acebook

Para Sahabat - The Companions

.¤ª"˜¨¯¨¨ Zubair Bin Awwam oAz-Zubair Ibn Al'Awaam¸,ø¨¨"ª¤.
 Pembela Rasulullah s.a.w. 


Setiap tersebut nama Thalhah, pastilah disebut orang nama Zubair! Begitu pula setiap disebut nama Zubair, pastilah disebut orang pula nama Thalhah . . . ! Maka sewaktu Rasulullah saw. mempersaudarakan para shahabatnya di Mekah sebelum Hijrah, beliau telah mempersaudarakan antara Thalhah dengan Zubair.Sudah semenjak lama Nabi saw. memperkatakan keduanya secara bersamaan . . . , seperti kata beliau: “Thalhah dan Zubair adalah tetanggaku di dalam surga”. Dan kedua mereka berhimpun bersama Rasul dalam kerabat dan keturunan.

Adapun Thalhah bertemu asal-usul turunannya dengan Rasul pada Murrah bin Ka’ab. Sedang Zubair bertemu pula asal­-usulnya dengan Rasulullah pada Qusai bin Kilab, sebagaimana pula ibunya Shafiah, adalah saudara bapak RasulullahThalhah dan Zubair, kedua mereka banyak persamaan satu sama lain dalam aliran kehidupan Persamaan di antara keduanya sangat banyak: dalam pertumbuhan di masa remaja . . . kekaya­an, kedermawanan, keteguhan beragama dan kegagah-beranian. Keduanya termasuk orang-orang angkatan pertama masuk Islam . . . dan tergolong kepada sepuluh orang yang diberi kabar gembira oleh Rasul masuk surga. Keduanya juga sama termasuk kelompok shahabat ahli musyawarah yang enam, yang diserahi tugas oleh Umar bin Khatthab memilih Khalifah sepeninggal­nya….

Akhir hayatnya juga bersamaan secara sempurna . bahkan satu sama lain tidak berbeda … ! Sebagaimana telah kita katakan, Zubair termasuk dalam rombongan pertama yang masuk Islam, karena ia adalah dari golongan tujuh orang yang mula-mula menyatakan keiislamannya, dan sebagai perintis telah memainkan peranannya yang penuh berkat di rumah Arqam ….Usianya waktu itu baru limabelas tahun. Dan begitulah ia telah diberi petunjuk, nur dan kebaikan selagi masih remaja . . . . Ia benar-benar seorang penunggang kuda dan berani sejak kecilnya , . . hingga ahli sejarah menye­butnya bahwa pedang pertama yang dihunuskan untuk membela Iislam adalah Zubair bin ‘Awwam.

Pada hari-hari pertama dari Islam, sementara Kaum Muslimin waktu itu sedikit sekali hingga mereka selalu bersembunyi­sembunyi di rumah Arqam, tiba-tiba pada suatu hari tersebar berita bahwa Rasul terbunuh.

Seketika itu, tiada lain tindakan Zubair kecuali menghunus pedang dan mengacungkannya, lalu ia berjalan di jalan-jalan kota Mekah laksana tiupan angin kencang, padahal ia masih muds belia . . . ! Ia pergi mula-mula meneliti berita tersebut dengan bertekad seandainya berita itu ternyata benar, maka niscaya pedangnya akan menebas semua pundak orang Quraisy, sehingga ia mengalahkan mereka, atau mereka menewaskan­nya….Di suatu tempat ketinggian kota Mekah, Rasulullah me­nemukannya, lalu sertanya akan maksudnya. Zubair menyampai­kan berita tersebut …. Maka Rasulullah memohonkan bahagia dan mendu’akan kebaikan baginya serta keampuhan bagi pedangnya.

Sekalipun Zubair seorang bangsawan terpandang dalam kaumnya, namun tak kurang ia menanggung adzab derita dan penyiksaan Quraisy. Yang memimpin penyiksaan itu adalah pamannya sendiri. Pernah ia disekap di suatu kurungan, kemu­dian dipenuhi dengan embusan asap api agar sesak nafasnya, lalu dipanggilnya Zubair di bawah tekanan siksa: “Tolaklah olehmu Tuhan Muhammad itu, nanti kulepaskan kamu dari siksa ini!”

Tantangan itu dijawab oleh Zubair dengan pedas dan mengejutkan:  “Tidak . . . demi Allah, aku tak akan kembali kepada kekafiran untuk selama-lamanya!” Padahal pada waktu itu ia belum menjadi pemuda teruna, masih belia bertulang lembut – - – -Zubair melakukan hijrah ke Habsyi (Ethiopia) dua kali, yang pertama dan yang kedua, kemudian ia kembali, untuk menyertai ketinggalan semua peperangan bersama Rasulullah. Tak pernah ia ketinggalan dalam berperang atau bertempur. Banyaknya tusukan dan luka-luka yang terdapat pada tubuhnya dan masih berbekas sesudah lukanya itu sembuh membuktikan pula kepahlawanan Zubair dan keperkasaannya . . . ! 

Maka marilah kita dengarkan bicara salah seorang shahabatnya yang telah menyaksikan bekas-bekas luka yang terdapat hampir pada segenap bagian tubuhnya, demikian katanya: “Aku pernah menemani Zubair ibnul ‘Awwam pada sebagian perjalanan dan’ aku melihat tubuhnya, maka aku saksikan banyak sekali bekas luka goresan pedang, sedang di dadanya terdapat seperti mata air yang dalam, menunjukkan bekas tusukan lembing dan anak panah . . . . 

Maka kataku kepadanya: “Demi Allah, telah ku­saksikan sendiri pada tubuhmu apa yang belum pernah kulihat pada orang lain sedikit pun . . . !” Mendengar itu Zubair men­jawab: “Demi Allah, semua luka-luka itu kudapat bersama Rasulullah pada peperangan di jalan AllahKetika perang Uhud usai dan pasukan Quraisy berbalik kembali ke Mekah, ia diutus Rasul bersama Abu Bakar untuk mengikuti gerakan tentara Quraisy dan menghalau mereka, hingga mereka menganggap Kaum Muslimin masih punya kekuat­an, dan tidak terpikir lagi untuk kembali ke Madinah guna memulai peperangan yang baru.Abu Bakar dan Zubair memimpin tujuh puluh orang Mus­limin. 

Sekalipun mereka sebenarnya sedang mengikuti suatu pasukan yang menang, namun kecerdikan dan muslihat perang yang dipergunakan oleh ash-Shiddiq dan Zubair, membuat orang­-orang Quraisy menyangka bahwa mereka salah duga menilai kekuatan Kaum Muslimin, dan membuat mereka berfikir, bahwa pasukan perintis yang dipimpin oleh Zubair dan ash-Shiddiq dan tampak kuat, tak lain sebagai pendahuluan dari bala tentara Rasul yang menyusul di belakang, dan akan tampil menghalau mereka dengan dansyat. Karena itu mereka bergegas memper­cepat perjalanannya dan mengambil langkah seribu pulang ke Mekah!

Di samping Yarmuk, Zubair merupakan seorang prajurit yang memimpin langsung suatu pasukan …. Sewaktu ia melihat sebagian besar anak buah yang dipimpinnya merasa gentar menghadapi bala tentara Romawi yang menggunung maju, ia meneriakkan “Allahu Akbar” . . . dan maju membelah pasukan, musuh yang mendekat itu seorang diri dengan mengayunkan pedangnya, kemudian ia kembali ke tengah-tengah barisan musuh yang dahsyat itu dengan pedang di tangan kanannya, menari-nari dan berputar bagaikan kincir, tak pernah melemah apalagi berhenti ….Zubair r.a. sangat gandrung menemui syahid! Amat merindu­kan mati di jalan Allah.’ 

Ia pernah berkata: “Thalhah bin Ubaidillah memberi nama anak-anaknya dengan nama Nabi-nabi padahal sudah sama diketahui bahwa tak ada Nabi lagi sesudah Muhammad saw. . . . maka aku menamai anak-anakku dengan nama para syuhada, semoga mereka berjuang mengikuti syu­hada . . . ! Begitulah dinamainya seorang anaknya Abdullah bin Zubair mengambil berkat dengan shahabat yang syahid Abdullah bin Jahasy.

Dinamainya pula seorang lagi al-Munzir mengambil berkat dengan shahabat yang syahid al-Munzir bin Amar. Dinamainya pula yang lain ‘Urwah mengambil berkat dengan ‘Urwah bin Amar. Dan ada pula yang dinamainya Ham­zah, mengambil berkat dengan syahid yang mulia Hamzah bin Abdul Muthalib. Ada lagi Ja’far, mengambil berkat dengan syahid yang besar Ja’far bin Abu Thalib. Juga ada yang dinama­kannya Mush’ab mengambil berkat dengan shahabat yang syahid Mush’ab bin Umeir. Tidak ketinggalan yang dinamainya Khalid mengambil berkat dengan shahabat Khalid bin Sa’id. 

Demikianlah ia seterusnya memilih untuk anak-anaknya nama para syuhada, dengan pengharapan agar sewaktu datang ajal mereka nanti, mereka tercatat sebagai syuhada … !

Dalam riwayat hidupnya telah dikemukakan: ”bahwa ia tak pernah memerintah satu daerah pun, tidak pula mengumpul pajak atau bea cukai, pendeknya tak ada jabatannya yang lain kecuali berperang pada jalan Allah . . . “.

 Kelebihannya sebagai prajurit perang tergambar pada pengandalannya pada dirinya sendiri secara sempurna dan kepercayaan yang teguh. Sekalipun sampai seratus ribu orang menyertainya di medan tempur, namun akan kau lihat bahwa ia berperang seakan-akan sendirian di arena pertempuran …. dan seolah-olah tanggung jawab perang dan kemenangan terpikul di atas pundaknya sendiri.Keistime­waannya sebagai pejuang, terlukis pada keteguhan hatinya dan kekuatan urat syarafnya. Ia menyaksikan gugur pamannya Hamzah di perang Uhud. 

Orang-orang musyrik telah menyayat­-sayat tubuhnya yang terbunuh itu dengan kejam, maka ia berdiri di mukanya dengan sikap satria menahan gejolak hati dengan memegang teguh hulu pedangnya. Tak ada fikirannya yang lain daripada mengadakan pembalasan yang setimpal, tapi wahyu segera datang melarang Rasul dan Muslimin hanya mengingat soal itu sajaDan sewaktu pengepungan atas Bani Quraidha sudah berjalan lama tanpa membawa hasil, Rasulullah mengirimnya bersama. 

Ali bin Abi Thalib. Ia berdiri di muka benteng musuh yang kuat Serta mengulang-ulang ucapannya: “Demi Allah, biar kami rasakan sendiri apa yang dirasakan Hamzah, atau kalau tidak, akan kami tundukkan benteng mereka … !” Kemudian ia terjun ke dalam benteng hanya berdua saja dengan Ali …. Dan dengan kekuatan urat syaraf yang mempesona, mereka berdua berhasil menyebarkan rasa takut pada musuh yang bertahan dalam benteng, lalu membukakan pintu-pintu benteng tersebut bagi kawan-kawan mereka di luar … !

Di perang Hunain, Zubair melihat pemimpin suku Hawazin yang juga menjadi panglima pasukan musyrik dalam perang tersebut namanya Malik bin Auf . . . , terlihat olehnya sesudah pasukan Hawazin bersama panglimanya lari tunggang langgang dari medan perang Hunain, ia sedang berdua di tengah-tengah gerombolan besar shahabat-shahabatnya bersama sisa pasukan yang kalah, maka secara tiba-tiba diserbunya rombongan itu seorang diri, dan dikucar-kacirkannya kesatuan mereka, kemudi­an dihalaunya mereka dari tempat persembunyian yang mereka gunakan sebagai pangkalan untuk menyergap pemimpin-pemim­pin Iislam yang baru kembali dari arena peperangan.Kecintaan dan penghargaan Rasul terhadap Zubair luar biasa sekali, dan Rasulullah sangat membanggakannya, katanya: “setiap Nabi mempunyai pembela dan pembe itu adalah Zubair bin ‘Awwam … !”

 Karena bukan saja ia saudara sepupunya dan suami dari Asma binti Abu Bakar yang mempunyai dua puteri semata, tapi lebih dari itu adalah karena pengabdiannya yang luar biasa, keberaniannya yang perkasa, kepemurahannya yang tidak terkira dan pengorbanan diri dan hartanya untuk Allah Tuhan dan islam semata. Sungguh, Hasan bin Tsabit telah melukiskan sifat-sifatnya ini dengan indah sekali, katanya: “Ia berdiri teguh menepati janjinya kepada Nabi dan mengikuti petunjuknya. Menjadi pembelanya, sementara perbuatan sesuai dengan perkataannya. Ditempuhnya jalan yang telah digunakan­nya, tak hendak menyimpang dari padanya.

 Bertindak sebagai pembela kebenaran, karena kebenaran itu jalan sebaik-baiknya.Ia adalah seorang berkuda yang termasyhur, dan pahlawan yang gagah perkasa.Merajalela di medan perang dan ditakuti di setiap arena.

 Dengan Rasulullah mempunyai pertalian darah dan masih berhubungan keluarga.Dan dalam membela islam mempunyai jasa-jasa yang tidak terkira.Betapa banyaknya mara bahaya yang mengancam Rasulullah Nabi al-Musthafa.Disingkirkan Zubair dengan ujung pedangnya, maka semoga Allah membalas jasa-jasanya”.Ia seorang yang berbudi tinggi dan bersifat mulia . . . . 

Ke­beranian dan kepemurahannya seimbang laksana dua kuda satu tarikan . . . ! Ia telah berhasil mengurus perniagaannya dengan gemilang, kekayaannya melimpah, tetapi semua itu dibelanja­kannya untuk membela Islam, sehingga ia sendiri mati dalam berutang . . . ! 

Tawakkalnya kepada Allah merupakan dasar kepemurahannya, sumber keberanian dan pengorbanannya .. . hingga ia rela menyerahkan nyawanya, dan diwasiatkannya kepada anaknya Abdullah untuk melunasi utang-utangnya, demikian pesannya: “Bila aku tak mampu membayar utang, minta tolonglah kepada Maulana … induk semang kita … “.
Lalu ditanya anaknya Abdullah: “Maulana yang mana bapak maksudkan . . . ?” 
Maka jawabnya: “Yaitu Allah Induk Semang dan Penolong kita yang paling utama … !”
Kata Abdullah kemudian: “Maka demi Allah, setiap aku terjatuh ke dalam kesukaran karena utangnya, tetap aku memohon: 
“Wahai Induk Semang Zubair, lunasilah utangnya, maka Allah mengabulkan permohonan itu, dan alhamdulillah hutang pun dapat dilunasi . . . “.

Dalam perang Jamal sebagaimana telah kami utarakan dalam ceriteranya yang lalu mengenai Thalhah, Zubair menemui akhir hayat dan tempat kesudahannya . . . . 

Sesudah ia menyadari kebenaran .dan berlepas tangan dari peperangan, terus diintai oleh golongan yang menghendaki terus berkobarnya api fitnah, lalu ia pun ditusuk oleh seorang pembunuh yang curang waktu ia sedang lengah, yakni di kala ia sedang shalat menghadap Tuhannya ….

Si pembunuh itu pergi kepada Imam Ali, dengan maksud melaporkan tindakannya terhadap Zubair, dengan dugaan bahwa kabar itu akan membuat Ali bersenang hati, apalagi sambil menanggalkan pedang-pedang Zubair yang telah dirampasnya setelah melakukan kejahatan tersebut . . . .

Tetapi Ali berteriak demi mengetahui bahwa di muka pintu ada pembunuh Zubair yang minta idzin masuk dan memerintah­kan orang untuk mengusirnya, katanya: “Sampaikan berita kepada pembunuh putera ibu Shafiah itu, bahwa untuknya telah disediakan api neraka … !” 

Dan ketika pedang Zubair ditunjuk­kan kepada Ali oleh beberapa shahabatnya, ia mencium dan lama sekali ia menangis kemudian katanya: 
“Demi Allah, pedang ini sudah banyak berjasa, digunakan oleh pemiliknya untuk melindungi Rasulullah dari marabahaya . . . “.

Dalam mengakhiri pembicaraan kita mengenai dirinya,apakah masih ada penghormatan yang lebih indah dan berharga untuk dipersembahkan kepada Zubair, dari ucapan Imam Ali sendiri … ? 

Yaitu :
“Selamat dan bahagia bagi Zubair dalam kematian sesudah mencapai kejayaan hidupnya . . . ! 
Selamat, kemudian selamat kita ucapkan kepada pembela Rasulullah …


AZ -ZUBAIR IBN AL `AWAAM  
The Prophet's Disciple!

        It is almost impossible to mention Talhah without mentioning Az-Zubair, too, and almost impossible to mention Az-Zubair without mentioning Talhah as well.  

        When the Prophet (PBUH) was fraternizing with his Companions in Makkah before the Hijrah to Al-Madiinah, he fraternized with Talhah and Az-Zubair.  

        The Prophet (PBUH) often talked about them together, for example in his statement "Talhah and Ar-Zubair are my neighbors in Paradise."  

       Both of them were linked to the Prophet (PBUH) through relationship and descent. As for Talhah he is linked to the Prophet (PBUH) through Murah lbn Ka'b. Zubair's lineage is linked to the Prophet through Qusaii Ibn Kulaab. In addition to that, his mother Safiah is the Prophet's paternal aunt.  

        Talhah and Az-Zubair resembled each other tremendously in their fates. The similarity between them was enormous in terms of their upbringing, their wealth, their generosity, their religious solidarity, and their magnificent bravery. Both of them were early converts to Islam. Both of them were among the ten to whom Paradise was promised by the Prophet (PBUH) and among the six whom `Umar entrusted with the duty of choosing the next caliph following him. Even their destiny was one of complete similarity. In fact was one destiny.  

        As mentioned, Az-Zubair's embracement of Islam was an early one. Indeed he was one of the first seven who quickened their steps towards Islam and played a role with the blessed early converts at Daar Al-Arqam. At that time he was 15 years old; that is how he was endowed with guidance, light, and all the good while still a youth.  

        He was a horseman and a bold warrior from childhood, to the extent that historians mention that the first sword lifted in Islam was Az-Zubair's sword. 

        In the very early days of Islam, while the Muslims were still few in number, hiding in Daar Al- Arqam, a rumor spread that the Prophet (PBUH) had been killed. Az-Zubair had hardly heard that when he unsheathed his sword and hurried through the streets of Makkah although still so young.  

        First he went to learn the truth of what had been said, determined that if it were true, he would cut the whole of the Quraish into pieces until they killed him.  

        On the high hills of Makkah, the Prophet (PBUH) met him and asked, "What's the matter?" Az- Zubair told him the news. The Prophet (PBUH) prayed for him and asked Allah to bestow mercy and all good upon him, and victory upon his sword.  

        Despite Az-Zubair's nobility among his clan, he had to carry the burden of the Quraish's persecution and torment. It was his uncle who was in charge of his torture. He wrapped him in a mat, set it on fire to let him suffocate, and called to him while he was under the pressure of severe torture, "Disbelieve in Muhammad's Lord and I will ward off this torture."  

       Az-Zubair, who was at that time no more than a growing youth, replied in a horrible challenging way, "No! By Allah, I won't return to polytheism ever again."  

Az-Zubair emigrated to Abyssinia twice, in the first and second migrations. Then he returned to take part in the battles with the Prophet (PBUH). No raid or battle ever missed him.  

       Plentiful were the stabs which his body had to receive and preserve even after his wounds had been healed. They were like medals telling of Az-Zubair's heroism and glory.  

        Let us listen to one of his companions, who once saw and described these medals, which crowded each other over his body: While accompanying Az- Zubair in one of his journeys, I saw his body spotted with sword scars. His chest was like hollow eyes due to the variety of stabs and wounds. I said to him, "I've seen on your body what I've never seen before." He replied, "By Allah, I haven't received one of them except while I was with the Prophet (PBUH) and in the cause of Allah."  

        During the Battle of Uhud, after the army of the Quraish had retreated towards Makkah, the Prophet (PBUH) assigned him together with Abu Bakr to follow the Quraish's army and to chase them so they would realize how strong the Muslim party was and would not think of reattacking Al-Madiinah and continuing the fight. Abu Bakr and Az-Zubair led 70 Muslims. Although they were chasing a victorious army, the military skill used by As-Siddiiq and Az-Zubair, made the Quraish think that they had overestimated the Tosses of the Muslim party. They thought that the powerful front row, whose strength Az-Zubair and As-Siddiiq successfully demonstrated, was nothing other than the advance guard of the Prophet's army, which seemed to approach in order to launch a horrible pursuit. The Quraish hastened away and quickened their pace towards Makkah.  

        On the Day of Al-Yarmuuk, Az-Zubair was an army in himself. When he saw most of the warriors under his command moving backwards when they saw the huge advancing Roman "mountains", he cried, "Allahu akbar! Allah is the greatest!" With a sharp striking sword he burst alone into those advancing "mountains", then he retreated, then penetrated the same horrible rows with his sword in his right hand, never tripping nor slipping.  

        May Allah be pleased with him who was so much in love with martyrdom, full of enthusiasm for dying in the cause of Allah. He said, "Talhah gives his sons names of the Prophets and he knows there is no prophet after Muhammad (PBUH). But I give my sons the names of martyrs, and may they die as martyrs!"  

        In this way he named one son `Abd Allah as a good omen, after the martyr Companion Abd Allah lbn Jahsh; another he named Al-Mundhir after the martyr Companion Al-Mundhir lim `Amr;  another he named Urwah after the martyr Companion `Urwah Ibn `Amr; another he called Hamzah after the martyr Companion Hamzah Ibn Abi Taalib; another he called Ja'far after the martyr Companion Ja'far Ibn Abi Taalib; another he called Mus`ab after the martyr Companion Mus'ab Ibn Umair and another he called Khaalid after the martyr Companion Khaalid lbn Sa`iid.  

        In this way he chose for his sons the names of martyrs, hoping that they would all die martyrs.  

        It is mentioned in his biography that he never held a governorship, nor the task of collecting taxes or tribute, but only the task of fighting in the cause of Allah.  

        His merit as a warrior can be seen in his total self-reliance and his complete self-confidence.  

        Even if 100,000 warriors were to join him in combat, you would still see him fighting as if standing alone on the battlefield, and as if the responsibility of fighting and for victory rested on him alone.  

        His merit as a warrior is represented in his firmness and the strength of his nerves.  
     
   He saw his uncle Hamzah on the Day of Uhud: the polytheists had cut his corpse into pieces in a dreadful way. He stood in front of him like a high firm rooted mountain, gritting his teeth while holding his sword tightly, having nothing in mind except a horrible revenge. Soon, however, a divine revelation prohibited the Prophet (PBUH) and the Muslims from even the slightest thought of such a thing.  

        When the Bani Quraidhah siege lasted a long period without their surrender, the Prophet (PBUH) sent him with `Aliy Ibn Abi Taalib. There in front of the insurmountable fortress he stood and repeated several times,"By Allah We will taste what Hamzah tasted or we will open their fortress." Then they two alone threw themselves into the fortress.  

       With admirable strong nerves, they were able to terrify the besieged inside it and to open its gates. 

        On the Day of Hunain he could see Maalik lbn `Awf, leader the of Hawaazin and of the polytheist army, after his defeat in Hunain standing in the midst of some of his companions and the remnants of his defeated army. He burst alone into their midst and single handedly scattered them and pushed them away from the place of ambush from which they kept an eye on the Muslim leaders who were returning from the battlefield.  

        His share of the Prophet's love and appreciation was great.  

        The Prophet (PBUH) was so proud of him that he said, "Every prophet has a disciple, and my disciple is Az-Zubair Ibn Al `Awaam." He was not only his cousin and the husband of Asmaa Bint Abu Bakr ("The Lady of the Two Belts") but, moreover, he was the powerful, loyal, brave, bold, generous, and bountiful, who gave away and devoted his life and money for Allah, Lord of all the worlds.  

        His characteristics were noble, his good qualities great. His bravery and generosity were always parallel to each other. He managed a successful trade, and his fortune was enormous; however, he spent all of that in the cause of Islam until he died in debt. His trust in Allah was the reason behind his generosity, bravery, and redemption.  

        Even when he generously gave up his soul, he asked his son to pay his debt. "If you're unable to pay it, then seek my Master's help." `Abd Allah asked him, "Which master do you mean?" He answered, "Allah. He is the best Guardian, the best Helper." `Abd Allah said afterwards, "By Allah I never fell into trouble because of his debt. I only said, `O Master of Zubair, pay his debt,' so He did."  
     
   On the Day of Al-Jamal, and in the same way previously mentioned about Talhah, was Az-Zubair's end and fate. After he saw it right to refrain from fighting, a group of those who had been keen to see the flames of civil strife continuously raging and never extinguished followed him. A treacherous murderer stabbed him while he was praying and standing between the hands of Allah.  

        The murderer went to Imam `Aliy, thinking that he would be announcing to him good news when telling him about his attack upon Az-Zubair and when putting into his hands the sword which he had stolen from him after committing his crime. When `Aliy knew that Az-Zubair's murderer was standing at his door asking permission to enter, he shouted ordering that he be expelled and said, "Announce Hell to the murderer of Safiah's son!" When they showed him Az Zubair's sword, Imam `Aliy kissed it and then cried painfully saying,

 "A sword whose owner had so long wiped the Prophet's grief."  

        Is there a better, more wonderful and eloquent salute to be directed to Az-Zubair at the end of our talk than the words of lmam `Aliy?  
       
 May peace be upon Az-Zubair in death after his life. 
Peaceful greeting after peaceful greeting upon the Prophet's disciple.




.¤ª"˜¨¯¨¨ Zubair Bin Awwam oAz-Zubair Ibn Al'Awaam¸,ø¨¨"ª¤.



   

Categories: