Seorang abid yang shaleh, rajin beribadat dan gemar sertaubat yang kita paparkan riwayatnya sekarang ini ialah Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash.
Seandainya bapaknya menjadi guru dalam kercerdasan, kelihaian dan banyak tipu muslihat, sebaliknya Abdullah, menjadi teladan yang mempunyai kedudukan tinggi di antara ahli-ahli ibadat yang bersifat, zuhud dan terbuka. Seluruh waktu dan sepanjang kehidupannya dipergunakannya untuk beribadat.
Ia berhasil mengecap manianya iman, hingga waktu siang dan malam itu tidak cukup puas untuk menampung kebaktian serta aural lbadatnya.Ia lebih dulu masuk Islam daripada bapaknya. Dan semenjak ia bai’at dengan menaruh telapak tangan kanannya di telapak kanan Rasulullah saw., sementara hatinya yang tak ubahnya dengan cahaya shubuh yang cemerlangditerangi oleh nur Ilahi dan cahaya ketaatannya, pertama-tama Abdullah memusatkan perhatiannya terhadap al-Qura’n diturunkan secara berangsur-angsur.Setiap turun ayat maka dihafalkan dan diusahakannya untuk memahaminya, hingga setelah semuanya selesai dan sempurna ia pun telah hafal keseluruhannya.
Dan ia menghafalkan itu bukanlah hanya sekedar mengingat hingga seolah-olah ingatannya itu menjadi musium bagi sebuah buku tebal …. tetapi dihafalkan dengan tujuan dapat dipergunakan untuk memupuk jiwanya, dan kemudian agar ia dapat menjadi hamba Allah yang taat, menghalalkan apa yang dihalalkanNya dan mengharamkan apa yang diharamkanNya Serta memperkenankan seruannya. Kemudian tiada bosan-bosannya ia membaca, melagukan dan merenungkan isinya, menjelajahi taman-tamannya yang indah mekar, gembira ria jika kebetulan ayat-ayatnya yang mulia itu menceritakan kesenangan, sebaliknya menangia mengucurkan air mata jika membangkitkan hal-hal yang menakutkan … !
Abdullah telah ditaqdirkan Allah menjadi seorang suci dan rajin beribadat, tidak satu pun kekuatan di dunia ini yang mampu menghalangi terbentuknya bakat yang suci ini dan tertanamnya nur Ilahi yang telah ditaqdirkan bagi dirinya itu.Apabila tentara Islam maju ke medan laga untuk menghadapi orang-orang musyrik yang melancarkan peperangan dan permusuhan,maka kita akan menjumpai di barisan terdepan, mencintakan syahid dengan hati yang rindu jiwa yang asyik.Dan jika peperangan itu telah usai, di mana kita akan menemuinya? Di mana lagi, kalau tidak di mesjid umum atau di mushalla rumahnya, shaum di waktu siang dan berdiri shalat di waktu malam. Lidahnya tak kenal akan percakapan tentang soal dunia walaupun yang tidak terlarang, sebaliknya tidak kering-keringnya berdzikir kepada Allah, tasbih memuji-Nya, istighfar terhadap dosanya atau membaca kitab Suci-Nya.Untuk mengetahui betapa jauhnya Abdullah terlibat dalam beribadat, cukuplah kita perhatikan Rasulullah yang sengaja datang menyeru manusia untuk beribadat kepada Allah, terpaksa campur tangan agar ia tidak sampai keterlaluan dan berlebih-lebihan … !
Demikianlah, seandainya salah satu segi dari pelajaran yang dapat ditarik dari kehidupan Abdullah bin Amr, menyingkapkan kemampuan luar biasa yang tersimpan dalam jiwa manusia untuk mencapai tingkat tertinggi dalam beribadat dan meninggalkan kesenangan duniawi, seginya yang lain ialah perlindungan Agama agar orang bersikap sederhana dan tidak berlebih-lebihan dalam mencapai segala ketinggian dan kesempurnaan itu, hingga jiwa seseorang itu tetap mempunyai gairah hidup dan semangat bermasyarakat .. . , dan agar jasmaninya tetap dalam keadaan kondisi siap melaksanakan segala tugas … !Rasulullah saw. telah mengetahui rahasia jalan dan corak kehidupan Abdullah bin Amr bin Ash hanya satu dan tidak berubah!
Jika tidak pergi berjuang, maka hari-harinya itu dari mulai fajar sampai fajar berikutnya terpusat pada ibadat yang sambung-menyambung, berupa shaum, shalat dan membaca al-Quran .Dipanggilnyalah Abdullah dan dia’uruhnya agar tidak keterlaluan dalam beribadat itu.
Tanya Rasulullah saw.:
“Kabarnya kamu selalu shaum di siang hari tak pernah berbuka, dan shalat di malam hari tak pernah tidur … ?” cukuplah shaum tiga hari dalam setiap bulan … ”
Ujar Abdullah: “Aku sanggup lebih banyak dari itu . . . ! ”
Sabda Nabi saw.:
“Kalau begitu cukup dua hari dalam seminggu!”
Jawab Abdullah: “Aku sanggup lebih banyak lagi.
”Sabda Rasulullah saw.:
“Jika demikian, baiklah kamu lakukan shaum yang lebih utama, yaitu shaum Nabi Daud, shaum sehari lalu berbuka sehari! (al-Hadits)
Setelah itu ditanyakan pula oleh Rasulullah saw.: —
“Aku tahu bahwa kamu membaca al-Quran sampai tamat dalam satu malam . . . ! Aku khawatir kalau-kalau usiamu lanjut dan jadi bosan membacanya . . . ! Bacalah setiap sebulan sekali khatam! Atau kalau tidak, sekali dalam sepuluh hari, atau sekali dalam tiga hari … !”
Lalu sabdanya pula:
“Aku shaum dan berbuka bangun shalat malam dan tidur, juga kawin dengan perempuan. Maka siapa yang tidak suka akan Sunnahku, tidaklah termasuk golongan ummatku… !” (al-Hadits)Dan benarlah Abdullah bin ‘Amr dikaruniai usia lanjut. Maka tatkala ia sudah tua dan tulangnya jadi lemah, ia selalu teringat nasihat Rasulullah dulu itu, lalu katanya: “Wahai malang nasibku, kenapa tidak laksanakan keringanan dari Rasulullah … !”
Seorang Mu’min seperti Abdullah ini, akan sulit dijumpai dalam suatu pertempuran apapun corak pertempuran itu —yang berkecamuk di antara dua golongan Muslimin. Kalau begitu, apakah kiranya yang membawa kakinya dari Madinah ke Shiffin, dan menggabungkan diri pada barisan Mu’awiyah dalam pertempuran menghadapi Ali … ?Selamanya sikap yang diambil oleh Abdullah ini patut untuk direnungkan, sebagaimana pula setelah memahaminya, layak untuk beroleh penghargaan dan penghormatan!
Telah kita lihat betapa Abdullah bin ‘Amr memusatkan perhatiannya terhadap ibadat, hingga dapat membahayakan nyawanya. Hal ini amat mencemaskan hati bapaknya, hingga sering dilaporkannya kepada Rasulullah.Pada kali terakhir Rasulullah menasihatinya agar tidak berlebih-lebihan dalam beribadat itusambil membatasi waktu-waktunya, ‘Amr kebetulan hadir. Rasulullah mengambil tangan Abdullah dan meletakkannya di tangan bapaknya, ‘Amr, lalu katanya: “Lakukanlah apa yang kuperintahkan, dan taatilah olehmu bapakmu … !”Dan walaupun selama ini, diaebabkan akhlaq dan keagamaannya, Abdullah selalu taat kepada kedua orang tuanya, tetapi perintah Rasulullah secara demikian dan suasana khusus seperti itu, meninggalkan kesan yang dalam pada dirinya.
Dan selama usianya yang panjang, sesaat pun Abdullah tidak lupa akan kalimat pendek ini: “Lakukanlah apa yang kuperintahkan, dan taatilah olehmu bapakmuKemudian, hari berganti hari, tahun berganti tahun . . . Mu’awiyah di Syria menolak bai’at terhadap Ali. Sebaliknya Ali menolak tunduk terhadap pembangkangan yang tak dapat dibenarkan. Maka terjadilah peperangan di antara dua golongan Kaum Muslimin. Perang Jamal telah berlalu dan sekarang datang saat perang Shiffin ….Amr bin ‘Ash telah menentukan sikapnya berpihak kepada Mu’awiyah. Dan ia tahu benar bagaimana penghormatan Kaum Muslimin terhadap puteranya Abdullah, begitupun kepercayaan mereka terhadap Agamanya.
Maka rencananya hendak membawa Serta puteranya itu yang tak dapat tidak akan menguntungkan sekali pihak Mu’awiyah. Di samping itu menurut ‘Amr kehadiran Abdullah di dekatnya akan membawa nasib mujur baginya dalam peperangan. la belum lupa kenyataan-kenyataan itu di saat penyerbuan ke Syria dan waktu pertempuran YarmukSebab itu ketika hendak berangkat ke Shiffin dipanggilnyalah puteranya itu lalu katanya: “Hai Abdullah! Bersiap-siaplah untuk berangkat! Kamu akan berperang di pihak kami . . . !” Ujar Abdullah: “Bagaimana . . . ?
Padahal Rasulullah saw. telah mengamanatkan kepadaku agar tidak menaruh senjata di atas leher orang Islam untuk selama-lamanya … !’Dengan kecerdikannya ‘Amr mencoba meyakinkan Abdullah, bahwa maksud kepergian mereka ini hanyalah untuk membekuk pembunuh-pembunuh Utsman dan menuntutkan bela darah sucinya. Kemudian secara tila-tiba ia memasang perangkap mautnya, katanya: “Masih ingatkah kamu wahai Abdullah akan amanat terakhir yang diaampaikan Rasulullah kepadamu, ketika ia mengambil tanganmu lalu meletakkannya ke atas tanganku seraya katanya: “Taatilah bapakmu . . . !”
Dan sekarang saya menghendaki sekali agar kamu turut bersama kami dan ikut berperang!”Demikianlah Abdullah berangkat demi taatnya kepada bapaknya. Maksudnya tiada akan memanggul senjata dan tidak akan berperang dengan seorang Muslim pun. Tetapi betapa caranya? Yah, yang panting baginya kini turut bersama bapaknya! Adapun di waktu perang nanti, maka terserahlah kepada Allah bagaimana taqdir-Nya!Perang pun berkeeamuk dengan hebat dan dahsyat …. Ahli-ahli sejarah berbeda pendapat, apakah Abdullah ikut Serta di permulaan perang itu ataukah tidak. Kita katakan “di permulaan”, karena tidak lama setelah itu, terjadilah suatu periatiwa yang menyebabkan Abdullah bin ‘Amr mengambil sikap secara terang-terangan menentang peperangan dan menentang Mu’awiyah.
Periatiwa itu dikarenakan ‘Ammar bin Yasir berperang di pihak Imam Ali. ‘Ammar ini seorang yang amat dihormati oleh para shahabat umumnya. Lebih-lebih lagi Rasulullah sudah semenjak dulu meramalkan kematiannya dan juga siapa-siapa pembunuhnya.Ceritanya ialah bahwa ketika itu Rasulullah bersama shahabat-shahabatnya sedang membangun mesjid di Madinah, yakni tidak lama setelah kepindahan mereka ke sana. Batu-batu yang digunakan sebagai bahannya ialah batu-batu besar dan berat, hingga setiap orang hanya dapat mengangkat sebuah saja. Tetapi ‘Ammar, mungkin karena gairah dan semangatnya, dapat membawa dua-dua buah.
Hal itu tampak oleh Rasulullah, maka dipandanginya anak muda itu dengan kedua matanya yang tergenang air, lalu katanya: — “Kasihan anak Sumaiyah! la dibunuh oleh pihak yang durhaka . . .Semua shahabat yang ikut bekerja pada hari itu, sama mendengar nubuwat Rasulullah ini dan selalu ingat kepadanya. Dan Abdullah bin ‘Amr juga termasuk di antara yang mendengarnya. Di saat awal peperangan antara pihak Ali dan Mu’awiyah itu ‘Ammar naik ke tempat-tempat yang ketinggian dan berseru dengan sekuat suaranya membangkitkan semangat:“Hari ini kita akan menjumpai para kekasih . . . , Nabi Muhammad beserta shahabat-shahabatnya!”
Sekelompok anak buah Mu’awiyah berembuk untuk menghabisinya. Mereka sama-sama mengarahkan anak panah kepadanya lalu melepaskannya secara serempak . tepat mengenai sasaran, dan langsung mengantarkan qurban ke alam syuhada dan para pahlawan . . . .Berita tewasnya ‘Ammar ini menjalar bagai angin kencang. Dan mendengar itu Abdullah bangkit serentak, hatinya meledak dan berontak, serunya: “Apa, ‘Ammar tewas terbunuh . . . ? Dan kalian si pembunuh-pembunuhnya . . . ? Kalau begitu, kalianlah pihak yang aniaya Kalian berperang di jalan yang sesat dan salah . . . !”
Abdullah berkeliling pada barisan Mu’awiyah sebagai juru nasihat, melemahkan semangat mereka dan menyatakan secara blak-blakan bahwa mereka adalah pihak yang aniaya, karena merekalah yang telah membunuh ‘Ammar! Duapuluh tujuh tahun yang lalu, di hadapan sekelompok shahabat-shahabatnya, Rasulullah saw. telah menyampaikan nubuwatnya bahwa ia akan dibunuh oleh pihak yang aniaya … !
Ucapan Abdullah itu disampaikan orang kepada Mu’awiyah, yang segera memanggil ‘Amr dan puteranya itu. Katanya kepada ‘Amr: ”Kenapa tidak anda membungkam anak gila itu. . Jawab Abdullah: “Saya tidak gila, hanya saya dengar Rasulullah mengatakan kepada ‘Ammar, “Kamu akan dibunuh oleh pihak yang aniaya!” “Kalau begitu, kenapa kamu ikut bersama kami?” Tanya Mu’awiyah. Ujar Abdullah: “Yah, karena Rasulullah memerintahku agar taat kepada bapakku. Dan aku telah mentaati perintahnya supaya ikut pergi, tetapi aku tidak ikut berperang dengan kamu … !”
Tiba-tiba ketika mereka tengah berbicara itu, masuklah pengawal yang memijita idzin bagi pembunuh ‘Ammar untuk menghadap. “Suruhlah masuk!” seru Abdullah, “dan sampaikan berita gembira kepadanya bahwa ia akan jadi umpan neraka!”
Bagaimana juga tenang dan shabarnya Mu’awiyah, tetapi ia tak dapat mengendalikan amarahnya lagi, lalu bentaknya kepada ‘Amr: “jangan kamu dengarkah katanya itu?”
Tetapi dengan ketenangan dan kepasrahan orang yang taqwa, Abdullah kembali menegaskan kepada Mu’awiyah bahwa apa yang dikatakannya itu barang haq dan bahwa pihak yang membunuh ‘Ammar tidak lain dari orang-orang aniaya dan pendurhaka. Kemudian sambil mengalihkan mukanya kepada bapaknya, katanya:. “Kalau tidaklah Rasulullah menyuruh anakanda agar mentaati ayahanda, tidaklah anakanda akan menyertai perjalanan ayahanda iniMu’awiyah dan ‘Amr pergi keluar memeriksa pasukan. Alangkah terkejutnya mereka ketika mengetahui bahwa anak buahnya sedang mempercakapkan nubuwat Rasulullah terhadap ‘Ammar: “Kamu akan dibunuh oleh pihak yang aniaya!”
Kedua pemimpin itu merasa bahwa desas-desus itu dapat meningkat menjadi tantangan dan pembangkangan terhadap Mu’awiyah. Maka mereka pun memikirkan suatu muslihat, yang kemudian mereka peroleh lalu dilontarkan kepada khalayak ramai, kata mereka: ”Memang benar, bahwa Rasulullah pernah mengatakan kepada ‘Ammar bahwa ia akan dibunuh oleh pihak yang aniaya. Nubuwat Rasulullah itu benar, dan buktinya sekarang ‘Ammar telah dibunuh! Nah, siapakah yang membunuhnya? Pembunuhnya tidak lain dari orang-orang yang telah mengajaknya pergi ikut berperang . . . !”Dalam suasana kacau balau dan tak menentu seperti itu, berbagai logika dan alasan akan dapat diberikan! Demikianlah keterangan dan logika Mu’awiyah dan ‘Amr laria dan mendapat pasaran …Kedua pasukan pun mulai bertempur lagi, sementara Abdullah bin ‘Amr kembali ke mesjid dan ibadahnya ….Abdullah bin ‘Amr menjalani kehidupannya dan tidak mengisinya kecuali dengan mengabdikan diri dan beribadat.
Tetapi ikut sertanya pergi ke shifhin semata-mata kepergiannya saja, senantiasa merupakan sumber kegelisahannya. Ingatan itu tak hendak hilang-hilang dari fikirannya, sampai-sampai ia menangis, keluhnya: “Oh, apa perlunya bagiku Shiffin … ! Oh, apa perlunya bagiku memerangi Kaum Muslimin … !”
Pada suatu hari, sewaktu ia sedang duduk-duduk dengan. beberapa orang shahabatnya di mesjid Rasul, lewatlah Husein bin Ali r.a. dan mereka pun bertukaran salam. Tatkala Husein telah berlalu, berkatalah Abdullah kepada orang-orang sekelilingnya: “Sukakah kalian kutunjukkan penduduk bumi yang paling dicintai oleh penduduk langit … ? Dialah yang baru saja lewat di hadapan kita tadi …. Husein bin Ali . Semenjak perang Shiffin, ia tak pernah berbicara denganku . . . Sungguh, ridlanya terhadap diriku, lebih kusukai dari barang berharga apa pun juga … ! “
Abdullah berunding dengan Abu Sa’id al-Khudri untuk berkunjung kepada Husein. Demikianlah akhirnya kedua orang termulia itu bertemu muka di rumah Husein. Lebih dulu Abdullah bin ‘Amr membuka percakapan, hingga sampai disebut-sebut soal Shiffin. Husein mengalihkan pembicaraan ini sambil sertanya: “Apa yang membawamu sehingga engkau ikut berperang di fihak Mu’awiyah?”Ujar Abdullah: “Pada suatu hari aku diadukan bapakku ‘Amr bin ‘Ash menghadap Rasulullah saw., katanya: “Abdullah ini shaum setiap hari dan beribadat setiap malam.
Kata Rasulullah kepadaku:
“Hai Abdullah, shalat dan tidurlah, Serta shaum dan berbukalah, dan taatilah bapakmu . . . !”
Maka sewaktu perang Shiffin itu, bapakku mendesakku dengan keras agar ikut pergi bersamanya. Aku pun pergi, tetapi demi Allah tak pernah aku menghunus pedang, melemparkan tombak atau melepaskan anak panah … !” Ia pun menjelaskan apa yang terjadi dengan Mu’awiyah tentang ‘Ammar.Tatkala usianya meningkat yang diberkati itu ketujuh puluh dua tahun ….
Ia sedang berada di mushallanya, selagi ia mendekatkan diri memohon dan munajat ke hadapan Allah Robbul Alamin, bertashbih dan bertahmid, tiba-tiba ada suara memanggiluntuk melakukan perjalanan jauh, yaitu perjalanan abadi yang takkan kembali ….Disambutnya panggilan itu dengan hati yang telah lama rindu, dan terbang melayanglah ruhnya menyusul teman-temannya yang telah mendahuluinya mendapat kebahagiaan, sementara suara hiburan menghimbaunya dari Rafiqul A’la:
“Wahai jiwa yang tenang tenteram!Kembalilah kamu kepada Tuhanmu dalam keadaan ridla dan diridlai … !Maka masuklah dalam golongan ummat-Ku dan masuklah ke dalam sorga-Ku …!”
(89:27- 30).
(49)
`ABD ALLAH IBN `AMR IBN AL-'Aas
The Submissive Returner to Allah!
The submissive, repentant, ever returning worshiper whom we are going to talk about is `Abd Allah Ibn Amr Ibn Al-'Aas
Just as his father was famous for his rationality and cunning tricks, so was he famous for his highly elevated position among worshipers and hermits. His whole life was devoted to worship. Days and nights were not enough for his acts of worship.
He embraced Islam before his father. Since the day he swore the oath of allegiance, his heart shone like sunlight by means of Allah's light and the light of obedience.
He devoted himself to reciting and understanding the Glorious Qur'aan, so that when it was completely revealed he would have learned it all by heart. He did not recite it merely by power of a retentive memory, reproducing a book learned by heart, but rather he lived according to its laws, filled his heart with its magnificence, was its obedient servant and responded to its appeals. He then dedicated himself to its reading and recitation as well as understanding it, walking most delightfully in its mellow orchards, pleased with a joyful soul, happy with its holy verses, with eyes crying in anxiety and fear due to the effect of its verses.
`Abd Allah was created to be a worshiping saint. Nothing whatsoever could distract him from what he was created for and guided to. If the army of Islam waged jihaad against the polytheists who had been attacking Islam, he could always be found insistent in the front rows, aspiring to die as a martyr. It was the aspiration of a loving soul and the insistence of a lover. When the war was over, where was he to be found?
There in the great mosque or the small mosque beside his house, fasting in the daytime, praying at night. His tongue did not know any worldly talk no matter how legitimate it was. His tongue did not know anything but invoking of Allah, the reciting the Qur'aan, praising Allah, and asking Him His forgiveness and remission of sins. It is worthwhile to know how deep his worship and asceticism was. The Prophet (PBUH) found himself once forced to interfere in order to limit `Abd Allah's extremism in worship.
Therefore, the moral which can be abstracted from `Abd Allah's life is twofold. It demonstrates how excessively the human soul can be filled with an extraordinary ability to reach utmost degrees of devotion, worship, and virtue. On the other hand, it demonstrates Islam's concern to maintain a middle course and moderation, even when perfection is aspired to, lest the human soul should lose its zeal and aspiration and in order to maintain a healthy and safe body.
It reached the Prophet that `Abd Allah spent his life in a uniform manner. If there was no battle to join, then it was non-stop worshiping, fasting, praying, and reciting the Qur'aan.
The Prophet (PBUH) sent for him, appealing to him to be moderate.
The Prophet (PBUH) said,
"Is it true what I heard, that you fast every day without eating (without breaking your fasting by one or two days) and that you pray all night without sleeping? It's enough to fast just three days every month."
`Abd Allah said, "I can bear more than that!"
The Prophet (PBUH) said,
"It's enough to fast two days each week."
`Abd Allah said, "I can bear more than that."
The Prophet (PBUH) said,
"Then, why don't you fast the best fasting of all, Daawud's (David's) fast; he fasted one day and ate on the other."
The Prophet (PBUH) continued asking him, "I've been informed that you recite the whole Qur'aan in one night. I'm afraid when you get older you will feel bored reciting it. Recite it once each month. Recite it once every ten days. Recite it once every three days." Then he said, "I fast and eat. I pray and sleep. I marry women. Whoever abstains from following my path, indeed, is not of me."
Abd Allah lived long and when he got older and weaker he always remembered the Prophet's advice saying "If only I had accepted the Prophet's advice."
It is not easy to find a believer of that sort engaged in a war fought by two Muslim parties against each other. How was it possible that his feet carried him from Al-Madiinah to As-Siffiin where he joined Mu`aawiyah's army in the battle against Imam `Aliy? The more we contemplate `Abd Allah's position, the more we will find it worthy of your respect and honor.
We saw how `Abd Allah was engaged in worship in a way which truly endangered his life. His father was always concerned about this matter. Therefore, he often complained to the Prophet (PBUH). On that particular instance when the Prophet (PBUH) asked `Abd Allah to be moderate in worship, clearly suggesting suitable intervals, `Abd Allah's father `Amr was present. The Prophet (PBUH) put `Abd Allah's hand into his father's saying, "Do as I ordered you and obey your father."
Although `Abd Allah was obedient to his father due to his faith and belief, the Prophet's order to him in such a way and on such an occasion had a very special impact on him. `Abd Allah lived his whole life always remembering this short statement, "Do as I ordered you and obey you father."
Days and years passed. Mu'aawiyah in Syria refused to swear the oath of allegiance to `Aliy. `Aliy refused to submit to an illegal rebellion. War broke out between the two Muslim parties. The Battle of Al-Jamal passed, and now it was the turn of As-Siffiin.
`Amr lbn Al-'Aas had chosen to fight on Mu'aawiyah's side. Knowing how much people trusted and acknowledged his son's faith, he found it very beneficial for Mu'aawiyah's party to convince him to join and engage in the war. In addition, `Amr was always optimistic whenever he had Abd Allah beside him in times of war. He could not forget his striving and endeavor in the conquest of Syria and on the Day of Yarmuuk.
When he intended to set out towards As-Siffiin he appealed to his son to join saying, "O Abd Allah, get ready, you're going to fight with us." Abd Allah replied, "How? The Prophet (PBUH) has entrusted me never to hold a sword to a Muslim's neck." By means of his cunning tricks, `Amr tried to convince his son that they just intended to kill `Uthmaan's murderers and to take revenge.
Then he surprised his son with the following words, "O Abd Allah, do you remember the last thing the Prophet committed you to, when he put your hand over mine saying, Obey your father? I order you now to join us and fight with us.
`Abd Allah went obediently but with the deep intention to neither carry a sword nor kill a Muslim. But how was that going to be possible? For the time being, he was just joining his father, but when the fight starts let Allah do as He wills.
It was a hard and fierce battle. Historians argue and differ among themselves, whether `Abd Allah joined the battle from the very beginning or not.
We think that he joined it from the very beginning, because the battle had hardly begun when something happened which forced `Abd Allah to stand openly and dearly against the whole war and against Mu'aawiyah.
`Ammaar Ibn Yaasir, who was well respected by the Companions, was fighting on the side of Imam `Aliy. Once in the far remote past the Prophet (PBUH) had forseen `Ammaar's murder.
This was in the days when the Prophet (PBUH) and the Companions were building their mosque at Al-Madiinah after the Hijrah. The rocks were extremely big and even the strongest ones could not carry more than one at a time. However, Ammaar was so cheerful and glad that he went on carrying two rocks at a time. The Prophet (PBUH) looked at him with tearful eyes saying, "Woe upon the son of Sumaiyah. He is going to be killed by the unjust party." All the Companions who took part in the building heard the prophecy and remembered it well. Abd Allah lbn `Amr was one of those who heard it.
At the beginning of the battle between Aliy and Mu'aawiyah's parties, Ammaar ascended a hill shouting, "Today is the day that we are going to meet Muhammad and his Companions."
A group of Mu'aawiyah's party committed themselves to killing `Ammaar, so they pierced him with a lance, whereby he fell as a martyr.
The news of `Ammaar's death spread rapidly. `Abd Allah stood up agitatedly and said, "Is it true that `Ammaar has been killed ? Did you do it? That means you are the unjust party! You are the mislead warriors!" Like a portent he burst into the army, discouraging the fighters, shouting loudly, "You are the unjust party as long as it's you who killed Ammaar. The Prophet (PBUH) foresaw his murder by the unjust party some 27 years ago.
`Abd Allah's words soon reached Mu`aawiyah, who sent for `Amr and his son. He said to Amr, "Can't you stop your mad man?" `Abd Allah said, "I'm not mad, but I heard the Prophet (PBUH) once saying to `Ammaar, "You will be killed by the unjust party." Mu'aawiyah continued asking, "Why then, did you join our party?" `Abd Allah said, "Because the Prophet (PBUH) asked me to obey my father and I obeyed him joining you, but I didn't fight."
While they were arguing, someone entered asking Mu'aawiyah to permit the entrance of `Ammaar's murderer. At that moment `Abd Allah shouted, "Let him in and announce the `good news' he is in hell."
Hereby Mu'aawiyah lost his temper despite his calmness and mildness. He shouted to Amr, "Can't you hear what he is saying?" `Abd Allah continued to ensure Mu'aawiyah that what he was saying was the truth and that the murderers were no more than unjust tyrants. Then he turned to his father and said, "Had it not been for the Prophet's order to obey you, I would not have gone out with you.
While inspecting their army, Mu'aawiyah and `Amr were astonished and terrified to hear all the people talking about the Prophet's prophecy to `Ammaar, You are going to be killed by the unjust party.
`Amr and Mu'aawiyah were afraid that this mere grumble was soon going to turn into a revolt against Mu'aawiyah. They thought together till they found a cunning trick. They spread the following words among the people: "Yes, the Prophet (PBUH) said to `Ammaar on that day, You'll be killed by the unjust party. The Prophet's prophecy is true. `Ammaar has been killed. But who killed him? The true murderers are those who asked him to go out to fight."
In the midst of such confusion and turmoil, any logic could easily be spread. In this way Mu`aawiyah's and `Amr's logic prevailed. The battle continued. Abd Allah went back to his mosque and to his worship.
He lived a life filled with nothing else than worship and adoration. Nevertheless, the mere act of going out to the battlefield always remained a reason for worry. He never remembered this act without weeping and saying, "What did I have to do with As-Siffiin?" Why did I bother myself with the killing of Muslims?"
One day, while sitting with some companions in the Prophet's mosque, Al-Hussain lbn `Aliy (May Allah be pleased with him) passed by and they greeted each other. When Al-Hussain went away `Abd Allah said to those sitting with him, "Would you like to know the human being most beloved to the angels? It's the one who just passed by, Al-Hussain lbn `Aliy. He has not talked to me since the Day of As-Siffin. I would like him to talk to me more than I desire all the blessings of this world."
He decided with Abu Sa'iid Al-Khudriy to visit Al-Hussain. There at Al-Hussain's house the meeting of these two great men took place. `Abd Allah began to talk. When he mentioned As-Siffiin, Al Hussain asked him scoldingly, "You, did you join the fight on Mu'aawiyah's side?" `Abd Allah said, "One day `Amr Ibn Al-'Aas complained to the Prophet (PBUH) saying, "Abd Allah fasts the whole day and prays all night.' Then the Prophet said to me, `O Abd Allah, pray and sleep, fast and eat. Obey you father.' When it was the day of As-siffiin, my father swore by Allah that I had to go out with him. I went out, but, by Allah, I didn't pierce with a lance, I didn't fight with a sword and I didn't shoot any arrows.
At the age of 72, while praying in his mosque, asking for Allah's forgiveness, praising Allah gratefully, he was invited to join the eternal voyage. Filled with a longing aspiration he responded. His soul left the world joyfully to join his brethren who had preceded him.
The announcer of good news proclaimed from Heaven,
"O soul at peace, return to your Lord, well pleased and well pleasing.Enter you among My servants, and enter into My Paradise!" (89:27- 30).