acebook


awww.. please forgive her mother... :"/




heyyy...?





.¤ª"˜¨¯¨¨Abu Sufyan Bin Harits oAbu Sufyaan Ibn Al-Haarith¸,ø¨¨"ª¤. 
Habis gelap terbitlah terang. 


Ia adalah Abu Sufyan bin Harits, dan bukan Abu Sufyan bin Harb ayah Mu’awiyah. 

Kisahnya merupakan kisah kebenaran setelah kesesatan, sayang setelah benci dan bahagia setelah celaka …. Yaitu kisah tentang rahmat Allah yang pintu-pintu­nya terbuka lebar, demi seorang hamba menjatuhkan diri di haribaan-Nya, setelah penderitaan yang berlarut-larut … !Bayangkan, waktu tidak kurang dari 20 tahun yang dilalui Ibnul Harits dalam kesesatan memusuhi dan memerangi Islam ! 

Waktu 20 tahun, yakni semenjak dibangkitkan-Nya Nabi saw. sampai dekat hari pembebasan Mekah yang terkenal itu. Selama itu Abu Sufyan menjadi tulang punggung Quraisy dan sekutu-sekutunya, menggubah syair-syair untuk menjelekkan serta menjatuhkan Nabi, juga selalu mengambil bagian dalam peperangan yang dilancarkan terhadap Islam.Saudaranya ada tiga orang, yaitu Naufal, Rabi’ah dan Ab­dullah, semuanya telah lebih dulu masuk Islam. Dan Abu Sufyan ini adalah saudara sepupu Nabi, yaitu putera dari parnannya,. Harits bin Abdul Mutthalib. Di samping itu ia juga saudara sesusu dari Nabi karena selama beberapa hari disusukan oleh ibu susu Nabi, Halimatus Sa’diyah.

Pada suatu hari nasib mujurnya membawanya kepada per­untungan membahagiakan. Dipanggilnya puteranya Ja’far dan dikatakannya kepada keluarganya bahwa mereka akan bepergian. Dan waktu ditanyakan ke mana tujuannya, jawabnya, ialah:“Kepada Rasulullah, untuk menyerahkan diri bersama beliau kepada Allah Robbul’alamin … !”Demikianlah ia melakukan perjalanan dengan mengendarai kuda, dibawa oleh hati yang insaf dan sadar ….Di Abwa’ kelihatan olehnya barisan depan dari suatu pasukan besar. 

Maklumlah ia bahwa itu adalah tentara Islam yang menuju Mekah dengan maksud hendak membebaskannya. la bingung memikirkan apa yang hendak dilakukannya. Disebabkan sekian lamanya ia menghunus pedang memerangi Islam dan mengguna­kan lisannya untuk menjatuhkannya, mungkin Rasulullah telah menghalalkan darahnya, hingga ia bila tertangkap oleh salah seorang Muslimin, ia langsung akan menerima hukuman qiahas.

 Maka ia harus mencari akal bagaimana caranya lebih dulu menemui Nabi sebelum iatuh ke tangan orang lain.Abu Sufyan pun menyamar dan menyembunyikan identitas dirinya. Dengan memegang tangan puteranya Ja’far, ia berjalan kaki beberapa jauhnya, hingga akhirnya tampaklah olehnya Rasulullah bersama serombongan shahabat, maka ia menyingkir sampai rombongan itu berhenti. Tiba-tiba sambil membuka tutup mukanya, Abu Sufyan menjatuhkan dirinya di hadapan Rasulullah. Beliau memalingkan muka dari padanya, maka Abu Sufyan mendatanginya dari arah lain, tetapi Rasulullah masih menghindarkan diri daripadanya.

Dengan serempak Abu Sufyan bersama puteranya berseru: 
“Asyhadu alla ilaha illallah. Wa-asyhadu anna Mu.hammadar Rasulullah . . . . “. 

Lalu ia menghampiri Nabi saw. seraya kata­nya: “Tiada dendam dan tiada penyesalan, wahai Rasulullah”. Rasulullah pun menjawab: “Tiada dendam dan tiada penyesalan, wahai Abu Sufyan!” Kemudian Nabi menyerahkannya kepada Ali bin Abi Thalib, katanya:  ”Ajarkanlah kepada saudara sepupumu ini cara berwudlu dan sunnah, kemudian bawa lagi ke sini”.Ali membawanya pergi, dan kemudian kembali. Maka kata Rasulullah: “Umumkanlah kepada orang-orang bahwa Rasulullah telah ridla kepada Abu Sufyan, dan mereka pun hendaklah ridla pula. . .Demikianlah hanya sekejap saat . . . ! Rasulullah bersabda: “Hendaklah kamu menggunakan masa yang penuh berkah … !” 

Maka tergulunglah sudah masa-masa yang penuh kesesatan dan kesengsaraan, dan terbukalah pintu rahmat yang tiada ter­batasAbu Sufyan sebetulnya hampir saja masuk Islam ketika melihat sesuatu yang mengherankan hatinya ketika perang Badar, yakni sewaktu ia berperang di pihak Quraisy. Dalam peperangan itu, Abu Lahab tidak ikut serta, dan mengirimkan ‘Ash bin Hisyam sebagai gantinya. Dengan hati yang harap-harap cemas, ia menunggu-nunggu berita pertempuran, yang mulai berdatangan menyampaikan kekalahan pahit bagi pihak Quraisy.

Pada suatu hari, ketika Abu Lahab sedang duduk dekat sumur Zamzam bersama beberapa orang Quraisy, tiba-tiba kelihatan oleh mereka seorang berkuda datang menghampiri Setelah dekat, ternyata bahwa ia adalah Abu Sufyan bin Harits.Tanpa menunggu lama Abu Lahab memanggilnya, katanya: —”Mari ke sini hai keponakanku! Pasti kamu membawa berita! Nah, ceritakanlah kepada kami bagaimana kabar di sana … !”Ujar Abu Sufyan bin Harits:  ”Demi Allah! Tiada berita, kecuali bahwa kami menemui suatu kaum yang kepada mereka kami serahkan leher-leher kami, hingga mereka sembelih sesuka hati mereka dan mereka tawan kami semau mereka . . . !

 Dan Demi Allah! Aku tak dapat menyalahkan orang-orang Quraisy . . . ! Kami berhadapan dengan orang-orang serba putih mengen­darai kuda hitam belang putih, menyerbu dari antara langit dan bumi, tidak serupa dengan suatu pun dan tidak terhalang oleh suatu pun . . . !”yang dimaksud Abu Sufyan dengan mereka ini ialah para malaikat yang ikut bertempur di samping Kaum MusliminMenjadi suatu pertanyaan bagi kita, kenapa ia tidak beriman ketika itu, padahal ia telah menyaksikan apa yang telah disaksikannya?Jawabannya ialah bahwa keraguan itu merupakan jalan kepada keyakinan. Dan betapa kuatnya keraguan Abu Sufyan bin Harits, demikianlah pula keyakinannya sedemikian kukuh dan kuat jika suatu ketika ia dating nanti . . . 

Nah, saat petun­juk dan keyakinan itu telah tiba, dan sebagai kita lihat, ia Islam, menyerahkan dirinya kepada Tuhan Robbul’alamin… !Mulai dari detik-detik keislamannya, Abu Sufyan mengejar dan menghabiskan waktunya dalam beribadat dan berjihad, untuk menghapus bekas-bekas masa lalu dan mengejar ketinggal­annya selama ini . . – .Dalam peperangan-peperangan yang terjadi setelah pem­pembebasan Mekah ia selalu ikut bersama Rasulullah. Dan di waktu perang Hunain orang-orang musyrik memasang perangkapnya dan menyiapkan satu pasukan tersembunyi, dan dengan tidak diduga-duga menyerbu Kaum Muslimin hingga barisan1 mereka porak poranda.

Sebagian besar tentara Islam cerai berai melarikan diri, tetapi Rasulullah tiada beranjak dari kedudukannya, hanya berseru:
 “Hai manusia . . . ! Saya ini Nabi dan tidak dusta . . Saya adalah putra Abdul Mutthalib … !”

Maka pada saat-saat yang maha genting itu, masih ada bebe­rapa gelintir shahabat yang tidak kehilangan akal disebabkan serangan yang tiba-tiba itu. Dan di antara mereka terdapat Abu Sufyan bin Harits dan puteranya Ja’far.Waktu itu Abu Sufyan sedang memegang kekang kuda Rasulullah. Dan ketika dilihatnya apa yang terjadi, yakinlah ia bahwa kesempatan yang dinanti-nantinya selama ini, .yaitu berjuang fisabilillah sampai menemui syahid dan di hadapan Rasulullah, telah terbuka. Maka sambil tak lepas memegang tali kekang dengan tangan kirinya, ia menebas batang leher musuh dengan tangan kanannya.

Dalam pada itu Kaum Muslimin telah kembali ke medan pertempuran sekeliling Nabi mereka, dan akhirnya Allah mem­beri mereka kemenangan mutlak.Tatkala suasana sudah mulai tenang, Rasulullah melihat berkeliling . . . . Kiranya didapatinya seorang Mu’min sedang memegang erat-erat tali kekangnya. Sungguh rupanya semenjak berkecamuknya peperangan sampai selesai, orang itu tetap berada di tempat itu dan tak pernah meninggalkannya. Rasulullah menatapnya lama-lama, lalu tanyanya: “Siapa ini . . . ? Oh, saudaraku, Abu Sufyan bin Harits. . . !” 

Dan demi didengarnya Rasulullah mengatakan “saudaraku”, hatinya bagaikan terbang karena bahagia dan gembira. Maka diratapinya kedua kaki Rasulullah, diciuminya dan dicucinya dengan air matanya ….Ketika itu bangkitlah jiwa penyairnya, maka digubahnya pantun menyatakan kegembiraan atas keberanian dan taufik yang telah dikaruniakan Allah kepadanya:

‘Warga Ka’ab dan ‘Amir sama mengetahui
Di pagi hari Hunain ketika barisan telah cerai berai
Bahwa aku adalah seorang ksatria berani mati
Menerjuni api peperangan tak pernah nyali
Semata mengharapkan keridlaan Ilahi
Yang Maha Asih dan kepada-Nya sekalian urusan akan kembali”.

Abu Sufyan menghadapkan dirinya sepenuhnya kepada ibadat. Dan sepeninggal Rasulullah saw. ruhnya mendambakan kepadaan agar dapat menemui Rasulullah di kampung akhirat. Demikianlah walaupun nafasnya masih turun naik, tetapi ke­padaan tetap menjadi tumpuan hidupnya … !

Pada suatu hari, orang melihatnya berada di Baqi’ sedang menggali lahad, menyiapkan dan mendatarkannya. Tatkala orang-orang menunjukkan keheranan mereka, maka katanya: “Aku sedang menyiapkan kuburku …. “.Dan setelah tiga hari berlalu, tidak lebih, ia terbaring di rumahnya sementara keluarganya berada di sekelilingnya dan sama menangis. 

Dengan hati puas dan tenteram dibukanya matanya melihat mereka, lalu katanya:  ”Janganlah daku ditangisi, karena semenjak masuk Islam tidak sedikit pun daku berlumur dosa … ! “Dan sebelum kepalanya terkulai di atas dadanya, diangkat­kannya sedikit ke atas seolah-olah hendak menyampaikan selamat tinggal kepada dunia fana ini ….



(50)  
ABU SUFYAAN IBN AIHAARITH  
From Darkness to Light! 


        Here is another Abu Sufyaan, a different one than Abu Sufyaan Ibn Harb. His story is one of being guided after straying from the path of truth, a story of love after hatred, happiness after suffering. It is the story of Allah's infinite mercy and how it opened the gates to someone seeking Allah's refuge after a long journey full of hardship and suffering.  
  
      Can you imagine, lbn Al-Haarith spent 20 years in a continuous fight against Islam! Twenty years from the beginning of the revelation until the Day of the Conquest. During this whole period Abu Sufyaan was encouraging the Quraish and their allies, attacking the Prophet (PBUH) by means of satires, never absent when a battle or fight was fought. His three brothers, Nawfal, Rabii'ah, and `Abd Allah, converted to Islam before him. 

        The Abu Sufyaan whom we are talking about was the cousin of the Prophet (PBUH), as he was the son of Al-Haarith Ibn `Abd Al Muttalib. Furthermore, he was the foster brother of the Prophet (PBUH), having been suckled for a few days by Haliimah Al Sa'diyah, the Prophet's wet-nurse.  

       One day destiny called him to meet his happy fate. He called his son Ja'far and said to his men that they were both going to travel. "Where to, Ibn Al-Haarith? What is your destination?" "To the Messenger of Allah (PBUH) to submit ourselves to Allah, Lord of the Worlds."  

        With a repenting heart he began to ride his horse. At a place called Al-Abuwaa', he could see a great army approaching. Soon he realized that it was the Prophet (PBUH) moving forward to enter Makkah. He began to search for a way out. The Messenger of Allah (PBUH) had allowed the Companions to shed Abu Sufyaan's blood because of his long continuous fight against Islam, a fight in which he used his sword as well as his tongue.  

       If anyone in the approaching army saw him, he would no doubt take revenge. Therefore Abu Sufyaan had to find a clever way which would enable him to meet the Messenger of Allah (PBUH) first before any Muslim could see him. He disguised himself, hiding all his features, then took his son and walked a while until he could clearly see the Prophet (PBUH), who at that moment was approaching amidst a large number of the Companions.  

       Suddenly, Abu Sufyaan threw himself between the Prophet's hands, removing his disguise.

As soon as the Prophet (PBUH) recognized him, he turned his face. Abu Sufyaan turned and approached him from another direction, in vain; the Prophet turned his face again. Abu Sufyaan and his son Ja'far both shouted, "We bear witness that there is no god but Allah.We bear witness that Muhammad is the Messenger of Allah." They came nearer saying, "O Prophet, no reproach!" The Prophet (PBUH) replied, "No reproach shall be upon you, Abu Sufyaan." Then the Prophet (PBUH) handed him over to `Aliy Ibn Abi Taalib and said to him, "Teach your cousin ablution, the Sunnah and take him away right now." `Aliy took him and soon returned. The Prophet (PBUH) told `Aliy, " Tell people that the Prophet (PBUH) is pleased with Abu Sufyaan, so be pleased with him."  

       It was nothing more than a moment which Allah blessed in order to close a period of suffering, misery, hardship, and error while opening the gates of infinite mercy.  

       He nearly converted to Islam when, during the Battle of Badr, while fighting on the side of the Quraish, he saw something that confused his mind.  

        During that battle Abu Lahab stayed behind, sending Al-'Aas Ibn Hishaam in his place. Abu Lahab was waiting eagerly to hear the news when the shocking defeat was announced. He was sitting near the well of Zamzam in the middle of a group of the Quraish, when a horseman approached. It was Abu Sufyaan Ibn Al-Haarith. Abu Lahab did not give him a chance to rest, but asked him immediately, "Come nearer, my cousin. You have the latest news ! How was it?" Abu Sufyaan Ibn Al-Haarith said, "By Allah, we had hardly begun fighting when it was as if we offered them our bodies, let them do with us whatever they wanted, let them fight us as they pleased, took us prisoners as they liked. I swear, by Allah, I do not blame the Quraish, as we met white men riding piebald horses filling the space between heaven and earth. Nothing is like to them, nothing could stop them."  

        Abu Sufyaan surely meant that angels were fighting on the Prophet's side. 

Why is it then that Abu Sufyaan did not submit Himself to Allah at that time after having seen what he first described?  

        Doubt paves the way to certainty. The more obstinate and opinionated his doubt, the firmer and more persistent his conviction. Finally, it was the day of guidance and certainty, the day of his conversion as previously mentioned.  

       From the very beginning, from the first moments after his conversion, he began to strive and to worship as if entering a race with time, hoping to erase all traces of his past to compensate for what he had missed during that time.  

        He took part in all the battles after the Day of the Conquest. On the Day of Hunain a very dangerous trap was prepared by the polytheists, who attacked the Muslims so fiercefully that a great deal of Muslim warriors lost their reason and retreated, but the Prophet (PBUH) stood firm appealing, "O people, I'm the Prophet, it's not a lie. I'm the son of `Abd Al-Muttalib."  

        During those fearful moments, a small group, not losing their reason, continued fighting. Among them was Abu Sufyaan and his son Ja'far. Abu Sufyaan was holding the bridle of the Prophet's horse, but when he saw what happened, he felt deeply that his chance had finally come, the chance of dying as a martyr in the cause of Allah, between the Prophet's hands.  
  
      He held the horse's bridle with one hand while cutting the throats of the polytheists with the other. 

        The Muslims regrouped around the Prophet (PBUH) and Allah blessed them with victory. Although the fight was over, when the Prophet (PBUH) looked around he could see a faithful believer still holding his horse's bridle. It was Abu Sufyaan, who had not left his place since the battle began. The Prophet (PBUH) glanced and asked, "Who is it? My brother Abu Sufyaan Ibn Al-Haarith?" Immediately after hearing the word "brother" Abu Sufyaan's heart was filled with joy and dignity. He knelt down and kissed the Prophet's feet, crying. His poetic sensibility was so much moved that he began to describe his joy and happiness because Allah had blessed him with so much braver and success.  

        Abu Sufyaan turned to worship and adore Allah very persistently. It was after the Prophet's death when his soul longed for its meeting with the Prophet. He had desired for a long time to die soon, to the extent that people saw him digging out his grave at Al-Baqii', a grave which he prepared and arranged in a very nice way. When people expressed their astonishment he just said, "I'm preparing my grave."  

      Three days later he was lying at home, when his relatives began to cry and weep. When he opened his eyes, he said in complete "Don't cry. I didn't commit a single sin since I converted tranquility, to Islam."  

        Before his head fell upon his chest he said his last farewell to the world.


.¤ª"˜¨¯¨¨Abu Sufyan Bin Harits oAbu Sufyaan Ibn Al-Haarith¸,ø¨¨"ª¤. 







oo
.¤ª"˜¨¯¨¨Abdullah Bin 'Amr Bin Ash¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨'Abd Allah Ibn 'Amr Ibn Al-Aas ¸,ø¨¨"ª¤. 
Tekun beribadat dan bertaubat. 



Seorang abid yang shaleh, rajin beribadat dan gemar sertaubat yang kita paparkan riwayatnya sekarang ini ialah Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. 

Seandainya bapaknya menjadi guru dalam kercerdasan, kelihaian dan banyak tipu muslihat, sebaliknya Abdullah, menjadi teladan yang mempunyai kedudukan tinggi di antara ahli-ahli ibadat yang bersifat, zuhud dan terbuka. Seluruh waktu dan sepanjang kehidupannya dipergunakannya untuk beribadat. 

Ia berhasil mengecap manianya iman, hingga waktu siang dan malam itu tidak cukup puas untuk menampung kebaktian serta aural lbadatnya.Ia lebih dulu masuk Islam daripada bapaknya. Dan semenjak ia bai’at dengan menaruh telapak tangan kanannya di telapak kanan Rasulullah saw., sementara hatinya yang tak ubahnya dengan cahaya shubuh yang cemerlangditerangi oleh nur Ilahi dan cahaya ketaatannya, pertama-tama Abdullah memusatkan perhatiannya terhadap al-Qura’n diturunkan secara ber­angsur-angsur.Setiap turun ayat maka dihafalkan dan diusahakannya untuk memahaminya, hingga setelah semuanya selesai dan sempurna ia pun telah hafal keseluruhannya.

Dan ia menghafalkan itu bukanlah hanya sekedar mengingat hingga seolah-olah ingatannya itu menjadi musium bagi sebuah buku tebal …. tetapi dihafalkan dengan tujuan dapat diperguna­kan untuk memupuk jiwanya, dan kemudian agar ia dapat menjadi hamba Allah yang taat, menghalalkan apa yang dihalal­kanNya dan mengharamkan apa yang diharamkanNya Serta memperkenankan seruannya. Kemudian tiada bosan-bosannya ia membaca, melagukan dan merenungkan isinya, menjelajahi taman-tamannya yang indah mekar, gembira ria jika kebetulan ayat-ayatnya yang mulia itu menceritakan kesenangan, sebalik­nya menangia mengucurkan air mata jika membangkitkan hal-hal yang menakutkan … !

Abdullah telah ditaqdirkan Allah menjadi seorang suci dan rajin beribadat, tidak satu pun kekuatan di dunia ini yang mampu menghalangi terbentuknya bakat yang suci ini dan tertanamnya nur Ilahi yang telah ditaqdirkan bagi dirinya itu.Apabila tentara Islam maju ke medan laga untuk menghadapi orang-orang musyrik yang melancarkan peperangan dan per­musuhan,maka kita akan menjumpai di barisan terdepan, men­cintakan syahid dengan hati yang rindu jiwa yang asyik.Dan jika peperangan itu telah usai, di mana kita akan me­nemuinya? Di mana lagi, kalau tidak di mesjid umum atau di mushalla rumahnya, shaum di waktu siang dan berdiri shalat di waktu malam. Lidahnya tak kenal akan percakapan tentang soal dunia walaupun yang tidak terlarang, sebaliknya tidak kering-keringnya berdzikir kepada Allah, tasbih memuji-Nya, istighfar terhadap dosanya atau membaca kitab Suci-Nya.Untuk mengetahui betapa jauhnya Abdullah terlibat dalam beribadat, cukuplah kita perhatikan Rasulullah yang sengaja datang menyeru manusia untuk beribadat kepada Allah, terpaksa campur tangan agar ia tidak sampai keterlaluan dan berlebih­-lebihan … !

Demikianlah, seandainya salah satu segi dari pelajaran yang dapat ditarik dari kehidupan Abdullah bin Amr, menyingkapkan kemampuan luar biasa yang tersimpan dalam jiwa manusia untuk mencapai tingkat tertinggi dalam beribadat dan meninggal­kan kesenangan duniawi, seginya yang lain ialah perlindungan Agama agar orang bersikap sederhana dan tidak berlebih-lebihan dalam mencapai segala ketinggian dan kesempurnaan itu, hingga jiwa seseorang itu tetap mempunyai gairah hidup dan semangat bermasyarakat .. . , dan agar jasmaninya tetap dalam keadaan kondisi siap melaksanakan segala tugas … !Rasulullah saw. telah mengetahui rahasia jalan dan corak kehidupan Abdullah bin Amr bin Ash hanya satu dan tidak berubah! 

Jika tidak pergi berjuang, maka hari-harinya itu dari mulai fajar sampai fajar berikutnya terpusat pada ibadat yang sambung-menyambung, berupa shaum, shalat dan membaca al-Quran .Dipanggilnyalah Abdullah dan dia’uruhnya agar tidak ke­terlaluan dalam beribadat itu. 

Tanya Rasulullah saw.:
“Kabarnya kamu selalu shaum di siang hari tak pernah berbuka, dan shalat di malam hari tak pernah tidur … ?” cukuplah shaum tiga hari dalam setiap bulan … ” 

Ujar Abdullah: “Aku sanggup lebih banyak dari itu . . . ! ” 

Sabda Nabi saw.: 
“Kalau begitu cukup dua hari dalam seminggu!”

Jawab Abdullah: “Aku sanggup lebih banyak lagi.

”Sabda Rasulullah saw.:
“Jika demikian, baiklah kamu lakukan shaum yang lebih utama, yaitu shaum Nabi Daud, shaum sehari lalu berbuka sehari! (al-Hadits)

Setelah itu ditanyakan pula oleh Rasulullah saw.: — 
“Aku tahu bahwa kamu membaca al-Quran sampai tamat dalam satu malam . . . ! Aku khawatir kalau-kalau usiamu lanjut dan jadi bosan membacanya . . . ! Bacalah setiap sebulan sekali khatam! Atau kalau tidak, sekali dalam sepuluh hari, atau sekali dalam tiga hari … !”

Lalu sabdanya pula:
“Aku shaum dan berbuka bangun shalat malam dan tidur, juga kawin dengan perempuan. Maka siapa yang tidak suka akan Sunnahku, tidaklah termasuk golongan ummatku… !” (al-Hadits)Dan benarlah Abdullah bin ‘Amr dikaruniai usia lanjut. Maka tatkala ia sudah tua dan tulangnya jadi lemah, ia selalu teringat nasihat Rasulullah dulu itu, lalu katanya: “Wahai malang nasib­ku, kenapa tidak laksanakan keringanan dari Rasulullah … !”

Seorang Mu’min seperti Abdullah ini, akan sulit dijumpai dalam suatu pertempuran apapun corak pertempuran itu —yang berkecamuk di antara dua golongan Muslimin. Kalau begitu, apakah kiranya yang membawa kakinya dari Madinah ke Shiffin, dan menggabungkan diri pada barisan Mu’awiyah dalam pertempuran menghadapi Ali … ?Selamanya sikap yang diambil oleh Abdullah ini patut untuk direnungkan, sebagaimana pula setelah memahaminya, layak untuk beroleh penghargaan dan penghormatan!

Telah kita lihat betapa Abdullah bin ‘Amr memusatkan perhatiannya terhadap ibadat, hingga dapat membahayakan nyawanya. Hal ini amat mencemaskan hati bapaknya, hingga sering dilaporkannya kepada Rasulullah.Pada kali terakhir Rasulullah menasihatinya agar tidak berlebih-lebihan dalam beribadat itusambil membatasi waktu-­waktunya, ‘Amr kebetulan hadir. Rasulullah mengambil tangan Abdullah dan meletakkannya di tangan bapaknya, ‘Amr, lalu katanya: “Lakukanlah apa yang kuperintahkan, dan taatilah olehmu bapakmu … !”Dan walaupun selama ini, diaebabkan akhlaq dan keagamaan­nya, Abdullah selalu taat kepada kedua orang tuanya, tetapi perintah Rasulullah secara demikian dan suasana khusus seperti itu, meninggalkan kesan yang dalam pada dirinya. 

Dan selama usianya yang panjang, sesaat pun Abdullah tidak lupa akan kalimat pendek ini: “Lakukanlah apa yang kuperintahkan, dan taatilah olehmu bapakmuKemudian, hari berganti hari, tahun berganti tahun . . . Mu’a­wiyah di Syria menolak bai’at terhadap Ali. Sebaliknya Ali menolak tunduk terhadap pembangkangan yang tak dapat dibenarkan. Maka terjadilah peperangan di antara dua golongan Kaum Muslimin. Perang Jamal telah berlalu dan sekarang datang saat perang Shiffin ….Amr bin ‘Ash telah menentukan sikapnya berpihak kepada Mu’awiyah. Dan ia tahu benar bagaimana penghormatan Kaum Muslimin terhadap puteranya Abdullah, begitupun kepercayaan mereka terhadap Agamanya. 

Maka rencananya hendak membawa Serta puteranya itu yang tak dapat tidak akan menguntungkan sekali pihak Mu’awiyah. Di samping itu menurut ‘Amr kehadiran Abdullah di dekatnya akan membawa nasib mujur baginya dalam peperangan. la belum lupa kenyataan-kenyataan itu di saat penyerbuan ke Syria dan waktu pertempuran YarmukSebab itu ketika hendak berangkat ke Shiffin dipanggilnya­lah puteranya itu lalu katanya: “Hai Abdullah! Bersiap-siaplah untuk berangkat! Kamu akan berperang di pihak kami . . . !” Ujar Abdullah: “Bagaimana . . . ? 

Padahal Rasulullah saw. telah mengamanatkan kepadaku agar tidak menaruh senjata di atas leher orang Islam untuk selama-lamanya … !’Dengan kecerdikannya ‘Amr mencoba meyakinkan Abdullah, bahwa maksud kepergian mereka ini hanyalah untuk membekuk pembunuh-pembunuh Utsman dan menuntutkan bela darah sucinya. Kemudian secara tila-tiba ia memasang perangkap mautnya, katanya: “Masih ingatkah kamu wahai Abdullah akan amanat terakhir yang diaampaikan Rasulullah kepadamu, ketika ia mengambil tanganmu lalu meletakkannya ke atas tanganku seraya katanya: “Taatilah bapakmu . . . !” 

Dan sekarang saya menghendaki sekali agar kamu turut bersama kami dan ikut berperang!”Demikianlah Abdullah berangkat demi taatnya kepada bapak­nya. Maksudnya tiada akan memanggul senjata dan tidak akan berperang dengan seorang Muslim pun. Tetapi betapa caranya? Yah, yang panting baginya kini turut bersama bapaknya! Adapun di waktu perang nanti, maka terserahlah kepada Allah bagaimana taqdir-Nya!Perang pun berkeeamuk dengan hebat dan dahsyat …. Ahli-­ahli sejarah berbeda pendapat, apakah Abdullah ikut Serta di permulaan perang itu ataukah tidak. Kita katakan “di permulaan”, karena tidak lama setelah itu, terjadilah suatu periatiwa yang menyebabkan Abdullah bin ‘Amr mengambil sikap secara terang-terangan menentang peperangan dan menentang Mu’awiyah.

Periatiwa itu dikarenakan ‘Ammar bin Yasir berperang di pihak Imam Ali. ‘Ammar ini seorang yang amat dihormati oleh para shahabat umumnya. Lebih-lebih lagi Rasulullah sudah semenjak dulu meramalkan kematiannya dan juga siapa-siapa pembunuhnya.Ceritanya ialah bahwa ketika itu Rasulullah bersama shaha­bat-shahabatnya sedang membangun mesjid di Madinah, yakni tidak lama setelah kepindahan mereka ke sana. Batu-batu yang digunakan sebagai bahannya ialah batu-batu besar dan berat, hingga setiap orang hanya dapat mengangkat sebuah saja. Tetapi ‘Ammar, mungkin karena gairah dan semangatnya, dapat membawa dua-dua buah. 

Hal itu tampak oleh Rasulullah, maka dipandanginya anak muda itu dengan kedua matanya yang ter­genang air, lalu katanya: — “Kasihan anak Sumaiyah! la dibunuh oleh pihak yang durhaka . . .Semua shahabat yang ikut bekerja pada hari itu, sama men­dengar nubuwat Rasulullah ini dan selalu ingat kepadanya. Dan Abdullah bin ‘Amr juga termasuk di antara yang mendengarnya. Di saat awal peperangan antara pihak Ali dan Mu’a­wiyah itu ‘Ammar naik ke tempat-tempat yang ketinggian dan berseru dengan sekuat suaranya membangkitkan semangat:“Hari ini kita akan menjumpai para kekasih . . . , Nabi Muhammad beserta shahabat-shahabatnya!”

Sekelompok anak buah Mu’awiyah berembuk untuk meng­habisinya. Mereka sama-sama mengarahkan anak panah kepada­nya lalu melepaskannya secara serempak . tepat mengenai sasaran, dan langsung mengantarkan qurban ke alam syuhada dan para pahlawan . . . .Berita tewasnya ‘Ammar ini menjalar bagai angin kencang. Dan mendengar itu Abdullah bangkit serentak, hatinya meledak dan berontak, serunya: “Apa, ‘Ammar tewas terbunuh . . . ? Dan kalian si pembunuh-pembunuhnya . . . ? Kalau begitu, kalianlah pihak yang aniaya Kalian berperang di jalan yang sesat dan salah . . . !”

Abdullah berkeliling pada barisan Mu’awiyah sebagai juru nasihat, melemahkan semangat mereka dan menyatakan secara blak-blakan bahwa mereka adalah pihak yang aniaya, karena merekalah yang telah membunuh ‘Ammar! Duapuluh tujuh tahun yang lalu, di hadapan sekelompok shahabat-shahabatnya, Rasulullah saw. telah menyampaikan nubuwatnya bahwa ia akan dibunuh oleh pihak yang aniaya … !

Ucapan Abdullah itu disampaikan orang kepada Mu’awiyah, yang segera memanggil ‘Amr dan puteranya itu. Katanya kepada ‘Amr:  ”Kenapa tidak anda membungkam anak gila itu. . Jawab Abdullah: “Saya tidak gila, hanya saya dengar Rasulullah mengatakan kepada ‘Ammar, “Kamu akan dibunuh oleh pihak yang aniaya!” “Kalau begitu, kenapa kamu ikut bersama kami?” Tanya Mu’awiyah. Ujar Abdullah: “Yah, karena Rasulullah memerintahku agar taat kepada bapakku. Dan aku telah men­taati perintahnya supaya ikut pergi, tetapi aku tidak ikut ber­perang dengan kamu … !”

Tiba-tiba ketika mereka tengah berbicara itu, masuklah pengawal yang memijita idzin bagi pembunuh ‘Ammar untuk menghadap. “Suruhlah masuk!” seru Abdullah, “dan sampaikan berita gembira kepadanya bahwa ia akan jadi umpan neraka!”

Bagaimana juga tenang dan shabarnya Mu’awiyah, tetapi ia tak dapat mengendalikan amarahnya lagi, lalu bentaknya kepada ‘Amr: “jangan kamu dengarkah katanya itu?” 

Tetapi dengan ketenangan dan kepasrahan orang yang taqwa, Abdullah kembali menegaskan kepada Mu’awiyah bahwa apa yang dikata­kannya itu barang haq dan bahwa pihak yang membunuh ‘Ammar tidak lain dari orang-orang aniaya dan pendurhaka. Kemudian sambil mengalihkan mukanya kepada bapaknya, katanya:. “Kalau tidaklah Rasulullah menyuruh anakanda agar mentaati ayahanda, tidaklah anakanda akan menyertai perjalanan ayahanda iniMu’awiyah dan ‘Amr pergi keluar memeriksa pasukan. Alangkah terkejutnya mereka ketika mengetahui bahwa anak buahnya sedang mempercakapkan nubuwat Rasulullah terhadap ‘Ammar: “Kamu akan dibunuh oleh pihak yang aniaya!”

Kedua pemimpin itu merasa bahwa desas-desus itu dapat meningkat menjadi tantangan dan pembangkangan terhadap Mu’awiyah. Maka mereka pun memikirkan suatu muslihat, yang kemudian mereka peroleh lalu dilontarkan kepada khalayak ramai, kata mereka:  ”Memang benar, bahwa Rasulullah pernah mengatakan kepada ‘Ammar bahwa ia akan dibunuh oleh pihak yang aniaya. Nubuwat Rasulullah itu benar, dan buktinya se­karang ‘Ammar telah dibunuh! Nah, siapakah yang membunuh­nya? Pembunuhnya tidak lain dari orang-orang yang telah mengajaknya pergi ikut berperang . . . !”Dalam suasana kacau balau dan tak menentu seperti itu, berbagai logika dan alasan akan dapat diberikan! Demikianlah keterangan dan logika Mu’awiyah dan ‘Amr laria dan mendapat pasaran …Kedua pasukan pun mulai bertempur lagi, sementara Abdul­lah bin ‘Amr kembali ke mesjid dan ibadahnya ….Abdullah bin ‘Amr menjalani kehidupannya dan tidak mengisinya kecuali dengan mengabdikan diri dan beribadat.

Tetapi ikut sertanya pergi ke shifhin semata-mata kepergiannya saja, senantiasa merupakan sumber kegelisahannya. Ingatan itu tak hendak hilang-hilang dari fikirannya, sampai-sampai ia menangis, keluhnya: “Oh, apa perlunya bagiku Shiffin … ! Oh, apa perlunya bagiku memerangi Kaum Muslimin … !”

Pada suatu hari, sewaktu ia sedang duduk-duduk dengan. beberapa orang shahabatnya di mesjid Rasul, lewatlah Husein bin Ali r.a. dan mereka pun bertukaran salam. Tatkala Husein telah berlalu, berkatalah Abdullah kepada orang-orang sekeliling­nya: “Sukakah kalian kutunjukkan penduduk bumi yang paling dicintai oleh penduduk langit … ? Dialah yang baru saja lewat di hadapan kita tadi …. Husein bin Ali .   Semenjak perang Shiffin, ia tak pernah berbicara denganku . . . Sungguh, ridla­nya terhadap diriku, lebih kusukai dari barang berharga apa pun juga … ! “

Abdullah berunding dengan Abu Sa’id al-Khudri untuk berkunjung kepada Husein. Demikianlah akhirnya kedua orang termulia itu bertemu muka di rumah Husein. Lebih dulu Abdul­lah bin ‘Amr membuka percakapan, hingga sampai disebut-sebut soal Shiffin. Husein mengalihkan pembicaraan ini sambil sertanya: “Apa yang membawamu sehingga engkau ikut berperang di fihak Mu’awiyah?”Ujar Abdullah: “Pada suatu hari aku diadukan bapakku ‘Amr bin ‘Ash menghadap Rasulullah saw., katanya: “Abdullah ini shaum setiap hari dan beribadat setiap malam. 

Kata Rasul­ullah kepadaku: 
“Hai Abdullah, shalat dan tidurlah, Serta shaum dan berbukalah, dan taatilah bapakmu . . . !” 

Maka sewaktu perang Shiffin itu, bapakku mendesakku dengan keras agar ikut pergi bersamanya. Aku pun pergi, tetapi demi Allah tak pernah aku menghunus pedang, melemparkan tombak atau melepaskan anak panah … !” Ia pun menjelaskan apa yang ter­jadi dengan Mu’awiyah tentang ‘Ammar.Tatkala usianya meningkat yang diberkati itu ketujuh puluh dua tahun ….

 Ia sedang berada di mushallanya, selagi ia men­dekatkan diri memohon dan munajat ke hadapan Allah Robbul Alamin, bertashbih dan bertahmid, tiba-tiba ada suara memanggiluntuk melakukan perjalanan jauh, yaitu perjalanan abadi yang takkan kembali ….Disambutnya panggilan itu dengan hati yang telah lama rindu, dan terbang melayanglah ruhnya menyusul teman-temannya yang telah mendahuluinya mendapat kebahagiaan, sementara suara hiburan menghimbaunya dari Rafiqul A’la:

“Wahai jiwa yang tenang tenteram!Kembalilah kamu kepada Tuhanmu dalam keadaan ridla dan diridlai … !Maka masuklah dalam golongan ummat-Ku dan masuklah ke dalam sorga-Ku …!”
(89:27- 30). 


(49) 
`ABD ALLAH IBN `AMR IBN AL-'Aas  
The Submissive Returner to Allah! 

        The submissive, repentant, ever returning worshiper whom we are going to talk about is `Abd Allah Ibn Amr Ibn Al-'Aas  

       Just as his father was famous for his rationality and cunning tricks, so was he famous for his highly elevated position among worshipers and hermits. His whole life was devoted to worship. Days and nights were not enough for his acts of worship.  

        He embraced Islam before his father. Since the day he swore the oath of allegiance, his heart shone like sunlight by means of Allah's light and the light of obedience.  

        He devoted himself to reciting and understanding the Glorious Qur'aan, so that when it was completely revealed he would have learned it all by heart. He did not recite it merely by power of a retentive memory, reproducing a book learned by heart, but rather he lived according to its laws, filled his heart with its magnificence, was its obedient servant and responded to its appeals. He then dedicated himself to its reading and recitation as well as understanding it, walking most delightfully in its mellow orchards, pleased with a joyful soul, happy with its holy verses, with eyes crying in anxiety and fear due to the effect of its verses.  

        `Abd Allah was created to be a worshiping saint. Nothing whatsoever could distract him from what he was created for and guided to. If the army of Islam waged jihaad against the polytheists who had been attacking Islam, he could always be found insistent in the front rows, aspiring to die as a martyr. It was the aspiration of a loving soul and the insistence of a lover. When the war was over, where was he to be found?  

        There in the great mosque or the small mosque beside his house, fasting in the daytime, praying at night. His tongue did not know any worldly talk no matter how legitimate it was. His tongue did not know anything but invoking of Allah, the reciting the Qur'aan, praising Allah, and asking Him His forgiveness and remission of sins. It is worthwhile to know how deep his worship and asceticism was. The Prophet (PBUH) found himself once forced to interfere in order to limit `Abd Allah's extremism in worship.
  
        Therefore, the moral which can be abstracted from `Abd Allah's life is twofold. It demonstrates how excessively the human soul can be filled with an extraordinary ability to reach utmost degrees of devotion, worship, and virtue. On the other hand, it demonstrates Islam's concern to maintain a middle course and moderation, even when perfection is aspired to, lest the human soul should lose its zeal and aspiration and in order to maintain a healthy and safe body.  

       It reached the Prophet that `Abd Allah spent his life in a uniform manner. If there was no battle to join, then it was non-stop worshiping, fasting, praying, and reciting the Qur'aan.  

       The Prophet (PBUH) sent for him, appealing to him to be moderate. 

The Prophet (PBUH) said,
 "Is it true what I heard, that you fast every day without eating (without breaking your fasting by one or two days) and that you pray all night without sleeping? It's enough to fast just three days every month." 
`Abd Allah said, "I can bear more than that!" 
The Prophet (PBUH) said, 
"It's enough to fast two days each week." 
`Abd Allah said, "I can bear more than that." 
The Prophet (PBUH) said,
 "Then, why don't you fast the best fasting of all, Daawud's (David's) fast; he fasted one day and ate on the other."  

        The Prophet (PBUH) continued asking him, "I've been informed that you recite the whole Qur'aan in one night. I'm afraid when you get older you will feel bored reciting it. Recite it once each month. Recite it once every ten days. Recite it once every three days." Then he said, "I fast and eat. I pray and sleep. I marry women. Whoever abstains from following my path, indeed, is not of me."  

Abd Allah lived long and when he got older and weaker he always remembered the Prophet's advice saying "If only I had accepted the Prophet's advice."  

        It is not easy to find a believer of that sort engaged in a war fought by two Muslim parties against each other. How was it possible that his feet carried him from Al-Madiinah to As-Siffiin where he joined Mu`aawiyah's army in the battle against Imam `Aliy? The more we contemplate `Abd Allah's position, the more we will find it worthy of your respect and honor.  

        We saw how `Abd Allah was engaged in worship in a way which truly endangered his life. His father was always concerned about this matter. Therefore, he often complained to the Prophet (PBUH). On that particular instance when the Prophet (PBUH) asked `Abd Allah to be moderate in worship, clearly suggesting suitable intervals, `Abd Allah's father `Amr was present. The Prophet (PBUH) put `Abd Allah's hand into his father's saying, "Do as I ordered you and obey your father."  

        Although `Abd Allah was obedient to his father due to his faith and belief, the Prophet's order to him in such a way and on such an occasion had a very special impact on him. `Abd Allah lived his whole life always remembering this short statement, "Do as I ordered you and obey you father."  

       Days and years passed. Mu'aawiyah in Syria refused to swear the oath of allegiance to `Aliy. `Aliy refused to submit to an illegal rebellion. War broke out between the two Muslim parties. The Battle of Al-Jamal passed, and now it was the turn of As-Siffiin.  

        `Amr lbn Al-'Aas had chosen to fight on Mu'aawiyah's side. Knowing how much people trusted and acknowledged his son's faith, he found it very beneficial for Mu'aawiyah's party to convince him to join and engage in the war. In addition, `Amr was always optimistic whenever he had Abd Allah beside him in times of war. He could not forget his striving and endeavor in the conquest of Syria and on the Day of Yarmuuk.  

        When he intended to set out towards As-Siffiin he appealed to his son to join saying, "O Abd Allah, get ready, you're going to fight with us." Abd Allah replied, "How? The Prophet (PBUH) has entrusted me never to hold a sword to a Muslim's neck." By means of his cunning tricks, `Amr tried to convince his son that they just intended to kill `Uthmaan's murderers and to take revenge.  

       Then he surprised his son with the following words, "O Abd Allah, do you remember the last thing the Prophet committed you to, when he put your hand over mine saying, Obey your father? I order you now to join us and fight with us.  
      
 `Abd Allah went obediently but with the deep intention to neither carry a sword nor kill a Muslim. But how was that going to be possible? For the time being, he was just joining his father, but when the fight starts let Allah do as He wills.  

       It was a hard and fierce battle. Historians argue and differ among themselves, whether `Abd Allah joined the battle from the very beginning or not.  

       We think that he joined it from the very beginning, because the battle had hardly begun when something happened which forced `Abd Allah to stand openly and dearly against the whole war and against Mu'aawiyah.  

       `Ammaar Ibn Yaasir, who was well respected by the Companions, was fighting on the side of Imam `Aliy. Once in the far remote past the Prophet (PBUH) had forseen `Ammaar's murder.  

        This was in the days when the Prophet (PBUH) and the Companions were building their mosque at Al-Madiinah after the Hijrah. The rocks were extremely big and even the strongest ones could not carry more than one at a time. However, Ammaar was so cheerful and glad that he went on carrying two rocks at a time. The Prophet (PBUH) looked at him with tearful eyes saying, "Woe upon the son of Sumaiyah. He is going to be killed by the unjust party." All the Companions who took part in the building heard the prophecy and remembered it well. Abd Allah lbn `Amr was one of those who heard it.  

       At the beginning of the battle between Aliy and Mu'aawiyah's parties, Ammaar ascended a hill shouting, "Today is the day that we are going to meet Muhammad and his Companions."  
      
  A group of Mu'aawiyah's party committed themselves to killing `Ammaar, so they pierced him with a lance, whereby he fell as a martyr.  

        The news of `Ammaar's death spread rapidly. `Abd Allah stood up agitatedly and said, "Is it true that `Ammaar has been killed ? Did you do it? That means you are the unjust party! You are the mislead warriors!" Like a portent he burst into the army, discouraging the fighters, shouting loudly, "You are the unjust party as long as it's you who killed Ammaar. The Prophet (PBUH) foresaw his murder by the unjust party some 27 years ago.  

       `Abd Allah's words soon reached Mu`aawiyah, who sent for `Amr and his son. He said to Amr, "Can't you stop your mad man?" `Abd Allah said, "I'm not mad, but I heard the Prophet (PBUH) once saying to `Ammaar, "You will be killed by the unjust party." Mu'aawiyah continued asking, "Why then, did you join our party?" `Abd Allah said, "Because the Prophet (PBUH) asked me to obey my father and I obeyed him joining you, but I didn't fight." 

        While they were arguing, someone entered asking Mu'aawiyah to permit the entrance of `Ammaar's murderer. At that moment `Abd Allah shouted, "Let him in and announce the `good news' he is in hell."  

        Hereby Mu'aawiyah lost his temper despite his calmness and mildness. He shouted to Amr, "Can't you hear what he is saying?" `Abd Allah continued to ensure Mu'aawiyah that what he was saying was the truth and that the murderers were no more than unjust tyrants. Then he turned to his father and said, "Had it not been for the Prophet's order to obey you, I would not have gone out with you. 

       While inspecting their army, Mu'aawiyah and `Amr were astonished and terrified to hear all the people talking about the Prophet's prophecy to `Ammaar, You are going to be killed by the unjust party.  

       `Amr and Mu'aawiyah were afraid that this mere grumble was soon going to turn into a revolt against Mu'aawiyah. They thought together till they found a cunning trick. They spread the following words among the people: "Yes, the Prophet (PBUH) said to `Ammaar on that day, You'll be killed by the unjust party. The Prophet's prophecy is true. `Ammaar has been killed. But who killed him? The true murderers are those who asked him to go out to fight."  

       In the midst of such confusion and turmoil, any logic could easily be spread. In this way Mu`aawiyah's and `Amr's logic prevailed. The battle continued. Abd Allah went back to his mosque and to his worship.  

       He lived a life filled with nothing else than worship and adoration. Nevertheless, the mere act of going out to the battlefield always remained a reason for worry. He never remembered this act without weeping and saying, "What did I have to do with As-Siffiin?" Why did I bother myself with the killing of Muslims?"  

        One day, while sitting with some companions in the Prophet's mosque, Al-Hussain lbn `Aliy (May Allah be pleased with him) passed by and they greeted each other. When Al-Hussain went away `Abd Allah said to those sitting with him, "Would you like to know the human being most beloved to the angels? It's the one who just passed by, Al-Hussain lbn `Aliy. He has not talked to me since the Day of As-Siffin. I would like him to talk to me more than I desire all the blessings of this world."  

        He decided with Abu Sa'iid Al-Khudriy to visit Al-Hussain. There at Al-Hussain's house the meeting of these two great men took place. `Abd Allah began to talk. When he mentioned As-Siffiin, Al Hussain asked him scoldingly, "You, did you join the fight on Mu'aawiyah's side?" `Abd Allah said, "One day `Amr Ibn Al-'Aas complained to the Prophet (PBUH) saying, "Abd Allah fasts the whole day and prays all night.' Then the Prophet said to me, `O Abd Allah, pray and sleep, fast and eat. Obey you father.' When it was the day of As-siffiin, my father swore by Allah that I had to go out with him. I went out, but, by Allah, I didn't pierce with a lance, I didn't fight with a sword and I didn't shoot any arrows. 

       At the age of 72, while praying in his mosque, asking for Allah's forgiveness, praising Allah gratefully, he was invited to join the eternal voyage. Filled with a longing aspiration he responded. His soul left the world joyfully to join his brethren who had preceded him. 

The announcer of good news proclaimed from Heaven,   
"O soul at peace, return to your Lord, well pleased and well pleasing.Enter you among My servants, and enter into My Paradise!" (89:27- 30).



oo
.¤ª"˜¨¯¨¨Abdullah Bin 'Amr Bin Ash¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨'Abd Allah Ibn 'Amr Ibn Al-Aas ¸,ø¨¨"ª¤. 





oo
.¤ª"˜¨¯¨¨Abdraahman Bin Abi Bakar¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨'Abd Rahman Ibn Abi Bakar¸,ø¨¨"ª¤. 
Pahlawan sampai saat terakhir. 


Ia merupakan lukisan nyata tentang kepribadian Arab dengan segala kedalaman dan kejauhannya . . . . 

Sementara bapaknya adalah orang yang  pertama beriman, dan “Shiddiq” yang memiliki corak keimanan yang tiada taranya terhadap Allah dan Rasul-Nya, serta orang kedua ketika mereka berada dalam gua. Tetapi Abdurrahman termasuk salah seorang yang keras laksana batu karang menyatu menjadi satu, senyawa dengan Agama nenek moyangnya dan berhala-berhala Quraisy … !Di perang Badar ia tampil sebagai barisan penyerang di pihak tentara musyrik.Dan di perang Uhud ia mengepalai pasukan panah yang dipersiapkan Quraisy untuk menghadapi Kaum Muslimin....Dan sebelum kedua pasukan itu bertempur, lebih dulu seperti biasa dimulai dengan perang tanding. Abdurrahman maju ke depan dan meminta lawan dari pihak Muslimin. 

Maka bangkit­lah bapaknya yakni Abu Bakar Shiddiq r.a. maju ke muka melayani tantangan anaknya itu...Tetapi Rasulullah menahan shahabatnya itu dan menghalanginya melakukan perang tanding dengan puteranya sendiri...Bagi seorang Arab asli, tak ada ciri yang lebih menonjol dari kecintaannya yang teguh terhadap apa yang diyakininya...Jika ia telah meyakini kebenaran sesuatu agama atau sebuah pendapat, maka tak ubahnya ia bagai tawanan yang diperbudak oleh keyakinannya itu hingga tak dapat melepaskan diri lagi. Kecuali bila ada keyakinan baru yang lebih kuat, yang memenuhi rongga akal dan jiwanya tanpa syak wasangka sedikit pun, yang akan menggeser keyakinannya yang pertama tadi.Demikianlah, bagaimana juga hormatnya Abdurrahman kepada bapaknya, serta kepercayaannya yang penuh kepada kematangan akal dan kebesaran jiwa serta budinya, namun keteguhan hatinya terhadap keyakinannya tetap berkuasa hingga tiada terpengaruh oleh keislaman bapaknya itu. Maka ia berdiri teguh dan tak beranjak dari tempatnya, memikul tanggung jawab aqidah dan keyakinannya itu, membela berhala-berhala Quraisy dan bertahan mati-matian di bawah bendera dan panji-panjinya, melawan Kaum Mu’minin yang telah siap mengurbankan jiwanya.Dan orang-orang kuat semacam ini, tidak buta akan ke­benaran, walaupun untuk itu diperlukan waktu yang lama. Kekerasan prinsip, cahaya kenyataan dan ketulusan mereka, akhir kesudahannya akan membimbing mereka kepada barang yang haq dan mempertemukan mereka dengan petunjuk dan kebaikan.

Dan pada suatu hari, berdentanglah saat yang telah ditetap­kan oleh taqdir itu, yakni saat yang menandai kelahiran baru dari Abdurrahman bin Abu Bakar Shiddiq . . . . Pelita-pelita petunjuk telah menyuluhi dirinya, hingga mengikis habis baying-­bayang kegelapan dan kepalsuan warisan jahiliyah. Dilihatnya Allah Maha Tunggal lagi Esa di segala sesuatu yang terdapat di sekelilingnya, dan petunjuk Allah pun mengurat-mengakar pada diri dan jiwanya, hingga ia pun menjadi salah seorang Muslim . . . !Secepatnya ia bangkit melakukan perjalanan jauh menemui Rasulullah untuk kembali ke pangkuan Agama yang haq. Maka bercahaya-cahayalah wajah Abu Bakar karena gembira ketika melihat puteranya itu bai’at kepada Rasulullah saw.Di waktu kafirnya la adalah seorang jantan! Maka sekarang ia memeluk Islam secara jantan pula! Tiada sesuatu harapan yang menariknya, tiada pula sesuatu ketakutan yang mendorongnyaHal itu tiada lain hanyalah suatu keyakinan yang benar dan tepat, yang dikaruniakan oleh hidayah Allah dan taufik-Nya! 

Dan mulai saat itu Abdurrahman pun berusaha sekuat tenaga untuk menyusul ketinggalan-ketinggalannya selama ini, baik di jalan Allah, maupun di jalan Rasul dan orang-orang Mu’min.Di masa Rasulullah saw. begitupun di masa khalifah-khalifah sepeninggalnya, Abdurrahman tak ketinggalan mengambil bagian dalam peperangan, dan tak pernah berpangku tangan dalam jihad yang aneka ragam ….Dalam peperangan Yamamah yang terkenal itu, jasanya amat besar. 

Keteguhan dan keberaniannya memiliki peranan besar dalam merebut kemenangan dari tentara Musailamah dan orang-orang murtad . . . . Bahkan ialah yang menghabisi riwayat Mahkam bin Thufeil, yang menjadi otak perencana bagi Musai­lamah, dengan segala daya upaya dan kekuatannya ia berhasil mengepung benteng terpenting yang digunakan oleh tentara murtad sebagai tempat yang strategis untuk pertahanan mereka.Tatkala Mahkam rubuh disebabkan suatu pukulan yang menentukan dari Abdurrahman, sedang orang-orang sekelilingnya lari tunggang langgang, terbukalah lowongan besar dan luas di benteng itu, hingga prajurit-prajurit Islam masuk berlompatan ke dalam benteng itu . . . .Di bawah naungan Islam sifat-sifat utama Abdurrahman bertambah tajam dan lebih menonjol. Kecintaan kepada ke­yakinannya dan kemauan yang teguh untuk mengikuti apa yang dianggapnya haq dan benar, kebenciannya terhadap bermanis mulut dan mengambil muka, semua sifat ini tetap merupakan sari hidup dan permata kepribadiannya. 

Tiada sedikit pun ia terpengaruh oleh sesuatu pancingan atau di bawah sesuatu tekanan, bahkan juga pada saat yang amat gawat, yakni ketika Mu’awiyah memutuskan hendak memberikan bai’at sebagai khalifah bagi Yazid dengan ketajaman senjata!Mu’awiyah mengirim Surat bai’at itu kepada Marwan guber­nurnya di Madinah dan menyuruh dibacakannya kepada Kaum Muslimin di mesjid. Marwan melaksanakan perintah itu, tetapi belum lagi selesai ia membacakannya, Abdurrahman bin Abu Bakar pun bangkit dengan maksud hendak merubah suasana hening yang mencekam itu menjadi banjir protes dan perlawanan keras katanya:  ”Demi Allah, rupanya bukan kebebasan memilih yang anda berikan kepada ummat Nabi Muhammad saw., tetapi anda hendak menjadikannya kerajaan seperti di Romawi hingga bila seorang kaisar meninggal, tampillah kaisar lain sebagai penggantinya … !”

Saat itu Abdurrahman melihat bahaya besar yang sedang mengancam Islam, yakni seandainya Mu’awiyah melanjutkan rencananya itu, akan merubah hukum demokrasi dalam Islam di mana rakyat dapat memilih kepala negaranya secara bebas, menjadi sistem monarki di mana rakyat akan diperintah oleh raja-raja atau kaisar-kaisar yang akan mewarisi takhta secara turun temurun … !

Belum lagi selesai Abdurrahman melontarkan kecaman keras ini ke muka Marwan, ia telah disokong oleh segolongan Muslimin yang dipimpin oleh Husein bin Ali, Abdullah bin Zubeir dan Abdullah bin Umar.Di belakang muncul beberapa keadaan mendesak yang memaksa Husein, Ibnu Zubeir dan Ibnu Umar berdiam diri terhadap rencana bai’at yang hendak dilaksanakan Mu’awiyah dengan kekuatan senjata ini. Tetapi Abdurrahman tidak putus-­putusnya menyatakan batalnya baiat ini secara terus terang!Mu’awiyah mengirim utusan untuk menyerahkan uang kepada Abdurrahman sebanyak seratus ribu dirham dengan maksud hendak membujuknya. 

Tetapi Abdurrahman melempar­kan harta itu jauh-jauh, lalu katanya kepada utusan Mu’awiyah: “Kembalilah kepadanya dan katakan bahwa Abdurrahman tak hendak menjual Agamanya dengan dunia...!”Tatkala diketahuinya setelah itu bahwa Mu’awiyah sedang bersiap-siap hendak melakukan kunjungan ke Madinah, Abdur­rahman segera meninggalkan kota itu menuju Mekah. Dan rupanya iradat Allah akan menghindarkan dirinya dari bencana dan akibat pendiriannya ini ….Karena baru saja ia sampai di luar kota Mekah dan tinggal sebentar di sana, ruhnya pun berangkat menemui Tuhannya. 

Orang-orang mengusung jenazahnya di bahu-bahu mereka dan membawanya ke suatu dataran tinggi kota Mekah lalu memakam­kannya di sana, yakni di bawah tanah yang telah menyaksikan masa jahiliyahnya …. dan juga telah menyaksikan masa Islam­nya . . . ! Yakni keislaman seorang laki-laki yang benar, berjiwa bebas dan kesatria … !



(48)  
`ABD AR RAHMAN IBN ABI BAKR  
A Hero to the End! 

        He was a clear image and reflection of Arab chivalry in its depth. His father was As-siddiiq, the first convert, an incomparable believer, one of two who were in the cave. Despite all that, his son `Abd Ar- Rahman stuck persistently and firmly to the pagan religion of his clan and to the idols of the Quraish.  

       At the Battle of Badr, he fought on the side of the Quraish. During the Battle of Uhud he was in the forefront of the spearmen recruited by the Quraish to combat the Muslims.  

        Before any fight there was a traditional dueling round (single combat). `Abd Ar-Rahman stood out asking the Muslims whom they were going to choose to fight with him. His father, Abu Bakr As-siddiiq (May Allah be pleased with him) rushed out to combat his son. However, the Prophet (PBUH) held him back, hindering him from doing so.  

       Any true Arab is primarily characterized by his loyalty to his conviction. Being convinced with a faith or an idea means being enslaved by such conviction; there is no way to rid himself of it, unless a new conviction fills his mind and soul without deceit or falsification.  

       Despite `Abd Ar-Rahman's respect for his father, his trust in his father's rationality, and the greatness of his manners and soul, despite all that, his loyalty to his conviction proved to be superior. His father's conversion to Islam did not tempt him to change his conviction.  

       He remained unchanged, carrying out the responsibilities of his faith and conviction, defending the idols of the Quraish and fighting under their standard, the way brave warriors do.  

       As for the noble and powerful men of that type, truth prevails eventually, no matter how long it takes. Their noble essence, the light of their sincerity is soon going to guide them, uniting them with guidance and blessing.  

        The clock of fate struck to announce a new birth for `Abd Ar Rahman. Light of guidance lit up sweeping away all murkiness, darkness, and devices inherited from pagan days. He soon could visualize Allah, the One and Only, in all surrounding creatures and things. It was here that guidance deepened its roots within his soul, it was here he became a Muslim.  

       Without delay he set off towards the Prophet (PBUH). He became one who returns ever to the religion of truth. Abu Bakr's face beamed with happiness and delight seeing his son swearing the oath of allegiance to the Prophet (PBUH).  

       He had been a true polytheist, but now he was a true Muslim. No greed directed his steps, no fear pushed him, just a rational, rightly-guided conviction blessed by Allah's guidance and success. Soon he started to replace previous deeds with doing the best, striving in the cause of Allah, His Prophet and the faithful.  

       During the whole period of the Prophet (PBUH) and the era of caliphs who succeeded him, `Abd Ar-Rahman never missed a battle nor refrained from taking part in any jihaad.  

       His endeavor and striving on the Day of Al-Yamaamah will never be forgotten. His firm resistance and bravery played a great role in achieving victory against the apostate army of Musailamah. It was he, Abd Ar-Rahman, who killed Muhkam Ibn At-Tufail, Musailamah's schemer and the main guard of the castle inside which the apostate army took refuge.  

 As soon as Muhkam fell down from the hard stroke of Abd Ar-Rahman, all those around him scattered, leaving a wide entrance open so the Muslim warriors could hasten inside.  

        Under the standard of Islam `Abd Ar-Rahman's habits became more bright and shining. He was loyal to his conviction, completely determined to carry out and follow what was right and true, refusing all kinds of flattery and servility. All these manners were the essence of his personality as well as his whole life. He never abandoned his principles even when tempted by a desire or influenced by a fear.  

        Even on that terrible day, when Mu'aawiyah decided to force the pledge to Yaziid by the sword. On that day, a message was sent to Marwaan, the governor of Al-Madiinah. It included the oath of allegiance which was to be read aloud in the mosque so that all the Muslims would hear it. Marwaan did what was ordered. When he finished reading it, `Abd Ar-Rahman Ibn Abi Bakr turned the atmosphere of silence and depression which covered the mosque into one of loud opposition and firm resistance saying, "By Allah, it's not the welfare of Muhammad's nation that you are seeking. On the contrary, you want to turn it into a Heraclian rule. When Heraclius dies another follows."  

       `Abd Ar-Rahman could dearly see the dangers awaiting Islam if Mu'aawiyah was to carry out his desire. He could see how the transfer of power within Islam was changing from one based on national consultation by which the nation chooses its leader, to one of autocracy, by which emperors are imposed upon the people, one after the other.  

       `Abd Ar-Rahman had hardly finished these firm and loud resisting words when a group of Muslims hurried to support him. Leading them were Al-Hussain Ibn `Aliy, `Abd Allah Ibn Az-Zubair and `Abd Allah Ibn `Umar.  

       However for some compelling reason which occurred later on, they all were forced to hold a position of silence towards this pledge of allegiance which Mu'aawiyah decided to take by force of sword. But `Abd Ar-Rahman continued to resist loudly. 

Mu'aawiyah sent him someone with 100,000 dirhams, hoping to please him. 
        Ibn As-siddiiq threw the money and said frankly to Mu'aawiyah's messenger, "Go back to him and tell him, it's not `Abd Ar-Rahman who is going to buy his life by losing his faith."  

       As soon as he heard the news that Mu`aawiyah had set off towards Al-Madiinah, he left it heading to Makkah.  

       Allah wanted to save him the temptation of such a situation and its bad results. He had hardly reached the borders of Makkah when his soul submitted itself to Allah's appeal. Men carried the body and buried it in Makkah, which had witnessed his pagan past but also witnessed his conversion to Islam, the conversion of an honest, free, and brave man.

.¤ª"˜¨¯¨¨Abdraahman Bin Abi Bakar¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨'Abd Rahman Ibn Abi Bakar¸,ø¨¨"ª¤. 


oo



.¤ª"˜¨¯¨¨Usamah Bin Zaid oUsaamah Ibn Zaid¸,ø¨¨"ª¤. 
Kesayangan, putera dari kesayangan. 


Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab r.a. sedang duduk membagi-bagikan uang perbendaharaan negara kepada Kaum Muslimin. Ketika datang giliran Abdullah bin Umar, khalifah pun memberikan bagiannya. 

Dan tatkala tiba giliran Usamah bin Zaid, Umar memberinya bagian dua kali lipat dari bagian puteranya Abdullah ….Karena biasanya Umar mengeluarkan pemberian kepada orang-orang itu sesuai dengan kelebihan dan jasa mereka terhadap Islam, maka Abdullah khawatir kalau-kalau kedudukannya dalam Islam itu berada pada urutan terakhir padahal ia amat mengharapkan agar dengan ketaatan dan perjuangannya, dengan sifat zuhud dan keshalehannya, ia akan tercatat di sisi Allah sebagai salah seorang dari angkatan pelopor dan barisan depanOleh sebab itulah ia menanyakan kepada bapaknya, kata­nya:“‘Kenapa ayahanda lebih mengutamakan Usamah dari anakanda, padahal anakanda mengikuti Rasulullah, dalam peperangan yang tidak diikutinya?”

Ujar Umar: “Usamah lebih di­cintai Rasulullah daripadamu . . . , sebagaimana ayahnya lebih disayanginya daripada ayahmu … !”Nah, siapakah dia orang ini, yang derajat kesayangan Rasul­ullah kepadanya dan kepada bapaknya, lebih tinggi dari kepada Abdullah bin Umar, bahkan dari kepada Umar sendiri … ?

Itulah dia Usamah bin Zaid … ! Dan para shahabat meng­gelarinya
“Kesayangan, putera dari kesayangan “.

 Bapaknya yang bernama Zaid bin Haritsah adalah pelayan Rasulullah yang lebih mengutamakannya dari ibu bapak dan kaum keluarganya, dan yang oleh Rasulullah dihadapkannya kepada serombongan shahabatnya, seraya katanya: “Saya persaksikan kepada kamu sekalian bahwa Zaid ini adalah puteraku, yang akan menjadi ahli warisku dan aku akan menjadi ahli warisnya . . . !” Maka terkenallah namanya di kalangan Kaum Muslimin sebagai Zaid bin Muhammad saw., sampai saat dihapusnya kebiasaan meng­ambil anak angkat itu oleh al-Quranul Karim.Maka Usamah ini adalah puteranya. Sedang ibunya yaitu Ummu Aiman, bekas sahaya Rasulullah dan pengasuhnya. Mengenai rupa dan bentuk lahirnya, tidak disiapkan untuk sesuatu keahlian, walau pekerjaan apa pun. Sebagaimana dilukis­kan oleh para sejarawan dan ahli-ahli riwayat, kulitnya hitam dan hidungnya pesek.Memang, dengan dua kata ini Saja tak perlu lebih, sejarah telah menyimpulkan pembicaraan tentang bentuk Usamah …. Tetapi, sedari kapan Islam mementingkan rupa dan bentuk lahir dari manusia . . . ? 

Kapankah, padahal Rasulnya sendiri telah rnengatakan’‘Ingatlah! Berapa banyahnya orang yang berambut kusut masai, dengan tubuh penuh debu dan pakaian yang telah usang dan lapuk hingga tak diacuhkan orang, tetapi bila ia memohon kepada Allah pasti akan dikabulkan permohonannya itu … !” (al-Hadits)Jadi kalau begitu, tidak perlu kita bicarakan mengenai bentuk lahir dari Usamah! Kita tinggalkan kulitnya yang hitam dan hidungnya yang pesek, karena dalam neraca Agama Islam, semua itu tak ada nilai dan pengaruhnya.Dan marilah kita lihat sampai di mana partisipasi dalam perjuangannya dan betapa semangat berqurbannya! Bagaimana kesederhanaannya . . . ., keteguhan pendirian, ketaatan dan keshalehan, kebesaran jiwa serta kesempurnaan peri hidupnya! 

Dalam semua itu ia telah mencapai batas yang memung­kinkannya untuk menerima limpahan kecintaan dan penghargaan Rasulullah saw. sebagai sabdanya:“Sungguh, Usamah bin Zaid adalah manusia yang paling kusayangi, dan aku berharap kiranya ia ahan termasuk orang-orang shaleh di antara kalian dan terimalah nasihatnya yang baik(al-Hadits)Usamah r.a. memiliki semua sifat utama yang menyebabkan dirinya dekat ke hati Rasulullah dan besar dalam pandangan mata Rasul. la adalah putera dari sepasang suami isteri Islam yang mulia dan termasuk rombongan pertama yang masuk Islam, dan paling dekat serta paling cinta kepada Rasulullah. la juga termasuk di antara putera-putera Islam yang murni yang dilahirkan dalam keislaman dan disusukan dari sumbernya yang bersih tanpa dikotori oleh debu jahiliyah yang gelap gulita ….

Dan walaupun usianya masih muda belia, tetapi ia r.a. telah menjadi seorang Mu’min yang tangguh dan Muslim yang kuat, yang siap sedia memikul tanggung jawab keimanan dan Agama­nya dengan kecintaan yang mendalam dan kemauan membaja. Kemudian ia adalah seorang yang amat cerdas dan kelewat rendah hati, serta mati-matian tak kenal batas berjuang di jalan Allah dan Rasul-Nya.Di samping itu, dalam Agama baru ini ia merupakan kelinci percobaan terhadap perbedaan warna kulit yang sengaja hendak dihapus dan dilenyapkan oleh Agama Islam.Maka si hitam pesek ini telah merebut kedudukan tinggi di hati Nabi dan barisan Kaum Muslimin karena Agama yang telah dipilih Allah bagi hamba-hamba-Nya telah menetapkanukuran yang sah bagi ketinggian manusia itu dengan firman Allah

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah, ialah yang paling taqwa! ” (Q S. 49 al-Hujurat: 13)

Demikiaialah ketika Rasulullah saw. memasuki kota Mekah di hari pembebasan yang terkenal itu, kita lihat sebagai pen­dampingnya ialah Usamah bin Zaid. Kemudian kita lihat pula beliau memasuki Ka’bah di saat-saat yang paling mengharukan dan penuh kenangan itu,beliau diapit di sebelah kanan oleh Bilal dan di sebelah kiri oleh Usamah,dua lelaki yang tubuh mereka dibungkus oleh kulit yang hitam pekat, tetapi kalimat­-kalimat Allah yang memenuhi rongga dada mereka yang luas dan suci telah menyepuh kulit mereka itu dengan warna yang gemilang, melambangkan kemuliaan dan ketinggian ….Dalam usianya yang masih remaja, belum lagi lebih 20 tahun, ia telah diangkat oleh Rasulullah sebagai panglima dari suatu tentara yang di antara prajurit-prajuritnya terdapat Abu Bakar dan Umar . . . !

 Di kalangan sebagian Kaum Muslimin tersinar desas-desus keberatan mereka terhadap putusan ini! Mereka menganggap tidak pada tempatnya mengangkat seorang pemuda yang masih hijau seperti Usamah bin Zaid untuk memimpin suatu pasukan tentara yang di dalamnya terdapat tokoh-tokoh Muhajirin dan pemuka-pemuka Anshar ….Bisik-bisik ini sampai ke telinga Rasulullah saw. beliau naik ke atas mimbar, lalu menyampaikan puji dan syukur kepada Allah, kemudian sabdanya:“Sebagian orang mengecam pengangkatan Usamah bin Zaid sebagai panglima . . . ! 

Sebelum ini mereka juga telah mengecam pengangkatan bapaknya . . . !

Walau bapaknya itu layak untuk menjadi panglima! Dan Usamah pun layak untuk jabatan itu!Ia adalah yang paling saya kasihi setelah bapaknya . . . ! Dan saya berharap kiranya ia termasuk salah seorang utama di antara kalian … !

Maka bantulah ia dengan memberikan nasihat yang baik …Sebelum tentara itu bergerak menuju tujuannya, Rasulullah saw. pun wafat. Tetapi ia telah meninggalkan pesan yang ber­hikmat kepada para shahabatnya; “Laksanakanlah pengiriman Usamah … ! Teruskan pemberangkatannya … !” Wasiat ini dijunjung tinggi oleh khalifah Abu Bakar. Dan walaupun suasana sepeninggal Rasulullah itu telah berubah, tetapi Abu Bakar Shiddiq bersikeras hendak melaksanakan wasiat dan perintahnya. Maka bergeraklah tentara Usamah ke Lempat yang telah ditetapkan, yakni setelah khalifah meminta izin kepadanya agar Umar dibolehkan tinggal di Madinah untuk rnendampinginya.

Maka tatkala kaisar Romawi Heraklius mendengar berita tentang wafatnya Rasulullah, pada waktu yang bersamaan di­terimanya pula berita kedatangan tentara Islam menyerang perbatasan Syria di bawah pimpinan Usamah bin Zaid. Ia pun merasa heran terhadap kekuatan Kaum Muslimin karena wafat­nya Rasulullah sedikit pun tidak mempengaruhi rencana dan kemampuan mereka!Demikianlah pihak Romawi merasa kecut, dan mereka tidak berani lagi mengambil langkah selanjutnya untuk menyerang tanah air Islam di jazirah Arab!Dan mengenai pasukan Usamah, ia kembali tanpa meninggal­kan qurban, hingga orang-orang Islam saling berkata: “Tidak pernah kita lihat, pasukan yang lebih aman dari pasukan Usamah’.. . ! “

Pada suatu hari, Usamah menerima pelajaran dari Rasulullah,suatu pelajaran yang amat dalam, yakni pelajaran yang akan menjadi pedoman bagi Usamah sepanjang hayatnya, semenjak ia ditinggalkan oleh Rasulullah sampai ia menyusul pula ke sisi Tuhannya di akhir masa pemerintahan Mu’awiyah.Dua tahun sebelum beliau wafat, Rasulullah saw. mengirim Usamah sebagai komandan dari suatu pasukan untuk meng­hadapi sebagian orang-orang musyrik yang menentang Islam dan menyerang Kaum Muslimin. Peristiwa itu merupakan pengangkatan pertama sebagai Amir atau panglima yang dialami oleh Usamah.Dalam tugas ini Usamah berhasil mencapai kemenangan, dan beritanya telah lebih dulu diterima Rasulullah, menyebab­kan beliau gembira dan berbahagia.

 Dan marilah kita dengar cerita Usamah memaparkan peristiwa itu selanjutnya: “Setiba saya dari medan laga, segera saya menghadap Nabi saw. dan sementara itu berita kemenangan telah sampai ke telinga beliau saya dapati wajahnya berseri-seri . . . , lalu disuruhnya saya mendekat, kemudian katanya: “Cobalah ceritakan kepada­ku… ! “Lalu saya ceritakan kepadanya . . . . Saya katakan bahwa tatkala orang-orangitu mengalami kekalahan, saya menemui seorang laki-laki dan kepadanya saya acungkan tombak. la mengucapkan La ilaha illallah, maka saya tusuk ia hingga tewas.

Wajah Rasulullah tiba-tiba berubah, ujarnya: “Keparat kamu, hai Usamah . . . ! Betapa tindakanmu terhadap orang yang mengucapkan La ilaha illallah?Keparat kamu, hai Usamah . . . ! Betapa perlakuanmu ter­hadap orang yang mengucapkan La ilaha illallah?” Rasulullah selalu mengulang-ulangi ucapannya itu kepada saya hingga ingin saya rasanya mengakhiri semua perbuatan yang telah saya kerjakan, lalu mulai saat itu menghadapi Islam dengan halaman baru! Maka demi Allah! Tidak . .. ! 

Saya takkan membunuh lagi seorang yang mengucapkan La ilaha illallah, setelah men­dengar kata-kata penyalahan dari Rasulullah saw. itu . . . !”Inilah dia pelajaran utama yang memberi pengarahan kepada kehidupan Usamah,kekasih putera kekasih, semenjak ia men­dengarnya dari Rasulullah sampai ia berpisah dari dunia dalam keadaan ridla dan diridlai ….Sungguh, suatu pelajaran yang dalam! Pelajaran yang meng­ungkapkan kemanusiaan Rasulullah, keadilan dan keluhuran prinsipnya, ketinggian Agama dan akhlaqnya! Laki-laki yang kematiannya disesalkan oleh Nabi ini, dan Usamah mendapat dampratan daripadanya karena membunuhnya, adalah seorang musyrik pemanggul senjata. 

Tatkala ia menyebut La ilaha illallah itu hulu pedang sedang tergenggam di tangan kanannya, sementara pada matanya masih berlekatan irisan-irisan daging yang direnggutkannya dari tubuh Kaum Muslimin. Kalimat itu diucapkannya ialah agar ia selamat dari pukulan yang mematikan, atau sebagai siasat agar ia memperoleh kesempatan untuk menciptakan suasana baru, hingga ia dapat melanjutkan peperangan kembali.Meskipun demikian, karena lidahnya telah bergerak dan mulutnya telah mengucapkannya, maka karena itu, dan pada waktu itu juga darahnya menjadi suci dan keselamatannya serta nyawanya jadi terjamin. Tidak peduli bagaimana niat, isi hati dan tujuannya yang sebenarnya … ! Pelajaran ini diperhatikan oleh Usamah sampai titik terakhir ….Nah, bila orang dalam keadaan seperti demikian, dilarang Rasulullah membunuhnya hanya karena ia membaca La illaha illallah, bagaimana terhadap orang-orang yang betul-betul beriman dan betul-betul beragama Islam … ?

Demikianlah kita lihat ketika terjadi keributan besar antara Imam Ali dan anak buahnya di satu pihak, dengan Mu’awiyah serta pengikut-pengikutnya di lain pihak, Usamah mengambil sikap tidak memihak secara mutlak. Sebenarnya ia amat men­cintai Ali, dan berpendapat bahwa Ali di pihak yang benar . . .  Tetapi betapapun ia tidak berani membunuh dengan pedangnya seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan kepada Rasul­Nya, padahal la telah dicela oleh Rasulullah karena membunuh seorang musyrik yang memanggul senjata yang di saat kalah dan lari sempat membaca La ilaha illallah … ?Ketika itu dikirimnyalah sepucuk surat kepada Imam Ali, yang di antara suratnya itu berisi sebagai berikut:  ”Seandainya anda berada di mulut singa sekalipun, saya bersedia untuk masuk bersama anda ke dalamnya … !

 Tetapi mengenai urusan ini sekali-kali tak masuk dalam pikiranku … !”Maka selama perselisihan dan peperangan itu ia tetap berada di rumahnya dan tidak hendak meninggalkannya. Dan tatkala datang beberapa orang shahabatnya membicarakan pendiriannya, katanya kepada mereka: — “Saya tak hendak memerangi orang yang mengucapkan La ilaha illallah untuk selama-lamanya … !”Salah seorang di antara mereka mendebatnya, katanya: “Bukankah Allah berfirman: “Dan perangilah mereka hingga tak ada lagi fitnah, dan Agama seluruhnya menjadi milik Allah?”

 Jawab Usamah: — “Itu terhadap orang-orang musyrik dan kita telah memerangi mereka hingga fitnah menjadi lenyap dan agama seluruhnya menjadi milik Allah … !”

Pada tahun 54 Hijrah, hati Usamah sudah amat rindu sekali hendak berjumpa dengan Allah, hingga ruhnya telah resah gelisah dalam rongga dadanya, ingin hendak kembali ke tempat asalnya ….Maka terbukalah pintu-pintu surga, untuk menyambut ke­pulangan salah seorang yang gemar beramal baik dan ber­taqwa….


(47)  
USAAMAH IBN ZAID  
The Beloved Son of the Beloved 

        Umar Ibn Al-Khattaab, Commander of the Faithful, sat down to distribute money from the treasury among the Muslims.  

        It was `Abd Allah Ibn `Umar's turn, and `Umar gave him his share. Then it was the turn of Usaamah Ibn Zaid. `Umar gave him double of what he gave his son `Abd Allah. As `Umar gave people according to their merit and endeavor, `Abd Allah Ibn `Umar was afraid that his position was not as highly acknowledged as he desired, to be one of the closest to Allah through his obedience, endeavor, piety, and asceticism.  

       Therefore, he asked his father, "You preferred Usaamah, although I experienced with the Messenger of Allah what he did not." Umar answered, "Usaamah was more beloved by the Prophet (PBUH) than you were, and his father was more beloved by the Prophet (PBUH) than your father was.  
   
    Who was it, together with his father that was so close to the Prophet's heart and love? It was a high position which Ibn `Umar did not reach, nor did his father, `Umar himself.  

        Who was it? It was Usaamah Ibn Zaid who has been called among the Prophet's Companions "The Beloved Son of the Beloved".  
   
   His father was Zaid Ibn Haarithah the Prophet's servant, who preferred the Prophet (PBUH) over own his father, mother and kin. He was with him when the Prophet (PBUH) stood in front of a large group of Companions saying, "I let you bear witness that Zaid is my son, inheriting from me and I inheriting from him."  

        His name remained Zaid Ibn Muhammad until the practice of child adoption was abolished by the Qur'aan. Usaamah is his son. His mother was Umm Aiman, the Prophet's servant and nurse maid. Usaamah's physical appearance made him appear a good for- nothing. Historians and narrators described him as being dark- skinned and snub-nosed. By these two words, not more, did history summarize Usaamah's physical appearance.  

        However, since when did Islam ever care about a person's physical characteristics? Was it not the Prophet (PBUH) who said, "Maybe a Muslim's hair is unkempt and his feet covered with dust and his clothes are not neat, but, if he swore by Allah he would fulfill his oath?"  

        Therefore, let us set his appearance aside. Leave his dark skin and snub nose alone; nothing of that sort has weight in Islam. Let us instead take stock of his loyalty. How was his devotion? How was his virtue? How was his honesty? How was his piety? How great was his soul? on account of the qualities of his soul, he reached a worthiness that made him eligible to receive the Prophet's infinite love and acknowledgment: "Usaamah Ibn Zaid is the most beloved to me and I wish him to be one of the virtuous. I recommend you to treat him well."  
     
  Usaamah (May Allah be pleased with him) had all the great characteristics which enabled him to be so close to the Prophet's heart and beloved in his eyes. He was the son of two generous Muslims belonging to the first converts to Islam who, at the same time, were the closest and most loyal to the Messenger of Allah (PBUH).  

       As one of the true sons of Islam, he was nurtured from his first days by Islam's pure nature without experiencing the murkiness of the pagan period.  

 Despite his young and tender age, he was a firm believer and a staunch Muslim fulfilling all the duties of his faith with deep loyalty and an unbreakable will. With great intellect and humility, limits to his devotion to Allah and His Prophet (PBUH) could not found. Furthermore, he represented the victims of all kinds of discrimination who were saved by Islam. How could this dark- skinned, snub-nosed fellow attract the heart of the Prophet (PBUH) and Muslims to such an elevated rank! This could only be possible when Islam corrected human norms and values dealing with discrimination against people: " Surely the most honourable of you in the sight of Allah is the most pious of you" (49-13).  

        On the day of the Conquest of Makkah, the Prophet's Companion who was riding behind him on horseback was that dark- skinned, snub-nosed Usaamah Ibn Zaid. Among the most victorious days of Islam was the day of the Conquest of Makkah. On that day, on the Prophet's right and left were Bilaal and Usaamah, two dark-skinned men; however Allah's word which they carried in their pure, virtuous hearts made them deserving of all kinds of merit and elevated position.  
    
    Usaamah had not yet reached the age of 20 when the Prophet (PBUH) ordered him to be head of an army which had among its soldiers Abu Bakr and `Umar. A growl spread around among a group of Muslims who were distressed by this matter and who found it too much for a youth such as Usaamah Ibn Zaid to command an army which included a large number of Muhaajiruun and elderly Ansaar.

Their whispers reached the Messenger of Allah (PBUH), so he ascended the pulpit, thanked and praised Allah and then said, "Some people criticized Usaamah's army command; they criticized his father's command before him. His father deserved to be the commander as well as Usaamah. He is the most beloved to me next to his father, and I hope he is among the virtuous ones. I request you to treat him well."  

       The Prophet (PBUH) died before the army set off towards its destination; however the Prophet had left his wise testament to his Companions: "Fulfill Usaamah's commission. Fulfill Usaamah's commission."  
    
   Despite the new circumstances created by the Prophet's death, Abu Bakr As-siddiiq, the first caliph, insisted upon fulfilling the Prophet's testament. Usaamah's army set off to its destination; the caliph only requested Usaamah to allow `Umar to stay behind to be with him in Al-Madiinah.  

        At the same time, the Roman (Byzantine) emperor heard the news of the Prophet's death and that an army headed by Usaamah Ibn Zaid was attacking the borders of Syria. He could not hide his astonishment and wonder about the strength of the Muslims, whose plans and potential were not affected by the Prophet's death. Consequently, the Romans abstained from utilizing the Syrian borders as a leaping point upon Islam's center in the Arabian Peninsula, and thereby their power began to shrink.  

        Usaamah's army returned safely without any causalities so that the Muslims said, "We've never seen a safer army than Usaamah's."  

       It was by the Prophet (PBUH) himself that Usaamah had been taught the lesson of his life, a very wise lesson. Usaamah lived according to its wisdom from the Prophet's death until he himself left our world during the latter phase of Mu'aawiyah's caliphate.  

        Two years before the Prophet's death, Usaamah was sent by the Prophet (PBUH) to lead a detachment which was meeting some polytheists attacking Islam and its followers. It was the first time for Usaamah to be appointed head of a detachment. He accomplished his duty successfully and victoriously. News of his victory preceded his arrival and the Prophet (PBUH) was indeed glad.  

        Let us leave the rest of the story to be narrated by Usaamah himself: When I reached the Prophet (PBUH) the proclamation of good news had already reached him. The Prophet's face beamed jubilantly. He asked me to sit closer to him and said, "Tell me." I went on telling and narrating. I mentioned to him that at one point the polytheists were defeated and I could reach a man, at whom I pointed my spear. The man said, "There is no god but Allah. Nevertheless I pierced and killed him with my lance. The Prophet's attitude changed. He said, "Woe unto you! How dare you do that when he said, There is no god but Allah. Woe unto you! How dare you do that when he said, There is no god but Allah." He continued saying that to such an extent that I wished to rid myself of all my deeds and embrace Islam afresh on that day. No, by Allah, I will never fight anyone saying, There is no god but Allah, after what I have heard from the Prophet (PBUH).  

        Usaamah was guided by the wisdom of this lesson throughout his life. 

        What a wise lesson! A lesson revealing the Prophet's humanity, his justice, the eminence of his principles, the greatness of his faith and manners. Despite the fact that if was a polytheist warrior who had been killed by Usaamah, the killing was much regretted by the Prophet (PBUH).  

        At the same moment this warrior said, "There is no god but Allah," he was holding a sword in his right hand, a sword upon which pieces of Muslim flesh were still hanging. He said it to save his soul or to give himself another chance to change his direction or resume fighting.  
     
   Nevertheless, because he said it, his blood became inviolate and his life secure and safe at the same moment and for the same reason, whatever his intention or his inward desire may have been. Usaamah understood the lesson fully. If the Prophet (PBUH) forbids the killing of a man in such a situation for the reason that he said, "There is no god but Allah," what about the true believers and true Muslims? Therefore, Usaamah held a neutral position during the period of the civil strife between Imam `Aliy with his followers on one hand and Mu'aawiyah on the other.  
      
 He loved `Aliy very much and could see the truth on his side. But after having been blamed by the Prophet (PBUH) for the murder of a polytheist who said, "There is no god but Allah," how could he ever kill a Muslim believing in Allah and His Prophets? Therefore, he sent a message to `Aliy saying, "If you were in a lion's jaw, I would love to enter it with you. But I've never seen a situation like this before."    He kept within doors during the whole period of the fighting and war. When some of his companions came to argue with him over his decision, he simply said, "I will never fight anyone saying, There is no god but Allah."  

        Once, one cited' him the verse "And continue fighting them until there is no more persecution and GOD's Religion prevails"  (2:193). 

He replied, " Those are the polytheists and we fought them until there wasn't any persecution and Allah's religion prevailed."
  
        In A.H. 54 Usaamah longed to meet with Allah. on that day the gates of Paradise opened to receive one of the most reverent and pious believers.


.¤ª"˜¨¯¨¨Usamah Bin Zaid oUsaamah Ibn Zaid¸,ø¨¨"ª¤.