acebook


.¤ª"˜¨¯¨¨Abbad Bin Bisyir oo Abbaad Ibn Bishr¸,ø¨¨"ª¤. 
Selalu disertai cahaya Allah. 

Ketika Mush’ab bin Umeir tiba di Madinah sebagai utusan dari Rasulullah saw. untuk mengajarkan seluk beluk Agama kepada orang-orang Anshar yang telah bai’at kepada Nabi dan membimbing mereka melakukan shalat, maka ‘Abbad bin Bisyir r.a. adalah seorang budiman yang telah dibukakan Allah hatinya untuk menerima kebaikan. la datang menghadiri majlia Mush’ab dan mendengarkan da’wahnya, lalu diulurkan tangannya meng­angkat bai’at memeluk Islam. Dan semenjak saat itu mulailah ia menempati kedudukan utama di antara orang-orang Anshar yang diridlai oleh Allah Serta mereka ridla kepada Allah . . . .Kemudian Nabi pindah ke Madinah, setelah lebih dulu orang-orang Mu’min dari Mekah tiba di sana. Dan mulailah terjadi peperangan-peperangan dalam mempertahankan diri dari serangan-serangan kafir Quraisy dan sekutunya yang tak henti­hentinya memburu Nabi dan ummat Islam. 

Kekuatan pembawa cahaya dan kebaikan bertarung dengan kekuatan gelap dan kejahatan. Dan pada setiap peperangan itu ‘Abbad bin Bisyir berada di barisan terdepan, berjihad di jalan Allah dengan gagah berani dan mati-matian dengan cara yang amat mengagum­kan….Dan mungkin peristiwa yang kita paparkan di bawah ini dapat mengungkapkan sekelumit dari kepahlawanan tokoh Mu’min ini …. Setelah Rasulullah saw. dan Kaum Muslimin selesai meng­hadapi perang Dzatur Riga’, mereka sampai di suatu tempat dan bermalam di sana, Rasulullah memilih beberapa orang shahabatnya untuk mengawal secara bergiliran. Di antara mereka terpilih ‘Ammar bin Yasir dan ‘Abbad bin Bisyir yang berada pada satu kelompok.Karena dilihat oleh ‘Abbad bahwa kawannya ‘Ammar sedang lelah, diusulkannyalah agar ‘Ammar tidur lebih dulu dan ia akan mengawal. Dan nanti bila ia telah mendapatkan istirahat yang cukup, maka giliran ‘Ammar pula mengawal menggantikannya.‘Abbad melihat bahwa lingkungan sekelilingnya aman. Maka timbullah fikirannya, kenapa ia tidak mengisi waktunya dengan melakukan shalat, hingga pahala yang akan diperoleh akan jadi berlipat … ? 

Demikianlah ia bangkit melakukannya … .Tiba-tiba sementara ia berdiri sedang membaca sebuah surat al-Quran setelah al-Fatihah, sebuah anak panah menancap di pangkal lengannya. Maka dicabutnya anak panah itu dan diteruskannya shalatnya ….Tidak lama diantaranya mendesing pula anak panah kedua yang mengenai anggota badannya.Tetapi ia tak hendak menghentikan shalatnya hanya di­cabutnya anak panah itu seperti yang pertama tadi, dan di­lanjutkannya bacaan surat.

Kemudian dalam gelap malam itu musuh memanahnya lagi untuk ketiga kalinya. ‘Abbad menarik anak panah itu dan meng­akhiri bacaan surat. Setelah itu ia ruku’ dan sujud …. sementara tenaganya telah lemah diaebabkan sakit dan lelah. Lalu sementara sujud itu diulurkannya tangannya kepada kawannya yang sedang tidur di sampingnya dan ditarik-tariknya ia sampai terbangun. Dalam pada itu ia bangkit dari sujudnya dan membaca tasyahud, lalu menyelesaikan shalatnya.‘Ammar terbangun mendengar suara kawannya yang ter­putus-putus menahan sakit: “Gantikan daku mengawal karena aku telah kena… !” ‘Ammar menghambur dari tidurnya hingga menimbulkan kegaduhan dan takutnya musuh yang menyelinap. Mereka melarikan diri, sedang ‘Ammar berpaling kepada temannya seraya katanya: “Subhanallah . . . ! Kenapa saya tidak dibangunkan ketika kamu dipanah yang pertama kali tadi . . . !”Ujar ‘Abbad: — “Ketika daku shalat tadi, aku membaca beberapa ayat al-Quran yang amat mengharukan hatiku, hingga aku tak ingin untuk memutuskannya . . . !

 Dan demi Allah, kalau tidaklah akan menyia-nyiakan pos penjagaan yang ditugaskan Rasul kepada kita menjaganya, sungguh, aku lebih suka matii daripada memu­tuskan bacaan ayat-ayat yang sedang kubaca itu … !”‘Abbad amat cinta sekali kepada Allah, kepada Rasul dan kepada Agamanya . .. . Kecintaan itu memenuhi segenap pe­rasaan dan seluruh kehidupannya. Dan semenjak Nabi saw. ber­pidato dan mengarahkan pembicaraannya kepada Kaum Anshar, ia termasuk salah seorang di antara mereka. Sabdanya:“Hai golongan Anshar … ! Kalian adalah inti, sedang golongan lain bagai kulit ari! Maka tak mungkin aku dicederai oleh pihak kalian …

Semenjak itu, yakni semenjak ‘Abbad mendengar ucapan ini dari Rasulnya, dari guru dan pembimbingnya kepada Allah, dan ia rela menyerahkan harta benda nyawa dan hidupnya di jalan Allah dan di jalan Rasul-Nya . . . , maka kita temui dia di arena pengurbanan dan di medan laga muncul sebagai orang pertama, sebaliknya di waktu pembagian keuntungan dan harta rampasan, sukar untuk ditemukannya … !Di samping itu ia adalah seorang ahli ibadah yang tekun… seorang pahlawan yang gigih dalam berjuang …. seorang der­mawan yang rela berqurban . . . , dan seorang Mu’min sejati yang telah membaktikan hidupnya untuk keimanannya ini … !Keutamaannya ini telah dikenal luas di antara shahabat­-shahabat Rasul. Dan Aisyah r.a. Ummul Mu’minin pernah mengatakan tentang dirinya: “Ada tiga orang Anshar yang keutamaannya tak dapat diatasi oleh seorang pun juga, yaitu: Sa’ad bin Mu’adz, Useid bin Hudlair dan ‘Abbad bin Bisyir …

Orang-orang Islam angkatan pertama mengetahui bahwa ‘Abbad adalah seorang tokoh yang memperoleh karunia berupa cahaya dari Allah . . . . Penglihatannya yang jelas dan memperoleh penerangan, dapat mengetahui tempat-tempat yang baik dan meyakinkan tanpa mencarinya dengan susah-payah. Bahkan kepercayaan shahabat-shahabat nya mengenai cahaya ini sampai ke suatu tingkat yang lebih tinggi, bahwa ia merupakan benda yang dapat terlihat. Mereka sama sekata bahwa bila ‘Abbad berjalan di waktu malam, terbitlah daripadanya berkas-berkas cahaya dan sinar yang menerangi baginya jalan yang akan di­tempuh ….Dalam peperangan menghadapi orang-orang murtad se­peninggal Rasulullah saw. maka ‘Abbad memikul tanggung jawab dengan keberanian yang tak ada taranya . . . . Apalagi dalam pertempuran Yamamah di mana Kaurn Muslimin menghadapi bala tentara yang paling kejam dan paling berpengalaman di bawah pimpinan Musailamatul Kaddzab, ‘Abbad melihat bahaya besar yang mengancam Islam.

 Maka jiwa pengurbanan dan kepahlawanannya mengambil bentuk sesuai dengan tugas yang dibebankan oleh keimanannya, dan meningkat ke taraf yang sejajar dengan kesadarannya akan bahaya tersebut, hingga men­jadikannya sebagai prajurit yang berani mati, yang tak meng­inginkan kecuali mati syahid di jalan Ilahi ….Sehari sebelum perang Yamamah itu dimulai, ‘Abbad meng­alami suatu mimpi yang tak lama antaranya diketahui Ta’birnya secara gamblangdan terjadi di arena pertempuran sengit yang diterjuni oleh Kaum Muslimin.Dan marilah kita panggil seorang shahabat mulia Abu Sa’id al-Khudri r.a. untuk menceritakan mimpi yang dilihat oleh ‘Abbad tersebut begitu pun Ta’birnya, serta peranannya yang mengagumkan dalam pertempuran yang berakhir dengan syahid­nya….

Demikian cerita Abu Sa’id:” ‘Abbad bin Bisyir mengatakan kepadaku: “Hai Abu Sa’id! Saya bermimpi semalam melihat langit terbuka untuk­ku, kemudian tertutup lagi … !Saya yakin bahwa ta’birnya insya Allah saya akan menemui syahidnya . . . !” “Demi Allah!” ujarku, “itu adalah mimpi yang baik … !”“Dan di waktu perang Yamamah itu saya lihat ia berseru kepada orang-orang Anshar: “Pecahkan sarung-sarung pe­dangmu dan tunjukkan kelebihan kalian … !”Maka segeralah menyerbu mengiringkannya sejumlah empat ratus orang dari golongan Anshar hingga sampailah mereka ke pintu gerbang taman bunga, lalu bertempur dengan gagah berani.Ketika itu ‘Abbad  semoga Allah memberinya rahmat —menemui syahidnya. Wajahnya saya lihat penuh dengan bekas sambaran pedang, dan saya mengenalnya hanyalah dengan melihat tanda yang terdapat pada tubuhnya … !”

Demikianlah ‘Abbad meningkat naik ke taraf yang sesuai untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang Mu’min dari golongan Anshar, yang telah mengangkat bai’at kepada Rasul untuk membaktikan hidupnya bagi Allah dan menemui syahid di jalan-Nya …Dan tatkala pada permulaannya dilihatnya neraca pertempur­an sengit itu lebih berat untuk kemenangan musuh, teringatlah olehnya ucapan Rasulullah terhadap Kaumnya golongan Anshar:  ”Kalian adalah inti . . . ! Maka tak mungkin saya dicederai oleh pihak kalian!”Ucapan itu memenuhi rongga dada dan hatinya, hingga seolah-olah sekarang ini Rasulullah masih berdiri, mengulang­-ulang kata-katanya itu . . . ‘Abbad merasa bahwa seluruh tang­gung jawab peperangan itu terpikul hanya di atas bahu golongan Anshar semata . .. atau di atas bahu mereka sebelum golongan lainnya .. . ! 

Maka ketika itu naiklah ia ke atas sebuah bukit lalu berseru: ”Hai golongan Anshar . . . ! Pecahkan sarung­-sarung pedangmu, dan tunjukkan keistimewaanmu dari golongan lain… !”Dan ketika seruannya dipenuhi oleh empat ratus orang pejuang, ‘Abbad bersama Abu Dajanah dan Barra’ bin Malik mengerahkan mereka ke taman maut, suatu taman yang diguna­kan oleh Musailamah sebagai benteng pertahanan …dan pah­lawan besar itu pun berjuanglah sebagai layaknya seorang laki­laki, sebagai seorang Mu’min dan sebagai seorang warga Anshar ….Dan pada hari yang mulia itu, pergilah ‘Abbad menemui syahidnya          Tidak salah mimpi yang dilihat dalam tidurnya semalam Bukankah ia melihat langit terbuka, kemudian setelah ia masuk ke celahnya yang terbuka itu, tiba-tiba langit bertaut dan tertutup kembali . . . ! 

Dan mimpi itu dita’wilkannya bahwa pada pertempuran yang akan terjadi ruhnya akan naik ke haribaan Tuhan dan Penciptanya … !Sungguh, benarlah mimpi itu dan benarlah pula ta’birnya. ! 

Pintu-pintu langit telah terbuka untuk menyambut ruh ‘Abbad bin Bisyir dengan gembira, yakni seorang tokoh yang oleh Allah diberi cahaya



ABBAAD IBN BISHR  
With Him Was the Light of Allah! 

When Mus`ab Ibn `Umair went to Al-Madiinah, appointed by the Messenger of Allah (PBUH) to teach the Ansaar -  who had given their oath of allegiance to the Messenger in Islam - and to lead them in prayer, `Abbaad lbn Bishr was one of the devoted whose hearts Allah opened to good. So Mus`ab approached the assembly, and `Abbaad listened to him and stretched out his right hand to give his oath of allegiance to Islam. From that day on, he took his place among the Ansaar with whom Allah is pleased and they with Him. The Prophet (PBUH) emigrated to Al-Madiinah after the believers of Makkah had preceded him there. Then began the military campaigns in which the forces of good and light clashed with the forces of darkness and evil.

 In each of these battles, `Abbaad lbn Bishr was in the front ranks fighting heroically in the cause of Allah, completely consumed and dedicated with heart and soul in a dazzling, overwhelming way. Perhaps the event which we now narrate will disclose something of the heroism of this great believer. After the Messenger of Allah and the believers had finished the military campaign of Dhaat-Ar-Riqaa', they stopped over at a place to spend the night and the Messenger chose guards from the Companions to take turns. Among them were `Ammaar lbn Yaasir and `Abbaad lbn Bishr on one watch.  

        `Abbaad saw that his companion `Ammaar was exhausted, so he demanded that he sleep the first part of the night and he would stand guard so his companion could take some rest. He could resume guard after he awoke.  
     
   `Abbaad saw that the place around him was safe, so he thought, why not fill up his time with prayer, so that he would be rewarded both for praying and standing guard. So he stood praying. While he was standing reciting a surah from the Qur'aan after Al-Faatihah, an arrow passed through his shoulder, so he pulled it out and continued his prayer. Then the attacker shot a second arrow in the darkness of the night, so he pulled it out, also, and completed his recitation. Then he bowed and prostrated. Weakness and pain had dissipated his strength, so he extended his right hand, while prostrating, to his companion sleeping near him and continued to shake him until he woke up. Then he sat up from his prostration and recited the Tashahhud (i.e. the last part of his prayer) and completed his prayer.  
    
   `Arnmaar awoke at the weary, trembling voice of his words, "Stand guard in my place. I am wounded!" `Ammaar jumped up yelling noisily and quickly frightened away the attackers, so they ran away. Then he turned to `Abbaad and said to him, "Glory be to Allah! Why didn't you awaken me when you were first hit?"  
    
    `Abbaad replied, "In my prayer I was reciting verses from the Qur'aan that filled my soul with such awe that I didn't want to interrupt it nor cut it short. By Allah, I swear, because I did not want to lose a single word which the Messenger of Allah ordered me to preserve, I would have preferred death more than interrupting those verses which I was reciting." 

  `Abbaad was extremely devoted and strong in his love of Allah, His Messenger, and His religion, and this devotion lasted throughout his life.  
  
      Since he heard the Prophet (PBUH) saying to the Ansaar, "You are my people. You are the people who protect. There is no nation which has come like you before." ... We say, since Abbaad heard these words from his Prophet (PBUH), teacher, and guide to Allah, he spent generously of his wealth and gave his spirit and life in the way of Allah and His Messenger. In the areas of sacrifice and even death, he constantly put them first, and even in a seizure of booty and spoils of war. In places of hardship and struggle, his companions searched for him until they found him.  
  
     He was always a worshiper - worship completely absorbed him; brave - bravery and heroism engrossed him; generous generosity engaged him.  

        He was a strong believer. He pledged his life to the cause of faith.

All of this was known of him by the Companions of the Messenger. The Mother of the Faithful `Aa'ishah (May Allah be pleased with her) said: "There are three from among the Ansaar who are not surpassed in virtue by anyone: S'ad Ibn Mu'aadh, Usaid lbn Hudair and `Abbaad Ibn Bishr."  

        The first Muslims knew `Abbaad as a man in whom was light from Allah. His radiant, clear vision guided to areas of goodness and certainty without searching or difficulty.  
  
      His brothers believed in his light to the extent that they attributed to him the picture of perception and discipline. They agreed that once `Abbaad was walking in the darkness and there emanated from him a light that lit the way for him.  
     
  In the apostasy wars after the death of the Messenger (PBUH), `Abbaad carried his responsibility with incomparable death-defying courage.  

        On the battlefield of Al-Yamaamah, where the Muslims faced the most cruel and skillful army under the leadership of Musailamah, the Liar, `Abbaad perceived a danger threatening to Islam. His willingness to sacrifice and his vigor constituted sufficient importance, such that it gave him his faith and raised him to the level of his aspiration and ability to perceive danger, making him one willing to sacrifice and give up everything for his faith, not desiring anything other than death and martyrdom.  

        A day before the beginning of the Battle of Al-Yamaamah he saw in his sleep a vision that did not remain long enough to be clear:  above the land of the great destructive battle which the Muslims went through...  

       So let an honorable companion, Abu Sa'iid Al-Khudriy, tell us the story of the vision which `Abbaad saw, his explanation of it, and his amazing attitude in fighting which ended in martyrdom.  

        Abu Sa'iid reported: `Abbaad Ibn Bishr said to me, "O Abu Sa'iid, I saw last night as if the sky had opened up for me. Then it closed and covered over me. Indeed, I see it, if Allah wills, to mean martyrdom." I said to him, Good. I swear by Allah, you did indeed see it." On the Day of Al-Yamaamah, I looked at him and indeed saw him shouting to the Ansaar, "Use your swords forcefully and be distinguished among the people!" So 400 men came quickly to him, all of them from among the Ansaar people, until they stopped at the gate of the garden. They fought violently, and Abbaad Ibn Bishr was martyred. I saw on his face much beating and I did not know him except by a mark that was on his body.  

Thus was `Abbaad raised to the level of his duties as a believer from among the Ansaar. He gave the oath of allegiance to his Messenger, dedicating his life to Allah and death in His cause. When he saw the destructive battle turning in favor of the enemy, he remembered the words of the Messenger to his people, the Ansaar: "You are my people. I can not be defeated through you. There has not come and people like you before." This sound filled his heart and soul and penetrated his consciousness, until it was as if the Messenger of Allah was now standing before him repeating these words of his.  

       `Abbaad felt that the whole responsibility of the battle was placed completely on the shoulders of the Ansaar, on the shoulders of those about whom the Messenger of Allah had said, "There has not come any people like you before." And on the shoulders of no one else besides them.  

        Then and there, `Abbaad went up on a hill and shouted, "O people of the Ansaar! Carry your sword in a valiant way, and be honored and distinguished among the people!"  

       When 400 of them answered his call, he led them and Abu Dajaanah and Al-Baraa' Ibn Maalik to the garden of death, where the army of Musailamah had fortified itself for protection. The hero fought a worthy fight as a man, as a believer, and as an Ansaar.  
    
    On that glorious day, `Abbaad attained martyrdom. The vision which he saw in his dream the day before came true. Did he not see the sky open until, when he entered it from that opening, it returned and folded on him and closed?  
     
   He interpreted it as meaning that his spirit would ascend in the coming battle to its Creator. The vision was true and the interpretation of it was true. And the doors of heaven were opened to welcome to happiness the spirit of `Abbaad Ibn Bishr, the man who had with him a light from Allah.   


.¤ª"˜¨¯¨¨Abbad Bin Bisyir oo Abbaad Ibn Bishr¸,ø¨¨"ª¤. 



Categories: