acebook




.¤ª"˜¨¯¨¨Mu'adz Bin Jabal oo Mu'aadh Ibn Jabal¸,ø¨¨"ª¤.

Cendekiawan Muslim yang paling tahu mana
yang halal dan mana yang haram. 

Tatkala Rasulullah mengambil bai’at dari orang-orang Anshar pada perjanjian ‘Aqabah yang kedua, di antara para utusan yang terdiri atas 70 orang itu terdapat seorang anak muda dengan wajah berseri, pandangan menarik dan gigi putih berkilat serta memikat perhatian dengan sikap dan ketenangannya. Dan jika bicara maka orang yang melihat akan tambah terpesona karena­nya
Nah, itulah dia Mu’adz bin Jabal. Dan kalau begitu, maka ia adalah seorang tokoh dari kalangan Anshar yang ikut bai’at pada perjanjian ‘Aqabah kedua, hingga termasuk Assabiqunal Awwalun, golongan yang pertama masuk Islam. Dan orang yang lebih dulu masuk Islam dengan keimanan serta keyakinannya seperti demikian, mustahil tidak akan turut bersama. Rasulullah dalam setiap perjuangan. Maka demikianlah halnya Mu’adz ….Tetapi kelebihannya yang paling menonjol dan keistimewa­annya yang utama ialah fiqih atau keahliannya dalam soal hukum. Keahliannya dalam fiqih dan ilmu pengetahuan ini mencapai taraf yang menyebabkannya berhak menerima pujian dari Rasulullah saw. dengan sabdanya: “Ummatku yang paling tahu akan yang halal dan yang haram ialah Mu’adz bin Jabal”.

Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu’adz hampir sama dengan Umar bin Khatthab. Ketika Rasulullah hendak mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya:
“Apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu’adz?” “Kitabullah”, ujar Mu’adz. “Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?”, tanya Rasulullah pula. “Saya putus dengan Sunnah Rasul” ujar Mu’adz. “Jika tidak kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?” “Saya pergunakan fikiranku untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia”. Maka berseri-serilah wajah Rasul­ullah, sabdanya: “Segala puji bagi Allah yang telah mem­beri taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridlai oleh Rasulullah . . . “. Maka kecintaan Mu’adz terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tidak menutup pintu untuk mengikuti buah fikiran­nya, dan tidak menjadi penghalang bagi akalnya untuk me­mahami kebenaran-kebenaran dahsyat yang masih tersembunyi, yang menunggu usaha orang yang akan menghadapi dan me­nyingkapnya.

Dan mungkin kemampuan untuk berijtihad dan keberanian menggunakan otak dan kecerdasan inilah yang menyebabkan Mu’adz berhasil mencapai kekayaan dalam ilmu fiqih, mengatasi teman dan saudara-saudaranya, hingga dinyatakan oleh Rasul­ullah sebagai “orang yang paling tahu tentang yang halal dan yang haram”. 

Dan cerita-cerita sejarah melukiskan dirinya bagaimana adanya, yakni sebagai otak yang cermat dan jadi penyuluh serta dapat memutuskan persoalan dengan sebaik­-baiknya …. Di bawah ini kita musti cerita tentang ‘A’idzullah bin Ab­dillah yakni ketika pada suatu hari di awal pemerintahan Kha­lifah Umar, ia masuk mesjid bersama beberapa orang shahabat, katanya: “Maka duduklah saya pada suatu majlis yang dihadiri oleh tiga puluh orang lebih, masing-masing menyebutkan sebuah Hadits yang mereka terima dari Rasulullah saw. Pada halaqah atau lingkaran itu ada seorang anak muda yang amat tampan — hitam manis warna kulitnya, bersih, manis tutur katanya dan termuda usianya di antara mereka. Jika pada mereka terdapat keraguan tentang suatu Hadits, mereka tanyakan kepada anak muda itu yang segera memberikan fatwanya, dan ia tak hendak berbicara kecuali bila diminta …. Dan tatkala majlis itu berakhir, saya dekati anak muda itu dan saya tanyakan siapa namanya. Ujarnya: “Saya adalah Mu’adz bin Jabal”. Dalam pada itu Abu Muslim al-Khaulani bercerita pula:
“Saya masuk ke masjid Hamah, kiranya saya dapati segolong­an orang-orang tua sedang duduk dan di tengah-tengah mereka ada seorang anak muda yang berkilat-kilat giginya. Anak muda itu diam tak buka suara. Tetapi bila orang-orang itu merasa raga tentang sesuatu masalah, mereka berpaling dan bertanya kepadanya. Kepada teman karibku saya ber­tanya: “Siapakah orang ini?” “Itulah dia Mu’adz bin Jabal”, ujarnya, dan dalam diriku timbullah perasaan suka dan sayang kepadanya ……

Shahar bin Hausyab tidak ketinggalan memberikan ulasan, katanya:“Bila para. shahabat berbicara sedang di antara mereka hadir ‘Mu’adz bin Jabal, tentulah mereka akan sama me­minta pendapatnya karena kewibawaannya … !”Dan Amirul Mu’minin Umar r.a. sendiri sering meminta pendapat dan buah fikirannya. Bahkan dalam salah satu peris­tiwa di mana ia memanfaatkan pendapat dan keahliannya dalam hukum, Umar pernah berkata: “Kalau tidaklah berkat Mu’adz bin Jabal, akan celakalah Umar!”Dan ternyata Mu’adz memiliki otak yang terlatih baik dan logika yang menawan serta memuaskan lawan, yang mengalir dengan tenang dan cermat. Dan di mana saja kita jumpai nama­nya — di celah-celah riwayat dan sejarah, kita dapati ia sebagai yang selalu menjadi pusat lingkaran. Di mana ia duduk selalulah dilingkungi oleh manusia.Ia seorang pendiam, tak hendak bicara kecuali atas per­mintaan hadirin. Dan jika mereka berbeda pendapat dalam suatu hal, mereka pulangkan kepada Mu’adz untuk memutuskannya. Maka jika ia telah buka suara, adalah ia sebagaimana dilukiskan oleh salah seorang yang mengenalnya: “Seolah-olah dari mulut­nya keluar cahaya dan mutiara . . .”.Dan kedudukan yang tinggi di bidang pengetahuan ini serta penghormatan Kaum Muslimin kepadanya, baik selagi Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat, dicapai Mu’adz se­waktu ia masih muda. Ia meninggal dunia di masa pemerintahan Umar, sedang usianya belum lagi 33 tahun …

Mu’adz adalah seorang yang murah tangan, lapang hati dan tinggi budi. Tidak suatu pun yang diminta kepadanya, kecuali akan diberinya secara berlimpah dan dengan hati yang ikhlas. Sungguh kemurahan Mu’adz telah menghabiskan semua hartanya. Ketika Rasulullah saw. wafat, Mu’adz masih berada di Yaman, yakni semenjak ia dikirim Nabi ke sana untuk mem­bimbing Kaum Muslimin dan mengajari mereka tentang seluk­beluk Agama.

Di masa pemerintahan Abu Bakar, Mu’adz kembali ke Yaman. Umar tahu bahwa Mu’adz telah menjadi seorang yang kaya raya, maka diusulkan Umar kepada khalifah agar kekayaan­nya itu dibagi dua. Tanga menunggu jawaban Abu Bakar, Umar segera pergi ke rumah Mu’adz dan mengemukakan masalah tersebut.Mu’adz adalah seorang yang bersih tangan dan suci hati. Dan seandainya sekarang ia telah menjadi kaya raya, maka kekayaan itu diperolehnya secara halal, tidak pernah diperoleh­nya secara dosa bahkan juga tak hendak menerima barang yang syubhat. Oleh sebab itu usul Umar ditolaknya dan alasan yang dikemukakannya dipatahkannya dengan alasan pula …. Umar berpaling dan meninggalkannya . . . . Pagi-pagi keesokan harinya Mu’adz segera pergi ke rumah Umar. Demi sampai di sana, Umar dirangkul dan dipeluknya, sementara air mata mengalir mendahului perkataannya, seraya berkata: “Malam tadi saya bermimpi masuk kolam yang penuh dengan air, hingga saya cemas akan tenggelam. Untunglah anda datang, hai Umar dan menyelamatkan saya … ! “

Kemudian bersama-sama mereka datang kepada Abu Bakar, dan Mu’adz meminta kepada khalifah untuk mengambil seperdua hartanya. “Tidak suatu pun yang akan saya ambil darimu”, ujar Abu Bakar. “Sekarang harta itu telah halal dan jadi harta yang baik”, kata Umar menghadapkan pembicarannya kepada Mu’adz.Andai diketahuinya bahwa Mu’adz memperoleh harta itu dari jalan yang tidak Baik, maka tidak satu dirham pun Abu Bakar yang shalih itu akan menyisakan baginya. Namun Umar tidak pula berbuat salah dengan melemparkan tuduhan atau menaruh dugaan yang bukan-bukan terhadap Mu’adz. Hanya saja masa itu adalah masa gemilang, penuh dengan tokoh-tokoh utama yang berpacu mencapai puncak keutamaan. Di antara mereka ada yang berjalan secara santai, tak ubah bagai burung yang terbang berputar-putar; ada yang berlari cepat, dan ada pula yang berlari lambat, namun semua berada dalam kafilah yang sama menuju kepada kebaikan ….

Mu’adz pindah ke Syria, di mana ia tinggal bersama pen­duduk dan orang yang berkunjung ke sana sebagai guru dan ahli hukum. Dan tatkala Abu Ubaidah — amir atau gubernur militer di sana  serta shahabat karib Mu’adz meninggal dunia, ia di­angkat oleh Amirul Mu’minin Umar sebagai penggantinya di Syria. Tetapi hanya beberapa bulan saja ia memegang jabatan itu, ia dipanggil Allah untuk menghadap-Nya dalam keadaan tunduk dan menyerahkan diri …Umar r.a. berkata:“Sekiranya saya mengangkat Mu’adz sebagai pengganti, lalu ditanya oleh Allah kenapa saya mengangkatnya, maka akan saya jawab: Saya dengar Nabi-Mu bersabda: Bila ulama menghadap Allah ‘Azza wa Jalla, pastilah Mu’adz akan berada di antara mereka … !”Mengangkat sebagai pengganti,  yang dimaksud Umar di sini ialah penggantinya sebagai khalifah bagi seluruh Kaum Muslimin, bukan kepala sesuatu negeri atau wilayah. Sebelum menghembuskan nafasnya yang,akhir, Umar pernah ditanyai orang: “Bagaimana jika anda tetapkan pengganti anda?” artinya anda pilih sendiri orang yang akan menjadi khalifah itu, lalu kami bai’at dan menyetujuinya … ‘ Maka ujar Umar: “Seandainya Mu’adz bin Jabal masih hidup, tentu saya angkat ia sebagai khalifah, dan kemudian bila saya meng­hadap Allah ‘Azza wa Jalla dan ditanya tentang pengangkat­annya: Siapa yang kamu angkat menjadi pemimpin bagi ummat manusia, maka akan saya jawab: Saya angkat Mu’adz bin Jabal setelah mendengar Nabi bersabda: Mu’adz bin Jabal adalah pemimpin golongan ulama di hari qiamat. . . “

Pada suatu hari Rasulullah saw, bersabda: “Hai Mu’adz! Demi Allah saya sungguh sayang kepadamu. Maka jangan lupa setiap habis shalat mengucapkan: Ya Allah, bantulah daku untuk selalu ingat dan syukur serta beribadat dengan ikhlas kepada-Mu … !” Tepat sekali: “Ya Allah, bantulah daku … ! “

Rasulullah saw. selalu mendesak manusia untuk memahami makna yang agung ini yang maksudnya ialah bahwa tiada daya maupun upaya, dan tiada bantuan maupun pertolongan kecuali dengan pertolongan dan daya dari Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Mu’adz mengerti dan memahami ajaran tersebut dan telah menerapkannya secara tepat . . . . Pada suatu pagi Rasulullah bertemu dengan Mu’adz, maka tanyanya:
— Bagaimana keadaanmu di pagi hari ini, hai Mu’adz?
— Di pagi hari ini aku benar-benar telah beriman, ya Rasulullah, ujar Mu adz.—Setiap kebenaran ado hakikatnya, ujar Nabi pula, maka apakah hakikat keimananmu?
—Ujar Mu adz: Setiap berada di pagi hari, aku menyangka tidak akan menemui lagi waktu sore. Dan setiap berada di waktu sore, aku menyangka tidak akan mencapai lagi waktu pagi . . . Dan tiada satu langkah pun yang kulangkahkan, kecuali aku menyangka tiada akan diiringi lagi dengan langkah lainnya . . . Dan seolah­-olah kesaksian setiap ummat jatuh berlutut, dipanggil melihat buku catatannya . . . . Dan seolah-olah ku­saksikan penduduk surga meni’mati kesenangan surga . . . Sedang penduduk neraka menderita siksa dalam neraka. Maka sabda Rasulullah saw.: Memang, kamu mengetahuinya, maka pegang teguhlah jangan dilepas­kan … ! Benar dan tidak salah Mu’adz telah menyerahkan seluruh jiwa raga dan nasibnya kepada Allah, hingga tidak suatu pun yang tampak olehnya hanyalah Dia . . . ! Tepat sekali gam­baran yang diberikan Ibnu Mas’ud tentang k6pribadiannya, katanya: “Mu’adz adalah seorang hamba yang tunduk kepada Allah dan berpegang teguh kepada Agama-Nya. Dan kami meng­anggap Mu’adz serupa dengan Nabi Ibrahim as

Mu’adz senantiasa menyeru manusia untuk mencapai ilmu dan berdzikir kepada Allah … Diserunya mereka untuk mencari ilmu yang benar lagi bermanfaat, dan katanya: “Waspadalah akan tergelincirnya orang yang berilmu! Dan kenalilah kebenaran itu dengan kebenaran pula, karena kebenaran itu mempunyai cahaya … ! Menurut Mu’adz, Ibadat itu hendaklah dilakukan dengan cermat dan jangan berlebihan. Pada suatu hari salah seorang Muslim meminta kepadanya agar diberi pelajaran. —  Apakah anda sedia mematuhinya bila saya ajarkan? tanya Mu’adz.—  Sungguh, saya amat berharap akan mentaati anda! ujar orang itu. Maka kata Mu’adz kepadanya: “Shaum dan berbukalah … ! Lakukanlah shalat dan tidurlah … Berusahalah mencari nafkah dan janganlah berbuat dosa …. Dan janganlah kamu mati kecuali dalam beragama Islam …. Serta jauhilah do’a dari orang yang teraniaya . . .!
Menurut Mu’adz, ilmu itu ialah mengenal dan beramal, katanya: “Pelajarilah segala ilmu yang kalian sukai, tetapi Allah tidak akan memberi kalian manfa’at dengan ilmu itu sebelum kalian meng’amalkannya lebih dulu … !”

Baginya iman dan dzikir kepada Allah ialah selalu siap siaga demi kebesaran-Nya dan pengawasan yang tak putus-putus terhadap kegiatan jiwa. Berkata al-Aswad bin Hilal:
“Kami berjalan bersama Mu’adz, maka katanya kepada kami: Marilah kita duduk sebentar meresapi iman … ! “

Mungkin sikap dan pendiriannya itu terdorong oleh sikap jiwa dan fikiran yang tiada mau diam dan bergejolak sesuai dengan pendiriannya yang pernah ia kemukakan kepada Rasulullah, bahwa tiada satu langkah pun yang dilangkahkannya kecuali timbul sangkaan bahwa ia tidak akan mengikutinya lagi dengan langkah berikutnya. Hal itu ialah karena tenggelamnya dalam mengingat-ingat Allah dan kesibukannya dalam menganalisa dan mengoreksi dirinya …..

Sekarang tibalah ajalnya, Mu’adz dipanggil menghadap Allah . . . . Dan dalam sakaratul maut, muncullah dari bawah sadarnya hakikat segala yang bernyawa ini; dan seandainya ia dapat berbicara akan mengalirlah dari lisannya kata-kata yang dapat menyimpulkan urusan dan kehidupannya ….

Dan pada saat-saat itu Mu’adz pun mengucapkan perkataan yang menyingkapkan dirinya sebagai seorang Mu’min besar. Sambil matanya menatap ke arah langit, Mu’adz munajat kepada Allah yang Maha Pengasih, katanya: “Ya Allah, sesungguhnya selama ini aku takut kepada-Mu, tetapi hari ini aku mengharapkan-Mu. …
Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa aku tidaklah mencintai dunia demi untuk mengalirkan air sungai atau menanam kayu-kayuan . . . . tetapi hanyalah untuk menutup hawa di kala panas, dan menghadapi saat-saat yang gawat, serta untuk menambah ilmu pengetahuan, keimanan dan ketaatan . . .”.

Lalu diulurkanlah tangannya seolah-olah hendak bersalaman dengan maut, dan dalam keberangkatannya ke alam ghaib masih sempat ia mengatakan: “Selamat datang hai maut …. Kekasih tiba di saat diperlukan . . .Dan nyawa Mu’adz pun melayanglah menghadap Allah Kita semua kepunyaan Allah ….

Dan kepada-Nya kita kembali ….

(8)  
MU'AADH IBN JABAL  
The Most Learned of Halaal and Haraam 

        Among the seventy-man delegation of the Ansaar who took the oath of allegiance to the Prophet in the Second Allegiance of `Aqabah sat a young man with a bright face, graceful eyes, and a radiant smile. When he was silent, he attracted attention with his profound peacefulness and devoutness. On the other hand, when he talked, he held his people spellbound. This young man was Mu'aadh lbn Jabal (May Allah be pleased with him). He belonged to the Ansaar, and he was among the foremost believers who gave the second oath of allegiance to the Prophet. Naturally, a man of such precedence, faith, and certainty would not miss for the world a battle or an expedition. His uppermost quality was his knowledge of fiqh (jurisprudence) the practical aspect of Muhammad's message. He reached the apex in knowledge and fiqh, to the extent that made the Prophet (PBUH) say, "The most learned man of my nation in halaal and haraam is Mu'aadh Ibn Jabal."  

        He resembled `Umar Ibn Al-Khattaab in his enlightenment, courage and intelligence. When the Prophet sent him to Yemen, he asked him, "How will you give a judgment or settle a dispute?" Mu'aadh answered; "I will refer to the Qur'aan." The Prophet then asked, "What will you do if you do not find the decree you are looking for in the Qur'aan?" Mu'aadh answered, "I will refer to the Prophet's Sunnah." The Prophet asked, "But what will you do if you do not find a decree even in the Sunnah?" Mu'aadh readily answered, "I will be judge between mankind by resorting to juristic reasoning (ijtihaad) to the best of my power." Now, Mu'aadh's staunch commitment to Allah's Book and the Prophet's Sunnah does not mean that he closed his mind to the countless and endless hidden or equivocal facts that await someone to unravel and adjudicate.  

        Perhaps both Mu'aadh's ability in juristic reasoning and the courageous usage of his intelligence enabled him to master the fiqh, excelling all other scholars. The Prophet justifiably described Mu'aadh as "the most learned man of my nation in haaal and haraam."  

        History portrays him as a man of remarkably enlightened, resolute, and decisive mind. For instance, `Aaez Allah lbn Abd Allah narrated that one day he entered the mosque with the Companions of the Prophet (PBUH) at the dawn of `Umar's caliphate. Then he sat among more than thirty men. Let us hear him narrate the story: "I sat with a group of more than thirty men. They were recalling a hadith of the Prophet (PBUH). In this ring sat a dark, swarthy young man who had a sweet voice and a radiant face. Whenever they disputed about a hidden or ambiguous meaning in the hadith, they at once sought his legal instruction or judgment. He seldom, if ever, spoke unless he was asked. When their meeting was over, I approached him and asked him, "Who are you, O Allah's Slave?" He answered, "I am Mu'aadh Ibn Jabal." So I instantly felt dose to him.  

        Also, Shahr Ibn Hawshab said, "Whenever Mu'aadh lbn Jabal was present when the Companions of the Prophet (PBUH) were holding a meeting, they looked at him with reverence".  

        `Umar Ibn Al-khattaab, the Commander of the Faithful, often consulted him. It seemed that Mu'aadh had a highly disciplined mind and a captivating and convincing logic that moved peacefully and knowledgeably. When we look at his historical background, we will always see him at the center ofattention. He always sat there surrounded by people. He always maintained a discrete silence that was only broken whenever people were anxious to hear his judgment and whenever they were in dispute. When he spoke he looked, as one of his contemporaries described, "as if light and pearls were emanating from his mouth rather than speech." He reached his high rank in knowledge and reverence when the Prophet (PBUH) was alive and maintained it after his death, notwithstanding his youth, for Mu'aadh died during `Umar's caliphate at the age of thirty-three years.  

Mu'aadh was generous, magnanimous, well-mannered, and good-natured. If anyone asked him for money, he would readily and glady give it to him. His generosity made him spend all his money on charity and aid. When the Prophet (PBUH) died, Mu'aadh was still in Yemen, where the Prophet (PBUH) had sent him with the task of teaching Muslims their religion and fiqh.  

        When Mu'aadh returned from Yemen during Abu Bakr's caliphate, `Umar lbn Al khttaab was informed that Mu'aadh become wealthy, and he suggested to Abu Bakr that the community should have half of Mu'aadh's wealth. `Umar did not waste much time as he rushed to Mu'aadh's house and told him about what he and Abu Bakr had agreed on. Mu'aadh was an honest and trustworthy man. The fact that he had made a fortune did not make him vulnerable to suspicion or sin; therefore, he turned down `Umar's suggestion and refuted his viewpoint. Finally, `Umar left him. The next day, Mu'aadh hurried towards `Umar's house and no sooner had he laid his eyes on him than he hugged him. His tears flowed as he said, " Last night, I saw in my dream that I was crossing deep water. I nearly drowned were it not for your help, `Umar." Afterwards, they both went to Abu Bakr's presence where Mu'aadh asked him to take half his money, but Abu Bakr said, " No, I will take nothing from you." `Umar glanced at Mu'aadh and said, "Now it is halaal and blessed."  

        First, the pious Abu Bakr would not take from Mu'aadh one penny unless he was absolutely positive that he had earned it in a lawful halaal way. Second, `Umar was not trying to accuse or cast suspicion on Mu'aadh. In the final analysis, this epitomizes the era of ideals which was filled with people who were in perpetual competition to climb their way up to the apex of perfection allowed to human beings. Thus some of them soared up to the sky with their good deeds. Some were foremost and the rest followed a middle course. Yet, all of them were travelers on a caravan of goodness.  

        After a while, Mu'aadh emigrated to Syria, where he lived among its people and the expatriates as a teacher and a scholar of fiqh. When Abu Ubaidah, the governor of Syria and a dose friend of Mu'aadh, died, the Commander of the Faithful `Umar Ibn Al khattaab assigned Mu'aadh to take his place as a ruler. Only a few months had elapsed after his taking over when he died, humble and repentant to Allah. `Umar (May Allah be pleased with him) used to say, "If I were to grant Mu'aadh Ibn Jabal succession and Allah asked me, `Why did you make him your successor?' I would readily answer, `I heard Your Prophet (PBUH) say that when those who have knowledge stand before Almighty Allah, Mu'aadh will be among them."  

       The succession that `Umar meant here was not merely over a country or a governorship but over all the Muslim lands. When `Umar was asked before his death, "If you choose your successor now, we will give him our allegiance," he answered, "If Mu'aadh lbn Jabal were alive and I made him my successor to the caliphate, then I died and met Allah Who asked me, `Whom did you assign to rule Muhammad's nation?' I would answer, `I assigned Mu'aadh lbn Jabal to rule it after I heard the Prophet (PBUH) say Mu'aadh Ibn Jabal is the Imam of those who have knowledge of Judgment Day."  

        The Prophet (PBUH) said one day, "O Mu'aadh, by Allah I love you dearly, so do not forget to recite after every prayer, `Allah help me in remembering You, in offering thanks to You, and in worshiping You properly."'  

        Indeed, the Prophet (PBUH) supplicated Allah to help him to remember Him. The Prophet (PBUH) persevered in stressing this great fact that tells people that authority belongs to Allah, He has the power over all, and there is no power or any might except with His permission, for He is Most High and Most Great.  

        Definitely, Mu'aadh had learned and fully grasped this fact.  He did his utmost to cherish and apply this fundamental basis in his life from that moment onwards.  One day, the Prophet (PBUH) ran into him so he asked him, "How are you this morning Mu'aadh?" He answered, "This morning I woke up as a true believer." The Prophet (PBUH) said, "Every truth has its manifestations, so what are the manifestations of your belief?" Mu'aadh readily answered, "I have never woken up without believing that I might die before nightfall. I have never slept without believing that I might die before the morning and have never taken a step without believing that I might die before taking the next. It always seems to me that I can see each nation humbled to its knees and each nation called to its record of deeds. It always seems to me that I can see the dwellers of Paradise, wherein are delights everlasting, and the dwellers of Hell, wherein they are in disgracing torment." The Prophet (PBUH ) commented, "Now you know, so stick to the truth as long as you live." Indeed Mu'aadh had submitted himself and his destiny to Allah, for Allah was all that mattered to him. It was just that Ibn Mas'uud described him as "an ummah, a leader having all the good and righteous qualities, obedient to Allah and haniifan, who worshipped none but Allah. We used to liken him to Ibraahiim (Abraham) (PBUH)."  
   
Mu'aadh advocated knowledge and the remembrance of Allah. Moreover, he invited mankind to seek the useful and true knowledge saying, "I warn you against the deviation of wise men. You will know the truth when you see it, for it has a distinctive light!" He believed that worship was an end and a means to reach justice. One day a Muslim asked him, "Teach me." Mu'aadh asked him, "Will you obey me if I teach you?" The man answered, "I will not disobey you in anything." He said then, "Fast, then break your fast. Pray during the night but you must get some sleep. Earn what is halaal and what is rightfully yours and do not earn sin. Die as a true Muslim. Finally, I warn you against the supplication of those who have been wronged or oppressed." He believed that education meant knowledge and practice; therefore, he said, "Learn whatever you like to learn, yet Allah will not make your learning worthwhile unless you practice what you have learned." He believed that belief and remembrance of Allah meant the perpetual calling to mind of His greatness and the perpetual calling of oneself to account for deeds before Allah does so. 

        Al-Aswad lbn Hilaal reported, As we were walking with Mu'aadh one day, he said, "Let us sit down for a while to meditate on Allah."  

        Perhaps the reason behind his discrete silence was his unremitting meditation and contemplation.  Likewise, his once telling the Prophet (PBUH) that he nevertook a step without believing that he might die before taking the next was due to his engrossment in the remembrance of Allah and in calling himself to account for his deeds.  

        At the end, death summoned Mu'aadh. It was time to meet Allah. When the stupor of death creeps upon someone, his subconscious takes the reins and spurs the tongue - if it is able to - to disclose the reality of all mankind in concise words that summarize his life story. In those blessed moments, Mu'aadh faintly uttered great words that revealed a great believer, for he gazed up into the sky and humbly supplicated Allah, the Most Merciful, saying, "Allah I used to fear You but now I implore You. Allah, You know that I did not devote my life to travel in the lands or to earn money or property but rather consecrated it to knowledge, 
faith and obedience, notwithstanding intense heat or hardships."  

        He stretched his hand as if he were shaking death and went into a coma. His last words were, "O Death, welcome! You are a long-awaited beloved.  

      At last Mu'aadh ascended to Allah's Paradise. 


.¤ª"˜¨¯¨¨Mu'adz Bin Jabal oo Mu'aadh Ibn Jabal¸,ø¨¨"ª¤.



Categories: