o❀o
♥.¤ª"˜¨¯¨¨๑✰,¸⊱Abu 'Ubaidah Ibnul Jarrah⊰¸,ø¨¨"ª¤.❤
♥.¤ª"˜¨¯¨¨๑✰,¸⊱'Abu 'Ubaidah Ibn Al-Jarraah⊰¸,ø¨¨"ª¤.❤
Orang kepercayaan ummat.
Siapakah kiranya orang yang dipegang oleh Rasulullah saw. dengan tangan kanannya sambil bersabda mengenai pribadinya: “Sesungguhnya setiap ummat mempunyai orang kepercayaan, dan sesungguhnya kepercayaan ummat ini adalah Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah … !
Siapakah orang yang dikirim oleh Nabi ke medan tempur ‘Dzatus Salasil sebagai bantuan bagi Amar bin ‘Ash, dan diangkatnya sebagai panglima dari suatu pasukan yang di dalamnya terdapat Abu Bakar dan Umar … ? Siapakah shahabat yang mula pertama disebut sebagai amirul mara atau panglima besar ini … ? Dan siapakah orang yang tinggi perawakannya tetapi kurus tubuhnya, tipis jenggotnya, berwibawa wajahnya, dan ompong kena panah dua gigi mukanya … ? Yah, siapakah kiranya orang kuat lagi terpercaya, sehingga umar bin Khatthab ketika hendak menghembuskan nafasnya ang terakhir pernah berkata mengenai pribadinya: “Seandainya Abu ‘Ubadah ibnul Jarrah masih hidup, tentulah ia di antara orang-orang yang akan saya angkat sebagai penggantiku. Dan jika Tuhanku menanyakan hal itu tentulah akan saya jawab: ‘Saya angkat kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-Nya …. “. Ia adalah Abu ‘Ubaidah, Amir bin Abdillah ibnul Jarrah
Ia masuk Islam melalui Abu Bakar Shiddiq di awal mula kerasulan, yakni sebelum Rasulullah saw. mengambil rumah Arqam sebagai tempat da’wah. Ia ikut hijrah ke Habsyi pada kali yang kedua. Ia kembali pulang dengan tujuan agar dapat mendampingi Rasulullah saw. di perang Badar, perang Uhud dan pertempuran-pertempuran lainnya.
Lalu sepeninggal Rasulullah, dilanjutkannya gaya hidupnya sebagai seorang kuat yang dipercaya mendampingi Abu Bakar dan ,kemudian Umar dalam pemerintahan masing-masing dengan mengesampingkan dunia kemewahan dalam menghadapi tanggung jawab keagamaan, baik dalam zuhud dan ketaqwaan, amanah dan keteguhan …. Ketika Abu ‘Ubaidah bai’at atau sumpah setia kepada Rasulullah saw. akan membaktikan hidupnya di jalan Allah, ia menyadari sepenuhnya ma’na kata-kata yang tiga ini: berjuang di jalan Allah, dan telah memiliki persiapan sempurna untuk menyerahkan kepadanya apa juga yang diperlukan berupa darma bakti dan pengurbanan ….
Dan semenjak ia mengulurkan tangannya untuk bai’at kepada Rasulullah, ia tidak memperhatikan kepentingan pribadi dan masa depannya. Seluruh kehidupannya dihabiskan dalam mengemban amanat yang dititipkan Allah kepadanya dan dibaktikan pada jalan-Nya demi mencapai keridlaan-Nya. Tlada suatu pun yang dikejar untuk kepentingan dirinya pribadi, dan tiada satu keinginan atau kebencian pun yang dapat menyelewengkannya dari jalan Allah itu ….
Maka tatkala Abu ‘Ubaidah telah menepati janji yang dilakukan oleh para shahabat lainnya, dilihat pula oleh Rasulullah sikap jiwa dan tata cara kehidupannya yang menyebabkannya layak untuk menerima gelar mulia yang diserahkan serta dihadiahkan Rasulullah kepadanya, dengan sabdanya: “Orang kepercayaan ummat ini, Abu ‘Ubaidah ibnul darrah “. Amanat atau kepercayaan yang dipenuhi oleh Abu ‘Ubaidah atas segala tanggung jawabnya, merupakan sifatnya yang paling menonjol …. Umpamanya waktu perang Uhud, dari gerak gerik dan jalan pertempuran diketahuinya, bahwa tujuan utama dari orang-orang musyrik itu bukanlah hendak merebut kemenangan, tetapi untuk menghabisi riwayat Nabi Besar dan merenggut nyawanya. Ia berjanji kepada dirinya akan selalu dekat dengan Rasulullah di arena perjuangan itu.
Maka dengan pedangnya yang terpercaya seperti dirinya pula, ia maju ke muka, merambah dan mendesak tentara berhala ,yang hendak melampiaskan maksud jahat mereka untuk memadamkan Nur Ilahi . . . . Dan setiap situasi medan dan suasana pertempuran memaksanya terpisah jauh dari Rasulullah saw., ia tetap bertempur tanpa melepaskan pandangan matanya dari kedudukan Rasulullah itu yang selalu diikutinya dengan hati ,cemas dan jiwa gelisah . . . .
Dan jika dilihatnya ada bahaya datang mengancam Nabi, maka ia bagai disentakkan dari tempatnya lalu melompat menerkam musuh-musuh Allah dan menghalau mereka ke belakang sebelum mereka sempat mencelakakannya … Suatu ketika pertempuran berkecamuk dengan hebatnya, ia terpisah dari Nabi karena terkepung oleh tentara musuh. .tetapi seperti biasa kedua matanya bagai mata elang mengintai keadaan sekitarnya. Dan hampir saja ia gelap mata melihat sebuah anak panah meluncur dari tangan seorang musyrik lalu mengenai Nabi. Maka terlihatlah pedangnya yang sebilah itu berkelibatan tak ubah bagai seratus bilah pedang menghantam musuh yang mengepungnya hingga mencerai-beraikan mereka, lalu ia terbang melompat mendapatkan Rasulullah. Didapatinya darah beliau yang suci mengalir dari mukanya, dan dilihatnya Rasulullah al-Amin menghapus darah dengan tangan kanannya, sambil bersabda:
“Bagaimana mungkin berbahagia suatu kaum yang mencemari wajah Nabi mereka, padahal ia menyerunya kepada Tuhan mereka … ? Abu ‘Ubaidah melihat dua buah mata rantai baju besi penutup kepala Rasulullah menancap di kedua belah pipinya . . . . Abu ‘Ubaidah tak dapat menahan hatinya lagi; ia segera menggigit salah satu mata rantai itu dengan gigi, manisnya lalu menariknya dengan kuat dari pipi Rasulullah hingga tercabut keluar, tetapi bersamaan dengan itu tercabutlah pula sebuah gigi manis Abu ‘Ubaidah, lalu ditariknya pula mata rantai yang kedua dan tercabut pulalah bersamanya gigi manis Abu ‘Ubaidah yang kedua . . . .
Dan baiklah kita serahkan kepada Abu Bakar Shiddiq untuk menceritakan peristiwa itu dengan kata-katanya sebagai berikut: “Di waktu perang Uhud dan Rasulullah saw. ditimpa anak panah hingga dua buah rantai ketopong masuk ke kedua belah pipinya bagian atas, saya segera berlari mendapatkan Rasulullah saw. Kiranya ada seorang yang datang bagaikan terbang dari jurusan Timur, maka kataku: Ya Allah moga-moga itu merupakan pertolongan! Dan tatkala kami sampai kepada Rasulullah, kiranya orang itu adalah Abu ‘Ubaidah yang telah mendahuluiku ke sana, serta katanya: ‘Atas nama Allah, saya minta kepada anda wahai Abu Bakar, agar saya dibiarkan mencabutnya dari pipi Rasulullah saw… Saya pun membiarkannya, maka dengan gigi mukanya Abu ‘Ubaidah mencabut salah satu mata rantai baju besi penutup kepala beliau hingga ia terjatuh ke tanah, dan bersamaan dengan itu jatuhlah pula sebuah gigi manis Abu ‘Ubaidah. Kemudian ditariknya pula mata rantai yang kedua dengan giginya yang lain hingga sama tercabut, menyebabkan Abu ‘Ubaidah tampak di hadapan orang banyak bergigi Ompong …. !”
Di saat-saat bertambah besar dan meluasnya tanggung jawab para shahabat, maka amanah dan kejujuran Abu ‘Ubaidah mengkatlah pula. Tatkala ia dikirim oleh Nabi saw. Dalam expedisi “Daun Khabath” memimpin lebih dari tiga ratus orang prajurit sedang perbekalan mereka tidak lebih dari sebakul kurma, sementara tugas sulit. dan jarak yang akan ditempuh jauh pula, Abu ‘Ubaidah menerima perintah itu dengan taat dan hati gembira. Bersama anak buahnya pergilah ia ke tempat yang dituju, dan perbekalan setiap prajurit setiap harinya hanya segenggam kurma, dan setelah hampir habis maka bagian asing-masing hanyalah sebuah kurma untuk sehari. Dan tatkala habis sama sekali, mereka mulai mencari daun kayu yang disebut abath, lalu mereka tumbuk hingga halus seperti tepung dengan menggunakan alat senjata. Di samping daun-daun itu dijadikan makanan, dapat pula mereka gunakan sebagai wadah untuk minum. Itulah sebabnya ekspedisi ini disebut ekspedisi “Daun khabath”.
Mereka terus maju tanpa menghiraukan lapar dan dahaga, tak ada tujuan mereka kecuali menyelesaikan tugas mulia berama panglima mereka yang kuat lagi terpercaya, yakni tugas yang dititahkan oleh Rasulullah saw. kepada mereka Rasulullah saw. amat sayang kepada Abu ‘Ubaidah sebagai orang kepercayaan ummat, dan beliau sangat terkesan kepadaya. Tatkala datang perutusan Najran dari Yaman menyatakan keislaman mereka dan meminta kepada Nabi agar dikirim bersama mereka seorang guru untuk mengajarkan al-Quran dan Sunnah serta seluk-beluk Agama Islarn, maka ujar beliau: “Baiklah akan saya kirim bersama tuan-tuan seorang yang terpercaya, benar-benar terpercaya . . . , benar-benar terpercaya. . . , benar-benar terpercaya Para shahabat mendengar pujian yang keluar dari mulut sulullah saw. ini, dan masing masing berharap agar pilihan jatuh kepada dirinya, hingga beruntung beroleh pengakuan dan kesaksian yang tak dapat diragukan lagi kebenarannya …
Umar bin Khatthab menceritakan peristiwa itu sebagai berikut: “Aku tak pernah berangan-angan menjadi amir, tetapi ketika itu aku tertarik oleh ucapan beliau dan mengharapkan yang dimaksud beliau itu adalah aku. Aku cepat-cepat berangkat untuk shalat dhuhur. Dan tatkala Rasulullah selesai mengimami kami shalat dhuhur beliau memberi salam, lalu menoleh ke sebelah kanan dan kiri. Maka saya pun mengulurkan badan agar kelihatan oleh beliau . . . . Tetapi ia masih juga melayangkan pandangannya mencari- cari, hingga akhirnya tampaldah Abu ‘Ubaidah, maka dipanggilnya lalu sabdanya: “Pergilah berangkat bersama mereka dan selesaikanlah apabila terjadi perselisihan di antara mereka dengan haq … Maka Abu ‘Ubaidah pun berangkatlah bersama orang-orang itu…. ” .
Dengan peristiwa ini tentu saja tidak berarti bahwa Abu ‘Ubaidah merupakan satu-satunya yang mendapat kerpercayaan dan tugas dari Rasulullah, sedang lainnya tidak. Maksudnya ialah bahwa ia adalah salah seorang yang beruntung beroleh kepercayaan yang berharga serta tugas mulia ini. Di samping itu ia adalah salah seorang atau mungkin juga satu-satunya orang pada masa itu yang berprofesi da’i serta usahanya mengidzinkan untuk meninggalkan Madinah dan pergi melakukan tugas yang cocok dengan bakat dan kemampuannya ….
Dan sebagaimana di masa Rasulullah saw. Abu Ubaidah menjadi seorang kepercayaan, demikian pula setelah Rasulullah wafat, ia tetap sebagai orang kepercayaan, memikul semua tanggung jawab dengan sifat amanah. Wajarlah apabila ia menjadi suri teladan bagi seluruh ummat manusia.
Dan di bawah panji-panji Islam ke mana pun ia pergi ia adalah sebagai prajurit, yang dengan keutamaan dan keberaniannya melebihi seorang amir atau panglima . . . , dan di saat ia sebagai panglima, karena keikhlasan dan kerendahan hati menyebabkannya tidak lebih dari seorang prajurit biasa ….
Kemudian tatkala Khalid bin Walid sedang memimpin tentara Islam dalam salah satu pertempuran terbesar yang menentukan, dan tiba-tiba Amirul Mu’minin Umar mema’lumkan titahnya untuk mengangkat Abu ‘Ubaidah sebagai pengganti Khalid, maka demi diterimanya berita itu, dari utusan Khalifah, dimintanya orang itu untuk merahasiakan berita tersebut kepada umum. Sementara Abu ‘Ubaidah sendiri mendiamkannya dengan suatu niat dan tujuan baik sebagai lazimnya dimiliki oleh seorang zuhud, ‘arif bijaksana lagi dipercaya . . . , menunggu selesainya panglima Khalid itu merebut kemenangan besar …. Dan setelah tercapai barulah ia mendapatkan Khalid dengan hormat dan ta’dhimnya untuk menyerahkan Surat dari Amirul Wminin. Ketika Khalid bertanya kepadanya: “Semoga Allah memberi anda rahmat, wahai Abu ‘Ubaidah! Apa sebabnya anda fidak menyampaikannya kepadaku di waktu datangnya …. ?”
Maka ujar kepercayaan ummat itu: “Saya tidak ingin mematahkan ujung tombak anda, dan bukan kekuasaan dunia yang kita tuju, dan bukan pula untuk dunia kita beramal! Kita semua bersaudara karena Allah … Demikianlah Abu ‘Ubaidah telah menjadi panglima besar tentara Islam, baik dalam luasnya wilayah, maupun dalam Perbekalan dan jumlah bilangan Tetapi bila anda melihatnya, maka sangka anda bahwa ia adalah salah seorang prajurit biasa serta pribadi biasa dari Kaum Muslimin!
ketika sampai kepadanya perbincangan orang-orang Syria tentang dirinya dan keta’juban mereka terhadap sebutan panglima besar, dikumpulkannyalah mereka lalu ia berdiri berpidato Nah, cobalah anda sekalian perhatikan apa yang diucapkannya kepada orang-orang yang terpesona dengan kekuatan, ke besaran dan sifat amanahnya: “Hai ummat manusia Sesungguhnya saya ini adalah seorang Muslim dari suku Quraisy …. Dan siapa saja di antara kalian, baik ia berkulit merah atau hitam yang lebih taqwa’) daripadaku, hatiku ingin sekali berada dalam bimbingannya … !” Semoga. Allah melanjutkan kebahagiaanmu, wahai Abu ‘Ubaidah . . . . Dan mengekalkan Agama yang telah mendidikmu, serta Rasulullah yang telah mengajarimu …. Seorang Muslim dari suku Quraisy, tidak kurang tidak lebih ucapanmu itu …. Agama: Islam …. Suku: Quraisy …. Hanya inilah keinginannya, tidak lain …. Adapun kedudukannya sebagai panglima besar, dan pemimpin tentara. Islam yang paling banyak jumlahnya dan paling menonjol keperwiraannya serta paling besar kemenangannya …. Begitu pun sebagai wali negeri di wilayah Syria yang semua kehendaknya berlaku dan perintahnya ditaati ….
Maka semua itu dan lainnya yang serupa, tidak menggoyahkan ketaqwaannya sedikit pun, dan tidak dijadikan andalan …! Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab datang berkunjung ke Syria, kepada para penyambutnya ditanyakannya: “Mana saudara saya …… ?” “Siapa . . . ,” ujar mereka “Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah”, katanya pula. Kemudian datanglah Abu ‘Ubaidah yang segera dipeluk oleh Amirul Mu’minin . . . . lalu mereka pergi bersama-sama ke rumahnya. Maka tidak satu pun perabot rumah tangga terdapat di rumah itu, kecuali pedang, tameng serta pelana kendaraan,nya …. Sambil tersenyum Umar bertanya kepadanya: “Kenapa tidak kau ambil untuk dirimu sebagaimana dilakukan oleh orang lain … !’ Maka jawab Abu ‘Ubaidah: “Wahai Amirul Mu’minin, ini telah menyebabkan hatiku lega dan sempat beristirahat …. ! “
Pada suatu hari di Madinah, tatkala Amirul Mu’minin Umar al-Faruq sibuk menangani urusan dunia Islam yang luas, disampaikan orang berita berkabung meninggalnya Abu ‘Ubaidah…. Maka terpejamlah kedua pelupuk matanya yang telah digenangi air. Dan air itu pun meleleh, hingga Amirul Mu’minin membuka matanya dengan tawakkal menyerahkan diri. Dimohonkannya rahmat bagi shahabatnya itu, dan bangkitlah kenangan-kenangan lamanya bersama almarhum r.a. yang ditampungnya dengan hati yang shabar diliputi duka. Kemudian diulangi kembali ucapan berkenaan shahabatnya itu, katanya: “Seandainya aku bercita-cita, maka tak adalah harapanku selain sebuah rumah yang penuh didiami oleh tokoh-tokoh seperti Abu ‘Ubaidah ini ….!” . . Orang kepercayaan dari ummat ini wafat di atas bumi yang telah disucikannya dari keberhalaan Persi dan penindasan Romawi. Dan di sana sekarang ini, yaitu dalam pangkuan tanah Yordania bermukim tulang kerangka yang mulia, yang dulunya tempat bersemayam jiwa yang tenteram dan ruh pilihan ….
Dan walaupun makamnya sekarang ini dikenal orang atau tidak, sama saja halnya bagi dia atau bagi anda, karena seandainya anda bermaksud hendak mencapainya, anda tidak memerlukan petunjuk jalan, karena jasa-jasanya_yang tidak terkira akan menuntun anda ke tempatnya itu ..
(17)
ABU `UBAIDAH IBN AL-JARRAAH
The Trustworthy of This Nation
Who was the man whose right hand the Prophet (PBUH) held and said, `In every nation there exists a man worthy of all trust and the trustworthy of this nation is Abu `Ubaidah lbn Al- Jarraah." Who was the man whom the Prophet sent with reinforcements to `Amr Ibn Al-'Aas in the Dhaat As-Salaasil Expedition and made commander of the army that included `Umar and Abu Bakr? Who was this Companion who was the first to be called the Commander of the Commanders? Who was that tall, slim man with gaunt face? Who was that strong, trustworthy man about whom `Umar lbn Al Khattaab said on his deathbed, "If Abu `Ubaidah Ibn Al-Jarraah were alive, I would have entrusted him with the caliphate, and if Allah asked me about him, I would say, I assigned the caliphate to the trustworthy of Allah and His Prophet, Abu `Ubaidah Ibn Al Jarraah.
He embraced Islam at the hands of Abu Bakr As-Siddiiq at the dawn of Islam, even before the Prophet walked into Daar Al-Arqam. He emigrated to Abyssinia during the second emigration, then returned to stand by the Prophet at Badr, Uhud, and the rest of the great battles.
Even after the Prophet's death, he continued to be strong and trustworthy in his striving during the caliphates of Abu Bakr and the Commander of the Faithful `Umar. He renounced the world and endured its hardships. He pursued his Islam with an admirable asceticism, piety, firmness, and trustworthiness. When Abu `Ubaidah took the oath of allegiance to the Messenger and dedicated his life in the way of Allah, he knew exactly what those words "in the way of Allah" meant. Moreover, he was ready to endure whatever this way required of self-sacrifice and self-denial. From the time he shook hands with the Prophet as a sign of his pledge, he looked upon himself and his life as something that Allah had entrusted to him to seek His pleasure and abandon every desire or fear that might distract away from Him. When Abu `Ubaidah fulfilled his pledge as other Companions did, the Prophet saw in his conscientiousness and life style that which made him worthy of the epithet he had given him, namely, "The Trustworthy of This Nation"
Abu `Ubaidah's trustworthiness towards his responsibilities was one of his most outstanding traits. For instance, in the Battle of Uhud, he realized from the way the battle was conducted that the disbelievers' first priority was to kill the great Messenger (PBUH). To them, achieving victory was of secondary importance compared to killing the Prophet. Therefore, he decided to stay very close to where he was.
Abu Ubaidah thrust his sword into the army of paganism that craved to put out the light of Allah once and for all. Whenever the fierce fight led him far away from the Prophet, he fought ferociously while his eyes were fixed on where the Prophet stood, watching him with great concern. Whenever Abu `Ubaidah saw a potential danger approaching the Prophet, he jumped swiftly to send the enemies of Allah on their heels before they could injure the Prophet.
When the fight reached the height of ferocity, a group of disbelievers closed in upon Abu Ubaidah. Still his eyes were fixed on the Prophet like hawk eyes. Abu `Ubaidah lost his self-control when he saw an arrow hit the Prophet; yet he recollected himself and thrust his sword into those who closed in upon him as if his sword were a magic one. Finally, he managed to disperse them and darted towards the Messenger, who was wiping the noble blood that ran down his face with his right hand, then exclaimed, `How can they succeed after they tinged with blood the face of their Prophet who invites them to the way of Allah?"
When Abu `Ubaidah saw the two rings of the Prophet's chain mail that had pierced his cheeks, he rushed and held the first one with his front teeth and pulled it out. Yet as it fell, it took out his upper front teeth as well, and the same thing happened to the lower front teeth when he pulled out the second ring. Now, Abu Bakr As-siddiiq will narrate what he saw in a more impressive way, so let us hear what he has to say: When the Battle of Uhud reached the apex of fierceness and ferocity, the Prophet was wounded, and two of the rings of the Prophet's mail penetrated his cheeks. As soon as I realized what had happened, I rushed to him. A man ran swiftly in the same direction and exclaimed, "Dear Allah, accept this deed as a sign of obedience." Then we both reached the Prophet, but Abu `Ubaidah was there before me, so he pleaded with me, "Please, by Allah, Abu Bakr, let me pull them out of the Prophet's cheeks," so I let him. Abu `Ubaidah held one of the rings with his front teeth and pulled it out along with his upper front teeth. Then he pulled out the second along with his lower front teeth. Thus, he lost his teeth.
Abu `Ubaidah, like all the Companions, fulfilled his responsibilities and obligations with great honesty, and trust worthiness. Accordingly, when the Prophet (PBUH) appointed him as a commander in Al-Khabat Expedition, he had no supplies except for a knapsack full of dates. Notwithstanding the difficult mission and long distance, Abu `Ubaidah withstood this against all odds with tremendous self- denial and joy. He and his soldiers marched for miles with nothing to eat but a few dates daily until they ran out of dates and had to pick up withered leaves with their bows and crush and swallow them with water. Hence, the expedition was called Al-Khabat (i.e. The Struggle). They proceeded regardless of the danger and the risks. They did not worry about starvation or deprivation. The only thing that mattered to them was to accomplish their glorious mission under the leadership of their strong and trustworthy commander.
The Prophet (PBUH) loved this trustworthy one of his nation so much that he gave him preference over everyone else. For instance, when the Najraan delegation arrived from Yemen after they had embraced Islam, they asked the Prophet to send someone to them to teach them the Qur'aan, the Sunnah, and Islam. The Prophet told them, "I will send you a trustworthy man, a very trustworthy man. When the Companions heard this praise, every one of them prayed that the Prophet meant him with this praise and sincere recommendation.
`Umar Ibn Al-Khattaab (May Allah be pleased with him) narrated thus. I have never craved command in my life except on that day, in hope that I would be the man whom the Prophet held in such high esteem. Therefore, I went in intense heat to perform my Dhuhr prayer. When the Prophet finished leading the prayer, he looked to his right, then to his left. I stood on my toes to draw his attention to me, yet he kept on looking round until he saw Abu `Ubaidah Ibn Al-Jarraah and ordered him, "Go with them and judge in fruth between them in the matters in which they dispute." Afterwards, Abu `Ubaidah traveled with them.
This incident does not mean that Abu `Ubaidah was the only one whom the Prophet trusted or appreciated. He was one of the Companions who equally shared the Prophet's invaluable trust and generous appreciation. But he was the only one or one of few who was qualified to he absent from Al- Madiinah for this mission of calling people to accept Islamic monotheism, for he was the perfect man for this assignment. He maintained his trustworthiness as a Companion of the Prophet, and even after his death, he upheld his responsibilities with admirable integrity.
He adhered to the standard of Islam wherever he went, as a soldier in command with valor and esteem, and as a soldier under command with modesty and faithfulness.
When Khaalid Ibn Al-Wallid was the commander of the Muslim armies in one of the great decisive battles, the first action of `Umar Ibn Al-Khattaab, the new caliph at the time, was to dismiss Khaalid and assign Abu Ubaidah in his place. When Abu `Ubaidah received the message from `Umar he decided to conceal its purport. He pleaded with the messenger to keep it a secret with great admirable asceticism, intelligence, and fidelity. When Khaalid achieved his great victory, and only then, did Abu `Ubaidah relay to him the message with extraordinary politeness. On reading the Khaalid asked him, `May Allah bestow His mercy on you, Abu `Ubaidah. What made you keep that message from me?" The Trustworthy of the Nation answered, "I was afraid lest it should cause any confusion that might affect the army's morale. We do not crave life or its splendor. We are brothers before Allah."
Thus, Abu `Ubaidah was assigned as the commander-in -chief in Syria. His army was the mightiest and best equipped among the Muslim armies. You could hardly distinguish him from the rank and file of the army. He was always unassuming. When he heard that the people of Syria were infatuated by him and by his new rank, he asked them to assemble, then addressed them saying, "Fellow men, I'm a Muslim from the Quraish tribe. I will follow any of you like his shadow regardless of the color of his skin, if he is more pious and righteous than me."
May Allah greet you, Abu `Ubaidah. May Allah bless the religion that refined you and the Prophet who instructed you. He said that he was a Muslim from the Quraish. His religion was Islam and his tribe was Quraish. For him, this sufficed as an identification. His being the commander -in-chief, the leader of the greatest Muslim army in number, equipment, and victory and the obeyed and respected ruler of Syria were not privileges in themselves. He was not ensnared by the web of conceit or haughtiness. As a matter of fact, all these titles and high positions were the means to a sublime ultimate end.
One day, the Commander of the Faithful visited Syria and asked those who were at his reception, "Where is my brother?" They asked, "Who do you mean?" He answered, "Abu `Ubaidah Ibn Al Jarraah." Soon Abu `Ubaidah arrived and hugged Umar, then he invited him over to his house, where he had no furniture. In fact, he had nothing but a sword, a shield, and a saddlebag. `Umar asked him, smiling, "Why don't you furnish your house as people do?" Abu `Ubaidah readily answered, "O Commander of the Faithful, as you see, I have a room to sleep in and that is enough for me."
One day as the Commander of the Faithful Umar "Al-Faruuq" was conducting the affairs of the vast Muslim world, he received the sad news of Abu `Ubaidah's death. He tried to control himself, but his sadness got the better of him and his tears flowed. He asked Allah to bestow His mercy on his brother. He recalled his memories with Abu `Ubaidah (May Allah be pleased with him) with patience and tenderness. He exclaimed, "If I were to make a wish, I would have wished a house full of men just like Abu `Ubaidah."
The Trustworthy of This Nation died in the land which he had purified from the paganism of the Persians and the oppression of the Romans. Today in Jordan lie his noble remains which once were full of life, goodness, and satisfaction. It does not matter if you know where he is buried or not, for if you want to find his grave, you will need no guide; the fragrance of his remains will lead you to it.
o❀o
♥.¤ª"˜¨¯¨¨๑✰,¸⊱Abu 'Ubaidah Ibnul Jarrah⊰¸,ø¨¨"ª¤.❤
♥.¤ª"˜¨¯¨¨๑✰,¸⊱'Abu 'Ubaidah Ibn Al-Jarraah⊰¸,ø¨¨"ª¤.❤
Post a Comment