acebook


.¤ª"˜¨¯¨¨Hudzaifah Ibnul YamanooHudhaifah Ibn Al-Yammaan¸,ø¨¨"ª¤.
Seteru kemunafikan - Kawan keterbukaan. 

Penduduk kota Madain berduyun-duyun keluar untuk nyambut kedatangan wali negeri mereka yang baru diangkat dipilih oleh Amirul Mu’minin Umar r.a. Mereka pergi menyambutnya, karena lamalah sudah hati mereka rindu untuk bertemu muka dengan shahabat Nabi yang mulia ini, yang telah banyak mereka dengar mengenai keshalihan ketaqwaannya . . . , begitu pula tentang jasa-jasanya dalam membebaskan tanah Irak ….

Ketika mereka sedang menunggu rombongan yang hendak datang, tiba-tiba muncullah di hadapan mereka seorang laki-laki dengan wajah berseri-seri. la mengendarai seekor keledai yang beralaskan kain usang, sedang kedua kakinya teruntai kebawah, kedua tangannya memegang roti serta garam sedang mulutnya sedang mengunyah …. ! Demi ia berada di tengah-tengah orang banyak dan mereka tahu bahwa orang itu tidak lain dari Hudzaifah ibnul Yaman, mereka jadi bingung dan hampir-hampir tak percaya …. ! Tetapi apa yang Akan diherankan … ?Corak kepemimpinan bagaimana yang mereka nantikan sebagai pilihan Umar …. ? Hal itu dapat difahami, karena baik di masa kerajaan Persi terkenal itu atau sebelumnya, tak pernah diketahui adanya kepemimpin semulia ini ….

Hudzaifah meneruskan perjalanan sedang orang-orang ber kerumun dan mengelilinginya… . Dan ketika dilihat bahwa mereka menatapnya seolah-olah me­nunggu amanat, diperhatikannya air muka mereka, lalu katanya: “Jauhilah oleh kalian tempat-tempat fitnah … Ujar mereka: “Di manakah tempat-tempat fitnah itu wahai Abu Abdillah Ujarnya: “Pintu-rumah para pembesar …. seorang di antara kalian masuk menemui mereka dan mengiakan ucapan palsu serta memuji perbuatan baik yang tak pernah mereka lakukan …. ! “ Suatu pernyataan yang luar biasa di samping sangat mena’jub­kan . .! 

Dari ucapan yang mereka dengar dari wali negeri Yang baru ini, orang-orang segera beroleh kesimpulan bahwa tak ada yang lebih dibencinya tentang apa Saja yang terdapat di dunia ini, begitu pun yang lebih hina dalam pandangan matanya daripada kemunafikan . . . . Dan pernyataan ini sekaligus me­rupakan ungkapan yang paling tepat terhadap kepribadian wali negeri baru ini, serta siatem yang akan ditempuhnya dalam pemerintahan …. Hudzaifah ibnu Yaman memasuki arena kehidupan ini dengan bekal tabi’at iatimewa. Di antara cirri-cirinya ialah anti kemunafikan, dan mampu melihat jejak dan gejalanya walau tersembunyi di tempat-tempat yang jauh sekali pun ….

Semenjak ia bersama saudaranya, Shafwan, menemani bapaknya menghadap Rasulullah saw. dan ketiganya memeluk Islam, sementara Islam menyebabkan wataknya sertambah terang dan cemerlang . . . , maka sungguh, ia menganutnya itu secara teguh dan suci, serta lurus dan gagah berani, dan dipandangn sifat pengecut, bohong dan kemunafikan sebagai sifat yan rendah dan hina …. Ia terdidik di tangan Rasulullah saw. dengan kalbu terbuka tak ubah bagai cahaya shubuh, hingga tak suatu pun dari per­soalan hidupnya yang tersembunyi. Tak ada rahasia terpendam dalam lubuk hatinya . . . , seorang yang benar dan jujur, men­cintai orang-orang yang teguh membela kebenaran, sebaliknya mengutuk orang-orang yang berbelit-belit dan riya, orang-orang culas bermuka dua …. ! Ia bergaul dengan Rasullulah saw. dan sungguh, tak ada lagi tempat baik di mana bakat Hudzaifah ini tumbuh subur dan berkembang sebagai halnya di arena ini, yakni dalam pangku­an Agama Islam, di hadapan Rasulullah dan di tengah-tengah golongan besar Kaum perintis dari shahabat-sahabat Rasulullah saw Bakatnya ini benar-benar tumbuh menurut kenyataan …. hingga ia berhasil mencapai keahlian dalam membaca tabi’at dan airmuka seseorang.  Dalam waktu selintas kilas, ia dapat menebak airmuka dan tanpa susah payah akan mampu menyelidiki rahasia-rahasia yang tersembunyi serta simpanan yang terpendam …. Kemampuannya dalam hal ini telah sampai kepada apa yang diinginkannya, hingga Amirul Mu’minin Umar r.a. yang dikenal sebagai orang yang penuh dengan inspirasi seorang yang cerdas dan ahli, sering juga mengandalkan pendapat Hudzaifah, begitu pula ketajaman pandangannya dalam memilih tokoh dan mengenali mereka.

sungguh Hudzaifah telah dikaruniai fikiran jernih, menyebabkannya sampai pada suatu kesimpulan, bahwa dalam ke­hidupan ini sesuatu yang baik itu adalah yang jelas dan gamblang, yakni bagi orang yang betul-betul menginginkannya. sebaliknya Yang jelek ialah yang gelap atau samar-samar, dan karena itu orang Yang bijaksana hendaklah mempelajari sumber-sumber mejahatan ini dan kemungkinan-kemungkinannya ….

Demikianlah Hudzaifah r.a. terus-menerus mempelajari kejahatan dan orang-orang jahat, kemunafikan dan orang-orang munaafiq. Berkatalah ia: “orang-orang menanyakan kepada Rasulullah saw. tentang kebaikan, tetapi saya menanyakan kepadanya tentang kejahatan, karena takut akan terlibat di dalamnya. Pernah kusertanya: “Wahai Rasulullah, dulu kita berada dalam kejahiliyahan dan diliputi kejahatan, lalu Allah mendatangkan kepada kita kebaikan ini . . . , apakah di balik kebaikan ini ada kejahatan . . . ?”"Ada”, ujarnya. “Kemudian apakah setelah kejahatan masih ada lagi kebaikan . . . ?” ‘tanyaku pula. “Memang, tetapi kabur dan bahaya – . . ” ‘ “Apa  bahaya itu … ?” “Yaitu segolongan ummat mengikuti sunnah bukan sunnahku, dan mengikuti petunjuk bukan petunjukku. Kenalilah mereka olehmu dan laranglah . .  ”. “Kemudian setelah kebaikan tersebui masihkah ada lagi kejahatan .” tanyaku pula. “Masih ajar Nabi, “yakni para tukang seru di pintu neraka. Barangsiapa menyambut seruan mereka, akan mereka lemparkan ke dalam neraka … ! “ Lalu kutanyakan kepada Rasulullah: “Ya Rasulallah, apa yang harus saya perbuat bila saya menghadapi hal dernikian … ?”UjarRasulullah: “senantiasa mengikuti jama ah Kaum Muslimin dan pemimpin mereka … ! “ “Bagaimana kalau mereka tidak punya jama’ah dan tidak pula pemimpin … ? ” “Hendaklah kamu tinggalkan golong­an itu semua, walaupun kamu akan tinggal di rumpun kayu sampai kamu menemui ajal dalam keadaan demi­kian . ! “ Nah, tidakkah anda perhatikan ucapannya: “orang-orang menanyakan kepada Rasulullah saw. tentang kebaikan, tetapi saya menanyakan kepadanya tentang kejahatan , karena takut akan terlibat di dalamnya … ! “? Hudzaifah ibnu Yaman menempuh kehidupan ini dengan mata terbuka dan hati waspada terhadap sumber-sumber fitnah dan liku-likunya demi menjaga diri dan memperingatkan manusia terhadap bahayanya. Dengan demikian ia menganaliasa kehidupan dunia ini dan mengkaji pribadi orang Serta meraba situasi . . . Semua masalah itu diolah dan digodok dalam akal pikirannya lalu dituangkan dalam ungkapan seorang filosof yang ‘aril dan bijaksana.

Berkatalah ia: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah membangkitkan Muham­mad saw. Maka diserunya manusia dari kesesatan kepada kebenaran, dari kekafiran kepada keimanan. Lalu yang menerima mengamalkannyalah, hingga dengan kebenaran itu yang mati menjadi hidup . , dan dengan kebatilan yang hidup menjadi mati .  Kemudian masa kenabian berlalu, dan datang masa kekhalifahan menurut jejak beliau . . , dan setelah itu tiba zaman kerajaan yang durjana . Di antara manusia ada yang menentang, baik dengan hati maupun dengan tangan Serta lisannya maka merekalah yang benar-benar menerima yang haq. Dan di antara mereka ada yang menentang dengan hati dan lisannya tanpa mengikutsertakan tangannya, maka golongan ini telah meninggalkan suatu cabang dari yang haq . . . . Dan ada pula yang menentang dengan hatinya semata, tanpa mengikutsertakan tangan dan lisannya, maka golongan ini telah meninggalkan dua cabang dari yang haq . . . . Dan ada pula yang tidak menentang, baik dengan hati maupun dengan tangan serta lisannya, maka golongan ini adalah mayat-mayat bernyawa . . . .! “ Ia juga berbicara tentang hati, dan mengenai kehidupannya yang beroleh petunjuk dan yang sesat, katanya:
“Hati itu ada empat macam:.
Hati yang tertutup, itulah dia hati orang kafir ….
Hati yang dua muka, itulah dia hati orang munafiq
Hati yang suci bersih, di sana ada pelita yang menyala,
itulah dia hati orang yang beriman ….
Dan hati yang beriai keimanan dan kemunafikan. 
Tamsil keimanan itu adalah laksana 
sebatang kayu yang dihidupi air yang bersih, 
sedang kemunafikan itu tak ubahnya bagai 
bisul yang diairi darah dan nanah. 
Maka mana di antara keduanya yang lebih kuat, 
itulah yang menang …. ! “

Pengalaman Hudzaifah yang luas tentang kejahatan dan ketekunannya untuk melawan dan menentangnya, menyebab­kan lidah dan kata-katanya menjadi tajam dan pedas. Hal ini diakuinya kepada kita secara ksatria, katanya: “Saya datang menemui Rasulullah saw., kataku Padanya: Wahai Rasulullah, lidahku agak tajam terhadap keluargaku, dan saya khawatir kalau-kalau hal itu akan menyebabkan saya masuk neraka . . . . Maka ujar Rasulullah saw.: lenapa kamu tidak beristighfar . . .? Sungguh, saya ber­istiqfar kepada Allah tiap hari serutus kali … “ Nah, inilah dia Hudzaifah musuh kemunafikan dan shahabat  keterbukaan . . . . Dan tokoh semacam ini pastilah imannya teguh dan kecintaannya mendalam. Demikianlah pula halnya Hudzaifah, dalam keimanan dan kecintaannya …. Disaksikannya bapaknya yang telah beragama Islam tewas di perang Uhud dan di tangan srikandi Islam sendiri, yang Welakukan kekhilafan karena menyangkanya sebagai orang musyrik …. Hudzaifah melihat dari jauh pedang sedang dihunjamkan kepada ayahnya, ia berteriak:”ayahku … ayahku …. jangan ia ayahku… Tetapi qadla Allah telah tiba Dan ketika Kaum Muslimin mengetahui hal itu, merekapun diliputi suasana duka dan sama-sama membisu.

 Tetapi ~sambil memandangi mereka dengan sikap kasih sayang dan penuh pengampunan, katanya: “Semoga Allah mengampuni tuan-tuan, Ia adalah sebai-k­baik Penyayang … ! “ Kemudian dengan pedang terhunus ia maju ke daerah tempat  berkecamuknya pertempuran dan membaktikan tenaga serta menunaikan tugas kewajibannya …. Akhirnya peperangan pun usailah dan berita tersebut sampai ketelinga Rasulullah saw. Maka disuruhnya membayar diyat terbunuhnya ayahanda Hudzaifah (Husail bin Yabir) yang terrnyata ditolak oleh Hudzaifah ini dan disuruh membagikannya kepada Kaum Muslimin. Hal itu menambah sayang dan tingginya penilaian Rasulullah terhadap dirinya ….

Keimanan dan kecintaan Hudzaifah tidak kenal lelah dan ah …. bahkan juga tidak kenal mustahil . . . . Sewaktu perang Khandaq . . . , yakni setelah merayapnya kegelisahan dalam barisan kafir Quraiay dan sekutu-sekutu mereka dari golongan yahudi, Rasulullah saw. bermaksud hendak  mengetahui perkembangan terakhir di lingkungan perkemahan musuh-musuhnya …. Ketika itu malam gelap gulita dan menakutkan …. semen­tara angin topan dan badai meraung dan menderu-deru, seolah-­olah hendak mencabut dan menggulingkan gunung-gunung Sahara yang berdiri tegak di tempatnya . . . Dan suasana di kala itu mencekam hingga menimbulkan kebimbangan dan kegelisah­an, mengundang kekecewaan dan kecemasan, sementara ke­laparan telah mencapai saat-saat yang gawat di kalangan para shahabat Rasulullah saw Maka siapakah ketika itu yang memiliki kekuatan. apa pun kekuatan itu yang berani berjalan ke tengah-tengah perkemahan musuh di tengah-tengah bahaya besar yang sedang mengancam, menghantui dan memburunya, untuk secara diam-diam me­nyelinap ke dalam, yakni untuk menyelidiki dan mengetahui keadaan mereka … ?

Maka Rasulullah yang memilih di antara para shahabatnya, orang yang akan melaksanakan tugas yang amat sulit ini! Dan tahukah anda, siapa kiranya pahlawan yang dipilihnya itu … ? Itulah dia Hudzaifah ibnu Yaman …!
Ia dipanggil oleh Rasulullah saw. untuk melakukan tugas, dan dengan patuh dipenuhinya …. Dan sebagai bukti kejujuran­nya, ketika ia mengisahkan peristiwa tersebut dinyatakannya bahwa ia mau tak mau harus menerimanya . . . . Hal itu menjadi petunjuk, bahwa sebenarnya ia takut menghadapi tugas yang dipikulkan atas pundaknya serta khawatir akan akibatnya. Apalagi bila diingat bahwa ia harus melakukannya dalam ke­adaan lapar dan timpaan hujan es, serta keadaan jasmaniah yang amat lemah, sebagai akibat pengepungan orang-orang musyrik selama satu bulan atau lebih . . .!

Dan sungguh, peristiwa yang dialami oleh Hudzaifah malam itu, amat menajubkan sekali! Ia telah menempuh jarak yang terbentang di antara kedua perkemahan dan berhasil menembus kepungan . . , lalu secara diam-diam menyelinap ke perkemahan musuh . . . . Ketika itu angin kencang telah memadamkan alat­-alat penerangan pihak lawan hingga mereka berada dalam gelap gulita, sementara Hudzaifah r.a. telah mengambil tempat di tengah-tengah prajurit musuh itu …

Abu Sufyan, yakni panglima besar Quraiay, takut kalau-­kalau kegelapan malam itu dimanfaatkan oleh mata-mata Kaum Muslimin untuk menyusup ke perkemahan mereka. Maka ia pun berdirilah untuk memperingatkan anak buahnya . . . . Seruan yang diucapkan dengan keras kedengaran oleh Hudzaifah dan bunyinya sebagai berikut: “Ilai segenap golongan Quraiay, hendaklah masing-masing kalian memperhatikan kawan duduknya dan memegang tangan serta mengetahui siapa namanya!

Kata Hudzaifah: ” Maka segeralah saya menjambat tangan laki-laki yang duduk di dekatku, kataku kepadanya: “Siapa kamu ini … ‘ Ujarnya: “Si Anu anak si Anu . . . “. Demikianlah Hudzaifah mengamankan kehadirannya di kalangan tentara musuh itu hingga selamat. Abu Sufyan mengulangi lagi seruan kepada tentaranya, katanya: “Hai orang-orang Quraish, kekuatan kalian sudah tidak utuh lagi …. Kuda-kuda kita telah binasa  . . , demikian juga halnya unta. Bany Quraidhah telah pula mengkhianati kita hingga kita mengalami akibat yang tidak kita inginkan. Dan sebagaimana kalian saksikan sendiri, kita telah mengalami ben­cana angin badai: periuk-periuk berpelantingan, api menjadi padam dan kemah-kemah berantakan . . . . Maka berangkatlah kalian saya pun akan berangkat!  Lalu ia naik ke punggung untanya dan mulai berangkat, diikuti dari belakang oleh tentaranya.

Kata Hudzaifah: “Kalau tidaklah pesan Rasulullah saw. kepada saya agar saya tidak mengambil sesuatu tindakan sebelum menemui­nya lebih dulu, tentulah saya bunuh Abu Sufyan itu dengan anak panah . . . .”.
Hudzaifah kembali kepada Rasulullah saw. dan menceritakan keadaan musuh, serta menyampaikan berita gembira itu ….Barang siapa yang pernah bertemu muka dengan Hudzaifah, dan merenungkan buah fikiran dan hasil filsafatnya serta ke tekunannya untuk mencapai ma’rifat, tak mungkin akan meng­harapkan daripadanya sesuatu kepahlawanan di medan perang atau pertempuran . . . Tetapi anehnya dalam bidang ini pun Hudzaifah melenyap­kan segala dugaan itu …. Laki-laki santri yang teguh beribadat dan pemikir ini, akan menunjukkan kepahlawanan yang luar biasa di kala ia meng­genggam pedang menghadapi tentara berhala dan pembela kesesatan …. Cukuplah sebagai bukti bahwa ia merupakan orang ketiga atau kelima dalam deretan tokoh-tokoh terpenting pada pem­bebasan seluruh wilayah Irak . . . .! Kota-kota Hamdan, Rai dan Dainawar, selesai pembebasannya di bawah komando Hudzaifah ….

Dan dalam pertempuran besar Nahawand, di mana orang­orang Persi berhasil menghimpun 150 ribu tentara . . . , Amirul Mu’minin Umar memilih sebagai panglima Islam Nu’man bin Muqarrin, sedang kepada Hudzaifah dikirimnya surat agar ia menuju tempat itu sebagai komandan dari tentara Kufah ….

Kepada para pejuang itu Umar mengirimkan surat, katanya: “Jika Kaum Muslimin telah berkumpul, maka masing-masing panglima hendaklah mengepalai anak buahnya, sedang yang akan menjadi panglima besar ialah Nu’man bin Muqarrin … ! Dan seandainya Nu’man tewas, maka panji-panji komando  hendaklah dipegang oleh Hudzaifah dan kalau ia tewas pula maka oleh Jarir bin Abdillah … Amirul Mu’minin masih menyebutkan beberapa nama lagi, ada tujuh orang banyaknya yang akan memegang pimpinan tentara secara berurutan.

Dan kedua pasukan pun berhadapanlah …. Pasukan Persi dengan 150 ribu tentara, sedang Kaum Muslimin dengan 30 ribu orang pejuang, tidak lebih . . .. Perang berkobar, suatu pertempuran yang tak ada tolak bandingnya, perang terdahsyat dan paling sengit dikenal oleh sejarah … ! Panglima besar Kaum Muslimin gugur sebagai syahid Nu’man bin Muqarrin tewaslah sudah       Tetapi sebelum bendera Kaum Muslimin menyentuh tanah, panglima yang baru telah menyambutnya dengan tangan kanannya, dan angin ke­menangan pun meniup dan menggiring tentara maju ke muka dengan semangat penuh dan keberanian luar biasa . . . . Dan panglima yang baru itu tiada lain dari Hudzaifah ibnul Yaman …. !

Bendera segera disambutnya, dan dipesankannya agar ke­matian Nu’man tidak disiarkan, sebelum peperangan berketentu­an. Lalu dipanggilnya Na’im bin Muqarrin dan ditempatkan pada kedudukan saudaranya Nu’man, sebagai penghormatan ke­padanya …. Dan semua itu dilaksanakannya dengan kecekatan, bertindak dalam waktu hanya beberapa saat, sedang roda pepe­rangan berputar cepat, kemudian bagai angin puting beliung ia maju menerjang barisan Persi sambil menyerukan: “Allahu Akbar, Ia telah menepati janji-Nya “Allahu Akbar, telah dibelaNya tentara-Nya” Lalu diputarlah kekang kudanya ke arah anak buahnya, dan berseru: “Hai ummat Muhammad saw., pintu-pintu surga telah ter­buka lebar, siap sedia menyambut kedatangan tuan-tuan …. jangan biarkan ia menunggu lebih lama …. ! Ayohlah wahai pahlawan-pahlawan Badar …. Majulah pejuang-pejuang Uhud, Khandaq dan Tabuk . .

Dengan ucapan-ucapannya itu Hudzaifah telah memelihara semangat tempur dan ketahanan anak buahnya, jika tak dapat dikatakan telah menambah dan melipatgandakannya …. Dan kesudahannya perang berakhir dengan kekalahan pahit bagi orang-orang Persi, suatu kekalahan yang jarang ditemukan bandingannya …. ! Dialah seorang pahlawan di bidang hikmat, ketika sedang tenggelam dalam renungan . . .. Seorang pahlawan di medan juang, ketika berada di medan laga …. Pendeknya ia seorang tokoh, dalam urusan apa juga yang dipikulkan atas pundaknya, dalam setiap persoalait: membutuhkan pertimbangannya.

Maka tatkala Kaum Muslimin di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi Waqqash hendak pindah dari Madain ke Kufah dan ber­mukim di sana, yakni setelah keadaan iklim kota Madain mem­bawa akibat buruk terhadap Kaum Muslimin dari golongan Arab, menyebabkan Umar menitahkan Sa’ad segera meninggal­kan kota itu setelah menyelidiki suatu daerah yang paling cocok sebagai tempat pemukiman Kaum Muslimin . . . , maka siapakah dia yang diserahi tugas untuk memilih tempat dan daerah ter­sebut Itulah dia Hudzaifah ibnul Yaman, yang pergi bersama Salman bin Ziad guna menyelidiki lokasi yang tepat bagi pemukiman baru itu …. Tatkala mereka sampai di Kufah, yang ternyata merupakan tanah kosong yang berpasir dan berbatu-batu, pernafasan Hudzaifah menghirup udara segar, maka ia berkata kepada shahabatnya:”Di sinilah tempat pemukiman itu insya Allah . ..!”,

Demikianlah diatur rencana pembangunan kota Kufah, yang oleh ahli bangunan diwujudkan menjadi sebuah kota yang permai …. Dan baru saja Kaum Muslimin pindah ke sana, maka yang sakit segera sembuh, yang lemah menjadi kuat, dan urat­-urat mereka berdenyutan menyebarkan arus kesehatan …. !

Sungguh, Hudzaifah adalah seorang yang berfikiran cerdas dan berpengalaman luas, kepada Kaum Muslimin selalu di­pesankannya: “Tidaklah termasuk yang terbaik di antara kalian yang meninggalkan dunia untuk
kepentingan akhirat, dan tidak pula yang meninggalkan akhirat untuk kepentingan dunia tetapi hanyalah yang mengambil bagian dari kedua­-duanya . ! “

Pada suatu hari di antara hari-hari yang datang silih berganti dalam tahun 36 Hijriah, Hudzaifah mendapat panggilan meng­hadap Ilahi . . . . Dan tatkala ia sedang berkemas-kemas untuk berangkat melakukan perjalanannya yang terakhir, masuklah beberapa  orang shahabatnya. Maka ditanyakannya kepada mereka: “Apakah tuan-tuan membawa kain kafan … ” “Ada”, ujar mereka. “Coba lihat”, kata Hudzaifah pula. Maka tatkala dilihatnya kain kafan itu baru dan agak mewah, terlukislah pada kedua bibirnya senyuman terakhir bernada ketidak senangan, lalu katanya: “Kain kafan ini tidak cocok bagiku … I Cukuplah bagiku dua helai kain putih tanpa baju Tidak lama aku akan berada dalam kubur, menunggu diganti dengan kain yang lebih baik atau dengan yang lebih jelek. ..!”

Kemudian ia menggumamkan beberapa kalimat dan sewaktu didengarkan oleh hadirin dengan mendekatkan telinga mereka, kedengaranlah ucapannya:
“Selamat datang, wahai maut
Kekasih tiba di waktu rindu
Hati bahagia tak ada keluh atau sesalku …. .
Ketika itu naiklah membubung ke hadlirat Ilahi, 
ruh suci di antara arwah para shalihin, ruh yang cemerlang, taqwa, tunduk dan berbakti ….


(13) 
HUDHAIFAH IBN AL-YAMMAAN  
The Enemy of Hypocrisy, The Friend of Frankness 

      The people of Madaa`in came out in great numbers to welcome their new governor chosen by their Caliph `Umar (May Allah be pleased with him). They came out preceded by their interest in that graceful Companion. They had heard much about his good conduct, his piety, and more so about his great achievement in the conquest of Iraq.  

        While they were waiting for the coming procession, they saw before them a bright fellow riding on a donkey with an old saddle. The man was riding with his legs hanging and holding a loaf of bread and some salt in his hands, and eating and chewing his food. When he came in the midst of the people and they discovered he was Hudhaifah lbn Al-Yammaan, the expected governor, they were about to lose their wits! But why the surprise? Who did they expect the choice of `Umar would be ? In fact, they were not to blame. Their countries had not been accustomed since Persian days or even before to having rulers of with such graceful style.  

        Hudhaifah was surrounded and welcomed by numerous people. When he saw that they were gazing at him as if expecting a speech, he looked at them closely and said, "Beware of sedition!" They asked, "What is sedition, Abu Abd Allah?" "The gates of rulers," he said. `When one of you is admitted to the presence of the ruler or governor and falsely agrees with what he says and commends him for what he has not done."  

        It was a wonderful start, as much as it was surprising. People at once remembered what they had heard about their new governor and that he did not detest anything in the whole world as much as he detested and scorned hypocrisy. Such a beginning was the truest expression concerning the character of the new governor and his way of ruling and governing.  

      As a matter of fact, Hudhaifah lbn Al-Yammaan was a man who came to life equipped with a unique characteristic in detesting hypocrisy and in having the remarkable capability to detect it in its distant, concealed places. He and his brother safwaan came to the Prophet (PBUH) accompanied by their father and all embraced Islam. He added more sharpness and polish to his inborn qualities from the time he embraced a powerful, clean, brave, and straightforward religion which scorns cowardice, hypocrisy, and lies. Moreover, he learned his manners at the hands of the Messenger (PBUH) who was as clear as the glorious morning light. Nothing was hidden in his life nor in his inner self. He was truthful and trustworthy. He liked the strong in righteousness and detested those who were not straightforward, i.e. the hypocrites and deceivers. Therefore, there was no realm where his talent could bloom and blossom more than it did under the guidance of faith at the hands of the Messenger and among that generation of his great Companions. Verily, his talent grew and developed, and he specialized in reading faces and probing into the inner selves. At a glance he could easily read faces and know the secret of the hidden depths and concealed inner mysteries. He attained what he wanted in that realm to the extent that the inspired, intelligent, and resourceful Caliph `Umar (May Allah be pleased with him) used to ask Hudhaifah's opinion and insight in selecting and knowing men.  

        Hudhaifah possessed the discretion that made him realize that what is good in this world is obvious to whoever seeks it, and that evil is the thing that is disguised and hidden. Therefore, the intelligent person should be discreet in studying evil in its hidden and apparent forms.  

        Hudhaifah (May Allah be pleased with him) therefore devoted his time to the study of evil and evil doers, as well as hypocrisy and hypocrites. He reported: People used to ask Allah's Prophet (PBUH) about good, but I used to ask him about evil, for fear that it should overtake me. I said, "O Messenger of Allah, we were in ignorant and evil times, then Allah presented us with this good. Will there be evil after this good?" He said, "Yes." I said, "And after this evil, will there be good?" He said, "Yes but it would be tainted with evil (literally, smoke)." I asked, "What will this evil be?" He said, "There will be some people who will lead (people) according to principles other than my tradition. You will see their actions and disapprove of them." I said, "Will there be any evil after that good?" He said, "Yes, there will be some people who will invite others to the doors of Hell, and whoever accepts their invitation to it will be thrown in it (by them)." I said, "O Messenger of Allah! Describe those people to us." He said, "They will belong to us and speak our language." I asked, "What do you order me to do if such a thing should take place in my life?" He said, "Adhere to the group of Muslims and their chief." I asked, "If there is neither a group (of Muslims) nor a chief, what shall I do?" He said, "Keep away from all those different sects, even if you have to eat the roots of a tree, till you meet Allah while you are still in that state."  

        Note his statement, "People used to ask Allah's Prophet (PBUH) about good, but I used to ask him about evil, for fear that it should overtake me." Hudhaifah lbn Al-Yammaan lived open- eyed and insightful with regards to temptations and the paths of evil so that he might avoid them and warn people of them. This gave him insight of the world, experience with people, and knowledge of the times. He would contemplate matters in his mind as a philosopher would and with the sound judgment of a wise man.  

        He said (May Allah be pleased with him): "Almighty Allah sent Muhammad (PBUH) to call people from misguidance to the right path, and from disbelief to belief in Allah. Some responded to his call, following the right way. Those who were dead were raised to life and those who were alive died because of their evil doing. When the period of prophethood was over, caliphates followed the same methods. Then there appeared a detested monarchy. There were people who disavowed with their hearts, hands, and tongues, and who responded to the path of justice. There were those who disavowed with their hearts and tongues but abstained from using their hands. Thus they left out an area of justice. There were also those who disavowed with their hearts, abstaining to use their hands or tongues. Thus they left out two areas of justice. There were those who did not disavow, neither with their hearts, nor with their hands or tongues, and those were the dead in life!  

        He talked about hearts and a life of guidance or misguidance according to the heart. He said: There are four kinds of hearts: a locked heart, which is the heart of the disbeliever; a duplicitous heart, which is the heart of the hypocrite; a pure heart full of light, which is the heart of the believer; and a heart filled with hypocrisy and faith. Its faith is like a tree supplied with good water, but like hypocrisy because it is like an ulcer filled with pus and blood. Whichever is made will win.  

        Hudhaifah's experience of evil and his persistence in resisting and challenging it sharpened his tongue and words. He himself informed us about this in a noble hadith: I approached the Prophet (PBUH) and said,   "O Messenger of Allah, I have an abusing tongue towards my people, and I am afraid it might lead me to the fire of Hell." The Prophet (PBUH) said to me, "Do you ask Allah's forgiveness? I repent to Allah a hundred times a day." 
   
        That was Hudhaifah, the enemy of hyprocrisy and the friend of frankness. For a man of this character, his faith had to be strong and his loyalty intense. That was Hudhaifah's way, in respect to faith and loyalty. He witnessed his father die as a Muslim in the battle of Uhud, killed in error by Muslim hands, mistaking him for one of the unbelievers. 

 Hudhaifah was looking around when by chance he saw the swords hitting him, so he called to his attackers, "My father! My father! He's my father!" But it was too late. When the Muslims heard about this incident they were grieved, but Hudhaifah looked at them with mercy and forgiveness and said, 
"May Allah forgive you. He is the Most Merciful." He then went forward with his sword towards the battle, doing his best and performing his duty. 

        When the battle ended and the Prophet (PBUH) heard the news, he ordered that blood money be paid for the death of Hudhaifah's father, Husail lbn Jaabir (May Allah be pleased with him). Hudhaifah refused to take the money and gave it as alms to the Muslims, an act which made the Prophet (PBUH) love and appreciate him even more.  
  
        Hudhaifah's faith and loyalty refused to acknowledge inability and weakness, or even the impossible. In the Battle of Al-Khandaq and after the failure of the unbelievers of the Quraish and their Jewish allies, the Prophet (PBUH) wanted to know the latest developments in the enemy camp.  The night was black and terrifying, and a storm was raging as if it wanted to uproot the solid mountains of the desert. The whole situation which included a siege, stubbornness and perserverance brought about fear and anxiety. In addition, hunger had reached a high level among the Companions of the Prophet. Therefore, who would have the strength to go amidst the dark dangers of the enemy camp and penetrate it to gather intelligence and news?  

     The Messenger (PBUH) was the one who selected him from among his Companions as the one to perform such a difficult task. Who was that hero? It was Hudhaifah lbn Al-Yammaan. The Prophet (PBUH) asked him and he obeyed.  

        He admitted with great candor in relating the incident that he had no choice but to obey, thus implying that he feared the mission being assigned to him. He was afraid of its consequences. His fear was due to performing this mission under the pinch of hunger, cold weather, and extreme exhaustion that resulted from the siege by the disbelievers that had lasted a month or more.  

        What happened to Hudhaifah that night was amazing. He covered the distance between the two armies and penetrated the surrounding enemy camp of the Quraish. A violent wind had put out the camp's fires, so the place was enveloped in darkness. Hudhaifah took his place amidst the lines of the fighters. The leader of the Quraish, Abu Sufyaan, was afraid that darkness might surprise them with scouts from the Muslim camp. He stood to warn his army, and Hudhaifah heard his loud voice saying, "O people of the Quraish, each one of you should know who is sitting next to him and should know his name." Hudhaifah reports, "I hastened to the hand of the man next to me, and said to him, Who are you? He said, `Such and such a person!'"  

        He therefore secured his being with the army in peace! Abu Sufyaan resumed his talk to the army, saying,  "O people of the Quraish, by Allah, you are not in a place to settle. The horses and the camels are exhausted. The tribe of Bani Quraidah has reneged on us and we learned about them what we hate, and we suffer from the violent wind as you see. No food can be cooked, no fire can blaze for us, and no structure can hold. You have to leave, for I am leaving." He then mounted his camel and started moving, followed by the fighters.  
  
        Hudhaifah said, "But for the promise I gave Allah's Messenger (PBUH), who asked me not to do anything until I returned to him, I would have killed him with an arrow." Hudhaifah then returned to the Messenger (PBUH) and gave him the information and happy news.

        Whoever saw Hudhaifah and considered his way of thinking, his philosophy, and his devotion to knowledge could hardly expect any heroism from him in the battlefield. Nevertheless, Hudhaifah contradicted all expectations.  

The man who used to worship Allah in solitude, the contemplative one, no sooner did he carry his sword and meet the ignorant pagan army than he disclosed a genius that caught the eyes. Suffice it to know that he was one of only three or five who had the great privilege of invading all the cities of Iraq. In Hamdaan, Ar-Raiy Ad-Dainawar, the conquest was accomplished through him.  

        In the great Battle of Nahaawand, in which the Persians gathered about 150,000 fighters, Caliph `Umar, the Commander of the Faithful, chose for the leadership of the Muslim armies An Nu'maan lbn Muqrin, then wrote to Hudhaifah to march to him leading an army from Kufa.  

        `Umar sent his letter to the fighters, saying, "When the Muslims gather, let every commander lead his army, and let An- Nu'maan lbn Muqrin be the commander-in -chief of all the armies. If An-Nu'maan is martyred, let Hudhaifah be the leader. If he is martyred, let Jarir Ibn `Abd Allah lead them."  

        In this way, the Commander of the Faithful went on choosing the leaders of the battle till he named seven of them. Then the two armies met.  

        The Persians were 150,000, while the Muslims were only 30,000. A battle which exceeded all others commenced. It was the fiercest in history, in terms of violence and heroism. The leader of the Muslim army, An-Nu'maan Ibn Muqrin fell in the battle and was martyred, but before the standard of the Muslims fell to the ground, the new leader caught it with his right hand, and with it he led the wind of victory with vigor and great herosim. This leader was none but Hudhaifah Ibn Al-Yammaan.  

        At once he held the standard and chose not to announce the news of the death of An-Nu'maan until the battle was over. He called Na`iim lbn Muqrin to be in the place of his brother to honor him.  

        How he achieved all this in no time, in the heart of the great battle, was through his bright intuition. Then he turned like a violent tempest wind towards the Persian lines shouting, "Allahu akbar! Allah is the greatest! His Promise is fulfilled! Allahu akbar! He led His soldiers to victory!" Then he turned the head of his horse towards the fighters of his army and called, "O you followers of Muhammad (PBUH), here are Allah's Gardens ready to receive you, do not let them wait long. Come on, men of the Battle of Badr Proceed, O you heroes of the Battle of Al-Khandaq, Uhud, and Tabuuk!"  

        Hudhaifah kept all the enthusiasm and interest of the battle, if not more. The fighting ended in overwhelming defeat for the Persians, an unmatched defeat!  

        That was his genius in wisdom when he remained in his rooms and genius in fighting when he stood on the battlefield. He was also a genius in each mission assigned to him and each advice asked of him.  

        When Sa'd lbn Abi Waqqaas and the Muslims with him moved from Madaa'in to Kufa and settled there after the great harm that had afflicted the Muslim Arabs due to Madaa'in's climate, `Umar wrote to Sa'd to leave at once after the most suitable sites for Muslims to resettle were found. Who was deputed, to choose the site and the place? It was Hudhaifah Ibn Al Yammaan, accompanied by Salmaan Ibn Ziyaad who sought a suitable place for Muslims.  

When they reached the land of Kufa, it was a barren, sandy land, full of pebbles, but Hudhaifah smelled the breezes of healing and health. He said to his companion, "This place, Allah willing." That was how Kufa was planned, and the hands of construction turned it into an inhabited city. As soon as the Muslims emigrated there, their sick were cured, their weak became strong, and their veins were filled with the pulse of health.  

        Hudhaifah was very intelligent and had various experiences. He always used to say to the Muslims, "Your best are not those who neglect this world for the last, nor those who neglect the last for this world. The best are those who take from this and that."  

 One day in the year A.H. 36, he was called to meet his Lord. While he was getting ready for the last journey, some of his companions came to see him. He asked them, "Have you brought a shroud with you?" They said, "Yes." He said, "Show it to me." When he saw it, he found it was new and too long. One last sarcastic grin was drawn on his lips, and he said, "This is not a shroud for me. Two white wraps without a shirt are sufficient for me. I will not be left in the grave for a long time, but will be offered a better place or a worse one!"  

        He then murmured a few words which, when they listened to them, they discerned the following: "Welcome O death! A dear thing coming after longing. The one who repents now prospers not."  

       One of the best human souls was raised to Allah, one the most pious, illuminating, and humble spirits.  

.¤ª"˜¨¯¨¨Hudzaifah Ibnul YamanooHudhaifah Ibn Al-Yammaan¸,ø¨¨"ª¤.






Categories: