acebook

.¤ª"˜¨¯¨¨Usaid Bin Hudhair oo Usaid Ibn Hudair¸,ø¨¨"ª¤.
Pahlawan hari Saqifah. 



Ia mewarisi akhlaq mulia dari nenek moyangnya turun­ temurun . . . . Ayahnya Hudlairul Kata’ib adalah seorang pe­mimpin Aus dan termasuk salah seorang bangsawan Arab di zaman jahiliyah, dan salah seorang hulubalang mereka yang perkasa . . . .seorang penyair pernah berpantun mengenai ayahnya ini:

“Andainya maut mau menghindar dari orang perkasa niscaya ia akan membiarkan Hudlair ketika ini menutupkan pintunya Ia hanya akan berkeliling, sampai malam datang menjelma Lalu mengambil tempat duduk dan berdendang dengan asyiknya”.Usaid mewarisi ketinggian martabat ayahnya; ia adalah salah seorang pemimpin Madinah dan bangsawan Arab dan pemanah pilihan yang tak banyak jumlahnya.

 Sewaktu Islam telah memilih dirinya dan ia ditunjuki ke jalan yang mulia lagi terpuji bertambah memuncaklah kemuliaannya, dan bertambah tinggi martabatnya, yakni di kala ia mengambil kedudukan menjadi salah seorang pelopor penganut Agama Islam dan pembela Allah serta pembela Rasul-Nya .. .

Sewaktu Rasulullah mengirim Mush’ab bin Umeir ke Madinah untuk mengajari orang-orang Muslimin Anshar yang telah meng­angkat bai’at kepada Nabi untuk membela Islam di Baitul Aqabah yang pertama, dan untuk menyeru orang-orang lain kepada Agama Allah .. pada waktu itu Usaid bin Hudlair dan Sa’ad bin Muadz, kedua-duanya adalah pemimpin kaum­nya  duduk merundingkan tentang perantau asing yang datang dari Mekah mengenyampingkan agama mereka serta menyeru kepada Agama baru yang belum mereka kenal ….Di majlis Mush’ab dan As’ad bin Zurarah ini, Usaid melihat banyak orang yang dengan penuh minat dan perhatian men­dengarkan kalimat-kalimat petunjuk yang mengajak mereka kepada Allah yang diserukan Mush’ab bin Umeir . . . . Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan Usaid yang melampiaskan segala kemarahan dengan berangnya …. 

Mush’ab lalu berkata: “Sudikah anda duduk mendengarkannya? Bila ada sesuatu yang menyenangkan anda, anda dapat menerimanya, dan jika anda tidak menyukainya, kami hentikan apa yang tidak anda sukai itu … !”Usaid adalah seorang yang cemerlang otaknya, tenang hati­nya, sehingga digelari oleh penduduk Madinah dengan al-Kamil, si “sempurna”...yakni gelar yang dimiliki ayahnya dulu... Maka tatkala diperhatikannya Mush’ab mengandalkan hukum logika dan akal itu, ditancapkannya tombaknya ke tanah, lalu berkata kepada Mush’ab:  ”Benar kata anda itu! Nah, cobalah anda kemukakan apa yang ada pada anda!”Mush’ab lalu membacakan ayat-ayat al-Quran dan men­jelaskan seruan Agama baru ini . . . , Agama yang haq, dan Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk menyampaikan dan mengibarkan benderanya. 

Orang-orang yang menghadiri majlis ini sama mengatakan: “Demi Allah sebelum mengucapkannya telah terlihat pada wajah Usaid sikap keislamannya …… Kita mengenalnya pada cahaya muka dan sikap lunaknya … !”Belum lagi selesai Mush’ab dengan pembicaraannya, Usaid pun berseru dengan amat terkesan: “Alangkah baiknya kata­-kata ini dan alangkah indahnya . .. ! Apa yang kalian lakukan bila kalian hendak masuk Agama ini..! Jawab Mush’ab: “Anda bersihkan badan, pakaian, dan ucapkan syahadat yang haq, kemudian anda shalat . . . !”

Sesungguhnya kepribadian Usaid, benar-benar kepribadian yang lurus, kuat dan murni, begitu ia mengenal jalannya, ia tidak ragu-ragu lagi maju melangkah menyambutnya dengan kebulatan hati …. Usaid tegak berdiri untuk menerima Agama yang telah membuka pintu hatinya dan menyinari dasar jiwanya, lalu ia mandi dan membersihkan diri, kemudian sujud kepada Allah Tuhan semesta alam, menyatakan keislamannya dan menyampaikan perpisahan kepada masa-masa kemusyrikan dan jahiliyah . . . !

Kewajiban Usaid sekarang ini ialah segera kembali kepada Sa’ad bin Mu’adz, untuk menyampaikan laporan dari tugas yang dibebankan kepadanya semula . . . yaitu untuk mengancam Mush’ab bin Umeir dan mengusirnya . . . . Dan iapun kembalilah kepada Sa’ad .. .. Belum lagi Usaid sampai ke dekat mereka, Sa’ad mengatakan kepada orang-orang sekelilingnya: “Aku ber­sumpah, sungguh Usaid telah datang sekarang ini, tetapi dengan air muka yang berlainan dari sewaktu ia pergi tadi … !” Benar . . . ia pergi dengan muka yang masam berkerut dengan rasa amarah dan permusuhan, dan kembali dengan wajah yang di­liputi rahmat dan nur, sakinah kedamaian … !

Usaid memutuskan akan mempergunakan kecerdikannya. . .la tahu benar bahwa Sa’ad bin Mu’adz sama betul dengan dirinya tentang kebersihan jiwa, kekerasan kemauan, ketenangan berfikir dan ketepatan penilaian ….  Dan ia mengetahui bahwa tak akan ada penghalang antaranya dengan Islam sesudah men­dengar sendiri apa yang telah didengarnya tadi tentang kalam Allah, yang begitu baik dibacakan dan diuraikan kepada mereka oleh utusan Rasulullah, Mush’ab bin Umeir . .  .Tetapi seandainya dikatakannya kepada Sa’ad: “Sebenarnya aku telah masuk Islam, pergilah pula kamu masuk Islam”, niscaya akan mengundang pertentangan yang menimbulkan akibat yang tidak diharapkan .. . . 

Kalau begitu, baiklah dibangkitkannya semangat keberanian Sa’ad sebagai suatu cara untuk mendorongnyapergi ke majlis Mush’ab sampai ia mendengar dan menyaksikannya sendiri . . . . Maka bagaimana jalan selanjutnya untuk mencapai ini … ?Sebagaimana telah kita sebutkan dahulu, Mush’ab menjadi tamu di rumah As’ad bin Zurarah …sedang As’ad bin Zurarah adalah anak bibi dari Sa’ad bin Mu’adz  . . . 

Maka kata Usaid kepada Sa’ad: “Sungguh, aku telah mendapat berita bahwa Bani Haritsah telah berangkat ke rumah As’ad bin Zurarah hendak membunuhnya, padahal mereka tahu bahwa ia adalah anak bibinya … !”Didorong oleh rasa amarah dan semangat pembelaan, Sa’ad bangkit langsung mengambil tombaknya dan dengan bergegas pergi ke tempat As’ad dan Mush’ab yang ketika itu sedang berkumpul bersama Kaum Muslimin lainnya . . . . 

Sewaktu ia sampai ke dekat majlis, ia tidak menemukan keributan ataupun kegaduhan, yang ada malah sakinah atau ketenangan yang meliputi seluruh jama’ah, sedang di tengah-tengah mereka berada Mush’ab bin Umeir membacakan ayat-ayat Allah dengan penuh khusyu’, sementara yang lain menyimakkannya dengan penuh perhatian . . . .Ketika itu mengertilah Sa’ad akan siasat yang telah diatur Usaid untuk menjebaknya, yaitu agar ia datang ke majlis ini dan dapat mendengarkan sendiri pembicaraan Mush’ab bin Umeir sebagai utusan Islam. Dan tidak salah firasat Usaid mengenai shahabatnya! Tak lama setelah Sa’ad mendengarkan­nya, maka dibukakan Allah lah dadanya untuk menerima Islam, dan secepat kilat iapun telah mengambil kedudukannya di barisan orang-orang beriman yang mula pertama …Dalam hati serta akal Usaid bersinar cahaya iman yang kuat …. Keimanan memberinya bekal sifat hati-hati, penyantun dan penilaian yang tepat yang menjadikannya sebagai orang kepercayaan ….

Dalam peperangan Bani Musthaliq meledaklah dendam yang terpendam di dada Abdullah bin Ubai tokoh munafiqin maka katanya kepada orang-orang sekitarnya dari penduduk Madinah: “Kalian telah menempatkan mereka di negeri kalian, dan kamu berbagi harta dengan mereka …. Ketahuilah, demi Allah, seandainya kalian tak memberikan lagi apa yang ada di tangan kalian kepada mereka niscaya mereka akan berpindah ke lain negeri, bukan negeri kalian ini! Ingat demi Allah, kalau nanti kita kembali ke Madinah, niscaya orang-orang mulia akan mengusir orang-orang yang hina dari sana . . . !”

Seorang shahabat yang mulia Zaid bin Arqam mendengar kalimat-kalimat, bahkan racun kemunafikan yang membakar ini. Karenanya menjadi kewajibannya untuk memberitahukannya kepada Rasulullah saw. 

Perasaan Rasul sangat tertusuk kebetulan Usaid menemui kalian, Nabi saw. pun bertanya kepadanya:
Belum sampaikah kepadamu apa yang diucapkan oleh shahabatmu?
Shahabat yang mana ya Rasulallah? 
Ujar Usaid.Abdullah bin Ubai.Ucapan apa yang anda dengar?
Katanya, seandainya ia kembali ke Madinah, maka yang mulia akan mengeluarkan yang hina daripadanya!Demi Allah, andalah yang akan mengeluarkannya dari Madinah insya Allah . .. ! Demi Allah dialah yang rendah, dan andalah yang mulia … !

Kemudian kata Usaid pula: “Ya Rasulallah, kasihanilah dia, demi Allah, ketika Allah membawa anda kepada kami, kaumnya sedang menyiapkan mahkota untuk ditaruh di atas kepalanya karena ia akan mereka angkat menjadi raja di kota Madinah; ia memandang Islam telah merenggut kerajaan itu dari tangannya . . . !”

Dengan daya pikir yang mendalam, sikap yang tenang dan ucapan yang jelas, Usaid senantiasa berhasil memecahkan per­soalan-persoalan dengan analisa-analisanya yang nyata, tepat dan tajam ….

Di hari Saqifah, tak lama setelah wafatnya Rasulullah saw. 

Segolongan orang Anshar yang dikepalai oleh Sa’ad bin Ubadah mengumumkan bahwa mereka lebih berhak memegang khilafah, sewaktu debat dan tukar fikiran semakin panas, maka pendirian Usaid   sebagaimana kita ketahui ia adalah seorang tokohAnshar mempunyai pengaruh besar dalam menjernihkan suasana, dan kalimat-kalimat yang diucapkannya laksana cahaya fajar di waktu subuh dalam menentukan arah ….Usaid berdiri mengucapkan pidato yang ditujukan kepada kaumnya dari golongan Anshar, katanya:  ”Tuan-tuan me­ngetahui bahwa Rasulullah saw. adalah dari golongan Muhajirin . . . ? Karenanya khalifah juga sewajarnyalah dari golongan Muhajirin! Dan sesungguhnya kita, adalah pembela Rasulullah . . . maka kewajiban kita sekarang untuk membela khalifah­nya . . . Ternyata kata-kata itu menjadi si tawar dan si dingin . . .Usaid bin Hudlair r.a. hidup sebagai seorang ahli ibadah dan yang taat, yang mengurbankan jiwa dan hartanya di jalan kebaikan dan menjadikan wasiat Rasulullah saw. terhadap orang Anshar sebagai pedoman dan sikap hidupnya:

“Shabar dan tabahlah kalian . . . . sampai kalian men­jumpai aku di telaga surga . . . . “.

Oleh karena Agama dan akhlaqnya ia dimuliakan dan dicintai Abu Bakar Shiddiq dan begitu pula la memperoleh kedudukan yang serupa di hati Amirul Mu’minin Umar dan di hati semua shahabat yang lain.Mendengar alunan suaranya bila ia sedang membaca al­Quran seolah-olah beroleh harta rampasan yang sangat digemari oleh para shahabat. Suaranya khusyu’ mempesona dan menerangi jiwa, hingga menurut Rasulullah saw. Malaikat pernah mendekati pembacanya di suatu malam khusus untuk mendengarkan­nya….Pada bulan Sya’ban tahun 20 Hijriah, berpulanglah Usaid . . . .

 Amirul Mu’minin tidak mau ketinggalan turut serta memikul sendiri jenazahnya di atas bahunyadalam mengantarkan ke makamnya. Di bawah tanah Baqi’, di sanalah para shahabat menyimpan tubuh seorang Mu’min besar. 

Mereka kembali ke kota dengan mengenangkan jasa-jasanya sambil mengulang ­ulang sabda Rasul yang mulia tentang dirinya:
 “Sebaik-baik laki-laki, Usaid bin Hudlair …

(39)  
USAID IBN HUDAIR  
The Hero of the Day of As-Saqiifah 
        He inherited noble characteristics, handed down from father to son. His father, Hudair Al-Kataaib, was a leader of Al-Aws and one of the great nobles and strong fighters of the Arabs in the pre Islamic era.  

       Usaid inherited from his father his status, courage, and hospitality. Before becoming a Muslim, he was one of Al-Madiinah's leaders, a noble of the Arabs, and one of their excellent spearmen.  

        When Islam attracted him and he was guided to the Way of the Almighty, Worthy of All Praise, he was best honored when he took his place as one of Allah and His Messenger's Ansaar and one of the foremost believers in the great religion of Islam.  

        He embraced Islam quickly, decisively, and honorably. The Messenger (PBUH) sent Mus'ab Ibn `Umair to Al-Madiinah to teach and instruct the Muslim Ansaar who had given their allegiance to the Prophet (PBUH) in the First Pledge of `Aqabah and to call others to Allah's religion.  

        On that day Usaid lbn Hudair and Sa'd Ibn Mu'aadh, who were leaders of their people, were discussing this stranger who had come from Makkah to denounce their religion and call to a new one unknown to them. Sa'd said to Usaid, `Go directly to this man and deter him."  
    
    So Usaid carried his spear and hurried to Mus`ab while he was a guest of As'ad Ibn Zuraarah, one of the leaders of Al Madiinah who was among the early believers in Islam. And there, where Mus`ab and As'ad Ibn Zuraarah were sitting, Usaid saw a crowd of people listening carefully to the rational words with which Mus`ab Ibn `Umair was calling them to Allah. Usaid surprised them with his anger and outburst. Mus`ab said to him, "Won't you sit down and listen? If our matter pleases you, accept it, and if you hate it, we'll stop calling you to what you hate."  

       Usaid was an enlightened and intelligent man whom the people of Al-Madiinah called "Al Kaamil" (The Perfect), a nickname that his father used to bear before him. So, when he found Mus`ab appealing to logic and reason, he stuck his spear in the ground and said to him, "You're right, tell me what you have."  

       Mus`ab started reciting the Holy Qur'aan to him and explaining to him the call of the new religion, the true religion whose standard Muhammad (PBUH) was ordered to spread. Those who attended this assembly said, "By Allah, we saw Islam in Usaid's face before he spoke. We knew it because of his brilliance and easiness."  

       No sooner did Mus`ab finish his words than Usaid was overwhelmed and he shouted, "How good these words are! What do you do if you want to embrace this religion?" Mus`ab said, "Purify your body and clothes, and bear true witness, then pray."  

       Usaid's character was straight, strong, and clear. He would not hesitate a second in face of strong opposition, if he knew his own way.  

        So Usaid got up quickly to welcome the new religion which was penetrating his heart and overwhelming his soul. He washed, purified himself, and prostrated to Allah the Lord of the Worlds in worship, announcing his embracement of Islam and abandonment of paganism.  

        Usaid had to go back to Sa'd Ibn Mu'aadh to give him the news of the task which had been assigned to him to deter and expel Mus`ab Ibn `Umair. He went back to Sa'd, but as he approached Sa'd said to those around him, "Usaid's face is changed. I swear it." Yes. He went with a challenging, angry face and came back with a face full of mercy and light.  Usaid decided to use his intelligence. He knew that Sa'd Ibn Mu'aadh was well known for his pure nature and keen determination. He knew that Islam was not far from him. He only needed to hear what he himself had heard of Allah's word, which the Messenger's envoy to them, Mus'ab lbn Umair, was good at reciting and explaining. But if he said to Sa'd, I've embraced Islam; go and embrace it, the outcome would not have been ensured. He had to prompt Sa'd in a way that would push him to Mus`ab's gathering in order to see and listen. How could he do this?  

       As we said before, Mus'ab was a guest at As'ad Ibn Zuraarah's house. As'ad Ibn Zuraarah was Sa'd lbn Mu'aadh's cousin. So Usaid said to Sa'd, "I was told that the Haarithah tribe went out to kill As'ad Ibn Zuraarah and they know he is your cousin."  

       Angry and heated, Sa'd took his spear and ran fast to where Sa'd, Mus`ab, and the Muslims with them were sitting. When he came near the gathering, he found nothing but quiet overwhelming them while Mus`ab Ibn `Umair sat in the middle of them reciting Allah's verses humbly, and they carefully listened to him.  

       Just then he realized the trick that Usaid had played on him to make him go to this gathering and listen to what the envoy of Islam, Mus`ab Ibn `Umair was saying. So, Usaid's insight into his friend's character proved to be accurate.  

        Sa'd had hardly heard the Qur'aan when Allah opened his heart to Islam, and soon he took his place among the first believers.  

       Usaid bore a strong, bright belief in his heart and mind, and his belief made him full of patience discernment, and sound appraisal that made him a trustworthy man.  

        During the expedition against Bani Al-Mustaliq, Abd Allah Ibn Ubaiy was so furious that he said to the people of Al-Madiinah around him, "You've let them enter your town and share your money. By Allah, if you cease giving them what you have, they'll turn to another place. By Allah, if we return to Al- Madiinah, indeed the more honorable will expel the meaner from there."  

        The venerable Companion, Zaid Ibn Arqam heard these poisoned hypocritical words, so he had to inform the Messenger of Allah (PBUH). The Messenger (PBUH) was much hurt. When he met Usaid he said, "Don't you know what your friend has said?" Usaid asked, "Which friend, O Messenger of Allah?" The Messenger of Allah (PBUH) answered, "`Abd Allah Ibn Ubaiy." Usaid said, "What did he say?" The Messenger said, "He claimed that if he returned to Al-Madiinah, the more honorable will expel the meaner from there." Then Usaid said, "By Allah, you, O Messenger of Allah, will expel him from there, by Allah's permission. By Allah, he is the meaner and you are the more honorable."  

       He added, "O Messenger of Allah, treat him gently. By Allah, Allah brought you to us while the people of Abd Allah were preparing to crown him king of Al-Madiinah. He sees that Islam has deprived him of kingship."  

       With this calm, profound thinking, Usaid used to solve problems using his presence of mind.  

        On the Day of As-Saqiifah, just after the death of the Messenger of Allah (PBUH), a group of the Ansaar headed by Sa'd Ibn `Ubaadah announced their right to succession and debated furiously. Usaid, who was a prominent Ansaar, as we know, took a positive attitude in settling the matter and his words were like the dispelling of shadows on the course of events. He stood to address the group of Ansaar:  "You know that the Messenger of Allah (PBUH) was one of the Muhaajiruun. His successor, then, should be one of the Muhaajiruun. We used to be the Ansaar of the Messenger of Allah. Today we have to be the Ansaar of his successor."  And his words brought peace and safety.  Usaid Ibn Hudair (May Allah be pleased with him) spent his life as a humble worshipper, sacrificing his energy and money in the cause of goodness, and putting the advice of the Messenger of Allah (PBUH) to the Ansaars in his mind: "!Be patient until you meet me in the realm of Paradise.!"  

       He was the object of honor and love by As-Siddiiq because of his religiosity and noble manners. He also had the same status in the heart of the Commander of the Faithful `Umar and in the hearts of all the Companions.  

       Listening to his voice while reciting Qur'aan was one of the greatest honors that the Companions aspired to. His voice was so humble and resonant that the Messenger (PBUH) said about it that the angels came near its possessor one night to hear it. 

        In the month of Shaaban A.H. 20, Usaid died. The Commander of the Faithful `Umar insisted on carrying his bier on his shoulders. Under the earth of Al-Baqii', the Companions buried the body of a great believer. They went back to Al-Madiinah remembering his virtues and repeating the noble Messenger's words about him:
"What an excellent man Usaid Ibn Hudair is!"



.¤ª"˜¨¯¨¨Usaid Bin Hudhair oo Usaid Ibn Hudair¸,ø¨¨"ª¤.




Categories: