acebook




.¤ª"˜¨¯¨¨Abu Sufyan Bin Harits oAbu Sufyaan Ibn Al-Haarith¸,ø¨¨"ª¤. 
Habis gelap terbitlah terang. 


Ia adalah Abu Sufyan bin Harits, dan bukan Abu Sufyan bin Harb ayah Mu’awiyah. 

Kisahnya merupakan kisah kebenaran setelah kesesatan, sayang setelah benci dan bahagia setelah celaka …. Yaitu kisah tentang rahmat Allah yang pintu-pintu­nya terbuka lebar, demi seorang hamba menjatuhkan diri di haribaan-Nya, setelah penderitaan yang berlarut-larut … !Bayangkan, waktu tidak kurang dari 20 tahun yang dilalui Ibnul Harits dalam kesesatan memusuhi dan memerangi Islam ! 

Waktu 20 tahun, yakni semenjak dibangkitkan-Nya Nabi saw. sampai dekat hari pembebasan Mekah yang terkenal itu. Selama itu Abu Sufyan menjadi tulang punggung Quraisy dan sekutu-sekutunya, menggubah syair-syair untuk menjelekkan serta menjatuhkan Nabi, juga selalu mengambil bagian dalam peperangan yang dilancarkan terhadap Islam.Saudaranya ada tiga orang, yaitu Naufal, Rabi’ah dan Ab­dullah, semuanya telah lebih dulu masuk Islam. Dan Abu Sufyan ini adalah saudara sepupu Nabi, yaitu putera dari parnannya,. Harits bin Abdul Mutthalib. Di samping itu ia juga saudara sesusu dari Nabi karena selama beberapa hari disusukan oleh ibu susu Nabi, Halimatus Sa’diyah.

Pada suatu hari nasib mujurnya membawanya kepada per­untungan membahagiakan. Dipanggilnya puteranya Ja’far dan dikatakannya kepada keluarganya bahwa mereka akan bepergian. Dan waktu ditanyakan ke mana tujuannya, jawabnya, ialah:“Kepada Rasulullah, untuk menyerahkan diri bersama beliau kepada Allah Robbul’alamin … !”Demikianlah ia melakukan perjalanan dengan mengendarai kuda, dibawa oleh hati yang insaf dan sadar ….Di Abwa’ kelihatan olehnya barisan depan dari suatu pasukan besar. 

Maklumlah ia bahwa itu adalah tentara Islam yang menuju Mekah dengan maksud hendak membebaskannya. la bingung memikirkan apa yang hendak dilakukannya. Disebabkan sekian lamanya ia menghunus pedang memerangi Islam dan mengguna­kan lisannya untuk menjatuhkannya, mungkin Rasulullah telah menghalalkan darahnya, hingga ia bila tertangkap oleh salah seorang Muslimin, ia langsung akan menerima hukuman qiahas.

 Maka ia harus mencari akal bagaimana caranya lebih dulu menemui Nabi sebelum iatuh ke tangan orang lain.Abu Sufyan pun menyamar dan menyembunyikan identitas dirinya. Dengan memegang tangan puteranya Ja’far, ia berjalan kaki beberapa jauhnya, hingga akhirnya tampaklah olehnya Rasulullah bersama serombongan shahabat, maka ia menyingkir sampai rombongan itu berhenti. Tiba-tiba sambil membuka tutup mukanya, Abu Sufyan menjatuhkan dirinya di hadapan Rasulullah. Beliau memalingkan muka dari padanya, maka Abu Sufyan mendatanginya dari arah lain, tetapi Rasulullah masih menghindarkan diri daripadanya.

Dengan serempak Abu Sufyan bersama puteranya berseru: 
“Asyhadu alla ilaha illallah. Wa-asyhadu anna Mu.hammadar Rasulullah . . . . “. 

Lalu ia menghampiri Nabi saw. seraya kata­nya: “Tiada dendam dan tiada penyesalan, wahai Rasulullah”. Rasulullah pun menjawab: “Tiada dendam dan tiada penyesalan, wahai Abu Sufyan!” Kemudian Nabi menyerahkannya kepada Ali bin Abi Thalib, katanya:  ”Ajarkanlah kepada saudara sepupumu ini cara berwudlu dan sunnah, kemudian bawa lagi ke sini”.Ali membawanya pergi, dan kemudian kembali. Maka kata Rasulullah: “Umumkanlah kepada orang-orang bahwa Rasulullah telah ridla kepada Abu Sufyan, dan mereka pun hendaklah ridla pula. . .Demikianlah hanya sekejap saat . . . ! Rasulullah bersabda: “Hendaklah kamu menggunakan masa yang penuh berkah … !” 

Maka tergulunglah sudah masa-masa yang penuh kesesatan dan kesengsaraan, dan terbukalah pintu rahmat yang tiada ter­batasAbu Sufyan sebetulnya hampir saja masuk Islam ketika melihat sesuatu yang mengherankan hatinya ketika perang Badar, yakni sewaktu ia berperang di pihak Quraisy. Dalam peperangan itu, Abu Lahab tidak ikut serta, dan mengirimkan ‘Ash bin Hisyam sebagai gantinya. Dengan hati yang harap-harap cemas, ia menunggu-nunggu berita pertempuran, yang mulai berdatangan menyampaikan kekalahan pahit bagi pihak Quraisy.

Pada suatu hari, ketika Abu Lahab sedang duduk dekat sumur Zamzam bersama beberapa orang Quraisy, tiba-tiba kelihatan oleh mereka seorang berkuda datang menghampiri Setelah dekat, ternyata bahwa ia adalah Abu Sufyan bin Harits.Tanpa menunggu lama Abu Lahab memanggilnya, katanya: —”Mari ke sini hai keponakanku! Pasti kamu membawa berita! Nah, ceritakanlah kepada kami bagaimana kabar di sana … !”Ujar Abu Sufyan bin Harits:  ”Demi Allah! Tiada berita, kecuali bahwa kami menemui suatu kaum yang kepada mereka kami serahkan leher-leher kami, hingga mereka sembelih sesuka hati mereka dan mereka tawan kami semau mereka . . . !

 Dan Demi Allah! Aku tak dapat menyalahkan orang-orang Quraisy . . . ! Kami berhadapan dengan orang-orang serba putih mengen­darai kuda hitam belang putih, menyerbu dari antara langit dan bumi, tidak serupa dengan suatu pun dan tidak terhalang oleh suatu pun . . . !”yang dimaksud Abu Sufyan dengan mereka ini ialah para malaikat yang ikut bertempur di samping Kaum MusliminMenjadi suatu pertanyaan bagi kita, kenapa ia tidak beriman ketika itu, padahal ia telah menyaksikan apa yang telah disaksikannya?Jawabannya ialah bahwa keraguan itu merupakan jalan kepada keyakinan. Dan betapa kuatnya keraguan Abu Sufyan bin Harits, demikianlah pula keyakinannya sedemikian kukuh dan kuat jika suatu ketika ia dating nanti . . . 

Nah, saat petun­juk dan keyakinan itu telah tiba, dan sebagai kita lihat, ia Islam, menyerahkan dirinya kepada Tuhan Robbul’alamin… !Mulai dari detik-detik keislamannya, Abu Sufyan mengejar dan menghabiskan waktunya dalam beribadat dan berjihad, untuk menghapus bekas-bekas masa lalu dan mengejar ketinggal­annya selama ini . . – .Dalam peperangan-peperangan yang terjadi setelah pem­pembebasan Mekah ia selalu ikut bersama Rasulullah. Dan di waktu perang Hunain orang-orang musyrik memasang perangkapnya dan menyiapkan satu pasukan tersembunyi, dan dengan tidak diduga-duga menyerbu Kaum Muslimin hingga barisan1 mereka porak poranda.

Sebagian besar tentara Islam cerai berai melarikan diri, tetapi Rasulullah tiada beranjak dari kedudukannya, hanya berseru:
 “Hai manusia . . . ! Saya ini Nabi dan tidak dusta . . Saya adalah putra Abdul Mutthalib … !”

Maka pada saat-saat yang maha genting itu, masih ada bebe­rapa gelintir shahabat yang tidak kehilangan akal disebabkan serangan yang tiba-tiba itu. Dan di antara mereka terdapat Abu Sufyan bin Harits dan puteranya Ja’far.Waktu itu Abu Sufyan sedang memegang kekang kuda Rasulullah. Dan ketika dilihatnya apa yang terjadi, yakinlah ia bahwa kesempatan yang dinanti-nantinya selama ini, .yaitu berjuang fisabilillah sampai menemui syahid dan di hadapan Rasulullah, telah terbuka. Maka sambil tak lepas memegang tali kekang dengan tangan kirinya, ia menebas batang leher musuh dengan tangan kanannya.

Dalam pada itu Kaum Muslimin telah kembali ke medan pertempuran sekeliling Nabi mereka, dan akhirnya Allah mem­beri mereka kemenangan mutlak.Tatkala suasana sudah mulai tenang, Rasulullah melihat berkeliling . . . . Kiranya didapatinya seorang Mu’min sedang memegang erat-erat tali kekangnya. Sungguh rupanya semenjak berkecamuknya peperangan sampai selesai, orang itu tetap berada di tempat itu dan tak pernah meninggalkannya. Rasulullah menatapnya lama-lama, lalu tanyanya: “Siapa ini . . . ? Oh, saudaraku, Abu Sufyan bin Harits. . . !” 

Dan demi didengarnya Rasulullah mengatakan “saudaraku”, hatinya bagaikan terbang karena bahagia dan gembira. Maka diratapinya kedua kaki Rasulullah, diciuminya dan dicucinya dengan air matanya ….Ketika itu bangkitlah jiwa penyairnya, maka digubahnya pantun menyatakan kegembiraan atas keberanian dan taufik yang telah dikaruniakan Allah kepadanya:

‘Warga Ka’ab dan ‘Amir sama mengetahui
Di pagi hari Hunain ketika barisan telah cerai berai
Bahwa aku adalah seorang ksatria berani mati
Menerjuni api peperangan tak pernah nyali
Semata mengharapkan keridlaan Ilahi
Yang Maha Asih dan kepada-Nya sekalian urusan akan kembali”.

Abu Sufyan menghadapkan dirinya sepenuhnya kepada ibadat. Dan sepeninggal Rasulullah saw. ruhnya mendambakan kepadaan agar dapat menemui Rasulullah di kampung akhirat. Demikianlah walaupun nafasnya masih turun naik, tetapi ke­padaan tetap menjadi tumpuan hidupnya … !

Pada suatu hari, orang melihatnya berada di Baqi’ sedang menggali lahad, menyiapkan dan mendatarkannya. Tatkala orang-orang menunjukkan keheranan mereka, maka katanya: “Aku sedang menyiapkan kuburku …. “.Dan setelah tiga hari berlalu, tidak lebih, ia terbaring di rumahnya sementara keluarganya berada di sekelilingnya dan sama menangis. 

Dengan hati puas dan tenteram dibukanya matanya melihat mereka, lalu katanya:  ”Janganlah daku ditangisi, karena semenjak masuk Islam tidak sedikit pun daku berlumur dosa … ! “Dan sebelum kepalanya terkulai di atas dadanya, diangkat­kannya sedikit ke atas seolah-olah hendak menyampaikan selamat tinggal kepada dunia fana ini ….



(50)  
ABU SUFYAAN IBN AIHAARITH  
From Darkness to Light! 


        Here is another Abu Sufyaan, a different one than Abu Sufyaan Ibn Harb. His story is one of being guided after straying from the path of truth, a story of love after hatred, happiness after suffering. It is the story of Allah's infinite mercy and how it opened the gates to someone seeking Allah's refuge after a long journey full of hardship and suffering.  
  
      Can you imagine, lbn Al-Haarith spent 20 years in a continuous fight against Islam! Twenty years from the beginning of the revelation until the Day of the Conquest. During this whole period Abu Sufyaan was encouraging the Quraish and their allies, attacking the Prophet (PBUH) by means of satires, never absent when a battle or fight was fought. His three brothers, Nawfal, Rabii'ah, and `Abd Allah, converted to Islam before him. 

        The Abu Sufyaan whom we are talking about was the cousin of the Prophet (PBUH), as he was the son of Al-Haarith Ibn `Abd Al Muttalib. Furthermore, he was the foster brother of the Prophet (PBUH), having been suckled for a few days by Haliimah Al Sa'diyah, the Prophet's wet-nurse.  

       One day destiny called him to meet his happy fate. He called his son Ja'far and said to his men that they were both going to travel. "Where to, Ibn Al-Haarith? What is your destination?" "To the Messenger of Allah (PBUH) to submit ourselves to Allah, Lord of the Worlds."  

        With a repenting heart he began to ride his horse. At a place called Al-Abuwaa', he could see a great army approaching. Soon he realized that it was the Prophet (PBUH) moving forward to enter Makkah. He began to search for a way out. The Messenger of Allah (PBUH) had allowed the Companions to shed Abu Sufyaan's blood because of his long continuous fight against Islam, a fight in which he used his sword as well as his tongue.  

       If anyone in the approaching army saw him, he would no doubt take revenge. Therefore Abu Sufyaan had to find a clever way which would enable him to meet the Messenger of Allah (PBUH) first before any Muslim could see him. He disguised himself, hiding all his features, then took his son and walked a while until he could clearly see the Prophet (PBUH), who at that moment was approaching amidst a large number of the Companions.  

       Suddenly, Abu Sufyaan threw himself between the Prophet's hands, removing his disguise.

As soon as the Prophet (PBUH) recognized him, he turned his face. Abu Sufyaan turned and approached him from another direction, in vain; the Prophet turned his face again. Abu Sufyaan and his son Ja'far both shouted, "We bear witness that there is no god but Allah.We bear witness that Muhammad is the Messenger of Allah." They came nearer saying, "O Prophet, no reproach!" The Prophet (PBUH) replied, "No reproach shall be upon you, Abu Sufyaan." Then the Prophet (PBUH) handed him over to `Aliy Ibn Abi Taalib and said to him, "Teach your cousin ablution, the Sunnah and take him away right now." `Aliy took him and soon returned. The Prophet (PBUH) told `Aliy, " Tell people that the Prophet (PBUH) is pleased with Abu Sufyaan, so be pleased with him."  

       It was nothing more than a moment which Allah blessed in order to close a period of suffering, misery, hardship, and error while opening the gates of infinite mercy.  

       He nearly converted to Islam when, during the Battle of Badr, while fighting on the side of the Quraish, he saw something that confused his mind.  

        During that battle Abu Lahab stayed behind, sending Al-'Aas Ibn Hishaam in his place. Abu Lahab was waiting eagerly to hear the news when the shocking defeat was announced. He was sitting near the well of Zamzam in the middle of a group of the Quraish, when a horseman approached. It was Abu Sufyaan Ibn Al-Haarith. Abu Lahab did not give him a chance to rest, but asked him immediately, "Come nearer, my cousin. You have the latest news ! How was it?" Abu Sufyaan Ibn Al-Haarith said, "By Allah, we had hardly begun fighting when it was as if we offered them our bodies, let them do with us whatever they wanted, let them fight us as they pleased, took us prisoners as they liked. I swear, by Allah, I do not blame the Quraish, as we met white men riding piebald horses filling the space between heaven and earth. Nothing is like to them, nothing could stop them."  

        Abu Sufyaan surely meant that angels were fighting on the Prophet's side. 

Why is it then that Abu Sufyaan did not submit Himself to Allah at that time after having seen what he first described?  

        Doubt paves the way to certainty. The more obstinate and opinionated his doubt, the firmer and more persistent his conviction. Finally, it was the day of guidance and certainty, the day of his conversion as previously mentioned.  

       From the very beginning, from the first moments after his conversion, he began to strive and to worship as if entering a race with time, hoping to erase all traces of his past to compensate for what he had missed during that time.  

        He took part in all the battles after the Day of the Conquest. On the Day of Hunain a very dangerous trap was prepared by the polytheists, who attacked the Muslims so fiercefully that a great deal of Muslim warriors lost their reason and retreated, but the Prophet (PBUH) stood firm appealing, "O people, I'm the Prophet, it's not a lie. I'm the son of `Abd Al-Muttalib."  

        During those fearful moments, a small group, not losing their reason, continued fighting. Among them was Abu Sufyaan and his son Ja'far. Abu Sufyaan was holding the bridle of the Prophet's horse, but when he saw what happened, he felt deeply that his chance had finally come, the chance of dying as a martyr in the cause of Allah, between the Prophet's hands.  
  
      He held the horse's bridle with one hand while cutting the throats of the polytheists with the other. 

        The Muslims regrouped around the Prophet (PBUH) and Allah blessed them with victory. Although the fight was over, when the Prophet (PBUH) looked around he could see a faithful believer still holding his horse's bridle. It was Abu Sufyaan, who had not left his place since the battle began. The Prophet (PBUH) glanced and asked, "Who is it? My brother Abu Sufyaan Ibn Al-Haarith?" Immediately after hearing the word "brother" Abu Sufyaan's heart was filled with joy and dignity. He knelt down and kissed the Prophet's feet, crying. His poetic sensibility was so much moved that he began to describe his joy and happiness because Allah had blessed him with so much braver and success.  

        Abu Sufyaan turned to worship and adore Allah very persistently. It was after the Prophet's death when his soul longed for its meeting with the Prophet. He had desired for a long time to die soon, to the extent that people saw him digging out his grave at Al-Baqii', a grave which he prepared and arranged in a very nice way. When people expressed their astonishment he just said, "I'm preparing my grave."  

      Three days later he was lying at home, when his relatives began to cry and weep. When he opened his eyes, he said in complete "Don't cry. I didn't commit a single sin since I converted tranquility, to Islam."  

        Before his head fell upon his chest he said his last farewell to the world.


.¤ª"˜¨¯¨¨Abu Sufyan Bin Harits oAbu Sufyaan Ibn Al-Haarith¸,ø¨¨"ª¤. 





Categories: