acebook



.¤ª"˜¨¯¨¨'Ubaidah Bin Shamit o'Ubaadah Ibn As-Saamit¸,ø¨¨"ª¤. 
Tokoh yang gigih menentang penyelewengan. 

Ubadah bin Shamit termasuk salah seorang tokoh Anshar. Mengenai Kaum Anshar, Rasulullah saw. pernah bersabda:“Sekiranya orang-orang Anshar menuruni lembah atau celah bukit pasti aku akan mendatangi lembah dan celah bukit orang-orang Anshar . . . , dan kalau bukanlah karena hijrah, tentulah aku akan menjadi salah seorang warga Anshar…!

Dan di samping ia seorang warga Kaum Anshar, Ubadah bin Shamit merupakan salah seorang pemimpin mereka yang dipilih Nabi saw. sebagai utusan yang mewakili keluarga dan kaum kerabat mereka. Ubadah r.a. termasuk perutusan Anshar yang pertama datang ke Mekah untuk mengangkat bai’at kepada Rasulullah saw, untuk masuk Islam, yakni bai’at yang terkenal sebagai “baiatul ‘Aqabah pertama”. la termasuk salah seorang dari 12 orang beriman yang segera menyatakan keislaman dan meng­angkat bai’at, serta menjabat tangannya, menyatakan sokongan dan kesetiaan kepada Rasulullah saw.

Dan ketika datang musim haji tahun berikutnya, yakni saat terjadinya “Bai’atul ‘Aqabah kedua” yang dilakukan oleh per­utusan Anshar Anshar terdiri dari 70 orang beriman — pria dan wanita – maka ‘Ubadah menjadi tokoh perutusan dan wakil orang-orang Anshar itu …. Kemudian, ketika peristiwa berturut-turut silih berganti, saat-saat perjuangan, kebaktian dan pengorbanan susul-menyusul tiada henti, maka ‘Ubadah tak pernah absen dari setiap peristiwa, dan tak ketinggalan dalam memberikan sahamnya ….

Semenjak ia menyatakan, Allah dan Rasul sebagai pilihan.. nya, maka dipikulnya segala tanggung jawab akibat pilihannya itu dengan sebaik-baiknya …. Segala cinta kasih dan kethaatannya hanya tertumpah kepada Allah . . . . dan segala hubungan baik dengan kaum kerabat, dengan sekutu-sekutu maupun dengan musuh-musuhnya, hanya sesuai dan menuruti pola yang dibentuk oleh keimanan dan norma-norma yang dikehendaki oleh keimanan ini.

Semenjak dulu, keluarga ‘Ubadah telah terikat dalam suatu perjanjian dengan orang-orang yahudi suku qainuqa’di Madinah. Ketika Rasulullah saw. bersama para shahabatnya hijrah ke kota ini, orang-orang yahudi memperlihatkan sikap damai dan persahabatan terhadapnya. Tetapi pada hari-hari yang mengiringi perang Badar dan mendahului perang Uhud, orang-orang yahudi di Madinah mulai menampakkan belangnya. Salah satu qabilah mereka yaitu Bani Qainuqa’ membuat ulah untuk menimbulkan fitnah dan keribut­an di kalangan Kaum Muslimin.

Demi dilihat oleh ‘Ubadah sikap dan pendirian mereka ini, secepatnya ia melakukan tindakan yang setimpal dengan jalan membatalkan perjanjian dengan mereka, katanya: “Saya hanya akan mengikuti pimpinan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman Dan tidak lama antaranya turunlah ayat al-Quran memuji sikap, dan kesetiaannya ini; firman Allah swt.: Dan barangsiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman sebagai pemimpin, maka sungguh, partai atau golongan Allahlah yang beroleh kemenangan …. (Q.S. 5 al-Maidah:56)

Ayat Quran yang mulia telah mema’lumkan berdirinya partai Allah. Dan partai itu ialah golongan orang-orang beriman yang berdiri sekeliling Rasulullah saw. Mereka membawa bendera kebenaran dan petunjuk, merupakan lanjutan yang penuh barkah dari orang-orang beriman yang telah mendahului mereka dalam gelanggang sejarah. Mereka sigap berdiri sekeliling Nabi-nabi dan Rasul-rasul siap mengemban tugas yang sama, yakni menyampaikan di masa dan di zaman mereka masing-­masing Kalimat Allah yang Maha Hidup lagi Maha Pengatur.

Dan kali ini hizbullah atau partai Allah itu tidak hanya terbatas pada para shahabat Muhammad saw. belaka. Tugas ini akan berkelanjutan sampai generasi-generasi dan masa-masa mendatang, hingga bumi dan tiap penduduknya diwarisi oleh orang-orang yang iman kepada Allah dan Rasul-Nya serta ter­gabung di dalam barisan-Nya …. Demikianlah, tokoh di mana ayat yang mulia sengaja diturun­kan untuk menyambut baik pendiriannya serta memuji kesetiaan dan keimanannya, bukan hanya menjadi juru bicara tokoh-tokoh Anshar di Madinah semata, tetapi tampil sebagai seorang juru bicara para tokoh Agama yang akan meliputi seluruh pelosok dunia ….

Sungguh, ‘Ubadah bin Shamit yang mulanya hanya menjadi wakil kaum keluarganya dari suku Khazraj, sekarang meningkat menjadi salah seorang pelopor Islam, dan salah seorang pemimpin Kaum Muslimin. Namanya tak ubah bagai bendera yang berkibar di sebagian besar penjuru bumi, bukan hanya untuk satu atau dua generasi belaka, tetapi akan berkepanjangan bagi setiap generasi dan seluruh masa yang dikehendaki Allah Ta’ala …. !

Pada suatu hari Rasulullah saw. menjelaskan tanggung jawab seorang amir atau wali. Didengarnya Rasulullah menyatakan nasib yang akan menimpa orang-orang yang melalaikan kewajiban di antara mereka atau memperkaya dirinya dengan harta . . . , maka tubuhnya gemetar dan hatinya berguncang. la bersumpah kepada Allah tidak akan menjadi kepada walau atas dua orang sekalipun …. Dan sumpahnya ini dipenuhi sebaik-baiknya dan tak pernah dilanggarnya …. Di masa pemerintahan Amirul Mu’minin Umar r.a., tokoh yang bergelar al-Faruq ini pun tidak berhasil mendorongnya untuk menerima suatu jabatan, kecuali dalam mengajar ummat dan memperdalam pengetahuan mereka dalam soal Agama . . . .

Memang, inilah satu-satunya usaha yang lebih diutamakan ‘Ubadah dari lainnya, menjauhkan dirinya dari usaha-usaha lain yang ada sangkut-pautnya dengan harta benda dan kemewahan serta kekuasaan, begitu pun dari segala marabahaya yang di­khawatirkan akan merusak Agama dan karir dirinya ….

Oleh sebab itu ia berangkat ke Syria dan merupakan salah seorang dari tiga sekawan: ia sendiri, Mu’adz bin Jabal dan Abu Darda, menyebarluaskan ilmu, pengertian dan cahaya bimbingan di negeri itu. ‘Ubadah juga pernah berada di Palestina untuk beberapa waktu dalam melaksanakan tugas sucinya, sedang yang men­jalankan pemerintahan ketika itu atas nama khalifah adalah Mu’awiyah …. Sementara ‘Ubadah bermukim di Syria, walaupun badannya terkurung di sana, tapi pandangan matanya bebas lepas dan merenung jauh, nun ke sana melewati tapal betas, yaitu ke Madinah al-Munawwarah. Di saat itu Madinah sebagai ibu kota Islam dan tempat kedudukan khalifah, yakni Umar bin Khatthab, seorang tokoh yang tak ada duanya dan tamsil bandingan …!

Kemudian pandangannya kembali ke bawah pelupuk mata­nya, yakni ke Palestine tempat ia bermukim. Tampaklah olehnya Mu’awiyah bin Abi Sufyan, seorang pecinta dunia dan haws kekuasaan …. Sedangkan ‘Ubadah sebagai kita ma’lumi termasuk rombongan perintis yang telah menjalani sebagian besar dari hari-hari terbaiknya, saat terpenting dan paling berkesan bersama Rasul mulia …Rombongan pelopor yang bergelimang dalam kancah perjuangan dan ditempa oleh pengurbanan. La menganut Islam karena kemauan pribadi dan bukan karena menjaga ke­selamatan diri, pendeknya yang telah menjual harta benda dan dirinya kepada Ilahi Rabbi ….

‘Ubadah termasuk rombongan perintis yang telah dididik oleh Muhammad saw, dengan tangannya sendiri, yang telah beroleh limpahan mental, cahaya dan kebesarannya …. Dan seandainya di kalangan orang-orang yang masih hidup ada yang dapat ditonjolkan untuk percontohan luhur sebagai kepada pemerintahan yang dikagumi oleh ‘Ubadah dan diper­cayainya, maka orang itu tidak lain tokoh terkemuka yang sedang berkuasa di Madinah, ialah Umar bin Khatthab …. Maka sekiranya ‘Ubadah melanjutkan renungannya dan  membanding-bandingkan tindak-tanduk Mu’awiyah dengan apa yang dilakukan oleh khalifah, jurang pemisah di antara keduanya menganga lebar, dan sebagai akibatnya akan terjadilah bentrok­an dan memang telah terjadi … !

Berkata ‘Ubadah bin Shamit r.a.: “Kami telah bai’at kepada Rasulullah saw. tidak takut akan ancaman siapa pun dalam mentaati Allah …. !” Dan ‘Ubadah adalah seorang yang paling teguh memenuhi bai’at. Dan jika demikian, maka ia tidak akan takut kepada Mu’awiyah ,dengan segala kekuasaannya, dan ia akan tegak mengawasi segala kesalahannya …Sungguh, waktu itu penduduk Palestine menyaksikan peris­tiwa luar biasa . . . , dan tersiarlah berita ke sebagian besar negeri Islam perlawanan berani yang dilancarkan ‘Ubadah erhadap Mu’awiyah, hingga menjadi contoh teladan bagi mereka….

Dan bagaimana pun juga terkenalnya Mu’awiyah sebagai orang yang gigih dan ulet, tetapi sikap dan pendirian ‘Ubadah  tidak urung menyebabkannya sesak nafas. Hal itu dipandang­nya sebagai ancaman langsung terhadap wibawa dan kekuasaan­nya….

Dan di pihak ‘Ubadah, dilihatnya jarak pemisah di antaranya dengan Mu’awiyah kian sertambah lebar, akhirnya berkata kepada Mu’awiyah: “Demi Allah, saya tak hendak tinggal sekediaman denganmu untuk selama lamanya!” Lalu ditinggalkannya Palestine dan berangkat ke Madinah ….

Amirul Mu’minin Umar adalah seorang yang memiliki ke­cerdasan tinggi dan pandangan jauh. Ia selalu menginginkan kepala-kepala daerah tidak hanya mengandalkan kecerdasannya semata dan menggunakannya tanpa reserve. Maka terhadap orang seperti Mu’awiyah dan kawan-kawannya, tidak dibiarkan begitu saja tanpa didampingi sejumlah shahabat yang zuhud dan shalih, Serta penasihat yang tulus ikhlas. Mereka bertugas membendung keinginan-keinginan yang tidak terbatas, dan selalu mengingatkan mereka akan hari-hari dan masa Rasulullah saw.

Oleh sebab itu demi dilihat oleh Amirul Mu’minin bahwa ‘Ubadah telah berada di kota Madinah, ditanyalah: “Apa yang menyebabkan anda ke sini, wahai ‘Ubadah . . . ?” Dan tatkala diceritakan ‘Ubadah peristiwa yang terjadi antaranya dengan Mu’awiyah, maka kata Umar: “Kembalilah segera ke tempat anda! Amat jelek sekali jadinya suatu negeri yang tidak punya orang seperti anda . . .”. Lalu kepada Mu’awiyah dikirim pula Surat yang di antara isinya terdapat kalimat: “Tak ada wewenangmu sebagai amir terhadap ‘Ubadah”.

Memang, ‘Ubadah menjadi amir bagi dirinya …. Dan jika Umar al-Faruq sendiri telah memberikan penghormatan kepada seseorang setinggi ini, tak dapat tiada tentulah dia seorang besar      ! Dan sungguh, ‘Ubadah adalah seorang besar, baik karena keimanan, maupun karena keteguhan hati dan lurus jalan hidupnya!

Dan pada tahun 34 Hijriah, wafatlah is di Ramla di bumi Palestine; wakil ulung di antara wakil-wakil Anshar khususnya dan Agama Islam pada umumnya, dengan meninggalkan teladan yang tinggi dalam arena kehidupan ….

Semoga Allah memberi kita kemampuan mencontoh amal bakti para Assabiqunal-awwalun dan dapat melaksanakannya dalam diri pribadi sendiri sehingga kita menjadi syuhada’a ‘alan naas.


(15)  
`UBAADAH IBN AS -SAAMIT  
A Representative in Allah's Party ! 

        As one of the Ansaar he was mentioned in the Prophet's words "If the Ansaar chose to move in a certain direction, I would follow them. By Allah, if there had been no emigration, I would have chosen to be one of the Ansaar." `Ubaadah Ibn As-saamit was not only one of the Ansaar, but also one of their reknown leaders whom the Prophet (PBUH) chose to represent their people and tribes. When the first Ansaar delegation arrived at Makkah to make the oath of allegiance to the Prophet (PBUH), Ubaadah (May Allah be pleased with him) was one of the 12 believers who pledged allegiance to the Prophet (PBUH), embraced Islam, and clasped the Prophet's hand in support and loyalty! In the Second Pledge of Al `Aqabah, `Ubaadah was one of the leaders of the 70 men and two women and also one of the representatives of the Ansaar who gave his pledge to the Prophet (PBUH) during the Hajj season.  

        Ever since, Ubaadah never missed a battle or fell short of a sacrifice, as the arena at that time offered a kaleidoscope of self- sacrifice, valor, courage, and defiance. Since he chose Allah and His Prophet, he exerted himself to fulfill his obligations towards his religion. Therefore, his loyalty and obedience to Allah and his relationship with his relatives, allies, and enemies were all molded in a way so as to be compatible with the faith and conduct that a Muslim should have.  

        In the past, `Ubaadah's family had been tied in alliance with the Jews of Bani Qainuqaa' in Al- Madiinah. Since the Prophet and his Companions emigrated to Al-Madiinah, the Jews pretended to be on good terms with them; but after the Battle of Badr and a little while before the Battle of Uhud the Jews of Al- Madiinah began to show their true colors. Consequently, one of the Jewish tribes, Bani Qainuqaa', fabricated reasons for commotion and strife against the Muslims.  

        As soon as `Ubaadah realized their real intention, he decidedly threw aside their ancient treaty and said, "I take Allah, His Prophet, and those who have believed in Him as my protectors." The Qur'aan descended on the Prophet (PBUH) to support, salute, and praise `Ubaadah's loyal and steadfast attitude saying, " And whosoever takes Allah, His Messenger, and those who have believed as Protectors, then the party of Allah will be victorious" (5: 56).  

        Thus, the glorious verse announced the establishment of Allah's party, the members of which were the believers who stood firm by the Prophet's side and advocated the banner of right guidance and truth. They were regarded as the blessed blossom of the seed sown by their predecessors, who did their utmost to support their Messenger and invite people to believe in Allah the Ever-Living, the One Who Sustains and Protects all that exists. This newly born party of Allah would not only include the Companions of the Prophet, but also encompass the true believers of all future generations and times until Allah inherits the earth and whatever is with Him.  

        `Ubaadah, whose loyal and faithful attitude the verse praised, was not only a representative of the Al-Khazraj tribe, but was also one of the leaders of the pious and righteous Muslims who would always be looked upon by future generations throughout the world as a symbol of chivalry and discipline. His immortal history will forever resound throughout the world.  

One day `Ubaadah heard the Prophet talking about the responsibilities and obligations of commanders and governors and the punishment that awaited any one of them who abused his authority and manipulated the money entrusted to him. His words shook him so severely that he swore never to accept command, even over two people. He kept this oath. When the Commander of the Faithful `Umar Ibn Al- Khattaab (May Allah be pleased with him) became the caliph, he could not prevail on `Ubaadah to accept any influential position except educating and instructing people in Islamic religion. Indeed, thiswas the appropriate field for `Ubaadah, away from influential positions that might jeopardize his faith with precarious arrogance, power, and wealth.  

        Therefore, he traveled with Mu'aadh Ibn Jabal and Abu Ad- Dardaa' to Syria, where they illuminated the country with knowledge, fiqh, and enlightment. Afterward, `ubaadah traveled to Palestine, where Mu'aawiyah held jurisdiction in the name of the caliph.  

        When `Ubaadah lbn As-Saamit finally settled down in Syria, he always looked to Al-Madiinah as the capital of Islam and as the center of the caliphate where `Umar Ibn Al-Khattaab, a master- mind and a peerless man, lived. Then he turned around and looked over Palestine, where Mu'aawiyah Ibn Abi Sufyaan, a worldly-minded and a power hungry man, ruled.  

        `Ubaadah was, indeed, one of those blessed men who lived the best and the most accomplished days of their lives with the Prophet (PBUH). Those men who gained experience through struggle were cast in the same mold of conflict, struggle, and self-sacrifice. `Ubaadah had embraced Islam out of conviction rather than fear. Indeed, he sold himself and his fortune to Allah. He was one of the men who were brought up and disciplined by Muhammad (PBUH), who infused them with his wisdom, enlightenment, and greatness. To `Ubaadah, one of the most excellent models of the man in power was `Umar. Naturally, if `Ubaadah tried to judge Mu'aawiyah's conduct and character according to those standards, the result would not be in his favor and conflict would be inevitable. And that is exactly what happened.  
   
        `Ubaadah used to say, "We have given a pledge to the Prophet (PBUH) never to be afraid of anyone but Allah." `Ubaadah was a man who kept his pledges; therefore, he never feared Mu'aawiyah. Although Mu'aawiyah was in authority, `Ubaadah had already taken oath to stand fast and expose his wrongdoings.           Consequently, the people of Palestine watched him closely, holding their breath with astonishment, for the news of the fearless opposition led by `Ubaadah resounded across the world of Islam and was regarded as an outstanding example that should be followed. Notwithstanding the patience and tolerance Mu'aawiyah was famous for, he soon got tired of `Ubaadah's opposition, for he considered it a direct threat to his authority. Finally, when `Ubaadah realized that the gap between him and Mu`aawiyah was widening fatally, he addressed Mu'aawiyah saying, "By Allah, I will never live in the same land with a man like you." Consequently, he left Palestine and returned to Al- Madiinah.  

        Definitely, Umar was a man of outstanding perception and insight. He was so careful to surround governors like Mu'aawiyah, who manipulated their cleverness for their own interest, with a group of ascetic, pious, and steadfast Companions and advisers. He aimed at curbing their aspiration and avarice and reminding them of the era of the Prophet and his great feats.  

        Therefore, no sooner had the Commander of the Faithful `Umar Ibn Al Khattaab seen `Ubaadah in Al-Madiinah than he asked him, "What brought you back to Al-Madiinah?" When `Ubaadah told him about his dispute with Mu'aawiyah he ordered him, "Go back to where you belong. By Allah, any land that has no one like you living in it is a wasteland." `Umar immediately sent a message to Mu'aawiyah saying, "You are not to rule over `Ubaadah." Indeed, `Ubaadah was a commander of himself. When a man like `Umar held `Ubaadah in such high regard, then, undoubtedly, he must be a great and worthy man. `Ubaadah's greatness was unveiled through his faith, conscientiousness, and discipline.  

This sensible representative of the Ansaar and Islam died in A.H. 34, and his memory and history will forever be cherished and honored by all Muslims.  

.¤ª"˜¨¯¨¨'Ubaidah Bin Shamit o'Ubaadah Ibn As-Saamit¸,ø¨¨"ª¤. 





.¤ª"˜¨¯¨¨'Ammar Bin Yasir oo Ammaar Ibn Yaasir¸,ø¨¨"ª¤.
 Seorang tokoh penghuni surga. 


Seandainya ada orang yang dilahirkan di Surga, lalu di­besarkan dalam haribaannya dan jadi dewasa, kemudian dibawa ke dunia untuk jadi hiasan dan nur cahaya, maka ‘Ammar ber­sama ibunya Sumayyah dan bapaknya Yasir, adalah beberapa orang di antara mereka ….

Tetapi kenapa kita mengatakan tadi “seandainya”, seolah-­olah itu hanya pengandaian belaka, padahal keluarga Yasir benar-benar penduduk Surga? Ketika Rasulullah saw. bersabda:
“Shabar wahai keluarga Yasir, tempat yang telah dijanjikan bagi kalian adalah Surga!”kata-kata itu diucapkannya bukanlah hanya sebagai hiburan belaka, tetapi benar-benar mengakui kenyataan yang diketahui­nya dan menguatkan fakta yang dilihat dan disaksikannya ….

Yasir bin ‘Amir yakni ayahanda ‘Ammar, berangkat me­ninggalkan negerinya di Yaman guna mencari dan menemui salah seorang saudaranya …. Rupanya ia berkenan dan merasa cocok tinggal di Mekah. Bermukimlah ia di sana dan mengikat perjanjian persahabatan dengan Abu Hudzaifah ibnul Mughi­rah…. Abu Hudzaifah mengawinkannya dengan salah seorang sahayanya bernama Sumayyah binti Khayyath, dan dari per­kawinan yang penuh berkah ini, kedua suami isteri itu dikaruniai seorang putera bernama ‘Ammar ….

Keislaman mereka termasuk dalam golongan yang mula pertama, sebagai halnya orang shalih yang diberi petunjuk oleh Allah. Dan sebagai halnya orang-orang shalih yang termasuk dalam golongan yang mula pertama -masuk Islam, mereka cukup menderita karena siksa dan kekejaman Quraisy ….

Orang-orang Quraisy menjalankan siasat terhadap Kaum Muslimin sesuai suasana. Seandainya mereka ini golongan bangsa­wan dan berpengaruh, mereka hadapi dengan ancaman dan gertakan. Abu Jahal orang yang menggertaknya dengan ungkap­an: “Kamu berani meninggalkan agama nenek moyangmu pada­hal mereka lebih baik daripadamu! Akan kami uji sampai di mana ketabahanmu, akan kami jatuhkan kehormatanmu, akan kami rusak perniagaanmu dan akan kami musnahkan harta bendamu!” Dan setelah itu mereka lancarkan kepadanya perang urat syaraf yang amat sengit.

Dan sekiranya yang beriman itu dari kalangan penduduk Mekah yang rendah martabatnya dan yang miskin, atau dari golongan budak belian, maka mereka didera dan disulutnya dengan api bernyala. Maka keluarga Yasir termasuk dalam golongan yang kedua ini . . . . Dan soal penyiksaan mereka, diserahkan kepada Bani Makhzum. Setiap hari Yasir, Sumayyah dan ‘Ammar dibawa ke padang pasir Mekah yang demikian panas, lalu didera dengan berbagai adzab dan siksa!

Penderitaan dan pengalaman Sumayyah dari siksaan ini amat ngeri dan menakutkan, tetapi tidak akan kita paparkan panjang lebar sekarang ini. Insya Allah pada kesempatan lain akan kita ceritakan pengurbanan dan keteguhan hati yang di­tunjukkan oleh Sumayyah bersama shahabat-shahabat dan kawan-kawan seperjuangannya di hari-hari yang bersejarah itu…. Cukuplah kita sebutkan sekarang tanpa berlebih-lebihan bahwa syahidah Sumayyah telah menunjukkan sikap dan pendirian tangguh, yang dari awal hingga akhirnya telah membukti­kan kepada kemanusiaan suatu kemuliaan yang tak pernah hapus dan kehormatan yang pamornya tak pernah luntur. Suatu sikap yang telah menjadikannya seorang bunda kandung bagi orang-orang Mu’min di setiap zaman, dan bagi para budiman di sepanjang masa ….

Rasulullah saw. tidak lupa mengunjungi tempat-tempat yang diketahuinya sebagai arena penyiksaan bagi keluarga Yasir. Ketika itu tidak suatu apa pun yang dimilikinya untuk menolak bahaya dan mempertahankan diri. 

Dan rupanya demikian itu sudah menjadi kehendak Allah … . Maka Agama baru, yakni Agama Nabi Ibrahim yang suci murni, suatu Agama yang hendak dikibarkan panji-panjinya oleh Muhammad saw., bukanlah suatu gerakan perubahan secara vertikal dan horizontal, tetapi merupakan suatu tata cara hidup bagi manusia beriman. Dan manusia beriman ini haruslah me­miliki dan mewarisi bersama Agama itu sejarah lengkap dengan kepahlawanan, perjuangan dan pengurbanannya … . Pengurbanan-pengurbanan mulia yang dahsyat ini tak ubah­nya dengan tumbal yang akan menjamin bagi Agama dan ‘aqidah keteguhan yang takkan lapuk . . . .! Ia juga menjadi contoh teladan yang akan mengisi hati orang-orang beriman dengan rasa simpati, kebanggaan dan kasih sayang …. Ia adalah menara yang akan menjadi pedoman bagi generasi-generasi mendatang untuk mencapai hakikat Agama, kebenaran dan kebesaran­nya….

Demikianlah, berlaku pula bagi Agama Islam, qurban dan pengurbanan ini. Makna ini telah dijelaskan oleh al-Quran kepada Kaum Muslimin bukan hanya pada satu atau dua ayat. FIrman Allah swt.: Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan: “Kami telah beriman”, padahal mereka belum lagi diuji? (Q.S. 29 al-’Ankabut:2)

Apakah kalian mengira akan dapat masuk surga, padahal belum lagi terbukti bagi Allah orang-orang yang berjuang di antara kalian, begitu pun orang-orang yang tabah ? (Q.S. 3 Ali Imran: 142)

Sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, hingga terbuktilah bagi Allah orang-orang yang benar dan terbukti pula orang-orang yang dusts. (Q.S. 29 al-’Ankabut: 3)

Apakah kalian mengira akan dibiarkan begitu saja, padahal belum lagi terbukti bagi Allah orang-orang yang berjuang di antara kalian? (Q.S. 9 Attaubat: 16)

Allah tiada hendak membiarkan orang-orang beriman dalam keadaan kalian sekarang ini, hingga dipisahkan­Nya mana-mana yang jelek daripada yang baik. (Q.S. 3 Ali Imran: 179)

Dan mushibah yang telah menimpa kalian di saat ber­hadapannya dua pasukan, adalah dengan idzin Allah, yakni agar terbukti baginya orang-orang yang beriman!” (Q.S. 3 Ali Imran: 166)

Memang, demikianlah al-Quran mendidik putera dan para pendukungnya bahwa pengurbanan merupakan essensi atau sari dari keimanan, dan bahwa kepahlawanan menghadapi ke­kejaman dan kekerasan dihadapi dengan kesabaran, keteguhan dan pantang mundur, hanyalah akan membentuk keutamaan iman yang cemerlang dan medgagumkan …. Oleh sebab itu di kala sedang meletakkan dasarnya, me­mancangkan tiang-tiang dan mengemukakan model contohnya, hendaklah Agama Allah ini memperkukuh diri dengan pengur­banan  dan membersihkan jiwa dengan pengurbanan harta , maka terpilihlah untuk kepentingan mulia ini beberapa orang putera, para pemuka dan tokoh-tokoh utamanya untuk men­jadi ikutan sempurna dan teladan istimewa bagi orang-orang beriman yang menyusul kemudian!

Maka Sumayyah …. Yassir . . . , dan ‘Ammar dari golongan luar biasa yang beroleh barkah ini, adalah pilihan dari taqdir, yang dengan pengurbanan, ketekunan dan keuletan mereka itu, dapat memateri kebesaran dan keabadian Islam secara kuat dan kukuh …. Telah kita katakan tadi bahwa Rasulullah saw. tiap hari berkunjung ke tempat disiksanya keluarga Yasir, mengagumi ketabahan dan kepahlawanannya . . . , sementara hatinya yang mulia bagaikan hancur karena santun dan belas kasihan menyaksikan mereka menerima siksa yang tak terderitakan lagi.

Pada suatu hari ketika Rasulullah saw. mengunjungi mereka, ‘Ammar memanggilnya, katanya: “Wahai Rasulullah, adzab yang kami derita telah sampai ke puncak”. Maka seru Rasulullah saw.: “Shabarlah, wahai Abal Yaqdhan …. “Shabarlah, wahai keluarga Yasir …. “Tempat yang dijanjikan bagi kalian ialah Surga ….. Siksaan yang dialami oleh ‘Ammar dilukiskan oleh kawan-wannya dalam beberapa riwayat. Berkata ‘Amax bin Hakam: ‘Ammar itu disiksa sampai-sampai ia tak menyadari apa Yang diucapkannya”.

Berkata pula ‘Ammar bin Maimun: “Orang-orang musyrik membakar ‘Ammar bin Yasir dengan api. Maka Rasulullah saw. lewat di tempatnya lalu meme­gang kepalanya dengan tangan beliau, sambil bersabda: “Hai api, jadilah kamu sejuk dingin di tubuh ‘Ammar, sebagaimana dulu kamu juga sejuk dingin di tubuh Ibrahim … “ Bagaimanapun juga, semua bencana itu tidaklah dapat menekan jiwa ‘Ammar, walau telah menekan punggung dan menguras tenaganya. Ia baru merasa dirinya benar-benar celaka, ketika pada suatu hari tukang-tukang cambuk dan para pen­deranya menghabiskan segala daya upaya dalam melampiaskan kedhaliman dan kekejiannya . . . . , semenjak hukuman bakar dengan besi panas, sampai disalib di atas pasir panas dengan ditindih batu laksana bara merah, bahkan sampai ditenggelam­kan ke dalam air hingga sesak nafasnya dan mengelupas kulit­nya yang penuh dengan luka.

Pada hari itu, ketika ia telah tak sadarkan diri lagi karena siksaan yang demikian berat, orang-orang itu mengatakan ke­padanya: “Pujalah olehmu tuhan-tuhan kami!”, lalu diajarkan mereka kepadanya kata-kata pujaan itu, sementara ia meng­ikutinya tanpa menyadari apa yang diucapkannya. Ketika ia siuman sebentar akibat dihentikannya siksaan, ‘tiba-tiba ia sadar akan apa yang telah diucapkannya …. maka hilanglah akalnya dan terbayanglah di ruang matanya betapa besar kesalahan yang telah dilakukannya, suatu dosa besar Yang tak dapat ditebus dan diampuni lagi . . . , hingga beberapa saat dirasakannya siksaan orang-orang musyrik terhadap dirinya sebagai obat pembalur luka dan suatu keni’matan juga – - – -! Dan seandainya ia dibiarkan dalam perasaan itu agak beberapa jam saja, tak dapat tiada tentulah akan membawa ajalnya Ammar dapat bertahan menanggungkan semua siksa yang ditimpakan atas tubuhnya, ialah karena jiwanya sedang berada ada kondisi puncak. Tetapi sekarang ini, demi disangkanya iwanya telah  menyerah kalah, maka dukacita dan sesal kecewa hampir saja menghabiskan tenaga dan melenyapkan nyawanya Tetapi iradat Allah Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi telah memutuskan agar peristiwa yang mengharukan itu mendapat titik kesudahan yang amat luhur Dan tangan wahyu yang penuh berkah itu pun terulurlah menjabat tangan ‘Ammar, bila menyampaikan ucapan selamat kepadanya: “Bangunlah hai pahlawan . . . .! Tak ada sesalan atasmu dan tak ada cacat …. !

Ketika Rasulullah saw. menemui shahabatnya itu didapati­ya ia sedang menangis, maka disapunyalah tangisnya itu dengan tangan beliau seraya sabdanya: “Orang-orang kafir itu telah menyiksamu dan menengge­lamkanmu ke dalam air sampai kamu mengucapkan begini dan begitu …. ? “Benar”, wahai Rasulullah “, ujar ‘Ammar sambil meratap. Maka sabda Rasulullah sambil tersenyum: “Jika mereka memaksamu lagi, tidak apa, ucapkanlah seperti apa yang kamu katakan tadi …. !” Lalu dibacakan Rasullulah  kepadanya ayat mulia seperti ini: Kecuali orang yang dipaksa, sedang hatinya tetap teguh dalam keimanan …. (Q.S. 16 an-Nahl: 106)

Kembalilah ‘Ammar diliputi oleh ketenangan dan dera yang menimpa tubuhnya bertubi-tubi tidak terasa sakit lagi, dan apa juga yang akan terjadi, terjadilah dan ‘a tidak akan peduli. jiwanya berbahagia, keimanannya di fihak yang menang! ucaapan yang dikeluarkan secara terpaksa itu dijamin bebas oleh Al-Qur’an , maka apa lagi yang akan dirisaukannya . . . ? ‘Ammar menghadapi cobaan dan siksaan itu dengan ketabahan luar biasa, hingga pendera-penderanya merasa lelah dan menjadi lemah, dan bertekuk lutut di hadapan tembok keimanan yang maka kukuh …. ! Setelah pindahnya Rasulullah saw. ke Medinah, Kaum Muslimin tinggal bersama beliau bermukim di sana, secepatnya masyarakat Islam terbentuk dan menyempurnakan barisannya. Maka di tengah-tengah masyarakat Islam yang beriman ini ‘Ammar pun mendapatkan kedudukan yang tinggi …. Rasulullah saw. amat sayang kepadanya, dan beliau sering membanggakan keimanan dan ketaqwaan ‘Ammar kepada para shahabat.

Bersabda Rasulullah saw.: “Diri ‘Ammar dipenuhi keimanan sampai ke tulang pung­gungnya …. ! “ Dan sewaktu terjadi selisih faham antara Khalid bin Walid dengan ‘Ammar, Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang memusuhi ‘Ammar, maka ia akan dimusuhi Allah, dan siapa yang membenci ‘Ammar, maka ia akan dibenci Allah!” Maka tak ada pilihan bagi Khalid bin Walid pahlawan Islam itu selain segera mendatangi ‘Ammar untuk mengakui kekhilafannya dan meminta ma’af …. !

Suatu peristiwa terjadi pula ketika Rasulullah saw. bersama para shahabat mendirikan mesjid di Madinah, yakni tiada lama setelah kepindahannya ke sana. Imam Ali karamallahu wajhah menggubah sebuah bait sya’ir yang didendangkan berulang-ulang diikuti oleh Kaum Muslimin yang sedang bekerja itu, dan baitnya adalah sebagai berikut: “Orang yang memakmurkan mesjid nilainya tidak sama . bekerja sambil duduk di sini berdiri di sana … Sedang pemalas lari menghindar tertidur di sana . . . Kebetulan waktu itu ‘Ammar sedang bekerja di salah satu sisi bangunan. la juga turut berdendang, mengulang-ulangnya dengan nada tinggi …. Salah seorang kawan menyangka bahwa ‘Ammar bermaksud dengan nyanyian itu hendak menonjolkan dirinya, hingga di antara mereka terjadi pertengkaran dan keluar kata­-kata yang menunjukkan kemarahan. Mendengar itu Rasulullah murka, sabdanya: “Apa maksud mereka terhadap ‘Ammar Diserunya mereka ke Surga, tapi mereka hendak meng­ajaknya ke neraka …. ! Sungguh, ‘Ammar adalah biji mataku sendiri …. Jika Rasulullah saw. telah menyatakan kesayangannya terhadap seorang Muslim demikian rupa, pastilah keimanan orang itu, kecintaan dan jasanya terhadap Islam, kebesaran jiwa dan ke­tulusan hati serta keluhuran budinya telah mencapai batas dan puncak kesempurnaan …. !

Demikian halnya ‘Ammar …. Berkat ni’mat dan petunjuk-Nya, Allah telah memberikan kepada ‘Ammar ganjaran setimpal, dan menilai takaran kebaikannya secara penuh. Hingga disebabkan tingkatan petunjuk dan ke­yakinan yang telah dicapainya, maka Rasulullah menyatakan kesucian imannya dan mengangkat dirinya sebagai contoh teladan bagi para shahabat, sabdanya: “Contoh dan ikutilah setelah kematianku nanti Abu Bakar dan Umar . . . , dan ambillah pula hiclayah yang dipakai ‘Ammar untuk jadi bimbingan!”

Mengenai perawakannya, para ahli riwayat melukiskannya sebagai berikut: la adalah seorang yang bertubuh tinggi dengan bahunya yang bidang dan matanya yang biru …. seorang yang amat pendiam dan tak suka banyak bicara …. Nah, bagaimanakah kiranya garis kehidupan raksasa pendiam yang bermata biru dan berdada lebar, serta tubuhnya penuh dengan bekas-bekas siksaan kejam, dan di waktu yang bersamaan jiwanya telah ditempa dengan ketabahan yang amat mengagum­kan dan kebesaran yang luar biasa . . . ? Bagaimanakah jalan kehidupan yang ditempuh oleh pengikut yang jujur dan Mu’min yang tulus serta pejuang yang berani mati ini.
Sungguh telah diterjuninya bersama Rasulullah sebagai gurunya semua perjuangan bersenjata, baik Badar, Uhud, Khan­daq, Tabuk . . . pendeknya semua tanpa kecuali …. Dan tatkala Rasulullah telah mendahuluinya ke ar 

Rafiqul A’la, maka raksasa ini tidaklah berhenti, tetapi melanjutkan perjuangannya terus ­menerus …. Di kala Kaum Muslimin berhadap-hadapan dengan kaum Perri dan Romawi, begitu juga ketika menghadapi pasukan kaum murtad, ‘Ammar selalu berada di barisan pertama . . . , sebagai seorang prajurit yang gagah perkasa dengan tebasan pedangnya yang tak pernah meleset, ia sebagai seorang Mu’min yang shalih dan mulia tidak satu pun yang dapat menghalanginya dalam mencapai ridla Allah.

Dan tatkala Amirul Mu’minin Umar memilih calon-calon wali negeri secara cermat dan hati-hati bagi Kaum Muslimin, maka matanya tetap tertuju dan tak hendak beralih dari ‘Ammar bin Yasir …. Ia segera menemuinya dan mengangkatnya sebagai wali negeri Kufah dengan Ibnu Mas’ud sebagai Bendaharanya. Dan kepada penduduknya Umar menulis sepucuk Surat berita gembira dengan diangkatnya wali negeri baru itu, katanya:
“Saya kirim kepada tuan-tuan ‘Ammar bin Yasir sebagai ‘Amir, dan Ibnu Mas’ud sebagai Bendahara dan Wazir … Kedua mereka adalah orang-orang pilihan, dari golongan shahabat Muhammad saw, dan termasuk pahlawan-pahlawan Badar. . . .!”

Dalam melaksanakan pemerintahan, ‘Ammar melakukan suatu sistim yang rupanya tidak dapat diikuti oleh orang-orang yang rakus akan dunia, hingga mereka mengadakan atau hampir mengadakan persekongkolan terhadap dirinya …. Pangkat dan jabatannya itu tidak menambah kecuali keshalihan, zuhud dan kerendahan hatinya. Salah seorang yang hidup semasa dengannya di Kufah, yaitu Ibnu Abil Hudzail, bercerita: “Saya lihat ‘Ammar bin Yasir sewaktu menjadi ‘Amir di Kufah, membeli sayuran di pasar lalu mengikatnya dengan tali dan memikulnya di atas punggung, dan membawanya pulang . . . .”. Dan salah seorang awam  berkata kepadanya sewaktu ia menjadi Amir di Kufah : “ hai orang yang telinganya  terpotong! “, menghinanya dengan telinga yang putus ketika menghadapi orang-orang murtad di pertempuran Yamamah, tetapi jawaban Amir yang memegang tampuk kekuasaan itu tidak lebih dari: “Yang kamu cela itu adalah telingaku yang terbaik …. Karena ia ditimpa kecelakaan waktu perang fi sabilil­lah…. “. Memang telinganya putus dalam perang sabil di Yamamah . , yakni salah satu di antara hari-hari gemilang bagi ‘Ammar . . . Raksasa ini maju bagaikan angin topan dan menyerbu ,barisan tentara Musailamatul Kadzab sehingga melumpuhkan  kekuatan musuh ….
Ketika dilihatnya gerakan Muslimin mengendor segera dibangkitkannya semangat mereka dengan seruannya yang gemuruh, hingga mereka kembali maju menerjang bagaikan anak  panah yang lepas dari busurnya ….
Abdullah bin Umar r.a. menceritakan peristiwa itu sebagai berikut:

“Waktu perang Yamamah saya lihat ‘Ammar sedang berada di atas sebuah batu karang. Ia berdiri sambil berseru: “Hai Kaum Muslimin, apakah tuan-tuan hendak lari dari Surga … ?Inilah saya ‘Ammar bin, Yasir, kemarilah tuan tuan …. !” Ketika saya melihat dan memperhatikannya, kiranya sebelah telinganya telah putus beruntai-untai, sedang ia berperang dengan amat sengitnya  . . .” Wahai, barangsiapa yang masih meragukan kebesaran Mu­hammad saw., seorang Rasul yang benar dan guru yang sem­purna, baiklah ia berdiri sejenak di hadapan contoh-contoh yang telah ditunjukkan oleh para pengikut dan shahabatnya, lalu bertanya kepada dirinya: “Siapakah yang akan mampu me­ngemukakan teladan dan contoh luhur ini kalau bukan seorang Rasul mulia dan maka guru utama?” Jika mereka menerjuni suatu perjuangan di jalan Allah, pastilah mereka akan maju ke depan bagaikan orang yang hendak mencari maut dan bukan merebut kemenangan …. ! Jika mereka para khalifah dan hakim-hakim pengadilan, maka mereka takkan keberatan memerahkan susu untuk wanita janda tua atau mengadon tepung roti untuk anak-anak yatim, sebagai dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar …. ! Dan jika mereka para pembesar, maka mereka takkan malu dan merasa segan untuk memikul makanan yang dhkat dengan tali di atas punggung mereka, seperti kita saksikan pada ‘Ammar; atau menyerahkan gaji yang menjadi haknya lalu pergi menjalin daun kurma untuk kantong atau bakul sebagai yang diperbuat olen Salman …. !

Wahai, marilah kita tekurkan kening dan tundukkan kepala kita, sebagai ta’dhim dan penghormatan kepada Agama yang telah mengajari mereka semua, dan kepada Rasulullah yang telah mendidik mereka …. dan sebelum Agama serta Rasulullah itu, terutama kepada Allah yang Maha tinggi dan Maha Agung, yang telah memilih mereka untuk semua ini, serta menjadikan mereka sebagai pelopor dan sebaik-baik ummat yang pernah dilahirkan sebagai teladan bagi seluruh manusia .

Ketika itu Hudzaifah ibnul Yaman seorang yang ahli tentang bahasa rahasia dan bisikan ghaib, sedang berkemas-kemas menghadapi panggilan Illahi atau menghadapi sekarat mautnya. Kawan­kawannya yang sedang berkumpul sekelilingnya menanyakan kepadanya: “Siapakah yang harus kami ikuti menurutmu, jika terjadi pertikaian di antara ummat … ?” Sambil mengucapkan kata-katanya yang akhir, Hudzaifah menjawab:
“Ikutilah oleh kalian Ibnu Sumayyah, karena sampai matinya ia tak hendak berpisah dengan kebenaran … . !”

Benar, ‘Ammar akan tetap mengikuti kebenaran itu ke mana saja perginya . . . . Dan sekarang sementara kita menyelusuri jejak langkahnya, dan menyelidiki peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupannya, marilah kita pergi menghampiri suatu peristiwa besar ….!Hanya sebelum kita memperhatikan kejadian yang mempesona dan amat mengharukan itu, baik tentang keutamaan dan kesempurnaannya, tentang kemampuan dan keunggulannya, maupun tentang kegigihan dan kesung­guhannya.

Marilah kita perhatikan lebih dulu suatu peristiwa lain yang terjadi sebelumnya, ialah ungkapan Rasulullah mengenai peristiwa yang akan menimpa ‘Ammar di kemudian hari! Hal itu terjadi tidak lama setelah menetapnya Kaum Mus­limin di Madinah. Dan Rasul al-Amin yang dibantu oleh shaha­bat-shahabatnya yang budiman sibuk dalam membaktikan diri kepada Rabb mereka, membina rumah dan mendirikan mesjid-Nya. Hati yang beriman dipenuhi kegembiraan dan sinar harapan  menyampaikan puji dan syukur kepada Allah …!

Semua bekerja dengan riang gembira . . . ,semua mengangkat batu .Mengaduk pasir dengan kapur atau mendirikan tembok, sekelompok di sini dan sekelompok lagi di sana, sedang cakrawala  bahagia bergema dipenuhi nyanyian mereka yang dikumandangkan dengan suara merdu dan seronok: “Andainya kita duduk-duduk berpangku tangan, sedang Nabi sibuk bekerja tak pernah diam …. Maka perbuatan kita adalah perbuatan sesat lagi menyesat­kan. Pemikian mereka bernyanyi dan berdendang. Lalu alunan suara mereka menyanyikan lagu lainnya: “Ya Allah, hidup bahagia adalah hidup di akhirat Berilah rahmat Kaum Anshar dan Kaum Muhajirat …. setelah itu terdengar pula lagu ketiga; “Apakah akan sama nilainya        ? Orang yang bekerja membina masjid Sibuk bekerja, baik berdiri maupun duduk Dengan yang menyingkir berpangku tangan…….

Tak ubahnya mereka bagai anai-anai yang sedang sibuk bekerja, bahkan mereka adalah balatentara Allah yang me­manggul bendera-Nya dan membina bangunan-Nya.

Sementara Rasulullah yang budiman lagi terpercaya tak hendak terpisah dari mereka, mengangkat batu yang paling berat dan melakukan pekerjaan yang paling sukar . . . . dan alunan suara mereka yang sedang berdendang melukiskan ke­gembiraan yang tulus dan hati yang pasrah . . . , sedang langit tempat mereka bernaung berbangga diri terhadap bumi tempat mereka berpijak . . . , pendeknya kehidupan yang penuh gairah sedang menyelenggarakan pesta pora yang paling meriah.

Maka di tengah-tengah khalayak ramai yang sedang hilir mudik itu, kelihatanlah ‘Ammar bin Yasir sedang mengangkat batu besar dari tempat pengambilannya ke perletakannya. Tiba-tiba “rahmat kurnia Allah” yakni Muhammad Rasul­ullah melihatnya, dan rasa santun belas kasihan telah membawa beliau mendekatinya, dan setelah berhampiran maka tangan beliau yang penuh barkah itu mengipaskan debu yang menutupi kepala ‘Ammar lalu dengan pandangan yang dipenuhi nur Ilahi diamat-amati wajah yang beriman diliputi ketenangan itu, kemu­dian bersabda di hadapan semua shahabatnya: “Aduhai Ibnu Sumayyah, ia dibunuh oleh golongan pendurhaka …. , Ramalan ini diulangi oleh Rasulullah sekali lagi . . . , ke­betulan bertepatan dengan ambruknya dinding di atas tempat ‘Ammar bekerja, hingga sebagian kawannya menyangka bahwa ia tewas yang menyebabkan Rasulullah meratapi kematiannya itu. Para shahabat sama terkejut dan menjadi ribut karenanya, tetapi dengan nada menenangkan dan penuh kepastian, Rasul­ “Tidak, ‘Ammar tidak apa-apa, hanya nanti ia akan di­bunuh oleh golongan pendurhaka Maka wahai, siapakah kiranya yang dimaksud dengan golonggan tersebut ….

Dan bilakah Berta di manakah terjadinya peristiwa itu……. ‘Ammar mendengarkan ramalan itu dan meyakini kebenaran pandangan tembus yang disingkapkan oleh Rasul yang utama. Tetapi ia tidak merasa gentar, karena semenjak menganut Islam ia telah dicalonkan untuk menghadapi maut dan mati syahid di setiap detik baik siang maupun malamDan hari-hari pun berlalu tahun demi tahun silih berganti. Rasulullah saw. telah kembali ke tempat tertinggi disusul oleh Abu Bakar ke tempat ridla Ilahi …. lalu berangkat­ pula Umar pergi mengiringi …. Setelah itu khilafat dipegang oleh Dzun Nurain Utsman bin ‘Affan ….

Sementara itu musuh-musuh Islam yang bergerak di bawah tanah, berusaha menebus kekalahannya di medan tempur dengan jalan menyebarluaskan fitnah …. Terbunuhnya Umar merupakan hasil pertama yang dicapai oleh atau subversi ini, yang gerakannya merembes ke Madinah tak ubahnya bagai angin panas, dan bergerak dari negeri yang kerajaan dan singgasananya telah dibebaskan oleh ummat  islam Berhasillah usaha mereka terhadap umar membangkitkan minat dan semangat mereka untuk melanjutkan, mereka sebarkan fitnah  dan menyalakan apinya ke sebagian besar negeri-negeri islam. Dan mungkin Ustman r.a tidak memperhatikan perhatian khusus  terhadap masalah ini hingga terjadi pula yang menyebabkan syahidnya ustman dan terbukanya pintu fitnah yang melanda kaum muslimin . . .

Mu’awiyah bangkit hendak merebut jabatan khalifah dari tangan khalifah Ali karamallahu wajhah yang baru diangkat dan dibai’at. Dan pendirian shahabat pun bermacam-macam, ada yang menghindar dan mengunci diri di rumahnya, dengan mengambil ucapan Ibnu Umar sebagai semboyannya: “Siapa yang menyerukan marilah shalat, saya penuhi …. Dan siapa yang mengatakan: marilah mencapai bahagia, saya turuti . . . . Tetapi yang mengatakan: marilah bunuh saudaramu yang Muslimin dan marilah rampas harta bendanya, maka saya jawab: tidak. . .!” Di antara mereka ada yang berpihak kepada Mu’awiyah. Dan ada pula yang berdiri mendampingi Ali, membai’at dan pengang­katannya sebagai khalifah Kaum Muslimin …. Dan tahukah anda di pihak mana ‘Ammar berdiri waktu itu? pihak siapakah berdirinya laki-laki yang mengenai dirinya Rasulullah saw. pernah bersabda: “Dan ambillah olehmu petunjuk yang dipakai oleh ‘Ammar sebagai bimbingan . . . !” bagaimanakah pendirian orang yang mengenai dirinya Rasulullah saw. pernah pula bersabda: “Barangsiapa yang memusuhi ‘Ammar, maka ia akan di­musuhi oleh Allah . . . !”

orang yang bila suaranya kedengaran mendekat ke rumah Rasulullah, maka beliau segera menyambut dengan sabdanya: “Selamat datang bagi orang baik dan diterima baik . . . , idzinkanlah ia masuk  . . . !” la berdiri di samping Ali bin Abi Thalib, bukan karena fanatik atau berpihak, tetapi karena tunduk kepada kebenaran teguh memegang janji! Ali adalah Khalifah Kaum Muslimin, berhak menerima bai’at sebagai pemimpin ummat. Dan khilafat itu diterimanya, karena memang ia berhak untuk itu dan layak untuk menjabatnya …. Baik sebelum maupun sesudah ini, Ali memiliki keutamaan­tamaan yang menjadikan kedudukannya di samping Rasul­ tak ubah bagai kedudukan Harun di samping Musa …. Dengan cahaya pandangan ruhani dan ketulusannya, ‘Ammar selalu mengikuti kebenaran ke mana juga perginya, dapat mengetahui pemilik hak satu-satunya dalam perselisihan ini. Dan menurut keyakinannya, tak seorang pun berhak atas hal ini dewasa itu selain Imam Ali, oleh sebab itulah ia berdiri di sampingnya ….

Dan Ali r.a. sendiri merasa gembira atas sokongan yang diberikannya itu, inungkin tak ada kegembiraan yang lebih besar daripada itu, hingga keyakinannya bahwa ia berada di pihak Yang benar kian bertambah, yakni selama tokoh utama pencinta kebenaran ‘Ammar datang kepadanya dan berdiri di sisinya …. Kemudian datanglah saat perang Shiffin yang mengerikan itu. Imam Ali menghadapi pekerjaan penting ini sebagai tugas memadamkan pembangkangan dan pemberontakan. Dan ‘Ammar ikut bersamanya. Waktu itu usianya telah 93 tahun ….

Apa dalam usia 93 tahun ia masih pergi ke medan juang Benar . . . , selama menurut keyakinannya peperangan itu menjadi tugas kewajibannya, Bahkan ia melakukannya lebih semangat dan dahsyat dari yang dilakukan oleh orang-orang muda berusia 30 tahun …. Tokoh yang pendiam dan jarang bicara ini hampir saja tidak menggerakkan kedua bibirnya, kecuali mengucapkan kata-kata mohon perlindungan berikut: “Aku berlindung kepada Allah dari fitnah …. Aku berlindung kepada Allah dari fitnah . . . .”. Tak lama setelah Rasulullah wafat, kata-kata ini merupakan do’a yang tak putus lekang dari bibirnya. Dan setiap hari ber­lalu setiap itu pula ia memperbanyak do’a dan mohon perlin­dungannya itu . . . , seolah-olah hatinya yang suci merasakan bahaya mengancam yang semakin dekat dan menghampiri juga.

Dan tatkala bahaya itu tiba dan fitnah merajalela, Ibnu Sumayyah telah mengerti di mana ia harus berdiri. Maka di hari perang Shiffin walaupun sebagai telah kita katakan usianya telah 93 tahun, ia bangkit menghunus pedangnya, demi membela kebenaran yang menurut keimanannya harus dipertahankan. Pandangan terhadap pertempuran ini telah dima’lumkannya dalam kata-kata sebagai berikut:
“Hai ummat manusia! Marilah kita berangkat menuju gerombolan yang mengaku­ng-aku hendak menuntutkan bela Utsman!

Demi Allah! Maksud mereka bukanlah hendak menuntutkan belanya itu, tetapi sebenarnya mereka telah merasakan manisnya dunia dan telah ketagihan terhadapnya, dan mereka mengetahui bahwa kebenaran itu menjadi penghalang bagi pelampiasan nafsu serakah mereka. Mereka bukan yang berlomba dan tidak termasuk barisan pendahulu memeluk Agama Islam. Argumentasi apa sehingga mereka merasa berhak untuk ditaati oleh Kaum Muslimin dan diangkat sebagai pemimpin, dan tidak pula dijumpai dalam hati mereka perasaan takut kepada Allah, yang akan mendorong mereka untuk mengikuti kebenaran . . . !
Mereka telah menipu orang banyak dengan mengakui hendak menuntutkan bela kematian Utsman, padahal tujuan mereka Yang sesungguhnya ialah hendak menjadi raja dan penguasa adikara …. ! “

Kemudian diambilnya bendera dengan tangannya, lalu dikibarkannya tinggi-tinggi di atas kepada sambil berseru: “Demi Dzat yang menguasai nyawaku…Saya telah bertempur dengan mengibarkan bendera ini bersama Rasul­ullah saw., dan inilah aku siap berperang pula dengan mengibarkannya sekarang ini …! Demi nyawa saya berada dalam tangan-Nya … Seandainya mereka menggempur dan menyerbu hingga ber­hasil mencapai kubu pertahanan kita, saya tahu pasti bahwa kita berada di pihak yang haq, dan bahwa mereka di pihak Yang bathil …. ! “

Orang-orang mengikuti ‘Ammar, mereka percaya kebenaran  ucapannya. Berkatalah Abu Abdirrahman Sullami: “Kami ikut serta dengan Ali r.a. di pertempuran Shiffin, maka saya lihat ‘Ammar bin Yasir r.a. setiap ia menyerbu ke sesuatu jurusan, atau turun ke sesuatu lembah, para shahabat Rasulullah pun mengikutinya, tak ubahnya ia bagai panji-panji bagi mereka …. ! “ Dan mengenai ‘Ammar sendiri, sementara ia menerjang dan menyusup ke medan juang, ia yakin akan menjadi salah seorang syuhadanya . . . . Ramalan Rasulullah saw. terang terpampang di ruang matanya dengan huruf-huruf besar: “Ammar akan dibunuh oleh golongan pendurhaka … !
.
Oleh sebab itu suaranya bergema di serata arena dengan senandung ini: “Hari ini daku akan berjumpa dengan para kekasih tercinta …. Muhammad dan para shahabatnya…….. !” Kemudian bagai sebuah peluru dahsyat ia menyerbu ke arah Mu’awiyah dan orang-orang sekelilingnya dari golongan Bani Umayyah, lalu melepaskan seruannya yang nyaring yang menggetarkan: “Dulu kami hantam kalian di saat diturunkannya. Kini kami hantam lagi kalian karena menyelewengkannya Tebasan maut menghentikan niat jahat Dan memisahkan kawanan pengkhianat Atau al-Haq berjalan kembali pada relnya”.

Maksudnya dengan sya’irnya itu, bahwa para shahabat yang terdahulu dan ‘Ammar termasuk salah seorang di antara mereka. Dulu telah memerangi golongan Bani Umayyah yang dikepalai oleh Abu Sufyan ayah Muawiyah pemanggul panji‑ panji syirik dan pemimpin tentara musyrikin …… Mereka perangi orang-orang itu karena secara terus terang al-Quran menitahkan­nya disebabkan mereka adalah orang-orang musyrik.
Dan sekarang di bawah pimpinan Muawiyah, walaupun mereka telah menganut Islam dan meskipun al-Quranul Karim tidak menitahkan secara tegas memerangi mereka, tetapi menurut ijtihad ‘Ammar dalam penyelidikannya mengenai kebenaran dan pengertiannya terhadap maksud dan tujuan al-Quran , meyakin­kan dirinya akan keharusan memerangi mereka, sampai barang yang dirampas itu kembali kepada pemiliknya, serta api fitnah dan pemberontakan itu dapat dipadamkan untuk selama­-lamanya ….

Juga maksudnya, bahwa dulu mereka memerangi orang-orang Bani Umayyah karena mereka kafir kepada Agama dan kafir ‘kepada al-Quran …. Dan sekarang mereka menggempur orang­-orang itu karena mereka menyelewengkan Agama dan menyim­pang dari ajaran al-Quranul Karim serta mengacaukan ta’wil dan salah menafsirkannya, dan mencoba hendak menyesuaikan tujuan ayaat-ayatnya dengan kemauan dan keinginan mereka pribadi Maka tokoh tua yang berusia 93 tahun ini menerjuni akhir perjuangan hidupnya yang menonjol dengan gagah berani. Dan ‘sebelum ia berangkat ke rafiqul ‘la, ia tanamkan pendidikan terakhir tentang keteguhan hati membela kebenaran, dan di­tinggalkannya sebagai contoh teladan perjuangannya yang besar dan mulia lagi berkesan dan mendalam ….

Orang-orang dari pihak Mu’awiyah mencoba sekuat daya ntuk menghindari ‘Ammar, agar pedang mereka tidak me­nyebabkan kematiannya hingga ternyata bagi manusia bahwa merekalah golongan pendurhaka ……
Tetapi keperwiraan ‘Ammar yang berjuang seolah-olah ia satu pasukan tentara juga, menghilangkan pertimbangan dan akal sehat mereka. Maka sebagian dari anak buah Mu’awiyah mengintai-ngintai kesempatan untuk menewaskannya, hingga telah kesempatan itu terbuka mereka laksanakanlah dan wallah ‘Ammar di tangan tentara Mu’awiyah………..

Sebagian besar dari tentara Mu’awiyah terdiri dari orang­rang yang baru saja masuk Agama Islam, yakni orang-orang yang menganutnya tidak lama setelah bertalu-talunya genderang menangan terhadap kebanyakan negeri yang dibebaskan islam, baik dari kekuasaan Romawi maupun dari penjajahan Persi. Maka mereka inilah sebenarnya yang menjadi biang keladi dan menyalakan api perang saudara yang dimulai oleh pem­bangkangan Mu’awiyah dan penolakannya untuk mengakui Ali sebagai Khalifah dan Imam …Jadi mereka inilah yang bagaikan kayu bakar menyalakan apinya hingga jadi besar dan menggejolak.
Dan bagaimana juga gawatnya pertikaian ini, sedianya akan dapat diselesaikan dengan jalan damai andainya masih terpegang dalam tangan Muslimin pertama. Tetapi demi bentuknya jadi meruncing, ia jatuh ke dalam tokoh-tokoh kotor yang tidak peduli akan nasib Islam hingga api kian menyala dan tambah berkobar ….

Berita tewasnya ‘Ammar segera tersebar dan ramalan Rasul­ullah saw. yang didengar oleh semua shahabatnya sewaktu mereka sedang membina masjid di Madinah di masa yang telah jauh sebelumnya, berpindah dari mulut-ke mulut: “Aduhai Ibnu Sumayyah …. ia dibunuh oleh golongan pendurhaka!” Maka sekarang tahulah orang-orang siapa kiranya golongan pendurhaka itu . . . , yaitu golongan yang membunuh ‘Ammar …. yang tidak lain dari pihak Mu’awiyah …. !

Dabat di atas jasadnya, maka ruhnya yang mulia telah bersemayam lena di tempat bahengan kenyataan ini semangat dan kepercayaan pengikut­-pengikut Ali kian bertambah. Sementara di pihak Mu’awiyah, keraguan mulai menyusup ke dalam hati mereka, bahkan sebagian telah bersedia-sedia hendak memisahkan diri dan ber­gabung ke pihak Ali …. Mengenai Mu’awiyah, demi mendengar peristiwa yang telah terjadi ia segera keluar mendapatkan orang banyak dan me­nyatakan kepada mereka bahwa ramalan itu benar adanya, dan Rasulullah benar-benar telah meramalkan bahwa ‘Ammar akan dibunuh oleh golongan pemberontak . . . . Tetapi siapakah yang telah membunuhnya itu . . . . ? Kepada orang-orang sekeliling diserukannya: “Yang telah membunuh ‘Ammar ialah orang-orang yang keluar bersama dari rumahnya dan membawanya pergi berperang …. !

Maka tertipulah dengan ta’wil yang dicari-cari ini orang-­orang yang memendam maksud tertentu dalam hatinya, semen­tara pertempuran kembali berkobar sampai saat yang telah ditentukan …. Adapun ‘Ammar, ia dipangku oleh Imam Ali ke tempat,Ia menshalatkannya bersama Kaum Muslimin, lalu dimakamkan dengan pakaiannya! Benar, dengan pakaian yang dilumuri oleh darahnya yang bersih suci! Karena tidak satu pun dari sutera atau beludru dunia yang layak untuk menjadi kain kafan bagi seorang syahid mulia, seorang suci utama dari tingkatan Ammarr Dan Kaum Muslimin pun berdiri keheran-heranan di kubur­nya …Semenjak beberapa saat yang lalu ‘Ammar berdendang di depan mereka di atas arena perjuangan . .. , hatinya penuh dengan kegembiraan, tak ubah bagai seorang perantau yang merindukan kampung halaman tiba-tiba dibawa pulang, dan terlompatlah dari mulutnya seruan: “Hari ini aku akan berjumpa dengan para kekasih ter­cinta. . . . Dengan Muhammad saw. dan para shahabatnya………….

Apakah ia telah mengetahui hari yang mereka janjikan akan bertemu dan waktu yang sangat ia tunggu-tunggu Para shahabat saling jumpa-menjumpai dan bertanya: “Apakah anda masih ingat waktu sore hari itu di Madinah, ketika kita sedang duduk-duduk bersama Rasulullah saw. . . . , dan tiba-tiba wajahnya berseri-seri lalu sabdanya: “Surga telah merindukan ‘Ammar.. . . “. ”Benar”, ujar yang lain. “dan waktu itu juga disebutnya nama­ nama lain , di antaranya ‘Ali, Salman dan Bilal .

Nah, bila demikian halnya, maka surga benar-benar telah merindukan ‘Ammar … ‘ Dan jika demikian, maka telah lama surga merindukannya, sedang kerinduannya tertangguh, me­nunggu ‘Ammar menyelesaikan kewajiban dan memenuhi tanggung jawabnya . . . . Dan tugas itu telah dilaksanakannya dan dipenuhinya dengan hati gembira. Maka sekarang ini, tidakkah sudah selayaknya ia memenuhi panggilan rindu yang datang menghimbau dari haribaan surga

Memang, datanglah saatnya ia mengabulkan panggilan itu, karena tak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula …Demikianlah dilemparkannya tombaknya, dan setelah itu ia pergi berlalu …. Dan ketika tanah pusaranya didatarkan oleh para shahabat di atas jasadnya, maka ruhnya yang mulia telah bersemayam lena di tempat bahagia …. nun di sana dalam surga yang kekal abadi, yang telah lama rindu menanti….

(14)  
AMMAAR IBN YAASIR  
A Man of Paradise! 


       If there were people born in Paradise, reared and brought to maturity there, and then brought to earth to adorn and enlighten it, then `Ammaar, his mother Sumaiyah and his father Yaasir would be of them! 

       But why do we say "if" and why do we make that condition when Yaasir's family were really of Paradise? Allah's Messenger (PBUH) was not merely pacifying them when he said, "Patience, O Yaasir's family. Verily, your meeting place will be in Paradise." He was declaring a fact which he knew and reiterating an actuality perceived by him.  

        `Ammaar's father, Yaasir lbn Aamir, left his native place in Yemen seeking a brother of his. In Makkah he found an appealing place, so he settled there and was in alliance with Abu hudhaifah Ibn Al- Mughirah, who married him to one of his slave women, Sumaiyah Bint khaiyaat. Out of this blessed marriage Allah granted the parents a son, Ammaar. Their embracing of Islam was early, like that of the righteous ones guided by Allah. And like the early righteous Muslims as well, they had their good share of the Quraish's persecution and terror.  

        The Quraish used to waylay the believers to attack them. If the believers were among the honorable and noble people in their community, the Quraish would pursue them with threats and menace. Abu Jahl would meet one of the believers and tell him, " You abandoned your forefathers' religion and they were better than you. We will spoil your character, degrade your honor, reduce your trade, and exhaust your money." They would then launch a heated war of nerves upon him.  

        If the believers were among the weak, poor, or slaves of Makkah, then the Quraish would burn them with the fire of persecution.  

       Yaasir's family belonged to that class. The order for their persecution was handed to Bani Makhzuum. They used to take them all - Yaasir, Sumaiyah and `Ammaar - to the burning desert of Makkah, where they would pour upon them different kinds of the hell of torture.  

        Sumaiyah's share of that torment was colossal and terrible. We shall not elaborate about her now, since we shall have - Allah willing - another encounter with her and her likes during those immortal days to talk about the grace of sacrifice and the glory of her firmness. Suffice it to mention now, without any exaggeration, that Sumaiyah, the martyred one, maintained a firm stance that day which gives the whole of humanity an everlasting honor and an ever glorious dignity. Her stance made of her a great mother to believers in all ages, and to the honorable people of all times.  

        The Messenger (PBUH) used to go where he knew Yaasir's family were tortured. He did not have at that time any means of resistance or keeping harm from them. This was Allah's will, because the new faith - the faith of lbraahiim Al-Hanufan (Abraham the true) - which was revealed to Muhammad was not a casual and passing reform movement. It was a way of life for the whole humanity of believers who had to inherit along with the religion all its history of heroism, sacrifices, and risks. These abundant noble sacrifices are the cement and the foundation that grant an everlasting firmness and immortality to the faith and the creed. It is the fragrance that fills the hearts of believers with loyalty, joy, and happiness. It is the lighthouse that guides the coming generations to the reality of religion, to its truth and greatness.  

 Therefore, Islam had to make its sacrifices and have its victims, the meaning of which is illustrated and illuminated in more than one verse of the Qur'aan for the Muslims. Allah says: "Do the people think that they will be left to say: "We believe", and they shall not be tried?" (29 : 2).  

        "Do you think that you will enter Paradise before Allah tests those of you who fought (in His Cause) and (also) tests those who remained patient?" (3:142).  

        "And we indeed tested those who were before them. And Allah will certainly make (it) known (the truth of) those who are true, and will certainly make (it) known (the falsehood of) those who are liars, (although Allah knows all that before putting them to test)" (29 : 3).  

        "Do you think you shall be left alone while Allah has not yet tested those among you who have striven hard..." (9 : 16).  

        "Allah will not leave the believers in the state in which you are now, until He distinguishes the wicked from the good." (3 179).  

        "And what you suffered (of the disaster) on the day (of the Battle of Uhud when) the two armies met, was by the leave of Allah, in order that He might test the believers" (3 : 166).  

      That is true. This was the way the Qur'aan taught its bearers and descendants that sacrifice is the essence of faith and that resistance of unjust, oppressive challenges is through firmness, patience, and persistence, which form the best and the most superb virtues of faith.  

        Therefore, this religion of Allah, when it was laying down its foundation, establishing its principles, and giving its models and examples, had to support and purify itself with sacrifice. In carrying out this great mission, a number of its disciples, supporters, and righteous people were chosen to be lofty models and elevated examples for the coming believers.  

        Sumaiyah, Yaasir and `Ammaar were of this great and blessed group, chosen by Islam's destiny to make of their sacrifices, firmness, and persistence a document of Islam's greatness and immortality.  

        We said that Allah's Messenger (PBUH) used to go out every day to Yaasir's family, commending their fortitude and heroism. His big heart was melting out of mercy and kindness to see them so severely tortured. One day while he was looking for them, `Ammaar called to him, "O Messenger of Allah, we are suffering from extreme torment." The Messenger called to him saying, "Patience, Abu Yaqdhaan, patience O Yaasir's family. Verily, your meeting place will be in Paradise."  

        `Ammaar's companions described the torture that was inflicted upon him in many of their reports. `Amr lbn Al-jiakam, for instance, said, "`Ammaar used to be tortured so much that he would not be aware of what he was saying." `Amr lbn Maimuun said, "The polytheists scorched `Ammaar lbn Yaasir with fire, and Allah's Messenger (PBUH) used to pass by him, pass his hand over Yaasir's head and say,. "O fire, be cool and peaceful on `Ammaar, as you were cool and peaceful on lbraahiim."  

        Despite that overwhelming terror, it did not vanquish `Ammaar's spirit, though it overburdened his back and strained his strength.  

        `Ammaar did not feel utterly ruined except on that day when his executioners employed all their devilry in crime and injustice. They burned his skin with fire, laid him on the heated sands of the desert under the burning stones, ducked him in water until he could hardly breathe and until his wounds and gashes were skinned. On that day, when he fell unconscious under the effect of that horror, they said to him, "Say something good about our gods." They kept saying things which he repeated without being conscious of what he was saying.  

When he became slightly conscious after he had fainted due to their torture, he remembered what he had said and was mad about it. This slip became so concrete to him that he saw it as an unforgivable sin which could not be atoned for. In a few moments his feeling of guilt made him suffer so much that the torture of the polytheists seemed to him a blessing and a balm.  

        If he had been left to such feelings for a few hours, they would have destroyed him. He was enduring the dreadful anguish of the body because his spirit was lofty, but now when he thought defeat had reached his spirit, he was overburdened with worries and fear of death and destruction. But Almighty Allah willed that the final, exciting scene would come to its dignified end. An angel stretched out its blessed right hand, shook the hand of Ammaar and called to him, "Get up, O hero! There is no blame or embarrassment for you."  

        When Allah's Messenger (PBUH) met him, he found him crying. He kept wiping his tears and telling Ammaar, "The polytheists took you, ducked your head in water, and you said such and such a thing?" `Ammaar answered him, still crying, "Ye, O Messenger of Allah." Allah's Messenger (PBUH) said then while smiling, "If they repeat it, say the same thing." Then he recited the glorious Qur'aanic verse:". . . except him who is forced thereto and whose heart is at rest with Faith.. "(16: 106)  

       Ammaar's tranquility was restored, he no longer felt pain when they punished him, and he no longer cared about it. His spirit conquered and his faith conquered. The Qur'aan had included this blessed transaction, so whatever happened, happened.  

        Ammaar remained steadfast until his tormenters were exhausted and they retreated, yielding to his determination.  
   
The Muslims settled in Al-Madiinah after the Hijrah of their Messenger (PBUH). The Islamic community there began to take shape very fast and complete itself. Within that group of believers, `Ammaar was allocated a dignified position. Allah's Messenger loved him greatly and used to boast among his Companions about Ammaar's faith and guidance. He said about him, "Verily, `Ammaar is filled to the bones with faith."  

        When a slight misunderstanding happened between khaalid lbn Al-Waliid and `Ammaar, the Messenger (PBUH) said, "Whoever antagonizes Ammaar is antagonized by Allah, and whoever detests `Ammaar is detested by Allah." Thereupon, Khaalid Ibn Al-Waliid, Islam's hero, had to hasten to Ammaar, apologizing to him and hoping for his sincere forgiveness.  

       When the Messenger (PBUH) and his Companions were building the mosque in Al-Madiinah, after their arrival there, Imam Aliy (May Allah glorify his face) composed a song and kept on repeating it with 
other Muslims, saying:  
         He who frequents the mosques,  
        Remaining there standing and sitting, 
       Is not equal to the one who keeps away from dust. 
   
        `Ammaar was working at the side of the mosque, so he kept repeating the song, raising his voice. One of his companions thought that Ammaar was disparaging him. He therefore said some angry words, which angered the Messenger of Allah, and he said, "What is their business with `Ammaar? He calls them to Heaven and they call him to Hell. To me, `Ammaar is but a skin between my eyes and my nose. 
   
        When the Messenger of Allah loves a man that much, this man's faith, his accomplishment, his loyalty, his grace, his conscience, and manner have reached the top and ended at the pinnacle of allowed perfection.  

 That was `Ammaar. Allah had granted him abundant blessings and guidance. In the level of guidance and certitude, he reached a great height which made the Messenger (PBUH) commend his faith and raise him among the Companions as a model and an example, saying, "Take the examples of the two succeeding me, Abu Bakr and `Umar, and follow the guidance of "Ammaar. The narraters described him, saying, `He was tall, with bluish-black eyes, broad- shouldered, among the most silent of the people and the least talkative."  
  
        How did the life of that giant proceed, the silent, bluish-black-eyed, broad-shouldered man whose body bore the scars of the horrible torture and, at the same tim, the document of his amazing steadfastness and his extraordinary greatness?  
  
        How did the life of that loyal disciple, the true believer, the overawing sacrificer proceed?  
  
        He witnessed with his tutor and messenger all the battles: Badr, Uhud, Al-Khandaq and Tabuuk and others. When the Messenger of Allah (PBUH) passed away, the outstanding Companion continued his march. At the meeting of Muslims with Persians, with Romans, and, before that, at their meeting with the army of apostates, `Ammaar was always there in the first line, an honest, brave soldier who did not miss an opportunity.  
  
         He was a pious believer. No desire would take him away from Allah. When the Commander of the Faithful `Umar lbn Al-Khattaab chose governors for the Muslims meticulously and with reservation, his eyes usually fell on `Ammaar Ibn Yaasir in complete trust. That was how he hastened to him and made him the governor of Kufa, and made Ibn Mas'uud in charge with him of its treasury (Bait Al-Maal). He then wrote to the people of Kufa heralding the new governor and said, "I send you `Ammaar lbn Yaasir as a governor, and lbn Mas`uud as a teacher and a minister. They are of the distinguished people of Muhammad's Companions, and of the people of Badr." During his rule, `Ammaar followed a way which was hard for worldly people to endure so that they turned against him, or were about to. His rule made him more modest, more pious, and more ascetic.  

One of his contemporaries in Kufa, Ibn Abi Hudhail said about him, "I saw `Ammaar Ibn Yaasir when he was the governer of Kufa buying some vegetables. He tied them with a rope and carried them on his shoulders and went home."  
  
        One of the public said to him when he was the governor of Kufa, "O you whose ear is cut off." He was scorning him because of his ear which had been cut off by the swords of the apostates during the Yamaamah War. The governor, in whose hands was the power of rule, merely said to his insulter, "You insulted the best part of my ear. It was injured in the cause of Allah."  
  
        It is true. It was injured in the cause of Allah on the Day of Yamaamah, which was one of `Ammaar's glorious days. This giant set out in stormy courage to annihilate the soldiers in the army of Musailamah the Liar, offering death and destruction. When he perceived a lack of enthusiasm among the Muslims, he sent his quaking shouts which pushed them as shot arrows.  

         `Abd Allah Ibn `Umar (May Allah be pleased with him) reported: I saw `Ammaar Ibn Yaasir on the Day of Yamaamah on a rock shouting, "O you Muslim people, are you running away from Paradise? I am `Ammaar lbn Yaasir, come to me." When I looked at him, I found his ear cut off and swinging while he was fighting fiercely. 

        If there is anyone who has his doubts concerning Muhammad (FBUH), the truthful Messenger and the perfect teacher, let him halt in front of these examples of his disciples and Companions and ask himself, "Is it possible for anyone to produce that refined style except a noble messenger and a great teacher?" If they were involved in a fight for Allah's cause, they hastened as if they were looking for death, not only for victory. If they were caliphs and rulers, the caliph went himself to milk the orphans' sheep and make their bread, as Abu Bakr and Umar did. If they were governors, they carried their food on their backs, tied with a rope, as `Ammaar did, or gave up their pay and set to making baskets and vessels out of plaited palm leaves, as Salmaan did. Should we not bow in salutation and respect to the faith that produced them and to the Messenger who raised them, and before all that to Almighty Allah Who chose them for that, guided them to it, and made them pioneers to the best nation of people on earth?  

       Hudhaifah Ibn Al-yammaan, the expert in the inner language, the language of the heart, was preparing to meet Allah and suffering from the agony of death when his companions surrounding him asked, "To whom should we go, if people differ?" Hudhaifah answered in his last words, "You should turn to Ibn Sumaiyah because he will not part from truth until death."  

       Yes, `Ammaar would turn with the truth wherever it went. Now while we trace his blessed direction and follow the landmarks of his great life, let us approach a momentous scene. But before watching that grand and graceful scene in its glory and perfection, in its sincerity and persistence, let us watch another scene preceding, foreshadowing, and preparing for it.  

        That scene was following the Muslims' settlement in Al Madiinah. The honest Messenger (PBUH) rose, surrounded by his righteous Companions, with unkempt hair and full of dust. They were establishing Allah's house and building His mosque. Their faithful hearts were filled with joy, glowed with delight, and murmured their thanks to Allah.  

        All were working in happiness and hope, carrying stone, mixing mortar, and erecting the building. There was a team here, another team over there. The happy horizon echoed the singing with which they raised with overjoyed voices: "If we stayed while the Prophet worked, it would be misguided work of ours." They sang in that manner, then their voices were raised in another song: "O Allah, living is but in the next world, then have mercy on the Ansaar and the Muhaajiruun!" Then a third song was raised:  
        He who frequents the mosques,  
        Remaining there standing and sitting, 
       Is not equal to the one who keeps away from dust.  
  
        They were cells working, Allah's soldiers, carrying His banner and erecting His building. The honest and kind Messenger was with them, carrying the heaviest of the stones and performing the hardest work. Their singing voices reflected the delight of their satisfied souls. Heaven above them filled the earth that bore them with delight, and bright life was witnessing its best celebrations.  
  
        `Ammaar Ibn Yaasir was there amidst the celebration, carrying the heavy stones from their quarries to their positions. When the guided mercy, Muhammad the Messenger of Allah saw him, he sympathized greatly with him. He approached him and removed the dust from his head with his kind hand. With looks filled with the light of Allah, he contemplated his innocent, faithful face and said in front of all the Companions. "Alas for Ibn Sumaiyah, killed by the tyrant group."  
  
        The foretelling was repeated once again when a wall `Ammaar was working beneath fell, and some brethren believed he was dead. They went to offer condolences to the Messenger (PBUH), and the Companions were shocked by the news, but the Messenger (PBUH) said reassuringly and confidently, "`Ammaar is not dead. The tyrant party will kill `Ammaar."  
  
        Who was this party? And where? When? `Ammaar listened to the prophecy in a way that showed he knew the great Messenger's truth of perception. Yet, he was not horrified. Since becoming a Muslim he had been expecting death and martyrdom every moment of the day and night.  
  
        Days and years passed. The Messenger (PBUH) went to the Supreme Companion, followed by Abu Bakr and then 'Umar (May Allah be pleased with them). `Uthmaan Ibn `Affaan, "The Man of Two Lights", became caliph. Conspiracies against Islam were doing their best, trying to gain by treachery and sedition what they lost in war. `Umar's death was the first success achieved by these conspiracies blowing on Al-Madiinah as a breeze of poison from those countries whose sovereignty and thrones Islam had destroyed. They were tempted by `Umar's martyrdom to continue their efforts, so they followed and awakened seditions in most Islamic countries. 

In addition, `Uthmaan might not have given the matter the attention, care, and response it deserved, so the incident happened and `Uthmaan was martyred and the doors of seditions were opened on the Muslims. Mu'aawiyah started fighting the new caliph, `Aliy (May Allah glorify his face) for his right in the matter and for the caliphate. The Companions had different stances. Some of them washed their hands of the whole matter and went home, making Ibn `Umar's words their motto:  
  
        To the one who says, "Come to prayer," I will respond. 
        To the one who says, "Come to success," I will respond. 
        But to the one who says, "Come to kill your Muslim brother and to take his money," I will say, "No."  

        Some Muslims were partial to Mu'aawiyah, others were partial to `Aliy, the one who demanded the pledge of allegiance to him as the Muslims' caliph. Where do you think `Ammaar would stand? Where should he stand, the man about whom the Messenger of Allah said, "Follow the guidance of `Ammaar," and, "Whoever antagonizes `Ammaar, will be antagonized by Allah"?  

        The man who, if he approached the house of Allah's Messenger (PBUH), the latter would say, "Welcome the good-scented, kind man, allow him to come in"?  

        He stood by `Aliy lbn Abi Taalib, not as a prejudiced, biased person, but as one complying with the truth and keeping his promise. `Aliy was the Caliph of the Muslims and had the pledge of allegiance to be its leader (lmam). He took the caliphate and he was worthy of it. Above all, `Aliy had the qualities that made his place to the Messenger of Allah as that of Haaruun (Aaron) to Muusaa (Moses). `Ammaar, who always turned towards the truth wherever it was to enlighten his insight and loyalty to the possessor of truth in that fight, turned to `Aliy on that day and stood by him. `Aliy (May Allah be pleased with him) was overjoyed with `Ammaar's pledge and trusted that he was right in his demand because the great man of truth, `Ammaar Ibn Yaasir, approached and went with him.  

        The terrible Day of siffiin arrived. Imam `Aliy came out to face the serious rebellion which he felt he had to curb. `Ammaar came out with him, and he was 93 years old then. Imagine, a man of 93 going to fight! It is true, as long as he believed that fighting was his responsibility and duty. In fact, he fought more strongly and better than a man of 30. He was the man who was constantly silent, who spoke little. When he moved his lips, he moved them to supplicate, "I seek Allah's protection from sedition. I seek Allah's protection from sedition."  

        And after the passing away of the Messenger of Allah, these words remained his constant supplication. As days passed, he used to seek Allah's protection more, as if his pure heart felt the coming danger as the days went on. When it did happen and the sedition occurred, Ibn Sumaiyah knew his place, so he stood in siffiin carrying his sword, a man of 93 to support a right which he believed should be supported.  

        He declared his opinion about that fighting: O people, let us be directed to the people who claim they are avenging 'Uthmaan. By Allah, their intention is not revenge, but they have tasted worldly things and are pleased with them. They know that truth keeps them away from what they enjoy of lust and their world. Those people had no precedent in the past to keep Muslims in obedience to them or in their support. Their hearts have not felt awe towards Allah to force them to follow the truth. They deceive thepeople by claiming they are avenging `Uthmaan's death. They seek nothing but to be tyrants and kings."  

        He then took the standard in his hand, raised ! high and fluttering above their heads and shouted, "By Allah in Whose hands my soul lies, I fought with this standard with the Messenger of Allah, and here I am fighting with it today. By Allah, if they defeat us until they reach the palm trees of Hajar, I would still believe we are in the right and they are following the wrong." People followed Ammaar and trusted his words.  

`Abu `Abd Ar-Rahman As-Sulamiy reported: "We witnessed with `Aliy (may Allah be pleased with him) the Battle of Siffiin, and I saw `Ammaar (may Allah be pleased with him) not taking one turn nor one of its valleys but the Companions of Muhammad (PBUH) would follow him as if he were their standard!"  

        When `Ammaar was engaged in the battle he knew he was one of its martyrs. The Messenger's prophecy was illuminated in big letters in front of his eyes, "The tyrant party will kill `Ammaar." For that reason his voice was ringing over the horizon of the battle with the following tune, "Today, I meet the dear ones, Muhammad and his Companions." He would then rush like a high arrow towards Mu'aawiyah's position and surround him, singing loudly:
We hit you at its first revelation,
Now we hit you again for its interpretation; 
A hitting that removes respect from one's eyes, 
And distracts the lover from his lass,
Or restores the right to its own place.  
  
        He meant by this that the former Companions of the Messenger (PBUH) -`Ammaar was one of them - had fought Umayyids in the past who were headed by Abu Sufyaan bearing the standard of polytheism and leading its army. They had fought them in the past as the glorious Qur'aan was openly commanding Muslims to fight disbelievers. As for today, even though they were Muslims and were not openly commanded by the Qur`aan to fight them, yet `Ammaar's search for truth and his comprehension of the aims and goals of the Qur'aan persuaded them to fight so that the usurped right would be restored to its people and the fire of rebellion and sedition would be extinguished once and for all. It also signified that in the past they fought Umayyids for their disbelief in faith and in the Qur'aan. Today they were fighting them for deviating from faith and their turning away from the Qur'aan, their wrong interand explanation, and their attempts to alter its verses and meaning to their aims and greedy wishes.  
  
        This man of 93 was involved in the last battle of his noble and brave life. He was giving the last lesson about perseverence in truth, and bequeathing to life the last of his great, honest, and edifying attitudes.  
  
        Mu`aawiyah's men attempted to avoid Ammaar as much as they could so as not to kill him with their swords and people would say they were the "tyrant party". Yet, `Ammaar was fighting as if he were a whole army and his bravery made them mad, so some of Mu'aawiyah's soldiers waited for a chance to hit him. 

        Mu'aawiyah`s army had many regular soldiers from among the new Muslims who had embraced Islam at the beating of the drums in the Islamic conquest in many of the countries liberated by Islam from the power of the Romans and Persians. Most of these soldiers were the fuel of the civil war caused by the rebellion of Mu'aawiyah and his refusal to pledge allegiance to `Aliy as Caliph and Imam. They were the fuel and the oil of the battle that enflamed it.  

        The disagreement, in spite of its seriousness, could have terminated peacefully if the affairs had remained with the early Muslims. However, it was no sooner formed than it was taken by many hands that did not care about the fate of Islam, and they kept adding fuel to the disagreement. At noon the news of `Ammaar's death spread, and the Muslims went on repeating to one another the prophecy of Allah's Messenger (PBUH) which had been heard by all the Companions on the day of the festival while building the mosque: "Alas for Ibn Sumaiyah, killed by the tyrant party."  

        Now people knew who was the "tyrant party". It was the one that had killed Ammaar, no other but Mu'aawiyah's party. Aliy's Companions became more and more convinced of this fact. As for Mu'aawiyah's party, their hearts became suspicious, and some prepared to mutiny and turn to Aliy.   No sooner did Mu'aawiyah hear of what had happened than he came out announcing to the people that the prophecy was right, and the Messenger (PBUH) really prophesied that `Ammaar was going to be killed by the tyrant party. But who killed `Ammaar? Then he shouted to the people of his party, "He was surely killed by those who came with him out of his house and brought him to the battle." Some people who were inclined towards that interpretation were deceived, and the battle continued till the end. 

        As for `Ammaar, Imam `Aliy carried him on his chest to where he and the other Muslims prayed, and then he was buried in his own clothes. Yes, in his blood-smeared clothes which had a pure and good smell. No silk material in the whole world could have been more suitable for the shroud of a graceful martyr and a great saint like `Ammaar.  

        Muslims stood at his grave wondering. A few hours before, `Ammaar had been singing over the battlefield, filled with the delight of the tired stranger who was returning happily home. He had been shouting, "Today I meet the dear ones, Muhammad and his Companions." Did he have a meeting time with them, an exact time to wait for him?  

        Some Companions approached each other, inquiring. One of them asked, "Do you remember the twilight of that day in Al Madiinah when we were sitting with allah's Messenger (PBUH) and suddenly his face brightened and he said, "Paradise is longing for `Ammaar'?" His friend answered, "Yes, on that day he mentioned others, among which were' `Aliy, Salmaan and Bilaal."  

        Paradise then was longing for `Ammaar. The longing remained for a long time while he was urging it to wait in order to accomplish all his tasks and complete the last of his achievements. He did them all following his conscience and feeling delight for his achievement. Was it not then time to comply with the call of longing coming from Paradise? Sure, it was: good is rewarded by good. That was how he threw aside his lance and went.  

        When the dust of his grave was being leveled on his body by his companions, his soul was embracing its happy destiny there in the eternity of Paradise that was longing for `Ammaar!.  


.¤ª"˜¨¯¨¨'Ammar Bin Yasir oo Ammaar Ibn Yaasir¸,ø¨¨"ª¤.