acebook





.¤ª"˜¨¯¨¨'Amr Bin 'Ash o'Amr Ibn Al-AAs¸,ø¨¨"ª¤. 
Pembebas Mesir dari cengkeraman Romawi.



Ada tiga orang gembong Quraiay yang amat menyubahkan Rasulullah saw. disebabkan sengitnya perlawanan mereka terhadap da’wahnya dan siksaan mereka terhadap shahabatnya. Maka Rasulullah selalu berdoa dan memohon kepada Tuhannya agar menurunkan adzabnya pada mereka. 

Tiba-tiba sementara ia berdoa dan memohon itu, turunlah wahyu atas kalbunya berupa ayat yang mulia ini: 

“Tak ada sesuatu pun kekuasaanmu mengenai urusan itu, apakah la akan menerima taubat mereka atau akan me nyiksa mereka, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang aniaya … (Q.S. 3 Ali Imran: 128)

Rasulullah memahami bahwa maksud ayat itu ialah menyuruhnya agar menghentikan doa untuk menyiksa mereka serta menyerahkan urusan mereka kepada Allah semata. Kemungkinan, mereka tetap berada dalam keaniayaan hingga akan menerima adzab-Nya. Atau mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka hingga akan memperoleh rahmat karunia-Nya. Maka ‘Amr bin ‘Ash adalah salah satu dari ketiga orang tersebut. Allah memilihkan bagi mereka jalan untuk bertaubat dan menerima rahmat, maka ditunjuki-Nya mereka jalan untuk menganut Islam, dan ‘Amr bin ‘Ash pun beralih rupa menjadi seorang Muslim pejuang, dan salah seorang panglima yang gagah berani...Dan bagaimana pun juga sebagian dari pendiriannya yang arah pandangannya tak dapat kita terima,namun peranannya sebagai seorang shahabat yang mulia, yang telah memberi dan berbuat jasa, berjuang dan berusaha, akan selalu membuka mata dan hati kita terhadap dirinya....

Dan di sini di bumi Mesir sendiri, orang-orang yang me mandang Islam itu adalah Agama yang lurus dan mulia, dan melihat pada diri Rasulnya rahmat dan ni’mat serta karunia, serta penyampai kebenaran utama, yang menyeru kepada Allah berdasarkan pemikiran dan mengilhami kehidupan ini dengan sebagian besar dari kebenaran dan ketaqwaan..., orang-orang yang beriman itu akan memendam rasa cinta kasih kepada laki-laki, yang oleh taqdir dijadikan alat  alat bagaimanapun untuk memberikan Islam ke haribaan Mesir, dan menyerahkan Mesir ke pangkuan Islam . . . ! Maka alangkah tinggi nilai hadiah itu, dan. alangkah besar jasa Pemberinya … ! Sementara laki-laki yang menjadi taqdir dan dicintai oleh mereka itu, itulah dia ‘Amr bin ‘Ash r.a....Para muarrikh atau ahli-ahli sejarah biasa menggelari ‘Amr dengan “Penakluk Mesir”. Tetapi, menurut kita gelar ini tidaklah tepat dan bukan pada tempatnya. Mungkin gelar yang paling tepat untuk ‘Amr ini dengan memanggilnya “Pembebas Mesir”. 

Islam membuka negeri itu bukanlah menurut pengertian yang lazim digunakan di masa modern ini, tetapi maksudnya tiada lain ialah membebaskannya dari cengkraman dua kerajaan besar yang menimpakan kepada negeri ini serta rakyatnya perbudakan dan penindasan yang dahsyat, yaitu imperium Persi dan Romawi...Mesir sendiri, ketika pasukan perintis tentara Islam memasuki wilayahnya, merupakan jajahan dari Romawi, sementara per juangan penduduk untuk menentangnya tidak membuahkan hasil apa-apa …. Maka tatkala dari tapal batas kerajaan-kerajaan itu bergema suara takbir dari pasukan-pasukan yang beriman: “Allahu Akbar, Allahu Akbar . . . “, mereka pun dengan ber duyun-duyun segera menuju fajar yang baru terbit itu lalu memeluk Agama Islam yang dengan perantaraannya menemukan kebenaran mereka dari kekuasaan kisra maupun kaisar.

Jika demikian halnya, ‘Amr bin ‘Ash bersama anak buahnya tidaklah menaklukkan Mesir! Mereka hanyalah merintis serta membuka jalan bagi Mesir agar dapat mencapai tujuannya dengan kebenaran dan mengikat norma danperaturan-peraturannya dengan keadilan, serta menempatkan diri dan hakikatnyadalam cahaya kalimat-kalimat Ilahi dan dalam prinsip-prinsip Islami . . . !‘Amr bin ‘Ash r.a., amat berharap sekali akan dapat meng hindarkan penduduk Mesir dan orang-orang Kopti dari peperangan, agar pertempuran terbatas antaranya dengan tentara Romawi Saja, yang telah mendudukinegeri orang secara tidak Sah, dan mencuri harta penduduk dengan sewenang-wenang...Oleh sebab itulah kita dapati ia berbicara ketika itu kepada pemuka-pemuka golongan Nasranidan uskup-uskup besar mereka, katanya:“Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad saw. membawa kebenaran dan menitahkan kebenaran itu... Dan sesungguhnya ia saw. telah menunaikan tugas risalatnya kemudian berpulang setelah meninggalkan kami di jalan lurus terang benderang.Di antara perintah-perintah yang disampaikannya kepada kami ialahmemberikan kemudahan bagi manusia. Maka kami menyeru kalian kepada Islam...

Barang siapa yang memenuhi seruan kami, maka ia termasuk golongan kami, memperoleh hak seperti hak-hak kami dan memikul kewajiban seperti kewajiban-kewajiban kami... Dan barang siapa yang tidak memenuhi seruan kami itu, kami tawarkan membayar pajak, dan kami berikan padanya keamanan serta perlindungan. Dan sesungguhnya Nabi kami telah memberitakan bahwa Mesir akan menjadi tanggung jawab kami untuk mem bebaskannya dari penjajah, dan diwasiatkannya kepada kami agar berlaku baik terhadap penduduknya, sabdanya:

“Sepeninggalku nanti, Mesir, menjadi kewajiban kalian untuk membebaskannya, maka perlakukanlah penduduk nya dengan baik, karena mereka masih mempunyai ikatan dan hubungan kekeluargaan dengan kita . . . ! “Maka jika kalian memenuhi seruan kami ini, hubungan kita semakin kuat dan bertambah erat ...!

‘Amr menyudahi ucapannya, dan sebagian uskup dan pen deta menyerukan: ”Sesungguhnya hubungan silaturrahmi yang diwasiatkan Nabimu itu adalah suatu pendekatan dengan pan dangan jauh, yang tak mungkin disuruh hubungkan kecuali oleh Nabi...! “Percakapan ini merupakan permulaan yang baik untuk tercapainya Saling pengertian yang diharapkan antara ‘Amr dan orang Kopti penduduk Mesir, walau panglima-panglima Romawi berusaha untuk menggagalkannya...‘Amr bin ‘Ash tidaklah termasuk angkatan pertama yang masuk Islam.la baru masuk Islam bersama Khalid bin Walid tidak lama sebelum dibebaskannya kota Mekah...Anehnya keislamannya itu diawali dengan bimbingan Negus raja Habsyi. Sebabnya ialah karena Negus ini kenal dan menaruh rasa hormat terhadap ‘Amr yang Sering bolak-balik ke Habsyi dan mempersembahkan barang-barang berharga sebagai hadiah bagi raja... 

Di waktu kunjungannya yang terakhir ke negeri itu, tersebutlah berita munculnya Rasul yang menyebarkan tauhid dan akhlaq mulia di tanah Arab.Maharaja Habsyi itu menanyakan kepada ‘Amr kenapa ia tak hendak beriman dan mengikutinya, padahal orang itu benar- benar utusan Allah? “Benarkah begitu … ?” tanya ‘Amr kepada Negus. “Benar”, ujar Negus, “Turutlah petunjukku, hai ‘Amr dan ikutilah dia! Sungguh dan demi Allah, ia adalah di atas kebenaran dan akan mengalahkan orang-orang yang menen tangnya...!”Secepatnya ‘Amr terjun mengarungi lautan kembali ke kampung halamannya, lalu mengarahkan langkahnya menuju Madinah untuk menyerahkan diri kepada Allah Robbul’alamin.Dalam perjalanan ke Madinah itu ia bertemu dengan Khalid bin Walid dan Utsman bin Thalhah, yang juga datang dari Mekah dengan maksud hendak bai’at kepada Rasulullah saw

Demi Rasul melihat ketiga orang itu datang, wajahnya pun berseri-seri, lalu katanya pada shahabat-shahabatnya: “Mekah telah melepas jantung-jantung hatinya kepada kita...Mula-mula tampil Khalid dan mengangkat bai’at. Kemudian majulah ‘Amr dan katanya:“Wahai Rasulullah . . . ! Aku akan baiat kepada anda, asal Saja Allah mengampuni dosa-dosaku yang terdahulu …Maka jawab Rasulullah saw.:  “Hai ‘Amr! Baiatlah, karena Islam menghapus dosa-dosa yang sebelumnya … !”‘Amr pun bai’at, dan diletakkannya kecerdikan dan keberanian nya dalam darma baktinya kepada Agamanya yang baru ….Tatkala Rasulullah saw. berpindah ke Rafiqul A’la, ‘Amr sedang berada di Oman menjadi gubernurnya. Dan di masa pemerintah Umar, jasa-jasanya dapat disaksikan dalam peperang an-peperangan di Syria, kemudian dalam membebaskan Mesir dari penjajahan Romawi.

Wahai, kenapa ‘Amr bin ‘Ash tidak menahan ambisi pribadi nya untuk dapat berkuasa! Seandainya demikian, tentulah ia akan dapat mengatasi dengan mudah sebagian kesulitan yang dialaminya disebabkan ambisinya ini . . . !Tetapi ambisinya ingin berkuasa ini, sampai suatu batas tertentu, hanyalah merupakan gambaranlahir dari tabiat bathin nya yang bergejolak dan dipenuhi bakat . . – !Bahkan bentuk tubuh, cara berjalan dan bercakapnya, memberi iayarat bahwa ia diciptakan untuk menjadi amir atau penguasa . . . !

 Hingga pernah diriwayatkan bahwa pada suatu hari Amirul Mu’minin Umar bin Khatthabmelihatnya datang. Ia tersenyum melihat caranya berjalan itu, lalu katanya:“Tidak pantas bagi Abu Abdillah akan berjalan di muka bumi kecuali sebagai amir … !”Sungguh, sebenarnya ‘Amr atau Abu Abdillah tidak me ngurangkan haq dirinya ini … ! Bahkan ketika bahaya-bahaya besar datang mengancam Kaum Muslimin, ‘Amr menghadapi peristiwa-peristiwa itu dengan cara seorang amir . . . seorang amir yang cerdik dan licin serta berkemampuan, menyebabkan nya percaya akan dirinya,serta yakin akan keunggulannya . . . !

Tetapi di samping itu ia juga memiliki sifat amanat, menye babkan Umar bin Khatthab, seorang yang terkenal amat teliti dalam memilih gubernur-gubernurnya, menetapkan sebagai gubernur di Palestine dan Yordania,kemudian di Mesir selama. hayatnya Amirul Mu’minin ini ….Bahkan ketika Amirul Mu’minin mengetahui bahwa ‘Amr, dalam kesenangan hidup telah melampaui batas yang telah digariskannya terhadap para pembesarnya, dengan tujuan agar taraf hidup mereka setingkat atau hampir setingkat dengan taraf hidup umumnya rakyat biasa, maka khalifah tidaklah memecatnya, hanya mengirimkan Muhammad bin Maslamah dan memerintahkannya agar membagi dua semua harta dan barang ‘Amr, lalu meninggalkan untuknya separohnya, sedang yang separuhnya lagi hendaklah dibawanya ke Madinah untuk Baitulmal.

Seandainya Amirul Mu’minin mengetahui bahwa ambisi ‘Amr terhadap kekuasaan sampai menyebabkannya agak lalai terhadap tanggung jawabnya, tentulah jiwanya yang waspada itutidak akan membiarkannya memegang kekuasaan walau agak sekejap pun. . . !‘Amr bin ‘Ash r.a. adalah seorang yang berfikiran taiam, cepat tanggap dan berpandangan jauh . . . hingga Amirul Mu’minin Umar, setiap ia melihat seorang yang sedikit akal,dipertepuk kannya kedua telapak tangannya dengan keras karena herannya, seraya katanya:“Subhanallah . . . ! Sesungguhnya Pencipta orang ini dan Pencipta ‘Amr bin ‘Ash hanyalah Tuhan Yang Tunggal, keduanya sama benar … !”

Di samping itu ia juga seorang yang amat berani dan ber kemauan keras ….Pada beberapa peristiwa dan suasana, keberaniannya itu dihadapinya dengan kelihaiannya, hingga disangka orang ia sebagai pengecut atau penggugup. 

Padahal itu tiada lain dari tipu mus lihat yang keistimewaanya yang oleh ‘Amr digunakannya secara tepat dan dengan keeerdikan mengagumkanuntuk membebaskan diri nya dari bahaya yang mengancam … !Amirul Mu’minin Umar mengenal bakat dan kelebihannya ini sebaik-baiknya, serta menghitungkannya dengan sepatutnya. Oleh sebab itu sewaktu ia dikirimnya ke Syria sebelum pergi ke Mesir, dikatakan orang kepada Umar bahwa tentara Romawi dipimpin oleh Arthabon, maksudnya panglima yang lihai dan gagah berani. Jawaban Umar ialah:“Kita hadapkan arthabon Romawi kepada arthabon Arab, dan baiklah kita saksikan nanti bagaimana akhir kesudah annya . . . !”

Ternyata bahwa pertarungan itu berkesudahan dengan kemenangan mutlak bagi arthabon Arab dan ahli tipu muslihat mereka yang ulung ‘Amr bin ‘Ash, sehingga arthabon Romawi, meninggalkan tentaranya menderita kekalahan dan meluputkan diri ke Mesir . .. , yang tak lama antaranya akan disusul oleh ‘Amr ke negeri ituuntuk membiarkan bendera dan panji-panji Islam di angkasanya yang aman damai ….Tidak sedikit peristiwa, di mana kecerdikan dan kelicinan ‘Amr menonjol dengan gemilang! 

Dalam hal ini kita tidak memasukkan perbuatan sehubungan dengan Abu Musa al-Asy’ari pada peristiwa tahkim, yakni ketika kedua mereka menyetujui bahwa masing-masing akan menanggalkan Ali dan Mu’awiyah dari jabatan mereka, agar urusan itu dikembalikan kepada Kaum Muslimin untuk mereka musyawarahkan bersama. Ternyata Abu Musa melaksanakan hasil persetujuan tersebut, sementara ‘Amr tidak melaksanakannya ….

Sekiranya kita ingin menyaksikan bagaimana kelicinan serta kesigapan tanggapnya, maka pada peristiwa yang dialaminya bersama komandan benteng Babilon di saat peperangannya dengan orang-orang Romawi di Mesir, atau menurut riwayat riwayat lain, bersama arthabon Romawi di pertempuran Yarmuk di Syria … !Yakni ketika ia diundang oleh komandan benteng atau oleh arthabon untuk berunding, dan sementara itu komandan Romawi telah menyuruh beberapa orang anak buahnya untuk menggulingkan batu besar ke atas kepalanya sewaktu ia hendak pulang meninggalkan benteng itu, sementara segala sesuatu dipersiapkan, agar rencana tersebut dapat berjalan lancar dan menghasilkan apa yang dimaksud mereka ….‘Amr pun berangkat menemui komandan, tanpa sedikit pun menaruh curiga, dan setelah berunding mereka berpisahlah. Tiba-tiba dalam perjalanannya ke luar benteng, terkilaslah olehnya di atas tembok, gerakan yang mencurigakan,hingga membangkitkan gerakan refleknya dengan amat cepatnya,dan dengan tangkas berhasil menghindarkan diri dengan cara yang mengagumkan ….Dan sekarang ia kembali mendapatkan komandan benteng dengan langkah-langkah yang tepat dan tegap serta kesadaran tinggi yang tak pernah goyah, seolah-olah ia tak dapat dikejutkan oleh sesuatu pun dan tidak dapat dipengaruhi oleh rasa curiga . . . ! Kemudian ia masuk ke dalam, lalu katanya kepada komandan:

“‘Tirnbul dalam hatiku suatu fikiran yang ingin kusampaikan kepada anda sekarang ini. Di pos komandoku sekarang ini sedang menunggu segolongan shahabat Rasul angkatan pertama masuk Islam, yang pendapat mereka biasa didengar oleh Amirul Mu’minin untuk mengambil sesuatu keputusan penting. Bahkan setiap mengirim tentara, mereka selalu diikutsertakan untuk mengawasi tindakan tentara dan langkah-langkah yang mereka ambil. Maka maksudku hendak membawa mereka ke sini agar dapat mendengar dari mulut anda apa yang telah kudengar, hingga mereka memperoleh penjelasan yang sebaik-baiknya mengenai urusan kita ini … ! “

Komandan Romawi itu secara bersahaja maklum bahwa karena nasib mujurnya, ‘Amr lolos dari lobang jarum . . . ! Dengan sikap gembira ia menyetujui usul ‘Amr, hingga bila ‘Amr nanti kembali dengan sejumlah besar pimpinan dan panglima Islam pilihan, ia akan dapat menjebak mereka semua, daripada hanya ‘Amr seorang. . ?Dan secara sembunyi-sembunyi hingga tidak diketahui oleh ‘Amr, dipertahankannyalah untuktidak mengganggu ‘Amr dan menyiapkan kembali perangkap yang disediakan untuk panglima Islam tadi,guna menghabisi para pemimpin mereka yang utama ….

Lalu dilepasnya ‘Amr dengan besar hati, dan disalaminya amat hangat sekali …. disambut oleh ahli siasat dan tipumuslihat Arab itu dengan tertawa dalam hati . . ..Dan di waktu subuh keesokan harinya, dengan memacu kudanya yang meringkik keras dengan nada bangga dan meng ejek, ‘Amr kembali memimpin tentaranya menuju benteng.Memang, kuda itu merupakan suatu makhluq lain yang banyak mengetahui kelihaian dan kecerdikan tuannya …Dan pada tahun ke-43 Hijrah, wafatlah ‘Amr bin ‘Ash di Mesir, sewaktu ia menjadi gubernur di sana . . . .Di saat-saat kepergiannya itu, ia mengemukakan riwayat hidupnya, katanya:“Pada mulanya aku ini seorang kafir, dan orang yang amat keras sekali terhadap Rasulullah saw hingga seandainya aku meninggal pada saat itu, pastilah masuk neraka!Kemudian aku bai’at kepada Rasulullah, maka tak seorang pun di antara manusia yang lebih kucintai, dan lebih mulia dalam pandangan mataku, daripada beliau … !

Dan seandainya aku diminta untuk melukiskannya, maka aku tidak sanggup karena disebabkan hormatku kepadanya, aku tak kuasa menatapnya sepenuh mataku . . . !Maka seandainya aku meninggal pada saat itu, besar harapan akan menjadi penduduk surga . . . !Kemudian setelah itu, aku diberi ujian dengan memperoleh kekuasaan begitupun dengan hal-hal lain.Aku tidak tahu, apakah ujian itu akan membawa keuntungan bagi diriku ataukah kerugian … !”Lalu diangkatnya kepalanya ke arah langit dengan hati yang tunduk, sambilbermunajat kepada Tuhannya Yang Maha Besar lagi Maha Pengasih, katanya:

“Oh Allah, daku ini orang yang tak luput dari kesalahan, maka mohon dimaafkan … !Daku tak sunyi dari kelemahan, maka mohon diberi per tolongan … !Sekiranya daku tidak memperoleh rahmat karunia-Mu, pasti celakalah nasibku … !”

Demikianlah ia asyik dalam permohonan dan penghinaan diri hingga akhirnya ruhnya naik ke langit tinggi, di sisi Allah Rabbul ’izzati, sementara akhir ucapan penutup hayatnya, ialah : La ilaha illallah ….

Di pangkuan bumi Mesir, negeri yang diperkenalkannya dengan ajaran Islam itu, bersemayamlah tubuh kasarnya... Dan di atas tanahnya yang keras, majliasnya yang selama ini digunakannya untuk mengajar,mengadili dan mengendalikan pemerintahan, masih tegak berdiri melalui kurun waktu, di naungi oleh atap mesjidnya yang telah berusia lanjut “Jami’u ‘Amr”, yakni mesjid yang mula pertama didirikan di Mesir,yang disebut di dalamnya asma Allah Yang Tunggal lagi Esa serta dikumandangkanke setiap pojoknya dari atas mimbaruya kalimat-kalimat Allah serta pokok-pokok Agama Islam ….

`AMR IBN AL -`AAs  
Liberator of Egypt from Rome! 


        There were three from the Quraish who used to trouble the Messenger of Allah (PBUH) with the fierceness of their resistance to his call and their torture of his Companions.  
    
   The Messenger called them and pleaded to his glorious Lord to inflict them with His punishment, and while he was calling and inviting, he received the revelation of these noble verses: "The matter is not in your hands, whether GOD turns to them or chastises them, for surely they are evil doers" (3: 128).  
    
   The Messenger's understanding of the verse was that he was to stop calling Allah to punish them and to leave their affair to Allah alone. Either they would continue their wrongdoing and His punishment would be inflicted upon them, or He would accept their repentance.  
     
  They repented, so His mercy reached them. `Amr Ibn Al-'Aas was one of these three. Allah had chosen for them the path of repentance and mercy, so He guided them to Islam. He transformed `Amr Ibn Al-'Aas into a Muslim fighter and into one of the brave leaders of Islam.  

        In spite of some of `Amr's positions, his point of view of which we cannot be convinced, he played a role as a glorious Companion; he sacrificed and gave generously; he was a defender and combatant, and our eyes and our hearts shall continue to open on his countenance, especially here in Egypt. Those who see in Islam a glorious valuable religion and see in its Messenger a merciful gift and a blessed gift. Those who see the truthful Messenger who called to Allah according to clear vision and inspired life abundantly with its sensible conduct, forthrightness and devout piety. Those who carry this faith shall continue with enhanced allegiance to look to the man whom fate made the cause - for whatever reason - for the introduction of Islam to Egypt and the guidance of Egypt to Islam. So, blessed is the gift and blessed is the gift giver.  
  
      That is he, `Amr Ibn Al-'Aas. The historians were accustomed to describing `Amr as the conqueror of Egypt. However, I see in this description an underestimation and an overestimation. Perhaps a more truthful description of `Amr would be that which we call him, "Liberator of Egypt". For Islam did not conquer the country with the modern understanding of conquering, but it liberated it from the hegemony of two imperial powers, two modes of worship of two countries, and the worst punishment, the imperial power of Persia and the imperial power of Rome.  

        Egypt, in particular, on the day the advanced guard of Islam appeared, had been plundered by the Romans, and its inhabitants were resisting without result. When the shouts of believing armies reverberated over the frontiers of their country, "Allah akbaar! (Allah is the Greatest)" they hastened all together, in a glorious crowd, toward the coming dawn and embraced it, finding in it liberation from Caesar and from Rome.  
  
      So, `Amr and his men did not conquer Egypt but opened the way for Egypt to attach its destiny to the truth, tie its fate to justice, and find itself and its reality in the light of the words of Allah and the principles of Islam. He was careful to separate the inhabitants of Egypt and its Copts away from the army and keep the fighting restricted between himself and the Romans who occupied the land and robbed the wealth of its people.  

        On account of that, we find him talking to the Christian leaders of that day and their high priest. He said to them, "Indeed Allah sent Muhammad with the truth and ordered him to teach it. The Prophet carried out his mission, and he died after leaving us on that path, the clear straight path. Among the things he ordered us to do was to be responsible to the people, so we call you to Islam. Whoever responds is of us. He has what we have and he has the same rights and obligations as we do. And whoever does not respond to Islam, we enforce on him the payment of jizyah and we offer to him defense and protection. Our Prophet informed us that Egypt would open for us and advised us to be good to its people, saying, Egypt will be opened to you after me, so you are advised to treat its Copts well, for indeed, they have a covenant of protection and kinship relations,' so if you answer to what we call you to, you will have protection and security."  

        No sooner had `Amr finished his words, than some of the priests and rabbis shouted, saying, "Indeed the kinship of which your Prophet advised you is a remote kinship relationship, the like of which cannot be reached except by the prophets." This was a good start for the hoped for understanding between `Amr and the Copts of Egypt, in spite of what the Roman leader had tried to do to frustrate it.  

        Amr Ibn Al-'Aas was not among the earliest ones to embrace Islam. He embraced Islam with Khaalid Ibn Al-Waliid, just shortly before the Conquest of Makkah. It is surprising that his Islam began at the hands of An-Najaashiy in Abyssinia, and that is because An Nagaashiy knew `Amr and respected him because of his several visits to Abyssinia and abundant gifts which he used to carry to An Najaashiy. 

In his final visit to that country, mention was made of the Prophet who was calling to monotheism and to the nobility of morals in the Arabian Peninsula. The Abyssinian ruler asked `Amr, `How could you not believe in him and follow him, when he is truly a Messenger from Allah?" Amr then asked An- Najaashiy, "Is he thus?" An Najaashiy answered, "Yes, so obey me, O `Amr, and follow him, for indeed, by Allah, he is on the path of truth and he will surpass those who stood against him!"  
       
`Amr traveled, taking the sea route, immediately returning to his country and turning his face in the direction of Al-Madiinah to surrender to Allah, Lord of the Worlds.  

        On the road leading to Al-Madiinah, he met Khaalid Ibn Al Wallid coming from Makkah, going also to the Messenger to swear allegiance to Islam. No sooner did the Messenger see the two of them coming than his face beamed with joy and he said to his Companions, "Makkah has gifted you with its most noble leaders." Khaliid approached and swore allegiance. Then `Amr approached and said, "Indeed, I swear allegiance to you provided that you ask Allah to forgive me my previous sins." So the Messenger answered him saying, "O `Amr, swear allegiance, for indeed Islam disregards whatever preceded it."  

        `Amr swore allegiance and placed his wits and bravery at the service of his new religion. When the Messenger passed on to Allah, Most Exalted, `Amr was appointed ruler over Oman and during the caliphate of `Umar he performed his famous deeds in the Syrian wars and then in the liberation of Egypt from the rule of Rome.          Oh, if only Amr Ibn Al-'Aas could have resisted the love of commanding and rule in his soul, then he would have greatly overcome some of the positions which this love entangled him in. Yet, `Amr's love for the authority of ruling, to a certain extent, was a direct expression of his nature, which was filled with talent. Moreover, his external appearance, his way of walking and conversing, indicated that he was created for commanding to the extent that it has been related that the Commander of the Faithful Umar Ibn Al-Khattaab saw `Amr once approaching, so he smiled at the way he was walking and said, "It should not be for Abu `Abd Allah to walk on the earth except as a commander."  

 The truth also is that Abu `Abd Allah did not forget the right. Even when dangerous events overwhelmed the Muslims, `Amr dealt with these events in a commanding manner, as one who possesses intelligence, wits, and a capability which made him self-confident and proud of his excellence. Moreover, he possessed such a portion of honesty that it made Umar lbn Al-Khattaab - even though he was strict in choosing his governor - choose Amr as governor over Palestine and Jordan, then over Egypt, throughout the life of `Umar. This even though the Commander of the Faithful knew that `Amr had exceeded a certain limit in the opulence of his life style, while the Commander of the Faithful demanded from his governors to set an example by staying always at the level or at least close to the general level of the people. 
  
     Even though the caliph knewabout the abundance of `Amr's wealth, he did not remove him but sent Muhammad Ibn Maslamah to him and ordered `Amr to split with him, all of his wealth and possessions. 

So, he left him one half of it and carried the other half to the treasury in Al-Madiinah. However, if the Commander of the Faithful had known that `Amr's love for wealth would lead him to carelessness in his responibility, it is conceivable that his reasonable conscience would not have allowed him to stay in power for even one moment.  `Amr (May Allah be pleased with him) was sharp-witted with strong intuitive understanding and deep vision, so much so that whenever the Commander of the Faithful saw a person incapable of artifice, he clapped his palms in astonishment and said, "Glory be to Allah Indeed, the Creator of this and the Creator of `Amr lbn  Al-Aas is one God." 

       `Amr was also very daring and unhesitant. He used to combine his daring with his wits in some instances so that he would be thought to be cowardly or hesitant. However, it was the capacity to trick which `Amr perfected with great skill to get himself out of a destructive crisis.  The Commander of the Faithful Umar knew these talents of his and appreciated their true value. For that reason, when he sent him to Syria, before his going to Egypt, it was said to the Commander of the Faithful, "At the head of the armies of Rome in Syria is Artubun; a shrewd and brave leader and a prince." `Umar's response was, "We have hurled at Artubun of Rome Artubun of the Arabs, so let us see how the matter unfolds."  
      
 Matters unfolded in a massive victory for the Artubun of the Arabs, their dangerous, sly old fox, `Amr Ibn Al-'Aas over the Artubun of Rome, who left his army to defeat and fled to Egypt. `Amr would catch him shortly thereafter to raise the standard of Islam above its secure lands.  
   
     What are the situations in which the intelligence and wits of `Amr excelled? We do not count among them his position with Abu Muusaa Al-Ash'ariy in the incident of arbitration when the two of them agreed to depose `Aliy and Mu'aawiyah to refer the matter back to consultation between the Muslims. Abu Muusaa implemented the agreement and `Amr relented from carrying out his part of the agreement.  If we want to witness a picture of his wits and the skill of his intuitive insight, we find it in his position with respect to the commander of the Citadel of Babylon (near present day Cairo) during his war with Rome in Egypt, and, in another historical narration, in the battle we shall mention which took place in Yarmuuk with Artubun of Rome.  
  
     When Artubun and the commander invited `Amr to talk, they gave an order to some of their men to throw a rock at him immediately upon his departure from the Citadel and to prepare everything so that the killing of `Amr would be an inevitable matter.  

       `Amr met the commander, not suspecting anything from him, and their meeting ended. While `Amr was on his way out of the Citadel, he glimpsed over the walls something suspicious that aroused in bun a strong sense of danger, and immediately he behaved in an outstanding manner. He returned back to the commander of the Citadel, in safe, secure, slow steps, with confident, happy feelings, as if nothing had scared him at all or had aroused his suspicion. He met the commander and said to him, "An idea came across my mind I wanted you to know. I have with me, where my companions are camped, a group from among the first Companions of the Messenger to enter into Islam. The Commander of the Faithful would not decide anything without consulting them and would not send an army unless he put them at the head of its fighters and soldiers. I will bring them to you so that they hear from you that which I heard, so they will become as clear in the matter as I am."  

       The Roman commander realized that `Amr, by his naiveté, had granted him the opportunity of a lifetime. Therefore, he thought, Let us agree with him, and when he returns with this number of Muslim commanders and the best of their men and their leaders, we will deliver the coup de grace and finish off all of them at once, instead of finishing off Amr alone.  
   
  Secretly he gave his order to put off the plan that was devised to assassinate `Amr, and he saw `Amr off cordially and shook his hand with enthusiasm and fervor. `Amr smiled the most intelligent of Arab smiles as he was leaving the Citadel.  
    
    In the morning Amr returned to the Citadel at the head of an army, mounted on his horse that whinnied in a loud burst of laughter, behaving proudly and haughtily and making fun. Yes, for it, too, knew a lot of things about the shrewdness of its owner.  

       In A.H. 43, death caught up with `Amr Ibn Al-'Aas in Egypt, where he was ruling. He recaptured his life in the moments of departure, saying, "In the first part of my life I was a disbeliever, and I was one of the fiercest people against the Messenger of Allah, so if I had died on that day, the fire would have been my fate. Then, I swore allegiance to the Messenger of Allah, and there was no person more dear to me than he and more glorious in my eyes than he. If I wanted to describe him, I could not, because I was not able to fill my eyes with him on account of being in awe of him. If I had died back then, I would have wished to be of the inhabitants of Paradise. Then after that I was tested with command and with material things. I do not know if they were for me or against me."  

      Then he raised his sight to the sky in awe, calling upon his Lord, the Merciful, the Magnificent, saying, "O Allah, I am not innocent, so forgive me. I am not mighty, so help me. And if Your mercy does not come to me, I will surely be of those destroyed."  
   
    And he continued in his yearning and his prayers until his spirit ascended to Allah and his last words were, "There is no god but Allah."  

        Under the ground of Egypt, which `Amr acquainted with the path of Islam, where his corpse was finally placed, and above its hard earth, his seat is still standing throughout the centuries. Here he used to teach, judge, and rule, beneath the ceiling of his ancient mosque, the Mosque of `Amr, the first mosque in Egypt, in which the name of Allah, the One and Only is mentioned and declared between its walls and from its pulpit, the words of Allah and the principles of Islam.

Categories: