acebook




.¤ª"˜¨¯¨¨'Ubaidah Bin Shamit o'Ubaadah Ibn As-Saamit¸,ø¨¨"ª¤. 
Suatu fithrah yang cerdas. 



Di bumi Daus, dari keluarga yang mulia dan terhormat, muncullah tokoh kita ini . . . . la dikaruniai bakat sebagai pe­nyair, hingga nama dan kemahirannya termasyhur di kalangan suku-suku. 

Di musim ramainya pekan ‘Ukadh, tempat berkumpul dan berhimpunnya manusia, untuk mendengar dan menyaksikan penyair-penyair Arab yang datang berkunjung dari seluruh pelosok serta untuk menonjolkan dan membanggakan penyair masing-masing, maka Thufeil mengambil kedudukannya di barisan terkemuka . . . . Walaupun bukan pada musim ‘Ukadh, ia Sering pula pergi ke Mekah ….

Pada suatu ketika, saat ia berkunjung ke kota suci itu, Rasul­ullah telah mulai melahirkan da’wahnya . . . . Orang-orang Quraisy takut kalau-kalau Thufeil menemuinya dan masuk Islam, lalu menggunakan bakatnya sebagai penyair itu membela Islam, hingga merupakan bencana besar bagi Quraisy dan berhala­ berhala mereka . . . .

Oleh sebab itu mereka menelingkunginya selalu dan menyedia­kan segala kesenangan dan kemewahan untuk melayani dan menerima kedatangannya sebagai tamu, lalu menakut-nakutinya agar tidak berjumpa dengan Rasulullah saw. katanya:  ”Muham­mad memiliki ucapan laksana sihir, hingga dapat mencerai ­beraikan anak dari bapak dan seseorang dari saudaranya, serta seorang suami dari istrinya . .. ! Dan sesungguhnya kami ini cemas terhadap dirimu dan kaummu dari kejahatannya, maka janganlah ia diajak bicara, dan jangan dengarkan apa kata­nya . . . !Dan marilah kita dengarkan Thufeil menceritakan sendiri kisahnya katanya:  ”Demi Allah, mereka selalu membuntutiku, hingga aku hampir saja membatalkan maksudku untuk me­nemui dan mendengar ucapannya . . . . 

Dan ketika aku pergi ke Ka’bah, kututup telingaku dengan kapas, agar bila ia berkata, aku tidak mendengar perkataannya . . . . Kiranya ia kudapati sedang shalat dekat Ka’bah, maka aku berdiri di dekatnya, taqdir Allah menghendaki agar aku mendengarkan sebahagian apa yang dibacanya, dan terdengarlah olehku perkataan yang baik. . . .Lalu kataku kepada diriku: “Wahai malangnya ibuku ke­hilangan daku . . . ! Demi Allah, aku ini seorang yang pandai dan jadi penyair, dan mampu membedakan mana yang baik dari yang buruk! Maka apa salahnya jika aku mendengarkan apa yang diucapkan oleh laki-laki itu? Jika yang dikemukakannya itu barang baik, dapatlah kuterima, dan seandainya jelek, dapat pula kutinggalkan . . . . Kutunggu sampai ia berpaling hendak pulang ke rumahnya, lalu kuikuti hingga ia masuk rumah, maka kuiringkan dari belakang dan kukatakan kepadanya:  ”Wahai Muhammad! Kaummu telah menceritakan padaku bermacam­-macam, tentang dirimu!Dan demi Allah, mereka selalu menakut­-nakutiku terhadap urusanmu, hingga kututupi telingaku dengan kapas agar tidak mendengar perkataanmu . . . . 

Tetapi iradat Allah menghendaki agar aku mendengarnya, dan terdengarlah olehku ucapan yang baik, maka kemukakanlah padaku apa yang menjadi urusanmu itu … !”Rasul pun mengemukakan padaku terperinci tentang Agama Islam dan dibacakannya al-Quran …. Sungguh! Demi Allah, tak pernah kudengar satu ucapan pun yang lebih baik dari itu, atau suatu urusan yang lebih benar dari itu . . . !Maka masuklah aku ke dalam Islam, dan kuucapkan syahadat yang haq, lalu kataku: “Wahai Rasulullah! Sesungguh­nya aku ini seorang yang ditaati oleh kaumku, dan sekarang aku akan kembali kepada mereka, serta akan menyeru mereka kepada Islam. Maka du’akanlah kepada Allah agar aku diberi-Nya suatu tanda yang akan menjadi pembantu bagiku mengenai soal yang kuserukan pada mereka itu. 
Maka sabda Rasulullah saw.
“Ya Allah! Jadikanlah baginya suatu tanda. . .

Dalam kitab suci-Nya Allah Ta’ala telah memuji

 “orang­-orang yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti yang terbaik di antaranya . . . “. 

Nah, sekarang kita bertemu dengan salah seorang di antara mereka itu . . . , dan ia merupakan suatu gambaran yang tepat mengenai fithrah yang cerdas . . . !

Demi telinganya mendengar sebagian ayat-ayat mengenai petunjuk dan kebaikan yang diturunkan Allah atas kalbu hamba­Nya, maka seluruh pendengaran dan seluruh hatinya terbuka selebar-lebaruya, dan diulurkannya tangannya untuk bai’at kepada Rasulnya ….Dan tidak hanya sampai di sana, tetapi dengan secepatnya dibebaninya dirinya dengan tanggung jawab menyeru kaum dan keluarganya kepada Agama yang haq dan jalan yang lurus ini…Oleh sebab itu, baru saja ia sampai di rumah dan kampung halamannya Daus, dikemukakannyalah kepada bapaknya ‘Aqidah dan keinginan yang terkandung dalam hatinya, dan diserunya ia kepada Islam, yakni setelah menceritakan perihal Rasul yang menyebarkan Agama itu, tentang kebesaran, kesucian, amanah dan ketulusan serta ketaatannya kepada Allah Robbul­’alamin ….

Dan pada waktu itu juga bapaknya masuk Islam. Lalu ia beralih kepada ibunya, yang juga menganut Islam. Kemudian kepada istrinya yang mengambil tindakan yang serupa. Dan tatkala hatinya menjadi tenteram karena Islam telah meliputi rumahnya, ia pun berpindah tempat kepada kaum keluarga, bahkan kepada seluruh penduduk Daus. Tetapi tak seorang pun di antara .mereka yang memenuhi seruannya memeluk Islam, kecuali Abu Aurairah r.aKaumnya itu menghinakan dan memencilkannya, hingga akhirnya hilanglah keshabarannya terhadap mereka. Maka dinaikinya kendaraannya menempuh padang pasir dan kembali kepada Rasulullah saw. mengadukan halnya dan membekali diri dengan ajaran-ajarannya ….

Dan tatkala tibalah ia di Mekah, segeralah ia ke rumah Rasul, dibawa oleh hatinya yang rindu. Katanya kepada Nabi saw.:  ”Wahai Rasulullah . .. ! Saya kelabakan menghadapi riba dan perzinahan yang merajalela di desa Daus . . . ! Maka mohonkanlah kepada Allah agar Ia menghancurkan Daus … !”
Tetapi alangkah terpesonanya Thufeil ketika dilihatnya Rasulullah mengangkatkan kedua tangannya ke langit serta katanya: 
 ”Ya Allah, tunjukilah orang-orang Daus, dan datang­kanlah mereka ke sini dengan memeluk Islam … !” 

Lalu sambil berpaling kepada Thufeil, katanya: 
 ”Kembalilah kamu kepada kaummu, serulah mereka dan bersikap lunak-lembutlah kepada mereka”

Peristiwa yang disaksikannya ini memenuhi jiwa Thufeil dengan keharuan dan mengisi ruhnya dengan kepuasan, lalu dipujinya Allah setinggi-tingginya, yang telah menjadikan Rasul, insan pengasih ini sebagai guru dan pembimbingnya, dan men­jadikan Islam sebagai Agama dan tempat berlindungnya ….Maka bangkitlah ia pergi kembali ke kampung halaman dan kaumnya. Dan di sana, ia terns mengajak mereka kepada Islam secara lunak lembut sebagai dipesankan oleh Rasulullah saw.

Dalam pada itu, selama tenggang waktu yang dilaluinya di tengah-tengah kaumnya, Rasulullah telah hijrah ke Madinah, dan telah terjadi perang Badar, Uhud dan Khandak. 

Tiba-tiba ketika Rasulullah sedang berada di Khaibar, yakni setelah kota itu diserahkan Allah ke tangan Muslimin, satu rombongan besar yang terdiri dari delapan puluh keluarga Daus datang menghadap Rasulullah sambil membaca tahlil dan takbir. Mereka lalu duduk di hadapannya mengangkat bai’at secara bergantian.Dan tatkala selesailah peristiwa mereka yang bersejarah dan upacara bai’at yang diberkahi itu, Thufeil pergi duduk seorang diri, merenungkan kembali kenangan-kenangan lama­nya dan mengira-ngirakan langkah yang akan diambilnya untuk masa mendatang . . . .

Maka teringatlah ia akan saat kedatangannya kepada Rasul­ullah memohon agar ia menadahkan tangannya ke langit untuk mengucapkan du’a “Ya Allah, hancurkanlah orang-orang Daus . . . . .., tetapi ternyata Rasulullah menyampaikan per­mohonan lain yang menggugah keharuannya dengan ucapan sebagai berikut:
 “Ya Allah, tunjukilah orang-orang Daus, dan bawalah mereka ke sini setelah menganut Islam … !”

Sungguh, Allah telah menunjuki orang-orang Daus dan Ia telah mendatangkan mereka sebagai Kaum Muslimin . . . ! 

Mereka terdiri dari 80 kepala keluarga beserta penghuni rumahnya dan merupakan bagian terbesar dari penduduk, serta meng­ambil kedudukan mereka di barisan suci di belakang Rasulullah al- Amin . . . .Thufeil melanjutkan usahanya bersama jama’ah yang telah beriman itu. Tatkala tibalah saat pembebasan Mekah ia ikut rombongan yang memasukinya, yang jumlahnya sepuluh ribu orang, yang sekali-kali tidak merasa bangga atau besar kepala, hanya sama-sama menundukkan kening karena hormat dan ta’dhim, mensyukuri ni’mat Allah yang telah membalas usaha mereka dengan kemenangan nyata, dan pembebasan Mekah yang tak usah menunggu lama ….

Thufeil melihat Rasulullah menghancurkan berhala-berhala di Ka’bah dan membersihkan dengan tangannya kotoran dan najis yang telah lama berkarat. Putera Daus itu teringat akan sebuah berhala milik Amr bin Himamah. Amr ini Sering mem­bawanya memuji berhala itu sewaktu ia menginap di rumahnya sebagai tamunya, hingga ia berlutut di hadapannya dan meren­dahkan diri dan memohon kepadanya … !Datanglah sudah saatnya bagi Thufeil sekarang ini untuk menghapus dan melebur dosa-dosanya di hari itu. Ketika itu pergilah ia kepada Rasulullah saw. meminta idzin untuk pergi membakar berhala milik Amr bin Humamah tadi, yang biasa disebut “Dzal kaffain”, atau “si Telapak tangan dua”.

Rasulullah memberinya idzin, maka pergilah ia ke tempat berhala itu lalu membakarnya dengan api yang bernyala; setiap api itu surut, dinyalakannya kembali, dan sementara itu mulut­nya asyik berpantun:“Hai Dzal kaffain, aku ini bukan hambamu, Kami lebih dulu lahir daripadamu!Nah, terimalah api ini untuk pengisi perutmu!Demikianlah Thufeil melanjutkan hidupnya bersama Nabi, sahalat di belakangnya dan belajar kepadanya serta berperang dalam rombongannya. Dan ketika Rasulullah naik ke Rafiqul Ala, Thufeil berpendapat bahwa dengan wafatnya Rasulullah itu, tanggung jawabnya sebagai seorang Muslim belumlah ber­henti, bahkan boleh dikata baru saja mulai!

Ketika pertempuran melawan orang-orang murtad berkobar, Thufeil menyingsingkan lengan bajunya, lalu terjun mengalami pahit getirnya dengan semangat dan kegairahan dari seorang yang rindu menemui syahid . . . . la ikut dalam perang riddah itu, pertempuran demi pertempuran ….Pada pertempuran Yamamah, ia berangkat bersama Kaum Muslimin dengan membawa puteranya ‘Amr bin Thufeil. Baru saja perang mulai, telah dipesankannya kepada puteranya itu agar berperang mati-matian menghadapi tentara Musailamah si pembohong itu, bahkan walau akan mati syahid sekalipun … ! Dibisikkannya pula kepada puteranya itu bahwa menurut fira­satnya, dalam pertempuran kali ini ia akan menemui ajalnya...!Setelah itu disiapkannya pedangnya dan diterjuninya pertempuran dengan semangat berqurban dan berani mati...! Bukan hanya membela nyawanya dengan mata pedangnya …. tetapi pedangnya pun dibelanya dengan nyawanya...!

Hingga ketika ia wafat dan tubuhnya rubuh, pedangnya masih teracung dan siap sedia, untuk ditebaskan oleh tangannya yang sebelah yang tidak mengalami cedera apa-apaMaka dalam pertempuran itu tewaslah Thufeil ad-Dausi r.a. memenuhi syahidnya..., dan jasadnya pun rubuh disebab­kan tusukan senjata, sementara sinar matanya seakan hendak memberi isyarat kepada puteranya yang tak kunjung dilihatnya dekat arena.. Yah, isyarat agar ia waspada dan tidak menyusul dan mengikuti langkahnya ….Tetapi sungguh, rupanya puteranya itu tak hendak ketinggal­an, lalu menyusul ayahandanya pula, memang tidak pada waktu itu, hanya beberapa lama setelahnya . . . ! 

Di pertempuran sebagai di Syria, ketika Amr bin Thufeil turut mengambil bagian sebagai Pejuang, di sanalah ia menemui apa yang dicitanyaSementara ia hendak menghembuskan nafasnya yang peng­habisan, diulurkannya tangannya yang kanan dan dibentangkannya telapaknya seakan hendak menjawab dan menyalami tangan seseorang...! Yah, siapa tahu, mungkin waktu itu ia hendak bersalaman dengan ruh bapaknya...!

AT-TUFAIL IBN `AMR AD-DAWSIY  
The Rightly Guided Nature 

        In the land of Daws, he grew up in a noble, respected family. He was gifted with poetry, and his fame and excellence spread among the tribes. During the season of `Ukaadh, when Arab poets came from all directions and the people gathered and assembled to show off their poetry, At-Tufail used to take his place in the forefront.  

       He used to frequent Makkah at times other than Ukaadh. Once he visited Makkah when the Messenger had just started declaring his mission and the Quraish feared that At-Tufail would meet him and convert to Islam and then put his poetic gift at the service of Islam. That would be a curse upon the Quraish and their idols. On account of this, they circled around him and prepared for him a hospitality that included every kind of joy, comfort, and ease. Then they went on to warn him about meeting the Messenger of Allah. They said to him, "He has charming speech like magic and he makes division between a man and his son, and a man and his brother, and a man and his wife. I fear for you and your people from him. So do not talk to him nor listen to any talk from him."  
  
      Let us listen to At-Tufail himself telling the remainder of the story: So by Allah, they were still insisting on my not listening to anything from him and not meeting him. And when I went over to the Ka'bah, I filled my ears with cotton so as not to hear anything he had to say when he spoke. There I found him standing praying at the  Ka' bah, so I stood close to him. Allah refused nothing but He made me hear some portion of what he was reading. I heard a fine speech, and I said to myself, "Oh, may I lose my mother! Indeed I am an intelligent poet. I would not fail to recognize the good from the ugly. What is it that hinders me from listening to the man and what he says? If that which he brings is good, I should accept it, and if it is bad...." 
  
      I stayed until Muhammad departed to his house. I followed him until he entered his house, so I entered behind him and said to him, "O Muhammad, verily your people have told me such-and-such about you. By Allah, they kept making me afraid of you until I blocked my ears with cotton in order not to hear your words. But Allah willed that I hear, so I heard a fine speech. Set forth to me your message."  

        So the Messenger presented to me Islam and recited to me from the Qur'aan. By Allah, I had never heard a speech better than it, nor a matter more just than it. So, I surrendered and bore witness to the truth.  

        I said, "O Messenger of Allah, indeed I am a person of credibility among my people and I am returning to them to invite them to Islam, so call on Allah to make a sign for me that will be a help for me in that which I call them to." 
He said,
 "O Allah, make for him a sign."  
     
   Allah has spoken appreciatively in His book

 " Those who listen to the speech and follow the best part of it " (39:18).  

        We have met one of those great people and he is, indeed, a true picture of the image of the rightly guided nature.  

        So, no sooner had he heard it than he accepted the message of some of the blessed guiding verses which Allah had revealed to the heart of His Messenger until all his hearing was opened and all his heart, until he stretched out his right hand to swear the oath of allegiance. Not only that, but he immediately took upon himself the responsibility of inviting his people and kin to this religion of truth and the straight path.  

       For this reason, as soon as he reached his country and house in the land of Daws, he confronted his father about that which was in his heart concerning the principles of faith and perseverance. He called his father to Islam after speaking to him about the Messenger who calls to Allah. He spoke to him about his greatness, about his purity and honesty, and his father became a Muslim immediately. Then he went to his mother, and she became a Muslim. Then to his wife, and she became a Muslim. When he was sure that Islam had swept over his household, he moved on to his tribe and to all the inhabitants of Daws. However, no one from among them accepted Islam except Abu Hurairah (May Allah be pleased with him).  

        They went on disappointing him and turning away from him until he ran out of patience with them, so he rode his beast, cutting through the desert, returning to the Messenger of Allah to complain to him and to take more and more of his teachings. When he arrived in Makkah, he hastened to the house of the Messenger, driven by his yearning to see him. He said to the Prophet (PBUH), "O Messenger of Allah, indeed adultery and usury have beaten me in our fight over Daws. So, call on Allah to destroy Daws." Suddenly, At-Tufail was baffled when he saw the Messenger (PBUH) raise his hands to the sky while saying,
 "O Allah, guide Daws and bring them to Islam as Muslims." 
Then he turned to At-Tufail and said to him.
 "Return to your people, call them and be lenient with them."  
    
    This scene filled the soul of At-Tufail with awe and filled his spirit with peace. He thanked Allah with the deepest praise for making this human merciful Messenger his teacher and instructor, and for making Islam his religion and his joy. He returned to his land and people, and there he went on calling to Islam gradually and leniently, just as the Messenger had advised him.  

        During the period he spent among his people, the Messenger emigrated to Al-Madiinah and the battles of Badr, `Uhud and Khandaq took place. While the Messenger of Allah was in Khaibar, after Allah had given the Muslims victory over it, a full procession including 80 families from Daws approached the Messenger saying, "There is no god but Allah and Allah is the Greatest." They sat before him giving the oath of allegiance one after the other.  
      
  When this lavish spectacle of theirs and their blessed oath was over At-Tufail Ibn `Amr sat alone by himself reiterating his memories and contemplating his steps along the way. He remembered the day he came to the Messenger asking him to raise his hands to the sky saying, "O Allah, destroy Daws." Yet, the Prophet supplicated and humbly prayed to Allah on that day with another prayer which aroused his amazement. "O Allah, guide Daws and bring them to Islam as Muslims!" And Allah had guided Daws and brought them as Muslims. And here they were, 80 families of them, consisting of the majority of its inhabitants, taking their place in the pure ranks behind the trustworthy Messenger of Allah.  
  
     At-Tufail continued his work with the believing community, and on the day of the Conquest of Makkah, he entered it with tens of thousands of Muslims. They never withdrew in pride and strength but with their foreheads bowed in adoration, glorifying and thanking Allah Who rewarded them with victory and a clear help.  

        At-Tufail saw the Messenger of Allah destroying the idols of the Ka`bah and purifying it with his own hands from the impurity which had lingered for so long. Immediately afterwards, he remembered an idol belonging to Amr Ibn Humamah. Whenever he stayed over as his guest, he used to show it to him, so he became fearful in its presence and pleaded to it. Now the opportunity had come for At-Tufail to erase the sin of those days from his soul. He approached the Messenger, requesting permission to go burn the idol of Humamah called "The Two Palms", and the Prophet (PBUH) gave him permission.  

        At-Tufail went over and lit the fire on it and every time the flame went down, he stoked it again to a blazing fire. All the while he said,  

O Idol of Two Palms, 
I am not one of your worshipers.
Our origin is older than your origin. 
I have filled fire in your heart. 
  
      Thus did At-Tufail live with the Prophet (PBUH), praying behind him, learning from him, and fighting with him. The Prophet (PBUH) was transported to the most exalted horizon. However, At-Tufail saw that his responsibility as a Muslim did not end with the death of the Messenger, but rather it was about to start. Therefore, no sooner had the apostasy wars erupted than At-Tufail prepared for them and embarked courageously on their hardships and terrors with a yearning for martyrdom. He participated in the apostasy wars, battle after battle. 
     
  In Battle of Al-Yamaamah, he went out with the Muslims accompanied by his son `Amr Ibn At- Tufail. At the beginning of the battle he advised his son to fight the army of Musailamah the Liar, like one who desires death and martyrdom.  

        He told him that he felt he would die in this battle, and thus his sword carried him. He plunged into the fight in a glorious performance. He did not defend his life with his sword but he defended his sword with his life. So, when he died his body fell down, but the sword remained sharp and intact so that another hand whose owner had not yet fallen could strike with it.  

      In the battle, At-Tufail Ad-Dawsiy was martyred. His body fell down under the flurry of stabs and strikes while he was waving to his son, who was unable to see him admist the crowd.  

        He was waving to him as if he were calling him to follow and join him. And he did actually follow him, but after a while. In the Battle of Yarmuuk in Syria, `Amr Ibn At-Tufail went out to fight and died as a martyr. At the time his spirit was coming out of his breast, he extended his right hand and opened his palm as if he would shake the hand of someone else. And who knows ? Perhaps at that time he was shaking the spirit of his father.

.¤ª"˜¨¯¨¨'Ubaidah Bin Shamit o'Ubaadah Ibn As-Saamit¸,ø¨¨"ª¤. 


Categories: