acebook



.¤ª"˜¨¯¨¨Sa'ad Bin Ubadah oSa'd Ibn Ubaadah¸,ø¨¨"ª¤.
Pembawa bendera Anshar. 


Setiap menyebut nama Sa’ad bin Mu’adz, pastilah diaebut pula bersamanya Sa’ad bin Ubadah. Kedua mereka adalah pemuka-pemuka penduduk Madinah. Sa’ad bin Mu’adz pemuka suku Aus, sedang Sa’ad bin Ubadah pemuka suku Khazraj. Keduanya lebih dini masuk Islam, menyaksikan bai’at ‘Aqabah dan hidup di samping Rasulullah sebagai prajurit yang taat dan Mu’min sejati.Mungkin kelebihan Sa’ad bin Ubadah karena dia satu-satunya dari golongan Anshar yang menanggung siksaan Quraisy yang dislami hanya Kaum Muslimin penduduk Mekah! 

Adalah suatu hal yang wajar andainya Quraisy melampiaskan amarah dan kekejaman mereka kepada orang-orang yang sekampung dengan mereka yaitu warga kota Mekah. Tetapi jika siksaan itu mencapai pada laki-laki warga Madinah, padahal ia bukan laki-laki ke­banyakan, tetapi seorang tokoh di antara para pemimpin dan pemukanya, maka keiatimewaan itu telah ditaqdirkan hanya bagi Sa’ad bin Ubadah seorang.

Ceritanya demikian, setelah selesainya perjanjian ‘Aqabah yang dilakukan secara rahasia, dan orang-orang Anshar telah bersiap-siap hendak kembali pulang, orang-orang Quraisy mengetahui janji setia dari orang-orang Anshar ini Serta persetujuan mereka dengan Rasulullah saw. di mana mereka akan berdiri di belakangnya dan menyokongnya menghadapi kekuatan­kekuatan musyrik dan kesesatan.Timbullah kepanikan di kalangan Quraisy ini, dan segera mengejar kafilah Anshar. Kebetulan mereka berhasil menangkap Sa’ad bin Ubadah. Kedua tangannya mereka ikatkan ke atas pundaknya dengan tali kendaraannya, lalu mereka bawa ke Mekah, disambut beramai-ramai oleh penduduk yang memukul dan melakukan siksaan padanya sesuka hati mereka …Apa … ? Sa’ad bin Ubadah mendapat perlakuan seperti ini ? 

Ia yang menjadi pemimpin Madinah, yang selama ini melindungi orang yang minta perlindungan, menjamin keamanan perdagangan mereka, memuliakan utusan dari pihak mana pun yang berkunjung ke Madinah .. . ? Tentulah orang-orang yang telah mengikatnya dan orang-orang yang memukulnya itu tidak kenal padanya dan tidak mengetahui kedudukannya di kalangan kaumnya!Tetapi, bagaimana menurut pendapat anda mereka akan me­lepaskan Sa’ad seandainya mereka mengenalnya? Bukankah mereka juga menyiksa para pemimpin Mekah yang beragama Islam … ? 

Ketika itu orang-orang Quraisy benar-benar dalam kebingung­an. Mereka melihat nilai-nilai jahiliyah mereka menghadapi kehancuran di depan tembilang-tembilang kebenaran, sehingga tiada melihat jalan keluar kecuali dengan melampiaskan dendam dan nafsu amarah mereka.

Sebagai telah kita ceritakan tadi, orang-orang musyrik mengerumuni Sa’ad bin Ubadah dan menyiksa Serta memukulinya.Sekarang marilah dengarkan Sa’ad mengisahkan riwayatnya: “Demi Allah, aku berada dalam cengkraman mereka, ketika tiba-tiba muncul serombongan Quraisy, di antara mereka terdapat seorang laki-laki yang putih bersih dan tinggi. Kataku dalam diriku: “Andainya di antara orang-orang ini ada yangbaik, maka inilah orangnya!” Setelah ia dekat, diangkat tangannya lalu ditinjunya daku sekuat-kuatnya. Maka kataku pula: “Tidak, demi Allah! Rupanya tak ada lagi yang baik dikalangan mereka . . . !” 

Sungguh, ketika aku sedang mereka Seret, tiba-tiba mendekatlah kepadaku salah seorang di antara mereka, katanya: “Hai keparat, apakah tak ada di antaramu dengan salah seorang Quraisy ikatan perlindungan?” “Ada”, kataku, “aku biasa melindungi anak buah saudagar Jubeir bin Muth’im, dan menjaga mereka dari orang-orang yang bermaksud menganiaya mereka di negeriku. Juga aku menjadi pelindung dari Harits bin Harb bin Umaiyah”. Kata orang itu pula: “Sebut­lah nama kedua laki-laki itu dan terangkan ikatan perlindungan di antara kamu dengan mereka!”

 Anjurannya itu kuturuti; sementara ia pergi mendapatkan kedua orang sekutuku tadi dan menyampaikan pada mereka bahwa seorang laki-laki dari suku Khazraj sedang disiksa di padang pasir, sedang ia menyebut nama mereka dan menyatakan bahwa antaranya dengan mereka itu ada perjanjian perlindungan. Ketika mereka menanyakan namaku dijawabnya: “Sa’ad bin Ubadah”. “Demi Allah, benar ia!” ujar mereka, lalu mereka pun datang dan membebaskanku dari tangan mereka . .  ”.

Sa’ad segera meninggalkan Mekah setelah menerima penganiayaan yang ditemuinya, hingga diketahui­nya pasti sampai di mana persiapan Quraisy untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kaum yang tersingkir, yang me­nyeru kepada kebaikan, kepada haq dan keselamatan ….Dan permusuhan Quraisy ini telah mempertebal semangat­nya hingga diputuskannya secara bulat akan membela Rasulullah saw., para shahabat dan Agama Islam secara mati-matian.Rasulullah saw. melakukan hijrahnya ke Madinah, dan sebelumnya itu para shahabatnya telah lebih dulu hijrah. Ketika itu demi melayani kepentingan orang-orang Muhajirin, Sa’ad membaktikan harta kekayaannya. Sa’ad adalah seorang dermawan, baik dari tabi’at pembawaan, maupun dari turunan.

 Ia adalah putra Ubadah bin Dulaim bin Haritsah yang kedermawan­annya di zaman jahiliyah lebih tenar dari ketenaran manapun juga.Dan memang, kepemurahan Sa’ad di zaman Islam merupakan salah satu bukti dari bukti-bukti keimanannya yang kuat lagi tangguh. Dan mengenai sifatnya ini ahli-ahli riwayat pernah berkata: “Sa’ad selalu menyiapkan perbekalan bagi Rasulullah saw. dan bagi seluruh isi rumahnya . . . !”

Kata mereka pula: “Biasanya seorang laki-laki Anshar pulang ke rumahnya membawa seorang dua atau tiga orang Muhajirin, sedang Sa’ad bin Ubadah pulang dengan 80 orang...!” Oleh sebab itu Sa’ad selalu memohon kepada Tuhannya agar di­tambahi rizqi dan karunia-Nya. Dan ia pernah berkata: “Ya Allah, tiadalah yang sedikit itu memperbaiki diriku, dan tidak pula baik bagiku . . . !” 

Wajarlah apabila Rasulullah saw. men­dua’akannya: 
“Ya Allah, berilah keluarga Sa’ad bin Ubadah karunia Serta rahmat-Mu … !”

Sa’ad tidak hanya menyiapkan kekayaannya untuk melayani kepentingan Islam yang murni, tetapi juga ia membaktikan kekuatan dan kepandaiannya. Ia adalah seorang yang amat mahir dalam memanah. Dalam peperangannya bersama Pasulullah saw. pengurbanannya amat penting dan menentukan. Berkata Ibnu Abbas r.a.: — “Di setiap peperangannya, Rasulullah saw, mem­punyai dua bendera: Benders Muhajirin di tangan Ali bin Abi Thalib dan bendera Anshar di tangan Sa’ad bin Ubadah”.Tampaknya kekerasan menjadi tabi’at pribadi orang kuat ini . . . ! 

Ia seorang yang  keras dalam melaksanakan haq dan keras mempertahankan apa yang dipandangnya benar dan menjadi haqnya.

Bila ia telah meyakini sesuatu hal, maka ia akan bangkit menyatakannya secara terus terang tanpa tedeng aling-aling dan akan melaksanakannya dengan tekad bulat tiada kenal kompromi.Maka tatkala pembebasan kota Mekah, Rasulullah meng­angkatnya sebagai komandan suatu peleton dari tentara Islam. Dan demi ia sampai dekat pintu gerbang Tanah Suci ia telah berseru:“Hari ini hari berkecamuknya perang!

Hari ini dihalalkan perbuatan yang terlarang …Seruannya itu kedengaran oleh Umar bin Khatthab, maka ia segera menghadap Rasulullah saw. lalu katanya: “Wahai Rasulullah, dengarlah apa yang dikatakan Sa’ad bin Ubadah itu! Kita khawatir kalau-kalau ia akan menggempur habis Quraisy … ! “

Nabi saw. pun memerintahkan Ali untuk menemuinya, meminta bendera dan mengambil alih pimpinan dari tangan­nya….Ketika dilihatnya kota Mekah telah tunduk dan menyerah kepada tentara Islam yang berjaya itu, teringatlah Sa’ad akan aneka ragam siksaan yang ditimpakan mereka kepada Kaum Muslimin, bahkan juga kepada dirinya sendiri dulu. Dan ter­kenanglah peperangan demi peperangan yang dilancarkan mereka terhadap orang-orang yang cinta damai, padahal tak ada dosa mereka, hanyalah karena mereka berani mengatakan: “Lailaha illallah, tiada Tuhan melainkan Allah”. Maka kekerasan hati dan ketegasannya mendorongnya untuk menindak orang-orang Quraisy dan membalas kejahatan mereka dengan tindakan yang setimpal ….

Sikapnya yang militan ini pulalah yang menjabarkan pen­dirian Sa’ad bin Ubadah  yang terkenal dengan peristiwa hari saqifah itu ….Tidak lama setelah wafatnya Rasulullah saw. segolongan Anshar berkumpul di saqifah (pendopo) Bani Sa’idah menyeru­kan agar khalifah Rasulullah itu diangkat dari golongan Anshar. Karena mengambil alih tanggung jawab khilafah Rasulullah pada saat itu merupakan kewajiban orang Anshar sebagai penduduk asli Madinah yang telah menyatakan bai’atnya di bukit ‘Aqabah pada saat orang-orang Mekah tidak berdaya menghadapi pe­nindasan dan gempuran orang-orang kafir Quraisy.

 Wajar pulalah apabila orang-orang yang telah menyediakan tempat, perbekalan dan jiwa raganya, demi kelangsungan hidup Agama Allah tampil mengambil alih tanggung jawab ini.Sikap ini dipelopori oleh Sa’ad bin Ubadah, seorang yang cukup dikenal kejujuran, keterbukaan dan keterusterangan sikapnya. Tetapi Umar bin Khatthab mempunyai pendirian yang lain, ia meninjau dari segi kepemimpinan pada umumnya dan memperhatikan sikap Rasulullah pada masa hidupnya terhadap Abu Bakar.

Menurut Umar, Abu Bakar Shiddiq mendapat kepercayaan Rasul mewakili beliau menjadi imam shalat pada saat Rasul sakit, dan banyak lagi sikap dan sifat kepemimpinan Abu Bakar yang sangat menonjol di masa hayat Rasulullah dikemukakan Umar dengan tidak mengecilkan, bahkan mengagumi pengurban­an, kepahlawanan dan kepemimpinan orang-orang Anshar, Umar pun mengutip ayat al-Quran:orang kedua selagi mereka berada dalam gua … (Q-S. 9 at-Taubat:40)

Dapat dipahami seperti ayat tersebut oleh seluruh shahabat bahwa orang kedua itu ialah Abu Bakar.Dalam situasi seperti ini adanya perbedaan pendapat dan timbulnya pro dan kontra adalah wajar. Dan dengan rahmat dan inayah Allah peristiwa ini dapat diselesaikan dan diatasi dengan terpilihnya Abu Bakar Shiddiq sebagai khalifah mereka ….Sikap Sa’ad bin Ubadah yang terbuka dan terus terang dan sangat gigih dalam mengemukakan pendiriannya itu, sangat dihargai oleh Rasulullah.Mari kita ungkapkan apa yang terjadi setelah selesainya perang Hunain.Tatkala perang itu berakhir dengan kemenangan di pihak Muslimin, Rasulullah saw. pun membagi-bagikan harta rampasan kepada mereka. Ketika itu beliau memberikan perhatian khusus kepada para muallaf, yakni bangsawan-bangsawan Quraisy yang baru saja masuk Islam waktu fathu Mekah. 

Dengan pem­berian itu Rasulullah bermaksud melembutkan hati orang-orang itu dalam mengatasi kemelut jiwa mereka, sebagaimana beliau memberikan kepada pejuang yang sangat memerlukan guna menolong mengatasi kebutuhan materi mereka.Adapun orang-orang yang telah kokoh keislamannya, Nabi menyerahkan mengatasi persoalan hidup itu kepada keislaman mereka, dan tidak memberikan sesuatu pun dari harta rampasan perang ini. Perlu pula diketahui bahwa pemberian Rasulullah saw.  semata pemberiannya saja  sudah merupakan suatu kehormatan yang amat diharapkan oleh seluruh Kaum Muslimin. Di samping itu rampasan perang telah merupakan sumber penting dari biaya yang menunjang kehidupan Muslimin.Demikianlah dengan perasaan heran orang-orang Anshar bertanya-tanya sesama mereka: “Kenapa Rasulullah tidak me­nyerahkan upeti dan harta rampasan yang menjadi bagian mereka … ?”

Dan berkatalah penyair Anshar Hasan bin Tsabit:“Datanglah pada Rasulullah, tanyakan padanya Wahai orang-orang yang terpercaya di kalangan orang-orang beriman Bila manusia dapat penilaian, kenapa Sulaim ditinggalkan? Bukankah ia tampil ke depan, memberi tempat dan per­lindungan. Sampai Allah menyebut mereka Anshar atau para pembela Karena mereka membela Agama petunjuk, dan pejuang di medan laga Cepat kaki dan ringan tangan di jalan Allah Menyadari kesulitan, tiada merasa takut ataupun kecewa”.

Pada bait-bait syair tersebut penyair Rasulullah dari orang Anshar itu melukiskan kekecewaan yang dirasakan orang-orang Anshar, disebabkan Nabi saw. hanya memberikan barang-barang rampasan itu kepada sebagian shahabat sedang mereka tidak mendapat bagian apa-apa.Pemuka Anshar Sa’ad bin Ubadah menyaksikan hal ini dan mendengar anak buahnya berbisik-bisik memperbincangkan hal tersebut. 

Kejadian ini tidak diaukai oleh Sa’ad, maka tampil­lah ia memenuhi suara hatinya yang polos dan terus terang dan segera menemui Rasulullah saw. lalu katanya:“Wahai Rasulullah … ! Golongan Anshar ini merasa kecewa terhadap anda melihat tindakan anda mengenai harta ram­pasan yang kita peroleh! Anda membagi-bagikannya kepada kaum anda, dan mengeluarkan pemberian berlimpah kepada kepala-kepala suku Arab Quraisy, tetapi suku Anshar, tiada sedikit pun menerimanya … !”Demikianlah laki-laki yang terus terang dan terbuka itu mengeluarkan isi hati dan perasaan yang terpendam di dada kaumnya dan memberikan kepada Rasulullah lukisan sebenarnya dari peristiwa tersebut.

Rasulullah saw. pun bertanya ke padanya:–
“Dan anda wahai Sa’ad, bagaimana pendapat anda mengenai hal itu … ?”
Artinya jika pendirian kaummu demikian, bagaimana pula pikiranmu terhadap hal itu?”Dengan hati terbuka dan terus terang, segera Sa’ad men­jawab:“Aku ini tiada lain adalah salah seorang warga kaumku … 

“Kalau begitu”, ujar Nabi pula, “kumpulkanlah kemari kaummu itu … ! “
Terpaksalah kita mengikuti peristiwa itu hingga akhir ke­sudahannya karena kiaahnya amat mengharukan sekali: — Sa’ad mengumpulkan kaumnya golongan Anshar. Rasulullah mendatangi mereka dan memandangi wajah-wajah mereka yang kecewa Kemudian beliau tersenyum cerah, sebagai pengaku­an atas keluhuran budi mereka dan penghargaan atas jasa-jasa mereka . .. . 

Kemudian sabdanya: — 
“Wahai golongan Anshar . . – ! Segala bisikan dan getaran hati kalian mengenai diriku telah diaampaikan kepadaku, sekarang aku bertanya kepada kalian:Bukankah ketika aku datang, kalian sedang sesat, kemudian Allah memberi petunjuk … ?Waktu itu kalian dalam kekurangan, kemudian Allah mem­beri kecukupan … ?

Kahan selalu bermusuhan, kemudian Allah menanamkan kasih sayang dalam hati kalian?
Jawab mereka, : Benar! Allah dan Rasul-Nya Maha pemberi lagi Maha Pemurah.
Sabda Rasul pula: 
Tidakkah kalian akan menyanggahku wahai golongan Anshar?Sanggahan apa yang dapat kami sampaikan kepada tuan wahai Rasulullah? 
jawab mereka.Maha pemurah lagi Maha pemberi adalah milik Allah dan Rasul-Nya.

Jawab Rasul: Apabila kalian mau, dapat menyatakan ke­padaku, dan sanggahan itu pasti benar dan tak dapat disanggah.Andaikan kalian menyatakan kepadakuDahulu tuan datang kepada kami didustakan orang, tetapi kami sambut dan kami benarkan ucapan tuan.Tuan datang kepada kami terhina kami bela dan mengangkat tuan sebagai pemimpin.Tuan datang terhuyung-huyung kami sambut dan merawat tuanTuan datang terusir, kami beri tempat dan perlindungan.Apakah hati kalian kecewa wahai golongan Anshar, melihat sampan dunia yang kuberikan kepada segolongan manusia untuk menjinakkan hati mereka dalam beragama, sedang terhadap diri kalian kuberikan keteguhan keislaman kalian … ?

Tidakkah kalian rela wahai kaurn Anshar, orang-orang itu pulang bersama kambing dan unta, sedangkan kalian pulang bersama Rasulullah ke tanah tumpah darah kalian. Demi Allah yang nyawaku berada di dalam tangan-Nya, kalau tidaklah karena hijrah, tentulah aku termasuk golongan AnsharAndaikan orang-orang rnenempuh jalannya sendiri-sendiri pasti­lah aku akan mengikuti jalannya orang-orarig Anshar . . . ! Ya Allah, berilah rahmat kaum Anshar generasi . . . . demi generasi …Ketika itu orang-orang Anshar sama menangis, hingga janggut mereka menjadi basah. Kata-kata yang diucapkan Rasul besar yang mulia itu memenuhi rongga dada mereka dengan keten teraman, diri mereka dengan keselamatan Serta jiwa mereka dengan kekayaan . . . . Dengan serentak semua mereka .. . . termasuk dalamnya Sa’ad bin Ubadah berseru:  ”Kami ridla kepada Rasulullah, atas pembagian maupun pemberiannya … !”

Pada hari-hari pertama dari khilafah Umar, Sa’ad pergi menjumpai Amirul Mu’minin dan dengan keterusterangannya yang keterlaluan seperti biasa, katanya kepadanya:  ”Demi Allah, sahahabat anda Abu Bakar lebih kami sukai daripada anda . . . ! Dan sungguh, demi Allah, aku tidak senang tinggal berdampingan dengan anda … !” Dengan tenang Umar menjawab: “Orang yang tidak suka berdampingan dengan tetangganya, tentu akan menyingkir daripadanya”. 

Sa’ad menjawab pula: “Aku akan menyingkir dan pindah ke dekat orang yang lebih baik daripada anda . . . !” Dengan kata-kata yang .diucapkannya kepada Amirul Mu’­minin Umar itu tiadalah Sa’ad bermaksud hendak melampias­kan amarah atau menyatakan kebencian hatinya! 

Karena orang yang telah menyatakan ridlanya kepada pembagian dan putusan Rasulullah saw. sekali-kali tiada akan keberatan untuk mencintai seorang tokoh seperti Umar, yakni selama dilihatnya ia pantas untuk dimuliakan dan dicintai Rasulullah.

Maksud Sa’ad salah seorang shahabat yang telah dilukis­kan al-Quran mempunyai sifat berkasih sayang sesama mereka  ialah bahwa ia tidak akan menunggu datangnya suasana, di mana nanti mungkin terjadi pertikaian antaranya dengan Amirul Mu’minin, pertikaian yang sekali-kali tidak diinginkan dan diakuinya … !

Maka disiapkannyalah kendaraannya, menuju Syria. . . . Dan’ belum lagi ia sampai ke sana dan baru saja singgah di Haman, ajalnya telah datang memanggilnya dan mengantarkannya ke sisi TuhannyaYang Maha Pengasih ….



(46)  
SA`D IBN UBAADAH  
The Carrier of the Ansaar Standard 

        Sa'd Ibn Mu'aadh is hardly ever mentioned without Sa'd Ibn `Ubaadah. Both were leaders of Al- Madiinah. Sa'd lbn Mu'aadh was the leader of Al-Aws tribe and Sa'd Ibn `Ubaadah of Al Khazraj. Again, both were foremost in Islamic faith. They witnessed the Pledge of Al-'Aqabah and lived next to the Prophet (PBUH) as obedient and sincere believers and soldiers.  

        Sa'd Ibn `Ubaadah held a special position among the Ansaar as he had his share of the abuse and torture Muslims were subjected to at the hands of the Quraish in Makkah. It was only natural that the Quraish would torture those who lived in Makkah, but to torture a man from Al-Madiinah was rather exceptional. `Ubaadah was not an ordinary man; he was a distinguished and influential leader. This was a privilege that was enjoyed only by Sa'd Ibn `Ubaadah.  

      After the Pledge of Al-'Aqabah allegiance was concluded in secret and the Ansaar were getting ready to travel, the Quraish found out about the allegiance the Ansaar had given to the Prophet (PBUH). Their agreement with the Prophet (PBUH) allowed him to emigrate with his Companions to Al-Madiinah to flee the power of polytheism and darkness and seek sanctuary and support there.  

        At that point, the Quraish lost self-control, so they went on hunting those who pledged the Prophet. The disbelievers captured Sa'd Ibn `Ubaadah, tied his hands to his neck with his saddle girths, and dragged him back to Makkah, where they beat and tortured him! How could this happen to Sa'd Ibn `Ubaadah? He was the leader of Al-Madiinah who always helped anyone of the Quraish who needed help, protected their trade, and was hospitable to them whenever they visited Al-Madiinah. Those who captured and abused him surely did not know who he was. But even if they had known, would it have made any difference? They were the ones who tortured the elite of Makkah when they committed themselves to Islam, were they not? In those days, the Quraish were absolutely mad. They watched ignorance collapse under the pressure of Truth, so the only thing that they could do was to avenge themselves ruthlessly and heedlessly.
  
        As we have already said, Sa'd Ibn `Ubaadah was surrounded by disbelievers who battered and tortured him. Now, let us hear the story as told by Sa'd himself: By Allah, I was in such a terrible state in their mercy, when I saw a group of people from the Quraish approaching me. Among them there was this white man who looked as bright as daylight, so I said to myself, Well if there is someone among those people left with the least sense of compassion and mercy, then it must be this man. Unfortunately, as he came close to me, he raised his fist and punched me severely, so I said to myself that none of them is kind-hearted enough to come to my rescue. And there I was a prey in their hands as they dragged me when a man hurried to me and scolded me saying, "Fie on you! Doesn't anyone of the Quraish owe you a favor of good neighborliness?" I answered, "Yes, of course, I used to help Jubair Ibn Muta'm's traders and stand by them against those of my people who were unjust to them. I also gave aid to Al-Haarith Ibn Harb Ibn Umaiyah." Then the man urged me to shout their names and say they owe me the right of good neighborliness so I did. Then the man rushed to them and told them, "A man from Al-Khazraj is being beaten in the valley and he is calling out your names and saying that you owe him the right of good neighborliness." They asked him who I was, and as soon as he told them, they told him that everything I said was true and rushed to rescue me.  

       Sa'd left Makkah after this premature assault which made him realize the extent of brutality and savageness the Quraish were willing to exercise against unarmed people who called for good, truth, and peace. This assault sharpened his will, and he decided to do his utmost to help the Prophet (PBUH) and his Companions.  

        The Prophet (PBUH) emigrated to Al-Madiinah just after the Hijrah of his Companions.

There, Sa'd put his fortune at the disposal of the Muhaajiruun. Sa'd was generous by nature and heredity, being the son of `Ubaadah Ibn Dulaim Ibn Haarithah, who was famous for his generosity in pagan times. Sa`d's generosity turned into a sign of his deep-rooted and solid faith.  

        Narrators commented upon his generosity and said, "The Prophet's houses were always full of food sent by Sa'd." They also said that a man from the Ansaar used to invite one, two, or even three Muhaajiruun over for meals, whereas Sa'd Ibn `Ubaadah used to invite over 80 of Muhaajiruun.  

        Solely for this, Sa'd always implored Allah to bestow him with more of His good provision and used to invoke, "O Allah, little provision does not suffice me to be righteous or to act righteously." Therefore, it was justifiable for the Prophet (PBUH) to supplicate saying, "O Lord, bring Your blessings and mercy on the family of Sa'd lbn `Ubaadah."  

        Sa'd directed not only his fortune to the service of Islam, the straight and right religion, but also his energy and skills. He was a skilled marksman. He showed singular spirit of self-sacrifice during the battles under the Prophet's command (PBUH). Ibn `Abbaas said about him (May Allah be pleased with them both), "The Prophet (PBUH) used only two standards each time he was at war: the Muhaajiruun's flag with `Aliy Ibn Abiy Taalib and the Ansaar's flag with Sa'd Ibn `Ubaadah.  

        It seemed that his characteristic strictness was part of his strong personality. He was stem in upholding what was right or what he believed to be his right. If he was convinced about a certain matter, he would rise to make it known in public in an unwavering outspokenness and uncompromising firmness. This strictness, or should we say this extremism, was the reason behind many of his viewpoints which were called into question.  

        For instance, on the Day of the Conquest of Makkah, the Prophet (PBUH) assigned him to lead an army battalion. Hardly had he reached the outskirts of Makkah, the sacred town, when he shouted, "Today is the day of fierce battle. Today is the day of transgression." `Umar Ibn Al-Khattaab heard his threat and hurried to the Prophet (PBUH) and said, " Messenger of Allah, listen to what Sa'd just said. . . He should not be entrusted with the command of the battalion that will attack the Quraish." The Prophet (PBUH) gave his assent and ordered `Umar to catch up with him and take his place in the command.  

        It seems that when Sa'd saw Makkah in a state of surrender and helplessness, he saw flashbacks of the abuse and torture that the believers and he himself had suffered at one time at the hands of disbelievers. He recalled all the wars they had waged against the Muslims who called for monotheism just because they believed that there is no god but Allah. His stern nature made him rejoice at the Quraish's calamity and vow revenge.  

        This sternness or extremism that was characteristic of Sa'd made him take his famous attitude on the Day of As-Saqiifah. After the Prophet (PBUH) died, a group of the Ansaar met Sa'd at Bani Saa'adah's shaded meeting place to tell him that the Prophet's caliph must be one of the Ansaar, as the caliphate was an honor in this world and in the next; therefore they craved to win that honor. But the Prophet (PBUH) had already chosen his caliph when he asked Abu Bakr to take his place as Imam (prayer leader) while he was sick. His Companions saw this and other special qualities enjoyed by Abu Bakr - for instance, he was the second of the two in the cave - as a sign for his right to the caliphate.  

        On the one hand, `Umar Ibn Al-Khattaab, along with his companions, took the side of Abu Bakr and held fast to their opinion. On the other hand, Sa'd Ibn `Ubaadah, along with his companions took the other side and held fast to it. This angered many of the Prophet's Companions who held Ibn `Ubaadah responsible for such a dispute.  

        However, Sa'd Ibn `Ubaadah was only being himself when he held fast to his viewpoint, for as we have already said, he always held tenaciously to his convictions and insisted on being outspoken and precise concerning exactly where he stood. This feature came out clearly at the Battle of Hunain before the Prophet himself. When the Muslims were victorious in battle, the Prophet (PBUH) always distributed the spoils of war among all the Muslims, yet on that particular day, he took special care of those whose hearts Allah had joined, namely, the elite who had committed themselves to Islam a short time before, so as to help them discipline themselves by this privilege. He did not give anything to the Muslims in whom Islam was deeply rooted, as he thought that their Islam sufficed them. He gave to the warriors who were in need. The Prophet's mere bounty was an honor most people competed for. The war booty became an important source of revenue on which the Muslims lived. Therefore, the Ansaar bitterly wondered what made the Prophet deprive them of the booty.  

        Hassan Ibn Thaabit, the poet of the Ansaar, recited lines of poetry that mean: Go to the Prophet and say you are the best among all human beings. Why should you invite Sulaim tribe to take a share of war spoils although they are mere Muhaajiruun while you deprived the Ansaar who gave shelter, support and help to Muhaajiruun. Allah called them the Ansaar because they believed in and supported the religion of guidance in the time of fierce struggle and war. They rushed to strive in the way of Allah and endured difficulties and hardships without getting weary or losing faith.  

       In those lines, the poet of the Prophet and the Ansaar expressed quite eloquently the embarrassment and disappointment the Anaar felt when the Prophet gave his Companions the spoils of war and did not give them anything.  

        The leader of the Ansaar, Sa'd Ibn `Ubaadah, realized the dilemma they were in, as he heard people talk about it secretly. This did not appeal to him, so urged by his candor, he went immediately to the Prophet (PBUH) and said, "O Messenger of Allah, this group of the Anaar are displeased with what you did with the spoils of war. You have distributed war booty among your people and were most generous to the Arab tribes, but you did not give the Ansaar anything."  

        Thus, the frank man got it off his chest and gave the Prophet a candid account of the situation. The Prophet (PBUH) asked him, "What is your opinion about it?" Sa'd answered with the same bluntness, "I have the same viewpoint as my people." Then the Prophet (PBUH) asked him to gather the Ansaar. We must narrate the story to its very end as it is irresistibly fascinating.  

        When the Prophet (PBUH) came where the Ansaar gathered, he looked at their disgruntled faces, and his smile brightened with gratitude and appreciation. Then he said, "O Ansaar, I heard that an incident that happened recently made you feel ill at ease. Now, didn't I find you ignorant and guided you to the way of Allah. Didn't I find you poor and Allah enriched you of His bounty? And didn't I find you enemies and Allah joined your hearts together?"  

       They answered, "Indeed, Allah and His Prophet are far more generous and better."  

        The Prophet then said, "Don't you have anything to say?"  

        They answered, "There is nothing to be said but that Allah and His Prophet have the grace and bounty."  

        The Prophet (PBUH) then said, "By Allah, you could have justly said, We believed in you at a time when all called you a liar. We supported you at a time when you were frustrated. We gave you our money at a time when you were poor and we even sheltered you at a time when you were homeless. O Ansaar, are you upset for a thing so trivial and worldly that I gave to some people so as to join their hearts to Islam and left you out of it, believing that your Islam sufficed you? Is it not enough for you that the rest of the people will go home with a sheep or a camel, whereas you will return accompanied by the Prophet's love and appreciation? By Allah, if I were not one of the Muhaajiruun I would rather be one of the Ansaar, and if people moved in different ways, I would choose the way taken by the Ansaar. Allah, do have mercy on the Ansaar, their children, and their children's children."  By the time the Prophet (PBUH) concluded his words, their beards were wet with tears, for the words of the great Prophet filled their hearts with tranquility and enriched their souls. All of them including Sa'd cried out, "It is enough for us to have the Prophet's love as our reward."  

  In the first days of `Umar's caliphate, Sa'd went to the Commander of the Faithful and said with his extreme candor, "By Allah, we prefer your companion Abu Bakr over you. By Allah, I cannot stand to live near you." `Umar calmly answered, "Anyone who hates his company should seek a better one elsewhere." Sa'd said, "I will indeed seek better company somewhere else."  

        Sa'd words to `Umar were not an expression of hate or spite, for the man who was satisfied with the Prophet's love as his reward cannot possibly deny loyalty to such a man as `Umar, whom the Prophet (PBUH) had always cherished and honored. It was just that Sa'd Ibn `Ubaadah did not want to wait around for some event to come up and result in an inevitable dispute between him and the Commander of the Faithful `Umar Ibn Al- Khattaab, a thing he did not want or accept. Sa'd was one of the Companions whom the Qur'aan described as "merciful among themselves." He traveled to Syria. Shortly after he had settled in the Hauran plateau, he died and went back to the Lord the Most Merciful. 


.¤ª"˜¨¯¨¨Sa'ad Bin Ubadah oSa'd Ibn Ubaadah¸,ø¨¨"ª¤.







Categories: