acebook

Para Sahabat - The Companions
oo
.¤ª"˜¨¯¨¨Qeis Bin Sa'ad Bin 'Ubadah¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨Qais Ibn Sa'd Ibn 'Ubadah¸,ø¨¨"ª¤.   
 Kalau tidaklah karena Islam,
maka ia lah ahli tipu muslihat Arab
yang paling lihai. 

Walaupun usianya masih muda, orang-orang Anshar me­mandangnya seperti seorang pemimpin …. Mereka mengatakan: “Seandainya kami dapat membelikan janggut untuk Qeis dengan harta kami, niscaya akan kami lakukan”. Sebabnya is berwajah licin, tak ads suatu pun kekurangan dari sifat-sifat kepemimpin­annya yang lazim terdapat pada adat kebiasaan kaumnya, selain soal janggut yang oleh para pria dijadikan sebagai tanda ke­jantanan pada wajah-wajah mereka.

Nah, siapakah kiranya pemuda yang sangat dicintai kaumnya ini, sampai-sampai mereka siap mengurbankan harta untuk membelikan janggut yang akan menghiasi mukanya, sebagai penyempurnaan  bentuk luarnya bagi kebesaran hakiki dan kepemimpinan yang    tinggi yang sudah dimilikinya … ?

Itulah dia Qeis bin Sa’ad bin ‘Ubadah! Berasal dari keluarga Arab yang paling dermawan dari turunan­nya yang mulia . . . . suatu keluarga yang Rasulullah saw. pernah berkata terhadapnya: “Kedermawanan menjadi tabi’at anggota keluarga ini!” Ia adalah seorang lihai yang banyak tipu muslihat, seorang Yang mahir, licin dan cerdik, dan orang yang terus terang mengatakan secara jujur tentang dirinya: “Kalau bukan karena Islam, saya sanggup membikin tipu muslihat yang tidak dapat ditandingi oleh orang Arab mana pun!” Sebabnya, karena ia adalah seorang yang tinggi kecerdasannya, banyak akal dan encer otaknya. Pada peristiwa Shiffin ia berdiri di fihak Ali menentang Mu’awiyah . . . . Maka duduklah ia merencanakan sendiri tipu muslihat yang mungkin akan membinasakan Mu’awiyah dan para pengikutnya di suatu hari atau pada suatu ketika kelak. Namun ketika ia menyaring macam-macam muslihat yang telah memeras kecerdasannya. Namun, ketika ia menyaring itu disadarinya bahwa itu adalah suatu muslihat jahat yang membahayakan. Maka teringatlah ia akan firman Allah swt.:

“Dan tipu days jahat itu akan hembali menimpa orangnya sendiri!”   (Q.S. 35 al-Fathir:43)

Maka ia pun segera bangkit, lalu membatalkan cara-cara tersebut sambil memohon ampun kepada Allah, serta mulutnya seakan-akan hendak mengatakan: “Demi Allah, seandainya Mu’awiyah dapat mengalahkan kita nanti, maka kemenangannya itu bukanlah karena kepintarannya, tetapi hanyalah karena keshalehan dan ketaqwaan kita . . . . “. Sesungguhnya pemuda Anshar suku Khazraj ini, adalah dari suatu keluarga pemimpin besar, yang mewariskan sifat-sifat mulia dari seorang pemimpin besar kepada pemimpin besar pula . . . . Ia anak dari Sa’ad bin ‘Ubadah, seorang pemimpin Khazraj, yang akan kita temui riwayatnya di belakang kelak. Sewaktu Sa’ad masuk Islam, ia membawa anaknya Qeis dan menyerahkannya kepada Rasul sambil berkata: “Inilah khadam anda ya Rasulallah!” Rasul dapat melihat pada diri Qeis segala tanda-tanda keutamaan dan ciri-ciri kebaikan . . .  Maka dirangkul dan didekatkannya ke dirinya dan senantiasalah Qeis menempati kedudukan di sisi Nabi …. Anas, shahabat Rasulullah pernah mengatakan: “Kedudukan  Qeis bin Sa’ad di sisi Nabi, tak ubah seperti ajudan”.

Selagi Qeis memperlakukan orang-orang lain sebelum ia masuk Islam dengan segala kecerdikannya, mereka tak tahan akan kelihaiannya. Dan tak ada seorang pun di kota Madinah dan sekitarnya yang tidak memperhitungkan kelihaiannya ini secara hati-hati. Maka setelah ia memeluk Islam, Islam mengajarkan kepadanya untuk memperlakukan manusia dengan kejujuran, tidak dengan kelicikan. Ia adalah seorang anak muda yang banyak – amalnya untuk Islam, karena itu di kesampingkannya kelihaiannya, dan tidak hendak mengulangi lagi tindakan-tin­dakan liciknya masa silam. Setiap ia menghadapi suatu kejadian yang sukar, ia ingat kepada prakteknya yang lama, segera sadar­kan diri lalu diucapkannyalah kata-katanya yang bersayap: “Kalau bukan karena Islam, akan kubuat tipu muslihat yang tidak dapat ditandingi oleh bangsa Arab . . .!”

Tak ada perangai lain pada dirinya yang lebih menonjol dari kecerdikannya kecuali kedermawanannya . . . . Dermawan dan pemurah bukanlah merupakan perangai baru bagi Qeis, karena ia adalah dari keluarga yang turun-temurun terkenal dermawan dan pemurah.

Bagi Qeis sebagai telah menjadi kebiasaan bagi orang-orang yang paling dermawan dan suka membantu di antara suku-suku Arab, ada petugas yang Bering berdiri di tempat ketinggian memanggil para tamu untuk makan Siang bersama mereka …. atau sengaja menyalakan api di malam hari untuk menjadi petunjuk bagi para musafir yang lewat. Orang-orang di zaman itu mengatakan: “Siapa yang ingin memakan lemak dan daging, silahkan mampir ke benteng perkampungan Dulaim bin Hari­tsah . . . !” Dulaim bin Haritsah adalah kakek kedua dari Qeis. Di rumah bangsawan inilah Qeis mendapat didikan kedermawan­an dan kepemurahan ….

Di suatu hari Umar dan Abu Bakar bercakap-cakap sekitar kedermawanan dan kepemurahan Qeis sambil. berkata: “Kalau kita biarkan terus pemuda ini dengan kepemurahannya, niscaya akan habis licin harta orang tuanya … !” Pembicaraan tentang anaknya itu, sampai kepada Sa’ad bin ‘Ubadah, maka serunya: “Siapa dapat membela diriku terhadap Abu Bakar dan Umar …? Diajarnya anakku kikir dengan memperalat namaku … !”

Pada suatu hari pernah ia memberi pinjaman pada salah seorang kawannya yang kesukaran dengan jumlah besar . . . . Pada hari yang telah ditentukan guna melunasi utang, pergilah orang itu untuk membayarnya kepada Qeis. Ternyata Qeis tidak bersedia menerimanya, ia hanya berkata: “Kami tak hendak menerima kembali apa-apa yang telah kami berikan!”

Fithrah manusia mempunyai kebiasaan yang tak pernah berubah, dan sunnah (hukum) yang jarang berganti-ganti yaitu.: di mana terdapat kepemurahan, terdapat pula keberanian …. Benarlah . . – , sesungguhnya dermawan sejati dan keberanian sejati adalah dua saudara kembar yang tak pernah berpisah satu dari lainnya untuk selama-lamanya. Dan bila anda menemukan kedermawanan tanpa keberanian, ketahuilah bahwa yang anda temukan itu bukanlah sebenarnya kepemurahan …. tetapi suatu gejala kosong dan bohong dari gejala-gejala melagakkan diri dan membusungkan dada. Demikian pula bila bertemu keberanian yang tidak disertai kepemurahan, ketahuilah pula bahwa itu bukanlah keberanian sejati, ia tak lain serpihan dari berani membabi buta dan kecerobohan!

Maka tatkala Qeis bin Sa’ad memegang teguh kendali ke­pemurahan dengan tangan kanannya, ia pun memegang kuat tali keberanian dan kepeloporan dengan tangan kirinya. Seolah-­olah ialah yang dimaksud dengan ungkapan sya’ir: “Apabila bendera kemuliaan telah dikibarkan. Maka segala kekejian berubah menjadi kebaikan”.

Keberaniannya telah termashur pada semua medan tempur yang dialaminya beserta Rasulullah saw. selagi beliau masih hidup …. Dan kemasyhuran itu bersambung pada pertempuran­pertempuran yang diterjuninya sesudah Rasul meninggal dunia. Keberanian yang selalu berlandaskan kebenaran dan kejujuran sebagai ganti kelihaian dan kelicikan … dengan mempergunakan cara terbuka dan terus terang secara berhadap-hadapan, bukan dengan menyebarkan isyu dari belakang dan tidak pula dengan tipu muslihat busuk, tentu saja membebani dirinya dengan ke­sukaran dan kesulitan yang menekan. Semenjak Qeis membuang jauh kemampuannya yang luar biasa dalam berdiplomasi licik dan bersilat lidah curang, dan ia membawakan diri dengan perangai berani secara terbuka dan terus terang, maka ia merasa puas dengan pembawaan yang baru ini, dan bersedia memikul akibat dan kesukaran yang silih berganti dengan hati yang rela ….

sesungguhnya keberanian sejati memancar dari kepuasan pribadi orang itu sendiri . . . . Kepuasan ini bukan karena dorong­an hawa nafsu dan keuntungan tertentu, tetapi disebabkan oleh ketulusan diri pribadi dan kejujuran terhadap ke­benaran – - – .
Demikianlah, sewaktu timbul pertikaian di antara Ali dan Mu’awiyah, kits lihat Qeis bersunyi-sunyi memencilkan dirinya. Dan terus berusaha mencari kebenaran dari celah-celah kepuasan­nya itu. Hingga akhirnya demi dilihatnya kebenaran itu berada pada pihak Ali, bangkitlah ia dan tampil ke sampingnya dengan gagah berani, teguh hati dan berjuang secara mati-matian. Di medan perang Shiffin, Jamal dan Nahrawan, Qeis merupakan salah seorang pahlawannya yang berperang tanpa takut mati …. Dialah yang membawa bendera Anshar dengan meneriakkan:

“Bendera inilah bendera persatuan ….
Berjuang bersama Nabi dan Jibril pembawa bantuan.
Tiada gentar andaikan hanya Anshar pengibarnya.
Dan tiada orang lain menjadi pendukungnya”.

Dan sesungguhnya Qeis telah diangkat oleh Imam Ali sebagai gubernur Mesir . . . . Tapi sudah semenjak lama Mu’awiyah selalu mengincerkan matanya ke wilayah ini. la memandangnya sebagai permata berlian yang paling berharga pada suatu mahkota yang amat didambakannya . . . . Oleh karena itu tidak lama setelah Qeis memangku jabatan sebagai Kepala Daerah itu, hampir terbit gilanya karena takut Qeis akan menjadi halangan bagi cita-citanya terhadap Mesir sepanjang masa, bahkan sekalipun ia beroleh kemenangan nanti atas Imam Ali dengan ke­menangan yang menentukan ….

Begitulah Mu’awiyah berusaha dengan tipu daya dan mus­lihat yang tidak terbatas pada suatu corak saja, membangkitkan kemarahan yang tidak terbatas dari Imam Ali terhadap Qeis, sampai akhirnya Imam Ali memanggilnya dari Mesir …. Di sini Qeis memperoleh kesempatan yang menguntungkan untuk mempergunakan kecerdasannya dengan berencana. la telah mengetahui berkat kecerdasannya bahwa Mu’awiyahlah yang memegang peranan dalam memfitnahnya, setelah ia gagal menarik Qeis ke pihaknya untuk memusuhi Imam Ali dan mempergunakan kepemimpinannya untuk membantunya.

Maka untuk mematahkan tipu daya tersebut, Qeis mem­perkuat sokongannya terhadap Ali dan terhadap kebenaran yang diwakili Ali. seorang pemimpin yang saat itu tempat tersangkut­nya kesetiaan dan kepercayaan teguh dari Qeis bin Sa’ad bin Tbadah . . . .
Demikianlah, tidak sedikit pun dirasakannya bahwa Imam Ali telah memecatnya dari Mesir …. Bagi Qeis, tak ada artinya wilayah kekuasaan, tak ada artinya pangkat kepemimpinan dan jabatan. Semuanya itu baginya hanyalah sekedar sarana guna mengabdikan diri bagi aqidah dan Agamanya . . . . Sekalipun jabatan Kepala Daerah di Mesir itu merupakan suatu jalan untuk mengabdikan diri kepada yang haq, namun kedudukan di dekat Imam Ali di medan laga adalah suatu jalan lain yang tak kurang penting dan menggairahkan ….

Keberanian Qeis mencapai puncak kejujurannya dan kema­tangannya sesudah syahidnya Ali dan dibai’atnya Hassan . . . Sesungguhnya Qeis memandang Hassan r.a. sebagai tokoh yang cocok menurut syari’at untuk jadi Imam (Kepala Negara), maka berjanji setialah ia kepadanya, dan berdiri di sampingnya sebagai pembela, tanpa memperdulikan bahaya yang akan menimpa.

Dan di kala Mu’awiyah memaksa mereka untuk menghunus pedang, bangkitlah Qeis memimpin lima ribu prajurit dari orang­-orang yang telah mencukur kepala mereka sebagai tanda ber­kabung atas wafatnya Ali. Hassan mengalah dan lebih suka membalut luka-luka Muslimin yang telah sedemikian parah, maka disuruhnya menghentikan perang yang telah menghabiskan nyawa dan harta itu, lalu berunding dengan Mu’awiyah dan kemudian bai’at kepadanya. Di sinilah Qeis mulai merenungkan lagi masalah tersebut, maka menurut pendapatnya, sekalipun pendirian Hassan adalah benar, maka pasukan Qeis tetap menjadi tanggung jawabnya dan pilihan terakhir terletak atas hasil keputusan musyawarah. Maka semua mereka dikumpulkannya, lalu ia berpidato di hadapan mereka sambil berkata: “Jika kalian menginginkan perang, aku akan tabah berjuang bersama kalian sampai salah satu di antara kita diambil maut lebih dulu! Tapi jika kalian memilih perdamaian maka aku akan mengambil langkah-langkah untuk itu . . . “.

Pasukan tentaranya memilih yang kedua maka dimintanya keamanan dari Mu’awiyah yang memberikannya dengan penuh sukacita, karena dilihatnya taqdir telah membebaskannya dari musuhnya yang terkuat, paling gigih serta berbahaya … !

Pada tahun 59 H. di kota Madinah al-Munawwarah, telah pulang ke Rahmatullah seorang pahlawan, yang dengan ke­islamannya dapat mengendalikan kecerdikan dan keahlian tipu muslihatnya serta menjadikannya obat penawar bisa.
Telah berpulang tokoh yang pernah berkata:
“Kalau tidaklah aku pernah mendengar Rasulullah, bersabda:
“Tipu daya dan muslihat licik itu di dalam neraka”
Niscaya akulah yang paling lihai di antara ummat ini …

Ia telah tiada dalam kedamaian, dengan meninggalkan nama harum sebagai seorang laki-laki yang jujur, terus terang, der­mawan dan berani ….

Benar . .. , ia telah berpulang dengan mewariskan pusaka nama baik seorang laki-laki yang terpercaya, baik tentang watak keislamannya maupun tentang tanggung jawab dan menepati janji…



QAIS IBN SA`D IBN `UBAADAH  
The Craftiest of Arabs but for Islam 

        Although he was young, the Ansaar treated him as a leader. They used to say, "If only we could buy him a beard!" He was not lacking in any of the characteristics that a leader should have except the traditional beard.  

        But who was this lad for whom his people were willing to spend their money to buy a beard that would make his appearance faultless and becoming of his genuine greatness and astonishing leadership?  

       This young man was Qais Ibn Sa'd lbn `Ubaadah. He belonged to one of the most distinguished and generous Arab houses, on which the Prophet (PBUH) commented, "Generosity is the prevailing trait of this family."  

        He was a crafty man, and there was no end to his tricks, skillfulness, and cleverness. He spoke the truth when he said, "If it were not for Islam, I would have used my craftiness to outwit all the Arabs."  
   
        He was sharp-witted, tricky, and resourceful. In the As-Siffiin Battle, he sided with `Aliy against Mu'aawiyah. He sat there turning over in his mind the plot that would make Mu'aawiyah and his men the worst losers, but the more he thought about his plot, the more he realized that it came under the heading of dangerous evil plotting. He then repeated Allah's verse 

" But the evil plot encompasses only him who makes it" (35:43). 

Consequently, he rejected the plot altogether and asked Allah's forgiveness, saying, "By Allah, if Mu'aawiyah is destined to have the upper hand over us, he will not have it because he has out-witted us, but because our piety and fear of Allah have run short." 
   
        This man was one of the Ansaar from the Khazraj tribe. He belonged to a great family and inherited all the excellent qualities of his ancestors. He was the son of Sa'd Ibn `Ubaadah, the Khazraj leader with whom we will be acquainted. 

        When Sa'd submitted himself to Islam, he held his son Qais's hand and introduced him to the Prophet (PBUH) saying, "This is your servant from now on." The Prophet (PBUH) saw in Qais all the qualities of excellence and righteousness, so he asked him to sit next to him and said, "This place will always be filled by him for the rest of his life." Anas, the Companion of Allah's Prophet (PBUH) said, "Qais Ibn Sa'd Ibn `Ubaadah was to the Prophet like a chief officer to a commander." 
   
        Before his Islam, he was full of craftiness to the extent that no one was able to get the better of him. The people of Al-Madiinah and its surroundings fell short of his cunning. When he embraced Islam, it turned his life and even disposition upside-down as it taught him how to treat people with sincerity rather than with deceit. He was a truly faithful and loyal Muslim. Therefore, he threw aside his cunning and fatal maneuvers. Yet, whenever he faced a difficult situation, his restrained and thwarted craftiness tried to rebel and gain control over him and his actions, and the only thing that made him come to grips with it were these words: "If it were not for Islam I would have used my craftiness to outwit all the Arabs." 

 His cleverness was surpassed only by his generosity. Generosity was not an accidental behavior on Qais's part, for he belonged to a family renowned for its generosity. It was the custom in those times for all the wealthy and generous people to bid a crier to stand on a high place in the daytime to call guests and passers by to come for food and rest; then, at night, he would light a fire to guide strangers to where food was. People at that time used to say, "He who likes fat and meat must go to Duliim Ibn Haarithah's house for food." Now, Duliim lbn Haarithah was Qais's great-grandfather. Thus, Qais was suckled amidst generosity and charity in this high-born family.  

 One day, both Abu Bakr and `Umar commented on his generosity saying, "If we let this lad give free rein to his generosity, he would exhaust his father's wealth." When Sa'd Ibn `Ubaadah heard about what they had said, he cried out, "Abu Quhaafah and Ion Al khattaab should not have tried to encourage my son to become a miser!"  

        One day, he lent a debtor who was experiencing hard times a large sum of money. At the appointed time for repayment, this man went to repay his debt to Qais yet he refused saying, "I never take back anything that I have given.'  

        Human nature is unchangeable. Both generosity and courage are inseparable. Indeed, genuine generosity and courage are like twins: neither is found on its own. If you meet a generous man who is not courageous, then be certain that what you have seen is not real generosity but a mere superficial pretence. On the other hand, if you find someone who is courageous but not generous, then be certain that what you have seen is not courage but a mere impetuous and reckless whim. Qais Ibn Sa'd held the reins of generosity with his right hand along with courage and valor. It seems as if he was meant by these lines of poetry:  

        If a flag was hoisted in celebration of glory  
        Then it must have been held by the right hand of an Arab.  

  
        His valor was outstanding in all the battles in which be fought when the Prophet (PBUH) was alive and even after his death.  
  
        When courage depends on honesty rather than craftiness, and on straight forwardness and confrontation rather than prevarication and maneuvering, then there must be difficult and endless trouble and intolerable hardships for its possessor. Ever since Qais threw aside his incredible skill of cunning and maneuvering and held onto his straightforward and conspicuous courage, he felt relieved and content, notwithstanding the problems he had to confront and the obligations he had to fulfill 

        Genuine courage stems solely out of its possessor's conviction. This conviction is not affected by desire or whim, but rather by truthfulness and honesty with himself.  

        Hence, when the conflict between `Aliy and Mu'aawiyah started, Qais sat alone trying to side with the one whom he believed to be in the right. Then as soon as he decided that `Aby was right, he did not hesitate to stand by his side with admirable pride, valor, and fearlessness.  

        Qais was one of the fearless heroes of As-sifiin, Al-jamal and An-Nahrawaan. He carried the Ansaar's standard and cried out, "The standard that I'm carrying now is the same one that I used to carry when we marched for war with the Prophet (PBUH) and had jibriil as our reinforcement. Any man who has no one but the Ansaar on his side is a lucky man."  

Imam `Aliy assigned him to govern Egypt. Now, Mu'aawiyah's eyes were always set on Egypt, as he considered it the most precious stone in his prospective crown. Therefore, no Sooner had Mu'aawiyah heard that Qais was to govern Egypt than he lost his self-control and was gripped by apprehensions lest Qais should stand forever in his way to rule Egypt, even if he achieved a decisive victory over imam `Aliy. Hence, he used all his cunning methods and unscrupulous tricks to defame Qais before `Aliy.  

        Finally, Imam `Aliy ordered him to leave Egypt. Qais had a legitimate chance to use his cleverness, for he realized that Mu'aawiyah must have incited `Aliy against him through his sly and crafty tricks after he had failed to win him over to his side. He aimed at inciting Imam `Aliy against Qais by casting doubts on his loyalty to him. Therefore, the best answer to Mu'aawiyah's evil plots was to show more loyalty to `Aliy and what he represented. This loyalty was not a mere pretence or a means to an end on Qais's part, but rather his firm conviction and belief. Therefore, he did not feel for a moment that he was dismissed from his position, for Qais considered the governorship and all other positions as a means to the ultimate end, namely, to serve his faith and religion. He dedicated himself to the service of the truth. Whether he maintained his governorship of Egypt or stood by Imam `Aliy in the battlefield, it was one and the same thing for him, as long as they were a means to attain truth.  

        When Mu'aawiyah left the Muslims no other way out but to unsheathe their swords against one another, Qais took the command of 5,000 Muslims who shared in mourning for Imam `Aliy's death.  

       Al-Hasan thought that it would be best to put an end to the prolonged suffering of Muslims and that deadly horrible conflict.  

        Therefore he agreed to negotiate with Mu'aawiyah and finally gave him his oath of allegiance. When this happened, Qais pondered the matter in his mind and decided that no matter how right Al Hasan was in his decision, his soldiers had every right to be consulted. Thus, he called them together and addressed them saying, "If you wish, we will keep on fighting to the last breath, or if you wish, I will ask Mu'aawiyah to guarantee your safety and security."  

        Naturally, Mu'aawiyah was relieved and overjoyed to be rid of one of his most dreaded and dangerous foes!  

        This man whose craftiness was tamed and subdued by Islam died in A.H. 59 in Al-Madiinah This was the man who used to say, "If I did not hear the Prophet say, `Craftiness and deceit reside in hell,' I would have been the craftiest man of the nation!" In the end he died, yet the fragrance of this trustworthy and disciplined Muslim still lingers on.



oo
.¤ª"˜¨¯¨¨Qeis Bin Sa'ad Bin 'Ubadah¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨Qais Ibn Sa'd Ibn 'Ubadah¸,ø¨¨"ª¤.







   

Categories: