again, the two Mu`aadh, would do to the idol as they had done the previous night.  
  
        When `Amr got weary he took his sword and put it on Manaaf's neck and said to it, "If you are a beneficial god defend yourself." When he woke up he did not find it in its place, but rather found it discarded in the same cess pit. But this time, it was not in the pit alone but was tied to a dead dog by a strong rope.  
  
        While he was angry, sorry, and surprised, some of the nobles of Al-Madiinah who had preceded him in Islam approached him. They pointed at the idol tied to the dead dog and addressed `Amr lbn Al Jamuuh's mind, heart and good sense, talking to him about the Most True and Most High Allah Whom there is nothing like. They talked to him about the trustworthy, faithful Muhammad who came to give, not to take, to guide, not to misguide. They talked to him about Islam that came to liberate mankind from all the shackles, revive the spirit of Allah in them, and spread His light in their hearts. 

       In a few moments, `Amr discovered himself and his destiny. He purified and perfumed his clothes and body, then went, bearing his head high, to acknowledge the Seal of the Prophets (PBUH) and to take his place among the believers.  

        One may wonder how those nobles and leaders of their people, like `Amr lbn Al-Jamuuh, could believe in helpless idols to that extent. How did their reason not restrain them? How do we render them today among the great men after their embracing Islam and sacrificing? It is easy to raise these questions nowadays, as no child would accept to set up a piece of wood in his house and worship it. But in olden days, people's hearts used to embrace such doings. Their intelligence and genius could do nothing against tradition.  

        For example, Athens, in the days of Pericles, Pythagoras, and Socrates, attained a dazzling intellectual progress. However, all its people, including philosophers and judges, used to believe in sculptured idols in a ridiculous way. The reason is that religious sense in those remote ages was not as developed as the intellectual progress.  

       Amr lbn Al-Jamuuh dedicated his heart and life to Allah, the Lord of the Worlds. Although he was generous by nature, Islam made him more generous soreligion and his brethren.  

 The Messenger (PBUH) asked a group of the Bani Salamah tribe, the tribe of `Amr Ibn Al-Jamuuh, "Who is your chief, O Bani Salamah?" They answered, "Al-Jad Ibn Qais, inspite of his being a miser." He (PBUH) said, "No, your chief is the white curly haired Amr Ibn Al-Jamuuh." This testimony from the Messenger of Allah (PBUH) was a great honor to Ibn Al-Jamuuh.  

        As `Amr Ibn Al-Jamuuh dedicated his money in the cause of Allah, so he was willing to sacrifice his soul and life as well. But how? There was a severe lameness in his leg that made him invalid for participating in battle. He had four sons who were all strong Muslim men. They used to go out with the Messenger (PBUH) in expeditions, persisting in doing their duty of fighting. However, `Amr tried to go out in the Battle of Badr. His sons implored the Prophet (PBUH) to persuade him not to go out, or even to order him if he was not persuaded. So, the Prophet (PBUH) told him that Islam exempted him from jihaad because of his severe lameness. When he began pleading, the Prophet (PBUH) ordered him to stay in Al Madiinah. 

        When the Battle of Uhud came, `Amr went to the Prophet (PBUH), imploring him to permit him. He said, "O Messenger of Allah, my sons want to prevent me from going out with you to fight. By Allah, I want to walk proudly with my lameness in Paradise." As he strongly insisted, the Prophet (PBUH) permitted him to go out. So, he took his weapon and set out to walk happily, invoking Allah in a submissive voice, "O Allah, bestow martyrdom upon me and don't return me to my family."  

       When the two rival forces met on the Day of Uhud, `Amr Ibn Al-Jamuuh and his four sons set out striking the polytheists with their swords. Amr was walking proudly in the middle of the fierce battle.  

       With each step his sword cut off the head of a polytheist. He struck with his right hand, then looked around at the highest part of the horizon, as if hastening the arrival of the angel who would make him die and accompany him to Paradise.  

        Yes, he asked his Lord for martyrdom, being sure that Allah, Glorified and Exalted be He above all, would respond to him. He was very much eager to walk proudly with his lame leg in Paradise so that its people would know that Muhammad, the Messenger of Allah (PBUH), knew how to select his Companions and how to develop men.  

       That which he had been waiting for happened. A sword blow announced the time of the advance of a glorious martyr to the Paradise of immortality.  

        When the Muslims were burying their martyrs, 
the Messenger (PBUH) repeated his order which we have already heard elsewhere:
 "Put `Abd Allah Ibn `Amr Ibn Hiraam and Amr lbn Al-Jamuuh in one 
grave; they were loving and sincere to each other in this world."  

        The two loving friends, the two martyrs, were buried in one grave under the battlefield that received their pure souls and witnessed their extraordinary bravery.  

        Forty-six years after they and their companions had been buried, a violent torrent descended and covered the graveyard, because of a fountain head of water that Mu`aawiyah made. The Muslims hurried to remove the martyrs' bodies. It was a surprise, however, to find them as those who participated in removing their bodies described: "Having soft bodies and flexible limbs."  

        As Jaabir Ibn `Abd Allah was still alive, he went with his family to remove the bodies of his father, `Abd Allah Ibn `Amr Ibn Hiraam, and his aunt's husband, `Amr lbn Al-Jamuuh. However, he found them in their grave as if they were sleeping. They were not changed at all: their faces even had the same smile of happiness that they had had the day they were summoned to meet Allah.  

        Are you surprised? No, do not be. The great, pious, pure souls that have controlled their destinies usually leave in the bodies that once were their refuge, a kind of immunity that wards off the decomposing factors and the influence of the soil.


.¤ª"˜¨¯¨¨Amr Ibnul Jamuh o'Amr Ibn Al-Jamuuh ¸,ø¨¨"ª¤.