acebook





.¤ª"˜¨¯¨¨Ja'far Bin Abu Thalib oo Ja'far Ibn Abi Taalib¸,ø¨¨"ª¤.  
Jasmani maupun perangainya mirip Rasulullah. 

Perhatikan kemudaannya yang gagah tampan serta berwibawa . . . .g Perhatikan warna kulitnya yang cerah bercahaya Perhatikan kelemah lembutannya, sopan santun, kasih sayangnya kebaikannya, kerendahan hati serta ketaqwaannya. . . .Perhatikan keberaniannya yang tak kenal takut, kepemurahannya yang tak kenal batas. Perhatikan kebersihan hidup dan kesucian jiwanya. Perhatikan kejujuran dan amanahnya …. Lihatlah, pada dirinya bertemu segala pokok kebaikan, keutamaan dan kebesaran.

Anda jangan heran tercengang, karena anda sekarang berada di hadapan seorang manusia yang mirip dengan Rasulullah dalam ujud tubuh dan tingkah laku atau budi pekertinya. Anda berada di muka seseorang yang telah diberi gelar oleh Rasul sendiri sebagai “Bapak si miskin”. Anda berhadapan dengan seseorang yang diberi gelar “Si Bersayap dua di surga”. Anda di muka “Si Burung surga” yang selalu berkicau. Siapakah itu …? Itulah Ja’far bin Abi Thalib! Salah seorang pelopor ter­nama Islam. Perintis utama yang terkemuka, di antara orang­orang yang telah melibatkan seluruh kehidupannya dan memiliki saham besar dalam menempa hati nurani kehidupan ….


Ia datang kepada Rasulullah saw. memasuki Agama Islam, dengan mengambil kedudukan tinggi di antara mereka yang sama-sama pertama kali beriman. Ikut pula isterinya Amma binti ‘Umais menganut Islam pada hari yang sama. Keduanya selaku suami isteri ikut menanggung derita, dengan seluruh keberanian dan ketabahan tanpa memikirkan kapan waktu penderitaan itu berakhir. Sewaktu Rasulullah memilih shahabat-shahabatnya yang akan hijrah ke Habsyi (Ethiopia), maka tanpa berfikir panjang Ja’far bersama isterinya tampil mengemukakan diri, hingga tinggal di sana selama beberapa tahun. Di sana mereka dikaruniai Allah tiga orang anak yaitu: Muhammad, Abdullah dan ‘Auf.


Selama di Ethiopia, maka Ja’far bin Abi Thaliblah yang tampil menjadi juru bicara yang lancar dan sopan, serta cocok menyandang nama Islam dan utusannya. Demikian adalah hikmat Allah yang tidak ternilai yang telah dikaruniakan kepadanya, berupa hati yang tenang, akal fikiran yang cerdas, jiwa yang mampu membaca situasi dan kondisi serta lidah yang fasih.Dan sekalipun saat-saat pertempuran Muktah yang dihadapi­nya kemudian sampai ia gugur sebagai salah seorang syuhada, merupakan saatnya yang terdahsyat, teragung dan terabadi, tetapi hari-hari berdialog yang dilakukannya dengan Negus, tak kurang dahsyat dan seramnya, bahkan tak kurang hebat nilai martabatnya . . .. Sungguh hari itu adalah hari istimewa dan penampilan yang mempesona ….

Peristiwa tersebut terjadi, karena Kaum Muslimin hijrahnya ke Ethiopia, membuat kaum Quraisy tak pernah senang dan diam, bahkan menambah membangkitkan kemarahan dan rasa dengki mereka, bahkan mereka sangat takut dan cemas kalau­kalau Kaum Muslimin di tempatnya yang baru ini, menjadi bertambah kuat dan jumlahnya semakin banyak.Bahkan bila kesempatan berkembang dan bertambah kuat ini tidak sampai terjadi, mereka tetap tidak merasa puas, di­sebabkan orang-orang Islam itu lepas dari tangan dan terhindar dari penindasan mereka, dan tentulah mereka akan menetap di sana dengan harapan dan masa depan yang gemilang, yang akan melegakan jiwa Muhammad saw. dan lapangnya dada Islam.


Karena itulah para pemimpin Quraisy mengirimkan dua orang utusan terpilih pada kaisar (Negus), lengkap dengan mem­bawa hadiah-hadiah yang sangat berharga dari kaum Quraisy, kedua utusan ini menyampaikan harapan Quraisy agar Negus mengusir Kaum Muslimin yang hijrah dan datang melindungkan ,diri itu keluar dari negerinya dan menyerahkannya kepada mereka. Dua utusan yang datang itu ialah Abdullah bin Abi Rabi’ah dan Amar bin ‘Ash, yang keduanya di waktu itu belum lagi masuk Islam.

Negus yang waktu itu bertakhta di singgasana Ethiopia, adalah seorang tokoh yang mempunyai iman yang kuat. Dalam lubuk hatinya, ia menganut agama Nasrani secara murni dan padu, jauh dari penyelewengan dan lepas dari fanatik buta dan menutup diri. Nama baiknya telah tersebar ke mana-mana, dan perjalanan hidupnya yang adil telah melampaui batas negerinya. Oleh karena inilah Rasulullah saw. memilih negerinya menjaditempat hijrah bagi shahabat-shahabatnya, dan karena ini pulalah ,kaum kafir Quraisy merasa khawatir kalau-kalau maksud dan tipu muslihat mereka jadi gagal dan tidak berhasil. Dari itu kedua utusannya dibekali sejumlah hadiah besar yang berharga untuk pembesar-pembesar agama dan pejabat gereja di sana.

Pemimpin-pemimpin Quraisy menasihati kedua utusannya agar mereka jangan menghadap kaisar dulu sebelum memberikan ,hadiah-hadiah kepada Patrik dan Uskup, dengan tujuan agar Para pendeta itu merasa puas dan berfihak kepada mereka, dan agar orang-orang itu menyokong tuntutan mereka di hadapan kaisar kelak. Kedua utusan itu pun sampailah ketempat tujuan mereka, Ethiopia. Mereka menghadap pemimpin-pemimpin agama dengan membawa hadiah-hadiah besar yang dibagi-bagikannya kepada mereka. Kemudian mereka kirim pula hadiah-hadiah kepada Negus. Demikianlah keduanya terus-menerus membangkitkan dendam kebencian di antara para pendeta. Keduanya berharap dengan sokongan moril para pendeta itu, Negus akan mengusir Kaum Muslimin keluar dari negerinya.

Demikianlah, hari-hari di saat keduanya akan menghadap kaisar sudah ditetapkan. Dan Kaum Muhajirin pun diundang untuk menghadapi dendam kesumat Quraisy yang masih hendak melakukan muslihat keji dan menimpakan siksaan kepada mereka ….
Dengan air muka yang jernih berwibawa, dan kerendahan hati yang penuh pesona, baginda Negus pun duduklah di atas kursi kebesarannya yang tinggi, dikelilingi oleh para pembesar gereja dan agama serta lingkungan terdekat istana. Di hadapan­nya di atas suatu ruangan luas duduk pula Kaum Muhajirin Islam, yang diliputi oleh ketenteraman dari Allah dan dilindungi oleh rahmat-Nya.

Kedua utusan kaum Quraisy berdiri mengulangi tuduhan mereka yang pernah mereka lontarkan terhadap Kaum Muslimin di hadapan kaisar pada suatu pertemuan khusus yang disediakan oleh kaisar sebelum pertemuan besar yang menegangkan ini: “Baginda Raja yang mulia. Telah menyasar ke negeri paduka orang-orang bodoh dan tolol. Mereka tinggalkan agama nenek moyang mereka, tapi tidak pula hendak memasuki agama paduka. Bahkan mereka datang membawa Agama baru yang mereka ada-adakan, yang tak pernah kami kenal, dan tidak pula oleh paduka. Sungguh, kami telah diutus oleh orang-orang mulia dan terpandang di antara bangsa dan bapak-bapak mereka, paman-paman mereka, keluarga-keluarga mereka, agar paduka sudi mengembalikan orang-orang ini kepada kaumnya kembali”.Negus memalingkan mukanya ke arah Kaum Muslimin sambil melontarkan pertanyaan:“Agama apakah itu yang menyebabkan kalian meninggalkan bangsa kalian, tapi tak memandang perlu pula kepada agama kami?”

.Ja’far pun bangkit berdiri, untuk menunaikan tugas yang telah dibebankan oleh kawan-kawannya sesama Muhajirin yakni tugas yang telah mereka tetapkan dalam suatu rapat yang diadakan sebelum pertemuan ini. Dilepaskannya pandangan ramah penuh kecintaan kepada baginda Raja yang telah berbuat baik menerima mereka, lalu berkata: “Wahai paduka yang mulia! Dahulu kami memang orang-orang yang jahil dan bodoh kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan pekerjaan-pekerjaan keji, memutuskan silaturrahmi, menyakiti tetangga dan orang yang berkelana. Yang kuat waktu itu memakan yang lemah. Hingga datanglah masanya Allah mengirimkan Rasul-Nya kepada kami dari kalang­an kami. Kami kenal asal-usulnya, kejujuran, ketulusan dan kemuliaan jiwanya. la mengajak kami untuk mengesakan Allah dan mengabdikan diri pada-Nya, dan agar membuang jauh-jauh apa yang pernah kami sembah bersama bapak-bapak kami dulu berupa batu-batu dan berhala . . . . Beliau menyuruh kami bicara benar, menunaikan amanah, menghubungkan silaturrahmi, berbuat baik kepada tetangga dan menahan diri dari menumpah­kan darah serta semua yang dilarang Allah …. . Dilarangnya kami berbuat keji dan zina, mengeluarkan ucapan bohong, memakan harta anak yatim, dan menuduh berbuat jahat terhadap wanita yang baik-baik . . . . Lalu kami membenarkan dia dan kami beriman kepadanya, dan kami ikuti dengan taat apa yang disampaikannya dari Tuhannya. Lalu kami beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan tidak kami persekutukan sedikit pun juga, dan kami haramkan apa yang diharamkan-Nya kepada kami, dan kami halalkan apa yang dihalalkan-Nya untuk kami.

Karenanya kaum kami sama me­musuhi kami, dan menggoda kami dari Agama kami, agar kami kembali menyembah berhala lagi, dan kepada perbuatan-per­buatan jahat yang pernah kami lakukan dulu. Maka sewaktu mereka memaksa dan menganiaya kami, dan menggencet hidup kami, dan menghalangi kami dari Agama kami, kami keluar hijrah ke negeri paduka, dengan harapan akan mendapatkan perlindungan paduka dan terhindar dari perbuatan-perbuatan aniaya mereka. . . .”.

Ja’far mengucapkan kata-kata yang mempesona ini laksana cahaya fajar. Kata-kata itu membangkitkan perasaan dan ke haruan pada jiwa Negus, lalu sambil menoleh pada Ja’far baginda bertanya: “Apakah anda ada membawa sesuatu (wahyu) yang diturunkan atas Rasulmu itu?”

Jawab Ja’far: “Ada”.
Tukas Negus lagi: “Cobalah bacakan kepadaku”.

Lalu Ja’far langsung membacakan bagian dari surat Maryam dengan irama indah dan kekhusyu’an yang m‘emikat. Men­dengar itu, Negus lalu menangis dan para pendeta serta pembesar­-pembesar agama lainnya sama menangis pula. Sewaktu air mata lebat dari baginda sudah berhenti, ia pun berpaling kepada kedua utusan Quraisy itu, seraya berkata: “Sesungguhnya apa yang dibaca tadi dan yang dibawa oleh Isa a.s. sama memancar dari satu pelita. Kamu keduanya dipersilah­kan pergi! Demi Allah kami tak akan menyerahkan mereka kepada kamu!” Pertemuan itu pun bubar sudah. Allah telah menolong hamba-hamba-Nya dan menguatkan mereka, sementara kedua utusan Quraisy mendapat kekalahan yang hina. Tetapi Amr bin ‘Ash adalah seorang lihai yang ulung dan penuh dengan tipu muslihat licik, tidak hendak menyerah kalah begitu saja, apalagi berputus asa. Demikianlah, begitu ia kembali bersama temannya ke tempat tinggalnya, tak habis-habisnya ia berfikir dan memutar otak, dan akhirnya berkata kepada temannya: “Demi Allah, besok aku akan kembali menemui Negus, akan kusampaikan kepada baginda keterangan-keterangan yang akan memukul Kaum Muslimin dan membasmi urat akar mereka!” Jawab kawannya: “Jangan lakukan itu, bukankah kita masih ada hubungan keluarga dengan mereka, sekalipun mereka berselisih paham dengan kita!”

Jawab Amr: “Demi Allah, akan kuberitakan kepada Negus, bahwa mereka mendakwakan Isa anak Maryam itu manusia biasa seperti manusia yang lain”. Inilah rupanya suatu tipu muslihat baru yang telah diatur oleh utusan Quraisy terhadap Kaum Muslimin, untuk memojok­kan mereka ke sudut yang sempit, dan untuk menjatuhkan mereka ke lembah yang curam. Seandainya orang Islam terang­terangan mengatakan, bahwa Isa itu salah seorang hamba Allah seperti manusia lainnya, pasti hal ini akan membangkitkan kemarahan dan permusuhan Raja dan kaum agama …. Sebalik­nya jika mereka meniadakan pada Isa ujud manusia biasa, niscaya keluarlah mereka dari ‘aqidah agama mereka … !

Besok paginya kedua utusan itu segera menghadap Raja, dan berkata kepadanya: “Wahai Sri Paduka! Orang-orang Islam itu telah mengucapkan suatu ucapan keji yang merendahkan kedudukan Isa …”. Para pendeta dan kaum agama menjadi geger dan gempar …. Gam­baran dari kalimat pendek itu eukup menggoncangkan Negus dan para pengikutnya. Mereka memanggil orang-orang Islam sekali lagi, untuk menanyai bagaimana sebenarnya pandangan Agama Islam tentang Isa al-Masih … . Tahulah orang-orang Islam sekarang bahwa akan ada per­‘Musyawaratan baru. Mereka duduk berunding, dan akhirnya .memperoleh kata sepakat, untuk menyatakan yang haq saja, sebagaimana yang mereka dengar dari Nabi, mereka. Mereka tak hendak menyimpang serambut pun daripadanya, dan biarlah terjadi apa yang akan terjadi ….

Pertemuan baru pun diadakanlah. Negus memulai percakapan dengan bertanya kepada Ja’far: “Bagaimana pandangan kalian terhadap Isa?” Ja’far bangkit sekali lagi laksana menara laut yang me­mancarkan sinar terang, ujarnya: “Kami akan mengatakan tentang Isa a.s., sesuai dengan keterangan yang dibawa Nabi kami Muhammad saw. bahwa: “la adalah seorang hamba Allah dan Rasul-Nya serta kalimah-Nya yang ditiupkan-Nya kepada Maryam dan ruh daripada-Nya . . . “. Negus bertepuk tangan tanda setuju, seraya mengumumkan, mernang begitulah yang dikatakan al-Masih tentang dirinya Tetapi pada barisan pembesar agama yang lain terjadi hiruk pikuk, seolah-olah memperlihatkan ketidak setujuan mereka …. Negus yang terpelajar lagi beriman itu, terus melanjutkan bicaranya seraya berkata kepada orang-orang Islam: “Silahkan anda sekalian tinggal bebas di negeriku! Dan siapa berani mencela dan menyakiti anda, maka orang itu akan mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya itu”.

Kemudian Negus berpaling kepada orang-orang besarnya yang terdekat, lalu sambil mengisyaratkan dengan telunjuknya’ ke arah kedua utusan kaum Quraisy, berkatalah ia: “Kembalikan hadiah-hadiah itu kepada kedua orang ini! Aku tak membutuh­kannya! Demi Allah, Allah tak pernah mengambil uang sogokan daripadaku, di kala ia mengaruniakan takhta ini kepadaku karena itu aku pun tak akan menerimanya dalam hal ini … ! “

Kedua utusan Quraisy itu pun pergilah ke luar meninggalkan tempat pertemuan dengan perasaan hina dan terpukul. Mereka segera memalingkan arah perjalanannya pulang menuju Mekah. Juga orang-orang Islam di bawah pimpinan Ja’far, keluar pula tetapi untuk memulai penghidupan baru di tanah Ethiopia, yakni penghidupan yang aman tenteram, sebagai kata mereka: “Di negeri yang baik . . . dengan tetangga yang baik”, hingga akhirnya datang saatnya Allah mengidzinkan mereka kembali kepada Rasul mereka, kepada shahabat dan handai tolan serta kampung halaman mereka. . . . Di kala Rasulullah bersama Kaum Muslimin sedang bersukaria dengan kemenangan atas jatuhnya Khaibar, tiba-tiba muncullah kembali pulang dari Ethiopia Ja’far bin Abi Thalib, bersama sisa Muhajirin lainnya yang baru kembali dari sana. Tak terkatakan besarnya hati Nabi dan betapa sukacita, bahagia dan gembiranya ia karena kedatangan mereka . . . ! Di­peluknya Ja’far dengan mesra sambil berkata: “Aku tak tahu, entah mana yang lebih menggembirakanku, apakah dibebaskan­nya Khaibar atau kembalinya Ja’far!”

Dengan berkendaraan Rasulullah pergi bersama shahabat-shahabatnya ke Mekah, hendak melaksanakan ‘umrah qadla Sekembalinya ke Madinah jiwa Ja’far bergelora dan dipenuhi keharuan, demi mendengar berita dan ceritera sekitar shahabat­-shahabatnya Kaum Muslimin, baik yang gugur sebagai syuhada, maupun yang masih hidup selaku pahlawan-pahlawan yang berjasa dari Perang Badar, perang Uhud, Khandak dan peperang­an-peperangan lainnya. Kedua matanya basah berlinang me­ngenang para Mu’minin yang telah menepati janjinya dengan mengurbankan nyawa karena Allah!Amboi . . . , kapankah aku akan berbuat demikian pula?” pikirnya. Ah . . . hatinya rasa terbang merindukan surga. Ia pun menunggu-nunggu kesempatan dan peluang yang berharga itu, berjuang sebagai syahid di jalan Allah….

Pasukan-pasukan Islam ke perang Muktah yang telah kita bicarakan dahulu, sedang bersiap-siap hendak diberangkatkan. Bendera dan panji-panji perang berkibar dengan megahnya, disertai dengan gemerincingnya bunyi senjata. Ja’far memandang peperangan ini sebagai peluang yang sangat baik dan satu-satunya kesempatan seumur hidup, untuk merebut salah satu di antara dua kemungkinan, yakni: membuktikan kejayaan besar bagi Agama Allah dalam hidupnya atau ia akan beruntung menemui syahid di jalan Allah. Maka ia datang bermohon kepada Rasul Allah untuk turut mengambil bagian dalam peperangan ini ….

Ja’far mengetahui benar, bahwa peperangan ini bukan enteng dan main-main, bahkan bukan peperangan yang keeil, malah sebenarnya inilah suatu peperangan yang luar biasa, baik tentang jauh dan sulitnya medan yang akan ditempuh, maupun tentang besarnya musuh yang akan dihadapi, yang belum pernah dialami ummat Islam selama ini. Suatu peperangan melawan balatentara. kerajaan Romawi yang besar dan kuat, yang memiliki kemampu­an perlengkapan dan pengalaman serta didukung oleh alat per­senjataan yang tak dapat ditandingi oleh orang-orang Arab maupun Kaum Muslimin. Walau demikian, perasaan hati dan semangatnya rindu hendak terbang ke sana. Ja’far termasuk di antara tiga serangkai yang diangkat Rasulullah jadi panglima pasukan dan pemimpinnya di perang Muktah ini. Balatentara Islam pun keluar bergerak menuju Syria dan di dalamnya ter­dapat Ja’far bin Abi Thalib ….

Pada suatu hari yang dahsyat kedua pasukan itu pun ber­hadapan muka, dan tak lama kemudian pecahlah pertempuran hebat. Seharusnya Ja’far akan kecut dan gentar melihat bala­tentara Romawi yang besarnya 200.000 orang prajurit itu, tetapi sebaliknya saat itu bangkitlah semangat juang yang tinggi pada dirinya, karena sadar akan kemuliaan seorang Mu’min yang sejati, dan sebagai seorang pahlawan yang ulung, haruslah kemampuan juangnya berlipat ganda dari musuh ….

Sewaktu panji-panji pasukan hampir jatuh terlepas dari tangan kanan Zaid bin Haritsah, dengan cepatnya disambar oleh Ja’far dengan tangan kanannya pula. Dengan panji-panji di tangan, ia terus menyerbu ke tengah-tengah barisan musuh, serbuan dari seseorang yang berjuang di jalan Allah, dengan tujuan menyaksikan ummat manusia bebas dari kekufuran atau mati syahid, memenuhi panggilan Maha Pencipta. Prajurit. Romawi semakin banyak mengelilinginya. Karena dilihatnya kudanya menghalangi gerakannya, maka Ja’far melompat terjun dari kudanya dengan berjalan kaki, lalu mengayunkan pedangnya ke segala jurusan yang mengenai leher musuhnya, laksana malaikat maut pencabut nyawa. Sekilas terlihat olehnya seorang serdadu musuh melompat hendak menunggangi kudanya. Karena ia tak sudi hewannya itu dikendarai manusia najis, Ja’far pun menebas kudanya dengan pedangnya sampai tewas. Setapak demi setapak ia terus berjalan di antara barisan serdadu Romawi Yang berlapis-lapis yang laksana deru angin mengeroyok hendak membinasakannya, sementara suara meninggi dengan ungkapan­nya yang gemuruh:

“Wahai surga yang kudambakan mendiaminya, Harum semerbak baunya, sejuk segar air minumnya. Tentara Romawi telah menghampiri liang kuburnya, Terhalang jauh dari sanak keluarganya, Kewajibankulah menghantamnya kala menjumpainya”. Balatentara Romawi menyaksikan bagaimana kemampuan Ja’far bertempur yang seolah-olah sepasukan tentara jua . . .Mereka terus mengepung Ja’far hendak membunuhnya laksana orang-orang gila yang sedang kemasukan setan. Kepungan mereka semakin ketat hingga tak ada harapan untuk lepas lagi. Mereka tebas tangan kanannya dengan pedang hingga putus, tapi sebelum panji itu jatuh ke tanah, cepat disambaruya dengan tangan kirinya Lalu mereka tebas pula tangan kirinya, tapi Ja’far niengepit panji itu dengan kedua pangkal lengannya ke dada. Pada saat yang amat gawat ini, ia bertekad akan memikul tang­gung jawab, untuk tidak membiarkan panji Rasulullah jatuh menyentuh tanah, yakni selagi hayat masih dikandung badan.
Entah kalau ia telah mati, barulah boleh panji itu jatuh ke tanah ….

Di kala jasadnya yang suci telah kaku, panji pasukan masih tertancap di antara kedua pangkal lengan dan dadanya. Bunyi kibaran bendera itu, seolah-olah menghimbau-himbau Abdullah bin Rawahah. Pahlawan ini membelah barisan musuh bagaikan anak panah lepas dari busurnya ke arah panji itu, lalu merenggut­nya dengan kuat. Kemudian berlalu untuk melukis riwayat Yang besar pula. Demikianlah Ja’far mempertaruhkan nyawa dalam menem­puh suatu kematian agung yang tak ada taranya. Dan begitulah caranya ia menghadap Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, menyampaikan pengurbanan besar yang tidak terkira, berselimut­kan darah kepahlawanannya ….

Allah, Zat yang Maha Mengetahui, menyampaikan berita tentang akhir kesudahan peperangan kepada Rasul-Nya, begitu pula akhir hidup Ja’far. Rasulullah menyerahkan nyawa Ja’far kembali kepada Allah dan beliau pun menangislah . . .

Rasulullah pun pergi ke rumah saudara sepupunya ini, beliau berdo’a untuk anak cucunya. Mereka dipeluk dan di­ciuminya, sementara air matanya yang mulia bercucuran tak tertahankan ….

Kemudian Rasulullah kembali ke majlisnya, dikelilingi para shahabat. seorang penyair Islam terkemuka yang bernama Hassan bin Tsabit tampil dengan syairnya menceriterakan Ja’far Yang gugur bersama kawan-kawannya, maknanya lebih kurang demikian:
“Maju jurit memimpin sepasukan Mu’min
Menempuh maut mengharap ridla Rabbul Alamin
Putra Bani Hasyim yang cemerlang bak cahaya purnama
Menyibak kegelapan tiran nan aniaya
Menyabet dan menebas setiap penyerang
Akhirnya jatuh syahid sebagai pahlawan
Disambut para syuhada yang pergi lebih dahulu
Di surga na’im yang menjadi idaman setiap kalbu
Alangkah besarnya pengurbanan Ja’far bagi Islam
Dalam menyebarluaskan ke seluruh alam
Selama ada pejuang seperti putera Hasyim ini
Pasti Islam menjadi anutan penduduk bumi”.

Sesudah Hassan bangkit pula Ka’ab bin Malik, yang meng­ucapkan syairnya yang bernilai, lebih kurang sebagai berikut:

“Kemuliaan tertumpah atas pahlawan yang susul-me­nyusul
Di perang Muktah, tak tergoyahkan bersusun bahu membahu Restu Allah atas mereka,
para pemuda gagah perkasa
Curahan Rahmat kiranya membasuh tulang-belulang mereka,
Tabah dan shabar, demi Tuhan rela mempertaruhkan nyawa
Setapak pun tak hendak undur,
menentang setiap bahaya Panji perang di tangan Ja’far sebagai pendahulu
Menambah semangat tempur bagi setiap penyerbu
Kedua terus pasukan berbenturan baku hantam Ja’far
dikepung musuh sabet kiri terkam kanan
Tiba-tiba …. bulan purnama redup kehilangan jiwanya
Sang surga pun gerhana, ditinggalkan pahlawannya . . . .

Memang, ia manusia yang sangat pemurah dengan hartanya selagi masih hidup . . . ; dan di saat ajalnya, sebagai seorang syahid yang sangat pemurah pula mengurbankan nyawa dan hidupnya …. Berkata Abdullah bin Umar: “Aku sama-sama terjun di perang Muktah dengan Ja’far. Waktu kami mencarinya, kami dapati ia beroleh luka-luka bekas tusukan dan lemparan lebih dari 90 tempat!”  Bayangkan! 90 tempat bekas luka-luka tusukan pedang dan lemparan tombak! Walau demikian, prajurit perang yang me newaskannya tak kuasa menghalangi rohnya ke tempat kem­balinya di sisi Allah swt.! Sekali-kali tidak! Pedang-pedang dan tombak-tombak mereka tak lain hanyalah sebagai jembatan yang menyeberangkan ruhnya yang syahid dan mulia ke sisi Allah yang Rahim lagi Maha Tinggi; di sanalah ia bertempat dengan tenang berbahagia, di tempat yang istimewa . . . . Nun di sana ia berada di surga abadi, lengkap memakai bintang­-bintang tanda jasa, yang bergantungan di setiap bekas luka, aki­bat tusukan pedang dan lemparan tombak. Dan jika anda ingin tabu tentang dirinya, dengarkanlah sabda Rasulullah:

“Aku telah melihatnya di surga …. kedua bahunya yang penuh bekas-bekas cucuran darah penuh dihiasi dengan tanda-tanda kehormatan .. !!”



JA'FAR IBN ABI TAALIB  
      You Resemble Your Prophet in Your Looks and Conduct.


Notice his majestic youth and blooming vigor, patience, compassion, piety, modesty, and devoutness. Notice his fearlessness, generosity, purity, chastity, honesty, and trustworthiness. Notice his magnificent nature, virtue, and greatness. Do not let the fact that all these excelling traits were found in one man astonish you, for you are looking at a man who resembled the Prophet in his looks and conduct. The Prophet gave him the epithet "Father of the Poor" and the agnomen "The Two Winged". You are about to meet the twittering heavenly sparrow, Ja'far Ibn Abii Taalib, one of the great Muslims who contributed much to shaping the conscience of life. 

        He embraced Islam and was raised to a high station among the early believers. On the same day, his wife, Asmaa' Bint `Umais, submitted herself to Islam. They had their share of abuse and oppression, which they withstood with courage and joy. When the Prophet (PBUH) advised his Companions to emigrate to Abyssinia, Ja'far and his wife were among those who acted upon his advice. There, they settled for a number of years, during which they had three children: Muhammad, `Abd Allah and `Awf.  

        In Abyssinia, Ja'far Ibn Abi Taalib was the eloquent Companion who won through in the way of Allah and His prophet, for among Allah's graces bestowed on him were his noble heart, alert mind, sagacious spirit, and fluent speech. The Battle of Mu'tah, in which he was martyred, was his most magnificent, glorious and immortal feat. Yet the Day of Al-Mujaawarah, which he executed before An- Najaashii in Abyssinia, was not less in magnificence glory and grace. In fact, it was a singular battle of words and an impressive scene.  

        Now, the Muslim emigration to Abyssinia did not set the fears of the Quraish to rest nor lessen their grudges and spite against the Muslims. On the contrary, the Quraish were afraid lest the Muslims should gain momentum there and increase in number and power. If that did not happen, the Quraish's haughtiness and arrogance could not accept the fact that those fugitives had fled their tyranny and ruthlessness and had settled in another country which the Prophet (PBUH) saw as a promising land for Islam. Therefore, the Quraish leaders decided to send delegates to An-Najaashii with expensive gifts and the hope that he would expel those fugitives from his country. The two chosen delegates were `Abd Allah lbn Abi Rabii'ah and `Amr Ibn Al-Aas before they had embraced Islam. 

        An-Najaashii, or Negus, the emperor of Abyssinia, was an enlightened believer. Deep inside he embraced a rational and pure Christianity, void of deviation, fanaticism, and narrow-mindedness. He was renowned and highly admired for his justice. Hence, the Prophet (PBUH) chose his country for his Companions' immigration. Now, the Quraish were afraid lest they should not be able to convince him of their viewpoint. Therefore, their two delegates carried many expensive gifts for the bishops and archbishops of the church and were advised not to meet An-Najaashii until they had given those presents to the bishops and convinced them of their viewpoint so that they would support them before An- Najaashii.  

        As soon as the two delegates arrived in Abyssinia, they met the spiritual leaders and lavished the gifts on them. Then they sent An-Najaashii his presents. Afterwards, they began to incite the priests and bishops against the Muslim immigrants and asked them to support them in their plea to An-Najaashij to expel them. A day was set for the Muslims to meet An-Najaashii and confront, before his eyes, their spiteful and mischievous enemies. 

        On the appointed day, An-Najaashii sat on the throne in awesome dignity, surrounded by the bishops and his retinue. Right in front of him in the vast hall sat the Muslim immigrants, enveloped by Allah's calmness, tranquility, and mercy which He had sent down upon them. The two Quraish delegates stood to reiterate their accusation which they had presented before An-Najaashii in a private meeting right before this huge audience.   They said, "Your Majesty, you well know that a group of fools have turned renegade and have taken asylum in your country. They did not embrace your religion, but rather invented their own religion that neither of us know. We are people of high rank who are related to their fathers, uncles, and tribes, so that you would surrender those wretched renegades to us.  

        An-Najaashii addressed the Muslims saying, "What is that religion that made you abandon your people's religion and refuse to embrace our religion?" Ja'afar stood to perform the task for which he had been chosen by mutual consultation immediately before this meeting. Ja'far stood up slowly and gracefully, looked with appreciation at the hospitable king and said, "O your Majesty, we used to be a people of ignorance. We worshipped idols, ate dead animals, committed great sin, severed family relations, and acted according to the law of the jungle. We used to believe that survival was only for the fittest until Allah sent from among us a Prophet (PBUH) who was known for his noble descent, honesty, trustworthiness, and chastity. He invited us to worship Allah alone and abstain from worshipping stones and idols. He ordered us to speak nothing but the truth and to render back our trusts to those whom they are due. Moreover, he ordered us to keep our ties of kinship intact, be good to our neighbors, and abstain from what is forbidden. He also ordered us not to commit evil, nor to say false statements, nor to eat up the property of orphans, nor to accuse chaste women of wrong-doing without proof or witness. Hence, we believed in him and in Allah's message to him. We worshipped Allah alone. We rejected that which we used to associate with Him as His partners. We allowed as lawful what is halaal and prohibited as unlawful what is haraam. Consequently, we were harassed and abused by our people, who tried to turn us away from what Allah had sent down to the Prophet (PBUH) so that we may return to idol worshiping and the evil and unlawful deeds we used to do. We were oppressed, abused and straitened in a way that prevented us from the proper worship of Allah. They even tried to force us to turn apostate. Therefore, we fled to your country and asked for asylum to escape oppression and tyranny. 

        When Ja'far finished his glorious words which were as clear as daylight, An-Najaashii was gripped by compassion and grace. He addressed Ja`far saying, "Do you have a scroll on which you have written the words of your Prophet?" Ja'far replied, "Yes." An Najaashii ordered, "Read it aloud." Ja'far recited a number of verses from Surat Maryam in such a slow, sweet, subdued, and captivating voice that it made An-Najaashii and all his bishops cry.  

        When he wiped his tears he swiftly said to the Quraish delegates, "These words, of what had descended on `lisaa (Jesus), come from the very same source as that of `Iisaa. You are free men in a free land. By Allah, I will never surrender you to them."  

        The meeting was over. Allah had helped the Muslims and made their feet firm; whereas the Quraish delegates were bitterly defeated. Yet `Amr Ibn Al-'Aas was a resourceful, crafty man who could neither accept defeat nor despair easily. Therefore, no sooner had he returned to their residence than he sat turning the matter over in his mind. Then he addressed his comrade saying, "By Allah, I will go to An- Najaashli tomorrow and I will pluck the Muslims out from this land once and for all." His comrade replied, "You must not do that, for despite their disobedience, they are still related to us." `Amr said, "By Allah, I will tell An-Najaashii that they claim that `Iisaa Ibn Maryam is a slave like the rest of Allah's slaves." Thus the web was spun by the shrewd delegate so as to lead the Muslims unawares right into the trap. The Muslims were put in a fight corner, for if they said that `Iisaa was Allah's slave, they would incite the king and bishops against them, and if they denied the fact that he was human, then they would turn from their religion.  

        On the following day, `Amr hastened to meet the king and said, "Your Majesty, those Muslims utter an awful saying against `lisaa." At once, the bishops were agitated by this short but fatal sentence. They asked the Muslims once again to meet the king so as to clarify their religious standpoint concerning `lisaa.  

        When the Muslims found out about the new plot, they discussed the possibilities, then agreed to say nothing but the truth as said by the Prophet (PBUH), regardless of the consequences. Once again, the audience was held and An-Najaashii started it by asking Ja'far, "What does your religion say about Iisaa?" Ja'far, stood once again like a gleaming lighthouse and said, "We say what has descended on our 

Prophet (PBUH): he is Allah's slave, Messenger, His word which He bestowed, and a spirit created by Him. An-Najaashii cried out in assent and said that the same words had been said by `Iisaa to describe himself, but the lines of bishops roared in disapproval. Nevertheless, the enlightened, believing An- Najaashil declared, "You are free to go now. My land is your sanctuary. Anyone who dares . to abuse or mistreat you in any way will be severely punished. He addressed his retinue and pointed towards the Quraish delegation declaring, "Give them back their presents, for I do not want them. By Allah, Allah did not take a bribe from me when He restored my kingdom; therefore, I will not be bribed against Him!"  

        After the Quraish delegates had been utterly disgraced, they headed back to Makkah. The Muslims headed by Ja'far went on with their secure life in Abyssinia. They settled in the "most hospitable land of the most hospitable people' until Allah gave them permission to return to their Prophet (PBUH), who was celebrating with the Muslims the conquest of Khaibar when Ja'afar and the rest of the emigrants to Abyssinia arrived. The Prophet's (PBUH) heart was filled with joy, happiness, and optimism.  

        The Prophet (PBUH) hugged him and said, "I do not know which makes me feel happier, Khaibar's conquest or Ja'far's arrival." The Prophet (PBUH) and his Companions traveled to Makkah to perform the Umrah to make up for the missed Umrah. Then they returned to Al-Madiinah. Ja'far was overjoyed with the news he heard concerning the heroism and valor of his believing brothers who had fought side by side with the Prophet (PBUH) in the Battles of Badr, Uhud and others. His eyes filled with tears over the Companions who had been true to their covenant with Allah and had fulfilled their obligations as obedient martyrs. Ja`far craved Paradise more than anything in the world. He awaited impatiently the glorious moment in which he would win martyrdom.  

        The Battle of Mu'tah, as we have already mentioned, was imminent. Ja'far realized that this battle was his lifetime chance to either achieve a glorious victory for Allah's religion or win martyrdom in the way of Allah. Therefore, he pleaded with the Prophet (PBUH) to let him fight in this battle. Ja'far knew beyond doubt that this battle was neither a picnic nor a limited war, but rather an unprecedented crucial war, for it was against the armies of a vast and powerful empire that excelled the Arabs and Muslims in numbers, equipment, expertise, and finance. He yearned to have a role in it.  

       Thus, he was the second of the three commanders. The two armies met in combat on a distressful day. Ja'far would have been excused if he had been gripped by terror when he saw the 200,000 warriors. Instead, he was gripped by overflowing exaltation, for he felt urged by the pride of the noble believer and the self-confidence of the hero to fight with his equals.  

        Again, hardly had the standard touched the sand as it slipped from Zaid lbn Haarithah's right hand, when Ja'far darted and picked it up and broke through the line of the enemy with incredible fearlessness. It was the fearlessness of a man who was not so much craving victory as martyrdom. When the Roman warriors closed in upon him in an encircling move, his horse restricted his movement, so he dismounted and thrust his sword into his enemies. Then he saw one of them approaching his horse so as to mount it. He did not want this impure disbeliever on his horse's back, so he thrust his sword into it and killed it.  
        
He immediately broke through the encircled Roman warriors like a hurricane and recited these 
vehement lines of poetry:  
   
How wonderful Paradise is.  
I can see it approaching
with its sweet and cool drink.  
The time for the punishment of the Roman
 is drawing near.  
Those unbelievers are not related to us in blood.  
I must fight the Romans
whenever I see one of their warriors. 
  The Roman soldiers were stunned
by this warrior who fought like a full-armored army. 
Confounded by his fearlessness, 
they closed in upon him in a way that left him no escape, for they were 
determined to slay him.
Instantly, they struck with their swords and cut off his right hand.
Swiftly he caught the standard with his left hand
before it reached the ground.
When they struck off his left hand, 

he caught the standard with his upperarms. At the moment, the only thing that really mattered to him was not to let the standard of the Prophet (PBUH) touch the ground as long as he was alive. Although his pure body was struck down, his upperarm still hugged the standard. The sounds of its fluttering seemed to have summoned `Abd Allah Ibn Rawaahah, who darted swiftly and gripped it then galloped towards his great destiny! 

        Thus, Ja`far died an honorable death. He met Allah, the Most Great, the Most High, enveloped in self-sacrifice and heroism.  

        When Allah the All-Knower, the All-Aware, inspired His Prophet (PBUH) with the outcome of the battle and Ja'far's martyrdom, his tears flowed as he placed his spirit in Allah's hands. Then he went to his late cousin's house and called his children. He hugged and kissed them while his tears flowed. Then he went back to his meeting surrounded by the Companions. Hassaan lbn Thaabit, the poet laureate of Islam, lamented the death of Ja`afar and his Companions saying.  At daybreak a man of a blessed nature and graceful face Commanded the believers to death.  

His face was as bright as the moon.  
He was a proud man who descended from Al Haashim.  
He was a valiant man who rushed to help the oppressed. 
He fought until he was martyred.  
And his reward was Paradise where there are lush. 
green gardens. 
Ja'far was loyal and obedient to Muhammad.  
If Islam lost one of Al-Haashim,  
There are still honorable and pious men of them.  
Who are the support and pride of Islam.  

After Hassaan finished reciting his poem, Ka`b Ibn Maalik recited. 
I am griefstricken over the group. 
Who were struck down in succession in the Battle of Mu'tah. 
They strived and fought fiercely and didn't turn their back. 
Allah sent His blessings on them. 
For they were pious and loyal men. 
Allah made the heavy rains water their bone. 
They stood firm before death in Mu'tah 
in obedience to Allah. 
And for fear of His punishment. 

They were guided by Ja'far's flag. He was the best Commander. 
He broke through the line of the enemy and was struck down. 
Owing to the fierce and ruthless fight. 
Instantly, the bright moon darkened. 
And the sun eclipsed to lament his death. 

At the end, all the poor wept bitterly over the loss of their father, for Ja'afar (May Allah be pleased with him) was the "father of the poor". Abu Hurairah said, "The most generous man towards the poor was Ja'afar Ibn Abi Taalib." Indeed, when he was about to die, he wanted to be the most generous, self- denying and devoted martyr. `Abd Allah Ibn `Umar said, "I was with Ja'far in the Battle of Mu'tah and we looked around for him. We found that the enemy had sprayed his body with more than ninety stabs and strikes!"  

       But those killers did not scratch his invulnerable spirit. No, their swords and spears were the bridge which this glorious martyr crossed to be near Allah, the Most Merciful, the Most High. He was raised to a high station in heaven. His worn-out body was covered all over with the medals of war, namely, the wounds. Now, let us hear what the Prophet (PBUH) said about him: "I have seen him in Paradise. His head and wings - upper arms - were covered with blood!"

.¤ª"˜¨¯¨¨Ja'far Bin Abu Thalib oo Ja'far Ibn Abi Taalib¸,ø¨¨"ª¤.




Categories: