acebook








.¤ª"˜¨¯¨¨Amr Ibnul Jamuh o'Amr Ibn Al-Jamuuh ¸,ø¨¨"ª¤.
 "Dengan cacat pincangku ini, aku bertekad merebut surga". 


Ia adalah ipar dari Abdullah bin Amr bin Haram, karena menjadi suami dari saudara perempuan Hindun binti ‘Amara Ibnul Jamuh merupakan salah seorang tokoh penduduk Madinah dan salah seorang pemimpin Bani Salamah ….

Ia didahului masuk Islam oleh putranya Mu’adz bin Amr yang termasuk kelompok 70 peserta bai’at ‘Agabah.

 Bersama shahabatnya Mu’adz bin Jabal, Mu’adz bin Amr ini menyebarkan Agama Islam di kalangan penduduk Madinah dengan keberanian luar biasa sebagai layaknya pemuda Mu’min yang gagah per­wira….

Telah menjadi kebiasaan bagi golongan bangsawan di Madi­nah, menyediakan di rumah masing-masing duplikat berhala­ berhala besar yang terdapat di tempat-tempat pemujaan umum yang dikunjungi oleh orang banyak. Maka sesuai dengan ke­dudukannya sebagai seorang bangsawan dan pemimpin, Amr bin Jamuh juga mendirikan berhala di rumahnya yang dinamakan Manaf. Putranya, Mu’adz bin Amr bersama temannya Mu’adz bin Jabal telah bermufakat akan menjadikan berhala di rumah bapaknya itu sebagai barang permainan dan penghinaan. 

Di waktu malam mereka menyelinap ke dalam rumah, lalu meng­ambil berhala itu dan membuangnya ke dalam lobang yang biasa digunakan manusia untuk membuang hajatnya.

 Pagi harinya Amr tidak melihat Manaf berada di tempatnya yang biasa, maka dicarinyalah berhala itu dan akhirnya ditemu­kannya di tempat pembuangan hajat. Bukan main marahnya Amr, lalu bentaknya:“Keparat siapa yang telah melakukan perbuatan durhaka terhadap tuhan-tuhan kita malam tadi . . . ?” Kemudian dicuci dan dibersihkannya berhala itu dan diberinya wangi-wangian.

Malam berikutnya, berdua Mu’adz bin Amr dan Mu’adz bin Jabal memperlakukan berhala itu seperti pada malam se­belumnya. Demikianlah pula pada malam-malam selanjutnya. Dan akhirnya setelah merasa bosan, Amar mengambil pedangnya lalu menaruhnya di leher Manaf, sambil berkata: “Jika kamu betul-betul dapat memberikan kebaikan, berusahalah untuk mempertahankan dirimu … !”

Pagi-pagi keesokan harinya Amr tidak menemukan berhala­nya di tempat biasa … tetapi ditemukannya kali ini di tempat pembuangan hajat itu tidak sendirian, berhala itu terikat bersama bangkai seekor anjing dengan tali yang kuat. Dan selagi ia dalam keheranan, kekecewaan serta amarah, tiba-tiba datanglah ke tempatnya itu beberapa orang bangsawan Madinah yang telah masuk Islam. 

Sambil menunjuk kepada berhala yang tergeletak tidak berdaya dan terikat pada bangkai anjing itu, mereka meng­ajak akal budi dan hati nurani Amr bin Jamuh untuk berdialog serta membeberkan kepadanya perihal Tuhan yang sesungguh­nya, Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi, yang tidak satupun yang menyamai-Nya. Begitupun tentang Muhammad saw. orang yang jujur dan terpercaya, yang muncul di arena kehidupan ini untuk memberi bukan untuk menerima, untuk memberi petunjuk dan bukan untuk menyesatkan. 

Dan mengenai Agama Islam yang datang untuk membebaskan manusia dari belenggu,  segala macam belenggu  dan menghidupkan pada mereka ruh Allah serta menerangi dalam hati mereka dengan cahaya-Nya.Maka dalam beberapa saat, Amr telah menemukan diri dan harapannya . . . . Beberapa saat kemudian ia pergi, dibersihkan­nya pakaian dan badannya lalu memakai minyak wangi dan merapikan diri, kemudian dengan kening tegak dan jiwa bersinar ia pergi untuk bai’at kepada Nabi terakhir, dan menempati kedudukannya di barisan orang-orang beriman.

Mungkin ada yang sertanya, kenapa orang-orang seperti Amr ibnul Jamuh, yang merupakan pemimpin dan bangsawan di kalangan suku bangsanya, kenapa mereka sampai mempercayai berhala-berhala itu sedemikian rupa . . . ? Kenapa akal fikiran mereka tak dapat menghindarkan diri dari kekebalan dan ke­tololan itu . . . ? Dan kenapa sekarang ini . . . setelah mereka menganut Islam dan memberikan pengorbanan . . . kita meng­anggap mereka sebagai orang-orang besar . . . ?

Di masa sekarang ini, pertanyaan seperti itu mudah saja timbul, karena bagi anak kecil sekalipun tak masuk dalam akal­nya akan mendirikan di rumahnya barang yang terbuat dari kayu lalu disembahnya . . . , walaupun masih ada para ilmuwan yang menyembah patung.Tetapi di zaman yang silam, kecenderungan-kecenderungan manusia terbuka luas untuk menerima perbuatan-perbuatan aneh seperti itu di mana kecerdasan dan daya fikir mereka tiada berdaya menghadapi arus tradisi kuno tersebut ….Sebagai contoh dapat kita kemukakan di sini, Athena. Yakni Athena di masa Perikles, Pythagoras dan Socrates! Athena yang telah mencapai tingkat berfikir yang menakjubkan, tetapi seluruh penduduknya, baik para filosof, tokoh-tokoh pemerintahan sampai kepada rakyat biasa, mempercayai patung-patung yang dipahat, dan memujanya sampai taraf yang amat hina dan memalukan! 

Sebabnya ialah karena rasa keagamaan di masa-masa yang telah jauh berselang itu tidak mencapai garis yang sejajar dengan ketinggian alam fikiran mereka ….Amr ibnul Jamuh telah menyerahkan hati dan hidupnya kepada Allah Rabbul-Alamin. Dan walaupun dari semula ia telah berbai’at pemurah dan dermawan, tetapi Islam telah melipatgandakan kedermawanannya ini, hingga seluruh harta kakayaannya diserahkannya untuk Agama dan kawan-kawan seperjuangannya.

Pernah Rasulullah saw. menanyakan kepada segolongan Bani Salamah yaitu suku Amr ibnul Jamuh, katanya: 
“Siapakah yang menjadi pemimpin kalian, hai Bani Salamah?”
 Ujar mereka: “Al-Jaddu bin Qeis, hanya sayang ia kikir …….

 Maka sabda Rasulullah Pula: 
“Apa lagi penyakit yang lebih parah dari kikir! Kalau begitu pemimpin kalian ialah si Putih Keriting, Amr ibnul Jamuh … ! “

Demikianlah kesaksian dari Rasulullah saw. ini merupakan penghormatan besar bagi Amr . – . ! 

Dan mengenai ini seorang penyair Anshar pernah berpantun:
“Amr ibnul Jamuh membiarkan kedermawanannya meraja­lela, Dan memang wajar, bila ia dibiarkan berkuasa, Jika datang permintaan, dilepasnya kendali hartanya, Silakan ambil, ujarnya, karena esok ia akan kembali berlipat ganda!”

Dan sebagaimana ia dermawan membaktikan hartanya di jalan Allah, maka Amr ibnul Jamuh tak ingin sifat pemurahnya akan kurang dalam menyerahkan jiwa raganya . . . !
 Tetapi. bagaimana caranya … ? 

Kakinya yang pincang menjadi penghalang baginya untuk ikut dalam peperangan. Ia mempunyai empat orang putra, semuanya beragama Islam dan semuanya ksatria bagaikan singa, dan ikut bersama Nabi saw. dalam setiap pepe­rangan Serta tabah dalam menunaikan tugas perjuangan ….Amr telah berketetapan hati dan telah menyiapkan per­alatannya untuk turut dalam perang Badar, tetapi putra-putranya memohon kepada Nabi agar ia mengurungkan maksudnya dengan kesadaran sendiri, atau bila terpaksa dengan larangan dari Nabi. 

Nabi pun menyampaikan kepada Amr bahwa Islam membebas­kan dirinya dari kewajiban perang, dengan alasan ketidak mampu­an disebabkan cacad kakinya yang berat itu. Tetapi ia tetap mendesak dan minta diidzinkan, hingga Rasulullah terpaksa mengeluarkan perintah agar ia tetap tinggal di Madinah.Sekarang datanglah saatnya perang Uhud. Amr lalu pergi menemui Nabi saw. memohon kepadanya agar diidzinkan turut, katanya: “Ya Rasulallah, putra-putraku bermaksud hendak menghalangiku pergi bertempur bersama anda. Demi Allah, aku amat berharap kiranya dengan kepincanganku ini aku dapat merebut surga .. . !”

Karena permintaannya yang amat sangat, Nabi saw. mem­berinya idzin untuk turut. Maka diambilnya alat-alat senjatanya, dan dengan hati yang diliputi oleh rasa puas dan gembira, ia berjalan berjingkat-jingkat. Dan dengan suara beriba-iba ia memohon kepada Allah: “Ya Allah, berilah aku kesempatan untuk menemui syahid, dan janganlah aku dikembalikan kepada keluargaku . . . !”

Dan kedua pasukan pun bertemulah di hari Uhud itu …Amr ibnul Jamuh bersama keempat putranya maju ke depan me­nebaskan pedangnya kepada tentara penyebar kesesatan dan pasukan syirik . . . .

Di tengah-tengah pertarungan yang hiruk pikuk itu Amr melompat dan berjingkat, dan sekali lompat pedangnya me­nyambar satu kepala dari kepala-kepala orang musyrik. la terus melepaskan pukulan-pukulan pedangnya ke kiri ke kanan dengan tangan kanannya, sambil menengok ke sekelilingnya, seolah-olah mengharapkan kedatangan Malaikat dengan secepatnya yang akan menemani dan mengawalnya masuk surga.Memang, ia telah memohon kepada Tuhannya agar diberi syahid, dan ia yakin bahwa Allah swt. pastilah akan mengabul­kannya. Dan ia rindu, amat rindu sekali akan berjingkat dengan kakinya yang pincang itu dalam surga, agar ahli surga itu sama mengetahui bahwa Muhammad Rasulullah saw. itu tahu bagai­mana caranya memilih shahabat dan bagaimana Pula mendidik dan menempa manusia ….Dan saat yang ditunggu-tunggunya itu pun tibalah, suatu pukulan pedang yang berkelebat  . . , memaklumkan datangnya saat keberangkatan . . . , yakni keberangkatan seorang syahid yang mulia, menuju surga jannatul khuldi, surga Firdausi yang abadi … !

Dan tatkala Kaum Muslimin memakamkan para syuhada mereka,Rasulullah saw. mengeluarkan perintah yang telah kita dengar dulu, yaitu:
“Perhatikan, tanamkanlah jasad Abdullah bin Amr bin Haram dan Amr ibnul Jamuh di makam yang satu, karena selagi hidup mereka adalah dua orang shahabat yang setia dan bersayang-sayangan … !”

Kedua shahabat yang bersayang-sayangan dan telah menemui syahid itu dikuburkan dalam sebuah makam, yakni dalam pang­kuan tanah yang menyambut jasad mereka yang suci, setelah menyaksikan kepahlawanan mereka yang luar biasa.Dan setelah berlalu masa selama 46 tahun di pemakaman dan penyatuan mereka, datanglah banjir besar yang melanda dan menggenangi tanah pekuburan, disebabkan digalinya sebuah mata air yang dialirkan Mu’awiyah melalui tempat itu. Kaum Muslimin pun segera memindahkan kerangka para syuhada. Kiranya mereka sebagai dilukiskan oleh orang-orang yang ikut memindahkan mereka: “Jasad mereka menjadi lembut, dan ujung-ujung anggota tubuh mereka jadi melengkung … !”

Ketika itu Jabir bin Abdullah masih hidup. 

Maka bersama keluarganya ia pergi memindahkan kerangka bapaknya Abdullah bin Amr bin Haram serta kerangka bapak kecilnya Amr ibnul Jamuh …. Kiranya mereka dapati kedua mereka dalam kubur seolah-olah sedang tidur nyenyak . . . . Tak sedikit pun tubuh mereka dimakan tanah, dan dari kedua bibir masing-masing belum hilang senyuman manis alamat ridla dan bangga yang telah terlukis semenjak mereka dipanggil untuk menemui Allah dulu….
Apakah anda sekalian merasa heran . . . ? 
Tidak, jangan tuan-tuan merasa heran . . . ! 
Karena jiwa-jiwa besar yang suci lagi bertaqwa, yang mampu mengendalikan arah tujuan hidupnya,membuat tubuh-tubuh kasar yang menjadi tempat kediam­annya, memiliki semacam ketahanan yang dapat menangkis sebab-sebab kelapukan dan mengatasi bencana-bencana tanah….


(42)  
`AMR IBN AI-JAMUUH  
I Want to Walk Proudly with My Lameness in Paradise! 

        He was related to Abd Allah Ibn `Amr lbn Hiraam by marriage, being the husband of his sister Hind bint `Amr. Amr Ibn Al- Jamuuh was one of the leaders of Al-Madiinah and one of the chiefs of the Salamah tribe. His son Mu'aadh lbn Amr, who was one of the seventy Ansaar of the pledge of `Aqabah preceded him in Islam.  

       Mu`aadh Ibn `Amr and his friend Mu'aadh lbn Jabal were calling the people of Al-Madiinah to Islam with the enthusiasm of bold and believing youth.  
   
        It was a custom that the nobles kept symbolic idols in their houses other than the big idols set up in places of public gathering. As a nobleman and chief, Amr lbn Al-Jamuuh made an idol to install in his house and called it Manaaf. His son Mu'aadh lbn `Amr agreed with his comrade Mu'aadh Ibn Jabal to make `Amr lbn Al-Jamuuh's idol an object of ridicule. They used to enter his house at night, take the idol and throw it into a cess pit. And when Amr would wake up he would not find Manaaf in its place, and would keep looking for it till he found it thrown into that pit. He used to rage and say, "Woe unto you, who transgressed our gods this night!" Then he would wash and perfume it. When night came again, the two Mu`aadh, would do to the idol as they had done the previous night.  
  
        When `Amr got weary he took his sword and put it on Manaaf's neck and said to it, "If you are a beneficial god defend yourself." When he woke up he did not find it in its place, but rather found it discarded in the same cess pit. But this time, it was not in the pit alone but was tied to a dead dog by a strong rope.  
  
        While he was angry, sorry, and surprised, some of the nobles of Al-Madiinah who had preceded him in Islam approached him. They pointed at the idol tied to the dead dog and addressed `Amr lbn Al Jamuuh's mind, heart and good sense, talking to him about the Most True and Most High Allah Whom there is nothing like. They talked to him about the trustworthy, faithful Muhammad who came to give, not to take, to guide, not to misguide. They talked to him about Islam that came to liberate mankind from all the shackles, revive the spirit of Allah in them, and spread His light in their hearts. 

       In a few moments, `Amr discovered himself and his destiny. He purified and perfumed his clothes and body, then went, bearing his head high, to acknowledge the Seal of the Prophets (PBUH) and to take his place among the believers.  

        One may wonder how those nobles and leaders of their people, like `Amr lbn Al-Jamuuh, could believe in helpless idols to that extent. How did their reason not restrain them? How do we render them today among the great men after their embracing Islam and sacrificing? It is easy to raise these questions nowadays, as no child would accept to set up a piece of wood in his house and worship it. But in olden days, people's hearts used to embrace such doings. Their intelligence and genius could do nothing against tradition.  

        For example, Athens, in the days of Pericles, Pythagoras, and Socrates, attained a dazzling intellectual progress. However, all its people, including philosophers and judges, used to believe in sculptured idols in a ridiculous way. The reason is that religious sense in those remote ages was not as developed as the intellectual progress.  

       Amr lbn Al-Jamuuh dedicated his heart and life to Allah, the Lord of the Worlds. Although he was generous by nature, Islam made him more generous soreligion and his brethren.  

 The Messenger (PBUH) asked a group of the Bani Salamah tribe, the tribe of `Amr Ibn Al-Jamuuh, "Who is your chief, O Bani Salamah?" They answered, "Al-Jad Ibn Qais, inspite of his being a miser." He (PBUH) said, "No, your chief is the white curly haired Amr Ibn Al-Jamuuh." This testimony from the Messenger of Allah (PBUH) was a great honor to Ibn Al-Jamuuh.  

        As `Amr Ibn Al-Jamuuh dedicated his money in the cause of Allah, so he was willing to sacrifice his soul and life as well. But how? There was a severe lameness in his leg that made him invalid for participating in battle. He had four sons who were all strong Muslim men. They used to go out with the Messenger (PBUH) in expeditions, persisting in doing their duty of fighting. However, `Amr tried to go out in the Battle of Badr. His sons implored the Prophet (PBUH) to persuade him not to go out, or even to order him if he was not persuaded. So, the Prophet (PBUH) told him that Islam exempted him from jihaad because of his severe lameness. When he began pleading, the Prophet (PBUH) ordered him to stay in Al Madiinah. 

        When the Battle of Uhud came, `Amr went to the Prophet (PBUH), imploring him to permit him. He said, "O Messenger of Allah, my sons want to prevent me from going out with you to fight. By Allah, I want to walk proudly with my lameness in Paradise." As he strongly insisted, the Prophet (PBUH) permitted him to go out. So, he took his weapon and set out to walk happily, invoking Allah in a submissive voice, "O Allah, bestow martyrdom upon me and don't return me to my family."  

       When the two rival forces met on the Day of Uhud, `Amr Ibn Al-Jamuuh and his four sons set out striking the polytheists with their swords. Amr was walking proudly in the middle of the fierce battle.  

       With each step his sword cut off the head of a polytheist. He struck with his right hand, then looked around at the highest part of the horizon, as if hastening the arrival of the angel who would make him die and accompany him to Paradise.  

        Yes, he asked his Lord for martyrdom, being sure that Allah, Glorified and Exalted be He above all, would respond to him. He was very much eager to walk proudly with his lame leg in Paradise so that its people would know that Muhammad, the Messenger of Allah (PBUH), knew how to select his Companions and how to develop men.  

       That which he had been waiting for happened. A sword blow announced the time of the advance of a glorious martyr to the Paradise of immortality.  

        When the Muslims were burying their martyrs, 
the Messenger (PBUH) repeated his order which we have already heard elsewhere:
 "Put `Abd Allah Ibn `Amr Ibn Hiraam and Amr lbn Al-Jamuuh in one 
grave; they were loving and sincere to each other in this world."  

        The two loving friends, the two martyrs, were buried in one grave under the battlefield that received their pure souls and witnessed their extraordinary bravery.  

        Forty-six years after they and their companions had been buried, a violent torrent descended and covered the graveyard, because of a fountain head of water that Mu`aawiyah made. The Muslims hurried to remove the martyrs' bodies. It was a surprise, however, to find them as those who participated in removing their bodies described: "Having soft bodies and flexible limbs."  

        As Jaabir Ibn `Abd Allah was still alive, he went with his family to remove the bodies of his father, `Abd Allah Ibn `Amr Ibn Hiraam, and his aunt's husband, `Amr lbn Al-Jamuuh. However, he found them in their grave as if they were sleeping. They were not changed at all: their faces even had the same smile of happiness that they had had the day they were summoned to meet Allah.  

        Are you surprised? No, do not be. The great, pious, pure souls that have controlled their destinies usually leave in the bodies that once were their refuge, a kind of immunity that wards off the decomposing factors and the influence of the soil.


.¤ª"˜¨¯¨¨Amr Ibnul Jamuh o'Amr Ibn Al-Jamuuh ¸,ø¨¨"ª¤.






Categories: