acebook



.¤ª"˜¨¯¨¨Usamah Bin Zaid oUsaamah Ibn Zaid¸,ø¨¨"ª¤. 
Kesayangan, putera dari kesayangan. 


Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab r.a. sedang duduk membagi-bagikan uang perbendaharaan negara kepada Kaum Muslimin. Ketika datang giliran Abdullah bin Umar, khalifah pun memberikan bagiannya. 

Dan tatkala tiba giliran Usamah bin Zaid, Umar memberinya bagian dua kali lipat dari bagian puteranya Abdullah ….Karena biasanya Umar mengeluarkan pemberian kepada orang-orang itu sesuai dengan kelebihan dan jasa mereka terhadap Islam, maka Abdullah khawatir kalau-kalau kedudukannya dalam Islam itu berada pada urutan terakhir padahal ia amat mengharapkan agar dengan ketaatan dan perjuangannya, dengan sifat zuhud dan keshalehannya, ia akan tercatat di sisi Allah sebagai salah seorang dari angkatan pelopor dan barisan depanOleh sebab itulah ia menanyakan kepada bapaknya, kata­nya:“‘Kenapa ayahanda lebih mengutamakan Usamah dari anakanda, padahal anakanda mengikuti Rasulullah, dalam peperangan yang tidak diikutinya?”

Ujar Umar: “Usamah lebih di­cintai Rasulullah daripadamu . . . , sebagaimana ayahnya lebih disayanginya daripada ayahmu … !”Nah, siapakah dia orang ini, yang derajat kesayangan Rasul­ullah kepadanya dan kepada bapaknya, lebih tinggi dari kepada Abdullah bin Umar, bahkan dari kepada Umar sendiri … ?

Itulah dia Usamah bin Zaid … ! Dan para shahabat meng­gelarinya
“Kesayangan, putera dari kesayangan “.

 Bapaknya yang bernama Zaid bin Haritsah adalah pelayan Rasulullah yang lebih mengutamakannya dari ibu bapak dan kaum keluarganya, dan yang oleh Rasulullah dihadapkannya kepada serombongan shahabatnya, seraya katanya: “Saya persaksikan kepada kamu sekalian bahwa Zaid ini adalah puteraku, yang akan menjadi ahli warisku dan aku akan menjadi ahli warisnya . . . !” Maka terkenallah namanya di kalangan Kaum Muslimin sebagai Zaid bin Muhammad saw., sampai saat dihapusnya kebiasaan meng­ambil anak angkat itu oleh al-Quranul Karim.Maka Usamah ini adalah puteranya. Sedang ibunya yaitu Ummu Aiman, bekas sahaya Rasulullah dan pengasuhnya. Mengenai rupa dan bentuk lahirnya, tidak disiapkan untuk sesuatu keahlian, walau pekerjaan apa pun. Sebagaimana dilukis­kan oleh para sejarawan dan ahli-ahli riwayat, kulitnya hitam dan hidungnya pesek.Memang, dengan dua kata ini Saja tak perlu lebih, sejarah telah menyimpulkan pembicaraan tentang bentuk Usamah …. Tetapi, sedari kapan Islam mementingkan rupa dan bentuk lahir dari manusia . . . ? 

Kapankah, padahal Rasulnya sendiri telah rnengatakan’‘Ingatlah! Berapa banyahnya orang yang berambut kusut masai, dengan tubuh penuh debu dan pakaian yang telah usang dan lapuk hingga tak diacuhkan orang, tetapi bila ia memohon kepada Allah pasti akan dikabulkan permohonannya itu … !” (al-Hadits)Jadi kalau begitu, tidak perlu kita bicarakan mengenai bentuk lahir dari Usamah! Kita tinggalkan kulitnya yang hitam dan hidungnya yang pesek, karena dalam neraca Agama Islam, semua itu tak ada nilai dan pengaruhnya.Dan marilah kita lihat sampai di mana partisipasi dalam perjuangannya dan betapa semangat berqurbannya! Bagaimana kesederhanaannya . . . ., keteguhan pendirian, ketaatan dan keshalehan, kebesaran jiwa serta kesempurnaan peri hidupnya! 

Dalam semua itu ia telah mencapai batas yang memung­kinkannya untuk menerima limpahan kecintaan dan penghargaan Rasulullah saw. sebagai sabdanya:“Sungguh, Usamah bin Zaid adalah manusia yang paling kusayangi, dan aku berharap kiranya ia ahan termasuk orang-orang shaleh di antara kalian dan terimalah nasihatnya yang baik(al-Hadits)Usamah r.a. memiliki semua sifat utama yang menyebabkan dirinya dekat ke hati Rasulullah dan besar dalam pandangan mata Rasul. la adalah putera dari sepasang suami isteri Islam yang mulia dan termasuk rombongan pertama yang masuk Islam, dan paling dekat serta paling cinta kepada Rasulullah. la juga termasuk di antara putera-putera Islam yang murni yang dilahirkan dalam keislaman dan disusukan dari sumbernya yang bersih tanpa dikotori oleh debu jahiliyah yang gelap gulita ….

Dan walaupun usianya masih muda belia, tetapi ia r.a. telah menjadi seorang Mu’min yang tangguh dan Muslim yang kuat, yang siap sedia memikul tanggung jawab keimanan dan Agama­nya dengan kecintaan yang mendalam dan kemauan membaja. Kemudian ia adalah seorang yang amat cerdas dan kelewat rendah hati, serta mati-matian tak kenal batas berjuang di jalan Allah dan Rasul-Nya.Di samping itu, dalam Agama baru ini ia merupakan kelinci percobaan terhadap perbedaan warna kulit yang sengaja hendak dihapus dan dilenyapkan oleh Agama Islam.Maka si hitam pesek ini telah merebut kedudukan tinggi di hati Nabi dan barisan Kaum Muslimin karena Agama yang telah dipilih Allah bagi hamba-hamba-Nya telah menetapkanukuran yang sah bagi ketinggian manusia itu dengan firman Allah

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah, ialah yang paling taqwa! ” (Q S. 49 al-Hujurat: 13)

Demikiaialah ketika Rasulullah saw. memasuki kota Mekah di hari pembebasan yang terkenal itu, kita lihat sebagai pen­dampingnya ialah Usamah bin Zaid. Kemudian kita lihat pula beliau memasuki Ka’bah di saat-saat yang paling mengharukan dan penuh kenangan itu,beliau diapit di sebelah kanan oleh Bilal dan di sebelah kiri oleh Usamah,dua lelaki yang tubuh mereka dibungkus oleh kulit yang hitam pekat, tetapi kalimat­-kalimat Allah yang memenuhi rongga dada mereka yang luas dan suci telah menyepuh kulit mereka itu dengan warna yang gemilang, melambangkan kemuliaan dan ketinggian ….Dalam usianya yang masih remaja, belum lagi lebih 20 tahun, ia telah diangkat oleh Rasulullah sebagai panglima dari suatu tentara yang di antara prajurit-prajuritnya terdapat Abu Bakar dan Umar . . . !

 Di kalangan sebagian Kaum Muslimin tersinar desas-desus keberatan mereka terhadap putusan ini! Mereka menganggap tidak pada tempatnya mengangkat seorang pemuda yang masih hijau seperti Usamah bin Zaid untuk memimpin suatu pasukan tentara yang di dalamnya terdapat tokoh-tokoh Muhajirin dan pemuka-pemuka Anshar ….Bisik-bisik ini sampai ke telinga Rasulullah saw. beliau naik ke atas mimbar, lalu menyampaikan puji dan syukur kepada Allah, kemudian sabdanya:“Sebagian orang mengecam pengangkatan Usamah bin Zaid sebagai panglima . . . ! 

Sebelum ini mereka juga telah mengecam pengangkatan bapaknya . . . !

Walau bapaknya itu layak untuk menjadi panglima! Dan Usamah pun layak untuk jabatan itu!Ia adalah yang paling saya kasihi setelah bapaknya . . . ! Dan saya berharap kiranya ia termasuk salah seorang utama di antara kalian … !

Maka bantulah ia dengan memberikan nasihat yang baik …Sebelum tentara itu bergerak menuju tujuannya, Rasulullah saw. pun wafat. Tetapi ia telah meninggalkan pesan yang ber­hikmat kepada para shahabatnya; “Laksanakanlah pengiriman Usamah … ! Teruskan pemberangkatannya … !” Wasiat ini dijunjung tinggi oleh khalifah Abu Bakar. Dan walaupun suasana sepeninggal Rasulullah itu telah berubah, tetapi Abu Bakar Shiddiq bersikeras hendak melaksanakan wasiat dan perintahnya. Maka bergeraklah tentara Usamah ke Lempat yang telah ditetapkan, yakni setelah khalifah meminta izin kepadanya agar Umar dibolehkan tinggal di Madinah untuk rnendampinginya.

Maka tatkala kaisar Romawi Heraklius mendengar berita tentang wafatnya Rasulullah, pada waktu yang bersamaan di­terimanya pula berita kedatangan tentara Islam menyerang perbatasan Syria di bawah pimpinan Usamah bin Zaid. Ia pun merasa heran terhadap kekuatan Kaum Muslimin karena wafat­nya Rasulullah sedikit pun tidak mempengaruhi rencana dan kemampuan mereka!Demikianlah pihak Romawi merasa kecut, dan mereka tidak berani lagi mengambil langkah selanjutnya untuk menyerang tanah air Islam di jazirah Arab!Dan mengenai pasukan Usamah, ia kembali tanpa meninggal­kan qurban, hingga orang-orang Islam saling berkata: “Tidak pernah kita lihat, pasukan yang lebih aman dari pasukan Usamah’.. . ! “

Pada suatu hari, Usamah menerima pelajaran dari Rasulullah,suatu pelajaran yang amat dalam, yakni pelajaran yang akan menjadi pedoman bagi Usamah sepanjang hayatnya, semenjak ia ditinggalkan oleh Rasulullah sampai ia menyusul pula ke sisi Tuhannya di akhir masa pemerintahan Mu’awiyah.Dua tahun sebelum beliau wafat, Rasulullah saw. mengirim Usamah sebagai komandan dari suatu pasukan untuk meng­hadapi sebagian orang-orang musyrik yang menentang Islam dan menyerang Kaum Muslimin. Peristiwa itu merupakan pengangkatan pertama sebagai Amir atau panglima yang dialami oleh Usamah.Dalam tugas ini Usamah berhasil mencapai kemenangan, dan beritanya telah lebih dulu diterima Rasulullah, menyebab­kan beliau gembira dan berbahagia.

 Dan marilah kita dengar cerita Usamah memaparkan peristiwa itu selanjutnya: “Setiba saya dari medan laga, segera saya menghadap Nabi saw. dan sementara itu berita kemenangan telah sampai ke telinga beliau saya dapati wajahnya berseri-seri . . . , lalu disuruhnya saya mendekat, kemudian katanya: “Cobalah ceritakan kepada­ku… ! “Lalu saya ceritakan kepadanya . . . . Saya katakan bahwa tatkala orang-orangitu mengalami kekalahan, saya menemui seorang laki-laki dan kepadanya saya acungkan tombak. la mengucapkan La ilaha illallah, maka saya tusuk ia hingga tewas.

Wajah Rasulullah tiba-tiba berubah, ujarnya: “Keparat kamu, hai Usamah . . . ! Betapa tindakanmu terhadap orang yang mengucapkan La ilaha illallah?Keparat kamu, hai Usamah . . . ! Betapa perlakuanmu ter­hadap orang yang mengucapkan La ilaha illallah?” Rasulullah selalu mengulang-ulangi ucapannya itu kepada saya hingga ingin saya rasanya mengakhiri semua perbuatan yang telah saya kerjakan, lalu mulai saat itu menghadapi Islam dengan halaman baru! Maka demi Allah! Tidak . .. ! 

Saya takkan membunuh lagi seorang yang mengucapkan La ilaha illallah, setelah men­dengar kata-kata penyalahan dari Rasulullah saw. itu . . . !”Inilah dia pelajaran utama yang memberi pengarahan kepada kehidupan Usamah,kekasih putera kekasih, semenjak ia men­dengarnya dari Rasulullah sampai ia berpisah dari dunia dalam keadaan ridla dan diridlai ….Sungguh, suatu pelajaran yang dalam! Pelajaran yang meng­ungkapkan kemanusiaan Rasulullah, keadilan dan keluhuran prinsipnya, ketinggian Agama dan akhlaqnya! Laki-laki yang kematiannya disesalkan oleh Nabi ini, dan Usamah mendapat dampratan daripadanya karena membunuhnya, adalah seorang musyrik pemanggul senjata. 

