acebook




.¤ª"˜¨¯¨¨Utsman Bin Mazh'un oo 'Uthmaan Ibn Madh'uun¸,ø¨¨"ª¤.
Yang pernah mengabaikan kesenangan hidup duniawi. 

Seandainya anda hendak bermaksud menyusun daftar nama shahabat Rasulullah saw. menurut urutan masa masuknya ke dalam Agama Islam, maka pada urutan keempat belas tentulah da akan tempatkan Utsman bin Mazh’un …. Anda ketahui pula bahwa Utsman bin Mazh’un ini seorang muhajirin yang mula pertama wafat di Madinah, sebagaimana ia adalah orang Islam pertama yang dimakamkan di Baqi’. Dan akhirnva ketahuilah bahwa shahabat mulia yang sedang anda tela’ah riwayat hidupnya sekarang ini, adalah seorang suci yang agung tapi bukan dari kalangan yang suka memencil­an diri, ia seorang suci yang terjun di arena kehidupan …. ! dan kesuciannya itu berupa amal yang tidak henti-hentinya dalam menempuh jalan kebenaran, serta ketekunannya yang pantang menyerah dalam mencapai kemashlahatan dan ke­baikan.

Tatkala Agama Islam cahayanya mulai menyinar dari kalbu Rasulullah saw. dan dari ucapan-ucapan yang disampaikannya di beberapa majlis, baik secara diam-diam maupun terang-terang­, maka Utsman bin Mazh’un adalah salah seorang dari bebe­rapa gelintir manusia yang segera menerima panggilan Ilahi dan menggabungkan diri ke dalam kelompok pengikut Rasul­ullah . . . . Dan ia ditempa oleh berbagai derita dan siksa, sebagai­mana dialami oleh orang-orang Mu’min lainnya, dari golongan berhati tabah dan shabar . . Ketika Rasulullah saw. mengutamakan keselamatan golongan kecil dari orang-orang beriman dan teraniaya ini, dengan jalan menyuruh mereka berhijrah ke Habsyi, dan beliau siap meng­hadapi bahaya seorang diri, maka Utsman bin Mazh’un terpilih sebagai pemimpin rombongan pertama dari muhajirin ini. Dengan membawa puteranya yang bernama Saib, dihadapkannya muka dan dilangkahkannya kaki ke suatu negeri yang jauh, meng­hindar dari tiap daya musuh Allah Abu Jahal, dan kebuasan orang Quraisy serta kekejaman siksa mereka ….

Dan sebagaimana muhajirin ke Habsyi lainnya pada kedua -hijrah tersebut, yakni yang pertama dan yang kedua, maka tekad dan kemauan Utsman untuk berpegang teguh pada Agama Islam kian bertambah besar.

Memang, kedua hijrah ke Habsyi itu telah menampilkan corak perjuangan tersendiri yang mantap dalam sejarah ummat Islam. Orang-orang yang beriman dan mengakui kebenaran Rasulullah saw. serta mengikuti Nur Ilahi yang diturunkan kepada beliau, telah merasa muak terhadap pemujaan berhala dengan segala kesesatan dan kebodohannya. Dalam diri mereka masing-masing telah tertanam fitrah yang benar yang tidak bersedia lagi menyembah patung-patung yang dipahat dari batu atau dibentuk dari tanah liat.

Dan ketika mereka berada di Habsyi, di sana mereka meng­hadapi suatu agama yang teratur dan tersebar luas, mempunyai gereja-gereja, rahib-rahib serta pendeta-pendeta. Serta agama itu jauh dari agama berhala yang telah mereka kenal di negeri mereka, begitu juga cara penyembahan patung-patung dengan bentuknya yang tidak asing lagi serta dengan upacara-upacara ibadat yang biasa mereka saksikan di kampung halaman mereka. Dan tentulah pula orang-orang gereja di negeri Habsyi itu telah , berusaha sekuat daya untuk menarik orang-orang muhajirin ke dalam agama mereka, dan meyakinkan kebenaran agama Masehi.

Tetapi semua yang kita sebutkan tadi mendorong Kaum Muhajirin berketetapan hati dan tidak beranjak dari kecintaan mereka yang mendalam terhadap Islam dan terhadap Muhammad ,Rasulullah saw. Dengan hati rindu dan gelisah mereka menunggu suatu saat yang telah dekat, untuk dapat pulang ke kampung halaman tercinta, untuk ber’ibadat kepada Allah yang Maha Esa dan berdiri di belakang Nabi Besar, baik dalam mesjiddi waktu damai, maupun di medan tempur di saat memper­tahankan diri dari ancaman kaum musyrikin ….

Demikianlah Kaum Muhajirin tinggal di Habsyi dalam ke­adaan aman dan tenteram, termasuk di antaranya Utsman bin Mazh’un yang dalam perantauannya itu tidak dapat melupakan rencana-rencana jahat saudara sepupunya Umayah bin Khalaf an bencana siksa yang ditimpakan atas dirinya.Maka dihiburlah dirinya dengan menggubah sya’ir yang berisikan sindiran dan peringatan terhadap saudaranya itu, katanya: . .
“Kamu melengkapi panah dengan bulu-bulunya
Kamu runcing ia setajam-tajamnya
Kamu perangi orang-orang yang suci lagi mulia
Kamu celakan orang-orang yang berwibawa
Ingatlah nanti saat bahaya datang menimpa
Perbuatanmu akan mendapat balasan dari rakyat jelata.

Dan tatkala orang-orang muhajirin di tempat mereka hijrah itu beribadat kepada Allah dengan tekun serta mempelajari ayat-ayat al-Quran yang ada pada mereka, dan walaupun dalam perantauan tapi memiliki jiwa yang hidup dan bergejolak . . . , tiba-tiba sampailah berita kepada mereka bahwa orang-orang Quraisy telah menganut Islam, dan mengikuti Rasulullah ber­sujud kepada Allah.

Maka bangkitlah orang-orang muhajirin mengemasi barang­-barang mereka, dan bagaikan terbang mereka berangkat ke Mekah, dibawa oleh kerinduan dan didorong cinta pada kampung halaman. . Tetapi baru Saja mereka sampai di dekat kota, ter­nyatalah berita tentang masuk Islamnya orang-orang Quraisy itu hanyalah dusta belaka. Ketika itu mereka merasa amat terpukul karena telah berlaku ceroboh dan tergesa-gesa. Tetapi betapa mereka akan kembali, padahal kota Mekah telah berada di hadapan mereka … ? Dalam pada itu orang-orang musyrik di kota Mekah telah mendengar datangnya buronan yang telah lama mereka kejar­-kejar dan pasang perangkap untuk menangkapnya. Dan sekarang . . . datanglah sudah saat mereka, dan nasib telah membawa mereka ke tempat ini.

Perlindungan, ketika itu merupakan suatu tradisi di antara tradisi-tradisi Arab yang memiliki kekudusan dan dihormati. Sekiranya ada seorang yang lemah yang beruntung masuk dalam perlindungan salah seorang pemuka Quraisy, maka ia akan berada dalam suatu pertahanan yang kokoh, hingga darahnya tak boleh ditumpahkan dan keamanan dirinya dan perlu di­khawatirkan.

Sebenarnya orang-orang yang mencari perlindungan itu tidaklah sama kemampuan mereka untuk mendapatkannya. Itulah sebabnya hanya sebagian kecil saja yang berhasil, ter­masuk di antaranya Utsman bin Mazh’un yang berada dalam perlindungan Walid bin Mughirah. Ia masuk ke dalam kota Mekah dalam keadaan aman dan tenteram, dan menyeberangi jalan serta gang-gangnya, menghadiri tempat-tempat pertemuan tanpa khawatir akan kedhaliman dan marabahaya.

Tetapi Ibnu Mazh’un, laki-laki yang ditempa al-Quran dan dididik oleh Muhammad saw. ini memperhatikan keadaan se­kelilingnya. Dilihatnya saudara-saudara sesama Muslimin, yakni golongan faqir miskin dan orang-orang yang tidak berdaya, tiada mendapatkan perlindungan dan tidak mendapatkan orang yang sedia melindungi mereka ….Dilihatnya mereka diterkam bahaya dari segala jurusan, dikejar kedhaliman dari setiap jalan. Sementara ia sendiri aman tenteram, terhindar dari gangguan bangsanya. Maka ruhnya yang biasa bebas itu berontak, dan perasaannya yang mulai bergejolak, dan menyesallah is atas tindakan yang telah di­ambilnya.

Utsman keluar dari rumahnya dengan niat yang bulat dan tekad yang pasti hendak menanggalkan perlindungan yang dipikul Walid. Selama itu perlindungan tersebut telah menjadi penghalang baginya untuk dapat meni’mati derita di jalan Allah dan kehormatan senasib sepenanggungan bersama saudaranya  Kaum Muslimin merupakan tunas-tunas dunia beriman dan generasi alam baru yang esok pagi akan ter­pancar cahaya ke seluruh penjuru, cahaya keimanan dan ke­tauhidan ….

Maka marilah kita dengar cerita dari saksi mata yang melukiskan bagi kita peristiwa yang telah terjadi, katanya: “Ketika Utsman bin Mazh’un menyaksikan penderitaan yang dialami oleh para shahabat Rasulullah saw., sementara ia sendiri pulang pergi dengan aman dan tenteram disebabkan perlindungan Walid bin Mughirah, katanya: ‘Demi Allah, sesungguhnya mondar-mandirku dalam keadaan aman di­sebabkan perlindungan seorang tokoh golongan musyrik, sedang teman-teman sejawat dan kawan-kawan seagama menderita adzab dan siksa yang tidak kualami, merupakan suatu kerugian besar bagiku …. ! Lalu ia pergi mendapatkan Walid bin Mughirah, katanya: ‘Wahai Abu Abdi Syams, cukuplah sudah perlindungan anda, dan sekarang ini saya melepaskan diri dari perlindungan anda. . . “ kenapa wahai keponakanku  . . . ?” ujar walid , mungkin ada salah seorang anak buahku  mengganggu mu . . . ?” “Tidak’, ujar Utsman, ‘hanya saya ingin berlindung kepada Allah, dan tak suka lagi kepada lain-Nya … !’ Karenanya pergilah anda, ke mesjid serta umumkanlah maksudku ini secara terbuka seperti anda, dahulu mengumumkan per­lindungan terhadap diriku!’ Lalu pergilah mereka berdua ke mesjid, maka kata Walid: ‘Utsman ini datang untuk mengembalikan kepadaku jaminan perlindungan terhadap dirinya”. Ulas Utsman: “Betullah kiranya apa yang dikatakan itu . . ternyata ia seorang yang memegang teguh janjinya . “ hanya keinginan saya agar tidak lagi mencari perlindungan kecuali kepada Allah Ta’ala. Setelah itu Utsman pun berlalulah, sedang di salah satu gedung pertemuan kaum Quraisy, Lubaid bin Rabi’ah menggubah sebuah sya’ir dan melagukannya di hadapan mereka,. hingga Utsman jadi tertarik karenanya dan ikut duduk bersama mereka. Kata Lubaid: “Ingatlah bahwa apa juga yang terdapat di bawah kolong ini selain daripada Allah adalah hampa!” “Benar ucapan anda itu”, kata Utsman menanggapinya. Kata Lubaid lagi: “Dan semua kesenangan, tak dapat tiada lenyap dan sirna!” “Itu dusta!”, kata Utsman, “karena kesenangan surga takkan lenyap . . .”. Kata Lubaid: “Hai orang-orang Quraisy! Demi Allah, tak pernah aku sebagai teman duduk kalian disakiti orang selama ini. Bagai­mana sikap kalian kalau ini terjadi?” Maka berkatalah salah seorang di antara mereka: “Si tolol ini telah meninggalkan agama kita . . . ! Jadi tak usah digubris apa ucapannya!” Utsman membalas ucapannya itu hingga di antara mereka tejadi pertengkaran. Orang itu tiba-tiba bangkit mendekati Utsman lalu meninjunya hingga tepat mengenai matanya, sementara Walid bin Mughirah masih berada di dekat itu dan menyaksikan apa yang terjadi. Maka katanya kepada Utsman: “Wahai ke­ponakanku, jika matamu kebal terhadap bahaya yang menimpa, maka sungguh, benteng perlindunganmu amat tangguh … !” Ujar Utsman: “Tidak, bahkan mataku yang sehat ini amat membutuhkan pula pukulan yang telah dialami saudaranya di jalan Allah . . . ! Dan sungguh wahai Abu Abdi Syamas, saya berada dalam perlindungan Allah yang lebih kuat dan lebih mampu daripadamu I” “Ayohlah Utsman”, kata Walid pula, “jika kamu ingin, kem­balilah masuk ke dalam perlindunganku … !” “Terima kasih . . .!” ujar Ibnu Mazh’un menolak tawaran itu.

Ibnu Mazh’un meninggalkan tempat itu, tempat terjadinya .peristiwa tersebut dengan mata yang pedih dan kesakitan, tetapi jiwanya yang besar memancarkan keteguhan hati dan kese­jahteraan serta penuh harapan. Di tengah jalan menuju rumahnya dengan gembira ia men­dendangkan pantun ini:
“Andaikata dalam mencapai ridla Ilahi
Mataku ditinju tangan jahil orang mulhidi
Maka Yang Maha Rahman telah menyediakan imbalannya
Karena siapa yang diridlai-Nya pasti berbahagia
Hai ummat, walau menurut katamu daku ini sesat
daku ‘kan tetap dalam Agama Rasul, Muhammad
Dan tujuanku tiada lain hanyalah Allah dan Agama yang haq
Walaupun lawan berbuat aniaya dan semena-mena”.

Demikian Utsman bin Mazh’un memberikan contoh dan teladan utama yang memang layak dan sewajarnya.. . . . Dan demikianlah pula lembaran kehidupan ini menyaksikan suatu pribadi utama yang telah menyemarakkan wujud ini dengan harum semerbak disebabkan pendiriannya yang luar biasa dan kata-kata bersayapnya yang abadi dan mempesona: “Demi Allah, sesungguhnya sebelah mataku yang sehat ini amat membutuhkan pukulan yang telah dialami saudara­nya di jalan Allah . . . ! Dan sungguh, saat ini saya berada dalam perlindungan Allah yang lebih kuat dan lebih mampu daripadamu … !”

Dan setelah dikembalikannya perlindungan. kepada Walid, Maka Utsman menemui siksaan dari orang-orang Quraisy. Tetapi dengan itu ia tidak merana, sebaliknya bahagia, sungguh-sungguh bahagia … !

Siksaan itu tak ubahnya bagai api yang menyebabkan keimanannya menjadi matang dan bertambah murni …. Demikianlah, ia maju ke depan bersama saudara-saudara yang beriman, tidak gentar oleh ancaman, dan tidak mundur oleh bahaya … !

Utsman melakukan hijrah pula ke Madinah, hingga tidak diusik lagi oleh Abu Lahab, Umayah, ‘Utbah atau oleh gembong­-gembong lainnya yang telah sekian lama menyebabkan mereka tak dapat menidurkan mata di malam hari, dan bergerak bebas di siang hari. la berangkat ke Madinah bersama rombongan shahabat­-shahabat utama yang dengan keteguhan dan ketabahan hati mereka telah lulus dalam ujian yang telah mencapai puncak kesulitan dan kesukarannya, dan dari pintu gerbang yang luas dari kota itu nanti mereka akan melanjutkan pengembaraan ke seluruh pelosok bumi, membawa dan mengibarkan panji­-panji Ilahi, serta menyampaikan berita gembira dengan kalimat­-kalimat dan ayat-ayat petunjuk-Nya …. Dan di kota hijrah Madinah. al-Munawwarah itu tersingkap­lah kepribadian yang sebenarnya dari Utsman bin Mazh’un, tak ubah bagai batu permata yang telah diasah, dan ternyatalah kebesaran jiwanya yang istimewa. Kiranya ia seorang ahli ibadah, seorang zahid, yang mengkhususkan diri dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Hahi . . . .

Dan ternyata bahwa ia adalah orang suci dan mulia lagi bijaksana, yang tidak mengurung diri untuk tidak menjauhi kehidupan duniawi, tetapi orang suci luar biasa yang mengisi kehidupannya dengan amal dan karya serta jihad dan berjuang di jalan Allah …. Memang, ia adalah seorang rahib di larut malam, dan orang berkuda di waktu siang, bahkan ia adalah seorang rahib baik di waktu siang maupun di waktu malam, dan di samping itu sekaligus juga orang berkuda yang berjuang siang dan malam … !

Dan jika para shahabat Rasulullah saw. apalagi di kala itu, semua berjiwa zuhud dan gemar beribadat, tetapi Ibnu Mazh’un memiliki ciri-ciri khash . . . . Dalam zuhud dan ibadatnya ia amat . tekun dan mencapai puncak tertinggi, hingga corak kehidupannya, baik siang maupun malam dialihkannya menjadi shalat yang terus-menerus dan tasbih yang tiada henti-hentinya. Rupanya ia setelah merasakan manisnya keasyikan beribadat itu, ia pun bermaksud hendak memutuskan hubungan dengan segala kesenangan dan kemewahan dunia. Ia tak hendak memakai pakaian kecuali yang kasar, dan tak hendak makan makanan selain yang amat bersahaja.

Pada suatu hari ia masuk masjid, dengan pakaian usang yang telah sobek-sobek yang ditambalnya dengan kulit unta, semen­tara Rasulullah sedang duduk-duduk bersama para shahabatnya. Hati Rasulullah pun bagaikan disayat melihat itu, begitu juga para shahabat, air mata mereka mengalir karenanya. Maka tanya Rasulullah saw. kepada mereka: “Bagaimana pendapat kalian, bila kalian punya pakaian satu stel untuk pakaian pagi dan sore hari diganti dengan stelan lainnya . . . kemudian disiapkan di depan kalian suatu perangkat wallah makanan sebagai ganti perangkat lainnya yang telah diangkat . .. serta kalian dapat me­nutupi rumah-rumah kediaman kalian sebagaimana Ka’bah bertutup … ? “Kami ingin hal itu dapat terjadi, wahai Rasulullah ujar mereka, “hingga kita dapat mengalami hidup ma’mur dan bahagia … !” Maka sabda Rasulullah saw. pula: “Sesungguhnya hal itu telah terjadi . .. ! Keadaan kalian sekarang ini lebih baik dari keadaan kalian waktu lalu … Tetapi Ibnu Mazh’un yang turut mendengar percakapan itu bertambah tekun menjalani kehidupan yang bersahaja dan menghindari sejauh-jauhnya kesenangan dunia … ! Bahkan sampai-sampai kepada menggauli isterinya ia tak hendak dan menahan diri, seandainya hal itu tidak diketahui oleh Rasulullah saw. yang segera memanggil dan menyampaikan kepadanya: “Sesungguhnya keluargamu itu mempunyai hak atas dirimu …. “

Ibnu Mazh’un amat disayangi oleh Rasulullah saw. Dan tatkala ruhnya yang suci itu berkemas-kemas hendak berangkat, hingga dengan demikian ia merupakan orang muha­jirin pertama yang wafat di Madinah, dan yang mula-mula merintis jalan menuju surga, maka Rasulullah saw. berada di sisinya.

Rasulullah saw. membungkuk menciumi kening Ibnu Mazh’un serta membasahi kedua pipinya dengan air yang berderai dari kedua mata beliau yang diliputi santun dan duka cita hingga di saat kematiannya. Wajah Utsman tampak bersinar gilang­-gemilang ….

Dan bersabdalah Rasulullah saw. melepas shahabatnya yang tercinta itu:
“Semoga Allah memberimu rah mat, wahai Abu Saib Kamu pergi meninggalkan dunia, tak satu keuntungan pun yang kamu peroleh daripadanya, serta tak satu kerugian pun yang dideritanya daripadamu.”Dan sepeninggal shahabatnya, Rasulullah yang amat pe­nyantun itu tidak pernah melupakannya, selalu ingat dan memujinya …. Bahkan untuk melepas puteri beliau Rukayah, Yakni ketika nyawanya hendak melayang, adalah kata-kata berikut: “Pergilah susul pendahulu kita yang pilihan. Utsman bin Mazh’un … ”


(18)  
`UTHMAAN IBN MADH'UUN  
A "Monk" whose Hermitage was Life 

        If you attempt to arrange the Prophet's Companions in the order of their embracing Islam, `Uthmaan Ibn Madh'uun will be number fourteen. Not only was he the first Muhaajir to die in Al Madiinah, but also the first Muslim to be buried in Al-Baqli'a. This glorious Companion whose life story you are about to hear was a great "monk". By "monk" here I mean a worshiper throughout life, not a monk sequestered in his hermitage, for life with all its commotion, turmoil, burdens, and virtues was his "hermitage". Life to him meant perseverance in the way of in the way of truth and unremitting self-denial good and righteousness.  

        When we go back in time, when the fresh early rays of Islam were emanating from the Prophet's heart (PBUH) and from his words said in secret and seclusion, `Uthmaan Ibn Madh'uun was there. He was one of the few who rushed to the way of Allah and supported the Prophet. When the Prophet (PBUH) ordered the few oppressed believers to emigrate to Abyssinia, he wanted to save them from the Quraish's oppression, while he chose to be left behind to face it alone. `Uthmaan, who was at the head of the first group of fugitives, was accompanied by his son, As-Saa'ib. They set their faces towards a far- away land fleeing the plots of Abu Jahi, Allah's enemy, and the Quraish's atrocities.  
   
The emigration of `Uthmaan Ibn Madh'uun - and likewise for the rest of the emigrants to Abyssinia in the first and second emigrations - only made him hold more firmly to his Islam. Definitely, the two emigrations to Abyssinia represented a unique and glorious phenomenon in the cause of Islam, for those who believed in Muhammad  (PBUH) and followed the light that had been sent down to him had had enough of paganism, error, and ignorance. Their common sense shunned the idolatry of statues made of rocks and clay. When these fugitives emigrated to Abyssinia, they found an already prevalent and highly disciplined religion with an established clerical hierarchy of bishops and priests. Notwithstanding their attitude towards this religion, it was definitely remote from both the familiar paganism practiced back home and the usual idolatrous rites they had left behind. Undoubtedly, the clergy in Abyssinia exerted much effort to lure those emigrants to apostatize and embrace Christianity. 

        In spite of all this, those emigrants stood steadfast in their profound loyalty to Islam and to the Prophet Muhammad (PBUH). They anxiously yearned for the day when they would return to their beloved country so as to worship Allah and support the great Prophet (PBUH) in the mosque in peacetime and in the battlefield when the power of disbelief forced them to take up arms. Thus, those emigrants who lived in Abyssinia felt secure and peaceful. `Uthmaan lbn Madh'uun was one of them, yet his expatriation did not make him forget his cousin Umaiyah Ibn Khalaf's plots and the abuse he dealt him and other Muslims. Hence, he used to amuse himself by rehearsing threats to him, saying, "I hope that all the arrows you aim will miss their target and strike back at you. You fought against generous and noble people and tortured them to death. You will soon be punished, and the common people you used to despise will get back at you." 

        While the emigrants were, despite their exile, wrapped up in their worship of Allah and the study of the Qur'aan, news spread that the Quraish had submitted themselves to Islam and prostrated themselves to Allah, the One, the Irresistable.  

        Hurriedly, driven by their nostalgic feelings, the emigrants packed up their belongings and hastened to Makkah. However, no sooner had they reached Makkah's outskirts than they realized that the news about the Quraish's submission to Islam was only the bait to lure them to return. Suddenly, they realized that their excessive credulity had led them right into this trap, yet there was nothing they could do, for 

Makkah was in sight and there was no escape whatsoever. Makkah's unbelievers were overjoyed to hear that their long-awaited prey was caught in the trap they had laid.  

    At that time, the right of protection - to be under the assistance, support, refuge, and protection of his patron - was a sacred and honored Arab tradition. Consequently, if a weak man had a claim on a man of high standing, he would instantly enjoy the privileges of the right of protection and would be under an invincible protection and safety. Naturally, not all of those who returned to Makkah had claims on a high-ranking man. Therefore, few enjoyed the protection and safety guaranteed by this right. Among those who did was `Uthmaan Ibn Madh'uun, who had a claim on Al Waliid lbn Al-Mughiirah. Hence, he entered Makkah safely and peacefully and attended its councils without being humiliated or harmed.  

        Yet, every time lbn Madh'uun - the man who had been refined by the Qur'aan and whom the Prophet (PBUH) had taught and disciplined - looked around, he saw his weak, poor Muslim brothers who had no claim on the right of protection being atrociously abused and unjustly haunted, while he sat safe and sound in his sanctuary away from the least provocation. His free spirit rebelled and his noble compassion got the better of him. Hence, he decided to throw aside Al-Waliid's patronage and take off his shoulders this burdensome sanctuary that deprived him of the bliss of enduring abuse in the way of Allah and of following his Muslim brothers who were the believing vanguard and the glad tidings of the world that would afterwards overflow with faith, monotheism, and light. Let us now call an eyewitness to narrate what occurred.  

        When `Uthmaan Ibn Madh'uun saw the affliction that had befallen the Prophet's Companions while he was free and safe under Al-Wallid lbn Al-Mughiirah's protection, he said to himself, "By Allah, 1 realize now that I have a fatal flaw in my character, for here I am sound under the protection of a disbeliever while my brothers and companions are being abused and tortured by disbelievers." Instantly, he hastened to Al-Waliid Ibn Al- Mughiirah and spoke. Aby Abd Shams, you have been a dutiful friend, you did your utmost to honor the ties of kinship. But now I must forsake my claim on you." Al-Waliid asked him," Why, nephew? Did any of my people lay a finger on you?" He answered, "No, but I'm fully satisfied with Allah's protection and sanctuary and I do not want to resort to anyone but Him. So please come with me to the mosque and withdraw your protection and support in public." They both hastened to the mosque. Then Al-Waliid cried out, "`Uthmaan has asked me to withdraw my protection and support from him." `Uthmaan said, "He was indeed a loyal, dutiful, and generous patron, but I do not like to resort to the protection and help of anyone but Allah."  

    As `Uthmaan was leaving, Lubaid ibn Rabii'ah was sitting in one of the Quraish's meetings reciting poetry, so he decided to join them and sat down and heard Lubaid recite, "Everything but Allah is falsehood." `Uthmaan nodded and said, "You spoke the truth." Lubaid continued, "Every blessing is transient." `Uthmaan objected saying, "You are a liar, for the blessings of Paradise are eternal." Lubaid said, "O you Quraish, by Allah, I have not heard before that anyone dared to call a man who was attending your meeting names." A man of Quraish explained, "Do not pay attention to what he says, for he is a fool who has turned apostate." `Uthmaan objected to the man's insult and both quarrelled until the man lost his temper and punched `Uthmaan's eye ruthlessly.  

        Nearby was Al-Waliid Ibn Al-Mughiirah, who saw what had happened and said, " By Allah, nephew, you could have spared yourself the pain if you had stayed under my invulnerable protection." `Uthmaan answered, "On the contrary, my healthy eye yearns for the pain of my abused eye. I am under the protection of Allah, Who is far better and more capable than you, Abu Abd Shams." Al-Waliid urged him saying, "Come on nephew, be sensible and return to my sanctuary and protection." Ibn Madh'uun said firmly, "No." After he left, the pain in his eye was severe yet his spirit was revived, strengthene, and reassured. On his way home he recited, "I don't care if a deluded disbeliever hurt my eye, for it was in the way of Allah. For the Most Merciful will reward me on the Day of Reckoning in compensation for it. My people, if Allah attempts to please someone, then he will be undoubtedly a happy man. Even if you say that I'm a misguided fool, my life will always be consecrated to the Prophet Muhammad's religion (PBUH). I will always do my utmost to please Allah, for our religion is the only truth despite abuse and oppression.  

Thus he set an example that was highly becoming of him. In fact, life witnessed the remarkable scene of an excellent man whose graceful, immortal words will resound: "By Allah, my healthy eye yearns to be hurt in the way of Allah. I am under the protection and care of Someone far better and more capable than you." Obviously the scenario of `Uthmaan's abuse at the hands of the Quraish after he had renounced Al-Waliid's protection was premeditated on his part. He provoked it and was overjoyed by it, for this abuse was to him like the fire that matures, purifies, and ennobles his faith. At last, he followed the foot steps of his believing brothers who did not accept intimidation.  

        Afterwards, `Uthmaan decided to emigrate to Al-Madiinah where he would not be haunted or harassed by Abu Jahl, Abu Lahab, Umaiyah, `Utbah, or any of the other ruthless disbelievers who abused and tormented the Muslims. He traveled to Al-Madiinah with those great Companions who survived the hardships, terror, and horror of the trials with admirable steadfastness and stoutness. They did not emigrate to Al-Madiinah to rest. On the contrary, Al-Madiinah was the springboard that enabled Muslims to strive in the way of Allah all over the world, clinging to allah's flag and spreading His words, signs, and guidance.  

        When `Uthmaan had settled in the illuminated Madiinah, his remarkable, great qualities were unveiled! He ultimately emerged as an ascetic, devout, and repentant worshiper. To sum up, he was the glorious and intelligent "monk" who was not sequestered in his hermitage but rather in life. He spent his life striving in the way of Allah. Indeed, he was the worshiper by night and the fighter by day. In fact, he was the worshipper and the fighter of both night and day.  

        Although all the Prophet's (PBUH) Companions at that time were inclined to asceticism and devoutness, yet Ibn Madh'uun had a certain strategy in that respect, for he was so remarkably absorbed in his asceticism and devoutness that he turned his life, day and night, into a perpetual blessed prayer and a sweet long glorification. No sooner had he sipped the sweetness of the engrossement in worship than he hastened to abandon all the enticing luxury and splendor of life. Therefore, he wore nothing but coarse clothes and ate nothing but coarse food.  

        One day, he walked into the mosque in which the Prophet (PBUH) and his Companions were sitting, and he had on a faded, worn-out garment that was patched with a piece of fur. As soon as the Prophet (PBUH) saw him, he sympathized with him, and the Companions' eyes were filled with tears, yet the Prophet (PBUH) said, "Would you like it if you were rich enough to have as many garments as you like and as much food as you like? Would you like your upholstery to be as expensive as the clothes used in covering the Ka'bah." The Companions answered, "We would indeed! We would like to live in luxury surrounded by the splendors of life." The Prophet (PBUH) commented, "You will be wealthy, but you are today far better in your piety and devoutness than you will when you are wealthy." Naturally, when Ibn Madh'uun heard the Prophet's words, he clung more and more to his austere and coarse life. He went so far as to renounce sexual intercourse with his wife, yet when the Prophet (PBUH) heard about this exaggerated attitude, he summoned him and said, "Your wife has the right to have sexual intercourse with you."  

        The Prophet (PBUH) loved him dearly. When his pure spirit was embarking on its journey towards Heaven, the Prophet (PBUH) was next to him, paying his last farewell to the first Muhaajir to die in Al- Madiinah and the first to be raised to Paradise. He leaned to kiss his forehead and his amiable eyes flowed with tears that wet `Uthmaan's face, which looked remarkably graceful. The Prophet (PBUH) paid his last farewell to his beloved Companion by saying, "Allah bestow His mercy on you, Abu As- Saa'ib. You are now leaving life that was not able to seduce or mislead you."  

       The revered Prophet (PBUH) did not forget his Companion after his death; on the contrary, he often mentioned and praised him. For instance, his very last words to his daughter Ruqaiyah on her deathbed were, "Go on, follow in the pious and devout `Uthmaan Ibn Madh'uun's footsteps up to Paradise."   

.¤ª"˜¨¯¨¨Utsman Bin Mazh'un oo 'Uthmaan Ibn Madh'uun¸,ø¨¨"ª¤.




   

Categories: