acebook



.¤ª"˜¨¯¨¨Sa'ad Bin Abi Waqqash oSa'd Ibn Waqqaas¸,ø¨¨"ª¤.
Singa yang menyembunyikan kukunya





Berita yang datang secara beruntun menyatakan serangan licik yang dilancarkan oleh angkatan bersenjata Persi terhadap Kaum Muslimin, amat menggelisahkan hati Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab …. Disusul kemudian dengan berita tentang pertempuran Jembatan, di mana empat ribu orang pihak-Kaum Muslimin gugur sebagai syuhada dalam waktu sehari, begitu pun pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang Irak terhadap perjanjian-perjanjian yang mereka perbuat, Berta ikrar Yang telah mereka akui . . . , menyebabkan khalifah mengambil keputusan untuk pergi dan memimpin sendiri tentara Islam dalam perjuangan bersenjata yang menentukan, melawan Persi. Bersama beberapa orang shahabat dan dengan menunggang kendaraan, berangkatlah ia dengan meninggalkan Ali karamal­lahu wajhah di Madinah sebagai wakilnya. 

Tetapi belum berapa jauh dari kota, sebagian anggota rombongan berpendapat dan mengusulkan agar ia kembali dan memilih salah seorang di antara Para shahabat untuk melakukan tugas tersebut. 

Usul ini diprakarsai oleh Abdurrahman bin ‘Auf yang me­nyatakan bahwa menyia-nyiakan nyawa Amirul Mu’minin dengan cara seperti ini, sementara. Islam sedang menghadapi hari-harinya Yang menentukan, adalah perbuatan yang keliru. 

Umar pun menyuruh Kaum Muslimin berkumpul untuk bermusyawarah dan diserukanlah “Asshalata jami’ah “; sementara Ali dipanggil datang, yang bersama beberapa orang penduduk Madinah berangkat menuju tempat perhentian Amirul Mu’­minin. 

Akhirnya tercapailah persetujuan sesuai dengan apa yang diusulkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf, dan peserta musyawarah memutuskan agar Umar kembali ke Madinah dan memilih se­orang panglima lain yang akan memimpin peperangan meng­hadapi Persi.

Amirul Mu’minin tunduk pada keputusan ini, lalu menanya­kan kepada para shahabat, siapa kiranya orang yang akan dikirim ke Irak itu. Mereka sama tertegun dan berfikir. Tiba-tiba ber­serulah Abdurrahman bin ‘Auf: “Saya telah menemukannya …!””Siapa dia?” tanya Umar. Ujar Abdurrahman: “Singa yang menyembunyikan kukunya, yaitu Saad bin Malik az-Zuhri!”

Pendapat ini disokong sepenuhnya oleh Kaum Muslimin, dan Amirul Mu’minin meminta datang Sa’ad bin Malik az-Zuhri yang tiada lain Sa’ad bin Abi Waqqash. Lalu diangkatnya sebagai Amir atau gubernur militer di Irak yang bertugas mengatur pemerintahan dan sebagai panglima tentara.

Nah, siapakah dia singa yang menyembunyikan kukunya itu, dan siapakah dia yang bila datang kepada Rasulullah ketika berada di antara shahabat-shahabatnya, akan disambutnya dengan ucapan selamat datang sambil bergurau, sabdanya: “Ini dia pamanku … ! 

Siapa orang yang punya paman seperti paman­ku ini … ?” Itulah dia Sa’ad bin Abi Waqqash! Kakeknya ialah Uhaib, putera dari Manaf yang menjadi paman dari Aminah ibunda dari Rasulullah saw. Sa’ad masuk Islam selagi berusia 17 tahun, dan keislamannya termasuk yang terdahulu di antara para shahabat. Hal ini pernah diceritakannya sendiri, katanya: “Pada suatu saat saya beroleh kesempatan termasuk tiga orang pertama yang masuk Islam”. Maksudnya bahwa ia adalah salah seorang di antara tiga orang yang paling dahulu masuk Islam.

Maka pada hari-hari pertama Rasulullah menjelaskan tentang Allah Yang Esa dan tentang Agama baru yang dibawanya, dan sebelum beliau mengambil rumah al-Arqam untuk tempat per­temuan dengan shahabat-shahabatnya yang telah mulai beriman, Sa’ad bin Abi Waqqash telah mengulurkan tangan kanannya untuk bai’at kepada Rasulullah saw.

Sementara itu buku-buku tarikh dan riwayat menceritakan kepada kita bahwa ia termasuk salah seorang yang masuk Islam bersama dan atas hasil usaha Abu Bakar. Boleh jadi ia menyata­kan keislamannya secara terang-terangan bersama orang-orang yang dapat diyakinkan oleh Abu Bakar, yaitu Utsman bin ‘Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf dan Thalhah bin ‘Ubaidillah. Dan ini tidak menutup kemungkinan bahwa ia lebih dulu masuk Islam secara sembunyi-sembunyi.

Banyak sekali keistimewaan yang dimiliki oleh Sa’ad ini, yang dapat ditonjolkan dan dibanggakannya. Tetapi di antara semua itu dua hal penting yang selalu menjadi dendang dan senandungnya. Pertama: bahwa dialah yang mula-mula melepas­kan anak panah dalam membela Agama Allah, dan juga orang yang mula-mula terkena anak panah. Dan kedua: bahwa dia merupakan satu-satunya orang yang dijamin oleh Rasulullah dengan jaminan kedua orang tua beliau. Bersabdalah Rasulullah saw. di waktu perang Uhud:“Panahlah hai Sa’ad! Ibu bapakku menjadi jaminan bagi­mu. . ..I” Memang! Kedua ni’mat besar ini selalu menjadi dendangan Sa’ad buah syukurnya kepada Allah, katanya: “Demi Allah, sayalah orang pertama yang melepaskan anak panah di jalan Allah … !” 

Dan berkata pula Ali bin Abi Thalib: “Tidak pernah saya dengar Rasulullah menyediakan ibu bapaknya sebagai jaminan seseorang, kecuali bagi Sa’ad . . . Saya dengar beliau bersabda waktu Perang Uhud:“Panahlah, hai Sa’ad! Ibu bapakku  menjadi jaminan bagimu. . ..I”

Sa’ad termasuk seorang kesatria berkuda Arab dan Muslimin yang paling berani. la mempunyai dua macam senjata yang amat ampuh: panahnya dan do’anya. Jika ia memanah musuh dalam peperangan, pastilah akan mengenai sasarannya . . . , dan jika ia menyampaikan suatu  permohonan kepada Allah pastilah di­kabulkan-Nya . . .! Menurut Sa’ad sendiri dan juga pars shahabat­nya, hal itu adalah disebabkan do’a Rasulullah juga bagi pribadi­nya. Pada suatu hari ketika Rasulullah menyaksikan dari Sa’ad sesuatu yang menyenangkan dan berkenan di hati beliau, diaju­kannyalah do’a yang maqbul ini:“Ya Allah, tepatkanlah bidikan panahnya dan kabulkan­lah do’anya … ! “

Demikianlah ia terkenal di kalangan saudara-saudara dan handai tolannya bahwa do’anya tak ubah bagai pedang yang tajam. Hal ini juga disadari sepenuhnya oleh Sa’ad sendiri, hingga ia tak hendak berdo’a bagi kerugian seseorang, kecuali dengan menyerahkan urusannya kepada Allah Ta’ala. 

Sebagai contoh ialah peristiwa yang diriwayatkan oleh ‘Amir bin Sa’ad:“Sa’ad mendengar seorang laki-laki memaki ‘Ali, Thalhah dan Zubair. Ketika dilarangnya, orang itu tak hendak menurut, maka katanya: Walau begitu saya do’akan kamu kepada Allah “. Ujar laki-laki itu: “Rupanya kamu hendak menakut­-nakuti aku, seolah-olah kamu seorang Nabi . . . ‘

Maka Sa’ad pun pergi wudlu dan shalat dua raka’at. Lalu diangkatlah kedua tangannya, katanya: ‘Ya Allah, kiranya menurut ilmu-Mu laki-laki ini telah memaki segolongan orang yang telah beroleh kebaikan dari-Mu, dan tindakan mereka itu mengundang amarah murka-Mu, maka mohon dijadikan hal itu sebagai pertanda dan suatu pelajaran … ! ” Tidak lama kemudian, tiba-tiba dari salah satu pekarangan rumah, muncul seekor unta liar dan tanpa dapat dibendung masuk ke dalam lingkungan orang banyak seolah-olah ada yang dicarinya. Lalu diterjangnya laki-laki tadi dan dibawa­nya ke bawah kakinya, serta beberapa lama menjadi bulan­-bulanan injakan dan sepakannya hingga akhirnya tewas me­nemui ajalnya … ! “

Kenyataan ini pertama kali mengungkapkan kebeningan jiwa, kebenaran iman dan keikhlasannya yang mendalam. Begitu pula Sa’ad, jiwanya adalah jiwa merdeka, keyakinannya keras membaja serta keikhlasannya dalam dan tidak bernoda. Dan untuk menopang ketaqwaannya ia selalu memakan yang halal, dan menolak dengan keras setiap dirham yang mengandung syubhat.

Dalam kehidupan akhirnya Sa’ad termasuk Kaum Muslimin yang kaya dan berharta. Waktu wafat, ia meninggalkan kekayaan yang tidak sedikit. Tapi kalau biasanya harta banyak dan harta halal jarang sekali dapat terhimpun, maka di tangan Sa’ad hal itu telah terjadi. Ia dilimpahi harta yang banyak, yang baik dan yang halal sekaligus.

Di samping itu ia dapat dijadikan seorang mahaguru pula dalam coal membersihkan harta. Dan kemampuannya dalam mengumpulkan harta dari barang bersih lagi halal, diimbangi — bahkan mungkin diatasi — oleh kesanggupan menafqahkannya di jalan Allah.

Ketika Hajji Wada’, Sa’ad ikut bersama Rasulullah saw. Kebetulan ia jatuh sakit, maka Rasulullah datang menengoknya. Tanya Sa’ad: “Wahai Rasulullah, saya punya harta dan ahli warisku hanya seorang puteri saja. Bolehkah saya sha­daqahkan dua pertiga hartaku?” “Tidak “jawab Nabi. “Kalau begitu, separohnya?”tanya Sa’ad pula. “Jangan”, ujar Nabi. “Jadi, sepertiganya?” “Benar” ujar Nabi; dan sepertiga itu pun sudah banyak . .. , lebih baik anda meninggalkan ahli waris dalam keadaan mampu daripada membiarkannya dalam keadaan miskin dan menadahkan tangannya kepada orang lain. Dan setiap nafqah yang anda keluarkan dengan mengharap keridlaan Allah, pastilah akan diberi ganjaran, bahkan walau sesuap makanan yang ands taruh di mulut isteri ands!”

Beberapa lama Sa’ad hanya mempunyai seorang puteri. Tetapi setelah peristiwa di atas, ia beroleh lagi beberapa orang putera. 

Karena takutnya kepada Allah, Sa’ad sering menangis. Jika didengarnya Rasulullah berpidato dan menasihati ummat, air matanya bercucuran hingga membasahi haribaannya. 

la adalah seorang shahabat yang diberi ni’mat taufiq dan diterima ‘ibadahnya.

Pada suatu hari ketika Rasulullah sedang duduk-duduk ber­sama para shahabat, tiba-tiba beliau menatap dan menajamkan pandangannya ke arah ufuk bagai seseorang yang sedang me­nunggu bisikan atau kata-kata rahasia. Kemudian beliau menoleh kepada para shahabat, sabdanya: “Sekarang akan muncul di hadapan tuan-tuan seorang laki­laki penduduk surga “.
Para shahabat pun nengok kiri kanan dan ke setiap arah untuk melihat siapakah kiranya orang berbahagia yang beruntung beroleh taufiq dan karunia itu. Dan tidak lama antaranya mun­cullah di hadapan mereka Sa’ad bin Abi Waqqash ….

Selang beberapa lama, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash datang kepadanya meminta jasa baiknya dan mendesak agar menunjuk­kan kepadanya jenis ibadat dan amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang menyebabkannya berhak menerima gan­jaran tersebut yang telah diberitakan sehingga menjadi daya tarik untuk mengerjakannya:
Maka ujar Sa’ad: “Tak lebih dari amal ibadat yang biasa kita kerjakan, hanya saja saya tak pernah menaruh dendam atau niat jahat terhadap seorang pun di antara Kaum Mus­limin!”

Nah, itulah dia “singa yang selalu menyembunyikan kuku­nya” yang diungkapkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf.
Dan inilah tokoh yang dipilih Umar untuk memimpin per­tempuran Qadisiyah yang dahsyat itu! 

Kenapa memilihnya untuk melaksanakan tugas yang paling rumit yang sedang dihadapi Islam dan Kaum Muslimin, karena keistimewaannya terpampang jelas di hadapan Amirul Mu’minin:

—   Ia adalah orang yang maqbul do’anya … ; jika ia memohon diberi kemenangan oleh Allah, pastilah akan dikabulkan-Nya!

—   la seorang yang hati-hati dalam makan, terpelihara lisan dan suci hatinya.

—   Salah seorang anggota pasukan berkuda di perang Badar, di perang Uhud, pendeknya di setiap perjuangan bersenjata yang diikutinya bersama Rasulullah saw….

—  Dan satu lagi yang tak dapat dilupakan oleh Umar, suatu keistimewaan yang tak dapat diabaikan harga, nilai dan kepentingannya, serta harus dimiliki oleh orang yang hendak melakukan tugas penting, yaitu kekuatan dan ketebalan iman.

—   Umar tidak lupa akan kisah Sa’ad dengan ibunya sewaktu ia masuk Islam dan mengikuti Rasulullah ….Ketika itu segala usaha ibunya untuk membendung dan menghalangi puteranya dari Agama Allah mengalami kegagalan. Maka ditempuhnya segala jalan yang tak dapat tidak, pasti akan melemahkan se­mangat Sa’ad dan akan membawanya kembali ke pangkuan agama berhala dan kepada kaum kerabatnya. Wanita itu menyatakan akan mogok makan dan minum, sampai Sa’ad bersedia kembali ke agama nenek moyang dan kaumnya. Rencana itu dilaksanakannya dengan tekad yang luar biasa, ia tak hendak menjamah makanan atau minuman hingga hampir menemui ajalnya.

Tetapi Sa’ad tidak terpengaruh oleh hal tersebut, bahkan ia tetap pada pendiriannya, ia tak hendak menjual Agama dan keimanannya dengan sesuatu pun, bahkan walau dengan nyawa ibunya sekalipun.

Ketika keadaan ibunya telah demikian gawat, beberapa orang keluarganya membawa Sa’ad kepadanya untuk menyaksi­kannya kali yang terakhir, dengan hadapan hatinya akan menjadi lunak jika melihat ibunya dalam sekarat. Sesampainya di sana, Sa’ad menyaksikan suatu pemandangan yang amat meng­hancurkan hatinya yang bagaikan dapat menghancurkan baja dan meluluhkan batu karang ….
Tapi keimanannya terhadap Allah dan Rasul mengatasi baja dan batu karang mana pun juga. Didekatkan wajahnya ke wajah ibunya, dan dikatakannya dengan suara kerns agar ke­dengaran olehnya:
“Demi Allah, ketahuilah wahai ibunda seandainya bunda mempunyai seratus nyawa, lalu ia keluar satu per satu, tidaklah anakanda akan meninggalkan Agama ini walau ditebus dengan apa pun juga . . .! Maka terserahlah kepada bunda, apakah bunda akan makan atau tidak … !”

Akhirnya ibunya mundur teratur, dan turunlah wahyu menyokong pendirian Sa’ad serta mengucapkan selamat ke­padanya, sebagai berikut: Dan seandainya kedua orang tun memaksamu untuh mempersekutukan Aku, padahal itu tidak sesuai dengan pendapatmu, maka janganlah kamu mengikuti kedua ‑ 
(Q.S. 31 Luqman: 15)

Nah, tidakkah ini betul-betul singa yang menyembunyikan kukunya … ? Jika demikian halnya, pantaslah Amirul Mu’minin dengan hati tenang memancangkan panji-panji Qadisiyah di tangan kanannya, dan mengirimnya untuk menghalau pasukan Persi yang tidak kuiang jumlahnya dari seratus ribu prajurit yang terlatih dan diperlengkapi dengan senjata dan alat pertahanan yang paling ditakuti dunia waktu itu, dipimpin oleh otak-otak perang yang paling jempol, dan ahli-ahli siasatnya yang paling cerdik dan licik … !

Memang, kepada tentara musuh yang menakutkan inilah Sa’ad datang dengan membawa tigapuluh ribu mujahid, tidak lebih . . .; di tangan masing-masing tergenggam panah dan tum­bak. Hanya sernata-mata panah dan tombak . . . tetapi dalam dada menyala kemauan dari Agama baru, yang membuktikan keimanan, kehangatan, serta kerinduan yang luar biasa terhadap maut dan mati syahid …

Dan kedua pasukan itu pun bertemulah.  Tetapi belum, mereka belum lagi bertempur. Di sana Sa’ad masih menunggu bimbingan dan pengarahan dari Amirul Mu’minin Umar . . . . Di bawah ini tertera surat Umar yang memerintahkannya segera berangkat ke Qadisiyah, yang merupakan pintu gerbang me­masuki Persi, ditancapkannya dalam hatinya kalimat berharga yang semuanya merupakan petunjuk dan cahaya: “Wahai Sa’ad bin Wuhaib! Janganlah anda terpedaya di hadapan Allah, mentang-mentang dikatakan bahwa anda adalah paman dan shahabat Rasulullah! Sungguh, tak ada hubungan keluarga antara seseorang dengan Allah kecuali dengan mentaati-Nya! Semua manusia baik yang mulia maupun yang hina, pada pandangan Allah serupa tidak berbeda . . . . Allah Tuhan mereka, sedang mereka hamba­Nya . .. Mereka berlebih berkurang dalam kesehatan, dan akan beroleh karunia yang tersedia di sisi Allah dengan ketaatan. Maka perhatikanlah segala sesuatu yang pernah anda lihat pada Rasulullah saw. semenjak ia diutus sampai meninggalkan kita dan pegang teguhlah, karena itulah yang harus diikuti … ! “

Kemudian katanya pula: “Tulislah kepadaku segala hal ikhwal tuan-tuan bagai­mana kedudukan tuan-tuan, dan di mana pula posisi musuh terhadap tuan-tuan . .. , terangkan sejelas-jelasnya, hingga seolah-olah aku menyaksikan sendiri keadaan tuan-tuan … ! “

Sa’ad pun menulis surat kepada Amirul Mu’minin dan me­nuliskan segala sesuatu, hingga hampir saja diterangkannya tempat dan posisi setiap prajurit secara terperinci. Sa’ad telah sampai di Qadisiyah, sementara seluruh tentara dan rakyat Persia berhimpun, sesuatu hal yang tak pernah mereka lakukan selama ini. Kendali pimpinannya dipegang oleh pang­limanya yang ulung dan paling terkenal, yaitu Rustum.

Sebagai balasan surat dari Sa’ad yang baru dikirimnya, Amirul Mu’minin menulis: “Sekali-kali janganlah anda gentar mendengar berita dan persiapan mereka! Bermohonlah kepada Allah dan tawakkal­lah kepada-Nya! Dan kirimlah sebagai utusan, orang-orang yang cerdas dan tabah untuk menyeru mereka ke jalan Allah . . .! Dan tulislah surat kepadaku setiap hari … !”

Kembali Sa’ad mengirim surat kepada Amirul Mu’minin, menyampaikan bahwa Rustum telah menduduki Sabath dengan mengerahkan pasukan gajah dan berkudanya, dan mulai bergerak menuju Kaum Muslimin . . . . Balasan dari Umar datang yang isinya memberi petunjuk dan menabahkan hati Sa’ad.

Sa’ad bin Abi Waqqash seorang anggota pasukan berkuda yang ulung dan gagah berani, paman Rasulullah dan termasuk golongan yang mula pertama masuk Islam, pahlawan dari ber­bagai perjuangan bersenjata, pancungan dan panahnya yang tak pernah meleset, sekarang tampil mengepalai tentaranya dalam menghadapi salah satu peperangan terbesar dalam sejarah, tak ubahnya bagi seorang prajurit  biasa … ! Baik kekuatan maupun kedudukannya sebagai pemimpin, tidak mampu mempengaruhi dan memperdayakan dirinya untuk mengandalkan pendapatnya semata. Tetapi ia selalu menghubungi Amirul Mu’minin di Madinah yang jaraknya demikian jauh, dengan mengirimnya sepucuk surat tiap hari untuk bermusyawarah dan bertukar pendapat, padahal pertempuran besar itu telah hampir ber­kecamuk ….

Sebabnya tidak lain, ialah karena Sa’ad ma’lum bahwa di Madinah, Umar tidaklah mengemukakan pendapatnya semata atau mengambil keputusan seorang diri . . . , tetapi tentulah ia akan bermusyawarah dengan orang-orang di sekelilingnya dan dengan shahabat-shahabat utama Rasulullah. Dan bagaimana juga gawatnya suasana perang, Sa’ad tak hendak kehilangan barqah dan manfa’atnya musyawarah, baik bagi dirinya maupun bagi tentaranya, apalagi ia tabu benar bahwa di pusat komando itu pimpinannya langsung dipegang Umar al-Faruk, pembangkit ilham atau inspirasi agung ….

Pesan dari Umar dilaksanakan oleh Sa’ad. Dikirimnya se­rombongan di antara shahabat-shahabatnya sebagai utusan kepada Rustum panglima tentara Persia untuk menyerunya iman kepada Allah dan Agama Islam.

Soal jawab di antara mereka dengan Panglima Persi itu berlangsung lama, dan akhirnya mereka tidak diperbolehkan lagi berbicara, karena salah seorang di antara mereka me­ngatakan: “Sesungguhnya Allah telah memilih kami untuk membebas kan hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya dari pemujaan berhala kepada pengabdian terhadap Allah Yang Maha Esa, dari kesempitan dunia kepada keluasaannya, dan dari ke­dhaliman pihak penguasa kepada keadilan Islam …. Maka siapa-siapa yang bersedia menerima itu dari kami, kami terima pula kesediaannya dan kami biarkan mereka. Tetapi siapa yang memerangi kami, kami perangi pula mereka hingga kami mencapai apa yang telah dijanjikan Allah … ! ” 

“Apa janji yang telah dijanjikan Allah itu?” tanya Rustum. 

Jawab pembicara: “Surga bagi kami yang mati syahid, dan kemenangan bagi yang masih hidup . . .! “

Para utusan kembali kepada panglima pasukan Islam Sa’ad  dan menyampaikan bahwa tak ada pilihan lain daripada perang. Dan airmata Sa’ad berlinang-linang …. la berharap se­andainya saat pertempuran itu dapat diundurkan atau dimajukan sedikit waktu. Ketika itu ia sedang sakit parah hingga ia sulit untuk bergerak. Bisul-bisul bertonjolan di sekujur tubuhnya hingga ia tak dapat duduk, apalagi akan menaiki punggung kudanya dan menerjuni pertempuran yang sengit berkuah darah!

Seandainya saat pecah perang itu terjadi sebelum ia jatuh ia akan menunjukkan prestasi tinggi . . . . Adapun sekarang ini . . *. Tetapi tidak, Rasulullah saw. telah mengajarkan kepada mereka supaya tidak mengatakan “seandainya”, karena kata-­kata itu menunjukkan kelemahan, sedang orang Mu’min yang kuat tidak kehabisan akal dan tidak pernah lemah! Ketika itu bangkitlah “singa yang menyembunyikan kuku­nya” itu, lalu berdiri di hadapan tentara menyampaikan pidato dengan tak lupa mengutip ayat mulia berikut ini: Bis millahirrah ma nirrahim Telah Kami cantumhan dalam Zabur setelah sebelumnya Kami catat dalam (Lauh Mahfudh) peringatan bahwa: Bumi itu diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shalih – . – .
(Q.S. 21 al-Ambiya:105)

Setelah menyampaikan pidatonya Sa’ad melakukan shalat dhuhur bersama tentaranya, kemudian sambil menghadap ke­pada mereka, ia mengucapkan takbir empat kali: Allaahu Akbar, Allaahu Akbar . . . , Allaahu Akbar. . . , Allaahu Akbar ….

Alam pun gemuruh dan bergema dengan suara takbir, dan sambil mengulurkan tangannya kemuka bagai anak panah yang sedang melepas laju menunjuk ke arah musuh, Sa’ad berseru kepada anak buahnya: “Ayohlah maju dengan barkat dari Allah … !”

Dengan menabahkan diri menanggung sakit yang diderita­nya, Sa’ad naik ke anjung rumah yang ditinggalinya dan yang diambilnya sebagai markas komandonya. Sambil telungkup di atas dadanya yang dialasi bantal sementara pintu anjung itu terbuka lebar . . . . Sedikit saja serangan dari orang-orang Persi ke rumah itu, akan menyebabkan panglima Muslimin jatuh ke tangan mereka, hidup atau mati Tetapi ia tidak gentar dan tidak merasa takut ….
Bisul-bisul pecah berletusan, tetapi ia tidak perduli, hanya terus berseru dan bertakbir serta mengeluarkan perintah kepada anak buahnya:

“Majulah ke kanan . . .”., dan kepada yang lain: “Tutup pertahanan sebelah kiri   awas di depanmu hai Mughirah ke belakang mereka hai Jarir           pukul hai Nu’man …. serbu hai Asy’ats . . , hantam hai Qa’qa’ majulah semua hai shahabat-shahabat Muhammad saw …

Suaranya yang berwibawa, penuh dengan kemauan dan semangat baja, menyebabkan masing-masing prajurit itu berubah menjadi kesatuan yang utuh. Maka berjatuhanlah tentara Persi, tak ubah bagai lalat-lalat yang berkaparan, dan rubuhlah bersama mereka keberhalaan dan pemujaan api! Dan setelah melihat tewasnya panglima bestir dan prajurit ­prajurit pilihan mereka, sisa-sisa musuh tunggang-langgang melarikan diri.

 Mereka dikejar dan dihalau oleh tentara Islam sampai ke Nahawand lalu ke Mada-in. Ibu kota itu mereka masuki untuk merampas kursi singgasana dan mahkota Kisra yang menjadi lambang keberhalaan.

Di pertempuran Mada-in Sa’ad mencapai prestasi tinggi . . . . Pertempuran ini terjadi kira-kira dua setengah tahun setelah pertempuran Qadisiyah, sementara perang berlangsung secara keeil-keeilan antara Persi dan Kaum Muslimin. Akhirnya semua sisa tentara Persi ini berhimpun di kota-kota Mada-in saja, ber­siap-siap untuk menghadapi pertempuran terakhir dan menentu­kan….

Sa’ad menyadari bahwa situasi medan dan musim meng­untungkan pihak penentang Islam, karena antara pasukannya dan Madain terbentang sungai Tigris yang lebar, alirannya sangat deras karena sedang banjir meluap-luap.Walaupun demikian dengan teguh hati ia tetap memutuskan untuk memulai serangan umum itu pada waktu itu juga, dengan perhitungan bahwa mental pasukan musuh sedang menurun.

Nah, di antaranya peristiwa inilah yang membuktikan bahwa Sa’ad betul-betul sebagai dilukiskan oleh Abdurrahman bin ‘Auf, “singa yang menyembunyikan kukunya”. Keimanan sa’ad dan kepekatan hatinya akan tampak menonjol ketika menghadapi bahaya, hingga dapat mengatasi barang mustahil berkat keberanian yang luar biasa!

Demikianlah Sa’ad mengeluarkan perintah kepada pasukan­nya untuk menyeberangi sungai Tigris, dan disuruhnya me­nyelidiki yang dangkal dari sungai yang dapat dijadikan tempat penyeberangan ini. Dan akhirnya mereka menemukan tempat tersebut, walaupun untuk menyeberanginya tidak luput dari bahaya yang mengancam.

Sebelum tentara memulai penyeberangan, panglima besar Sa’ad menyadari pentingnya pengamanan pinggiran seberang sungai yang hendak dicapai, yakni daerah yang ada dalam ke­kuasaan dan pengawasan musuh.

Ketika itu disiapkannya dua kompi tentara: Pertama yang dinamakannya “kompi sapu jagat”, sebagai komandannya diangkatnya “Ashim bin ‘Amr. Dan yang kedua disebutnya “kompi gerak cepat”, sebagai pemimpinnya diangkatnya Qa’qa bin ‘Amr.Adapun tugas dari kedua kompi ini ialah menerjuni bahaya dan menetas jalan yang aman menuju pinggir sebelah musuh dan melindungi induk pasukan yang akan mengiringi mereka dari belakang. Dan mereka telah menunaikan tugas itu dengan kemahiran yang mena’jubkan ...

Hingga siasat yang dilakukan Sa’ad ketika itu mencapai hasil yang mengagumkan bagi para  ahli sejarah, bahkan bagi diri Sa’ad bin Abi Waqqash sendiri …. Salman al-Farisi, yakni teman dan kawan seperjuangannya dalam pertempuran itu, juga hampir-hampir tak percaya akan hasil yang telah dicapai. la menepukkan kedua belah tangannya karena ta’jub dan bangga, katanya: “Agama Islam masih baru …. Tetapi lautan telah dapat mereka taklukkan, sebagai halnya daratan telah mereka kuasai …. Demi Allah yang nyawa Salman berada dalam tangan Nya, pastilah mereka akan dapat keluar dengan selamat daripada­nya berbondong-bondong, sebagaimana mereka telah memasukinya berbondong ­bondong … !”

Dan benarlah apa yang dikatakannya itu …. Sebagaimana mereka telah terjun ke dalam sungai gelombang demi gelombang, demikianlah pula mereka keluar dari dalamnya dan mencapai seberang sana gelombang demi gelombang pula. Tak seorang pun dari mereka kehilangan prajurit, bahkan tak sedikit pun tentara Persi yang mampu mengunjukkan giginya . .!

Mangkok tempat minumannya seorang prajurit jatuh ke dalam air. Maka ia tak ingin jadi satu-satunya orang yang ke­hilangan barang waktu penyeberangan itu. Kepada teman-teman­nya diserukannya agar menolongnya untuk menclapatkan barang itu kembali. Kebetulan suatu ombak besar melemparkan mang­kok itu ke dekat rombongan hingga dapat mereka pungut ….

Salah satu riwayat tentang sejarah melukiskan bagaimana dahsyatnya suasana ketika penyeberangan sungai Tigris itu, katanya: “Sa’ad memerintahkan Kaum Muslimin agar membaca: Hasbunallaahu wa ni’mal wakiil — cukuplah bagi kita Allah, dan Dialah sebaik-baik pemimpin — Lalu dikerahkanlah kudanya menerjuni sungai yang diikuti oleh orang-orangnya, hingga tak seorang pun di antara anggota pasukan yang tinggal di belakang.

Maka berjalanlah mereka dalam air, tak ubah bagai berjalan di darat juga, hingga dari pinggir yang satu ke pinggir lainnya telah dipenuhi oleh prajurit, dan permukaan air tak kelihatan lagi disebabkan amat banyaknya anggota angkatan berkuda serta pasukan pejalan kaki. Orang-orang bercakap-cakap sesamanya ketika berada dalam air, seolah-olah mereka sedang bercakap-cakap di darat. Sebabnya tidak lain karena mereka merasa aman tenteram, serta percaya akan ketentuan Allah dan pertolongan-Nya, akan janji dan bantuan-Nya … ! “ Tatkala Sa’ad diangkat Umar sebagai amir wilayah Irak, ia mulai melakukan pembangunan dan perluasan kota. Kota Kufah diperbesar, dan diumumkanlah hukum Islam serta dilaksanakan di daerah yang luas dan lebar itu.

Pada suatu hari rakyat Kufah mengadukan Sa’ad sebagai wali negerinya kepada Amirul Mu’minin, rupanya mereka sedang dipengaruhi oleh tabi’at yang mudah dihasut, cepat resah, gelisah dan suka memberontak, hingga mereka mengemukakan tuduhan yang bukan-bukan dan mentertawakan. Kata mereka: “Sa’ad tidak baik shalatnya … ! “Mendengar itu Sa’ad hanya tertawa terbahak-bahak, ujarnya: “Demi Allah, yang saya lakukan hanyalah mengerjakan shalat bersama mereka sebagai shalat Rasulullah, yaitu memanjangkan dua raka’at yang mula-mula dan memen­dekkan dua raka’at yang akhir”.

Sa’ad dipanggil Umar ke Madinah untuk menghadap. Sa’ad tidak marah, bahkan segera dipenuhi panggilan itu secepatnya. Setelah beberapa lama, Umar bermaksud untuk mengembali­kannya ke Kufah, tapi sambil tertawa Sa’ad menjawab: ‘Apakah anda hendak mengembalikan saya kepada kaum yang menuduh bahwa shalat saya tidak baik … ?

Demikianlah ia memilih tinggal di Madinah. Ketika Amirul Mu’minin dicederai orang, dipilihnyalah enam orang di antara shahabat-shahabat Rasulullah saw. yang akan mengurus soal pemilihan khalifah baru, dengan mengemuka­kan alasan bahwa keenam orang yang dipilihnya itu adalah terdiri dari orang-orang yang diridlai Rasulullah saw. sewaktu beliau hendak berpulang ke rahmatullah. Maka di antara shahabat yang berenam itu terdapatlah Sa’ad bin Abi Waqqash. Bahkan dari kalimat-kalimat Umar yang akhir terdapat kesan bahwa seandainya ia hendak memilih salah seorang di antara mereka, maka pilihannya akan jatuh pada Sa’ad …. sewaktu memberi wasiat dan mengucapkan selamat per­pisahan dengan shahabat-shahabatnya, Umar berkata: “Jika khalifah dijabat oleh Sa’ad, demikianlah sebaiknya . . .! Dan seandainya dijabat oleh lainnya, hendaklah ia menjadikan Sa’ad sebagai pendampingnya … !”

Sa’ad mencapai usia lanjut . . . dan tibalah saat terjadinya fitnah besar, dan Sa’ad tak hendak mencampurinya, bahkan kepada keluarga dan putera-puteranya dipesankan agar tidak menyampaikan suatu berita pun mengenai hal itu kepadanya.

Pada suatu ketika perhatian orang sama-sama tertuju ke­padanya, dan anak saudaranya yang bernama Hasyim bin ‘Utbah bin Abi Waqqash datang mendapatkannya, seraya berkata: “Paman, di sini telah siap seratus ribu bilah pedang, yang meng­anggap bahwa pamanlah yang lebih berhak mengenai urusan khilafah ini!” Ujar Sa’ad:“Dari seratus ribu bilah pedang itu saya inginkan sebilah pedang saja . I . , jika saya tebaskan kepada orang Mu’min maka takkan mempan sedikit pun juga, tetapi bila saya pancungkan kepada orang kafir pastilah putus batang lehernya … !”

Mendengar jawaban itu anak saudaranya maklum akan maksudnya dan membiarkannya dalam sikap damai dan tak hendak bercampur tangan.

Dan tatkala akhirnya khilafah itu jatuh ke tangan Mu’awiyah dan kendali kekuasaan tergenggam dalam tangannya, ditanyakan kepada Sa’ad: “Kenapa anda tidak ikut berperang di pihak kami?” Ujarnya: “Saya sedang lewat di suatu tempat yang dilanda taufan berkabut gelap. Maka kataku: Hai saudara …. hai saudaraku! Lalu saya hentikan kendaraan menunggu jalan terang kembali …” Kata Mu’awiyah: “Bukankah dalam al-Quran tak ada: Hai saudara, hai saudara! Hanya firman Allah Ta’ala: Jika di antara orang-orang Mu’min ada dua golongan yang berbunuhan, maka damaikanlah mereka! Seandainya salah satu di antara kedua golongan itu berbuat aniaya kepada yang lain, maka perangilah yang berbuat aniaya itu sampai mereka kembali kepada perintah Allah. . .! (Q.S.49 al-Hujurat:9) 

Maka anda bukanlah di pihak yang aniaya terhadap pihak yang benar, dan bukan pula di pihak yang benar terhadap golongan yang aniaya … !”Sa’ad menjawab sebagai berikut: “Saya tak hendak memerangi seorang laki-laki — maksudnya Ali — yang mengenai dirinya Rasulullah pernah bersabda: Engkau di sampingku, tak ubahnya seperti kedudukan Harun di samping Musa, tetapi (engkau bukan Nabi) tak ada lagi Nabi sesudahku!”

Suatu hari pada tahun 54 H, yakni ketika usia Sa’ad telah lebih dari 80 tahun . . . , ia sedang berada di rumahnya di ‘Aqiq, sedang bersiap-siap hendak menemui Allah Ta’ala ….

Saatnya yang akhir itu diceritakan puteranya kepada kita sebagai berikut: “Kepala bapakku berada di pangkuanku ketika ia hendak meninggal itu. Aku menangis, maka katanya: Kenapa kamu menangis wahai anakku . . . ? Sungguh Allah tiada akan menghukumku . . . , dan sesungguhnya aku termasuk salah seorang penduduk surga … !”

Kekebalan imannya tak tergoyahkan oleh apapun juga, bahkan tidak oleh goncangan maut dan kengeriannya! Bukankah Rasulullah saw. telah menyampaikan kabar gembira kepadanya sedang ia iman dan percaya penuh akan kebenaran Rasulullah saw. itu! Jadi apa yang akan ditakutkannya lagi … ? “Sungguh, Allah tiada akan menyiksaku  dan Sungguh aku termasuk penduduk surga …

Hanya ia hendak menemui Allah dengan membawa kenang-­kenangan yang paling manis dan mengharukan, yang telah menghubungkan dengan Agamanya dan mempertemukan dengan Rasul-Nya …. Itulah sebabnya ia memberi isyarat ke arah peti simpanannya, yang ketika mereka buka dan keluarkan isinya, ternyata sehelai kain tua yang telah usang dan lapuk. Disuruh­lah keluarganya mengafani mayatnya nanti dengan kain itu, katanya: “Telah kuhadapi orang-orang musyrik waktu perang Badar dengan memakai kain itu dan telah kusimpan ia sekian lama untuk keperluan seperti pada hari ini … ! “

Memang, kain usang yang telah lapuk itu tak dapat dianggap sebagai kain biasa! Ia adalah panji-panji yang senantiasa berkibar di puncak kehidupan tinggi dan panjang yang dilalui pemiliknya dengan Lulus dan bariman serta gagah berani … !

Dan sosok tubuh dari salah seorang yang terakhir meninggal di antara orang-orang Muhajirin ini dipikul di atas pundak orang­orang yang membawanya ke Madinah, untuk ditempatkan dengan aman di dekat sekelompok tokoh-tokoh suci dari pars shahabat yang telah mendahuluinya menemui Allah, dan jasad­jasad mereka yang dipenuhi rasa rindu itu mendapatkan tempat­nya di bumi dan tanah Baqi’.
Selamat jalan wahai Sa’ad …

Selamat jalan wahai pahlawan Qadisiyah, pembebas Madain dan pemadam api pujaan di Persi untuk selama-lamanya … !




SA'D IBN ABI WAQQAAS  
The Lion's Claws! 

        A continuous stream of incoming news worried the Commander of the Faithful `Umar lbn Al- khattab. This news was about the deceitful attacks launched by the Persian forces against the Muslims at the Battle of Al-Jisr which cost the Muslims 4,000 lives in a single day and, moreover, about the Iraqis' renouncement of allegiance and their violation of agreed-upon convenants. Therefore, he decided to personally lead the Muslim troops in a decisive fight against Persia. In fact, he set out accompanied by some of his companions, leaving `Aliy lbn Abi Taalib (May Allah be pleased with him) behind to act as his deputy over Al-Madiinah.  

        However, he had hardly left Al-Madiinah when some of his companions found it wiser to ask him to return and appoint someone else for this task.  

        This view was adopted by `Abd Ar-Rahman Ibn `Awf, who saw it unwise to risk the caliph's life in such a way while Islam was going through its most decisive days.  

        `Umar ordered the Muslims to gather for public consultation. Congregational prayer was then announced and `Aliy Ibn Abi Taalib was sent for. He went with some Madinites to where `Umar and his companions were waiting. At last, they accepted `Abd Ar-Rahman lbn `Awfs opinion. The assembly decided that `Umar was to go back to Al-Madiinah and another Muslim leader be chosen to combat the Persians.  

        `Umar agreed to their decision, then asked his companions, "Whom do you see fit to be sent to Iraq?" They thought silently for a while. Then `Abd Ar-Rahman Ibn `Awf shouted, "I've found him!" `Umar said, "Who is it?" `Abd Ar-Rahman said, "The Lion's Claws: Sa'd Ibn Maalik Az-Zuhariy."  

        The Muslims supported his choice. `Umar then sent for Sa'd Ibn Maalik Az-Zuhariy, also known as Sa'd Ibn Abi Waqqaas and appointed him governor of Iraq and Commander of the Army. 

        Who is that "Lion's Claws"? It is he who, whenever he turned to the Prophet while sitting among his Companions, was greeted cheerfully by the Prophet saying, "He's my maternal uncle."  

        Can anyone tell me who his uncle was? He was Sa'd Ibn Abi Waqqaas His grandfather was Uhaib Ibn Manaaf, the paternal uncle of Aaminah, the mother of the Prophet (PBUH). He accepted Islam when he was 17 years old. He embraced Islam very early. When he talked about himself, he said, "I witnessed a day in which I was third in Islam," which means that he was the third to embrace Islam.  

        When the Prophet (PBUH) spoke about the One God and about the new religion whose teachings he was to spread all around, and before using Daar Al-Arqam as a refuge for himself and the Companions in those early days, Sa'd Ibn Abi Waqqaas had already sworn the oath of allegiance to the Prophet (PBUH).
  
        Historical and biographical sources inform us that the conversion of Abu Bakr was the reason for Sa'd's embracing Islam. He may have been one of those who announced their belief in Islam after Abu Bakr convinced them. This group included Uthmaan lbn `Afaan, Az-Zubair Ibn Al-'Awaam, Abd Ar- Rahman Ibn `Awf and Allah Ibn Ubaid Allah. However, that does not omit the possibility that his conversion had taken place secretly and he had believed even earlier.  

        Sa'd lbn Abi Waqqaas had many noble qualities which he could be proud of. However, he never arrogantly mentioned any of these merits, except for two great privileges. First, he was the first to throw a spear in the cause of Allah and the first to be struck by one. Second, he was the only one for whom the Prophet (PBUH) hoped his parents might be his ransom. That happened when the Prophet (PBUH) said 

to him on the day of Uhud, `Throw, Sa'd. May my father and mother be your ransom." Yes, indeed, he always mentioned proudly these two noble blessings. Thanking Allah, he always said, "By Allah, I am the first Arab to throw a spear in the cause of Allah."  

        Aliy lbn Abi Taalib said, "I have never heard the Prophet (PBUH) hoping that his parents may be made someone's ranson except Sa'd. On the day of Uhud I heard the Prophet (PBUH) say, "Throw Sa'd. May my father and mother be your ransom."  

        Sa'd was considered to be one of the most courageous Arab and Muslim horsemen. He possessed two weapons, his lance and his prayer. Whenever he pierced an enemy with his lance he hurt him; whenever he invoked Allah He answered. He and the Companions always saw that this was due to the Prophet's prayer in favor of him. One day, when the Prophet saw him doing something which made him glad and delighted, he made the following plea: "O Allah, make his spear hit unerringly and answer his prayer."  

        It was in this way that he became famous among his companions for his prayer, which was like a sharp sword. He knew that about himself; therefore, he never cursed a person. Sa'd would just trust Allah to do with him as He liked.  

        An example of that is what `Aamir Ibn Sa'd once narrated: Sa'd once saw a man insulting `Aliy, Talhah and Az-Zubair. He forbade him, but he didn't stop. Sa'd then said, " Then I will invoke Allah against you." The man said, "You're threatening me as if you were a Prophet."  

        Sa'd went away, performed his ablution and prayed two rak'ahs. Then he lifted his hands up and said, "O Allah, if You know that that man has insulted people who have already been granted by You that which is the best and his cursing of them has annoyed You, then make an example out of him." Only a short while had passed, when a stray camel went out of a house. Nothing could stay it till it entered a crowd as if searching for something. Then it attacked the man, and he fell between its legs. It continued to kick the man down till he died.  

        If this phenomenon was to prove something, then it proved primarily the purity of his soul, the honesty of his faith, and the depth of his sincerity. He always sought to support his piety by halaal food; with great insistence he always refused to take doubtful money.  

        Sa'd lived until he became one of the wealthiest Muslims. When he died, he left a great fortune behind. Although the abundance of money and its legitimacy are rarely to be found together, they certainly were combined in the hands of Sa'd. Thus Allah granted him a great amount of halaal money. 

        He (may Allah be pleased with him) was a great figure in the act of charity, as much as he was a great figure in the act of righteously choosing the sources of his money. His ability to collect purely halaal money was equal to, if not second to, his ability to donate it in the cause of Allah.  

        He became ill during the Farewell Pilgrimage, when he was accompanying the Prophet (PBUH), who visited him. Sa`d asked him (PBUH), "O Messenger of Allah, I own a lot of money and there is nobody to inherit from me except one daughter. May I contribute two thirds of my money as alms?" The Prophet (PBUH) said, "No." Then he said, "Then half of it?" The Prophet (PBUH) said, "No." Then he said, "Then a third?" The Prophet (PBUH) said, "Yes, and the third is too much. To leave your heirs wealthy is better than to leave them having to be dependent on someone. If you spend any money in the cause of Allah you'll be rewarded for it, even the bite you put in your wife's mouth."  

        Sa'd did not remain the father of one daughter because he was later on blessed with other children. 

        Sa'd used to cry a lot out of piety. Whenever he listened to the Prophet (PBUH) preaching or advising, his tears rolled down abundantly, so that his tears nearly filled his lap.  

He was blessed with success and accomplishment. Once the Prophet (PBUH) was sitting with the Companions when his eyes gazed on the horizon while listening to what was being revealed secretly and whisperingly. Then he looked at his Companions' faces and said, "A man who belongs to Paradise will soon appear." The Companions turned in all directions trying to learn, who this successful person may be. After a while, Sa'd arrived.  

        Later on, Abd Allah Ibn Amr Ibn Al-'Aas asked him persistently to tell him the worship or deed which made him eligible for such a reward. Sa'd told him, "Nothing more than what we all do or worship, except that I don't carry any spite or hatred towards any Muslim."  

        This is the "Lion's Claws" as `Abd Ar-Rahman Ibn Awf had described him. This is the man whom `Umar chose for the great day of the Battle of Al- Qaadisiyah.  

        The Commander of the Faithful had insight into all his glittering merits when he chose him for the most difficult task confronting Islam and the Muslims:  

        - His prayers were heard and answered; if he asked Allah for victory, he would be granted it.  

        - His food was pure, his tongue was pure, his conscience was pure.  

        - He was a man who belonged to Paradise, as the Messenger (PBUH) prophesied.  

        - He was the horseman on the Day of Badr, the horseman on the Day of Uhud and in every battle he experienced with the Prophet (PBUH).  

        - And another thing, which `Umar would not forget nor underestimate the value and importance among the characteristics which should be present in anyone facing major tasks, was the strength and firmness of his faith.  

        -`Umar did not forget what happened between Sa'd and his mother when he converted to Islam and followed the Prophet (PBUH). At that time, all attempts to hinder and obstruct him from the cause of Allah had failed. His mother used a device which none doubted would conquer Sa'd's soul and drive him back to his people's idols. She announced her abstention from food and drink until Sa'd returned to his ancestors' and kin's religion. She actually carried on her hunger strike with death defying determination and had almost approached death.  

   
        Despite all that, Sa'd did not care. He would not sell his faith and religion for anything, even if it were his mother's life. Hoping that his heart would yield upon seeing her, some relatives took Sa'd to his mother, who was almost dying. 
   
        Sa'd went to her. The scene was so impressive, even mountain rocks would yield and melt. However, his belief in Allah and His Messenger proved to be stronger than rocks and iron. He came with his face nearer and shouted so that she could hear him. "You know, by Allah, mother, if you had 100 souls coming out one after the other I wouldn't abandon my faith in return for anything. Then eat if you like or don't eat!" 
   
        His mother changed her mind. A divine revelation greeted Sa`d's position and supported it. "But if they (both) strive with you to make you join in worship with Me others that of which you have no knowledge, then obey them not..." (31 : 15). 
   
        Is he not, indeed, the Lion in his claws? Therefore the Commander of the Faithful should hand him the standard of Al Qaadisiyah and throw him against the Persians, who recruited more than 100,000 trained warriors equipped with the most dangerous weapons the earth had ever witnessed, led on that day 
by the most intelligent and cunning warlords. 

 Indeed, all those horrible legions, will Sa'd meet with his mere 30,000 warriors, equipped only with spears, nothing more. However, their hearts were filled with the will of the new faith with all it represents: belief, vigor, and a rare, dazzling, longing aspiration for death and martyrdom. 
   
        The two armies met in combat. No, they did not meet yet. Sa'd is still there waiting for the advice and instructions of the Commander of the Faithful. Finally `Umar's message arrives, ordering him to move towards Al-Qaadisiyah, the gate to Persia. `Umar's words represented light and guidance: O Sa'd lbn Wahiib, do not be deluded if it is said, You are the Prophet's uncle and his Companion. Know that there is no relationship between Allah and anyone except through obedience to Him. All people, the noble ones as well as the lowly, all are equal in front of Allah. Allah is their God and they are His servants. The relationship between them is one of rivalry for preference by means of their well being, whereas they can only get what is in Allah's hands by means of obedience to Him. Remember the Prophet's (PBUH) positions which he stuck to from the time he was sent to us until he left our world. Hold to them; it is an order. 

        Then he said to him, Send me information about all your circumstances. Where have you reached and how? What is your enemy's position in respect to yours? Let your messages make me as if I am actually seeing you. 

        Sa'd wrote to the Commander of the Faithful describing everything. He almost showed him each soldier's position and state. Sa'd reached Al-Qaadissiyah. The Persians gathered their army as they never had before and appointed as their leader one of the most famous and dangerous commanders, Rustum.  

        Sa'd writes to Umar the Commander of the Faithful, who replies: Don't be upset by what you hear from them, nor what they show you. Seek Allah's help and put your trust in Him. Send them people of insight, good judgment, and patience to call him to follow Allah's path, and write me every day.  

        Sa'd writes again to the Commander of the Faithful saying, Rustum camped with his troops at Saabaat. He has brought his horses and elephants and marched towards us. Umar replies to calm him.  

        Sa'd is a smart, brave horseman, the Prophet's uncle, one of the first converts, and hero of different wars and raids. No sword or lance of his ever failed to reach its target. He stands at the head of his army in one of the greatest historical battles as if he were an ordinary soldier, not deluded by power nor acting arrogantly because of leadership. His self-esteem could tempt him to rely completely on his own capacities; but despite that he always turns to the Commander of the Faithful in Al-Madiinah. Although miles and miles separate them, he sends him a message each day, exchanging viewpoints, advice, and opinions while the great battle is still to come.  

        That was because Sa'd knew that `Umar in Al-Madiinah never decided alone, but consulted the Muslims and the Prophet's Companions around him. Despite the war circumstances, Sa'd did not want to deprive himself or his army of the blessings and benefits of public consultation, especially if `Umar, a man with great inspiration, was among the consultants.  

        Sa'd carried out `Umar's will and sent Rustum, the Persian leader, a number of his companions to call him to follow Islam and Allah's path.  

        The conversation between them and the Persian leader lasted long. Finally they ended their talk by telling him, "Allah has chosen us to turn whom He chooses of His creatures from paganism to monotheism, from the narrowness of life to its freedom, from ruler's injustice to Islam's fairness. 
Whoever accepts our offer, we will leave him alone and will refrain from hurting him. Whoever fights us, we will fight him until we fulfil Allan's promise."  

        Then Rustum asked, "What is Allah's promise which He made to you?"  

        The Companion answered, "Paradise for our martyrs and victory for the living ones."  

The delegation returned to Sa'd, leader of the Muslims, to tell him that it was war. Sa'd's eyes were hereby filled with tears. He had wished so much that the war would be delayed for some time. On that day his illness became more severe, and he had to suffer its heavy burden. The abscesses spread all over his body, to the extent that he could not sit, let alone ride his horse to take part in an extremely fierce and violent battle.  

        If the war had just been waged before his illness or had it been delayed till he was cured and healthy again, then he would have proved himself brave. But now. . . No, the Messenger of Allah (PBUH) had taught them never to say "If" because "If' means weakness. A strong believer is neither helpless nor weak. Thereupon The Lion's Claws stood up to preach to his soldiers. He began his speech citing the following glorious verse: "And We have written in the Zaboor (given to David) after the Torahe (given to Moses): "My righteous servants shall inherit the earth" (21: 105).  

        Having finished his speech Sa'd led his troops in the Dhuhr Prayer, then turned towards his soldiers and proclaimed four times, "Allahu akbar (Allah is the Greatest)! Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar!"  

        The echo was to be heard all over the universe. Then he stretched out his arm like an unerring arrow pointing to the enemy and shouted to his soldiers, "Let's start this battle accompanied by Allah's blessings."  

        With pains hard to bear, he ascended to the balcony of his residence, which he used as a dwelling and a headquarters.  

        On the balcony he sat on a pillow and leaned upon his chest. His door was left open, which meant that by the least Persian attack against his residence he would be captured, alive or dead, but he was far from being afraid or terrified.  

        His abscesses were bleeding and hurting him severely, but he had something else to think about. Sitting on his balcony, he was shouting, calling, and commanding. First to those in one flank to step forward towards the right, and then to those in another flank to fill out the empty spot on the left. . . Mughiirah, look forward! Jurair follow them! Nu'maan, hit! Ash`ath attack and you also, Qa'qaa'. Forward, forward, Prophet's Companions!  

His determined and hopeful sound turned each individual soldier into an army of its own. The Persian soldiers fell like flies and with them fell the worship of fire and paganism. After seeing the death of their commander and their best soldiers, the defeated, scattered remnants rapidly escaped.  

The Muslim army pursued them until they reached Nahawind then Al-Madaa'in. There they fought to carry with them at the end the emperor's throne and crown as war booty.  

        At the Battle of Al-Madaa'in, Sa'd could stand the test and prove himself brave. The Battle of Al- Madaa'in took place two years after   the Battle of Al-Qaadissiyah, a period during which a lot of continuous armed dashes took place between the Muslims and the Persians. Finally, the scattered remnants of the Persian army gathered at Al-Madaa'in itself, ready for a decisive and final scene.  

        Sa'd realized that time was on his enemy's side; therefore, he decided to deprive them of this advantage, but how could he do that? The Tigris River in its flood season stood in the middle between him and Al-Madaa'in.  

        Thereby, an event took place by which Sa'd succeeded to prove that he indeed deserved `Abd Ar- Rahman lbn `Awfs description of him as the Lion's Claws. Sa'd's faith and determination stood glittering in the face of danger, mocking and making fun of the impossible with admirable bravery.  

Sa`d ordered his army to cross the Tigris River. He ordered them to search for a safe, secure ford in the river which would enable their crossing. Finally they found a place, but the fording was not free of extreme risks.  

        Before the army started to cross, the leader Sa'd wisely realized the necessity to safeguard their arrival spot on the opposite bank, where the enemy was camping. Therefore he prepared two detachments, the first of which was called The Detachment of Terror. Its leader was `Aasim Ibn `Amr. 

The second was called The Detachment of the Dumb, led by Al Qa'qaa' lbn `Amr.  The soldiers of these two detachments had to encounter many horrible situations to clear a safe place on the opposite bank for the army which would subsequently cross. They fulfilled their task with amazing skill. Sa'd's success on that day will always be a cause for the perplexity of historians.  

        Sa'd himself was amazed by his own success. It also amazed his companion and escort Salmaan Al- Faarisiy, who shook his head in astonishment and said, " Islam is indeed new. By Allah, seas have been subdued by them and the land has been subdued by them. In the name of the One in Whose hands Salmaan's soul lies, they will leave it in a group, as they entered it in a group."  

        Indeed, that is exactly what happened. As they penetrated the Tigris River in a group, so they left it in a group without losing one single soldier, nor annoying a single horse.  

        It happened that a wooden cup fell from one of the warriors, who felt sorry to be the only one to lose something. He called his companions to help to get it out and a high wave pushed it to where someone could pick it up!  

        Some historical sources described the magnificence of such a scene as the fording of the river: Sa'd ordered the Muslims to say, "Allah is enough for us and He is the best to trust in." Then he penetrated the Tigris with his horse, and the people penetrated behind him. No one stayed behind. They walked as if they were walking on a land surface until they filled the whole area between the two banks. The water surface could not seen due to the numerous troops of cavalry and infantry. People went on talking while walking in the water as if they were on land, as a result of their feeling of security and tranquility, their trust in Allah's judgment and His victory, His promise and His support.  

        When Umar appointed him to be Iraq's governor, he set out to build Kufa and established the foundations of Islam in wide broad lands.  

        One day the inhabitants of Kufa complained to the Commander of the Faithful about Sa'd. They lost control over their flimsy, restless temper and made a funny claim saying, "Sa'd can't pray well." Sa`d laughed loudly and said, "By Allah, I prayed with them exactly as the Prophet's prayer was. I prolonged the first two rak`ahs and shortened the last two."  

        When `Umar ordered him back to Al-Madiinah, he did not get annoyed. On the contrary, he responded to `Umar's call immediately. After some time, `Umar determined to return him to Kufa, but Sa'd responded laughing, "Do You order me to return to people who claim that I don't perform my prayers well?" He preferred to stay in Al-Madiinah.  

        When the Commander of the Faithful `Umar (May Allah be pleased with him) was attacked, he chose six of the Prophet's Companions to be responsible for choosing the next caliph. `Umar said that he chose six of those with whom the Prophet was pleased before he died. Sa'd lbn Abi Waqqaas was one of them.  

        But it seems from `Umar's last words that if he would have chosen one of the Companions for the caliphate, it would have been Sa'd. He said to his companions, advising and commending, "If Sa'd is to become caliph, that's good; but if someone else is to be caliph, then he has to seek Sa'd's help."  


 Sa'd lived long. He secluded himself during the period of civil strife following the death of the third Caliph, `Uthmaan. Furthermore, he ordered his whole family and children not to tell him any news about what was happening.  

        Once, everyone was anxious to know his position, when his nephew Haashim Ibn `Utbah lbn Abi Waqqaas said to him, "O uncle, here are 100,000 swords which consider you the more entitled to that matter (i.e. the caliphate)." Sa'd responded, "I want out of the 100,000 swords, just one sword that if it hits a believer it won't do anything, but if it hits a disbeliever it cuts through."  

        His nephew realized what he meant and left him in his isolation and security.  

        When the dispute ended in favor of Mu'aawiyah, who took over the reins of government, he asked Sa'd, `Why didn't you fight with us?" He answered, "A dark cloud passed over me. I told it, Shoo! Shoo! I stopped my riding camel until it passed away." Mu'aawiyah said, "Shoo! Shoo can not be found in the glorious Book of Allah, but Allah said "And if two parties or groups among the believers fall into fighting, then make peace between them both, but if one of them rebels against the other, then fight you (all) against the one that which rebels till it complies with the Command of Allah" (49 : 9). And you did not take anyone's side. You weren't with the unjust against the just, nor were you with the just against the unjust." Hereupon Sa'd responded, "I wouldn't have fought a man (he meant `Aliy Ibn Abi Taalib) to whom the Prophet (PBUH) said, "You have towards me the same position Haaruun (Aaron) had towards Muusaa (Moses), except that there isn't any Prophet coming after me."  

        One day in A.H. 54, having exceeded the age of 80, he was at his house in Al-`Aqiiq preparing to meet Allah.  

        His son spoke of his final moments: His head was upon my lap, he was passing away. I cried, but he said, "What makes You cry, my son? Allah will never torture me. I belong to Paradise!"  

        The firmness of his faith could not be weakened even by the quaking fear of death. The Prophet (PBUH) had passed him the good news and he believed firmly in the Prophet's honesty; therefore what was there to be afraid of? "Allah will never torture me. I belong to Paradise!" However, he wanted to meet Allah carrying the most magnificent and most wonderful memory, a memory which joined him with his religion and his Prophet (PBUH). Therefore, he pointed to his coffer. 
They opened it and got out an old, torn, threadbare gown. He ordered his kin to shroud him in that gown saying, "I met the disbelievers at the Battle of Badr wearing it. I've saved it for this day."  

        Indeed, this threadbare gown was not just a gown. It was the banner waving over a long great life. Our hero lived it honestly, bravely, and faithfully.  

The body of the last Muhaajiruun was buried in Al- Madiinah, safely laid beside a group of great Companions who preceded him to Allah. Their exhausted bodies had finally found a secure shelter in the ground of Al-Baqii`. 

Farewell, Sa'd. Farewell Sa'd, the hero of Al-Qaadissiyah, conquerer of Al-Madaa'in, extinguisher forever of the worshipped fire of Persia!


.¤ª"˜¨¯¨¨Sa'ad Bin Abi Waqqash oSa'd Ibn Waqqaas¸,ø¨¨"ª¤.


Categories: