acebook

.¤ª"˜¨¯¨¨Abdurrahman Bin 'Auf ¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨'Abd Ar-Rahman Ibn 'Awf¸,ø¨¨"ª¤.
"Apa sebabnya anda menangis, Hai Abu Muhammad". 

Pada suatu hari, kota Madinah sedang aman dan tenteram, terlihat debu tebal yang mengepul ke udara, datang dari tempat ketinggian di pinggir kota; debu itu semakin tinggi bergumpal­-gumpal hingga hampir menutup ufuk pandangan mata. Angin yang bertiup menyebabkan gumpalan debu kuning dari butiran-butiran sahara yang lunak, terbawa menghampiri pintu-pintu kota,dan berhembus dengan kuatnya di jalan-jalan raya.Orang banyak menyangka ada angin ribut yang menyapu dan menerbangkan pasir. Tetapi kemudian dari balik tirai debu itu segera mereka dengar suara hiruk pikuk, yang memberi tahu tibanya suatu iringan kafilah besar yang panjang.Tidak lama kemudian, sampailah 700 kendaraan yang sarat dengan muatannya memenuhi jalan-jalan kota Madinah dan menyibukkannya. 

Orang banyak saling memanggil dan meng­himbau menyaksikan keramaian ini Serta turut bergembira dan bersukacita dengan datangnya harta dan rizqi yang dibawa kafilah itu . . .Ummul Mu’minin Aisyah r.a. demi mendengar suara hiruk pikuk itu ia bertanya: “Apakah yang telah terjadi di kota Ma­dinah . . . ?” Mendapat jawaban, bahwa kafilah Abdurrahman bin ‘Auf baru datang dari Syam membawa barang-barang dagang­annya . . . . Kata Ummul Mu’minin lagi: “Kafilah yang telah menyebabkan semua kesibukan ini?” “Benar, ya Ummal Mu’- minin .. . karena ada 700 kendaraan … !” 

Ummul Mu’rrinin menggeleng-gelengkan kepalanya, sembari melayangkan pandang­nya jauh menembus, seolah-olah hendak mengingat-ingat kejadi­an yang pernah dilihat atau ucapan yang pernah didengarnya. Kemudian katanya: “Ingat, aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: —
“Kulihat Abdurrahman bin ‘Auf masuk surga dengan perlahan-lahanl”
Abdurrahman bin ‘Auf masuk surga dengan perlahan-lahan. . . ? 
Kenapa ia tidak memasukinya dengan melompat atau berlari kencang bersama angkatan pertama para shahabat Rasul...? 

Sebagian shahabat menyampaikan ceritera Aisyah ke­padanya, maka ia pun teringat pernah mendengar Nabi saw. Hadits ini lebih dari satu kali dan dengan susunan kata yang berbeda-beda.Dan sebelum tali-temali perniagaannya dilepaskannya, ditujukannya langkah-langkahnya ke rumah Aisyah lalu berkata kepadanya: “Anda telah mengingatkanku suatu Hadits yang tak pernah kulupakannya 

         Kemudian ulasnya lagi: “Dengan ini aku mengharap dengan sangat agar anda menjadi saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut kendaraan dan perlengkapannya, ku persembahkan di jalan Allah ‘azza wajalla !” Dan dibagikannyalah seluruh muatan 700 kendaraan itu kepada semua penduduk Madinah dan sekitarnya sebagai per­buatan baik yang maka besar ….

Peristiwa yang satu ini saja, melukiskan gambaran yang sempurna tentang kehidupan shahabat Rasulullah, Abdurrahman bin ‘Auf. Dialah saudagar yang berhasil. Keberhasilan yang paling besar dan lebih sempurna! Dia pulalah orang yang kaya raya. Kekayaan yang paling banyak dan melimpah ruah . . . ! Dialah seorang Mu’min yang bijaksana yang tak sudi kehilangan bagian keuntungan dunianya oleh karena keuntungan Agamanya, dan tidak suka harta benda kekayaannya meninggalkannya dari kafilah iman dan pahala surga. 

Maka dialah r.a. yang mem­baktikan harta kekayaannya dengan kedermawanan dan pem­berian yang tidak terkira, dengan hati yang puas dan rela …Kapan dan bagaimana masuknya orang besar ini ke dalam Islam? Ia masuk Islam sejak fajar menyingsing .. .. Ia telah memasukinya di saat-saat permulaan da’wah, yakni sebelum Rasulullah saw.memasuki rumah Arqam dan menjadikannya sebagai tempat pertemuan dengan para shahabatnya orang­orang Mu’min...

Dia adalah salah seorang dari delapan orang yang dahulu masuk Islam ….

Abu Bakar datang kepadanya menyampaikan Islam, begitu juga kepada Utsman bin ‘Affan, Zubair bin Aw­wam, Thalhah bin Ubedillah, dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Maka tak ada persoalan yang tertutup bagi mereka, dan tak ada keragu­raguan yang menjadi penghalang, bahkan mereka segera pergi bersama Abu Bakar Shiddiq menemui Rasulullah saw. menyata­kan bai’at dan memikul bendera Islam . . . .

Dan semenjak keIslamannya sampai berpulang menemui Tuhannya dalam umur tujuh puluh lima tahun, ia menjadi teladan yang cemerlang sebagai seorang Mu’min yang besar. Hal ini menyebabkan Nabi saw. memasukkannya dalam sepuluh orang yang telah diberi kabar gembira sebagai ahli surga.Dan Umar r.a. mengangkatnya pula sebagai anggota kelom­pok musyawarah yang berenam yang merupakan calon khalifah yang akan dipilih sebagai penggantinya, seraya katanya: “Rasulullah wafat dalam keadaan ridla kepada mereka!”Segeralah Abdurrahman masuk Islam menyebabkannya menderitakan nasib malang berupa penganiayaan dan penindasan dari Quraiay . . . . 

Dan sewaktu Nabi saw., memerintahkan para shahabatnya hijrah ke Habsyi, Ibnu ‘Auf ikut berhijrah kemudian kembali lagi ke Mekah, lalu hijrah untuk kedua kalinya ke Habsyi dan kemudian hijrah ke Madinah . . . . ikut bertempur di perang Badar, Uhud dan peperangan-peperangan lainnya . . . .Keberuntungannya dalam perniagaan sampai suatu batas yang membangkitkan dirinya pribadi ketakjuban dan keheranan, hingga katanya:“Sungguh, kulihat diriku, seandainya aku mengangkat batu niacaya kutemukan di bawahnya emas dan perak … !”Perniagaan bagi Abdurrahman bin ‘Auf r.a. bukan berarti rakus dan loba . . . . Bukan pula suka menumpuk harta atau hidup mewah dan ria! Malah itu adalah suatu amal dan tugas kewajiban yang keberhasilannya akan menambah dekatnya jiwa kepada Allah dan berqurban di jalan-Nya ….Dan Abdurrahman bin ‘Auf seorang yang berwatak dinamis, kesenangannya dalam amal yang mulia di mana juga adanya …. 

Apabila ia tidak sedang shalat di mesjid, dan tidak sedang berjihad dalam mempertahankan Agama tentulah ia sedang mengurus perniagaannya yang berkembang pesat, kafilah-kafilah­nya membawa ke Madinah dari Mesir dan Syria barang-barang muatan yang dapat memenuhi kebutuhan seluruh jazirah Arab berupa pakaian dan makananDan watak dinamisnya ini terlihat sangat menonjol, ketika Kaum Muslimin hijrah ke Madinah …. Telah menjadi kebiasaan Rasul pada waktu itu untuk mempersaudarakan dua orang shahabat, salah seorang dari muhajirin warga Mekah dan yang lain dari Anshar penduduk Madinah.Persaudaraan ini mencapai kesempurnaannya dengan cara yang harmonis yang mempesonakan hati. Orang-orang Anshar penduduk Madinah membagi dua seluruh kekayaan miliknya dengan saudaranya orang muhajirin..., sampai-sampai soal rumah tangga. Apabila ia beristeri dua orang diceraikannya yang seorang untuk memperisteri saudaranya … !Ketika itu Rasul yang mulia mempersaudarakan antara Abdurrahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin Rabi’ . . . 

Dan marilah kita dengarkan shahabat yang mulia Anas bin Malik r.a. meriwayatkan kepada kita apa yang terjadi:
” . . . dan berkatalah Sa’ad kepada Abdurrahman: “Saudara­ku, aku adalah penduduk Madinah yang kaya raya, silakan pilih separoh hartaku dan ambillah! Dan aku mempunyai dua orang istri, coba perhatikan yang lebih menarik perhati­an anda, akan kuceraikan ia hingga anda dapat memper­isterinya … !”

Jawab Abdurrahman bin ‘Auf: “Moga-moga Allah member­kati anda, istri dan harta anda! Tunjukkanlah letaknya pasar agar aku dapat berniaga . . . !”

Abdurrahman pergi ke pasar, dan berjual belilah di sana … ia pun beroleh keuntungan … !Kehidupan Abdurrahman bin ‘Auf di Madinah baik semasa Rasulullah saw. maupun sesudah wafatnya terus meningkat...Barang apa saja yang ia pegang dan dijadikannya pokok per­niagaan pasti menguntungkannya. seluruh usahanya ini dituju­kan untuk mencapai ridla Allah semata, sebagai bekal di alam baqa kelak … !Yang menjadikan perniagaannya berhasil dan beroleh berkat karena ia selalu bermodal dan berniaga barang yang halal dan menjauhkan diri dari perbuatan haram bahkan yang syubhat. 

Seterusnya yang menambah kejayaan dan diperolehnya berkat, karena labanya bukan untuk Abdurrahman sendiri . . . tapi di dalamnya terdapat bagian Allah yang ia penuhi dengan setepat­tepatnya, pula digunakannya untuk memperkokoh hubungan kekeluargaan serta membiayai sanak saudaranya, serta menyedia­kan perlengkapan yang diperlukan tentara Islam ….Bila jumlah modal niaga dan harta kekayaan yang lainnya ditambah keuntungannya yang diperolehnya, maka jumlah kekayaan Abdurrahman bin ‘Auf itu dapat diperkirakan apabila kita memperhatikannilai dan jumlah yang dibelanjakannya pada jalan Allah Rabbul’alamin! 

Pada suatu hari ia mendengar Rasulullah saw. bersabda:—
“Wahai Ibnu ‘Auf! anda termasuk golongan orang kaya … dan anda akan masuk surge secara perlahan-lahan . . . ! Pinjamkanlah kekayaan itu kepada Allah, pasti Allah mempermudah langkah anda … !

Semenjak ia mendengar nasihat Rasulullah ini dan ia menyedia­kan bagi Allah pinjaman yang baik, maka Allah pun memberi ganjaran kepadanya dengan berlipat ganda.Di suatu hari ia menjual tanah seharga 40 ribu dinar, ke­mudian uang itu dibagi-bagikannya semua untuk keluarganya dari Bani Zuhrah, untuk para istri Nabi dan untuk kaum fakir miakin.Diserahkannya pada suatu hari lima ratus ekor kuda untuk perlengkapan bala tentara Islam . . . dan di hari yang lain seribu lima ratus kendaraan.

 Menjelang wafatnya ia berwasiat limapuluh ribu dinar untuk jalan Allah, lalu diwasiatkannya pula bagi setiap orang yang ikut perang Badar dan masih hidup,masing-masing empat ratus dinar, hingga Utsman bin Affan r.a. yang terbilang kaya juga mengambil bagiannya dari wasiat itu, serta katanya:“Harta Abdurrahman bin ‘Auf halal lagi bersih, dan memakan harta itu membawa selamat dan berkat”.Ibnu ‘Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya, bukan seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya . . .. Sebagai buktinya, ia tidak mau celaka dengan mengumpul­kannya dan tidak pula dengan menyimpannya . . . . Bahkan ia mengumpulkannya secara santai dan dari jalan yang halal ….

 Kemudian ia tidak menikmati sendirian . . . . tapi ikut menik­matinya bersama keluarga dan kaum kerabatnya serta saudara­-saudaranya dan masyarakat seluruhnya. Dan karena begitu luas pemberian serta pertolongannya, pernah dikatakan orang:“Seluruh penduduk Madinah berserikat dengan Abdurrahman bin ‘Auf pada hartanya. Sepertiga dipinjamkannya kepada mereka . . . . Sepertiga lagi dipergunakannya untuk mem­bayar hutang-hutang mereka. Dan sepertiga sisanya diberikan dan dibagi-bagikannya kepada mereka”.Harta kekayaan ini tidak akan mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada dirinya, selama tidak memungkinkannya untuk membela Agama dan membantu kawan-kawannya. Adapun untuk lainnya, ia selalu takut dan ragu . . . !

Pada suatu hari dihidangkan kepadanya makanan untuk berbuka, karena waktu itu ia sedang shaum – . . . 

Sewaktu pan­dangannya jatuh pada hidangan tersebut, timbul selera makan­nya, tetapi iapun menangis sambil mengeluh:“Mush’ab bin Umeir telah gugur sebagai syahid, ia seorang yang jauh lebih baik daripadaku, ia hanya mendapat kafan sehelai burdah; jika ditutupkan ke kepalanya maka kelihatan kakinya, dan jika ditutupkan kedua kakinya terbuka ke­palanya!Demikian pula Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku, ia pun gugur sebagai syahid, dan di saat akan dikuburkan hanya terdapat baginya sehelai selendang. Telah dihampar­kan bagi kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan pula kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Sungguh kami khawatir kalau-kalau telah didahulukan pahala kebaikan kami … !”

Pada suatu Peristiwa lain sebagian shahabatnya berkumpul bersamanya menghadapi jamuan di rumahnya.Tak lama sesudah makanan diletakkan di hadapan mereka, ia pun menangis karena itu mereka bertanya: “Apa sebabnya anda menangis, wahai Abu Muhammad . .. ?”Ujarnya: “Rasulullah saw. telah wafat dan tak pernah beliau berikut ahli rumahnya sampai kenyang makan roti gandum, apa harapan kita apabila dipanjangkan usia tetapi tidak menambah kebaikan bagi kita … ?”

Begitulah ia, kekayaannya yang melimpah-limpah, sedikit pun tidak membangkitkan kesombongan dan takabur dalam dirinya, Sampai-sampai dikatakan orang tentang dirinya: “Seandainya seorang asing yang belum pernah mengenalnya, kebetulan melihatnya sedang duduk-duduk bersama pelayan-­pelayannya, niscaya ia tak akan sanggup membedakannya diantara mereka!”

Tetapi bila orang asing itu mengenal satu segi Saja dari per­juangan Ibnu ‘Auf dan jasa-jasanya, misalnya diketahui bahwa di badannya terdapat duapuluh bekas luka di perang Uhud, dan bahwa salah satu dari bekas luka ini meninggalkan cacad pincang yang tidak sembuh-sembuh pada salah satu kakinya . . . sebagaimana pula beberapa gigi seri rontok di perang Uhud, yang menyebabkan kecadelan yang jelas pada ucapan dan pembicaraannya . . . . Di waktu itulah orang baru akan me­nyadari bahwa laki-laki yang berperawakan tinggi dengan air muka berseri dan kulit halus, pincang Serta cadel, sebagai tanda jasa dari perang Uhud, itulah orang yang bernama Abdurrahman bin ‘Auf . . . ! Semoga Allah ridla kepadanya dan ia pun ridla kepada Allah . . . !

Sudah menjadi kebiasaan pada tabi’at manusia bahwa harta kekayaan mengundang kekuasaan . . . artinya bahwa orang­orang kaya selalu gandrung untuk memiliki pengaruh guna melindungi kekayaan mereka dan melipat gandakan, dan untuk memuaskan nafsu, sombong, membanggakan dan me­mentingkan diri sendiri, yakni sifat-sifat yang biasa dibangkit­kan oleh kekayaan . . . !Tetapi bila kita melihat Abdurrahman bin ‘Auf dengan kekayaannya yang melimpah ini, kita akan menemukan manusia ajaib yang sanggup menguasai tabi’at kemanusiaan dalam bidang ini dan melangkahinya ke puncak ketinggian yang unik … !

Peristiwa ini terjadi sewaktu Umar bin Khatthab hendak berpisah dengan ruhnya yang suci dan ia memilih enam orang tokoh dari para shahabat Rasulullah saw. sebagai formateur agar mereka memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah yang baru ….Jari-jari tangan sama-sama menunjuk dan mengarah ke Ibnu ‘Auf . . . . Bahkan sebagian shahabat telah menegaskan bahwa dialah orang yang lebih berhak dengan khalifah di antara Yang enam itu, maka ujarnya: “Demi Allah, daripada aku me­nerima jabatan tersebut, lebih baik ambil pisau lalu taruh ke atas leherku, kemudian kalian tusukkan sampai tembus ke se­belah . . . !”

Demikianlah, baru saja kelompok Enam formateur itu mengadakan pertemuan untuk memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah yang akan menggantikan al­Faruk, Umar bin Khatthab maka kepada kawan-kawannya yang lima dinyatakannya bahwa ia telah melepaskan haknya yang dilimpahkan Umar kepadanya sebagai salah seorang dari enam orang colon yang akan dipilih menjadi khalifah. Dan adalah kewajiban mereka untuk melakukan pemilihan itu terbatas di antara mereka yang berlima saja ….Sikap zuhudnya terhadap jabatan pangkat ini dengan cepat telah menempatkan dirinya sebagai hakim di antara lima orang tokoh terkemuka itu. 

Mereka menerima dengan senang hati agar Abdurrahman bin ‘Auf menetapkan pilihan khalifah itu terhadap salah seorang di antara mereka yang berlima, sementara. Imam Ali mengatakan:“Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, bahwa anda adalah orang yang dipercaya oleh penduduk langit, dan dipercaya pula oleh penduduk bumi . . . !” Oleh Ibnu ‘Auf dipilihlah Utsman bin Affan untuk jabatan khalifah dan yang lain pun menyetujui pilihannya.Nah, inilah hakikat seorang laki-laki yang kaya raya dalam Islam! 

Apakah sudah anda perhatikan bagaimana Islam telah mengangkat dirinya jauh di atas kekayaan dengan segala godaan dan penyesatannya itu dan bagaimana ia menempa kepribadian­nya dengan sebaik-baiknya? Dan pada tahun ketigapuluh dua Hijrah, tubuhnya berpisah dengan ruhnya …. Ummul Mu’minin Aisyah ingin memberinya kemuliaan khusus yang tidak diberikannya kepada orang lain, maka diusulkannya kepadanya sewaktu ia masih terbaring di ranjang menuju kematian, agar ia bersedia dikuburkan di pe­karangan rumahnya berdekatan dengan Rasulullah, Abu Bakar dan Umar. . ..Akan tetapi ia memang seorang Muslim yang telah dididik Islam dengan sebaik-baiknya, ia merasa malu diangkat dirinya pada kedudukan tersebut . . . !Dahulu ia telah membuat janji dan ikrar yang kuat dengan Utsman bin Madh’un, yakni bila salah seorang di antara mereka meninggal sesudah yang lain maka hendaklah ia dikubur­kan di dekat shahabatnya itu...Selagi ruhnya bersiap-siap memulai perjalanannya yang baru, air matanya meleleh sedang lidahnya bergerak-gerak meng­ucapkan kata-kata:“Sesungguhnya aku khawatir dipisahkan dari shahabat­ shahabatku karena kekayaanku yang melimpah ruah … !”

Tetapi sakinah dari Allah segera menyelimutinya,lalu satu senyuman tipis menghiasi wajahnya disebabkan sukacita yang memberi cahaya Serta kebahagiaan yang menenteramkan jiwa..Ia memasang telinganya untuk menangkap sesuatu . . . . seolah-olah ada suara yang lembut merdu yang datang men­dekat ….Ia sedang mengenangkan kebenaran sabda Rasulullah saw. yang pernah beliau ucapkan: “Abdurrahman bin ‘Auf dalam surga!”, lagi pula ia sedang mengingat-ingat janji Allah dalam kitab-Nya:

“Orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah kemudian mereka tidak mengiringi apa yang telah mereka nafqahkan itu dengan membangkit-bangkit pemberiannya dan tidak pula kata-kata yang menyakitkan, niscaya mereka beroleh pahala di siai Tuhan mereka; mereka tidak usah merasa takut dan tidak pula berdukacita … !”(Q.S. 2 al-Baqarah: 262)

(40)  
`ABD AR-RAHMAN IBN `AWF  
What Makes You Cry, Abu Muhammad? 

        One day while Al-Madiinah was calm, heavy dust was accumulating near it till it covered the horizon. The wind pushed these quantities of yellow dust coming from the soft sand of the desert so that they came near the gates of Al-Madiinah, blowing strongly over the streets.  

       People thought it was a raging storm, but soon they heard beyond the dust the noise of a great caravan. After a while, 700 heavily laden camels were crowding the streets. People were calling each other to see the festive scene and rejoicing at the provisions the caravan might be carrying.  

       The Mother of the Faithful Aa'ishah, (May Allah be pleased with her) heard about the coming caravan and asked, "What's going on in Al-Madiinah?" She was answered, "It's a caravan of `Abd Ar Rahman Ibn `Awf coming from Syria carrying his goods." The Mother of the Faithful said, "But can one caravan make all this tremor?" "Yes, Mother of the Faithful. There are 700 camels."  

       The Mother of the Faithful nodded and looked away as if searching for the memory of a scene she had witnessed or a conversation she had heard, then she said, "I heard the Messenger of Allah (PBUH) saying,: "I saw `Abd Ar-Rahman Ibn `Awf crawling into Paradise."  

       `Abd Ar-Rahman lbn `Awf crawling into Paradise! Why does he not jump or hurry into it with the first ones to embrace Islam among the Companions of the Messenger? When some of his friends informed him of what `Aa'ishah said, he remembered that he heard the Prophet (PBUH) say this hadith more than once in various forms.  

       Before unloading the camels, he hastened to `Aa'isha's house and told her, "I call you to witness that this caravan with all its loads is in the cause of Allah Almighty." And the loads of 700 camels were distributed among the people of Al-Madiinah and the places around it in a great charity festival.  

        This incident alone represents the complete image of the life of `Abd Ar-Rahman Ibn `Awf, Companion of the Messenger of Allah. He was very much a successful merchant and rich man. He was the wise believer who refused that his portion of this life would sweep away his portion of religion, or that his fortune would make him lag behind the caravan of belief or the reward of Paradise; He (May Allah be pleased with him) would generously sacrifice his fortune and feel satisfied.  

        When and how did this great man embrace Islam? He did so very early in the first hours of the mission. He had done so even before the Messenger of Allah (PBUH) entered Daar Al-Arqam's house and took it as a seat to meet his faithful Companions. He was one of the eight who were the first to embrace Islam. When Abu Bakr preached Islam to him together with `Uthmaan lbn Affaan, Az Zubair lbn Al-'Awaam, Talhah Ibn `Ubaid Allah, and Sa'd lbn Abi Waqqaai they did not grudge or doubt the matter. 

On the contrary, they hastened with As-Siddiiq to the Messenger of Allah, acknowledging him as Allah's Messenger and carrying his standard. From the time he embraced Islam till he died at 75, he was a splendid model of a great believer, which made the Prophet (PBUH) count him among the ten to whom he gave glad tidings of inheriting Paradise. This also made `Umar (May Allah be pleased with him) count him among the six advisers whom he assigned for succession after himself. He said, "The Messenger of Allah (PBUH) died while pleased with them."  

        After `Abd Ar-Rahman embraced Islam, he faced his own portion of the persecution and challenges of the Quraish. When the Prophet (PBUH) ordered his Companions to emigrate to Abyssinia, Ibn `Awf emigrated but returned to Makkah. Then he emigrated to Abyssinia in the second migration, and from there to Al-Madiinah, where he witnessed Badr, Uhud, and all the battles.  He was very lucky in his trade to an extent that aroused his amazement. He said, "If I lift up a stone, I find silver and gold under it." Trade for `Abd Ar-Rahman lbn `Awf (May Allah be pleased with him) was not greed or monopoly.

 It was not even a desire to gather money or riches. It was work and duty whose success made him enjoy them and urged him to exert more effort. He used to have an enthusiastic nature so that he found comfort in any honorable work, wherever it was. If he was not praying in the mosque or fighting a battle, he was working in his trade that was thriving so much that his caravans were arriving at Al-Madiinah from Egypt and Syria, laden with everything that the Arabian Peninsula might need in garments and food.  

        Evidence of his ebullient nature is his course ever since the dawn of the Muslims' Hijrah to Al- Madiinah. In those days the Messenger (PBUH) associated every two of his Companions as brothers, a Muhaajir (Emigrant) from Makkah with an Ansaar (Helper) from Al-Madiinah. This association took place in an astounding way. Each Ansaar in Al-Madiinah shared with his brother Muhaajir everything that he owned, even his bed. If he was married to two women, he would divorce one for his brother to marry!  

        The noble Messenger (PBUH) associated `Abd Ar-Rahman lbn `Awf and Sa'd Ibn Ar-Rabii'a as brothers one day. 

Let us listen to the noble Companion Anas Ibn Maalik (May Allah be pleased with him) narrating to us what happened:  
       Sa'd said to Abd Ar-Rahman, "O brother, I'm the richest in Al Madiinah. Take half of my fortune. And I have two wives. Choose the one you like better and I'll divorce her for you to marry." So `Abd Ar- Rahman Ibn Awf said, "Allah bless your family and money. Show me the way to the market." He went to the market, bought, sold, and gained profit.  

       That is how he led his life in Al-Madiinah, whether during the Messenger's lifetime (PBUH) or after his death, doing his duty towards religion or the worlds work and succeeding in his trade, so much so that, as he said, if he lifted up a stone, he would find gold and silver under it!  
        
What made his trade blessed and successful was his pursuing the halaal, and his strictly moving away from the haraam, or even the doubtful. What made it even more blessed and successful was that it was not for `Abd Ar-Rahman alone. Allah had a bigger share in it, by which he used to strengthen the ties of his family and brothers and prepare the armies of Islam. If commerce and fortune are usually evaluated on the basis of stocks on hand and profits, Abd Ar Rahman Ibn `Awf`s fortune was evaluated on the basis of what was expended from it in the cause of Allah, the Lord of All the Worlds.  

        One day he heard the Messenger of Allah (PBUH) saying to him, "O lbn `Awf, you are a rich man, and you are going to crawl into Paradise. So lend to Allah in order to set your feet free." Ever since he heard this advice from the Messenger of Allah, he started lending to Allah a goodly loan. Then Allah increased it manifold to His credit in repaying.  

        One day, he sold some land for 40,000 dinars and distributed it all to the people of Zuhrah tribe, the Mothers of the Faithful, and the poor Muslims. Next day, he provided the Islamic armies with 500 horses, on the third day with 1,500 camels.  

       When he was about to die, he bequeathed 5,000 dinars in the cause of Allah and 400 dinars for each one who was still living of those who had witnessed ! 

Even `Uthmaan Ibn `Affaan (May Allah be pleased with him) took his share of the bequeathal in spite of his riches and said,"Abd Ar-Rahman`s money is halaal and pure. Its food gives health and blessing".  

       lbn `Awf was master of his money, not its slave. The proof of this was that he did not have trouble gathering it. He used to gather halaal money with much ease. Besides, he did not enjoy it alone, but together with his family, relatives, brethren, and all his community.  

He was so generous and hospitable that he used to say, `The people of Al-Madiinah are partners of Ibn `Awf in his money. He lends to a third of them, pays the debts of a third, and strengthens his ties of kinship and gives away a third."  

       These riches would not have made him comfortable or happy if they did not make him capable of adhering to his religion and supporting his brethren. Nevertheless, he was always apprehensive of these riches.  

        One day when he was fasting, he was served iftaar (the meal at sunset which breaks the fast). He had hardly seen it when he lost his appetite and cried saying, "when Mus'ab lbn `Umair was martyred- and he was better than me - he was wrapped in his garment so that if it covered his head, his feet showed, and if it covered his feet, his head showed. When Hamzah was martyred - and he was better than me - they found nothing to wrap him with except his garment. Now the world has been expanded for us, and we have been given much I'm afraid our blessings are hastened." 

        One day some of his friends gathered around food in his house. Just as it was put in front of them, he wept. They asked him, `What makes you weep, O Abu Muhammad?" He answered, "The Messenger of Allah (PBUH) died when he and his family had not even satisfied their appetites with barley bread. I can't see that our latter days have shown something better."  

        In addition, his large fortune never brought pride on him, so much so that they said of him, "If a stranger sees him sitting among his servants, he wouldn't be able to distinguish him from the others." If only this stranger would know a part of lbn `Awf's fortitude and good deeds - that, for example, he was wounded on the Day of Uhud with twenty wounds, one of which left a permanent lameness in one leg, and that some of his teeth fell out on the same day, leaving a clear defect in his articulation - then the stranger would know that this tall man who had a bright face but had lost his front teeth as a result of his injury at Uhud was Abd Ar-Rahman Ibn `Awf (May Allah be pleased with him).  

        Mankind's nature makes it a habit that riches court power; that is, the rich always like to have influence that protects their fortune, multiplies it, and satisfies the lust of pride and selfishness usually caused by riches. If we had seen Abd Ar-Rahman lbn `Awf with his large riches, however, we would have seen a marvelous man conquering human nature in this field and surpassing it preeminently. This showed itself when Umar lbn Al-Khattaab (May Allah be pleased with him) was dying. He chose six Companions of the Messenger of Allah (PBUH) for them to select from among themselves the new successor. The fingers were pointing at lbn `Awf. Some Companions even conversed with him about his right to win succession, but he said, "By Allah, it is better for me to put a knife in my throat and penetrate it to the other side."  

        Thus, the six chosen Companions had hardly held a meeting to select one of them to succeed `Umar Al-Faaruuq (The One Who Distinguishes Truth from Falsehood), when Ibn `Awf informed his five other brothers that he was renouncing the right given to him by `Umar when he made him one of the six from whom the successor would be selected, and that one of them would be selected from the other five. Soon, this ascetic attitude made him the judge of the noble five. They agreed that he would select the successor among them. lmam `Aliy said," I heard the Messenger of Allah (PBUH) describing you as honest among the people of heaven and earth." Finally, lbn `Awf selected `Uthmaan Ibn `Affaan successor, and all the rest agreed with him.  

       This is a real rich man in Islam. Did you see what Islam did to him, putting him above riches with all its temptations, and how it molded him in the best way? In A.H. 32 his Soul ascended to its Creator. `Aa'ishah, the Mother of the Faithful, wanted then to bestow on him a special honor, proposing as he was dying to bury him in her room near the Messenger (PBUH), Abu Bakr, and `Umar. But as a Muslim he was so refined that he was too modest to put himself in this rank. Besides, he had made a previous promise. One day, he and `Uthmaan lbn Madh`uun had promised each other that whoever died after the other would be buried near his friend.  

While his soul was preparing for its new journey, his eyes were dripping tears and his tongue was stammering, "I'm afraid of being held up by my friends because of what I had of abundant money. But soon, Allah's calmness overwhelmed him, and tender happiness covered his peaceful face. His ears listened closely, as if there were a sweet voice coming near them. Perhaps he was listening then to the truth of the Messenger's words (PBUH) to him, "`Abd Ar-Rahman Ibn `Awf will enter Paradise." 

Maybe he was listening also to Allah's promise in His book:

 "Those who spend their wealth in Cause of Allah, and do not follow up their gifts with reminders of their generosity or with injury, their reward is with their Lord. On them shall be no fear, nor shall they grieve"  (2: 262).
   
oo
.¤ª"˜¨¯¨¨Abdurrahman Bin 'Auf ¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨'Abd Ar-Rahman Ibn 'Awf¸,ø¨¨"ª¤.




Categories: