acebook

Para Sahabat - The Companions

.¤ª"˜¨¯¨¨ Al Barra' Ibn Malik oo Al-Baraa' Ibn Malik¸,ø¨¨"ª¤.
 Allah dan Surga. 


Dia adalah salah seorang di antara dua bersaudara yang hidup mengabdikan diri kepada Allah, dan telah mengikat janji dengan Rasulullah saw. yang tumbuh dan berkembang bersama sama. Yang pertama bernama Anas bin Malik khadam Rasulullah saw. 

Ibunya yang bernama Ummu Sulaim membawanya kepada Rasul, sedang umurnya pada waktu itu baru sepuluh tahun, seraya katanya: “Ya Rasulallah … ! Ini Anas, pelayan anda yang akan melayani anda, doakanlah ia kepada Allah!”Rasulullah mencium anak itu antara kedua matanya lalu mendoakannya, doa mana tetap membimbing usianya yang panjang ke arah kebaikan dan keberkahan . . . . 

Rasul telah mendoakannya dengan kata-kata berikut: 
— “Ya Allah banyak­kanlah harta dan anaknya, berkatilah ia dan masukkanlah ia ke surga … !”

Ia hidup sampai usia 99 tahun dan diberi-Nya anak dan cucu yang banyak, begitu pula Allah memberinya rizqi, berupa kebun yang luas dan subur, yang dapat menghasilkan panen buah-buahan dua kali dalam setahun …Yang kedua dari dua bersaudara itu ialah Barra’ bin Malik …. Ia termasuk golongan terkemuka dan terhormat, menjalani kehidupannya dengan bersemboyan “Allah dan surga. . . . “. 

Dan barang siapa melihatnya ia sedang berperang mempertahankan Agama Allah, niscaya akan melihat hal ajaib di balik ajaib … !Ketika ia berhadapan pedang dengan orang-orang musyrik, Barra’ bukanlah orang yang hanya mencari kemenangan, sekali­pun kemenangan termasuk tujuan . . . ,tetapi tujuan akhirnya ialah mencari syahid  Seluruh cita-citanya mati syahid, menemui ajalnya di salah suatu gelanggang pertempuran dalam mempertahankan haq dan melenyapkan bathilDia tak pernah ketinggalan dalam setiap peperangan baik bersama Rasul ataupun tidak ….

 Pada suatu hari teman-teman­nya datang mengunjunginya, ia sedang sakit, dibacanya air muka mereka lalu katanya:  “Mungkin kalian takut aku mati di atas tempat tidurku. Tidak, demi Allah, Tuhan tidak akan menghalangiku mati syahid . . . !”

Allah benar-benar telah meluluskan harapannya, ia tidak mati di atas tempat tidurnya, tetapi ia gugur menemui syahid dalam salah satu pertempuran yang terdahsyat … !Kepahlawanan Barra’ di medan perang Yamamah wajar dan cocok dengan watak serta tabiatnya. Wajar untuk seorang pahlawan yang sampai-sampai Umar mewasiatkan agar ia jangan jadi komandan pasukan, disebabkan keberaniannya yang luar biasa, keperwiraan dan ketetapan hatinya menghadang maut …. Semua sifatnya itu akan menyebabkan kepemimpinannya dalam pasukan membahayakan anak buahnya dan dapat membawa kebinasaan . . . !

Barra’ berdiri di medan perang Yamamah, ketika balatentara Iislam yang berada di bawah komando Khalid, bersiap-siap untuk menyerbu. la berdiri dan merasakan detik-detik itu, yakni saat sebelum panglimanya memerintahkan maju, amat lama sekali, sertahun-tahun layaknya . . . . 

Kedua matanya yang tajam bergerak-gerak dengan cepatnya menyelusuri seluruh medan tempur, seolah-olah sedang mencari-cari tempat bersemayam yang sebaik-baiknya untuk seorang pahlawan . . . . Memang tak ada yang menyibukkannya di antara segala urusan dunia, kecuali tujuan yang satu ini!Dimulai dengan berjatuhannya korban di pihak kaum musy­rikin penyeru kedhaliman dan kebathilan akibat ketajaman dan tebasan pedangnya al-Barra’ yang ampuh . . . .

 Kemudian di akhir pertempuran, suatu pukulan pedang mengenai tubuhnya dari tangan seorang musyrik, menyebabkan tubuh kasarnya jatuh ke tanah, sementara tubuh halusnya menempuh jalannya membubung ke tingkat yang tertinggi ke mahligai para syuhada tempat kembalinya orang-orang yang beroleh berkah….

Itulah khayalannya ketika ia menunggu komando Khalid mengumandangkan takbir “Allahu Akbar”, maka majulah seluruh barisan yang bersatu-padu menuju sasarannya, dan maju pula peng’asyik maut Barra’ bin Malik ….Ia terus mengejar anak buah dan pengikut si pembohong Musailamah dengan pedangnya, hingga mereka berjatuhan lak­sana daun kering di musim rontok . . . . Tentara Musailamah bukanlah tentara yang lemah dan sedikit jumlahnya … bahkan ia adalah tentara murtad yang paling berbahaya ….Baik bilangan maupun perlawanan serta perjuangan mati­-matian prajuritnya, merupakan bahaya di atas semua bahayaMereka menjawab serangan Kaum Muslimin dengan per­lawanan yang mencapai puncak kekerasannya sehingga hampir­-hampir mereka mengambil alih kendali pertempuran dan merubah perlawanan mereka menjadi serangan balasanWaktu itulah kegelisahan terasa merembes ke dalam barisan Kaum Muslimin. 

Melihat situasi ini, para komandan dan pim­pinan pasukan sambil terus bertempur berdiri di atas pelana, berseru dengan kalimat-kalimat yang membangkitkan semangat dan. meneguhkan hati.Barra’ bin Malik mempunyai suara indah dan keras …. Ia dipanggil oleh panglima Khalid, dimintanya untuk buka suara .. .. Maka Barra’ pun menyerukan kata-kata yang penuh gem­blengan semangat dan kepahlawanan, beralasan dan kuat . . . . Wahai penduduk Madinah Tak ada Madinah bagi kalian sekarang. Yang ada hanya Allah dan surga … !”Ucapan itu menunjukkan jiwa pembicaranya, dan men­jelaskan watak akhlaqnya. Benarlah . . . yang tinggal hanyalah Allah dan surga! Karena di dalam suasana dan tempat seperti ini, tidaklah wajar ada fikiran-fikiran kepada yang lain walau kota Madinah, ibu kota Negara Iislam, tempat rumah tangga, isteri dan anak-anak mereka! 

Sekarang tidak patut mereka berfikir ke sana! Sebab bila mereka sampai dikalahkan, maka tak ada artinya kota Madinah lagiKata-kata Barra’ ini meresap laksana . . . laksana apakah? Setiap tamsil apapun tidaklah tepat, karena tidak sepadan dengan hasil yang ditimbulkannya. Maka baiklah kita katakan saja, kata-kata Barra’ ini telah meresap dan itu sudah cukup … !

Dan dalam waktu yang tidak lama, suasana pertempuran pun kembali kepada keadaannya semula ….Kaum Muslimin beroleh kemajuan sebagai pendahuluan bagi suatu kemenangan yang gemilang. Dan orang-orang musyrikin tersungkur ke jurang kekalahan yang amat pahit …. Pada saat itu Barra’ bersama kawan-kawannya berjalan dengan bendera Muhammad saw. hendak mencapai tujuan yang utama . . . .

 Orang-orang musyrik mundur dan melarikan diri ke belakang. Mereka berkumpul dan berlindung di suatu perkebunan besar yang mereka ambil sebagai benteng pertahanan.Pertempuran menjadi reda, dan semangat Muslimin agak surut. Jika begini naga-naganya, dengan siasat yang dipakai anak buah Serta tentara Musailamah bertahan di perkebunan itu, mungkin suasana peperangan akan berbalik dan berubah arah lagi.Maka di saat yang genting itu, Barra’ naik ke suatu tempat yang ketinggian, lalu berseru:  ”Wahai Kaum Muslimin, bawalah aku dan lemparkan ke tengah-tengah mereka ke dalam kebun itu … !”Bukankah sudah kukatakan kepada anda sekalian, bahwa ia tidak mencari menang tetapi mencari syahid … ? la benar­-benar telah membayangkan bahwa langkah ini adalah penutup yang terbaik bagi kehidupannya, dan bentuk yang terindah untuk kematiannya . . . ! 

Sewaktu ia dilemparkan ke dalam kebun itu nanti, maka ia segera membukakan pintu bagi Kaum Muslimin, dan bersamaan itu pedang-pedang orang musyrikin akan melukai dan mengoyak-ngoyak tubuhnya, tetapi di waktu itu pula pintu-pintu surga akan terbuka lebar memperlihatkan kemewahan dan keni’matannya untuk menyambut mempelai baru dan mulia . . .!Barra’ rupanya tidak menunggu ia digotong dan dilemparkan, malah, ia sendiri yang memanjat dinding dan melemparkan dirinya ke dalam kebun dan langsung membuka pintu yang terus diserbu oleh tentara Iislam …. Akan tetapi mimpi Barra’ belum lagi terlaksana, tak ada rupanya pedang-pedang musyrikin yang sampai mencabut nyawanya, hingga tidak pula ia me­nemukan kematian yang selama ini didambakan …. 

Benarlah apa yang dikatakan oleh Abu Bakar r.a.: —“Songsong dan carilah kematian, pasti akan mendapatkan kehidupan … !”Memang tubuh pahlawan itu mendapat lebih dari delapan puluh tusukan dari pedang-pedang musyrikin menyebabkannya menderita luka lebih dari delapan puluh lubang, sehingga sebulan sesudah perang berlalu masih juga dideritanya, dan Khalid sendiri ikut merawatnya di waktu itu. Tetapi semua yang menimpa dirinya ini belum lagi dapat mengantarkannya kepada apa yang dicita-citakannya ….

Namun yang demikian itu tidak menyebabkan Barra’ berputus asa ….Kafir dan musyrik masih menyerang …. Melintang menghalangi Agama Allah berkembang Seruan jihad tetap berkumandang ….Jalan ke surga masih terbentang. Dahulu Rasulullah meramalkan bahwa permintaan dan doanya akan dikabulkan Allah.

Tinggal baginya tetap ber­doa . . . memohon dikaruniai mati syahid, dan ia tak perlu buru-buru, karena setiap ajal sudah ada ketentuannya . . .Sekarang Barra’ telah sembuh dari luka-luka perang Yamamah . . . . 

Dan kini ia maju lagi bersama pasukan tentara Islam yang pergi hendak menghalau semua kekuatan kedhaliman ke jurang kehancurannya, yakni nun di sana di mana masih berdiri dua kerajaan raksasa dan aniaya, yaitu Romawi dan Persi, yang dengan tentaranya yang ganas menduduki negeri­-negeri Allah, memperbudak hamba-hamba-Nya dan mengintip kelengahan ummat Islam . . . . Barra’ memukulkan pedangnya dan di setiap tempat bekas pukulan itu berdiri dinding yang kukuh dalam membina Islam yang akan tumbuh di bawah bendera islam dengan cepat tak ubahnya bagai timbulnya mata­hari menjelang Siang  . . .Dalam salah satu peperangan di Irak, orang-orang Persi mempergunakan setiap cara yang rendah dan biadab yang dapat mereka lakukan sebagai perlindungan. 

Mereka menggunakan pengait-pengait yang diikatkan ke ujung rantai yang dipanas­kan dengan api, mereka lempar dari dalam benteng mereka, hingga dapat menyambar Kaum Muslimin dan mengaitnya secara tiba-tiba sedang korban tidak dapat melepaskan dirinya.Adapun Barra’ dan abangnya Anas bin Malik mendapat tugas bersama sekelompok Muslimin untuk merebut salah satu benteng-benteng itu.

 Tetapi tiba-tiba salah satu pengait ini jatuh dan menyangkut ke tubuh Anas, sedang ia tidak sanggup memegang rantai untuk melepaskan dirinya, karena masih panas dan bernyala . . . . Barra’ menyaksikan peristiwa yang seram ini ….Dengan cepat ia menuju saudaranya yang sedang ditarik ke atas oleh pengait dengan talinya yang panas menuju lantai dinding benteng …. Dengan keberanian yang luar biasa dipegangnya rantai itu dengan kedua tangannya, lalu direnggut dan disentakkannya sekuat-kuatnya, hingga akhirnya ia dapat melepaskan diri dari rantai itu, dan selamatlah Anas dari bahaya.Bersama orang-orang sekelilingnya dilihatnya kedua telapak itu tidak ada lagi di tempatnya . . . ! 

Dagingnya rupa-rupanya telah meleleh karena terbakar dan yang tinggal hanyalah ke­rangkanya yang memerah coklat dan terbakar hangus … !

Sang pahlawan kembali menghabiskan waktu yang cukup lama pula untuk memulihkan luka bakarnya sampai sembuh betul … !Apakah belum juga datang masanya bagi si pencinta maut itu untuk mencapai maksudnya? Sudah, sekarang sudah datang masanya . . . ! 

Inilah dia pertempuran Tutsur akan datang, dan di sinilah balatentara Islam akan berhadapan dengan bala tentara Persi, dan di sinilah pula Barra’ dapat merayakan pestanya yang terbesar ….Penduduk Ahwaz dan Persi telah berhimpun dalam suatu pasukan tentara yang amat besar hendak menyerang Kaum Muslimin . . . . 

Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab menulis surat kepada Sa’ad bin Abi Waqqash di Kufah agar mengirimkan pasukan tentara ke Ahwaz... dan menulis surat pula kepada Abu Musa al Asy’ari di Basrah agar mengirimkan juga pasukan ke Ahwaz, sambil berpesan dalam surat itu: “Angkatlah sebagai komandan pasukan Suhail bin ‘Adi dan hendaklah ia dampingi oleh Barra’ bin Malik … !”

Dan bertemulah pasukan yang datang dari Kufah dengan yang datang dari Basrah untuk menghadapi tentara Persi di suatu pertempuran yang seru dan seram. Di kalangan tentara islam terdapat dua orang bersaudara utama yaitu Anas bin Malik dan Barra’ bin Malik . . . .Pertempuran dimulai dengan perang tanding satu lawan satu; Barra’ sendiri menjatuhkan sampai seratus penantang dari Persi . . . .

 Kemudian berkecamuklah perang yang membaur di antara kedua pasukan dan dari kedua belah pihak berjatuhan korban yang tak sedikit.

Sebagian shahabat mendekati Barra’ sementara perang sedang berlangsung itu; mereka menghimbaunya sambil berkata; — “Masih ingatkah engkau, hai Barra’ akan sabda Rasul tentang dirimu:  Berapa banyak orang yang berambut kusut masai dan berdebu dari punya hanya dua pakaian lapuk hingga tidak di­perhatikan orang sama sekali, padahal seandainya ia memohon kutukan kepada Allah bagi mereka, pastilah akan diluluskannya … ! Dan di antara orang-orang itu ialah Barra’ bin Malik … ! Wahai Barra’ bersumpahlah kamu kepada Tuhanmu, agar Ia mengalahkan musuh dan menolong kita … !”

Maka Barra’ mengangkat kedua tangannya ke arah langit dengan berendah diri lalu berdoa:  ”Ya Allah, kalahkan mereka . . . dan tolonglah kami atas mereka dan pertemukanlah daku hari in dengan Nabi-Mu . . . !”

Dilayangkannya pandangannya yang lama kepada saudaranya Anas yang berperang berdampingan dengannya, seakan-akan hendak  mengucapkan selamat tinggal . – - – 

Dan menyerbulah Kaum Muslimin dengan keberanian yang tak takut mati, suatu keberanian yang tak dikenal dunia kecuali dari mereka …. Dan mereka pun beroleh kemenangan, suatu kemenangan yang nyata . . . !

Di tengah-tengah para syuhada yang jadi qurban pertempuran, terdapatlah Barra’ dengan wajahnya menampilkan senyuman, senyum manis seperti cahaya fajar. Tangan kanannya sedang menggenggam segumpal tanah berlumuran darah, yaitu darahnya yang suci . . .. Dan pedangnya masih tergeletak di sampingnya . . . . kuat tak terpatahkan, rata tanpa goresan …. Musafir itu telah sampai ke kampungnya . . . .

Bersama-sama temannya yang syahid ia telah mencapai perjalanan hidup yang agung lagi mulia, dan mereka menerima panggilan dari Ilahi;

“Itulah surga yang Kami wariskan untuk kalian, sebagai balasan atas amal perbuatan kalian … !”  
(Q.S. 7 al-Aral: 43)


(36)  
AL-BARAA' IBN MAALIK  
Allah and Paradise! 

       He was one of two brothers who lived for the cause of Allah and who pledged allegiance to the Messenger of Allah (PBUH) and kept their pledge in the course of time.  

        The first brother was Anas Ibn Maalik, the servant of the Messenger of Allah (PBUH). His mother, Umm Sulaim, took him to the Messenger at the age of ten and said, "O Messenger of Allah, this is Anas, your lad! He will serve you; invoke Allah for him." The Messenger kissed him between his eyes and invoked a blessing upon him that led his long life towards good and blessing. He said, "O Allah, let him have plenty of money and sons. Bless him and let him enter Paradise." So, he lived for 99 years, and Allah bestowed upon him plenty of sons and grandsons and provided him with a spacious garden that gave fruits twice a year!  

        The second of these brothers was Al-Baraa' Ibn Maalik, who led a great brave life. His motto was "Allah and Paradise!" Whoever would see him fighting in the cause of Allah would be totally amazed, for when Al-Baraa' was fighting polytheists with his sword, he was not one of those who was looking for victory - although victory then was the greatest end -- but he was looking for martyrdom. His utmost hope was to be a martyr and to die on the field of a glorious battle for the sake of the truth and Islam. For this reason, he missed neither a battle nor an expedition.  

       One day his brothers went to visit him. He read their faces and said, "I guess you're afraid I will die in bed. No, by Allah, He will not deprive me of martyrdom." Allah made his thoughts come true, as Al- Baraa' did not die in bed, but was martyred in one of the most glorious battles of Islam.  

        Al-Baraa's bravery on the Day of Al-Yamaamah revealed the personality of this hero whom "Umar Ibn Al-Khattaab forbade to ever be a leader because his boldness, courage, and search for death made it a great risk for him to lead other fighters.  

        On the Day of Al-Yamaamah, the Islamic armies were preparing to fight under the leadership of khaalid. Al-Baraa' stood licking his lips while the seconds were passing away as if they were years until the leader gave his order to advance. His sharp eyes were moving quickly all over the battlefield as if searching for the most suitable place for the hero to be martyred. Yes, nothing preoccupied him in the world but this aim. With the edge of his striking sword, a great harvest of the polytheists who called for darkness and falsehood were cut down. Then at the end of the battle, the hand of a polytheist gave him a stroke that made his body fall on the ground while his soul found its way to the angels among the group of martyrs and the blessed.  

        Khaalid shouted, "Allahu Akbar (Allah is the Greatest)!" 

So the close ranks burst forth to their fate, and so did the lover of death, Al-Baraa' lbn Maalik. He started bringing down the followers of Musailamah the Liar with his sword, and they were falling like autumn leaves because of his extreme courage. 

        Musailamah's army was not weak or small, but was the most dangerous army of the apostasy. With its numbers, equipment, and the death-defiance of its fighters, the army posed an extremely serious challenge. They answered the Muslims' attack with such an excessively aggressive defense that they were about to gain the initiative and transform their defense into an attack. Just then, some sort of anxiety pervaded the Muslim ranks. Their leaders and orators started giving words of encouragement from their horses, and they were reminded of Allah's promise.  

       Al-Baraa' had a nice loud voice. His leader Khaalid called him saying, "Speak, Baraa'!" So, Baraa' shouted with very strong and meaningful words, "O people of Al-Madiinah! Today you have no Madiinah, but it's Allah and Paradise!" These words demonstrate the spirit of their speaker and reveal his characters.

Yes, it is Allah and Paradise. In this situation, thoughts had to do with nothing but this. They should not even have thought of Al-Madiinah, the capital of Islam, where they had left their houses, women, and children, because if they were defeated on that day, there would not be any Madiinah to return to.  

       Al-Baraa's words spread like ... like what? Any simile would be unfair in comparison with its true effect. Let us say only that Al Baraa's words spread, and that is it.  

        It was a short time before the battle returned to its former advantage. The Muslims were proceeding towards a certain victory and the polytheists were falling in a shocking defeat, while Al-Baraa was walking along with his brothers carrying the standard of Muhammad (PBUH) to its great appointment. The polytheists withdrew and fled, seeking refuge within a big garden which they entered. The Muslims' enthusiasm abated; it seemed that it was now possible to change the battle's outcome by this trick that Musailamah's followers and army had resorted to. Just then Al Baraa' ascended a high hill and cried, "O Muslims, carry me and throw me over to them in the garden."  

        Did I not tell you? He was not looking for victory but martyrdom, and this plan, he thought, would be the best end of his life and the best way to die. If he was thrown into the garden, he would open its gate to the Muslims, and at the same time his body would be torn into pieces by the polytheists' swords. At the same time, also, the doors of Paradise would be preparing to receive a new glorious groom.  

        However, Al-Baraa' did not wait for his people to carry and throw him. He climbed the wall by himself, threw himself inside the garden, opened the gate, and the armies of Islam rushed in. But Al Baraa's dream did not come true: neither did the polytheists swords kill him, nor did he die as he wished. 

       Abu Bakr (May Allah be pleased with him) spoke the truth when he said, "Strive for death and you will live!" On that day the hero received from the polytheists' swords over eighty strikes, over eighty wounds that caused Khaalid Ibn Al-Waliid to continue supervising his nursing and care for an entire month.  

        All of this, however, was not what he wished. But it did not make Al-Baraa' hopeless. He waited for another battle ! The Messenger of Allah (PBUH) had prophesied that his supplication to Allah would be answered. He only had to keep invoking Allah to grant him martyrdom, and he did not have to be in a hurry, for every matter there is a decree.  

        After Al-Baraa' was healed of the wounds of Al-Yamaamah he rushed with the armies of Islam that went to escort the powers of darkness to their final resting place. Two evanescent empires existed: The Romans (Byzantines) and the Persians occupied with their unjust armies the countries of Allah and enslaved His servants. Al-Baraa started fighting with his sword, and in the place of each strike was built a great wall in the building of the new world that rapidly grew under the standard of Islam like the rising sun.  

        In one of the Iraqi wars, the Persians in their fight resorted to every means of barbarity. They used hooks fixed on the ends of chains heated in fire and threw them from their castles so that they would hit any of the Muslims who could not avoid them. Al-Baraa and his great brother Anas Ibn Maalik were assigned together with some of the Muslims to deal with one of these castles. But one of these hooks suddenly fell and caught Anas, and he could not touch the chain to save himself as it was flaming hot.  

        When Al-Baraa' saw the scene, he hurried towards his brother while the burning chain was taking him up the castle wall. Al-Baraa grasped the chain with his hands and started bravely dealing with it till he broke it. Anas was saved, but when Al-Baraa' and those who were with him took a look at his hands, they did not find them in their place. All the flesh on them was gone; only their burned bones remained. And the hero spent another period of time in a slow treatment till he was healed.  

 Is it not time for the lover of death to reach his end? Yes, it is. Here comes the Battle of Tustur where the Muslims met the Persian armies. This was such a feast for Al-Baraa'.  

       The people of Al-Ahwaaz and of Persia gathered in a large army to fight the Muslims. The Commander of the Faithful `Umar Ibn Al Khattaab wrote to Sa'd Ibn Abi Waqaas in Kufa and to Abu Muusaa Al-Ash'ariy in Basra to each send an army to meet Al Ahwaaz. He told Abu Muusaa in his message, "Make Suhail Ibn `Adiy their leader and send Al-Baraa' Ibn Maalik with him."  

       Thus, those coming from Kufa met those coming from Basra to face Al-Ahwaaz and the Persian armies in a fierce battle. The two great brothers Anas Ibn Maalik and Al-Baraa' Ibn Maalik were among the believing soldiers.
  
        The war started with dueling, and AL-Baraa' alone killed a hundred swordsmen of the Persians. Then the armies joined in battle, and the killed fell from both sides in large numbers. During the fight some of the Companions came near Al-Baraa' and said, "Remember the Messenger's words about you, Baraa': Perhaps there is a person with uncombed, dusty hair that people will not look at, but if he swears by Allah, He will fulfill his prayer. Among them is Al-Baraa Ibn Maalik.'O Baraa'; swear by Allah, entreat Him to defeat them and render us victorious."  

       Hence, Al-Baraa' raised his arms towards the sky and supplicated,"O Allah, render them defeated and us victorious, and let me catch Your Prophet today." He took a long look at his brother Anas, who was fighting near him, as if saying goodbye. Then the fighting intensified and the Muslims fought as nobody in the world had done, and they were clearly victorious.  

        Among the martyrs of the battle was Al-Baraa', with a happy smile on his face and his right hand grasping a handful of dust soaked with his pure blood. His sword was lying beside him. It was strong, without notches, undamaged.  

        Finally, the traveler arrived at his home. Together with his brother martyrs, he ended the journey of a great noble age. And it will be cried out to them, "This is the Paradise which you have inherited for what you did."



.¤ª"˜¨¯¨¨ Al Barra' Ibn Malik oo Al-Baraa' Ibn Malik¸,ø¨¨"ª¤.


Categories: