acebook





.¤ª"˜¨¯¨¨Ja'far Bin Abu Thalib oo Ja'far Ibn Abi Taalib¸,ø¨¨"ª¤.  
Jasmani maupun perangainya mirip Rasulullah. 

Perhatikan kemudaannya yang gagah tampan serta berwibawa . . . .g Perhatikan warna kulitnya yang cerah bercahaya Perhatikan kelemah lembutannya, sopan santun, kasih sayangnya kebaikannya, kerendahan hati serta ketaqwaannya. . . .Perhatikan keberaniannya yang tak kenal takut, kepemurahannya yang tak kenal batas. Perhatikan kebersihan hidup dan kesucian jiwanya. Perhatikan kejujuran dan amanahnya …. Lihatlah, pada dirinya bertemu segala pokok kebaikan, keutamaan dan kebesaran.

Anda jangan heran tercengang, karena anda sekarang berada di hadapan seorang manusia yang mirip dengan Rasulullah dalam ujud tubuh dan tingkah laku atau budi pekertinya. Anda berada di muka seseorang yang telah diberi gelar oleh Rasul sendiri sebagai “Bapak si miskin”. Anda berhadapan dengan seseorang yang diberi gelar “Si Bersayap dua di surga”. Anda di muka “Si Burung surga” yang selalu berkicau. Siapakah itu …? Itulah Ja’far bin Abi Thalib! Salah seorang pelopor ter­nama Islam. Perintis utama yang terkemuka, di antara orang­orang yang telah melibatkan seluruh kehidupannya dan memiliki saham besar dalam menempa hati nurani kehidupan ….


Ia datang kepada Rasulullah saw. memasuki Agama Islam, dengan mengambil kedudukan tinggi di antara mereka yang sama-sama pertama kali beriman. Ikut pula isterinya Amma binti ‘Umais menganut Islam pada hari yang sama. Keduanya selaku suami isteri ikut menanggung derita, dengan seluruh keberanian dan ketabahan tanpa memikirkan kapan waktu penderitaan itu berakhir. Sewaktu Rasulullah memilih shahabat-shahabatnya yang akan hijrah ke Habsyi (Ethiopia), maka tanpa berfikir panjang Ja’far bersama isterinya tampil mengemukakan diri, hingga tinggal di sana selama beberapa tahun. Di sana mereka dikaruniai Allah tiga orang anak yaitu: Muhammad, Abdullah dan ‘Auf.


Selama di Ethiopia, maka Ja’far bin Abi Thaliblah yang tampil menjadi juru bicara yang lancar dan sopan, serta cocok menyandang nama Islam dan utusannya. Demikian adalah hikmat Allah yang tidak ternilai yang telah dikaruniakan kepadanya, berupa hati yang tenang, akal fikiran yang cerdas, jiwa yang mampu membaca situasi dan kondisi serta lidah yang fasih.Dan sekalipun saat-saat pertempuran Muktah yang dihadapi­nya kemudian sampai ia gugur sebagai salah seorang syuhada, merupakan saatnya yang terdahsyat, teragung dan terabadi, tetapi hari-hari berdialog yang dilakukannya dengan Negus, tak kurang dahsyat dan seramnya, bahkan tak kurang hebat nilai martabatnya . . .. Sungguh hari itu adalah hari istimewa dan penampilan yang mempesona ….

Peristiwa tersebut terjadi, karena Kaum Muslimin hijrahnya ke Ethiopia, membuat kaum Quraisy tak pernah senang dan diam, bahkan menambah membangkitkan kemarahan dan rasa dengki mereka, bahkan mereka sangat takut dan cemas kalau­kalau Kaum Muslimin di tempatnya yang baru ini, menjadi bertambah kuat dan jumlahnya semakin banyak.Bahkan bila kesempatan berkembang dan bertambah kuat ini tidak sampai terjadi, mereka tetap tidak merasa puas, di­sebabkan orang-orang Islam itu lepas dari tangan dan terhindar dari penindasan mereka, dan tentulah mereka akan menetap di sana dengan harapan dan masa depan yang gemilang, yang akan melegakan jiwa Muhammad saw. dan lapangnya dada Islam.


Karena itulah para pemimpin Quraisy mengirimkan dua orang utusan terpilih pada kaisar (Negus), lengkap dengan mem­bawa hadiah-hadiah yang sangat berharga dari kaum Quraisy, kedua utusan ini menyampaikan harapan Quraisy agar Negus mengusir Kaum Muslimin yang hijrah dan datang melindungkan ,diri itu keluar dari negerinya dan menyerahkannya kepada mereka. Dua utusan yang datang itu ialah Abdullah bin Abi Rabi’ah dan Amar bin ‘Ash, yang keduanya di waktu itu belum lagi masuk Islam.

Negus yang waktu itu bertakhta di singgasana Ethiopia, adalah seorang tokoh yang mempunyai iman yang kuat. Dalam lubuk hatinya, ia menganut agama Nasrani secara murni dan padu, jauh dari penyelewengan dan lepas dari fanatik buta dan menutup diri. Nama baiknya telah tersebar ke mana-mana, dan perjalanan hidupnya yang adil telah melampaui batas negerinya. Oleh karena inilah Rasulullah saw. memilih negerinya menjaditempat hijrah bagi shahabat-shahabatnya, dan karena ini pulalah ,kaum kafir Quraisy merasa khawatir kalau-kalau maksud dan tipu muslihat mereka jadi gagal dan tidak berhasil. Dari itu kedua utusannya dibekali sejumlah hadiah besar yang berharga untuk pembesar-pembesar agama dan pejabat gereja di sana.

Pemimpin-pemimpin Quraisy menasihati kedua utusannya agar mereka jangan menghadap kaisar dulu sebelum memberikan ,hadiah-hadiah kepada Patrik dan Uskup, dengan tujuan agar Para pendeta itu merasa puas dan berfihak kepada mereka, dan agar orang-orang itu menyokong tuntutan mereka di hadapan kaisar kelak. Kedua utusan itu pun sampailah ketempat tujuan mereka, Ethiopia. Mereka menghadap pemimpin-pemimpin agama dengan membawa hadiah-hadiah besar yang dibagi-bagikannya kepada mereka. Kemudian mereka kirim pula hadiah-hadiah kepada Negus. Demikianlah keduanya terus-menerus membangkitkan dendam kebencian di antara para pendeta. Keduanya berharap dengan sokongan moril para pendeta itu, Negus akan mengusir Kaum Muslimin keluar dari negerinya.

Demikianlah, hari-hari di saat keduanya akan menghadap kaisar sudah ditetapkan. Dan Kaum Muhajirin pun diundang untuk menghadapi dendam kesumat Quraisy yang masih hendak melakukan muslihat keji dan menimpakan siksaan kepada mereka ….
Dengan air muka yang jernih berwibawa, dan kerendahan hati yang penuh pesona, baginda Negus pun duduklah di atas kursi kebesarannya yang tinggi, dikelilingi oleh para pembesar gereja dan agama serta lingkungan terdekat istana. Di hadapan­nya di atas suatu ruangan luas duduk pula Kaum Muhajirin Islam, yang diliputi oleh ketenteraman dari Allah dan dilindungi oleh rahmat-Nya.

Kedua utusan kaum Quraisy berdiri mengulangi tuduhan mereka yang pernah mereka lontarkan terhadap Kaum Muslimin di hadapan kaisar pada suatu pertemuan khusus yang disediakan oleh kaisar sebelum pertemuan besar yang menegangkan ini: “Baginda Raja yang mulia. Telah menyasar ke negeri paduka orang-orang bodoh dan tolol. Mereka tinggalkan agama nenek moyang mereka, tapi tidak pula hendak memasuki agama paduka. Bahkan mereka datang membawa Agama baru yang mereka ada-adakan, yang tak pernah kami kenal, dan tidak pula oleh paduka. Sungguh, kami telah diutus oleh orang-orang mulia dan terpandang di antara bangsa dan bapak-bapak mereka, paman-paman mereka, keluarga-keluarga mereka, agar paduka sudi mengembalikan orang-orang ini kepada kaumnya kembali”.Negus memalingkan mukanya ke arah Kaum Muslimin sambil melontarkan pertanyaan:“Agama apakah itu yang menyebabkan kalian meninggalkan bangsa kalian, tapi tak memandang perlu pula kepada agama kami?”

.Ja’far pun bangkit berdiri, untuk menunaikan tugas yang telah dibebankan oleh kawan-kawannya sesama Muhajirin yakni tugas yang telah mereka tetapkan dalam suatu rapat yang diadakan sebelum pertemuan ini. Dilepaskannya pandangan ramah penuh kecintaan kepada baginda Raja yang telah berbuat baik menerima mereka, lalu berkata: “Wahai paduka yang mulia! Dahulu kami memang orang-orang yang jahil dan bodoh kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan pekerjaan-pekerjaan keji, memutuskan silaturrahmi, menyakiti tetangga dan orang yang berkelana. Yang kuat waktu itu memakan yang lemah. Hingga datanglah masanya Allah mengirimkan Rasul-Nya kepada kami dari kalang­an kami. Kami kenal asal-usulnya, kejujuran, ketulusan dan kemuliaan jiwanya. la mengajak kami untuk mengesakan Allah dan mengabdikan diri pada-Nya, dan agar membuang jauh-jauh apa yang pernah kami sembah bersama bapak-bapak kami dulu berupa batu-batu dan berhala . . . . Beliau menyuruh kami bicara benar, menunaikan amanah, menghubungkan silaturrahmi, berbuat baik kepada tetangga dan menahan diri dari menumpah­kan darah serta semua yang dilarang Allah …. . Dilarangnya kami berbuat keji dan zina, mengeluarkan ucapan bohong, memakan harta anak yatim, dan menuduh berbuat jahat terhadap wanita yang baik-baik . . . . Lalu kami membenarkan dia dan kami beriman kepadanya, dan kami ikuti dengan taat apa yang disampaikannya dari Tuhannya. Lalu kami beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan tidak kami persekutukan sedikit pun juga, dan kami haramkan apa yang diharamkan-Nya kepada kami, dan kami halalkan apa yang dihalalkan-Nya untuk kami.

Karenanya kaum kami sama me­musuhi kami, dan menggoda kami dari Agama kami, agar kami kembali menyembah berhala lagi, dan kepada perbuatan-per­buatan jahat yang pernah kami lakukan dulu. Maka sewaktu mereka memaksa dan menganiaya kami, dan menggencet hidup kami, dan menghalangi kami dari Agama kami, kami keluar hijrah ke negeri paduka, dengan harapan akan mendapatkan perlindungan paduka dan terhindar dari perbuatan-perbuatan aniaya mereka. . . .”.

Ja’far mengucapkan kata-kata yang mempesona ini laksana cahaya fajar. Kata-kata itu membangkitkan perasaan dan ke haruan pada jiwa Negus, lalu sambil menoleh pada Ja’far baginda bertanya: “Apakah anda ada membawa sesuatu (wahyu) yang diturunkan atas Rasulmu itu?”

Jawab Ja’far: “Ada”.
Tukas Negus lagi: “Cobalah bacakan kepadaku”.

Lalu Ja’far langsung membacakan bagian dari surat Maryam dengan irama indah dan kekhusyu’an yang m‘emikat. Men­dengar itu, Negus lalu menangis dan para pendeta serta pembesar­-pembesar agama lainnya sama menangis pula. Sewaktu air mata lebat dari baginda sudah berhenti, ia pun berpaling kepada kedua utusan Quraisy itu, seraya berkata: “Sesungguhnya apa yang dibaca tadi dan yang dibawa oleh Isa a.s. sama memancar dari satu pelita. Kamu keduanya dipersilah­kan pergi! Demi Allah kami tak akan menyerahkan mereka kepada kamu!” Pertemuan itu pun bubar sudah. Allah telah menolong hamba-hamba-Nya dan menguatkan mereka, sementara kedua utusan Quraisy mendapat kekalahan yang hina. Tetapi Amr bin ‘Ash adalah seorang lihai yang ulung dan penuh dengan tipu muslihat licik, tidak hendak menyerah kalah begitu saja, apalagi berputus asa. Demikianlah, begitu ia kembali bersama temannya ke tempat tinggalnya, tak habis-habisnya ia berfikir dan memutar otak, dan akhirnya berkata kepada temannya: “Demi Allah, besok aku akan kembali menemui Negus, akan kusampaikan kepada baginda keterangan-keterangan yang akan memukul Kaum Muslimin dan membasmi urat akar mereka!” Jawab kawannya: “Jangan lakukan itu, bukankah kita masih ada hubungan keluarga dengan mereka, sekalipun mereka berselisih paham dengan kita!”

Jawab Amr: “Demi Allah, akan kuberitakan kepada Negus, bahwa mereka mendakwakan Isa anak Maryam itu manusia biasa seperti manusia yang lain”. Inilah rupanya suatu tipu muslihat baru yang telah diatur oleh utusan Quraisy terhadap Kaum Muslimin, untuk memojok­kan mereka ke sudut yang sempit, dan untuk menjatuhkan mereka ke lembah yang curam. Seandainya orang Islam terang­terangan mengatakan, bahwa Isa itu salah seorang hamba Allah seperti manusia lainnya, pasti hal ini akan membangkitkan kemarahan dan permusuhan Raja dan kaum agama …. Sebalik­nya jika mereka meniadakan pada Isa ujud manusia biasa, niscaya keluarlah mereka dari ‘aqidah agama mereka … !

Besok paginya kedua utusan itu segera menghadap Raja, dan berkata kepadanya: “Wahai Sri Paduka! Orang-orang Islam itu telah mengucapkan suatu ucapan keji yang merendahkan kedudukan Isa …”. Para pendeta dan kaum agama menjadi geger dan gempar …. Gam­baran dari kalimat pendek itu eukup menggoncangkan Negus dan para pengikutnya. Mereka memanggil orang-orang Islam sekali lagi, untuk menanyai bagaimana sebenarnya pandangan Agama Islam tentang Isa al-Masih … . Tahulah orang-orang Islam sekarang bahwa akan ada per­‘Musyawaratan baru. Mereka duduk berunding, dan akhirnya .memperoleh kata sepakat, untuk menyatakan yang haq saja, sebagaimana yang mereka dengar dari Nabi, mereka. Mereka tak hendak menyimpang serambut pun daripadanya, dan biarlah terjadi apa yang akan terjadi ….

Pertemuan baru pun diadakanlah. Negus memulai percakapan dengan bertanya kepada Ja’far: “Bagaimana pandangan kalian terhadap Isa?” Ja’far bangkit sekali lagi laksana menara laut yang me­mancarkan sinar terang, ujarnya: “Kami akan mengatakan tentang Isa a.s., sesuai dengan keterangan yang dibawa Nabi kami Muhammad saw. bahwa: “la adalah seorang hamba Allah dan Rasul-Nya serta kalimah-Nya yang ditiupkan-Nya kepada Maryam dan ruh daripada-Nya . . . “. Negus bertepuk tangan tanda setuju, seraya mengumumkan, mernang begitulah yang dikatakan al-Masih tentang dirinya Tetapi pada barisan pembesar agama yang lain terjadi hiruk pikuk, seolah-olah memperlihatkan ketidak setujuan mereka …. Negus yang terpelajar lagi beriman itu, terus melanjutkan bicaranya seraya berkata kepada orang-orang Islam: “Silahkan anda sekalian tinggal bebas di negeriku! Dan siapa berani mencela dan menyakiti anda, maka orang itu akan mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya itu”.

Kemudian Negus berpaling kepada orang-orang besarnya yang terdekat, lalu sambil mengisyaratkan dengan telunjuknya’ ke arah kedua utusan kaum Quraisy, berkatalah ia: “Kembalikan hadiah-hadiah itu kepada kedua orang ini! Aku tak membutuh­kannya! Demi Allah, Allah tak pernah mengambil uang sogokan daripadaku, di kala ia mengaruniakan takhta ini kepadaku karena itu aku pun tak akan menerimanya dalam hal ini … ! “

Kedua utusan Quraisy itu pun pergilah ke luar meninggalkan tempat pertemuan dengan perasaan hina dan terpukul. Mereka segera memalingkan arah perjalanannya pulang menuju Mekah. Juga orang-orang Islam di bawah pimpinan Ja’far, keluar pula tetapi untuk memulai penghidupan baru di tanah Ethiopia, yakni penghidupan yang aman tenteram, sebagai kata mereka: “Di negeri yang baik . . . dengan tetangga yang baik”, hingga akhirnya datang saatnya Allah mengidzinkan mereka kembali kepada Rasul mereka, kepada shahabat dan handai tolan serta kampung halaman mereka. . . . Di kala Rasulullah bersama Kaum Muslimin sedang bersukaria dengan kemenangan atas jatuhnya Khaibar, tiba-tiba muncullah kembali pulang dari Ethiopia Ja’far bin Abi Thalib, bersama sisa Muhajirin lainnya yang baru kembali dari sana. Tak terkatakan besarnya hati Nabi dan betapa sukacita, bahagia dan gembiranya ia karena kedatangan mereka . . . ! Di­peluknya Ja’far dengan mesra sambil berkata: “Aku tak tahu, entah mana yang lebih menggembirakanku, apakah dibebaskan­nya Khaibar atau kembalinya Ja’far!”

Dengan berkendaraan Rasulullah pergi bersama shahabat-shahabatnya ke Mekah, hendak melaksanakan ‘umrah qadla Sekembalinya ke Madinah jiwa Ja’far bergelora dan dipenuhi keharuan, demi mendengar berita dan ceritera sekitar shahabat­-shahabatnya Kaum Muslimin, baik yang gugur sebagai syuhada, maupun yang masih hidup selaku pahlawan-pahlawan yang berjasa dari Perang Badar, perang Uhud, Khandak dan peperang­an-peperangan lainnya. Kedua matanya basah berlinang me­ngenang para Mu’minin yang telah menepati janjinya dengan mengurbankan nyawa karena Allah!Amboi . . . , kapankah aku akan berbuat demikian pula?” pikirnya. Ah . . . hatinya rasa terbang merindukan surga. Ia pun menunggu-nunggu kesempatan dan peluang yang berharga itu, berjuang sebagai syahid di jalan Allah….

Pasukan-pasukan Islam ke perang Muktah yang telah kita bicarakan dahulu, sedang bersiap-siap hendak diberangkatkan. Bendera dan panji-panji perang berkibar dengan megahnya, disertai dengan gemerincingnya bunyi senjata. Ja’far memandang peperangan ini sebagai peluang yang sangat baik dan satu-satunya kesempatan seumur hidup, untuk merebut salah satu di antara dua kemungkinan, yakni: membuktikan kejayaan besar bagi Agama Allah dalam hidupnya atau ia akan beruntung menemui syahid di jalan Allah. Maka ia datang bermohon kepada Rasul Allah untuk turut mengambil bagian dalam peperangan ini ….

Ja’far mengetahui benar, bahwa peperangan ini bukan enteng dan main-main, bahkan bukan peperangan yang keeil, malah sebenarnya inilah suatu peperangan yang luar biasa, baik tentang jauh dan sulitnya medan yang akan ditempuh, maupun tentang besarnya musuh yang akan dihadapi, yang belum pernah dialami ummat Islam selama ini. Suatu peperangan melawan balatentara. kerajaan Romawi yang besar dan kuat, yang memiliki kemampu­an perlengkapan dan pengalaman serta didukung oleh alat per­senjataan yang tak dapat ditandingi oleh orang-orang Arab maupun Kaum Muslimin. Walau demikian, perasaan hati dan semangatnya rindu hendak terbang ke sana. Ja’far termasuk di antara tiga serangkai yang diangkat Rasulullah jadi panglima pasukan dan pemimpinnya di perang Muktah ini. Balatentara Islam pun keluar bergerak menuju Syria dan di dalamnya ter­dapat Ja’far bin Abi Thalib ….

Pada suatu hari yang dahsyat kedua pasukan itu pun ber­hadapan muka, dan tak lama kemudian pecahlah pertempuran hebat. Seharusnya Ja’far akan kecut dan gentar melihat bala­tentara Romawi yang besarnya 200.000 orang prajurit itu, tetapi sebaliknya saat itu bangkitlah semangat juang yang tinggi pada dirinya, karena sadar akan kemuliaan seorang Mu’min yang sejati, dan sebagai seorang pahlawan yang ulung, haruslah kemampuan juangnya berlipat ganda dari musuh ….

Sewaktu panji-panji pasukan hampir jatuh terlepas dari tangan kanan Zaid bin Haritsah, dengan cepatnya disambar oleh Ja’far dengan tangan kanannya pula. Dengan panji-panji di tangan, ia terus menyerbu ke tengah-tengah barisan musuh, serbuan dari seseorang yang berjuang di jalan Allah, dengan tujuan menyaksikan ummat manusia bebas dari kekufuran atau mati syahid, memenuhi panggilan Maha Pencipta. Prajurit. Romawi semakin banyak mengelilinginya. Karena dilihatnya kudanya menghalangi gerakannya, maka Ja’far melompat terjun dari kudanya dengan berjalan kaki, lalu mengayunkan pedangnya ke segala jurusan yang mengenai leher musuhnya, laksana malaikat maut pencabut nyawa. Sekilas terlihat olehnya seorang serdadu musuh melompat hendak menunggangi kudanya. Karena ia tak sudi hewannya itu dikendarai manusia najis, Ja’far pun menebas kudanya dengan pedangnya sampai tewas. Setapak demi setapak ia terus berjalan di antara barisan serdadu Romawi Yang berlapis-lapis yang laksana deru angin mengeroyok hendak membinasakannya, sementara suara meninggi dengan ungkapan­nya yang gemuruh:

“Wahai surga yang kudambakan mendiaminya, Harum semerbak baunya, sejuk segar air minumnya. Tentara Romawi telah menghampiri liang kuburnya, Terhalang jauh dari sanak keluarganya, Kewajibankulah menghantamnya kala menjumpainya”. Balatentara Romawi menyaksikan bagaimana kemampuan Ja’far bertempur yang seolah-olah sepasukan tentara jua . . .Mereka terus mengepung Ja’far hendak membunuhnya laksana orang-orang gila yang sedang kemasukan setan. Kepungan mereka semakin ketat hingga tak ada harapan untuk lepas lagi. Mereka tebas tangan kanannya dengan pedang hingga putus, tapi sebelum panji itu jatuh ke tanah, cepat disambaruya dengan tangan kirinya Lalu mereka tebas pula tangan kirinya, tapi Ja’far niengepit panji itu dengan kedua pangkal lengannya ke dada. Pada saat yang amat gawat ini, ia bertekad akan memikul tang­gung jawab, untuk tidak membiarkan panji Rasulullah jatuh menyentuh tanah, yakni selagi hayat masih dikandung badan.
Entah kalau ia telah mati, barulah boleh panji itu jatuh ke tanah ….

Di kala jasadnya yang suci telah kaku, panji pasukan masih tertancap di antara kedua pangkal lengan dan dadanya. Bunyi kibaran bendera itu, seolah-olah menghimbau-himbau Abdullah bin Rawahah. Pahlawan ini membelah barisan musuh bagaikan anak panah lepas dari busurnya ke arah panji itu, lalu merenggut­nya dengan kuat. Kemudian berlalu untuk melukis riwayat Yang besar pula. Demikianlah Ja’far mempertaruhkan nyawa dalam menem­puh suatu kematian agung yang tak ada taranya. Dan begitulah caranya ia menghadap Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, menyampaikan pengurbanan besar yang tidak terkira, berselimut­kan darah kepahlawanannya ….

Allah, Zat yang Maha Mengetahui, menyampaikan berita tentang akhir kesudahan peperangan kepada Rasul-Nya, begitu pula akhir hidup Ja’far. Rasulullah menyerahkan nyawa Ja’far kembali kepada Allah dan beliau pun menangislah . . .

Rasulullah pun pergi ke rumah saudara sepupunya ini, beliau berdo’a untuk anak cucunya. Mereka dipeluk dan di­ciuminya, sementara air matanya yang mulia bercucuran tak tertahankan ….

Kemudian Rasulullah kembali ke majlisnya, dikelilingi para shahabat. seorang penyair Islam terkemuka yang bernama Hassan bin Tsabit tampil dengan syairnya menceriterakan Ja’far Yang gugur bersama kawan-kawannya, maknanya lebih kurang demikian:
“Maju jurit memimpin sepasukan Mu’min
Menempuh maut mengharap ridla Rabbul Alamin
Putra Bani Hasyim yang cemerlang bak cahaya purnama
Menyibak kegelapan tiran nan aniaya
Menyabet dan menebas setiap penyerang
Akhirnya jatuh syahid sebagai pahlawan
Disambut para syuhada yang pergi lebih dahulu
Di surga na’im yang menjadi idaman setiap kalbu
Alangkah besarnya pengurbanan Ja’far bagi Islam
Dalam menyebarluaskan ke seluruh alam
Selama ada pejuang seperti putera Hasyim ini
Pasti Islam menjadi anutan penduduk bumi”.

Sesudah Hassan bangkit pula Ka’ab bin Malik, yang meng­ucapkan syairnya yang bernilai, lebih kurang sebagai berikut:

“Kemuliaan tertumpah atas pahlawan yang susul-me­nyusul
Di perang Muktah, tak tergoyahkan bersusun bahu membahu Restu Allah atas mereka,
para pemuda gagah perkasa
Curahan Rahmat kiranya membasuh tulang-belulang mereka,
Tabah dan shabar, demi Tuhan rela mempertaruhkan nyawa
Setapak pun tak hendak undur,
menentang setiap bahaya Panji perang di tangan Ja’far sebagai pendahulu
Menambah semangat tempur bagi setiap penyerbu
Kedua terus pasukan berbenturan baku hantam Ja’far
dikepung musuh sabet kiri terkam kanan
Tiba-tiba …. bulan purnama redup kehilangan jiwanya
Sang surga pun gerhana, ditinggalkan pahlawannya . . . .

Memang, ia manusia yang sangat pemurah dengan hartanya selagi masih hidup . . . ; dan di saat ajalnya, sebagai seorang syahid yang sangat pemurah pula mengurbankan nyawa dan hidupnya …. Berkata Abdullah bin Umar: “Aku sama-sama terjun di perang Muktah dengan Ja’far. Waktu kami mencarinya, kami dapati ia beroleh luka-luka bekas tusukan dan lemparan lebih dari 90 tempat!”  Bayangkan! 90 tempat bekas luka-luka tusukan pedang dan lemparan tombak! Walau demikian, prajurit perang yang me newaskannya tak kuasa menghalangi rohnya ke tempat kem­balinya di sisi Allah swt.! Sekali-kali tidak! Pedang-pedang dan tombak-tombak mereka tak lain hanyalah sebagai jembatan yang menyeberangkan ruhnya yang syahid dan mulia ke sisi Allah yang Rahim lagi Maha Tinggi; di sanalah ia bertempat dengan tenang berbahagia, di tempat yang istimewa . . . . Nun di sana ia berada di surga abadi, lengkap memakai bintang­-bintang tanda jasa, yang bergantungan di setiap bekas luka, aki­bat tusukan pedang dan lemparan tombak. Dan jika anda ingin tabu tentang dirinya, dengarkanlah sabda Rasulullah:

“Aku telah melihatnya di surga …. kedua bahunya yang penuh bekas-bekas cucuran darah penuh dihiasi dengan tanda-tanda kehormatan .. !!”



JA'FAR IBN ABI TAALIB  
      You Resemble Your Prophet in Your Looks and Conduct.


Notice his majestic youth and blooming vigor, patience, compassion, piety, modesty, and devoutness. Notice his fearlessness, generosity, purity, chastity, honesty, and trustworthiness. Notice his magnificent nature, virtue, and greatness. Do not let the fact that all these excelling traits were found in one man astonish you, for you are looking at a man who resembled the Prophet in his looks and conduct. The Prophet gave him the epithet "Father of the Poor" and the agnomen "The Two Winged". You are about to meet the twittering heavenly sparrow, Ja'far Ibn Abii Taalib, one of the great Muslims who contributed much to shaping the conscience of life. 

        He embraced Islam and was raised to a high station among the early believers. On the same day, his wife, Asmaa' Bint `Umais, submitted herself to Islam. They had their share of abuse and oppression, which they withstood with courage and joy. When the Prophet (PBUH) advised his Companions to emigrate to Abyssinia, Ja'far and his wife were among those who acted upon his advice. There, they settled for a number of years, during which they had three children: Muhammad, `Abd Allah and `Awf.  

        In Abyssinia, Ja'far Ibn Abi Taalib was the eloquent Companion who won through in the way of Allah and His prophet, for among Allah's graces bestowed on him were his noble heart, alert mind, sagacious spirit, and fluent speech. The Battle of Mu'tah, in which he was martyred, was his most magnificent, glorious and immortal feat. Yet the Day of Al-Mujaawarah, which he executed before An- Najaashii in Abyssinia, was not less in magnificence glory and grace. In fact, it was a singular battle of words and an impressive scene.  

        Now, the Muslim emigration to Abyssinia did not set the fears of the Quraish to rest nor lessen their grudges and spite against the Muslims. On the contrary, the Quraish were afraid lest the Muslims should gain momentum there and increase in number and power. If that did not happen, the Quraish's haughtiness and arrogance could not accept the fact that those fugitives had fled their tyranny and ruthlessness and had settled in another country which the Prophet (PBUH) saw as a promising land for Islam. Therefore, the Quraish leaders decided to send delegates to An-Najaashii with expensive gifts and the hope that he would expel those fugitives from his country. The two chosen delegates were `Abd Allah lbn Abi Rabii'ah and `Amr Ibn Al-Aas before they had embraced Islam. 

        An-Najaashii, or Negus, the emperor of Abyssinia, was an enlightened believer. Deep inside he embraced a rational and pure Christianity, void of deviation, fanaticism, and narrow-mindedness. He was renowned and highly admired for his justice. Hence, the Prophet (PBUH) chose his country for his Companions' immigration. Now, the Quraish were afraid lest they should not be able to convince him of their viewpoint. Therefore, their two delegates carried many expensive gifts for the bishops and archbishops of the church and were advised not to meet An-Najaashii until they had given those presents to the bishops and convinced them of their viewpoint so that they would support them before An- Najaashii.  

        As soon as the two delegates arrived in Abyssinia, they met the spiritual leaders and lavished the gifts on them. Then they sent An-Najaashii his presents. Afterwards, they began to incite the priests and bishops against the Muslim immigrants and asked them to support them in their plea to An-Najaashij to expel them. A day was set for the Muslims to meet An-Najaashii and confront, before his eyes, their spiteful and mischievous enemies. 

        On the appointed day, An-Najaashii sat on the throne in awesome dignity, surrounded by the bishops and his retinue. Right in front of him in the vast hall sat the Muslim immigrants, enveloped by Allah's calmness, tranquility, and mercy which He had sent down upon them. The two Quraish delegates stood to reiterate their accusation which they had presented before An-Najaashii in a private meeting right before this huge audience.   They said, "Your Majesty, you well know that a group of fools have turned renegade and have taken asylum in your country. They did not embrace your religion, but rather invented their own religion that neither of us know. We are people of high rank who are related to their fathers, uncles, and tribes, so that you would surrender those wretched renegades to us.  

        An-Najaashii addressed the Muslims saying, "What is that religion that made you abandon your people's religion and refuse to embrace our religion?" Ja'afar stood to perform the task for which he had been chosen by mutual consultation immediately before this meeting. Ja'far stood up slowly and gracefully, looked with appreciation at the hospitable king and said, "O your Majesty, we used to be a people of ignorance. We worshipped idols, ate dead animals, committed great sin, severed family relations, and acted according to the law of the jungle. We used to believe that survival was only for the fittest until Allah sent from among us a Prophet (PBUH) who was known for his noble descent, honesty, trustworthiness, and chastity. He invited us to worship Allah alone and abstain from worshipping stones and idols. He ordered us to speak nothing but the truth and to render back our trusts to those whom they are due. Moreover, he ordered us to keep our ties of kinship intact, be good to our neighbors, and abstain from what is forbidden. He also ordered us not to commit evil, nor to say false statements, nor to eat up the property of orphans, nor to accuse chaste women of wrong-doing without proof or witness. Hence, we believed in him and in Allah's message to him. We worshipped Allah alone. We rejected that which we used to associate with Him as His partners. We allowed as lawful what is halaal and prohibited as unlawful what is haraam. Consequently, we were harassed and abused by our people, who tried to turn us away from what Allah had sent down to the Prophet (PBUH) so that we may return to idol worshiping and the evil and unlawful deeds we used to do. We were oppressed, abused and straitened in a way that prevented us from the proper worship of Allah. They even tried to force us to turn apostate. Therefore, we fled to your country and asked for asylum to escape oppression and tyranny. 

        When Ja'far finished his glorious words which were as clear as daylight, An-Najaashii was gripped by compassion and grace. He addressed Ja`far saying, "Do you have a scroll on which you have written the words of your Prophet?" Ja'far replied, "Yes." An Najaashii ordered, "Read it aloud." Ja'far recited a number of verses from Surat Maryam in such a slow, sweet, subdued, and captivating voice that it made An-Najaashii and all his bishops cry.  

        When he wiped his tears he swiftly said to the Quraish delegates, "These words, of what had descended on `lisaa (Jesus), come from the very same source as that of `Iisaa. You are free men in a free land. By Allah, I will never surrender you to them."  

        The meeting was over. Allah had helped the Muslims and made their feet firm; whereas the Quraish delegates were bitterly defeated. Yet `Amr Ibn Al-'Aas was a resourceful, crafty man who could neither accept defeat nor despair easily. Therefore, no sooner had he returned to their residence than he sat turning the matter over in his mind. Then he addressed his comrade saying, "By Allah, I will go to An- Najaashli tomorrow and I will pluck the Muslims out from this land once and for all." His comrade replied, "You must not do that, for despite their disobedience, they are still related to us." `Amr said, "By Allah, I will tell An-Najaashii that they claim that `Iisaa Ibn Maryam is a slave like the rest of Allah's slaves." Thus the web was spun by the shrewd delegate so as to lead the Muslims unawares right into the trap. The Muslims were put in a fight corner, for if they said that `Iisaa was Allah's slave, they would incite the king and bishops against them, and if they denied the fact that he was human, then they would turn from their religion.  

        On the following day, `Amr hastened to meet the king and said, "Your Majesty, those Muslims utter an awful saying against `lisaa." At once, the bishops were agitated by this short but fatal sentence. They asked the Muslims once again to meet the king so as to clarify their religious standpoint concerning `lisaa.  

        When the Muslims found out about the new plot, they discussed the possibilities, then agreed to say nothing but the truth as said by the Prophet (PBUH), regardless of the consequences. Once again, the audience was held and An-Najaashii started it by asking Ja'far, "What does your religion say about Iisaa?" Ja'far, stood once again like a gleaming lighthouse and said, "We say what has descended on our 

Prophet (PBUH): he is Allah's slave, Messenger, His word which He bestowed, and a spirit created by Him. An-Najaashii cried out in assent and said that the same words had been said by `Iisaa to describe himself, but the lines of bishops roared in disapproval. Nevertheless, the enlightened, believing An- Najaashil declared, "You are free to go now. My land is your sanctuary. Anyone who dares . to abuse or mistreat you in any way will be severely punished. He addressed his retinue and pointed towards the Quraish delegation declaring, "Give them back their presents, for I do not want them. By Allah, Allah did not take a bribe from me when He restored my kingdom; therefore, I will not be bribed against Him!"  

        After the Quraish delegates had been utterly disgraced, they headed back to Makkah. The Muslims headed by Ja'far went on with their secure life in Abyssinia. They settled in the "most hospitable land of the most hospitable people' until Allah gave them permission to return to their Prophet (PBUH), who was celebrating with the Muslims the conquest of Khaibar when Ja'afar and the rest of the emigrants to Abyssinia arrived. The Prophet's (PBUH) heart was filled with joy, happiness, and optimism.  

        The Prophet (PBUH) hugged him and said, "I do not know which makes me feel happier, Khaibar's conquest or Ja'far's arrival." The Prophet (PBUH) and his Companions traveled to Makkah to perform the Umrah to make up for the missed Umrah. Then they returned to Al-Madiinah. Ja'far was overjoyed with the news he heard concerning the heroism and valor of his believing brothers who had fought side by side with the Prophet (PBUH) in the Battles of Badr, Uhud and others. His eyes filled with tears over the Companions who had been true to their covenant with Allah and had fulfilled their obligations as obedient martyrs. Ja`far craved Paradise more than anything in the world. He awaited impatiently the glorious moment in which he would win martyrdom.  

        The Battle of Mu'tah, as we have already mentioned, was imminent. Ja'far realized that this battle was his lifetime chance to either achieve a glorious victory for Allah's religion or win martyrdom in the way of Allah. Therefore, he pleaded with the Prophet (PBUH) to let him fight in this battle. Ja'far knew beyond doubt that this battle was neither a picnic nor a limited war, but rather an unprecedented crucial war, for it was against the armies of a vast and powerful empire that excelled the Arabs and Muslims in numbers, equipment, expertise, and finance. He yearned to have a role in it.  

       Thus, he was the second of the three commanders. The two armies met in combat on a distressful day. Ja'far would have been excused if he had been gripped by terror when he saw the 200,000 warriors. Instead, he was gripped by overflowing exaltation, for he felt urged by the pride of the noble believer and the self-confidence of the hero to fight with his equals.  

        Again, hardly had the standard touched the sand as it slipped from Zaid lbn Haarithah's right hand, when Ja'far darted and picked it up and broke through the line of the enemy with incredible fearlessness. It was the fearlessness of a man who was not so much craving victory as martyrdom. When the Roman warriors closed in upon him in an encircling move, his horse restricted his movement, so he dismounted and thrust his sword into his enemies. Then he saw one of them approaching his horse so as to mount it. He did not want this impure disbeliever on his horse's back, so he thrust his sword into it and killed it.  
        
He immediately broke through the encircled Roman warriors like a hurricane and recited these 
vehement lines of poetry:  
   
How wonderful Paradise is.  
I can see it approaching
with its sweet and cool drink.  
The time for the punishment of the Roman
 is drawing near.  
Those unbelievers are not related to us in blood.  
I must fight the Romans
whenever I see one of their warriors. 
  The Roman soldiers were stunned
by this warrior who fought like a full-armored army. 
Confounded by his fearlessness, 
they closed in upon him in a way that left him no escape, for they were 
determined to slay him.
Instantly, they struck with their swords and cut off his right hand.
Swiftly he caught the standard with his left hand
before it reached the ground.
When they struck off his left hand, 

he caught the standard with his upperarms. At the moment, the only thing that really mattered to him was not to let the standard of the Prophet (PBUH) touch the ground as long as he was alive. Although his pure body was struck down, his upperarm still hugged the standard. The sounds of its fluttering seemed to have summoned `Abd Allah Ibn Rawaahah, who darted swiftly and gripped it then galloped towards his great destiny! 

        Thus, Ja`far died an honorable death. He met Allah, the Most Great, the Most High, enveloped in self-sacrifice and heroism.  

        When Allah the All-Knower, the All-Aware, inspired His Prophet (PBUH) with the outcome of the battle and Ja'far's martyrdom, his tears flowed as he placed his spirit in Allah's hands. Then he went to his late cousin's house and called his children. He hugged and kissed them while his tears flowed. Then he went back to his meeting surrounded by the Companions. Hassaan lbn Thaabit, the poet laureate of Islam, lamented the death of Ja`afar and his Companions saying.  At daybreak a man of a blessed nature and graceful face Commanded the believers to death.  

His face was as bright as the moon.  
He was a proud man who descended from Al Haashim.  
He was a valiant man who rushed to help the oppressed. 
He fought until he was martyred.  
And his reward was Paradise where there are lush. 
green gardens. 
Ja'far was loyal and obedient to Muhammad.  
If Islam lost one of Al-Haashim,  
There are still honorable and pious men of them.  
Who are the support and pride of Islam.  

After Hassaan finished reciting his poem, Ka`b Ibn Maalik recited. 
I am griefstricken over the group. 
Who were struck down in succession in the Battle of Mu'tah. 
They strived and fought fiercely and didn't turn their back. 
Allah sent His blessings on them. 
For they were pious and loyal men. 
Allah made the heavy rains water their bone. 
They stood firm before death in Mu'tah 
in obedience to Allah. 
And for fear of His punishment. 

They were guided by Ja'far's flag. He was the best Commander. 
He broke through the line of the enemy and was struck down. 
Owing to the fierce and ruthless fight. 
Instantly, the bright moon darkened. 
And the sun eclipsed to lament his death. 

At the end, all the poor wept bitterly over the loss of their father, for Ja'afar (May Allah be pleased with him) was the "father of the poor". Abu Hurairah said, "The most generous man towards the poor was Ja'afar Ibn Abi Taalib." Indeed, when he was about to die, he wanted to be the most generous, self- denying and devoted martyr. `Abd Allah Ibn `Umar said, "I was with Ja'far in the Battle of Mu'tah and we looked around for him. We found that the enemy had sprayed his body with more than ninety stabs and strikes!"  

       But those killers did not scratch his invulnerable spirit. No, their swords and spears were the bridge which this glorious martyr crossed to be near Allah, the Most Merciful, the Most High. He was raised to a high station in heaven. His worn-out body was covered all over with the medals of war, namely, the wounds. Now, let us hear what the Prophet (PBUH) said about him: "I have seen him in Paradise. His head and wings - upper arms - were covered with blood!"

.¤ª"˜¨¯¨¨Ja'far Bin Abu Thalib oo Ja'far Ibn Abi Taalib¸,ø¨¨"ª¤.






.¤ª"˜¨¯¨¨Zaid Bin Haritsah oo Zaid Ibn Haarithah¸,ø¨¨"ª¤.
Tak ada orang yang lebih dicintainya daripada Rasulullah. 

Rasulullah saw. berdiri melepas balatentara Islam yang akan berangkat menuju medan perang Muktah, melawan orang­orang Romawi. Beliau mengumumkan tiga nama yang akan memegang pimpinan dalam pasukan secara berurutan, sabdanya: “Kalian semua berada di bawah pimpinan Zaid bin Hari­tsah! Seandainya ia tewas, pimpinan akan diambil alih oleh Jafar bin Abi Thalib; dan seandainya Jafar tewas Pula, maka komando hendaklah dipegang oleh Abdullah ibnul Rawahah”. Siapakah Zaid bin Haritsah itu? Bagaimanakah orangnya? siapakah pribadi yang bergelar “Pencinta Rasulullah itu?” 

tampan dan perawakannya biasa saja, pendek dengan kulit coklat kemerah-merahan, dan hidung yang agak pesek. Demikian yang dilukiskan oleh ahli sejarah dan riwayat. Tetapi sejarah hidupnya hebat dan besar.

Sudah lama sekali Su’da isteri Haritsah berniat hendak berziarah ke kaum keluarganya di kampung Bani Ma’an. Ia sudah gelisah dan seakan-akan tak shabar lagi menunggu waktu ke­berangkatannya. Pada suatu pagi yang cerah, suaminya ialah ayah Zaid, mempersiapkan kendaraan dan perbekalan untuk keperluan itu. Kelihatan Su’da sedang menggendong anaknya yang masih kecil, Zaid bin Haritsah. Di waktu ia akan menitipikam isteri dan anaknya kepada rombongan kafilah yang akan berangkat bersama dengan isterinya, dan ia harus menunaikan tugas pekerjaannya, menyelinaplah rasa sedih di hatinya, disertai perasaan aneh, menyuruh agar ia turut serta mendampingi anak dan isterinya. Akhirnya perasaan gundah itu hilang jua. Kafilah pun mulai bergerak memulai perjalanannya meninggalkan kampung itu, dan tibalah waktunya bagi Haritsah untuk meng­ucapkan selamat jalan bagi putera dan isterinya ….

Demikianlah, ia melepas isteri dan anaknya dengan air mata berlinang. Lama ia diam terpaku di tempat berdirinya sampai keduanya lenyap dari pandangan. Haritsah merasakan hatinya tergoncang, seolah-olah tidak berada di tempatnya yang biasa. la hanyut dibawa perasaan seolah-olah ikut berangkat bersama rombongan kafilah. Setelah beberapa lama Su’da berdiam bersama kaum ke­luarganya di kampung Bani Ma’an, hingga di suatu hari, desa itu dikejutkan oleh serangan gerombolan perampok badui yang menggerayangi desa tersebut. Kampung itu habis porak poranda, karena tak dapat mem­pertahankan diri. Semua milik yang berharga dikuras habis dan penduduk yang tertawan digiring oleh para perampok itu sebagai tawanan, termasuk si kecil Zaid bin Haritsah. Dengan perasaan duka kembalilah ibu Zaid kepada suaminya seorang diri.

Demi Haritsah mengetahui kejadian tersebut, ia pun jatuh tak sadarkan diri. Dengan tongkat di pundaknya ia berjalan mencari anaknya. Kampung demi kampung diselidikinya, padang pasir dijelajahinya. Dia bertanya pada kabilah yang lewat, kalau­kalau ada yang tahu tentang anaknya tersayang dan buah hatinya “Zaid”. Tetapi usaha itu tidak berhasil. Maka bersyairlah ia menghibur diri sambil menuntun untanya, yang diucapkannya dari lubuk perasaan yang haru:“Kutangisi Zaid, ku tak tahu apa yang telah terjadi, Dapatkah ia diharapkan hidup, atau telah mati? Demi Allah ku tak tahu, sungguh aku hanya bertanya.Apakah di lembah ia celaka atau di bukit ia binasa? Di kala matahari terbit ku terkenang padanya.Bila surya terbenam ingatan kembali menjelma. tiupan angin yang membangkitkan kerinduan pula,Wahai, alangkah lamanya duka nestapa, diriku jadi merana.

Perbudakan sudah berabad-abad dianggap sebagai suatu keharusan yang dituntut oleh kondisi masyarakat pada zaman itu. Begitu terjadi di Athena Yunani, begitu di kota Roma, dan begitu pula di seantero dunia, dan tidak terkecuali di jazirah Arab sendiri. Syandan di kala kabilah perampok yang menyerang desa, Bani Ma’an berhasil dengan rampokannya, mereka pergi menjualkan barang-barang dan tawanan hasil rampokannya ke pasar ‘Ukadz yang sedang berlangsung waktu itu. Si kecil Zaid dibeli oleh Hakim bin Hizam dan pada kemudian harinya ia mem­berikannya kepada bibinya Siti Khadijah. Pada waktu itu Khadijah radliyallahu ‘anha telah menjadi isteri Muhammad bin Abdillah (sebelum diangkat menjadi Rasul dengan turunnya wahyu yang pertama). Sementara pribadinya yang agung, telah memperlihatkan segala sifat-sifat kebesaran yang istimewa, yang dipersiapkan Allah untuk kelak dapat diangkat-Nya sebagai Rasul-Nya. Selanjutnya Khadijah memberikan khadamnya Zaid sebagai pelayan bagi Rasulullah. Beliau menerimanya dengan segala senang hati, lalu segera memerdekakannya. Dari pribadinya yang besar dan jiwanya yang mulia, Zaid diasuh dan dididiknya dengan segala kelembutan dan kasih sayang seperti terhadap anak, sendiri.

Pada salah satu musim haji, sekelompok orang-orang dari desa Haritsah berjumpa dengan Zaid di Mekah. Mereka menyampaikan kerinduan ayah bundanya kepadanya. Zaid balik menyampaikan pesan salam serta rindu dan hormatnya kepada kedua orang tuanya. Katanya kepada para hujjaj atau jemaah haji itu, tolong beritakan kepada kedua orang tuaku, bahwa aku di sini tinggal bersama seorang ayah yang paling mulia. Begitu ayah Zaid mengetahui di mana anaknya berada, segera ia mengatur perjalanan ke Mekah, bersama seorang sau­daranya. Di Mekah keduanya langsung menanyakan di mana rumah Muhammad al-Amin (Terpercaya). Setelah berhadapan muka dengan Muhammad saw., Haritsah berkata: “Wahai Ibnu Abdil Mutthalib . .. , wahai putera dari pemimpin kaumnya! Anda termasuk penduduk Tanah Suci yang biasa membebaskari orang tertindas, yang suka memberi makanan para tawanan … Kami datang ini kepada anda hendak meminta anak kami. Sudilah kiranya menyerahkan anak itu kepada kami dan bermurah hatilah menerima uang tebusannya seberapa adanya?”

Rasulullah sendiri mengetahui benar bahwa hati Zaid telah lekat dan terpaut ‘ kepadanya, tapi dalam pada itu merasakan pula hak seorang ayah terhadap anaknya. Maka kata Nabi kepada “Panggillah Zaid itu ke sini, suruh ia memilih sendiri. Seandainya dia memilih anda, maka akan saya kembalikan kepada anda tanpa tebusan. Sebaliknya jika ia memilihku, maka demi Allah aku tak hendak menerima tebusan dan tak akan menyerahkan orang yang telah memilihku!” Mendengar ucapan Muhammad saw. yang demikian, wajah Haritsah berseri-seri kegembiraan, karena tak disangkanya sama sekali kemurahan hati seperti itu, lalu ucapnya: “Benar-benar anda telah menyadarkan kami dan anda beri pula keinsafan di balik kesadaran itu!” Kemudian Nabi menyuruh seseorang untuk memanggil Zaid. Setibanya di hadapannya, beliau langsung bertanya: “Tahu­kah engkau siapa orang-orang ini?” “Ya, tahu”, jawab Zaid, “Yang ini ayahku sedang yang seorang lagi adalah pamanku”. Kemudian Nabi mengulangi lagi apa yang telah dikatakannya kepada ayahnya tadi, yaitu tentang kebebasan memilih orang yang disenanginya.

Tanpa berfikir panjang, Zaid menjawab: “Tak ada orang pilihanku kecuali anda! Andalah ayah, dan andalah pamanku!” Mendengar itu, kedua mata Rasul basah dengan air mata, karena rasa syukur dan haru. Lalu dipegangnya tangan Zaid, dibawanya ke pekarangan Ka’bah, tempat orang-orang Quraisy sedang banyak berkumpul, lalu serunya: “Saksikan oleh kalian semua, bahwa mulai saat ini, Zaid adalah anakku . . . yang akan menjadi ahli warisku dan aku jadi ahli warisnya “.

Mendengar itu hati Haritsah seakan-akan berada di awang­awang karena sukacitanya, sebab ia bukan saja telah menemukan kembali anaknya bebas merdeka tanph tebusan, malah sekarang diangkat anak pula oleh seseorang yang termulia dari suku Quraisy yang terkenal dengan sebutan “Ash-Shadiqul Amin”, — Orang lurus Terpercaya —, keturunan Bani Hasyim, tumpuan penduduk kota Mekah seluruhnya. Maka kembalilah ayah Zaid dan pamannya kepada kaumnya dengan hati tenteram, meninggalkan anaknya pada seorang pemimpin kota Mekah dalam keadaan aman sentausa, yakni sesudah sekian lama tidak mengetahui apakah ia celaka terguling di lembah atau binasa terkapar di bukit.

Rasulullah telah mengangkat Zaid sebagai anak angkat,  maka menjadi terkenallah ia di seluruh Mekah dengan nama “Zaid bin Muhammad” … . Di suatu hari yang cerah seruan wahyu yang pertama datang kepada sayidina Muhammad:

Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang telah menciptakan! Ia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang telah mengajari manusia dengan kalam (pena). Mengajari manusia apa-apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. 96 al-’Alaq; 1 — 5) 

Kemudian susul-menyusul datang wahyu kepada Rasul dengan kalimatnya:

Wahai orang yang berselimut! Bangunlah (siapkan diri), sampaikan peringatan (ajaran Tuhan). Dan agungkan Tuhanmu. (Q.S. 74 al-Muddattsir- 1 — 3)

Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu! Dan jika tidak kamu laksanakan, berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah akan melindungimu dari (kejahatan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir. (Q.S. 5 al-Maidah: 67)

Maka tak lama setelah Rasul memikul tugas kerasulannya dengan turunnya wahyu itu, jadilah Zaid sebagai orang yang kedua masuk Islam . . . , bahkan ada yang mengatakan sebagai orang yang pertama. Rasul sangat sayang sekali kepada Zaid. Kesayangan Nabi itu memang pantas dan wajar, disebabkan kejujurannya yang tak ada tandingannya, kebesaran jiwanya, kelembutan dan kesucian hatinya, disertai terpelihara lidah dan tangannya. Semuanya itu atau yang lebih dari itu menyebabkan Zaid punya kedudukan tersendiri sebagai “Zaid Kesayangan” sebagai­mana yang telah dipanggilkan shahabat-shahabat Rasul kepada­nya. Berkatalah Saiyidah Aisyah r.a.: “Setiap Rasulullah mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid, pastilah ia yang selalu diangkat Nabi jadi pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup sesudah Rasul, tentulah ia akan diangkatnya sebagai khalifah!”

Sampai ke tingkat inilah kedudukan Zaid di sisi Rasulullah saw. Siapakah sebenarnya Zaid ini?

Ia sebagai yang pernah kita katakan, adalah seorang anak yang pernah ditawan, diperjual-belikan, lalu dibebaskan Rasul dan dimerdekakannya. Ia seorang laki-laki yang berperawakan pendek, berkulit coklat kemerahan, hidung pesek tapi ia adalah manusia yang berhati mantap dan teguh serta berjiwa merdeka. Dan karena itulah ia mendapat tempat tertinggi di dalam Islam dan di hati Rasulullah saw. Karena Islam dan Rasulnya tidak sedikit juga mementingkan gelar kebangsawanan dan turunan darah, dan tidak pula menilai orang dengan predikat-predikat lahiriahnya, Maka di dalam keluasan faham Agama besar inilah cemerlangnya nama-nama seperti Bilal, Shuhaib, ‘Ammar, Khabbab, Usamah dan Zaid. Mereka semua punya kedudukan yang gemilang, baik sebagai orang-orang shaleh maupun sebagai pahlawan perang.

Dengan tandas Islam telah mengumandangkan dalam kitab sucinya al-Quranul Karim tentang nilai-nilai hidup:

“Sesungguhnya semulia-mulia kalian di sisi Allah, ialah yang paling taqwa!”
(Q.S. 49 al-Hujurat: 13)

Islamlah Agama yang membukakan segala pintu dan jalan untuk mengembangkan berbagai bakat yang baik dan cara hidup Yang suci, jujur dan direstui Allah ….Rasulullah saw. menikahkan Zaid dengan Zainab anak bibinya. Ternyata kemudian kesediaan Zainab memasuki tangga perkawinan dengan Zaid, hanya karena rasa enggan menolak anjuran dan syafa’at Rasulullah, dan karena tak sampai hati menyatakan enggan terhadap Zaid sendiri. Kehidupan rumah tangga dan perkawinan mereka yang tak dapat bertahan lama, karena tiadanya tali pengikat yang kuat yaitu cinta yang ikhlas karena Allah dari Zainab, sehingga berakhir dengan per­ceraian. Maka Rasulullah saw. mengambil tanggung jawab ter­hadap rumah tangga Zaid yang telah pecah itu. Pertama merangkul Zainab dengan menikahinya sebagai isterinya, kemu­dian mencarikan isteri baru bagi Zaid dengan mengawinkannya dengan Ummu Kaltsum binti ‘Uqbah. Disebabkan peristiwa tersebut diatas terjadi kegoncangan dalam masyarakat kota Madinah. Mereka melemparkan kecaman, kenapa Rasul menikahi bekas isteri anak angkatnya?

Tantangan dan kecaman ini dijawab Allah dengan wahyu­Nya, yang membedakan antara anak angkat dan anak kandung atau anak adaptasi dengan anak sebenarnya, sekaligus mem­batalkan adat kebiasaan yang berlaku selama itu. Pernyataan wahyu itu berbunyi sebagai berikut: 

Muhammad bukanlah bapak dari seorang laki-laki (yang ada bernama) kalian. Tetapi ia adalah Rasul Allah dan Nabi penutup. (Q.S. 33 a]-Ahzab: 40)

Dengan demikian kembali Zaid dipanggil dengan namanya semula “Zaid bin Haritsah”.Dan sekarang ….Tahukah anda bahwa kekuatan Islam yang pernah maju ke medan perang “Al-Jumuh” komandannya adalah Zaid bin Haritsah? Dan kekuatan-kekuatan lasykar Islam yang bergerak maju ke medan pertempuran at-Tharaf, al-’Ish, al-Hismi dan lainnya, panglima pasukannya, adalah Zaid bin Haritsah juga? Begitulah sebagaimana yang pernah kita dengar dari Ummil Mu’minin ‘Aisyah r.a. tadi: .”Setiap Nabi mengirimkan Zaid . dalam suatu pasukan, pasti ia yang diangkat jadi pemimpinnya!”

Akhirnya datanglah perang Muktah yang terkenal itu …. Adapun orang-orang Romawi dengan kerajaan mereka yang telah tua bangka, secara diam-diam mulai cemas dan takut terhadap kekuatan Islam, bahkan mereka melihat adanya bahaya besar yang dapat mengancam keselamatan dan wujud mereka. Terutama di daerah jajahan mereka Syam (Syria) yang berbatasan dengan negara dari Agama baru ini, yang senantiasa bergerak maju dalam membebaskan negara-negara tetangganya dari ceng­keraman penjajah. Bertolak dari pikiran demikian, mereka hendak mengambil Syria sebagai batu loncatan untuk menakluk­kan jazirah Arab dan negeri-negeri Islam.

Gerak-gerik orang-orang Romawi dan tujuan terakhir mereka yang hendak menumpas kekuatan Islam dapat tercium oleh Nabi. sebagai seorang ahli strategi, Nabi memutuskan untuk mendahului mereka dengan serangan mendadak daripada diserang di daerah sendiri, dan menyadarkan mereka akan keampuhan perlawanan Islam.

Demikianlah, pada bulan Jumadil Ula, tahun yang kedelapan Hijrah. tentara Islam maju bergerak ke Balqa’ di wilayah Syam. Demi mereka sampai di perbatasannya, mereka dihadapi oleh tentara Romawi yang dipimpin oleh Heraklius, dengan mengerah­kan juga kabilah-kabilah atau suku-suku badui yang diam di perbatasan. Tentara Romawi mengambil tempat di suatu daerah yang bernama Masyarif, sedang lasykar Islam mengambil posisi. di dekat suatu negeri kecil yang bernama Muktah, yang jadi nama pertempuran ini sendiri.

Rasulullah saw. mengetahui benar arti penting dan bahayanya peperangan ini. Olen sebab itu beliau sengaja memilih tiga orang panglima perang yang di waktu malam bertaqarrub mendekatkan diri kepada Ilahi, sedang di Siang hari sebagai -pendekar pejuang pembela Agama. tiga orang pahlawan yang siap menggadaikan jiwa raga mereka kepada Allah, mereka yang tiada berkeinginan kembali, yang bercita-cita mati syahid dalam perjuangan mene­gakkan kalimah Allah. Mengharap semata-mata ridla Ilahi dengan menemui wajah-Nya Yang Maha Mulia kelak ….

Mereka yang bertiga secara berurutan memimpin tentara itu ialah: Pertama Zaid bin Haritsah, kedua Ja’far bin Abi Thalib dan ketiga ‘Abdullah bin Rawahah, moga-moga Allah ridla kepada mereka dan menjadikan mereka ridla kepada-Nya, serta Allah meridlai pula seluruh shahabat-shahabat yang lain ….

Begitulah apa yang kita saksikan di permulaan ceritera ini, sewaktu berangkat Rasul berdiri di hadapan pasukan tentara, Islam yang hendak berangkat itu. Rasul melepas mereka dengan amanat: “Kalian harus tunduk kepada Zaid bin Haritsah sebagai pimpinan, seandainya ia gugur pimpinan dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib, dan seandainya Ja’far gugur pula, maka tempat­nya diisi oleh ‘Abdullah bin Rawahah!”

Sekalipun Ja’far bin Abi Thalib adalah orang yang paling dekat kepada Rasul dari segi hubungan keluarga, sebagai anak, pamannya sendiri . . . . Sekalipun keberanian ketangkasannya tak diragukan lagi, kebangsawanan dan turunannya begitu pula, namun ia hanya sebagai orang kedua sesudah Zaid, sebagai panglima pengganti, sedangkan Zaid beliau angkat sebagai panglima pertama pasukan.

Beginilah contoh dan teladan yang diperlihatkan Rasul dalam mengukuhkan suatu prinsip. Bahwa Islam sebagai suatu Agama baru mengikis habis segala hubungan lapuk yang didasar­kan pada darah dan turunan atau yang ditegakkan atas yang, bathil dan rasialisme, menggantinya dengan hubungan baru yang dipimpin oleh hidayah Ilahi yang berpokok kepada hakekat kemanusiaan ….Dan seolah-olah Rasul telah mengetahui secara ghaib tentang pertempuran yang akan berlangsung, beliau mengatur dan me netapkan susunan panglimanya dengan tertib berurutan: Zaid, lalu Ja’far, kemudian Ibnu Abi Rawahah. Ternyata ketiga mereka menemui Tuhannya sebagai syuhada sesuai dengan urutan itu pula!

Demi Kaum Muslimin melihat tentara Romawi yang jumlah­nya menurut taksiran tidak kurang dari 200.000 orang, suatu jumlah yang tak mereka duga sama sekali, mereka terkejut. Tetapi kapankah pertempuran yang didasari iman mempertimbangkan jumlah bilangan?

Ketika itulah … di sana, mereka maju terus tanpa gentar, tak perduli dan tak menghiraukan besarnya musuh . . . . Di depan sekali kelihatan dengan tangkasnya mengendarai kuda, panglima mereka Zaid, sambil memegang teguh panji-panji Rasulullah saw. maju menyerbu laksana topan, di celah-celah desingan anak panah, ujung tombak dan pedang musuh. Mereka bukan hanya sernata-mata mencari kemenangan, tetapi lebih dari itu mereka mencari apa yang telah dijanjikan Allah, yakni tempat pembaringan di sisiAllah, karena sesuai dengan firman-Nya:

Sesungguhnya Allah telah membeli jiwa dan harta orang­orang Mu min dengan surga sebagai imbalannya. (Q.S. 9 at-Taubah: 111)

Zaid tak sempat melihat pasir Balqa’, bahkan tidak pula keadaan bala tentara Romawi, tetapi ia langsung melihat ke­indahan taman-taman surga dengan dedaunannya yang hijau berombak laksana kibaran bendera, yang memberitakan kepada­nya, bahwa itulah hari istirahat dan kemenangannya.la telah terjun ke medan laga dengan menerpa, menebas, membunuh atau dibunuh. Tetapi ia tidaklah memisahkan kepala musuh-musuhnya, ia hanyalah membuka pintu dan menembus dinding, yang menghalanginya ke kampung kedamaian, surga yang kekal di sisi Allah ….Ia telah menemui tempat peristirahatannya yang akhir. Rohnya yang melayang dalam perjalanannya ke surga tersenyum bangga melihat jasadnya yang tidak berbungkus sutera dewangga, hanya berbalut darah suci yang mengalir di jalan Allah.

Senyumnya semakin melebar dengan tenang penuh nikmat, karena melihat panglima yang kedua Ja’far melesit maju ke depan laksana anak panah lepas dari busurnya, untuk menyambar panji-panji yang akan dipanggulnya sebelum jatuh ke tanah ….

(19)  
ZAID IBN HAARITHAH  
The Beloved 

        In the Battle of Mu'tah, the Prophet (PBUH) stood to pay his farewell to the departing Muslim army on its way to fight the Romans and to announce the name of the three successive commanders of the army: "Zaid Ibn Haarithah is your first commander, but in case he is wounded, Ja'far Ibn Abi Taalib will take over the command, and if the latter is wounded then `Abd Allah Ibn Rawaahah will replace him." But who was Zaid Ibn Haarithah. Who was the beloved one of the Prophet (PBUH)?  

        Narrators and historians described his appearance as short, dark swarthy, and snub-nosed. As for his reality, he was truly a great Muslim.  

        If we go back in time, we will see Haarithah, Zaid's father, just putting the luggage on the camel that was to carry his wife, Su`dah, to her family. Haarithah paid his farewell to his wife who carried Zaid - at that time a young child - in her arms. But every time he was about to leave his wife and child who were going with a caravan, to return to his house and work, he was driven by a mysterious and inexplicable urge to keep his wife and son in sight; yet it was time for them to set out on their way and Haarithah had to pay his last farewell to his wife and head back home. His tears flowed as he said goodbye and stood as if pinned to the ground until he lost sight of them. At that moment he felt broken-hearted.  

        Su'dah stayed with her family for a while. One day, suddenly her neighborhood was attacked by one of its opposing tribes. Taken by surprise, Bani Ma`n were defeated and Zai lbn Haarithah was captured along with other war prisoners. His mother returned home alone. When Haarithah heard the sad news, he was thunderstruck. He traveled everywhere and asked everyone about his beloved Zaid. He recited these lines of poetry on the spur of the moment to lament the loss of his son:  

        My heart was broken when I lost Zaid. I don't know if he is alive or dead or if I will ever see him again. By Allah, I still do not know if he was killed on the plain or slain on the mountain. His picture comes to the mind's eye whenever the sun rises or sets. Even when the wind blows, it brings along his memory. Alas, I am shrouded by my sadness, grief, and fear for him.  

        At that time, slavery was a recognized and established social fact that turned into a necessity. This was the case in Athens, which had long enjoyed a flourishing civilization, in Rome, and in the entire ancient world, including the Arab Peninsula. When the opposing tribe attacked the Bani Ma'n, it headed to the market of `Ukaadh, held at that time, to sell its prisoners of war. The child Zaid, was sold to Hakiim Ibn Huzaam, who gave him to his aunt Khadiijah as a gift. At that time, khadiijah was married to Muhammad Ibn `Abd Allah but the revelation had not yet descended on him. However, he enjoyed all the promising great qualities of prophets (PBUH). Khadiijah, on her part, gave her servant Zaid as a gift to her husband, Allah's Prophet. He was very pleased with Zaid and manumitted him at once. His great and compassionate heart overflowed with care and love towards the boy.  

        Later on, during one of the Hajj seasons, a group of Haarithah's tribe ran into Zaid in Makkah and told him about his parents anguish and grief ever since they had lost him. Zaid asked them to convey his love and longing to his parents. He told them, "Tell my father that I live here with the most generous and loving father." No sooner did his father know his son's whereabouts than he hastened on his way to him, accompanied by his brother.  

        As soon as they reached Makkah, he asked about the trustworthy Muhammad. When he met him, he said, "O son of lbn Abd Al-Muttalib! O son of the master of his tribe! Your land is one of security and sanctuary and you are famous for helping the distressed and sheltering the captive. We have come here to ask you to give us back our son. So please confer a favor on us and set a reasonable ransom for him." The Prophet knew the great love and attachment Zaid carried in his heart for him, yet at the same time, he respected Haarithah's parental right. Therefore, he told Haarithah, "Ask Zaid to come here and make him choose between you and me. If he chooses you, he is free to go with you, but if he chooses me then, by Allah, I will not leave him for anything in the world." Haarithah's face brightened, for he did not expect such magnanimity; therefore, he said, "You are far more generous than us." Then the Prophet (PBUH) summoned Zaid. When he came he asked him, "Do you recognize these people?" Zaid said, "Yes, this is my father and this is my uncle."  

        The Prophet (PBUH) told him what he had told Haarithah. Zaid replied, "I will not choose anyone but you, for you are a father and an uncle to me." The Prophet's eyes were full of thankful and compassionate tears. He held Zaid's hand and walked to the Ka'bah, where the Quraish were holding a meeting, and cried out, "I bear witness that Zaid is my son, and in case I die first, he will inherit from me, and in case he dies first, I will inherit from him." Hiaarithah was overjoyed, for not only had his son been manumitted but he had also become the son of the man who was known by the Quraish as "The Honest and Trustworthy". Moreover, he was a descendant of Bani Haashim and was raised to a high station among his people.  

       Zaid's father and uncle returned back home leaving their son safe and sound after he had become master of himself and after the Prophet (PBUH) had set to rest their fears concerning his fate.
  
       The Prophet (PBUH) adopted Zaid and from that moment on he was known as Zaid Ibn Muhammad.  
  
        Suddenly, on a bright morning whose brightness has never been seen before or since, the revelation descended on Muhammad: "read! In the name of your Lord who created - created mankind from something which clings; read! And your Lord is the Most Noble; who taught by the pen; taught mankind what he did not know " (96:1-5). Then the revelation continued: "O you encovered--- Arise and warn! And magnify your Lord" (74:1-3). "O Messenger! Proclaim the message which has been sent down to you from your Lord. And if you do not, then you have not conveyed His message. Allah will protect you from mankind. Verily, Allah guides not the people who disbelieve" (5 : 61). 
   
      As soon as the Prophet (PBUH) had shouldered the responsibility of his message, Zaid submitted himself to Islam. Narrators said that he was the second man and more probably the first man to embrace Al-Islam.  

        The Prophet (PBUH) loved Zaid so dearly due to his singular loyalty, greatness of spirit, conscientiousness, honesty, and trust worthiness. All this and more, made Zaid Ibn Haarithah or Zaid the Beloved One, as the Companions used to call him, hold a distinguished place in the Prophet's heart (PBUH). `Aa'ishah (May Allah be pleased with her) said, "The Prophet (PBUH) never sent Zaid on an expedition but as a commander and if his life had not been so short, he would have made him his successor.  

        Was it possible for anyone to be held in such great esteem by the Prophet? What was Zaid really like?  

        As we have mentioned, he was that boy who had been kidnapped, sold, and manumitted by the Prophet (PBUH). He was this short, swarthy, snub-nosed man. Above all, he had a compassionate heart and a free soul. Therefore, he was raised to the highest position by his Islam and the Prophet's love for him, for neither Islam nor the Prophet (PBUH) took notice of descent or prestige. Muslims like Bilaal ,Suhaib, Khabbaab, `Ammaar, Usaamah and Zaid were all alike according to this great religion. Each one of them played an important and distinctive role in gizing impetus to the rapidly spreading religion. These saintly ones and commanders were the sparkling stars of Islam. Islam rectified life values when the glorious Qur'aan said: "Surely, the most honorable among you in the sight of Allah are the most pious of you " (49:13). Moreover, it encouraged all promising talents and all pure, trustworthy, and productive potentialities.  

 The Prophet (PBUH) married his cousin Zainab to Zaid. It seems that Zainab (May Allah be pleased with her) accepted that marriage becaher shyness prevented her from turning down the Prophet's intercession. Unfortunately, the gap between them widened every day, and finally their marriage collapsed. The Prophet (PBUH) felt that he was , in a way, responsible for this marriage which ended up in divorce; therefore, he married his cousin and chose a new wife, Umm Kulthuum Bent `Uqbah for Zaid. The slanderers and the enemies of the Prophet spread doubt concerning the legality of Muhammad's marriage to his son's ex-wife. The Qur'aan refuted their claims by striking a distinction between sons and adopted sons. It abrogated adoption altogether saying: "Mohammed is not a father of any man among you, but he is the Messenger of Allah and the last of the Prophets " (33:90). Hence, Zaid was called after his father's name once again, namely, Zaid Ibn Haarithah.  

       Now, do you see the Muslim troops that marched towards the Battle of Al-Jumuuh? Their commander was Zaid Ibn Haarithah Do you see those Muslims troops that marched to At- Tarf, Al-'Iis and Hismii and other battles? The commander of all those battles was Zaid Ibn Haarithah. Truly, as Aa'ishah  May Allah be pleased with her) said, `The Prophet never sent Zaid on as expedition but as a commander.  

       At last, the Battle of Mu'tah took place. It seems that the Romans and their senescent empire were filled with apprehensions and forebodings about the rapid spread of Islam. They saw it as a genuine and fatal threat to their very existence, especially in Syria, which bordered the center of the new, sweeping religion. Therefore, they used Syria as a springboard to the Arab Peninsula and the Muslim nation.  

        The Prophet (PBUH) realized that the aim of the Roman skirmishes was to test the Muslim combat readiness. Therefore, he decided to take the initiative and exhibit in action Islam's determination to resist and to gain ultimate victory. On 1 Jumaadii A.H. 8, the Muslim army marched towards Al-Balqaa' in Syria until they reached its borders where Heraclius's armies of the Romans and Arabicized tribes residing at the borders were. The Roman army pitched camp at a place called Mashaarif, whereas the Muslim army pitched camp near a town called Mu'tah. Hence, the battle was named Mu'tah.  

        The Prophet (PBUH) knew how important and crucial this battle was; therefore he chose for its command three of those who were worshippers by night and fighters by day. Those three fighters sold their lives and property to Allah and renounced their needs and desires for the sake of great martyrdom which would pave their way to win Allah's pleasure and to see Allah, the Generous. These three commanders were in succession: Zaid Ibn Haarithah, Ja'far Ibn Abi Taalib and Abd Allah Ibn Rawaahah. (May Allah be pleased with them and they with Him, and may Allah be pleased with all the Companions.) Thus, the Prophet (PBUH) stood to bid farewell to his army and gave them his order saying, "Zaid Ibn Haarithah is your first commander, but in case he is wounded, Ja`far lbn Abi Taalib will take over the command, and if he is also wounded, `Abd Allah Ibn Rawaahah will take it over. 

Although Ja'far lbn Abi Taalib was one of the Prophet's closest friends who had valor, fearlessness, and good lineage, yet the Prophet chose him as the second commander after Zaid. Thus, the Prophet (PBUH) stressed the fact that the new religion of Islam came to abolish corrupt human relationships based on false and superficial discrimination. It established new, rational human relationships instead.  

       It was as if the Prophet foresaw the proceedings of the imminent battle, for he assigned the command of the army to Zaid, Ja'far, and then `Abd Allah and strangely enough, all of them were raised to Allah in the same order set by him. When the Muslims saw the vanguard of the Roman army, which they had estimated at 200,000 warriors, they were stunned by its enormity that surpassed all expectation. But since when did the battles of faith depend on number? At that moment, the Muslims flung themselves into the battlefield regardless of the consequences or jeopardy. Their commander, Zaid, carried the Prophet's standard and fought his way through the enemy's spears, arrows, and swords. He was not so much searching for victory as for concluding his deal with Allah, Who has purchased the lives and properties of Muslims in exchange for Paradise.  

        Zaid saw neither the sand of Al-Balqaa' nor the Roman forces. The only things that he saw were the hills of Paradise and its green cushions. These images flickered through his mind like the fluttering flags that had announced his wedding day. When he thrust and struck, he not only smote at the necks of his enemies, but also flung the doors open that stood in his way to the vast door through which he would reach the home of peace, the eternal Paradise and Allah's company. Zaid clung to his destiny. His spirit, on its way up to heaven, was overjoyed as it took its last glance at the body of its master that was not covered with soft silk but rather with pure blood shed in the way of Allah. His serene smile widened when he saw the second commander, Ja'far, dart towards the standard and hold it high before it touched the ground.  

.¤ª"˜¨¯¨¨Zaid Bin Haritsah oo Zaid Ibn Haarithah¸,ø¨¨"ª¤.












.¤ª"˜¨¯¨¨Utsman Bin Mazh'un oo 'Uthmaan Ibn Madh'uun¸,ø¨¨"ª¤.
Yang pernah mengabaikan kesenangan hidup duniawi. 

Seandainya anda hendak bermaksud menyusun daftar nama shahabat Rasulullah saw. menurut urutan masa masuknya ke dalam Agama Islam, maka pada urutan keempat belas tentulah da akan tempatkan Utsman bin Mazh’un …. Anda ketahui pula bahwa Utsman bin Mazh’un ini seorang muhajirin yang mula pertama wafat di Madinah, sebagaimana ia adalah orang Islam pertama yang dimakamkan di Baqi’. Dan akhirnva ketahuilah bahwa shahabat mulia yang sedang anda tela’ah riwayat hidupnya sekarang ini, adalah seorang suci yang agung tapi bukan dari kalangan yang suka memencil­an diri, ia seorang suci yang terjun di arena kehidupan …. ! dan kesuciannya itu berupa amal yang tidak henti-hentinya dalam menempuh jalan kebenaran, serta ketekunannya yang pantang menyerah dalam mencapai kemashlahatan dan ke­baikan.

Tatkala Agama Islam cahayanya mulai menyinar dari kalbu Rasulullah saw. dan dari ucapan-ucapan yang disampaikannya di beberapa majlis, baik secara diam-diam maupun terang-terang­, maka Utsman bin Mazh’un adalah salah seorang dari bebe­rapa gelintir manusia yang segera menerima panggilan Ilahi dan menggabungkan diri ke dalam kelompok pengikut Rasul­ullah . . . . Dan ia ditempa oleh berbagai derita dan siksa, sebagai­mana dialami oleh orang-orang Mu’min lainnya, dari golongan berhati tabah dan shabar . . Ketika Rasulullah saw. mengutamakan keselamatan golongan kecil dari orang-orang beriman dan teraniaya ini, dengan jalan menyuruh mereka berhijrah ke Habsyi, dan beliau siap meng­hadapi bahaya seorang diri, maka Utsman bin Mazh’un terpilih sebagai pemimpin rombongan pertama dari muhajirin ini. Dengan membawa puteranya yang bernama Saib, dihadapkannya muka dan dilangkahkannya kaki ke suatu negeri yang jauh, meng­hindar dari tiap daya musuh Allah Abu Jahal, dan kebuasan orang Quraisy serta kekejaman siksa mereka ….

Dan sebagaimana muhajirin ke Habsyi lainnya pada kedua -hijrah tersebut, yakni yang pertama dan yang kedua, maka tekad dan kemauan Utsman untuk berpegang teguh pada Agama Islam kian bertambah besar.

Memang, kedua hijrah ke Habsyi itu telah menampilkan corak perjuangan tersendiri yang mantap dalam sejarah ummat Islam. Orang-orang yang beriman dan mengakui kebenaran Rasulullah saw. serta mengikuti Nur Ilahi yang diturunkan kepada beliau, telah merasa muak terhadap pemujaan berhala dengan segala kesesatan dan kebodohannya. Dalam diri mereka masing-masing telah tertanam fitrah yang benar yang tidak bersedia lagi menyembah patung-patung yang dipahat dari batu atau dibentuk dari tanah liat.

Dan ketika mereka berada di Habsyi, di sana mereka meng­hadapi suatu agama yang teratur dan tersebar luas, mempunyai gereja-gereja, rahib-rahib serta pendeta-pendeta. Serta agama itu jauh dari agama berhala yang telah mereka kenal di negeri mereka, begitu juga cara penyembahan patung-patung dengan bentuknya yang tidak asing lagi serta dengan upacara-upacara ibadat yang biasa mereka saksikan di kampung halaman mereka. Dan tentulah pula orang-orang gereja di negeri Habsyi itu telah , berusaha sekuat daya untuk menarik orang-orang muhajirin ke dalam agama mereka, dan meyakinkan kebenaran agama Masehi.

Tetapi semua yang kita sebutkan tadi mendorong Kaum Muhajirin berketetapan hati dan tidak beranjak dari kecintaan mereka yang mendalam terhadap Islam dan terhadap Muhammad ,Rasulullah saw. Dengan hati rindu dan gelisah mereka menunggu suatu saat yang telah dekat, untuk dapat pulang ke kampung halaman tercinta, untuk ber’ibadat kepada Allah yang Maha Esa dan berdiri di belakang Nabi Besar, baik dalam mesjiddi waktu damai, maupun di medan tempur di saat memper­tahankan diri dari ancaman kaum musyrikin ….

Demikianlah Kaum Muhajirin tinggal di Habsyi dalam ke­adaan aman dan tenteram, termasuk di antaranya Utsman bin Mazh’un yang dalam perantauannya itu tidak dapat melupakan rencana-rencana jahat saudara sepupunya Umayah bin Khalaf an bencana siksa yang ditimpakan atas dirinya.Maka dihiburlah dirinya dengan menggubah sya’ir yang berisikan sindiran dan peringatan terhadap saudaranya itu, katanya: . .
“Kamu melengkapi panah dengan bulu-bulunya
Kamu runcing ia setajam-tajamnya
Kamu perangi orang-orang yang suci lagi mulia
Kamu celakan orang-orang yang berwibawa
Ingatlah nanti saat bahaya datang menimpa
Perbuatanmu akan mendapat balasan dari rakyat jelata.

Dan tatkala orang-orang muhajirin di tempat mereka hijrah itu beribadat kepada Allah dengan tekun serta mempelajari ayat-ayat al-Quran yang ada pada mereka, dan walaupun dalam perantauan tapi memiliki jiwa yang hidup dan bergejolak . . . , tiba-tiba sampailah berita kepada mereka bahwa orang-orang Quraisy telah menganut Islam, dan mengikuti Rasulullah ber­sujud kepada Allah.

Maka bangkitlah orang-orang muhajirin mengemasi barang­-barang mereka, dan bagaikan terbang mereka berangkat ke Mekah, dibawa oleh kerinduan dan didorong cinta pada kampung halaman. . Tetapi baru Saja mereka sampai di dekat kota, ter­nyatalah berita tentang masuk Islamnya orang-orang Quraisy itu hanyalah dusta belaka. Ketika itu mereka merasa amat terpukul karena telah berlaku ceroboh dan tergesa-gesa. Tetapi betapa mereka akan kembali, padahal kota Mekah telah berada di hadapan mereka … ? Dalam pada itu orang-orang musyrik di kota Mekah telah mendengar datangnya buronan yang telah lama mereka kejar­-kejar dan pasang perangkap untuk menangkapnya. Dan sekarang . . . datanglah sudah saat mereka, dan nasib telah membawa mereka ke tempat ini.

Perlindungan, ketika itu merupakan suatu tradisi di antara tradisi-tradisi Arab yang memiliki kekudusan dan dihormati. Sekiranya ada seorang yang lemah yang beruntung masuk dalam perlindungan salah seorang pemuka Quraisy, maka ia akan berada dalam suatu pertahanan yang kokoh, hingga darahnya tak boleh ditumpahkan dan keamanan dirinya dan perlu di­khawatirkan.

Sebenarnya orang-orang yang mencari perlindungan itu tidaklah sama kemampuan mereka untuk mendapatkannya. Itulah sebabnya hanya sebagian kecil saja yang berhasil, ter­masuk di antaranya Utsman bin Mazh’un yang berada dalam perlindungan Walid bin Mughirah. Ia masuk ke dalam kota Mekah dalam keadaan aman dan tenteram, dan menyeberangi jalan serta gang-gangnya, menghadiri tempat-tempat pertemuan tanpa khawatir akan kedhaliman dan marabahaya.

Tetapi Ibnu Mazh’un, laki-laki yang ditempa al-Quran dan dididik oleh Muhammad saw. ini memperhatikan keadaan se­kelilingnya. Dilihatnya saudara-saudara sesama Muslimin, yakni golongan faqir miskin dan orang-orang yang tidak berdaya, tiada mendapatkan perlindungan dan tidak mendapatkan orang yang sedia melindungi mereka ….Dilihatnya mereka diterkam bahaya dari segala jurusan, dikejar kedhaliman dari setiap jalan. Sementara ia sendiri aman tenteram, terhindar dari gangguan bangsanya. Maka ruhnya yang biasa bebas itu berontak, dan perasaannya yang mulai bergejolak, dan menyesallah is atas tindakan yang telah di­ambilnya.

Utsman keluar dari rumahnya dengan niat yang bulat dan tekad yang pasti hendak menanggalkan perlindungan yang dipikul Walid. Selama itu perlindungan tersebut telah menjadi penghalang baginya untuk dapat meni’mati derita di jalan Allah dan kehormatan senasib sepenanggungan bersama saudaranya  Kaum Muslimin merupakan tunas-tunas dunia beriman dan generasi alam baru yang esok pagi akan ter­pancar cahaya ke seluruh penjuru, cahaya keimanan dan ke­tauhidan ….

Maka marilah kita dengar cerita dari saksi mata yang melukiskan bagi kita peristiwa yang telah terjadi, katanya: “Ketika Utsman bin Mazh’un menyaksikan penderitaan yang dialami oleh para shahabat Rasulullah saw., sementara ia sendiri pulang pergi dengan aman dan tenteram disebabkan perlindungan Walid bin Mughirah, katanya: ‘Demi Allah, sesungguhnya mondar-mandirku dalam keadaan aman di­sebabkan perlindungan seorang tokoh golongan musyrik, sedang teman-teman sejawat dan kawan-kawan seagama menderita adzab dan siksa yang tidak kualami, merupakan suatu kerugian besar bagiku …. ! Lalu ia pergi mendapatkan Walid bin Mughirah, katanya: ‘Wahai Abu Abdi Syams, cukuplah sudah perlindungan anda, dan sekarang ini saya melepaskan diri dari perlindungan anda. . . “ kenapa wahai keponakanku  . . . ?” ujar walid , mungkin ada salah seorang anak buahku  mengganggu mu . . . ?” “Tidak’, ujar Utsman, ‘hanya saya ingin berlindung kepada Allah, dan tak suka lagi kepada lain-Nya … !’ Karenanya pergilah anda, ke mesjid serta umumkanlah maksudku ini secara terbuka seperti anda, dahulu mengumumkan per­lindungan terhadap diriku!’ Lalu pergilah mereka berdua ke mesjid, maka kata Walid: ‘Utsman ini datang untuk mengembalikan kepadaku jaminan perlindungan terhadap dirinya”. Ulas Utsman: “Betullah kiranya apa yang dikatakan itu . . ternyata ia seorang yang memegang teguh janjinya . “ hanya keinginan saya agar tidak lagi mencari perlindungan kecuali kepada Allah Ta’ala. Setelah itu Utsman pun berlalulah, sedang di salah satu gedung pertemuan kaum Quraisy, Lubaid bin Rabi’ah menggubah sebuah sya’ir dan melagukannya di hadapan mereka,. hingga Utsman jadi tertarik karenanya dan ikut duduk bersama mereka. Kata Lubaid: “Ingatlah bahwa apa juga yang terdapat di bawah kolong ini selain daripada Allah adalah hampa!” “Benar ucapan anda itu”, kata Utsman menanggapinya. Kata Lubaid lagi: “Dan semua kesenangan, tak dapat tiada lenyap dan sirna!” “Itu dusta!”, kata Utsman, “karena kesenangan surga takkan lenyap . . .”. Kata Lubaid: “Hai orang-orang Quraisy! Demi Allah, tak pernah aku sebagai teman duduk kalian disakiti orang selama ini. Bagai­mana sikap kalian kalau ini terjadi?” Maka berkatalah salah seorang di antara mereka: “Si tolol ini telah meninggalkan agama kita . . . ! Jadi tak usah digubris apa ucapannya!” Utsman membalas ucapannya itu hingga di antara mereka tejadi pertengkaran. Orang itu tiba-tiba bangkit mendekati Utsman lalu meninjunya hingga tepat mengenai matanya, sementara Walid bin Mughirah masih berada di dekat itu dan menyaksikan apa yang terjadi. Maka katanya kepada Utsman: “Wahai ke­ponakanku, jika matamu kebal terhadap bahaya yang menimpa, maka sungguh, benteng perlindunganmu amat tangguh … !” Ujar Utsman: “Tidak, bahkan mataku yang sehat ini amat membutuhkan pula pukulan yang telah dialami saudaranya di jalan Allah . . . ! Dan sungguh wahai Abu Abdi Syamas, saya berada dalam perlindungan Allah yang lebih kuat dan lebih mampu daripadamu I” “Ayohlah Utsman”, kata Walid pula, “jika kamu ingin, kem­balilah masuk ke dalam perlindunganku … !” “Terima kasih . . .!” ujar Ibnu Mazh’un menolak tawaran itu.

Ibnu Mazh’un meninggalkan tempat itu, tempat terjadinya .peristiwa tersebut dengan mata yang pedih dan kesakitan, tetapi jiwanya yang besar memancarkan keteguhan hati dan kese­jahteraan serta penuh harapan. Di tengah jalan menuju rumahnya dengan gembira ia men­dendangkan pantun ini:
“Andaikata dalam mencapai ridla Ilahi
Mataku ditinju tangan jahil orang mulhidi
Maka Yang Maha Rahman telah menyediakan imbalannya
Karena siapa yang diridlai-Nya pasti berbahagia
Hai ummat, walau menurut katamu daku ini sesat
daku ‘kan tetap dalam Agama Rasul, Muhammad
Dan tujuanku tiada lain hanyalah Allah dan Agama yang haq
Walaupun lawan berbuat aniaya dan semena-mena”.

Demikian Utsman bin Mazh’un memberikan contoh dan teladan utama yang memang layak dan sewajarnya.. . . . Dan demikianlah pula lembaran kehidupan ini menyaksikan suatu pribadi utama yang telah menyemarakkan wujud ini dengan harum semerbak disebabkan pendiriannya yang luar biasa dan kata-kata bersayapnya yang abadi dan mempesona: “Demi Allah, sesungguhnya sebelah mataku yang sehat ini amat membutuhkan pukulan yang telah dialami saudara­nya di jalan Allah . . . ! Dan sungguh, saat ini saya berada dalam perlindungan Allah yang lebih kuat dan lebih mampu daripadamu … !”

Dan setelah dikembalikannya perlindungan. kepada Walid, Maka Utsman menemui siksaan dari orang-orang Quraisy. Tetapi dengan itu ia tidak merana, sebaliknya bahagia, sungguh-sungguh bahagia … !

Siksaan itu tak ubahnya bagai api yang menyebabkan keimanannya menjadi matang dan bertambah murni …. Demikianlah, ia maju ke depan bersama saudara-saudara yang beriman, tidak gentar oleh ancaman, dan tidak mundur oleh bahaya … !

Utsman melakukan hijrah pula ke Madinah, hingga tidak diusik lagi oleh Abu Lahab, Umayah, ‘Utbah atau oleh gembong­-gembong lainnya yang telah sekian lama menyebabkan mereka tak dapat menidurkan mata di malam hari, dan bergerak bebas di siang hari. la berangkat ke Madinah bersama rombongan shahabat­-shahabat utama yang dengan keteguhan dan ketabahan hati mereka telah lulus dalam ujian yang telah mencapai puncak kesulitan dan kesukarannya, dan dari pintu gerbang yang luas dari kota itu nanti mereka akan melanjutkan pengembaraan ke seluruh pelosok bumi, membawa dan mengibarkan panji­-panji Ilahi, serta menyampaikan berita gembira dengan kalimat­-kalimat dan ayat-ayat petunjuk-Nya …. Dan di kota hijrah Madinah. al-Munawwarah itu tersingkap­lah kepribadian yang sebenarnya dari Utsman bin Mazh’un, tak ubah bagai batu permata yang telah diasah, dan ternyatalah kebesaran jiwanya yang istimewa. Kiranya ia seorang ahli ibadah, seorang zahid, yang mengkhususkan diri dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Hahi . . . .

Dan ternyata bahwa ia adalah orang suci dan mulia lagi bijaksana, yang tidak mengurung diri untuk tidak menjauhi kehidupan duniawi, tetapi orang suci luar biasa yang mengisi kehidupannya dengan amal dan karya serta jihad dan berjuang di jalan Allah …. Memang, ia adalah seorang rahib di larut malam, dan orang berkuda di waktu siang, bahkan ia adalah seorang rahib baik di waktu siang maupun di waktu malam, dan di samping itu sekaligus juga orang berkuda yang berjuang siang dan malam … !

Dan jika para shahabat Rasulullah saw. apalagi di kala itu, semua berjiwa zuhud dan gemar beribadat, tetapi Ibnu Mazh’un memiliki ciri-ciri khash . . . . Dalam zuhud dan ibadatnya ia amat . tekun dan mencapai puncak tertinggi, hingga corak kehidupannya, baik siang maupun malam dialihkannya menjadi shalat yang terus-menerus dan tasbih yang tiada henti-hentinya. Rupanya ia setelah merasakan manisnya keasyikan beribadat itu, ia pun bermaksud hendak memutuskan hubungan dengan segala kesenangan dan kemewahan dunia. Ia tak hendak memakai pakaian kecuali yang kasar, dan tak hendak makan makanan selain yang amat bersahaja.

Pada suatu hari ia masuk masjid, dengan pakaian usang yang telah sobek-sobek yang ditambalnya dengan kulit unta, semen­tara Rasulullah sedang duduk-duduk bersama para shahabatnya. Hati Rasulullah pun bagaikan disayat melihat itu, begitu juga para shahabat, air mata mereka mengalir karenanya. Maka tanya Rasulullah saw. kepada mereka: “Bagaimana pendapat kalian, bila kalian punya pakaian satu stel untuk pakaian pagi dan sore hari diganti dengan stelan lainnya . . . kemudian disiapkan di depan kalian suatu perangkat wallah makanan sebagai ganti perangkat lainnya yang telah diangkat . .. serta kalian dapat me­nutupi rumah-rumah kediaman kalian sebagaimana Ka’bah bertutup … ? “Kami ingin hal itu dapat terjadi, wahai Rasulullah ujar mereka, “hingga kita dapat mengalami hidup ma’mur dan bahagia … !” Maka sabda Rasulullah saw. pula: “Sesungguhnya hal itu telah terjadi . .. ! Keadaan kalian sekarang ini lebih baik dari keadaan kalian waktu lalu … Tetapi Ibnu Mazh’un yang turut mendengar percakapan itu bertambah tekun menjalani kehidupan yang bersahaja dan menghindari sejauh-jauhnya kesenangan dunia … ! Bahkan sampai-sampai kepada menggauli isterinya ia tak hendak dan menahan diri, seandainya hal itu tidak diketahui oleh Rasulullah saw. yang segera memanggil dan menyampaikan kepadanya: “Sesungguhnya keluargamu itu mempunyai hak atas dirimu …. “

Ibnu Mazh’un amat disayangi oleh Rasulullah saw. Dan tatkala ruhnya yang suci itu berkemas-kemas hendak berangkat, hingga dengan demikian ia merupakan orang muha­jirin pertama yang wafat di Madinah, dan yang mula-mula merintis jalan menuju surga, maka Rasulullah saw. berada di sisinya.

Rasulullah saw. membungkuk menciumi kening Ibnu Mazh’un serta membasahi kedua pipinya dengan air yang berderai dari kedua mata beliau yang diliputi santun dan duka cita hingga di saat kematiannya. Wajah Utsman tampak bersinar gilang­-gemilang ….

Dan bersabdalah Rasulullah saw. melepas shahabatnya yang tercinta itu:
“Semoga Allah memberimu rah mat, wahai Abu Saib Kamu pergi meninggalkan dunia, tak satu keuntungan pun yang kamu peroleh daripadanya, serta tak satu kerugian pun yang dideritanya daripadamu.”Dan sepeninggal shahabatnya, Rasulullah yang amat pe­nyantun itu tidak pernah melupakannya, selalu ingat dan memujinya …. Bahkan untuk melepas puteri beliau Rukayah, Yakni ketika nyawanya hendak melayang, adalah kata-kata berikut: “Pergilah susul pendahulu kita yang pilihan. Utsman bin Mazh’un … ”


(18)  
`UTHMAAN IBN MADH'UUN  
A "Monk" whose Hermitage was Life 

        If you attempt to arrange the Prophet's Companions in the order of their embracing Islam, `Uthmaan Ibn Madh'uun will be number fourteen. Not only was he the first Muhaajir to die in Al Madiinah, but also the first Muslim to be buried in Al-Baqli'a. This glorious Companion whose life story you are about to hear was a great "monk". By "monk" here I mean a worshiper throughout life, not a monk sequestered in his hermitage, for life with all its commotion, turmoil, burdens, and virtues was his "hermitage". Life to him meant perseverance in the way of in the way of truth and unremitting self-denial good and righteousness.  

        When we go back in time, when the fresh early rays of Islam were emanating from the Prophet's heart (PBUH) and from his words said in secret and seclusion, `Uthmaan Ibn Madh'uun was there. He was one of the few who rushed to the way of Allah and supported the Prophet. When the Prophet (PBUH) ordered the few oppressed believers to emigrate to Abyssinia, he wanted to save them from the Quraish's oppression, while he chose to be left behind to face it alone. `Uthmaan, who was at the head of the first group of fugitives, was accompanied by his son, As-Saa'ib. They set their faces towards a far- away land fleeing the plots of Abu Jahi, Allah's enemy, and the Quraish's atrocities.  
   
The emigration of `Uthmaan Ibn Madh'uun - and likewise for the rest of the emigrants to Abyssinia in the first and second emigrations - only made him hold more firmly to his Islam. Definitely, the two emigrations to Abyssinia represented a unique and glorious phenomenon in the cause of Islam, for those who believed in Muhammad  (PBUH) and followed the light that had been sent down to him had had enough of paganism, error, and ignorance. Their common sense shunned the idolatry of statues made of rocks and clay. When these fugitives emigrated to Abyssinia, they found an already prevalent and highly disciplined religion with an established clerical hierarchy of bishops and priests. Notwithstanding their attitude towards this religion, it was definitely remote from both the familiar paganism practiced back home and the usual idolatrous rites they had left behind. Undoubtedly, the clergy in Abyssinia exerted much effort to lure those emigrants to apostatize and embrace Christianity. 

        In spite of all this, those emigrants stood steadfast in their profound loyalty to Islam and to the Prophet Muhammad (PBUH). They anxiously yearned for the day when they would return to their beloved country so as to worship Allah and support the great Prophet (PBUH) in the mosque in peacetime and in the battlefield when the power of disbelief forced them to take up arms. Thus, those emigrants who lived in Abyssinia felt secure and peaceful. `Uthmaan lbn Madh'uun was one of them, yet his expatriation did not make him forget his cousin Umaiyah Ibn Khalaf's plots and the abuse he dealt him and other Muslims. Hence, he used to amuse himself by rehearsing threats to him, saying, "I hope that all the arrows you aim will miss their target and strike back at you. You fought against generous and noble people and tortured them to death. You will soon be punished, and the common people you used to despise will get back at you." 

        While the emigrants were, despite their exile, wrapped up in their worship of Allah and the study of the Qur'aan, news spread that the Quraish had submitted themselves to Islam and prostrated themselves to Allah, the One, the Irresistable.  

        Hurriedly, driven by their nostalgic feelings, the emigrants packed up their belongings and hastened to Makkah. However, no sooner had they reached Makkah's outskirts than they realized that the news about the Quraish's submission to Islam was only the bait to lure them to return. Suddenly, they realized that their excessive credulity had led them right into this trap, yet there was nothing they could do, for 

Makkah was in sight and there was no escape whatsoever. Makkah's unbelievers were overjoyed to hear that their long-awaited prey was caught in the trap they had laid.  

    At that time, the right of protection - to be under the assistance, support, refuge, and protection of his patron - was a sacred and honored Arab tradition. Consequently, if a weak man had a claim on a man of high standing, he would instantly enjoy the privileges of the right of protection and would be under an invincible protection and safety. Naturally, not all of those who returned to Makkah had claims on a high-ranking man. Therefore, few enjoyed the protection and safety guaranteed by this right. Among those who did was `Uthmaan Ibn Madh'uun, who had a claim on Al Waliid lbn Al-Mughiirah. Hence, he entered Makkah safely and peacefully and attended its councils without being humiliated or harmed.  

        Yet, every time lbn Madh'uun - the man who had been refined by the Qur'aan and whom the Prophet (PBUH) had taught and disciplined - looked around, he saw his weak, poor Muslim brothers who had no claim on the right of protection being atrociously abused and unjustly haunted, while he sat safe and sound in his sanctuary away from the least provocation. His free spirit rebelled and his noble compassion got the better of him. Hence, he decided to throw aside Al-Waliid's patronage and take off his shoulders this burdensome sanctuary that deprived him of the bliss of enduring abuse in the way of Allah and of following his Muslim brothers who were the believing vanguard and the glad tidings of the world that would afterwards overflow with faith, monotheism, and light. Let us now call an eyewitness to narrate what occurred.  

        When `Uthmaan Ibn Madh'uun saw the affliction that had befallen the Prophet's Companions while he was free and safe under Al-Wallid lbn Al-Mughiirah's protection, he said to himself, "By Allah, 1 realize now that I have a fatal flaw in my character, for here I am sound under the protection of a disbeliever while my brothers and companions are being abused and tortured by disbelievers." Instantly, he hastened to Al-Waliid Ibn Al- Mughiirah and spoke. Aby Abd Shams, you have been a dutiful friend, you did your utmost to honor the ties of kinship. But now I must forsake my claim on you." Al-Waliid asked him," Why, nephew? Did any of my people lay a finger on you?" He answered, "No, but I'm fully satisfied with Allah's protection and sanctuary and I do not want to resort to anyone but Him. So please come with me to the mosque and withdraw your protection and support in public." They both hastened to the mosque. Then Al-Waliid cried out, "`Uthmaan has asked me to withdraw my protection and support from him." `Uthmaan said, "He was indeed a loyal, dutiful, and generous patron, but I do not like to resort to the protection and help of anyone but Allah."  

    As `Uthmaan was leaving, Lubaid ibn Rabii'ah was sitting in one of the Quraish's meetings reciting poetry, so he decided to join them and sat down and heard Lubaid recite, "Everything but Allah is falsehood." `Uthmaan nodded and said, "You spoke the truth." Lubaid continued, "Every blessing is transient." `Uthmaan objected saying, "You are a liar, for the blessings of Paradise are eternal." Lubaid said, "O you Quraish, by Allah, I have not heard before that anyone dared to call a man who was attending your meeting names." A man of Quraish explained, "Do not pay attention to what he says, for he is a fool who has turned apostate." `Uthmaan objected to the man's insult and both quarrelled until the man lost his temper and punched `Uthmaan's eye ruthlessly.  

        Nearby was Al-Waliid Ibn Al-Mughiirah, who saw what had happened and said, " By Allah, nephew, you could have spared yourself the pain if you had stayed under my invulnerable protection." `Uthmaan answered, "On the contrary, my healthy eye yearns for the pain of my abused eye. I am under the protection of Allah, Who is far better and more capable than you, Abu Abd Shams." Al-Waliid urged him saying, "Come on nephew, be sensible and return to my sanctuary and protection." Ibn Madh'uun said firmly, "No." After he left, the pain in his eye was severe yet his spirit was revived, strengthene, and reassured. On his way home he recited, "I don't care if a deluded disbeliever hurt my eye, for it was in the way of Allah. For the Most Merciful will reward me on the Day of Reckoning in compensation for it. My people, if Allah attempts to please someone, then he will be undoubtedly a happy man. Even if you say that I'm a misguided fool, my life will always be consecrated to the Prophet Muhammad's religion (PBUH). I will always do my utmost to please Allah, for our religion is the only truth despite abuse and oppression.  

Thus he set an example that was highly becoming of him. In fact, life witnessed the remarkable scene of an excellent man whose graceful, immortal words will resound: "By Allah, my healthy eye yearns to be hurt in the way of Allah. I am under the protection and care of Someone far better and more capable than you." Obviously the scenario of `Uthmaan's abuse at the hands of the Quraish after he had renounced Al-Waliid's protection was premeditated on his part. He provoked it and was overjoyed by it, for this abuse was to him like the fire that matures, purifies, and ennobles his faith. At last, he followed the foot steps of his believing brothers who did not accept intimidation.  

        Afterwards, `Uthmaan decided to emigrate to Al-Madiinah where he would not be haunted or harassed by Abu Jahl, Abu Lahab, Umaiyah, `Utbah, or any of the other ruthless disbelievers who abused and tormented the Muslims. He traveled to Al-Madiinah with those great Companions who survived the hardships, terror, and horror of the trials with admirable steadfastness and stoutness. They did not emigrate to Al-Madiinah to rest. On the contrary, Al-Madiinah was the springboard that enabled Muslims to strive in the way of Allah all over the world, clinging to allah's flag and spreading His words, signs, and guidance.  

        When `Uthmaan had settled in the illuminated Madiinah, his remarkable, great qualities were unveiled! He ultimately emerged as an ascetic, devout, and repentant worshiper. To sum up, he was the glorious and intelligent "monk" who was not sequestered in his hermitage but rather in life. He spent his life striving in the way of Allah. Indeed, he was the worshiper by night and the fighter by day. In fact, he was the worshipper and the fighter of both night and day.  

        Although all the Prophet's (PBUH) Companions at that time were inclined to asceticism and devoutness, yet Ibn Madh'uun had a certain strategy in that respect, for he was so remarkably absorbed in his asceticism and devoutness that he turned his life, day and night, into a perpetual blessed prayer and a sweet long glorification. No sooner had he sipped the sweetness of the engrossement in worship than he hastened to abandon all the enticing luxury and splendor of life. Therefore, he wore nothing but coarse clothes and ate nothing but coarse food.  

        One day, he walked into the mosque in which the Prophet (PBUH) and his Companions were sitting, and he had on a faded, worn-out garment that was patched with a piece of fur. As soon as the Prophet (PBUH) saw him, he sympathized with him, and the Companions' eyes were filled with tears, yet the Prophet (PBUH) said, "Would you like it if you were rich enough to have as many garments as you like and as much food as you like? Would you like your upholstery to be as expensive as the clothes used in covering the Ka'bah." The Companions answered, "We would indeed! We would like to live in luxury surrounded by the splendors of life." The Prophet (PBUH) commented, "You will be wealthy, but you are today far better in your piety and devoutness than you will when you are wealthy." Naturally, when Ibn Madh'uun heard the Prophet's words, he clung more and more to his austere and coarse life. He went so far as to renounce sexual intercourse with his wife, yet when the Prophet (PBUH) heard about this exaggerated attitude, he summoned him and said, "Your wife has the right to have sexual intercourse with you."  

        The Prophet (PBUH) loved him dearly. When his pure spirit was embarking on its journey towards Heaven, the Prophet (PBUH) was next to him, paying his last farewell to the first Muhaajir to die in Al- Madiinah and the first to be raised to Paradise. He leaned to kiss his forehead and his amiable eyes flowed with tears that wet `Uthmaan's face, which looked remarkably graceful. The Prophet (PBUH) paid his last farewell to his beloved Companion by saying, "Allah bestow His mercy on you, Abu As- Saa'ib. You are now leaving life that was not able to seduce or mislead you."  

       The revered Prophet (PBUH) did not forget his Companion after his death; on the contrary, he often mentioned and praised him. For instance, his very last words to his daughter Ruqaiyah on her deathbed were, "Go on, follow in the pious and devout `Uthmaan Ibn Madh'uun's footsteps up to Paradise."   

.¤ª"˜¨¯¨¨Utsman Bin Mazh'un oo 'Uthmaan Ibn Madh'uun¸,ø¨¨"ª¤.