Tatkala ia menyebut La ilaha illallah itu hulu pedang sedang tergenggam di tangan kanannya, sementara pada matanya masih berlekatan irisan-irisan daging yang direnggutkannya dari tubuh Kaum Muslimin. Kalimat itu diucapkannya ialah agar ia selamat dari pukulan yang mematikan, atau sebagai siasat agar ia memperoleh kesempatan untuk menciptakan suasana baru, hingga ia dapat melanjutkan peperangan kembali.Meskipun demikian, karena lidahnya telah bergerak dan mulutnya telah mengucapkannya, maka karena itu, dan pada waktu itu juga darahnya menjadi suci dan keselamatannya serta nyawanya jadi terjamin. Tidak peduli bagaimana niat, isi hati dan tujuannya yang sebenarnya … ! Pelajaran ini diperhatikan oleh Usamah sampai titik terakhir ….Nah, bila orang dalam keadaan seperti demikian, dilarang Rasulullah membunuhnya hanya karena ia membaca La illaha illallah, bagaimana terhadap orang-orang yang betul-betul beriman dan betul-betul beragama Islam … ?

Demikianlah kita lihat ketika terjadi keributan besar antara Imam Ali dan anak buahnya di satu pihak, dengan Mu’awiyah serta pengikut-pengikutnya di lain pihak, Usamah mengambil sikap tidak memihak secara mutlak. Sebenarnya ia amat men­cintai Ali, dan berpendapat bahwa Ali di pihak yang benar . . .  Tetapi betapapun ia tidak berani membunuh dengan pedangnya seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan kepada Rasul­Nya, padahal la telah dicela oleh Rasulullah karena membunuh seorang musyrik yang memanggul senjata yang di saat kalah dan lari sempat membaca La ilaha illallah … ?Ketika itu dikirimnyalah sepucuk surat kepada Imam Ali, yang di antara suratnya itu berisi sebagai berikut:  ”Seandainya anda berada di mulut singa sekalipun, saya bersedia untuk masuk bersama anda ke dalamnya … !

 Tetapi mengenai urusan ini sekali-kali tak masuk dalam pikiranku … !”Maka selama perselisihan dan peperangan itu ia tetap berada di rumahnya dan tidak hendak meninggalkannya. Dan tatkala datang beberapa orang shahabatnya membicarakan pendiriannya, katanya kepada mereka: — “Saya tak hendak memerangi orang yang mengucapkan La ilaha illallah untuk selama-lamanya … !”Salah seorang di antara mereka mendebatnya, katanya: “Bukankah Allah berfirman: “Dan perangilah mereka hingga tak ada lagi fitnah, dan Agama seluruhnya menjadi milik Allah?”

 Jawab Usamah: — “Itu terhadap orang-orang musyrik dan kita telah memerangi mereka hingga fitnah menjadi lenyap dan agama seluruhnya menjadi milik Allah … !”

Pada tahun 54 Hijrah, hati Usamah sudah amat rindu sekali hendak berjumpa dengan Allah, hingga ruhnya telah resah gelisah dalam rongga dadanya, ingin hendak kembali ke tempat asalnya ….Maka terbukalah pintu-pintu surga, untuk menyambut ke­pulangan salah seorang yang gemar beramal baik dan ber­taqwa….


(47)  
USAAMAH IBN ZAID  
The Beloved Son of the Beloved 

        Umar Ibn Al-Khattaab, Commander of the Faithful, sat down to distribute money from the treasury among the Muslims.  

        It was `Abd Allah Ibn `Umar's turn, and `Umar gave him his share. Then it was the turn of Usaamah Ibn Zaid. `Umar gave him double of what he gave his son `Abd Allah. As `Umar gave people according to their merit and endeavor, `Abd Allah Ibn `Umar was afraid that his position was not as highly acknowledged as he desired, to be one of the closest to Allah through his obedience, endeavor, piety, and asceticism.  

       Therefore, he asked his father, "You preferred Usaamah, although I experienced with the Messenger of Allah what he did not." Umar answered, "Usaamah was more beloved by the Prophet (PBUH) than you were, and his father was more beloved by the Prophet (PBUH) than your father was.  
   
    Who was it, together with his father that was so close to the Prophet's heart and love? It was a high position which Ibn `Umar did not reach, nor did his father, `Umar himself.  

        Who was it? It was Usaamah Ibn Zaid who has been called among the Prophet's Companions "The Beloved Son of the Beloved".  
   
   His father was Zaid Ibn Haarithah the Prophet's servant, who preferred the Prophet (PBUH) over own his father, mother and kin. He was with him when the Prophet (PBUH) stood in front of a large group of Companions saying, "I let you bear witness that Zaid is my son, inheriting from me and I inheriting from him."  

        His name remained Zaid Ibn Muhammad until the practice of child adoption was abolished by the Qur'aan. Usaamah is his son. His mother was Umm Aiman, the Prophet's servant and nurse maid. Usaamah's physical appearance made him appear a good for- nothing. Historians and narrators described him as being dark- skinned and snub-nosed. By these two words, not more, did history summarize Usaamah's physical appearance.  

        However, since when did Islam ever care about a person's physical characteristics? Was it not the Prophet (PBUH) who said, "Maybe a Muslim's hair is unkempt and his feet covered with dust and his clothes are not neat, but, if he swore by Allah he would fulfill his oath?"  

        Therefore, let us set his appearance aside. Leave his dark skin and snub nose alone; nothing of that sort has weight in Islam. Let us instead take stock of his loyalty. How was his devotion? How was his virtue? How was his honesty? How was his piety? How great was his soul? on account of the qualities of his soul, he reached a worthiness that made him eligible to receive the Prophet's infinite love and acknowledgment: "Usaamah Ibn Zaid is the most beloved to me and I wish him to be one of the virtuous. I recommend you to treat him well."  
     
  Usaamah (May Allah be pleased with him) had all the great characteristics which enabled him to be so close to the Prophet's heart and beloved in his eyes. He was the son of two generous Muslims belonging to the first converts to Islam who, at the same time, were the closest and most loyal to the Messenger of Allah (PBUH).  

       As one of the true sons of Islam, he was nurtured from his first days by Islam's pure nature without experiencing the murkiness of the pagan period.  

 Despite his young and tender age, he was a firm believer and a staunch Muslim fulfilling all the duties of his faith with deep loyalty and an unbreakable will. With great intellect and humility, limits to his devotion to Allah and His Prophet (PBUH) could not found. Furthermore, he represented the victims of all kinds of discrimination who were saved by Islam. How could this dark- skinned, snub-nosed fellow attract the heart of the Prophet (PBUH) and Muslims to such an elevated rank! This could only be possible when Islam corrected human norms and values dealing with discrimination against people: " Surely the most honourable of you in the sight of Allah is the most pious of you" (49-13).  

        On the day of the Conquest of Makkah, the Prophet's Companion who was riding behind him on horseback was that dark- skinned, snub-nosed Usaamah Ibn Zaid. Among the most victorious days of Islam was the day of the Conquest of Makkah. On that day, on the Prophet's right and left were Bilaal and Usaamah, two dark-skinned men; however Allah's word which they carried in their pure, virtuous hearts made them deserving of all kinds of merit and elevated position.  
    
    Usaamah had not yet reached the age of 20 when the Prophet (PBUH) ordered him to be head of an army which had among its soldiers Abu Bakr and `Umar. A growl spread around among a group of Muslims who were distressed by this matter and who found it too much for a youth such as Usaamah Ibn Zaid to command an army which included a large number of Muhaajiruun and elderly Ansaar.

Their whispers reached the Messenger of Allah (PBUH), so he ascended the pulpit, thanked and praised Allah and then said, "Some people criticized Usaamah's army command; they criticized his father's command before him. His father deserved to be the commander as well as Usaamah. He is the most beloved to me next to his father, and I hope he is among the virtuous ones. I request you to treat him well."  

       The Prophet (PBUH) died before the army set off towards its destination; however the Prophet had left his wise testament to his Companions: "Fulfill Usaamah's commission. Fulfill Usaamah's commission."  
    
   Despite the new circumstances created by the Prophet's death, Abu Bakr As-siddiiq, the first caliph, insisted upon fulfilling the Prophet's testament. Usaamah's army set off to its destination; the caliph only requested Usaamah to allow `Umar to stay behind to be with him in Al-Madiinah.  

        At the same time, the Roman (Byzantine) emperor heard the news of the Prophet's death and that an army headed by Usaamah Ibn Zaid was attacking the borders of Syria. He could not hide his astonishment and wonder about the strength of the Muslims, whose plans and potential were not affected by the Prophet's death. Consequently, the Romans abstained from utilizing the Syrian borders as a leaping point upon Islam's center in the Arabian Peninsula, and thereby their power began to shrink.  

        Usaamah's army returned safely without any causalities so that the Muslims said, "We've never seen a safer army than Usaamah's."  

       It was by the Prophet (PBUH) himself that Usaamah had been taught the lesson of his life, a very wise lesson. Usaamah lived according to its wisdom from the Prophet's death until he himself left our world during the latter phase of Mu'aawiyah's caliphate.  

        Two years before the Prophet's death, Usaamah was sent by the Prophet (PBUH) to lead a detachment which was meeting some polytheists attacking Islam and its followers. It was the first time for Usaamah to be appointed head of a detachment. He accomplished his duty successfully and victoriously. News of his victory preceded his arrival and the Prophet (PBUH) was indeed glad.  

        Let us leave the rest of the story to be narrated by Usaamah himself: When I reached the Prophet (PBUH) the proclamation of good news had already reached him. The Prophet's face beamed jubilantly. He asked me to sit closer to him and said, "Tell me." I went on telling and narrating. I mentioned to him that at one point the polytheists were defeated and I could reach a man, at whom I pointed my spear. The man said, "There is no god but Allah. Nevertheless I pierced and killed him with my lance. The Prophet's attitude changed. He said, "Woe unto you! How dare you do that when he said, There is no god but Allah. Woe unto you! How dare you do that when he said, There is no god but Allah." He continued saying that to such an extent that I wished to rid myself of all my deeds and embrace Islam afresh on that day. No, by Allah, I will never fight anyone saying, There is no god but Allah, after what I have heard from the Prophet (PBUH).  

        Usaamah was guided by the wisdom of this lesson throughout his life. 

        What a wise lesson! A lesson revealing the Prophet's humanity, his justice, the eminence of his principles, the greatness of his faith and manners. Despite the fact that if was a polytheist warrior who had been killed by Usaamah, the killing was much regretted by the Prophet (PBUH).  

        At the same moment this warrior said, "There is no god but Allah," he was holding a sword in his right hand, a sword upon which pieces of Muslim flesh were still hanging. He said it to save his soul or to give himself another chance to change his direction or resume fighting.  
     
   Nevertheless, because he said it, his blood became inviolate and his life secure and safe at the same moment and for the same reason, whatever his intention or his inward desire may have been. Usaamah understood the lesson fully. If the Prophet (PBUH) forbids the killing of a man in such a situation for the reason that he said, "There is no god but Allah," what about the true believers and true Muslims? Therefore, Usaamah held a neutral position during the period of the civil strife between Imam `Aliy with his followers on one hand and Mu'aawiyah on the other.  
      
 He loved `Aliy very much and could see the truth on his side. But after having been blamed by the Prophet (PBUH) for the murder of a polytheist who said, "There is no god but Allah," how could he ever kill a Muslim believing in Allah and His Prophets? Therefore, he sent a message to `Aliy saying, "If you were in a lion's jaw, I would love to enter it with you. But I've never seen a situation like this before."    He kept within doors during the whole period of the fighting and war. When some of his companions came to argue with him over his decision, he simply said, "I will never fight anyone saying, There is no god but Allah."  

        Once, one cited' him the verse "And continue fighting them until there is no more persecution and GOD's Religion prevails"  (2:193). 

He replied, " Those are the polytheists and we fought them until there wasn't any persecution and Allah's religion prevailed."
  
        In A.H. 54 Usaamah longed to meet with Allah. on that day the gates of Paradise opened to receive one of the most reverent and pious believers.


.¤ª"˜¨¯¨¨Usamah Bin Zaid oUsaamah Ibn Zaid¸,ø¨¨"ª¤. 




Categories: