acebook




♥.¤ª"˜¨¯¨¨Salman al Farisi o❀o Salmaan al Faarisiy¸,ø¨¨"ª¤.
Pencari Kebenaran


Dari Persi . . . datangnya pahlawan kali ini. Dan dari Persi pula Agama Islam nanti dianut oleh orang-orang Mu’min yang tidak sedikit jumlahnya, dari kalangan mereka muncul pribadi­ pribadi istimewa yang tiada taranya, baik dalam bidang ke­ilmuan dan keagamaan, maupun dalam ilmu pengetahuan dan keduniaan.

Dan memang, salah satu dari keistimewaan dan kebesaran al-Islam ialah, setiap islam memasuki suatu negeri dari negeri-negeri Allah, maka dengan keajaiban luar biasa dibangkitkannya setiap keahlian, digerakkannya segala kemampuan serta digalinya bakat-bakat terpendarn dari warga dan penduduk negeri itu, hingga bermunculanlah filosof-filosof Islam, dokter-dokter Islam, ahli-ahli falak Islam, ahli-ahli fiqih Islam, ahli-ahli ilmu pasti Islam dan penemu-penemu mutiara Islam ….

Ternyata bahwa pentolan-pentolan itu berasal dari setiap penjuru dan muncul dari setiap bangsa, hingga masa-masa per­tama perkembangan Islam penuh dengan tokoh-tokoh luar biasa dalam segala lapangan, baik cita maupun karsa, yang berlainan tanah air dan suku bangsanya, tetapi satu Agama­nya

Dan perkembangan yang penuh berkah dari Agama ini telah lebih dulu diramalkan oleh Rasulullah saw., bahkan beliau telah menerima janji yang benar dari Tuhannya Yang Maha Besar lagi Maha Mengetahui. Pada suatu hari diangkatlah baginya jarak pemisah dari tempat dan waktu, hingga disaksikannyalah dengan mata kepala panji-panji Islam berkibar di kota-kota di muka bumi, serta di istana dan mahligai-mahligai para penduduknya.

Salman al-Farisi sendiri turut menyaksikan hal tersebut, karena ia memang terlibat dan mempunyai hubungan erat dengan kejadian itu. Peristiwa itu terjadi waktu perang Khandaq, yaitu pada tahun kelima Hijrah. Beberapa orang pemuka Yahudi pergi ke Mekah menghasut orang-orang musyrik dan golongan ­golongan kuffar agar bersekutu menghadapi Rasulullah dan Kaum Muslimin, serta mereka berjanji akan memberikan bantuan dalam perang penentuan yang akan menumbangkan serta men­cabut urat akar Agama baru ini.

Siasat dan taktik perang pun diaturlah secara licik, bahwa tentara Quraisy dan Ghathfan akan menyerang kota Madinah dari luar, sementara Bani Quraidlah (Yahudi) akan menyerang­nya dari dalam yaitu dari belakang barisan Kaum Muslimin sehingga mereka akan terjepit dari dua arah, karenanya mereka akan hancur lumat dan hanya tinggal nama belaka. Demikianlah pada suatu hari Kaum Muslimin tiba-tiba melihat datangnya pasukan tentara yang besar mendekati kota Madinah, membawa perbekalan banyak dan persenjataan lengkap untuk menghancurkan. Kaum Muslimin panik dan mereka bagaikan kehilangan akal melihat hal yang tidak diduga-duga itu. Keadaan mereka dilukiskan oleh al-Quran sebagai berikut:
Ketika mereka datang dari sebelah atas dan dari arah bawahmu, dan tatkala pandangan matamu telah berputar liar, seolah-olah hatimu telah naik sampai kekerongkongan, dan kamu menaruh sangkaan yang bukan-bukan terhadap Allah. (Q.S. 33 al-Ahzab:10)

Dua puluh empat ribu orang prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan dan Uyainah bin Hishn menghampiri kota Madinah dengan maksud hendak mengepung dan melepaskan pukulan menentukan yang akan menghabisi Muhammad saw., Agama serta para shahabatnya.
Pasukan tentara ini tidak saja terdiri dari orang-orang Quraisy, tetapi juga dari berbagai kabilah atau suku yang meng­anggap Islam sebagai lawan yang membahayakan mereka. Dan peristiwa ini merupakan percobaan akhir dan menentukan dari fihak musuh-musuh Islam, baik dari perorangan, maupun dari suku dan golongan.

Kaum Muslimin menginsafi keadaan mereka yang gawat ini, Rasulullah pun mengumpulkan para shahabatnya untuk bermusyawarah. Dan tentu saja mereka semua setuju untuk bertahan dan mengangkat senjata, tetapi apa yang harus mereka lakukan untuk bertahan itu?
Ketika itulah tampil seorang yang tinggi jangkung dan berambut lebat, seorang yang disayangi dan amat dihormati oleh Rasulullah saw. Itulah dia Salman al-Farisi! Dari tempat ketinggian ia melayangkan pandang meninjau sekitar Madinah, dan sebagai telah dikenalnya juga didapatinya kota itu di lingkungan gunung dan bukit-bukit batu yang tak ubah bagai benteng juga layaknya. Hanya di sana terdapat pula daerah terbuka, luas dan terbentang panjang, hingga dengan mudah akan dapat diserbu musuh untuk memasuki benteng pertahanan.

Di negerinya Persi, Salman telah mempunyai pengalaman luas tentang teknik dan sarana perang, begitu pun tentang siasat dan liku-likunya. Maka tampillah ia mengajukan suatu usul kepada Rasulullah, yaitu suatu rencana yang belum pernah dikenal oleh orang-orang Arab dalam peperangan mereka selama ini. Rencana itu berupa penggalian khandaq atau parit per­lindungan sepanjang daerah terbuka Wiling kota.

Dan hanya Allah yang lebih mengetahui apa yang akan dialami Kaum Muslimin dalam peperangan itu seandainya mereka tidak menggali parit atau usul Salman tersebut. Demi Quraisy menyaksikan parit terbentang di hadapannya, mereka merasa terpukul melihat hal yang tidak disangka-sangka itu, hingga tidak kurang sebulan lamanya kekuatan mereka bagai terpaku di kemah–kemah karena tidak berdaya menerobos kota. Dan akhirnya pada suatu malam Allah Ta’ala mengirim angin. Topan yang menerbangkan kemah-kemah dan memporak-poran­dakan tentara mereka.

Abu Sufyan pun menyerukan kepada anak buahnya agar kembali pulang ke kampung mereka . . . dalam keadaan kecewa dan berputus asa serta menderita kekalahan pahit ...

Sewaktu menggali parit, Salman tidak ketinggalan bekerja bersama Kaum Muslimin yang sibuk menggali tanah. Juga Rasul­ullah saw. ikut membawa tembilang dan membelah batu. Ke­betulan. di tempat penggalian Salman bersama kawan-kawannya, tembilang mereka terbentur pada sebuah batu besar. Salman seorang yang berperawakan kukuh dan bertenaga besar. Sekali ayun dari lengannya yang kuat akan dapat mem­belah batu dan memecahnya menjadi pecahan-pecahan kecil. Tetapi menghadapi batu besar ini ia tak berdaya, sedang bantuan dari teman-temannya hanya menghasilkan kegagalan belaka. Salman pergi mendapatkan Rasulullah saw. dan minta idzin mengalihkan jalur parit dari garis semula, untuk menghindari batu besar yang tak tergoyahkan itu. Rasulullah pun pergi bersama Salman untuk melihat sendiri keadaan tempat dan batu besar tadi. Dan setelah menyaksikannya, Rasulullah meminta sebuah tembilang dan menyuruh Para shahabat mundur dan menghindarkan diri dari pecahan-pecahan batu itu nanti Rasulullah lalu membaca basmalah dan mengangkat kedua tangannya yang mulia yang sedang memegang erat tembilang itu, dan dengan sekuat tenaga dihunjamkannya ke batu besar itu.

Kiranya batu itu terbelah dan dari celah belahannya yang besar keluar lambaian api yang tinggi dan menerangi. “Saya lihat lambaian api itu menerangi pinggiran kota Madinah”, kata Salman, sementara Rasulullah saw. mengucapkan takbir, sabdanya: Allah Maha Besar ! Aku telah di karuniai kunci kunci israna dari negeri Persi dan dari lambaian api tadi nampak olehku dengan nyata istana istana kerajaan Hirah begitupun kota kota maha raja Persi dan bahwa umatku akan menguasai semua itu. Lalu Rasulullah mengangkat tembilang itu kembali dan memukulkannya ke batu untuk kedua kalinya. Maka tampaklah seperti semula tadi. Pecahan batu besar itu menyemburkan lambaian api yang tinggi dan menerangi, sementara Rasulullah bertakbir sabdanya: Allah Maha Besar! Aku telah dikaruniai kunci-kunci negeri Romawi, dan tampak nyata olehku istana-istana megahnya, dan bahwa ummatku akan menguasainya.

Kemudian dipukulkannya untuk ketiga kali, dan batu besar itu pun menyerah pecah berderai, sementara sinar yang ter­pancar daripadanya amat nyala dan terang benderang. Rasulullahpun mengucapkan la ilaha illallah diikuti dengan gemuruh oleh kaum Muslimin. Lalu diceritakanlah oleh Rasulullah bahwa beliau sekarang melihat istana-istana dan mahligai-mahligai di Syria maupun Shan’a, begitu pun di daerah-daerah lain yang suatu ketika nanti akan berada di bawah naungan bendera Allah yang berkibar. Maka dengan keimanan penuh Kaum Muslimin pun serentak berseru:
Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya . . . . Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.

Salman adalah orang yang mengajukan saran untuk membuat parit. Dan dia pulalah penemu batu yang telah memancarkan rahasia-rahasia dan ramalan-ramalan ghaib, yakni ketika ia meminta tolong kepada Rasulullah saw. la berdiri di samping Rasulullah menyaksikan cahaya dan mendengar berita gembira itu. Dan dia masih hidup ketika ramalan itu menjadi kenyataan, dilihat bahkan dialami dan dirasakannya sendiri. Dilihatnya kota-kota di Persi dan Romawi, dan dilihatnya mahligai istana di Shan’a, di Mesir, di Syria dan di Irak. Pendeknya disaksikan dengan mata kepalanya bahwa seluruh permukaan bumi seakan berguncang keras, karena seruan mempesona penuh berkah yang berkumandang dari puncak menara-menara tinggi di setiap pelosok, memancarkan sinar hidayah dan petunjuk Allah ….

Nah, itulah dia sedang duduk di bawah naungan sebatang pohon yang rindang berdaun rimbun, di muka rumahnya di kola Madain; sedang menceriterakan kepada shahabat-shahabatnya perjuangan berat yang dialaminya demi mencari kebenaran, dan mengisahkan kepada mereka bagaimana ia meninggalkan agama nenek moyangnya bangsa Persi, masuk ke dalam agama Nashrani dan dari sana pindah ke dalam Agama Islam. Betapa ia telah meninggalkan kekayaan berlimpah dari orang tuanya dan men­jatuhkan dirinya ke dalam lembah kemiskinan demi kebebasan fikiran dan jiwanya . . . ! Betapa ia dijual di pasar budak dalam mencari kebenaran itu, bagaimana ia berjumpa dengan Rasulullah dan iman kepadanya … !
Marilah kita dekati majlisnya yang mulia dan kita dengarkan kisah menakjubkan yang diceriterakannya!

“Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama “Ji”. Bapakku seorang bupati di daerah itu, dan aku merupakan makhluq Allah yang paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama majusi, hingga diserahi tugas sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya clan tidak membiarkannya padam.

Bapakku memiliki sebidang tanah, dan pada ‘suatu hari aku disuruhnya ke sana. Dalam perjalanan ke tempat tujuan, aku lewat di sebuah gereja milik kaum Nashrani. Kudengar mereka sedang sembahyang, maka aku masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan. Aku kagum melihat cara mereka sembahyang, dan kataku dalam hati: “Ini lebih baik dari apa yang aku anut selama ini!” Aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam, dan tidak jadi pergi ke tanah milik bapakku serta tidak pula kembali pulang, hingga bapak mengirim orang untuk menyusulku.

Karena agama mereka menarik perhatianku, kutanyakan kepada orang-orang Nashrani dari mana asal-usul agama mereka. “Dari Syria”, ujar mereka. Ketika telah berada di hadapan bapakku, kukatakan ke­padanya: “Aku lewat pada suatu kaum yang sedang melakukan upacara sembahyang di gereja. Upacara mereka amat mengagum­kanku. Kulihat pula agama mereka lebih baik dari agama kita”. Kami pun bersoal-jawab melakukan diskusi dengan bapak­ku dan berakhir dengan dirantainya kakiku dan dipenjarakannya diriku ….

Kepada orang-orang Nashrani kukirim berita bahwa aku telah menganut agama mereka. Kuminta pula agar bila datang rombongan dari Syria, supaya aku diberi tahu sebelum mereka kembali, karena aku akan ikut bersama mereka ke sana. Per­mintaanku itu mereka kabulkan, maka kuputuskan rantai, lalu meloloskan diri dari penjara dan menggabungkan diri kepada rombongan itu menuju Syria.

Sesampainya di sana kutanyakan seorang ahli dalam agama itu, dijawabnya bahwa ia adalah uskup pemilik gereja. Maka datanglah aku kepadanya, kuceriterakan keadaanku. Akhirnya tinggallah aku bersamanya sebagai pelayan, melaksanakan ajaran mereka dan belajar . . . Sayang uskup ini seorang yang tidak baik beragamanya, karena dikumpulkannya sedekah dari orang­ orang dengan alasan untuk dibagikan, ternyata disimpan untuk dirinya pribadi. Kemudian uskup itu wafat ….

Mereka mengangkat orang lain sebagai gantinya. Dan kulihat tak seorang pun yang lebih baik beragamanya dari uskup baru ini. Aku pun mencintainya demikian rupa, sehingga hatiku merasa tak seorang pun yang lebih kucintai sebelum itu dari­padanya.

Dan tatkala ajalnya telah dekat, tanyaku padanya: “sebagai anda maklumi, telah dekat saat berlakunya taqdir Allah atas diri anda. Maka .apakah yang harus kuperbuat, dan siapakah sebaiknya yang harus kuhubungi?” “Anakku!”, ujarnya: “tak seorang pun menurut pengetahuanku yang sama langkahnya dengan aku, kecuali seorang pemimpin yang tinggal di Mosul”. Lalu tatkala ia wafat aku pun berangkat ke Mosul dan meng­hubungi pendeta yang disebutkannya itu. Kuceriterakan kepada­nya pesan dari uskup tadi dan aku tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah.

Kemudian tatkala ajalnya telah dekat pula, kutanyakan kepadanya siapa yang harus kuturuti. Ditunjukkannyalah orang shalih yang tinggal di Nasibin. Aku datang kepadanya dan ku­ceriterakan perihalku, lalu tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah pula.
Tatkala ia hendak meninggal, kubertanya pula kepadanya. Maka disuruhnya aku menghubungi seorang pemimpin yang tinggal di ‘Amuria, suatu kota yang termasuk wilayah Romawi. Aku berangkat ke sana dan tinggal bersamanya, sedang sebagai bekal hidup aku berternak sapi dan kambing beberapa ekor banyaknya.

Kemudian dekatlah pula ajalnya dan kutanyakan padanya kepada siapa aku dipercayakannya. Ujarnya: “Anakku! Tak seorang pun yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan dapat kupercayakan engkau padanya. Tetapi sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang Nabi yang mengikuti agama Ibrahim secara murni. Ia nanti akan hijrah ke suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah ber­batu-batu hitam. Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah dia! Ia mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang: ia tidak mau makan shadaqah, sebaliknya bersedia menerima hadiah dan di pundaknya ada cap kenabian yang bila kau melihatnya, segeralah kau mengenalinya”.Kebetulan pada suatu hari lewatlah suatu rombongan ber­kendaraan, lalu kutanyakan dari mana mereka datang. Tahulah aku bahwa mereka dari jazirah Arab, maka kataku kepada mereka: “Maukah kalian membawaku ke negeri kalian, dan sebagai imbalannya kuberikan kepada kalian sapi-sapi dan kambing-kambingku ini?” “Baiklah”, ujar mereka.

Demikianlah mereka membawaku serta dalam perjalanan hingga sampai di suatu negeri yang bernama Wadil Qura. Di sana aku mengalami penganiayaan, mereka menjualku kepada seorang yahudi. Ketika tampak olehku banyak pohon kurma, aku berharap kiranya negeri ini yang disebutkan pendeta ke­padaku dulu, yakni yang akan menjadi tempat hijrah. Nabi yang ditunggu. Ternyata dugaanku meleset.

Mulai saat itu aku tinggal bersama orang yang membeliku, hingga pada suatu hari datang seorang yahudi Bani Quraidhah yang membeliku pula daripadanya. Aku dibawanya ke Madinah, dan demi Allah baru saja kulihat negeri itu, aku pun yakin itulah negeri yang disebutkan dulu.

Aku tinggal bersama yahudi itu dan bekerja di perkebunan kurma milik Bani Quraidhah, hingga datang saat dibangkitkannya Rasulullah yang datang ke Madinah dan singgah pada Bani ‘Amar bin ‘Auf di Quba. Pada suatu hari, ketika aku berada di puncak pohon kurma sedang majikanku lagi duduk di bawahnya, tiba-tiba datang seorang yahudi saudara sepupunya yang mengatakan padanya: “Bani Qilah celaka! Mereka berkerumun mengelilingi seorang laki-laki di Quba yang datang dari Mekah dan mengaku sebagai Nabi. . .”. Demi Allah, baru saja ia mengucapkan kata-kata itu, tubuhku pun bergetar keras hingga pohon kurma itu bagai bergoncang dan hampir saja aku jatuh menimpa majikanku.

Aku segera turun dan kataku kepada orang tadi: “Apa kata anda?” Ada berita apakah?” Majikanku mengangkat tangan lalu meninjuku sekuatnya, serta bentaknya: “Apa urusanmu dengan ini, ayoh kembali ke pekerjaanmu!” 

Maka aku pun kembalilah bekerja …Setelah hari petang, kukumpulkan segala yang ada padaku, lalu aku keluar dan pergi menemui Rasulullah di Quba. Aku masuk kepadanya ketika beliau sedang duduk bersama beberapa orang anggota rombongan. Lalu kataku kepadanya: “Tuan-tuan adalah perantau yang sedang dalam kebutuhan. Kebetulan aku mem­punyai persediaan makanan yang telah kujanjikan untuk sedekah. Dan setelah mendengar keadaan tuan-tuan, maka menurut hematku, tuan-tuanlah yang lebih layak menerimanya, dan makanan itu kubawa ke sini”. Lalu makanan itu kutaruh di hadapannya. Makanlah dengan nama Allah. sabda Rasulullah kepada para shahabatnya, tetapi beliau tak sedikit pun mengulurkan tangannya menjamah makanan itu. “Nah, demi Allah!” kataku dalam hati, “inilah satu dari tanda­ tandanya …bahwa ia tak mau memakan harta sedekah “.

Aku kembali pulang, tetapi pagi-pagi keesokan harinya aku kembali menemui Rasulullah sambil membawa makanan, serta kataku kepadanya: “Kulihat tuan tak hendak makan sedekah, tetapi aku mempunyai sesuatu yang ingin kuserahkan kepada tuan sebagai hadiah”, lalu kutaruh makanan di hadapan­nya. Maka sabdanya kepada shahabatnya: Makanlah dengan menyebut nama Allah.
Dan beliaupun turut makan bersama mereka. “Demi Allah”, kataku dalam hati, “inilah tanda yang kedua, bahwa ia bersedia menerima hadiah “. Aku kembali pulang dan tinggal di tempatku beberapa lama. Kemudian kupergi mencari Rasulullah saw. dan kutemui beliau di Baqi’, sedang mengiringkan jenazah dan dikelilingi oleh shahabat-shahabatnya. la memakai dua lembar kain lebar, yang satu dipakainya untuk sarung dan yang satu lagi sebagai baju. Kuucapkan salam kepadanya dan kutolehkan pandangan hendak melihatnya. Rupanya ia mengerti akan maksudku, maka disingkapkannya kain burdah dari lehernya hingga nampak pada pundaknya tanda yang kucari, yaitu cap kenabian sebagai disebutkan oleh pendeta dulu.

Melihat itu aku meratap dan menciuminya sambil menangis. Lalu aku dipanggil menghadap oleh Rasulullah. Aku duduk di hadapannya, lalu kuceriterakan kisahku kepadanya sebagai yang telah kuceriterakan tadi.

Kemudian aku masuk Islam, dan perbudakan menjadi peng­halang bagiku untuk menyertai perang Badar dan Uhud. Lalu pada suatu hari Rasulullah menitahkan padaku: Mintalah pada majikanmu agar ia bersedia membebaskan­mu dengan menerima uang tebusan.
Maka kumintalah kepada majikanku sebagaimana dititahkan Rasulullah, sementara Rasulullah menyuruh para shahabat untuk membantuku dalam soal keuangan. Demikianlah aku dimerdekakan oleh Allah, dan hidup sebagai seorang Muslim yang bebas merdeka, serta mengambil bagian bersama Rasulullah dalam perang Khandaq dan pepe­rangan lainnya.’) Dengan kalimat-kalimat yang jelas dan manis, Salman men­ceriterakan kepada kita usaha keras dan perjuangan besar serta mulia untuk mencari hakikat keagamaan, yang akhirnya dapat sampai kepada Allah Ta’ala dan membekas sebagai jalan hidup yang harus ditempuhnya ….

Corak manusia ulung manakah orang ini? Dan keunggulan besar manakah yang mendesak jiwanya yang agung dan melecut kemauannya yang keras untuk mengatasi segala kesulitan dan membuatnya mungkin barang yang kelihatan mustahil? Kehausan dan kegandrungan terhadap kebenaran manakah yang telah menyebabkan pemiliknya rela meninggalkan kampung halaman berikut harta benda dan segala macam kesenangan, lalu pergi menempuh daerah yang belum dikenal — dengan segala halangan dan beban penderitaan — pindah dari satu daerah ke daerah lain, dari satu negeri ke negeri lain, tak kenal letih atau lelah, di samping tak lupa beribadah secara tekun . . .? sementara pandangannya yang tajam selalu mengawasi manusia, menyelidiki kehidupan dan aliran mereka yang berbeda, sedang tujuannya yang utama tak pernah beranjak dari semula, yang tiada lain hanya mencari kebenaran. Begitu,pon pengurbanan mulia yang dibaktikannya demi mencapai hidayah Allah, sampai ia diperjual belikan sebagai budak belian . . . Dan akhirnya ia diberi Allah ganjaran setimpal hingga dipertemukan dengan al-Haq dan dipersuakan dengan Rasul-Nya, lalu dikaruniai usia lanjut, hingga ia dapat menyaksikan dengan kedua matanya bagaimana panji-panji Allah berkibaran di seluruh pelosok dunia, sementara ummat Islam mengisi ruangan dan sudut-sudutnya dengan hidayah dan petunjuk Allah, dengan kemakmuran dan keadilan … !

Bagaimana akhir kesudahan yang dapat kita harapkan dari seorang tokoh yang tulus hati dan keras kemauannya demikian rupa? Sungguh, keislaman Salman adalah keislamannya orang­orang utama dan taqwa. Dan dalam kecerdasan, kesahajaan dan kebebasan dari pengaruh dunia, maka keadaannya mirip sekali dengan Umar bin Khatthab.

Ia pernah tinggal bersama Abu Darda di sebuah rumah beberapa hari lamanya. Sedang kebiasaan Abu Darda beribadah di waktu malam dan shaum di waktu Siang. Salman melarangnya keterlaluan dalam beribadah seperti itu. Pada suatu hari Salman bermaksud hendak mematahkan niat Abu -Darda untuk shaum sunnat esok hari. Dia menyalahkan­nya: “Apakah engkau hendak melarangku shaum dan shalat karena Allah?” Maka jawab Salman: “Sesungguhnya kedua matamu mempunyai hak atas dirimu, demikian pula keluargamu mempunyai hak atas dirimu. Di samping engkau shaum, ber­bukalah; dan di samping melakukan shalat, tidurlah!”

Peristiwa itu sampai ke telinga Rasulullah, maka sabdanya: Rasulullah saw. sendiri sering memuji kecerdasan Salman serta ketinggian ilmunya, sebagaimana beliau memuji Agama dan budi pekertinya yang luhur. Di waktu perang Khandaq, kaum Anshar sama berdiri dan berkata: “Salman dari golongan kami”. Bangkit­lah pula kaum Muhajirin, kata mereka: “Tidak, ia dari golongan kami!” Mereka pun dipanggil oleh Rasulullah saw., dan sabdanya: Salman adalah golongan kami, ahlul Bait

Dan memang selayaknyalah jika Salman mendapat kehormatan seperti itu . . .! Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah menggelari Salman dengan “Luqmanul Hakim”. Dan sewaktu ditanya mengenai Salman, yang ketika itu telah wafat, maka jawabnya: “Ia adalah seorang yang datang dari kami dan kembali kepada kami Ahlul Bait. Siapa pula di antara kalian yang akan dapat menyamai Luqmanul Hakim. Ia telah beroleh ilmu yang pertama begitu pula ilmu yang terakhir. Dan telah dibacanya kitab yang pertama dan juga kitab yang terakhir. Tak ubahnya ia bagai lautan yang airnya tak pernah kering”.

Dalam kalbu para shahabat umumnya, pribadi Salman telah mendapat kedudukan mulia dan derajat utama. Di masa peme­rintahan Khalifah Umar r.a. ia datang berkunjung ke Madinah. Maka Umar melakukan penyambutan yang setahu kita belum penah dilakukannya kepada siapa pun juga. Dikumpulkannya para shahabat dan mengajak mereka: “Marilah kita pergi me­nyambut Salman!” Lalu ia keluar bersama mereka menuju pinggiran kota Madinah untuk menyambutnya … Semenjak bertemu dengan Rasulullah dan iman kepadanya, Salman hidup sebagai seorang Muslim yang merdeka, sebagai pejuang dan selalu berbakti. Ia pun mengalami kehidupan masa Khalifah Abu Bakar; kemudian di masa Amirul Mu’minin Umar; lalu di masa Khalifah Utsman, di waktu mana ia kembali ke hadlirat Tuhannya. Di tahun-tahun kejayaan ummat Islam, panji-panji Islam telah berkibar di seluruh penjuru, harta benda yang tak sedikit jumlahnya mengalir ke Madinah sebagai pusat pemerintahan baik sebagai upeti ataupun pajak untuk kemudian diatur pem­bagiannya menurut ketentuan Islam, hingga negara mampu mem­berikan gaji dan tunjangan tetap. Sebagai akibatnya banyaklah timbul masalah pertanggungjawaban secara hukum mengenai perimbangan dan cara pembagian itu, hingga pekerjaan pun bertumpuk dan jabatan tambah meningkat. Maka dalam gundukan harta negara yang berlimpah ruah itu, di manakah kita dapat menemukan Salman? Di manakah kita dapat menjumpainya di saat kekayaan dan kejayaan, kesenangan dan kemakmuran itu … ?

Bukalah mata anda dengan baik! Tampaklah oleh anda seorang tua berwibawa duduk di sana di bawah naungan pohon, sedang asyik memanfaatkan sisa waktunya di samping berbakti untuk negara, menganyam dan menjalin daun kurma untuk dijadikan bakul atau keranjang. 

Nah, itulah dia Salman … ! Perhatikanlah lagi dengan cermat! Lihatlah kainnya yang pendek, karena amat pendeknya sampai terbuka kedua lututnya. Padahal is seorang tua yang berwibawa, mampu dan tidak berkekurangan. Tunjangan yang diperolehnya tidak sedikit, antara empat sampai enam ribu setahun. Tapi semua itu disumbangkannya habis, satu dirham pun tak diambil untuk dirinya. Katanya: “Untuk bahannya kubeli daun satu dirham, lalu kuperbuat dan kujual tiga dirham. Yang satu dirham kuambil untuk modal, satu dirham lagi untuk nafkah keluargaku,. sedang satu dirham sisanya untuk shadaqah. Seandainya Umar bin Khatthab melarangku berbuat demikian, sekali-kali tiadalah akan kuhentikan!”

Lalu bagaimana wahai ummat Rasulullah? Betapa wahai peri kemanusiaan, di mana saja dan kapan saja? Ketika mendengar sebagian shahabat dan kehidupannya yang amat bersahaja, seperti Abu Bakar, Umar, Abu Dzar dan lain-lain; sebagian kita menyangka bahwa itu disebabkan suasana lingkungan padang pasir, di mana. seorang Arab hanya dapat menutupi keperluan dirinya secara bersahaja. Tetapi sekarang kita berhadapan dengan seorang putera Persi, suatu negeri yang terkenal dengan kemewahan dan ke­senangan serta hidup boros, sedang ia bukan dari golongan miskin atau bawahan, tapi dari golongan berpunya dan kelas tinggi. Kenapa is sekarang menolak harta, kekayaan dan ke­senangan; bertahan dengan kehidupan bersahaja, tiada lebih dari satu dirham tiap harinya, yang diperoleh dari hasil jerih payahnya sendiri … ? Kenapa ditolaknya pangkat dan tak bersedia menerimanya? Katanya: “Seandainya kamu masih mampu makan tanah — asal tak membawahi dua orang manusia. —, maka lakukanlah!” Kenapa ia menolak pangkat dan jabatan, kecuali jika mengepalai sepasukan tentara yang pergi menuju medan perang? Atau dalam suasana tiada seorang pun yang mampu memikul tanggung jawab kecuali dia, hingga terpaksa ia melakukannya dengan hati murung dan jiwa merintih? Lalu kenapa ketika memegang jabatan yang mesti dipikulnya, ia tidak mau menerima tunjangan yang diberi­kan padanya secara. halal?
Diriwayatkan oleh Hisyam bin Hisan dari Hasan: “Tunjangan Salman sebanyak lima ribu setahun, (gambaran kesederhanaan­nya) ketika ia berpidato di hadapan tigapuluh ribu orang separuh baju luarnya (aba’ah) dijadikan alas duduknya dan separoh lagi menutupi badannya. Jika tunjangan keluar, maka dibagi­- bagikannya sampai habis, sedang untuk nafqahnya dari hasil usaha kedua tangannya”.

Kenapa ia melakukan perbuatan seperti itu dan amat zuhud kepada dunia, padahal ia seorang putera Persi yang biasa teng­gelam dalam kesenangan dan dipengaruhi arus kemajuan? Marilah kita dengar jawaban yang diberikannya ketika berada di atas pembaringan menjelang ajalnya, sewaktu ruhnya yang mulia telah bersiap-siap untuk kembali menemui Tuhannya Yang Maha linggi lagi Maha Pengasih. Sa’ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya, lalu Salman menangis. “Apa yang anda tangiskan, wahai Abu Abdillah”,’) tanya Sa’ad, “padahal Rasulullah saw. wafat dalam keadaan ridla kepada anda?” “Demi Allah, ujar Salman, “daku menangis bukanlah karena takut mati ataupun mengharap kemewahan dunia, hanya Rasulullah telah menyampaikan suatu pesan kepada kita, sabdanya: Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini ni seperti bekal seorang pengendara. padahal harta milikku begini banyaknya”. Kata Sa’ad: “Saya perhatikan, tak ada yang. tampak di sekelilingku kecuali satu piring dan sebuah baskom. Lalu kataku padanya: “Wahai Abu Abdillah, berilah kami suatu pesan yang akan kami ingat selalu darimu!” Maka ujarnya: “Wahai Sa’ad! Ingatlah Allah di kala dukamu, sedang kau derita. Dan pada putusanmu jika kamu menghukumi. Dan pada saat tanganmu melakukan pembagian”. Rupanya inilah yang telah mengisi kalbu Salman mengenai kekayaan dan kepuasan. Ia telah memenuhinya dengan zuhud terhadap dunia dan segala harta, pangkat dengan pengaruhnya; yaitu pesan Rasulullah saw. kepadanya dan kepada semua sha­habatnya, agar mereka tidak dikuasai oleh dunia dan tidak mengambil bagian daripadanya, kecuali sekedar bekal seorang pengendara.

Salman telah memenuhi pesan itu sebaik-baiknya, namun air matanya masih jatuh berderai ketika ruhnya telah siap untuk berangkat; khawatir kalau-kalau ia telah melampaui batas yang ditetapkan. Tak terdapat di ruangannya kecuali sebuah piring wadah makannya dan sebuah baskom untuk tempat minum dan wudlu . . . , tetapi walau demikian ia menganggap dirinya telah berlaku boros . . . . Nah, bukankah telah kami ceritakan kepada anda bahwa ia mirip sekali dengan Umar? Pada hari-hari ia bertugas sebagai Amir atau kepala daerah di Madain, keadaannya tak sedikit pun berubah. sebagai telah kita ketahui, ia menolak untuk menerima gaji sebagai amir, satu dirham sekalipun. Ia tetap mengambil nafkahnya dari hasil menganyam daun kurma, sedang pakaiannya tidak lebih dari sehelai baju luar, dalam kesederhanaan dan kesahajaannya tak berbeda dengan baju usangnya. 

Pada suatu hari, ketika sedang berjalan di suatu jalan raya, ia didatangi seorang laki-laki dari Syria yang membawa sepikul buah tin dan kurma. Rupanya beban itu amat berat, hingga melelahkannya. Demi dilihat olehnya seorang laki-laki yang tampak sebagai orang biasa dan dari golongan tak berpunya, terpikirlah hendak menyuruh laki-laki itu membawa buah-buahan dengan diberi imbalan atas jerih payahnya bila telah sampai ke tempat tujuan. Ia memberi isyarat supaya datang kepadanya, dan Salman menurut dengan patuh. 

“Tolong bawakan barangku ini!”, kata orang dari Syria itu. Maka barang itu pun dipikullah oleh Salman, lalu berdua mereka berjalan bersama-sama.

Di tengah perjalanan mereka berpapasan dengan satu rom­bongan. Salman memberi salam kepada mereka, yang dijawabnya sambil berhenti: “Juga kepada amir, kami ucapkan salam”. “Juga kepada amir?” Amir mana yang mereka maksudkan?” tanya orang Syria itu dalam hati. Keheranannya kian bertambah ketika dilihatnya sebagian dari anggota rombongan segera menuju beban yang dipikul oleh Salman dengan maksud hendak meng­gantikannya, kata mereka: “Berikanlah kepada kami wahai amir!” Sekarang mengertilah orang Syria itu bahwa kulinya tiada lain Salman al-Farisi, amir dari kota Madain. Orang itu pun menjadi gugup, kata-kata penyesalan dan permintaan maaf bagai mengalir dari bibirnya. Ia mendekat hendak menarik beban itu dari tangannya, tetapi Salman menolak, dan berkata sambil menggelengkan kepala: “Tidak, sebelum kuantarkan sampai ke rumahmu! “

Suatu ketika Salman pernah ditanyai orang: Apa sebabnya anda tidak menyukai jabatan sebagai amir? Jawabnya: “Karena manis waktu memegangnya tapi pahit waktu melepaskannya!”

Pada ketika yang lain, seorang shahabat memasuki rumah Salman, didapatinya ia sedang duduk menggodok tepung, maka tanya shahabat itu: Ke mana pelayan? Ujarnya: “Saya suruh untuk suatu keperluan, maka saya tak ingin la harus melakukan dua pekerjaan sekaligus ” *

Apa sebenarnya yang kita sebut “rumah” itu? Baiklah kita ceritakan bagaimana keadaan rumah itu yang sebenarnya. Ketika hendak mendirikan bangunan yang berlebihan disebut sebagai “rumah” itu, Salman bertanya kepada tukangnya: “Bagaimana corak rumah yang hendak anda dirikan?” Kebetulan tukang bangunan ini seorang ‘arif bijaksana, mengetahui ke­sederhanaan Salman dan sifatnya yang tak suka bermewah – ­mewah. Maka ujarnya: “Jangan anda khawatir! Rumah itu merupakan bangunan yang dapat digunakan bernaung di waktu panas dan tempat berteduh di waktu, hujan. Andainya anda berdiri, maka kepala anda akan sampai pada langit-langitnya; dan jika anda berbaring, maka kaki anda akan terantuk pada dindingnya”. “Benar”, ujar Salman, “seperti itulah seharusnya rumah yang akan anda bangun!” Tak satu pun barang berharga dalam kehidupan dunia ini yang digemari atau diutamakan oleh Salman sedikit pun, kecuali suatu barang yang memang amat diharapkan dan dipentingkan­nya, bahkan telah dititipkan kepada isterinya untuk disimpan di tempat yang tersembunyi dan aman. Ketika dalam sakit yang membawa ajalnya, yaitu pada pagi hari kepergiannya, dipanggillah isterinya untuk mengambil titipannya dahulu. Kiranya hanyalah seikat kesturi yang diper­olehnya waktu pembebasan Jalula dahulu. Barang itu sengaja disimpan untuk wangi-wangian di hari wafatnya. Kemudian sang isteri disuruhnya mengambil secangkir air, ditaburinya dengan kesturi yang dibasuh dengan tangannya, lalu kata Salman kepada isterinya: “Percikkanlah air ini ke sekelilingku . . . Sekarang telah hadir di hadapanku makhluq Allah’) yang tiada dapat makan, hanyalah gemar wangi-wangian . . .!

Setelah selesai, ia berkata kepada isterinya: “Tutupka’nlah pintu dan turunlah!” Perintah itu pun diturut oleh isterinya. Dan tak lama antaranya isterinya kembali masuk, didapatinya ruh yang beroleh barkah telah meninggalkan dunia dan berpisah dari jasadnya … Ia telah mencapai alam tinggi, dibawa terbang oleh sayap kerinduan; rindu memenuhi janjinya, untuk bertemu lagi dengan Rasulullah Muhammad dan dengan kedua shahabat­nya Abu Bakar dan Umar, serta tokoh-tokoh mulia lainnya dari golongan syuhada dan orang-orang utama …

Salman ….Lamalah sudah terobati hati rindunya. Terasa puas, hapus haus hilang dahaga.
Semoga Ridla dan Rahmat Allah menyertainya






Salmaan al Faarisiy
The Seeker after Truth


From Persia comes our hero this time, and from Persia many came to embrace Islam in the long run,and it made some of them extraordinary, unsurpassable in faith and knowledge in religion and worldlyaffairs.

It is one of the wonders of Islam and its greatness that it never enters a country on Allah's earth butthat it exerts invaluable influence on all its potentialities and forces, bringing forth the latent genius of its people and followers. From there came forth Muslim philosophers, physicians, jurists, astronomers, inventors, and mathematicians.

Behold, they reached all heights, broke all frontiers, until the first era of Islam flourished with greatgeniuses in all fields of intellectual activity such as administration and science. Verily, they came fromvarious nations, but their religion remained one.

The Prophet (PBUH) had prophesied this blessed spread of his religion. Indeed, he had been sopromised by his Almighty Lord. He had pointed to the time, place, and day, and he had seen in his mind'seye the banner of Islam fluttering in all comers of the earth and over the palaces of its earthly rulers.Salmaan Al-Faarisiy (The Persian) bore witness to this and was firmly connected with what happened. That was on the Day of Al Khandaq (The Trench) in the year A.H. 5, when the leaders of theJews approached Makkah to stir up the polytheists and form an alliance against the Prophet (PBUH) and the Muslims, asking the polytheists to enter upon a treaty for decisive battle
to eradicate this new religion.

The ungodly war was planned: the Quraish army and allies would attack Al-Madiinah from outside,while the Bani Ouraidhah would attack from within, behind the ranks of the Muslims, who would thenfall prey and be crushed. One day the Prophet (PBUH) and the Muslims were taken unaware by a hugewell-armed army marching on Al-Madiinah. The Qur'aan depicts the scene thus: "When they cameagainst you from above you and from below you and your eyes turned away and your hearts reached toyour throats, and you imagined vain thoughts about GOD; in that place the believers were tried andshaken most severely" (33:10-11).

Twenty-four thousand fighters under the command of Abu Sufyaan and `Uyainah lbn Hisn wereadvancing on Al-Madiinah to storm it and to lay siege to it in order to get rid of Muhammad, his religion,and his Companions. This army did not represent the Quraish alone, for they were in alliance with all thetribes, and all had vested interests that were threatened by Islam. It was a last and decisive attemptembarked on by all the enemies of the Prophet (PBUH), based upon individual,
collective, and tribal interests.

The Muslims found themselves in a precarious situation. The Prophet (PBUH) assembled hisCompanions for consultation. Certainly they were gathered to reach a decision on defense and battle, buthow could they put up a defense? And then a long - legged man with flowing hair for whom the Prophet(PBUH) bore great love, Salmaan Al-Faarisiy, held up his head and took a look at Al Madiinah, whichwas surrounded by hills, mountains, and exposed open country which could be easily broken through by the enemy.

Salmaan had much experience, in warfare and its tactics in his native Persia. So he proposed to theProphet (PBUH) something which the Arabs had never seen before in warfare. It was the digging of a trench
in the exposed places around Al- Madiinah.

And Allah knows what could have been the position of the Muslims in that battle had they not dugthe trench, which was no sooner seen by the Quraish than they were stunned by despair. The forces of theenemy still remained in their tents for a month, unable to take Al-Madiinah, until Allah sent them onenight a storm which devastated their tents and tore them asunder.

Then Abu Sufyaan announced to his forces that they should return to where they had come from.They were despondent and frustrated.

During the excavation of the trench, Salmaan took his place among the Muslims while they dug andremoved the sand. The Prophet (PBUH) was also taking part in digging where Salmaan was working in a group. Their pickaxes could not smash a stubborn rock, in spite of the fact that Salmaan was of strong build and hard working. A single stroke of his would break a rock to pieces, but he stood in front of this stubborn one. He let all those around him try to break it, but in vain. Salmaan went to the Prophet (PBUH) to ask him to divert the trench around that stubborn and challenging rock. The Prophet (PBUH) returned with Salmaan to see the rock himself. When he saw it, he called for a pickax and asked the Companions to keep back from the splinters. He said, "In the name of Allah," and then raised his blessed,
firm hands gripping the pickax and let it fall.

The rock broke, making a great light. Salmaan said that he himself saw that light shining upon Al- Madiinah. The Prophet (PBUH) raised the pickax and gave a second blow and the rock broke more. At that moment the Prophet (PBUH) said loudly, "Allahu akbar - Allah is the Greatest - I have been given the keys to Rome; its red palaces have been lit for me and my nation has vanquished it."

The Prophet (PBUH) struck his third blow. Then the rock shattered and its glittering light was seen! The Prophet (PBUH) told them that he was now looking at the palaces of Syria, San'aa' and others like them, and the cities of the world over which the banner of Islam would flutter one day. The Muslims shouted in deep faith,
"This is what Allah and His Prophet have promised us!"

Salmaan was the originator of the project to dig the trench, and he was associated with the rock out of which poured some secrets of the unseen and of destiny. When he called the Prophet (PBUH) to break it, he stood by the side of the Prophet (PBUH), saw the light, and heard the glad omen, and he lived to see the prophecy fulfilled and abided in its living reality. He saw the great capitals of Persia and Rome (Byzantium), the palaces of San'aa', Syria, Egypt, and Iraq. He saw every place trembling with the blessed ecstasy which was issuing forth from the high minarets in all parts of the world, spreading the light of guidance and goodness.

And here he is sitting there in the shade of a tree before his house in Al-Madiinah telling his guests about his great adventures in the quest for truth, explaining to them how he abandoned the religion of his Persian people for Christianity and then for Islam. How he abandoned his father's wealth and estate and threw himself into the arms of the wilderness in the quest for the release of his tension and soul. How he was sold in a slave market on his way to search for truth. How he met with the Prophet (PBUH) and how he came to believe in him. Now let us approach his great court and listen to his grand tale
which he is recounting.

I come from Isfahan, from a place called Jai, and I was the most beloved son of my father, who was a figure of high esteem among his people. We used to worship fire. I devoted myself to fire worship until I became custodian of the fire which we lit and never allowed to be extinguished.

My father had an estate. One day, he sent me there. I passed by a Christian church and heard them praying. I went in and saw what they were doing. I was impressed by what I saw in their prayers. I said, "This is better than our religion." I did not leave them until sunset, nor did I go to my father's estate, nor did I return to my father until he sent people to search for me.

I asked the Christians about their affair and prayers which impressed me, and about the origin of their religion. They answered, "In Syria." I said to my father when I returned to him, "I passed by people praying in a church of theirs, and I was impressed by their prayer, and I could see that their religion is better than ours." He questioned me and I questioned him, and then he put fetters on my feet and locked me up.

Then I sent to the Christians saying I had entered their religion, and I requested that whenever a caravan came from Syria, they should tell me before its return in order for me to travel with them, and so they did.

I broke loose from the iron fetters and went away. I set out with them for Syria. While I was there, I asked about their learned man, and I was told that he was the bishop, leader of the church. I went to him and told him my story. I lived with him, serving, praying, and learning.

But this bishop was not faithful in his religion, because he used to gather money from the people to distribute it, but he would keep it for himself.
Then he died.

They appointed a new leader in his place. I have never seen a man more godly than he in his religion, nor more active in his bid for the Hereafter, nor more pious in the world, nor more punctual at worship. I loved him more than I had ever loved any other person before.

When his fate came, I asked him, "To whom would you recommend me? And to whom would you leave me?" He said, "O my son, I do not know anyone who is on the path I am and who leads the kind of life I lead,
except a certain man in Mosul."

When he died, I went to that man in Mosul, and told him the story, and I stayed with him as long as Allah wished me to stay. Then death approached him. So I asked him, "To whom would you advise me to go to?" He directed me to a pious man in Nisiibiin." So I went to him and told him my story. I stayed with him as long as Allah wished me to stay. When death overtook him, I asked him as before. He told me to meet a person at `Amuriah in Byzantium. So, to Byzantium I went and stayed with that man,
earning my living there by rearing cattle and sheep.

Then death approached him, and I asked him, "To whom should I go?" He said, "O my son, I know no one anywhere who is on the path we have been on so that I can tell you to go to him. But you have been overtaken by an epoch in which there will appear a prophet in the pure creed of lbraahiim (Abraham). He will migrate to the place of palm trees. If you can be sincere to him, then do so. He has signs which will be manifested: he does not eat of charity, yet he accepts gifts, and between his shoulders is the seal of prophethood. When you see him, you will know him."

A caravan passed by me on that day. I asked them where they had come from and learned that they were from the Arabian Peninsula. So I told them, "I give you these cattle and sheep of mine in return for your taking me to your land." They agreed. So they took me in their company until they brought me to Wadi Al-Quraa and there they wronged to me. They sold me to a Jew. I saw many palm trees and cherished the hope that it was the land that had been described to me and which would be the future place of the advent of the prophet, but it was not.

I stayed with this Jew who bought me until another from Bani Quraidhah came to him one day and bought me from him.
I stayed with him until we came to Al -Madiinah. By Allah, I had hardly seen it when I knew that it was the land described to me.

I stayed with the Jew, working for him on his plantation in Bani Quraidhah until Allah sent His Prophet, who later emigrated to Al-Madiinah and dismounted at Qubaa' among the Bani `Amr lbn `Awf. Indeed, one day, I was at the top of a palm tree with my master sitting below it when a Jewish man came. He was a cousin of his and said to him, "May Allah destroy Bani Qubaa'. They are spreading a rumor about a man at Qubaa' who came from Makkah claiming that he is a prophet." By Allah, he had hardly said it, when I was seized by a tremor, and the palm tree shook
until I almost fell on my master.

I climbed down quickly saying, "What are you saying? What news?"
My master gave me a nasty slap and said, `What have you got to do with this? Return to your work!"

So, I returned to work. At nightfall I gathered what I had and went out until I came to the Prophet (PBUH) at Qubaa'. I entered and found him sitting with some of his Companions. Then I said, "You are in need and a stranger. I have some food which I intend to give out as charity. When they showed me your lodgings, I thought you most deserve it, so I have come to you with it." I put the food down. The Prophet (PBUH) said to his Companions, "Eat in the name of Allah." He abstained and never took of it. I said to myself, "This, by Allah, is one sign. He does not eat of charity!"

I returned to meet the Prophet (PBUH) again the next day, carrying some food, and said to him (PBUH), "I can see that you do not partake of charity. I have something which I want to give to you as a present." I placed it before him. He said to his Companions "Eat in the name of Allah" and he ate with them. So I said to myself, "This indeed is the second sign. He eats of presents." I returned and stayed away for a while. Then I came to him, and I saw him sitting, having returned from a burial, and surrounded by his Companions. He had two garments, carrying one on his shoulder and wearing the other. I greeted him, then bent to see the upper part of his back. He knew what I was looking for, so he threw aside his garment off his shoulder and, behold, the sign between his shoulders, the seal of Prophethood, was clear just as the Christian monk had described."

At once, I staggered towards him, kissing him and weeping. He called to me to come forward and I sat before him. I told him my story as you have already heard me describe the events.

When I became a Muslim, slavery prevented me from taking part in the battles of Badr and Uhud. Therefore the Prophet (PBUH) advised me, "Go into terms with your master for him to free you," and so I did. The Prophet (PBUH) told the Companions to assist me, and Allah freed me from bondage. I became a free Muslim, taking part with the Prophet (PBUH) in the Battle of Al-khandaq and others. With these simple clear words, Salmaan spoke of his great, noble, and sacrificial adventure for the sake of Allah, seeking after the reality of religion that led him to Allah and helped him to find his role in this life.

What kind of a noble person was this man? What great superiority was achieved by his aspiring spirit, that restless spirit that withstood difficulties and defeated them, confronted the impossible and it gave way! What devotion to the truth, and what sincerity that led its owner voluntarily away from the estate of his father, with all its wealth and luxury, to the wilderness, with all its difficulties and suffering. He moved from land to land, town to town, seeking acquaintances, persevering, worshiping and searching for his destiny among people, sects, and different ways of life. And adhering all the way to the truth with all its noble sacrifices, for the sake of guidance until he was sold into slavery. He was then rewarded by Allah the best of rewards, making him reach the truth and come into the presence of His Prophet. And then He granted him longevity, enough for him to see the banner of Islam fluttering in all parts of the world and His Muslim worshippers filling its space and corners with guidance, progress and justice! What do you expect of the Islam of a man with such a noble character but to be a man of such truth! It was an Islam of the God- fearing and innocent. In his devotion he was intelligent, pious,
and the person nearest to `Umar Ibn Al-khattaab.

He once stayed with Abu Ad-Dardaa', under the same roof. Abu Ad-Dardaa' used to pray all night and fast all day. Salmaan blamed him for this excessive worship. One day, Salmaan wanted to stop him from fasting and to say it was supererogatory. Abu Ad-Dardaa' asked him, "Would you prevent me from fasting for my Lord and from praying to Him?" Salmaan replied, "No, your eyes have a claim upon you, your family has a claim upon you, so fast intermittently, then pray and sleep."

This reached the Prophet (PBUH) who said, "Salmaan is, indeed, full of knowledge." The Prophet (PBUH) was often impressed by his wisdom and knowledge, just as he was impressed by his character and religion. On the Day of Al-khandaq the Ansar stood up and said, "Salmaan is of us," the Muhaajiruun stood up also and said, "Salmaan is of us."
The Prophet called to them saying, "Salmaan is of us, O People of the House (Prophet's house)."

Indeed, he deserved this honor! `Aliy lbn Abi Taalib , (May Allah honor his face) nicknamed him "Luqmaan the Wise ". He was asked about after his death: "There was a man who was of the People of the House. Who among you is like Luqmaan the Wise? He was a man of knowledge who absorbed all the scriptures of the People of the Book.
He was like a sea that was never exhausted!"

He was held in the minds of Prophet's Companions with all highest regards and in the greatest position and respect. During the Caliphate of `Umar, he came to Al-Madiinah on a visit and `Umar accorded him what he had never accorded to anyone before when he assembled his Companions and said, "Come, let us go out and welcome Salmaan!" They received him at the border of Al-Madiinah. Salmaan had lived with the Prophet (PBUH) ever since he met him, and believed in him as a free Muslim, and worshiped with him. He lived during the Caliphate of Abu Bakr, `Umar and `Uthmaan, in whose era he met his Lord. In most of these years, the banner of Islam spread everywhere, and the treasures of Islam were carried to Al Madiinah in floods and distributed to the people in the form of regular allowance and fixed salaries. The responsibilities of ruling increased on all fronts, as well as duties and the overwhelming burden of holding official posts. So where did Salmaan stand in this respect? Where do we see him in the time of splendor, plenty, and enjoyment?

Open wide your eyes. Do you see that humble man sitting there in the shade making baskets and utensils out of palm fronds?

That is Salmaan. Take a good look at him. Look at his short garment, which is so short that it is only down to his knees. That was him in grand old age. His grant was 4,000 to 6,000 dirhams a year, but he distributed all of it, refusing to take a dirham of it, and he used to say, "I would buy palm fronds with one dirham to work on and then sell it for three dirhams. I retained one dirham of it as capital, spent one dirham on my family, and gave away one dirham, and if `Umar lbn Al-Khattaab prevented me from that, I would not stop."

What next, O followers of Muhammad? What next, O noblest of mankind in all ages? Some of us used to think, whenever we heard the conduct of the Companions and their piety - for example, Abu Bakr, `Umar, Abu Dhar and their brethren - that it was based on the life of the Arabian Peninsula, where the Arabs find pleasure in simplicity. And here we are before a man from Persia, the land of pleasure, luxury, and civilization, and he was not of the poor but of its upper class. What about him now refusing property, wealth, and enjoyment, and insisting that he live on one dirham a day from the work of his hands? How about his refusing leadership and position except for something relating to jihaad and only if none but he were suitable for it, and it was forced upon him, and he accepted it weeping and shy? How about when he accepted leadership which was forced upon him but he refused to take his lawful dues? Hishaam lbn Hasaan relates from Al-Hassan: The allowance of Salmaan was 5,000. He lived among 30,000 people and used to dress in a garment cut into halves. He wore one and sat on the other half. Whenever his allowance was due him, he distributed it to the needy and lived on the earnings of his hands!

Why do you think he was doing all this work and worshiping with all this devotion, and yet he was a Persian child of luxury, the upbringing of civilization? You can hear the reply from him. While he was on his deathbed, the great spirit mounting forth to meet his Lord, Exalted and Merciful, Sa`d lbn Abi Waqaas went to greet him, and Salmaan wept! Sa'd said, "What makes you weep, O Abu `Abd Allah The Prophet of Allah died pleased with you!" Salmaan replied, "By Allah, I am not weeping in fear of death, nor for love of the world. But the Prophet of Allah put me on an oath. He said, `Let any of you have in this world like the provision of the traveler,' and here I have owned many things around me." Sa'd said: I looked around, and I saw nothing but a water-pot and vessel to eat in! Then I said to him, "Abu Abd Allah, give us a parting word of advice for us to follow." He said, O Sa'd, remember Allah for your cares, if you have any. Remember Allah in your judgment, if you judge. Remember Allah when yodistribute the share." This was the man who filled his spirit with riches just as it filled him with renunciation of the pleasures of this world, its riches, and pride. The oath which he and the rest of the Companions had taken before the Prophet of Allah was that they must not let the world possess them and that they should take nothing from it but the provision of the traveler in his bag.

Salmaan had kept the oath, yet still his tears ran when he saw his soul preparing for departure, fearing that he had gone beyond the limits. There was nothing around him except a vessel to eat in and a water-pot and yet still he considered himself lavish! Did I not tell you that he was the nearest in resemblance to `Umar? During the days of his rule over the Madiinah area, he never changed his way. He had refused, as we have seen, to receive his salary as a ruler, but went on making baskets to earn his living. His dress was no more than a gown, resembling his old clothes in simplicity.

One day while on the road, he met a man arriving from Syria, carrying a load of figs and dates. The load was too heavy for him and made him weary.
No sooner did the Syrian see the man in front of him who appeared to be one of the common people and poor than he thought of putting the load
on his shoulders and when he reached his destination he would give him something for his labor. So he beckoned to the man (Salmaan, the governor), and he came up to him.

The Syrian said to him, "Relieve me of this load."
He carried it, and they walked together.

While on their way, they met a group of people. He greeted them and they stood up in obeisance, replying, "And unto the governor be peace!" "Who is the governor?" The Syrian asked himself. His surprise increased when he saw some of them rushing towards Salmaan to take the load off his shoulders. "Let us carry it, O governor". When the Syrian knew that he was the governor of Al Madiinah, he was astonished. Words of apology and regret fell from his lips, and he went forward to grab the load.
But Salmaan shook his head in refusal, saying, "No, not until I take you to your destination."

He was asked one day, "What troubles you in the leadership?" He replied, "The pleasure of nurturing it and the bitterness of meaning!"

A friend of his came to him one day at his house and found him kneading dough. He asked him, "Where is your servant? "He replied, We have sent her on an errand and we hate to charge her with two duties."

When we say "his house" let us remember what kind of house it was. When Salmaan thought of building it, he asked the mason, "How are you going to build it?" The mason was courteous and yet witty. He knew the piety and devotion of Salmaan, so he replied to him saying "Fear not. It is a house for you to protect yourself against the heat of the sun and dwell in the cold weather. When you stand erect in it, it touches your head." Salmaan said to him, "Yes, that is it, so go on and build it." There was nothing of the goods of this world which could attract  Salmaan for a moment, nor did they leave any traces in his heart except one thing, which he was particularly mindful of and had entrusted to his wife, requesting her to keep it far away in a safe place. In his last sickness, and in the morning on which he gave up his soul, he called her, "Bring me the trust which I left in safe keeping!" She brought it and behold, it was a bottle of musk. He had gained it on the day of liberating the city of Jalwalaa' and kept it to be his perfume on the day of his death. Then he called for a pot of water,sprinkled the musk into it, stirred it with his hand and then said to his wife, "Sprinkle it on me, for there will now come to me creatures from the creatures of Allah. They do not eat food and what they like is perfume."

Having done so he said to her, "Shut the door and go down." She did what he bade her to do. After a while she went up to him and saw his blessed soul had departed his body his frame. It was gone to the Supreme Master,
and it ascended with the desire to meet Him as he had an appointment there with the Prophet Muhammad (PBUH) and his two Companions Abu Bakr and `Umar and the noble circle of martyrs!

Long had the burning desire stirred Salmaan.
The time had come for him to rest in peace.

♥.¤ª"˜¨¯¨¨Salman al Farisi o❀o Salmaan al Faarisiy¸,ø¨¨"ª¤.

Categories: