acebook


60] Salim Maula Abu Hudzaifah - Saalim Mawlaa Abi Hudhaifah


♥.¤ª"˜¨¯¨¨Musha'ab bin Umar ❀ Mus'ab ibn Umair ¸,ø¨¨"ª¤.
Duta Islam yang Pertama



Mush’ab bin Umair salah seorang di antara para shahabat Nabi. Alangkah baiknya jika kita memulai kisah dengan pribadi­nya: Seorang remaja Quraisy terkemuka, seorang yang paling ganteng dan tampan, penuh dengan jiwa dan semangat kepe­mudaan. Para muarrikh dan ahli riwayat melukiskan semangat kepe­mudaannya dengan kalimat:

“Seorang warga kota Mekah yang mempunyai nama paling harum”.

Ia lahir dan dibesarkan dalam kesenangan, dan tumbuh dalam lingkungannya. Mungkin tak seorang pun di antara anak-anak muda Mekah yang beruntung dimanjakan oleh kedua orang tuanya demikian rupa sebagai yang dialami Mush’ab bin Umair. Mungkinkah kiranya anak muda yang serba kecukupan, biasa hidup mewah dan manja, menjadi buah-bibir gadis-gadis Mekah dan menjadi bintang di tempat-tempat pertemuan, akan meningkat sedemikian rupa hingga menjadi buah ceritera tentang keimanan, menjadi tamsil dalam semangat kepahlawanan?

Sungguh, suatu riwayat penuh pesona, riwayat Mush’ab bin Umair atau “Mush’ab yang baik”, sebagai biasa digelarkan oleh Kaum Muslimin. Ia salah satu di antara pribadi-pribadi Muslimin yang ditempa oleh Islam dan dididik oleh Muhammad saw.


Tetapi corak pribadi manakah … ? 
Sungguh, kisah hidupnya menjadi kebanggaan bagi kemanaiaan umumnya.

Suatu hari anak muda ini mendengar berita yang telah ter­sebar luas di kalangan warga Mekah mengenai Muhammad al-Amin . . . Muhammad saw., yang mengatakan bahwa dirinya telah diutus Allah sebagai pembawa berita suka maupun duka, sebagai da’i yang mengajak ummat beribadat kepada Allah Yang Maha Esa. Sementara perhatian warga Mekah terpusat pada berita itu, dan tiada yang menjadi bush pembicaraan mereka kecuali tentang Rasulullah saw. serta Agama yang dibawanya, maka anak muda yang manja ini paling banyak mendengar berita itu. Karena walaupun usianya masih belia, tetapi ia menjadi bunga majlis tempat-tempat pertemuan yang selalu diharapkan kehadirannya oleh para anggota dan teman-temannya. Gayanya yang tampan dan otaknya yang cerdas merupakan keistimewaan Ibnu Umair, menjadi daya pemikat dan pembuka jalan pemecahan masalah.

Di antara berita yang didengarnya ialah bahwa Rasulullah bersama pengikutnya biasa mengadakan pertemuan di suatu tempat yang terhindar jauh dari gangguan gerombolan Quraisy dan ancaman-ancamannya, yaitu di bukit Shafa di rumah Arqam bin Abil Arqam. Keraguannya tiada berjalan lama, hanya sebentar waktu ia menunggu, maka pada suatu senja didorong oleh kerinduannya pergilah ia ke rumah Arqam menyertai rombongan itu. Di tempat itu Rasulullah saw. sering berkumpul dengan para shahabatnya, tempat mengajarnya ayat-ayat al-Quran dan membawa mereka shalat beribadat kepada Allah Yang Maha Akbar. Baru saja Mush’ab mengambil tempat duduknya, ayat-ayat al-Quran mulai mengalir dari kalbu Rasulullah saw., bergema melalui kedua bibirnya dan sampai ke telinga, meresap di hati para pendengar. Di senja itu Mush’ab pun terpesona oleh untaian kalimat Rasulullah saw., yang tepat menemui sasaran pada kalbunya.

Hampir saja anak muda itu terangkat dari tempat duduknya karena rasa haru, dan serasa terbang ia karena gembira. Tetapi Rasulullah saw., mengulurkan tangannya yang penuh berkat dan kasih sayang dan mengurut dada pemuda yang sedang sangsi bergejolak, hingga tiba-tiba menjadi sebuah lubuk hati yang tenang dan damai, tak obah bagai lautan yang teduh dan dalam. Pemuda yang telah Islam dan Iman itu nampak telah memiliki ilmu dan hikmah yang luas — berlipat ganda dari ukuran usia­nya — dan mempunyai kepekatan hati yang mampu merubah jalan sejarah . . .! Tetapi di kota Mekah tiada rahasia yang tersembunyi, apalagi dalam suasana seperti itu. Mata kaum Quraisy berkeliaran di mana-mana mengikuti setiap langkah dan menyelusuri setiap jejak. Kebetulan seorang yang bernama Usman bin Thalhah melihat Mush’ab memasuki rumah Arqam secara sembunyi. 

Kemudian pada hari yang lain dilihatnya pula ia shalat seperti Muhammad saw. Secepat hati ia mendapatkan ibu Mush’ab dan melaporkan berita yang dijamin kebenarannya. Berdirilah Mush’ab di hadapan ibu dan keluarganya serta para pembesar Mekah yang berkumpul di rumahnya. Dengan hati yang yakin dan pasti dibacakannya ayat-ayat al-Quran yang disampaikan Rasulullah untuk mencuci hati nurani mereka, mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan, kejujuran dan ke­taqwaan. Ketika sang ibu hendak membungkam mulut puteranya dengan tamparan keras, tiba-tiba tangan yang terulur bagai anak panah itu surut dan jatuh terkulai — demi melihat nur atau cahaya yang membuat wajah yang telah berseri cemerlang itu kian berwibawa dan patut diindahkan — menimbulkan suatu ketenangan yang mendorong dihentikannya tindakan. Karena rasa keibuannya, ibunda Mush’ab terhindar memukul dan menyakiti puteranya, tetapi tak dapat menahan diri dari tuntutan bela berhala-berhalanya dengan jalan lain. Dibawalah puteranya itu ke suatu tempat terpencil di rumahnya, lalu dikurung dan dipenjarakannya amat rapat.

Demikianlah beberapa lama Mush’ab tinggal dalam kurungan sampai saat beberapa orang Muslimin hijrah ke Habsyi. Men­dengar berita hijrah ini Mush’ab pun mencari muslihat, dan berhasil mengelabui ibu dan penjaga-penjaganya, lalu pergi ke Habsyi melindungkan diri. Ia tinggal di sana bersama saudara­ saudaranya kaum Muhajirin, lalu pulang ke Mekah. Kemudian ia pergi lagi hijrah kedua kalinya bersama para shahabat atas titah Rasulullah dan karena taat kepadanya. Baik di Habsyi ataupun di Mekah, ujian dan penderitaan yang harus dilalui Mush’ab di tiap saat dan tempat kian meningkat. la telah selesai dan berhasil menempa corak kehidupannya menurut pola yang modelnya telah dicontohkan Muhammad saw. 


Ia merasa puas bahwa kehidupannya telah layak untuk dipersembahkan bagi pengurbanan terhadap Penciptanya Yang Maha Tinggi, Tuhannya Yang Maha Akbar …

Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang Mus­limin yang sedang duduk sekeliling Rasulullah saw. Demi me­mandang Mush’ab, mereka sama menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang bertampal-tampal, padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka — pakaiannya sebelum masuk Islam — tak obahnya bagaikan kembang di taman, berwarna warni dan menghamburkan bau yang wangi.

Adapun Rasulullah, menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati, pada kedua bibirnya tersungging senyuman mulia, seraya bersabda:
"Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, ke­mudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya."

Semenjak ibunya merasa putus asa untuk mengembalikan Mush’ab kepada agama yang lama, ia telah menghentikan segala pemberian yang biasa dilimpahkan kepadanya, bahkan ia tak sudi nasinya dimakan orang yang telah mengingkari berhala dan patut beroleh kutukan daripadanya, walau anak kandungnya sendiri. 

Akhir pertemuan Mush’ab dengan ibunya, ketika perempuan itu hendak mencoba mengurungnya lagi sewaktu ia pulang dari Habsyi. Ia pun bersumpah dan menyatakan tekadnya untuk membunuh orang-orang suruhan ibunya bila rencana itu dilaku­kan. Karena sang ibu telah mengetahui kebulatan tekad putera­nya yang telah mengambil satu keputusan, tak ada jalan lain baginya kecuali melepasnya dengan cucuran air mata, sementara Mush’ab mengucapkan selamat berpisah dengan menangis pula.

Saat perpisahan itu menggambarkan kepada kita kegigihan luar biasa dalam kekafiran fihak ibu, sebaliknya kebulatan tekad yang lebih besar dalam mempertahankan keimanan dari fihak anak. Ketika sang ibu mengusirnya dari rumah sambil berkata: “Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi”. 
Maka Mush’ab pun menghampiri ibunya sambil berkata: “Wahai bunda! Telah anakanda sampaikan nasihat kepada bunda, dan anakanda menaruh kasihan kepada bunda. Karena itu saksikan­lah bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya”.

Demikian Mush’ab meninggalkan kemewahan dan kesenangan yang dialaminya selama itu, dan memilih hidup miskin dan sengsara. Pemuda ganteng dan perlente itu, kini telah menjadi seorang melarat dengan pakaiannya yang kasar dan usang, sehari makan dan beberapa hari menderita lapar. Tapi jiwanya yang telah dihiasi dengan ‘aqidah suci dan cemerlang berkat sepuhan Nur Ilahi, telah merubah dirinya menjadi seorang manusia lain, yaitu manusia yang dihormati, penuh wibawa dan disegani …

Suatu saat Mush’ab dipilih Rasulullah untuk melakukan suatu tugas maha penting saat itu. Ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah untuk mengajarkan seluk beluk Agama kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan bai’at kepada Rasul­ullah di bukit ‘Aqabah. Di samping itu mengajak orang-orang lain untuk menganut Agama Allah, serta mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut hijratul Rasul sebagai peristiwa besar. Sebenarnya di kalangan shahabat ketika itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah daripada Mush’ab. Tetapi Rasulullah menjatuhkan pilihannya kepada “Mush’ab yang baik”. Dan bukan tidak menyadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas amat penting ke atas pundak pemuda itu, dan menyerahkan kepadanya tanggungjawab nasib Agama Islam di kota Madinah, suatu kota yang tak lama lagi akan menjadi kota tepatan atau kota hijrah, pusat para da’i dan da’wah, tempat berhimpunnya penyebar Agama dan pembela al-Islam. 

Mush’ab memikul amanat itu dengan bekal karunia Allah kepadanya, berupa fikiran yang cerdas dan budi yang luhur. Dengan sifat zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati, ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam. Sesampainya di Madinah, didapatinya Kaum Muslimin di sana tidak lebih dari dua belas orang, yakni hanya orang-orang yang telah bai’at di bukit ‘Aqabah. Tetapi tiada sampai beberapa bulan kemudian, meningkatlah orang yang sama-sama memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya. Pada musim haji berikutnya dari perjanjian ‘Aqabah, Kaum Muslimin Madinah mengirim perutusan yang mewakili mereka menemui Nabi. 

Dan perutusan itu dipimpin oleh guru mereka, oleh duta yang dikirim Nabi kepada mereka, yaitu Mush’ab bin Umair. Dengan tindakannya yang tepat dan bijaksana, Mush’ab bin Umair telah membuktikan bahwa pilihan Rasulullah saw. atas dirinya itu tepat. 

Ia memahami tugas dengan sepenuhnya, hingga tak terlanjur melampaui batas yang telah ditetapkan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah menyeru kepada Allah, me­nyampaikan berita gembira lahirnya suatu Agama yang mengajak manusia mencapai hidayah Allah, membimbing mereka ke jalan yang lurus. Akhlaqnya mengikuti pola hidup Rasulullah yang diimaninya, yang mengemban kewajiban hanya menyampaikan belaka…… 

Di Madinah Mush’ab tinggal sebagai tamu di rumah As’ad bin Zararah. Dengan didampingi As’ad, ia pergi mengunjungi kabilah-kabilah, rumah-rumah dan tempat-tempat pertemuan, untuk membacakan ayat-ayat Kitab Suci dan Allah, menyampaikan kalimattullah “bahwa Allah Tuhan Maha Esa” secara hati-hati. Pernah ia menghadapi beberapa peristiwa yang mengancam keselamatan diri serta shahabatnya, yang nyaris celaka kalau tidak karena keeerdasan akal dan kebesaran jiwanya. 

Suatu hari, ketika ia sedang memberikan petuah kepada orang-orang, tiba ­tiba disergap Usaid bin Hudlair kepada suku kabilah Abdul Asyhal di Madinah. Usaid menodong Mush’ab dengan menyentakkan lembingnya. 

Bukan main marah dan murkanya Usaid, menyaksikan Mush’ab yang dianggap akan mengacau dan me­nyelewengkan anak buahnya dari agama mereka, serta me­ngemukakan Tuhan Yang Maha Esa yang belum pernah mereka kenal dan dengar sebelum itu. Padahal menurut anggapan Usaid, tuhan-tuhan mereka yang bersimpuh lena di tempatnya masing‑ masing mudah dihubungi secara kongkrit. Jika seseorang me­merlukan salah satu di antaranya, tentulah ia akan mengetahui tempatnya dan segera pergi mengunjunginya untuk memaparkan kesulitan serta menyampaikan permohonan . . . . Demikianlah yang tergambar dan terbayang dalam fikiran suku Abdul Asyhal. 

Tetapi Tuhannya Muhammad saw. — yang diserukan beribadah kepada-Nya — oleh utusan yang datang kepada mereka itu, tiadalah yang mengetahui tempat-Nya dan tak seorang pun yang dapat melihat-Nya. Demi dilihat kedatangan Usaid bin Hudlair yang murka bagaikan api sedang berkobar kepada orang-orang Islam yang duduk bersama Mush’ab, mereka pun merasa kecut dan takut. Tetapi “Mush’ab yang baik” tetap tinggal tenang dengan air muka yang tidak berubah. Bagaikan singa hendak menerkam, Usaid berdiri di depan Mush’ab dan As’ad bin Zararah, bentaknya: “Apa maksud kalian datang ke kampung kami ini, apakah hendak membodohi rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika tak ingin segera nyawa kalian melayang!”

Seperti tenang dan mantapnya samudera dalam . . . , laksana tenang dan damainya cahaya fajar . . . , terpancarlah ketulusan hati “Mush’ab yang baik”, dan bergeraklah lidahnya mengeluar­kan ucapan halus, katanya:
 “Kenapa anda tidak duduk dan mendengarkan dulu? Seandainya anda menyukai nanti, anda dapat menerimanya. Sebaliknya jika tidak, kami akan meng­hentikan apa yang tidak anda sukai itu!”

Sebenarnya Usaid seorang berakal dan berfikiran sehat. Dan sekarang ini ia diajak oleh Mush’ab untuk berbicara dan meminta petimbangan kepada hati nuraninya sendiri. Yang dimintanya hanyalah agar ia bersedia mendengar dan bukan lainnya. Jika ia menyetujui, ia akan membiarkan Mush’ab, dan jika tidak, maka Mush’ab berjanji akan meninggalkan kampung dan masya­rakat mereka untuk mencari tempat dan masyarakat lain, dengan tidak merugikan ataupun dirugikan orang lain. “sekarang saya insaf”, ujar Usaid, lalu menjatuhkan lembing­nya ke tanah dan duduk mendengarkan. 

Demi Mush’ab mem­bacakan ayat-ayat al-Quran dan menguraikan da’wah yang dibawa. oleh Muhammad bin Abdullah saw., maka dada Usaid pun mulai terbuka dan bercahaya, beralun berirama mengikuti naik turunnya suara serta meresapi keindahannya. Dan belum lagi Mush’ab selesai dari uraiannya. Usaid pun berseru kepadanya dan kepada shahabatnya: “Alangkah indah dan benarnya ucapan itu . . .! Dan apakah yang harus dilakukan oleh orang yang hendak masuk Agama ini?” Maka sebagai jawabannya gemuruh­lah suara tahlil, serempak seakan hendak menggoncangkan bumi. Kemudian ujar Mush’ab: “Hendaklah ia mensucikan diri, pakaian dan badannya, serta bersaksi bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah”. Beberapa lama Usaid meninggalkan mereka, kemudian kembali sambil memeras air dari rambutnya, lalu ia berdiri sambil menyatakan pengakuannya bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah ….

Secepatnya berita itu pun tersiarlah. Keislaman Usaid disusul oleh kehadiran Sa’ad bin Mu’adz. Dan setelah mendengar uraian Mush’ab, Sa’ad merasa puas dan masuk Islam pula. Langkah ini disusul pula oleh Sa’ad bin Tbadah. Dan dengan keislaman mereka ini, berarti selesailah persoalan dengan berbagai suku yang ada di Madinah. Warga kota Madinah saling berdatang­an dan tanya-bertanya sesama mereka: “Jika Usaid bin Hudlair, Sa’ad bin ‘Ubadah dan Sa’ad bin Mu’adz telah masuk Islam, apalagi yang kita tunggu …. Ayolah kita pergi kepada Mush’ab dan beriman bersamanya! Kata orang, kebenaran itu terpancar dari celah-celah giginya!”

Demikianlah duta Rasulullah yang pertama telah mencapai hasil gemilang yang tiada taranya, suatu keberhasilan yang memang wajar dan layak diperolehnya. Hari-hari dan tahun-tahun pun berlalu, dan Rasulullah bersama para shahabatnya hijrah ke Madinah. Orang-orang Quraisy semakin geram dengan dendamnya, mereka menyiapkan tenaga untuk melanjutkan tindakan ke­kerasan terhadap hamba-hamba Allah yang shalih. Terjadilah perang Badar dan kaum Quraisy pun beroleh pelajaran pahit yang menghabiskan sisa-sisa fikiran sehat mereka, hingga mereka berusaha untuk menebus kekalahan. Kemudian datanglah giliran perang Uhud, dan Kaum Muslimin pun bersiap-siap mengatur barisan. Rasulullah berdiri di tengah barisan itu, menatap setiap wajah orang beriman menyelidiki siapa yang sebaiknya mem­bawa bendera.

Maka terpanggillah “Mush’ab yang balk”, dan pahlawan itu tampil sebagai pembawa bendera. Peperangan berkobar lalu berkecamuk dengan sengitnya. Pasukan panah melanggar tidak mentaati peraturan Rasulullah, mereka meninggalkan kedudukannya di celah bukit setelah melihat orang-orang musyrik menderita kekalahan dan meng­undurkan diri. Perbuatan mereka itu secepatnya merubah sua­sana, hingga kemenangan Kaum Muslimin beralih menjadi ke­kalahan. Dengan tidak diduga pasukan berkuda Quraisy menyerbu Kaum Muslimin dari puncak bukit, lalu tombak dan pedang pun berdentang bagaikan mengamuk, membantai Kaum Mus­limin yang tengah kacau balau. Melihat barisan Kaum Muslimin porak poranda, musuh pun menujukan serangan ke arah Rasul­ullah dengan maksud menghantamnya. Mush’ab bin Umair menyadari suasana gawat ini. Maka di­acungkannya bendera setinggi-tingginya dan bagaikan aungan singa ia bertakbir sekeras-kerasnya, lalu maju ke muka, melom­pat, mengelak dan berputar lalu menerkam. Minatnya tertuju untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah saw. Dengan demikian dirinya pribadi bagaikan membentuk barisan tentara … Sungguh, walaupun seorang diri, tetapi Mush’ab bertempur laksana pasukan tentara besar …. Sebelah tangannya memegang bendera bagaikan tameng kesaktian, sedang yang sebelah lagi menebaskan pedang dengan matanya yang tajam . . . . Tetapi musuh kian bertambah banyak juga, mereka hendak menye­berang dengan menginjak-injak tubuhnya untuk mencapai Rasulullah.

Sekarang marilah kits perhatikan saksi mata, yang akan menceriterakan saat-saat terakhir pahlawan besar Mush’ab bin Umair. Berkata Ibnu Sa’ad: “Diceriterakan kepada kami oleh Ibra­him bin Muhammad bin Syurahbil al-’Abdari dari bapaknya, ia berkata: “Mush’ab bin Umair adalah pembawa bendera di Perang Uhud. Tatkala barisan Kaum Muslimin pecah, Mush’ab bertahan pada kedudukannya. Datanglah seorang musuh berkuda, Ibnu Qumaiah namanya, lalu menebas tangan­nya hingga putus, sementara Mush’ab mengucapkan: “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”. Maka dipegangnya bendera dengan tangan kirinya sambil mem­bungkuk melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula. Mushab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan me­raihnya ke dada sambil mengucapkan: “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul” . Lalu orang berkuda itu menyerangnya ketiga kali dengan tombak, dan me­nusukkannya hingga tombak itu pun patah. Mushab pun gugur, dan bendera jatuh “.

Gugurlah Mush’ab dan jatuhlah bendera …. la gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada . . . . Dan hal itu dialaminya setelah dengan keberanian luar biasa mengarungi kancah pengor­banan dan keimanan. Di saat itu Mush’ab berpendapat bahwa sekiranya ia gugur, tentulah jalan para pembunuh akan terbuka lebar menuju Rasulullah tanpa ada pembela yang akan memper­tahankannya. Demi cintanya yang tiada terbatas kepada Rasul­ullah dan cemas memikirkan nasibnya nanti, ketika ia akan pergi berlalu, setiap kali pedang jatuh menerbangkan sebelah tangan­nya, dihiburnya dirinya dengan ucapan: “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”. Kalimat yang kemudian dikukuhkan sebagai wahyu ini selalu diulang dan dibacanya sampai selesai, hingga akhirnya menjadi ayat al-Quran yang selalu dibaca orang …. Setelah pertempuran usai, ditemukanlah jasad pahlawan ulung yang syahid itu terbaring dengan wajah menelungkup ke tanah digenangi darahnya yang mulia . . . . Dan seolah-olah tubuh yang telah kaku itu masih takut menyaksikan bila Rasul­ullah ditimpa bencana, maka disembunyikannya wajahnya agar tidak melihat peristiwa yang dikhawatirkan dan ditakutinya itu. Atau mungkin juga ia merasa malu karena telah gugur sebelum hatinya tenteram beroleh kepastian akan keselamatan Rasul­ullah, dan sebelum ia selesai menunaikan tugasnya dalam mem­bela dan mempertahankan Rasulullah sampai berhasil.

Wahai Mush’ab cukuplah bagimu ar-Rahman …. Namamu harum semerbak dalam kehidupan …. Rasulullah bersama para shahabat datang meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat terbaringnya jasad Mush’ab, bercucuranlah dengan deras air matanya. Berkata Khabbah ibnul ‘Urrat: “Kami hijrah di jalan Allah bersama Rasulullah saw. dengan mengharap keridlaan-Nya, hingga pastilah sudah pahala di sisi Allah. Di antara kami ada yang telah berlalu sebelum menikmati pahalanya di dunia ini sedikit pun juga. Di antaranya ialah Mushab bin Umair yang tewas di perang Uhud. Tak sehelai pun kain untuk menutupinya selain sehelai burdah. Andainya ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua belah kakinya. Sebaliknya bila ditutup­kan ke kakinya, terbukalah kepalanya. Maka sabda Rasul­ullah saw.: “Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan kaki­nya tutupilah dengan rumput idzkhir!”

Betapa pun luka pedih dan duka yang dalam menimpa Rasul­ullah karena gugur pamanda Hamzah dan dirusak tubuhnya oleh orang-orang musyrik demikian rupa, hingga bercucurlah air mata Nabi . . . . Dan betapapun penuhnya Medan laga dengan mayat para shahabat dan kawan-kawannya, yang masing-masing mereka baginya merupakan panji-panji ketulusan, kesucian dan cahaya …. Betapa juga semua itu, tapi Rasulullah tak melewat­kan berhenti sejenak dekat jasad dutanya yang pertama, untuk melepas dan mengeluarkan isi hatinya …. Memang, Rasulullah berdiri di depan Mush’ab bin Umair dengan pandangan mata yang pendek bagai menyelubunginya dengan kesetiaan dan kasih sayang, dibacakannya ayat: Di antara orang-orang Mu min terdapat pahlawan pahlawan yang telah menepati janjinya dengan Allah.

Kemudian dengan mengeluh memandangi burdah yang digunakan untuk kain tutupnya, seraya bersabda: Ketika di Mekah dulu, tak seorang pun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya dari ­padamu. Tetapi sekarang ini, dengan rambutmu yang kusut Masai, hanya dibalut sehelai burdah. Setelah melayangkan pandang, pandangan sayu kearah medan serta para syuhada kawan-kawan Mush’ab yang tergeletak di atasnya, Rasulullah berseru: Sungguh, Rasulullah akan menjadi saksi nanti di hari qiamat, bahwa tuan-tuan semua adalah syuhada di sisi Allah. Kemudian sambil berpaling ke arah shahabat yang masih hidup, Sabdanya : Hai manusia! Berziarahlah dan berkunjunglah kepada mereka, serta ucapkanlah salam! Demi Allah yang mengua­sai nyawaku, tak seorang Muslim pun sampai hari qiamat yang memberi salam kepada mereka, pasti mereka akan membalasnya.

Salam atasmu wahai Mush’ab
Salam atasmu wahai para syuhada ……




Mus'ab ibn Umair
The First Envoy of Islam

This man among the Companions of the Prophet Muhammad (PBUH), how good it is for us to startwith him. He was the flower of the Quraish, the most handsome and youthful! Historians and narrators describe him as "The most charming of the Makkans".

He was born and brought up in wealth, and he grew up with its luxuries. Perhaps there was no boyin Makkah who was pampered by his parents like Mus`ab lbn `Umair. This mirthful youth, caressed andpampered, the talk of the ladies of Makkah, the jewel of its clubs and assemblies: is it possible for him tobe one of the legends of faith?

By Allah, how interesting a tale, the story of Mus`ab Ibn `Umair or Mus`ab the Good, as he was nicknamed among the Muslims!  He was one of those made by Islam and fostered by the ProphetMuhammad (PBUH).

But who was he? His story is a pride of all mankind. The youth heard one day what the people of Makkah had begun to hear about Muhammad the Truthful, that Allah had sent him as bearer of glad tidings and a warner to call them to the worship of Allah the One God. When Makkah slept and awoke there was no other talk but the Prophet Muhammad (PBUH) and his religion, and this spoiled boy was one of the most attentive listeners.

That was because, although he was young, the flower of clubs and assemblies, the outward
appearance of wisdom and common sense were among the traits of Mus`ab. He heard that the Prophet (PBUH) and those who believed in him were meeting far away from the
dignitaries and great men of the Quraish at As-safaa in the house of Al-Arqam lbn Al-Arqam daar Al- Arqam. He wasted no time. He went one night to the Daar Al Arqam, yearning and anxious. There, the Prophet (PBUH) was meeting his Companions, reciting the Qur'aan to them and praying with them to Allah the Most Exalted. Mus`ab had hardly taken his seat and contemplated the verses of Qur'aan recited by the Prophet (PBUH) when his heart became the promised heart that night.

The pleasure almost flung him from his seat as he was filled with a wild ecstasy. But the Prophet (PBUH) patted his throbbing heart with his blessed right hand, and the silence of the ocean's depth filledhis heart. In the twinkling of an eye, the youth who had just become Muslim appeared to have morewisdom than his age and a determination that would change the course of time!

Mus`ab's mother was Khunaas Bint Maalik, and people feared her almost to the point of terror because she possessed a strong personality. When Mus`ab became a Muslim, he was neither carefulbefore nor afraid of anyone on the face of the earth except his mother. Even if Makkah, with all its idols,nobles, and deserts were to challenge him, he would stand up to it. As for a dispute with his mother, thiswas an impossible horror, so he thought quickly and decided to keep his Islam secret until Allah willed.He continued to frequent Daar Al-Arqam and take lessons from the Prophet (PBUH). He was satisfied with his faith and avoided the anger of his mother,
who had no knowledge of his embracing Islam.

However, Makkah at that time kept no secret, for the eyes and ears of the Quraish were everywhere,very alert and checking every footprint in its hot sands. Once, `Uthmaan Ibn Taihah saw him steadilyentering alarm's house, then he saw him a second time praying the prayer like Muhammad. No soonerhad he seen him than he ran quickly with the news to Mus`ab's mother, who was astonished by it.

Mus`ab stood before his mother, the people, and the nobles of Makkah who assembled around him,telling them the irrefutable truth and reciting the Qur'aan with which the Prophet (PBUH) cleansed theirhearts and filled them with honor, wisdom, justice, and piety. His mother aimed a heavy blow at him, butthe hand which was meant as an arrow soon succumbed to the powerful light which increased the radiance of his face with innocent glory because it demanded respect with its quiet confidence. However, his mother, under the pressure of her motherliness, spared him the beating and the pain, although it waswithin her power to avenge her gods whom he had abandoned. Instead she took him to a rough corner of her house and shut him in it. She put shackles on him and imprisoned him there until he heard the news of the emigration (hijab) of some of the believers to Abyssinia. He thought to himself and was able to
delude his mother and his guards, and so escaped to Abyssinia.

There he stayed in Abyssinia with his fellow emigrants and then returned with them to Makkah. He also emigrated to Abyssinia for the second time with the Companions whom the Prophet (PBUH) advised to emigrate and they obeyed. But whether Mus`ab was in Abyssinia or Makkah, the experience of his faith proclaimed itself in all places and at all times. Musa became confident that his life had become good enough to be offered as a sacrifice to the Supreme Originator and great Creator. He went out one day to some Muslims while they were sitting around the Prophet (PBUH) , and no sooner did they see him than they lowered their heads and shed some tears because they saw him wearing worn out garments. They were accustomed to his former appearance before he had become a Muslim, when his clothes had been like garden flowers, elegant and fragrant. The Prophet (PBUH) saw him with the eyes of wisdom, thankful and loving, and his lips smiled gracefully as he said, "I saw Mus`ab here, and there was no youth in Makkah more petted by his parents than he. Then he abandoned all that for the love of Allah and His Prophet!"

His mother had withheld from him all the luxury he had been overwhelmed by, when she could not return him to her religion. She refused to let anyone who had abandoned their gods eat of her food, even if he was her son. Her last connection with him was when she tried to imprison him for a second time after his return from Abyssinia, and he swore that if she did that, he would kill all those who came to her aid to lock him up. She knew the truth of his determination when he was intent and decided to do something, and so she bade him good bye weeping.

The parting moment revealed a strange adherence to infidelity on the part of his mother, and the greater adherence to faith on the part of her son. When she said to him, while turning him out of herhouse, "Go away, I am no longer your mother," he went close to her and said, "O mother, I am advising you and my heart is with you, please bear witness that there is no god but Allah and that Muhammad is His servant and messenger." She replied to him, angrily raging, "By the stars, I will never enter your religion, to degrade my status and weaken my senses!"

So Mus`ab left the great luxury in which he had been living. He became satisfied with a hard life he had never seen before, wearing the roughest clothes, eating one day and going hungry another. This spirit, which was grounded in the strongest faith, adorned with the light of Allah, made him another man,
one who appeals to the eyes of other great souls.

While he was in this state, the Prophet (PBUH) commissioned him with the greatest mission of his life, which was to be his envoy to Al-Madiinah. His mission was to instruct the Ansaar who believed in the Prophet (PBUH) and had pledged their allegiance to him at `Aqabah, to call others to Islam, and to prepare Al-Madiinah for the day of the great Hijrah. There were among the Companions of the Prophet (PBUH) at that time others who were older than Mus`ab and more prominent and nearer to the Prophet (PBUH) by family relations. But the Prophet (PBUH) chose Mus`ab the Good, knowing that he was entrusting to him the most important task of that time, putting into his hands the destiny of Islam at Al-Madiinah. The radiant city of Al-Madiinah was destined to be the home of Hijrah, the springboard of  Islamic preachers and the liberators of the future. Mus`ab was equal to the task and trust which Allah had
given him and he was equipped with an excellent mind and noble character. He won the hearts of the Madinites with his piety, uprightness and sincerity. And so they embraced the religion of Allah in flocks. At the time the Prophet (PBUH) sent him there, only twelve Muslims had pledged allegiance to the Prophet (PBUH) at the Pledge of `Aqabah. He had hardly completed a few months when they answered to the call of Allah and the Prophet (PBUH). During the next pilgrimage season, the Madinite Muslims sent a delegation of 70 believing men and women to Makkah to meet the Prophet (PBUH). 

They came with their teacher and their Prophet's envoy, Mus`ab Ibn `Umair. Mus`ab had proven, by his good sense and excellence, that the Prophet (PBUH) knew well how to choose his envoys and teachers.

Mus'ab had understood his mission well. He knew that he was a caller to Allah and preacher of His religion, which calls people to right guidance and the straight path. Like the Prophet (PBUH) in whom he believed, he was no more than a deliverer of the message. There he stood fast, with As`ad Ibn Zoraarah as host, and both of them used to visit the tribes, dwellings, and assemblies, reciting to the people what he had of the Book of Allah, instilling in them that Allah is no more than One God.

He had confronted certain instances which could have put an end to his life and that of those with him but for his active, intelligent, great mind. One day, he was taken by surprise while preaching to the people to find Usaid lbn hudair, leader of the `Abd Al-Ashhal tribe, at Al-Madiinah confronting him with a drawn arrow. He was raging with anger and animosity against the one who had come to corrupt the religion of his people by telling them to abandon their gods and talking to them about the idea of only One God Whom they did not know before and had never heard of. Their gods were to them the center of their worship. Whenever any of them needed them, he knew their places. They would invoke them for help. That was
how they thought and imagined!

As for the God of Muhammad, to whom this envoy was calling, nobody knew His place, nor could anybody see Him! When the Muslims who were sitting around Mus`ab, saw Usaid lbn hudair advancing in his unbridled anger, they were frightened, but Mus`ab the Good stood firm. Usaid stood before him and As`ad lbn Zoraarah shouting, "What brought you here?
Are you coming to corrupt our faith? Go away if you wish to be saved!"

And like the calmness of the sea and its force, Mus`ab started his fine speech saying, "Won't you sit down and listen? If you like our cause, you can accept; and if you dislike it, we will spare you of what you hate.

Allah is the Greatest! How grand an opening whose ending would be pleasant! Usaid was a thoughtful and clever man, and here he saw Mus`ab inviting him to listen and no more. If he was convinced he would accept it, and if he was not convinced, then Mus`ab would leave his neighborhood and his clan, and move to another neighborhood without harm, nor being harmed. There and then Usaid answered him saying, "Well, that is fair," and he dropped his arrow to the ground and sat down listening.

Mus`ab had hardly read the Qur'aan, explaining the mission with which Muhammad lbn `Abd Allah (PBUH) came, when the conscience of Usaid began to dear and brighten and change with the effectiveness of the words. He became overwhelmed by its beauty. When Mus`ab finished speaking, Usaid lbn Hudair exclaimed to him and those with him, "How beautiful is this speech, and how true! How can one enter this religion?" Mus`ab told him to purify his body and clothes and say, "I bear witness that there is no god but Allah." Usaid retired for some time and then returned pouring clean water on his head and standing there proclaiming, "I bear witness that there is no god but Allah, and that Muhammad is the Messenger of Allah."

The news spread like lightning and then Sa`d Ibn Mu`aadh came and listened to Mus`ab, and he was convinced and embraced Islam. Then came Sa`d lbn `Ubaadah. 

There and then blessings came with their entering Islam. The people of Al-Madiinah came together asking one another, "If Usaid lbn Hudair, Sa`d Ibn Mu`aadh and Sa`d Ibn `Ubaadah have embraced Islam, what are we waiting for? Go straight to Mus`ab and believe. By Allah, he is calling us to the truth and the straight path!" 

The first envoy of the Prophet (PBUH) succeeded without comparison. It was a success which he deserved and to which he was equal. The days and years passed by. The Prophet (PBUH) and his Companions emigrated to Al-Madiinah, and the Quraish were raging with envy and their ungodly pursuit after the pious worshippers. So the Battle of Badr took place, in which they were taught a lesson and lost their strong hold. After that they prepared themselves for revenge, and thus came the Battle of Uhud. The Muslims mobilized themselves, and the Prophet (PBUH) stood in their midst to sort out among their faithful faces and to choose one to bear the standard. He then called for Mus`ab the Good, and he advanced and carried the standard.
The terrible battle was raging, the fighting furious. The archers disregarded the orders of the Prophet (PBUH) by leaving their positions on the mountain when they saw the polytheists withdrawing as if defeated. But this act of theirs soon turned the victory of the Muslims to defeat. The Muslims were taken at unawares by the cavalry of the Quraish at the mountain top,
and many Muslims were killed by the swords of the polytheists as a consequence.

When they saw the confusion and horror splitting the ranks of the Muslims, the polytheists concentrated on the Prophet of Allah to finish him off. Mus`ab saw the impending threat, so he raised the standard high, shouting, "Allahu Akbar! Allah is the Greatest!" like the roar of a lion. He turned and jumped left and right, fighting and killing the foe. All he wanted was to draw the attention of the enemy to himself in order to turn their attention away from the Prophet (PBUH). He thus became as a wholarmy in himself. Nay, Mus`ab went alone to fight as if he were an army of giants raising the standard in sanctity with one hand, striking with his sword with the other. But the enemies were multiplying on him.
They wanted to step on his corpse so that they could find the Prophet (PBUH).

Let us allow a living witness to describe for us the last scene of Mus`ab the Great. Ibn Sa`d said: Ibraahiim lbn Muhammad lbn Sharhabiil Al-'Abdriy related from his father, who said: Mus`ab lbn `Umair carried the standard on the Day of Uhud. When the Muslims were scattered, he stood fast until he met lbn Qumaah who was a knight. He struck him on his right hand and cut it off, but Mus`ab said, "and Muhammad is but a Messenger. Messengers have passed away before him " (3:144). He carried the standard with his left hand and leaned on it. He struck his left hand and cut it off, and so he leaned on the standard and held it with his upper arms to his chest, all the while saying, "And Muhammad is but a Messenger. Messengers have passed away before him". Then a third one struck him with his spear,
and the spear went through him. Mus`ab fell and then the standard.

Nay, the cream of martyrdom had fallen! He fell after he had struggled for the sake of Allah in the great battle of sacrifice and faith. He had thought that if he fell, he would be a stepping stone to the death of the Prophet (PBUH) because he would be without defense and protection. But he put himself in harm's way for the sake of the Prophet (PBUH). overpowered by his fear for and love of him, he continued to say with every sword stroke that fell on him from the foe, "and Muhammad is but a Messenger. Messengers have passed away before him "(3:144). This verse was revealed later, after he had spoken it. After the bitter battle, they found the corpse of the upright martyr lying with his face in the dust, as if he feared to look while harm fell on the Prophet (PBUH). So he hid his face so that he would avoid the scene. Or perhaps, he was shy when he fell as a martyr, before making sure of the safety of the Prophet of Allah, and before serving to the very end, guarding and protecting him.

Allah is with you, O Mus`ab! What a great life story!

The Prophet (PBUH) and his Companions came to inspect the scene of the battle and bid farewell to its martyrs. Pausing at Mus`ab's body, tears dripped from the Prophet's eyes. Khabbaab lbn Al-Arat narrated: We emigrated with the Prophet (PBUH) for Allah's cause, so our reward became due with Allah. Some of us passed away without enjoying anything in this life of his reward, and one of them was Mus`ab Ibn`Umair, who was martyred on the Day of Uhud. He did not leave behind anything except a sheet of shredded woolen cloth. If we covered his head with it, his feet were uncovered, and if we covered his feet with it, his head was uncovered. The Prophet (PBUH) said to us, "Cover his head with it and put lemon grass over his feet."

Despite the deep, sad pain which the Prophet (PBUH) suffered over the loss of his uncle Hamzah and the mutilation of his corpse by the polytheists in a manner that drew tears from the Prophet (PBUH) and broke his heart; despite the fact that the field of battle was littered with the corpses of his Companions, all of whom represented the peak of truth, piety and enlightenment; despite all this, he stood at the corpse of his first envoy, bidding him farewell and weeping bitterly. Nay, the Prophet (PBUH) stood at the remains of Mus`ab lbn `Umair saying, while his eyes were flowing with tears, love and loyalty, "Among the believers are men who have been true to their covenant with Allah " (33:23).

Then he gave a sad look at the garment in which he was shrouded and said, "I saw you at Makkah, and there was not a more precious jewel, nor more distinguished one than you, and here you are bare- headed in a garment!" Then the Prophet (PBUH) looked at all the martyrs in the battlefield and said, "The Prophet of Allah witnesses that you are martyrs to Allah on the Day of Resurrection." Then he gathered his living Companions around him and said, "O people, visit them, come to them, and salute them. By Allah, no Muslim will salute them but that they will salute him in return."

Peace be on you, O Mus`ab. Peace be on you, O Martyrs. 
Peace and blessings of Allah be upon you!


♥.¤ª"˜¨¯¨¨Musha'ab bin Umar ❀ Mus'ab ibn Umair ¸,ø¨¨"ª¤.



60] Salim Maula Abu Hudzaifah - Saalim Mawlaa Abi Hudhaifah


Categories: