acebook


4] Bilal bin Rabah - Bilaal ibn Rabaah

♥.¤ª"˜¨¯¨¨Abdullah bin Umar ❀ `Abd Allah Ibn `Umar ¸,ø¨¨"ª¤.
Tekun Beribadah dan mendekatkan diri kepada ALLAH



Sewaktu telah berada di puncak usianya yang tinggi, ia ber­bicara:Saya telah bai’at kepada Rasulullah saw Maka sampai saat ini, saya tak pernahbelot atau mungkir janji . . . . Dan saya tak pernah bai’at kepada pengobar fitnah …. Tidak pula membangunkan orang Mu’min dari tidur­nya….

Dalam kalimat-kalimat di atas tersimpul secara ringkas tapi padat kehidupan seorang laki-laki shalih yang lanjut usia, me­lebihi usia 80 tahun, dan telah memulai hubungannya dengan Rasulullah dan Agama Islam semenjak berusia 13 tahun, yaitu ketika ia ingin menyertai ayahandanya dalam Perang Badar, dengan harapan akan beroleh tempat dalam deretan para pe­juang, kalau tidak ditolak oleh Rasulullah disebabkan usianya yang masih terlalu muda ….semenjak saat itu bahkan sebelumnya lagi, yakni ketika ia menyertai ayahandanya dalam hijrahnya ke Madinah, hubung­an anak yang cepat matang kepribadiannya itu dengan Rasul­ullah dan Agama Islam, telah mulai terjalin ….

Dan semenjak hari itu, sampai saat ia menemui Allah, yakni setelah ia mencapai usia 85 tahun, akan kita dapati ia se­bagaimana adanya; seorang yang tekun beribadat dan mendekat­kan diri kepada Allah, dan tak hendak bergeser dari pendiriannya walau agak seujung rambut, serta tak hendak menyimpang dari bai’at yang telah diikrarkannya atau melanggar janji yang telah diperbuatnya …. Keistimewaan-keistimewaan yang memikat perhatian kita terhadap Abdullah bin Umar ini tidak sedikit. Ilmunya, keren­dahan hatinya, kebulatan tekad dan keteguhan pendirian, keder­mawanan keshalihan dan ketekunannya dalam beribadah serta berpegang teguhnya kepada contoh yang diberikan oleh Rasul­ullah. Semua sifat dan keutamaan itu telah berjasa dalam me­nempa kepribadiannya yang luar biasa dan kehidupannya yang suci lagi benar ….

Dipelajarinya dari bapaknya — Umar bin Khatthab — ber­bagai macam kebaikan; dan bersama bapaknya itu, dipelajarinya pula dari Rasulullah semua macam kebaikan dan semua macam kebesaran . . . . Sebagaimana bapaknya, ia pun telah berhasil mencapai keimanan yang baik terhadap Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu, kesetiaannya mengikuti jejak langkah Rasulullah, merupakan suatu hal yang amat mena’jubkan ….

Diperhatikannya apa kiranya yang dilakukan oleh Rasul­ullah mengenai sesuatu urusan, maka ditirunya secara cermat dan teliti . . . . Misalnya Rasulullah saw pernah melakukan shalat di suatu tempat, maka Ibnu Umar melakukannya pula di tempat itu. Di tempat lain umpamanya Rasulullah saw. pernah berdu’a sambil berdiri, maka Ibnu Umar berdu’a di tempat itu sambil berdiri pula. Di sana Rasulullah pernah berdu’a sambil duduk, maka Ibnu Umar berdu’a di sana sambil duduk pula. Di sini — di jalan ini — Rasulullah pernah turun dari punggung untanya pada suatu hari dan melakukan shalat dua raka’at, maka Ibnu Umar tak hendak ketinggalan melakukannya, jika dalam perjalanannya ia kebetulan lewat di daerah itu dan tempat itu.

Bahkan ia takkan lupa bahwa unta tunggangan Rasulullah berputar dua kali di suatu tempat di kota Mekah sebelum Rasul­ullah turun dari atasnya untuk melakukan shalat dua raka’at, walaupun barangkali unta itu berkeliling dengan suatu maksud untuk mencari tempat baginya yang cocok untuk bersimpuh nanti. Tapi Abdullah ibnu Umar baru saja sampai di tempat itu, ia segera membawa untanya berputar dua kali kemudian baru bersimpuh, dan setelah itu ia shalat dua raka’at, sehingga persis sesuai dengan perbuatan Rasulullah yang telah disaksi­kannya … ! Kesetiaannya yang amat sangat dalam mengikuti jejak lang­kah Rasulullah ini, telah mengundang pujian dari Ummul Mu’- minin ‘Aisyah r.a. sampai ia mengatakan: “Tak seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah saw. di tempat-tempat pem­berhentiannya, sebagai dilakukan oleh Ibnu Umar … Sungguh, usia lanjutnya yang dipenuhi barkah itu telah dijalaninya untuk membuktikan kecintaannya yang mendalam terhadap Rasulullah, hingga pernah terjadi suatu masa, Kaum Muslimin yang shalihnya berdu’a: “Ya Allah, lanjutkanlah kiranya usia Ibnu Umar sebagai Allah melanjutkan usiaku, agar aku dapat mengikuti jejak langkahnya, karena aku tidak me­ngetahui seorang pun yang menghirup dari sumber pertama selain Abdullah bin Umar.

Dan karena kegemarannya yang kuat tak pernah luntur dalam mengikuti sunnah dan jejak langkah Rasulullah, maka Ibnu Umar bersikap amat hati-hati dalam penyampaian Hadits dari Rasulullah. la tak hendak menyampaikan sesuatu Hadits daripadanya, kecuali jika ia ingat seluruh kata-kata Rasulullah.

Orang-orang yang semasa dengannya mengatakan: “Tak seorang pun di antara shahabat -shah abat Rasulullah yang lebih berhati-hati agar tidak terselip atau terkurangi sehuruh pun dalam menyampaikan Hadits Rasulullah sebagai halnya Ibnu Umar!”

Demikian pula dalam berfatwa, ia amat berhati-hati dan lebih suka menjaga diri . . . . Pada suatu hari seorang penanya datang kepadanya untuk meminta fatwa. Dan setelah orang itu memajukan pertanyaan, Ibnu Umar menjawab “Saya tak tahu tentang masalah yang anda tanyakan itu . . .” Orang itu pun berlalulah, dan baru beberapa langkah  ia meninggalkannya, Ibnu Umar bertepuk tangan seraya berkata dalam hatinya: “Ibnu Umar ditanyai orang tentang yang tidak diketahuinya, maka dijawabnya bahwa ia tidak tahu . . .” Ia tidak hendak berijtihad untuk memberikan fatwa, karena takut akan berbuat kesalahan. Dan walaupun pola hidupnya mengikuti ajaran dari suatu Agama besar, yang menyediakan satu pahala bagi orang-orang yang tersalah dan dua pahala bagi yang benar hasil ijtihadnya, tetapi demi menghindari berbuat dosa menyebabkannya tidak berani untuk berfatwa ….

Juga ia menghindarkan diri dari jabatan qadli atau kehakim­an, padahal jabatan ini merupakan jabatan tertinggi di antara jabatan kenegaraan dan kemasyarakatan; di samping menjamin pemasukan keuangan, diperolehnya pengaruh dan kemuliaan. Apa perlunya kekayaan, pengaruh dan kemuliaan itu bagi Ibnu Umar… ! Pada suatu hari Khalifah Utsman r.a. memanggilnya dan meminta kesediaannya untuk memegang jabatan kehakiman itu, tetapi ditolaknya. Utsman mendesaknya juga, tetapi Ibnu Umar bersikeras pula atas penolakannya. “Apakah anda tak hendak menta’ati perintahku?” tanya Utsman. Jawab Ibnu Umar:

“Sama sekali tidak . . . , hanya saya dengar para hakim itu ada tiga macam: Pertama hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam neraka. Kedua yang mengadili berdasarkan nafsu, maka ia juga dalam neraka. Dan ketiga yang berijtihad sedang hasil ijtihadnya betul, maka ia dalam keadaan berimbang, tidak berdosa tapi tidak pula beroleh pahala. Dan saya atas nama Allah memohon kepada anda agar dibebaskan dari jabatan itu . . Khalifah Utsman menerima keberatan itu setelah mendapat jaminan bahwa ia tidak akan menyampaikan hal itu kepada siapa pun juga. Sebabnya ialah karena Utsman menyadari se­penuhnya kedudukan Ibnu Umar dalam hati masyarakat, karena jika orang-orang yang taqwa lagi shalih mengetahui keberatan Ibnu Umar menerima jabatan tersebut pastilah mereka akan mengikuti langkahnya, sehingga khalifah takkan menemukan seorang taqwa yang bersedia menjadi qadli atau hakim.

Mungkin pendirian Abdullah bin Umar ini tampaknya sebagai suatu hal negatif yang terdapat pada dirinya. Tetapi tidaklah demikian halnya! Ibnu Umar tidak akan menolak jabatan ter­sebut apabila tidak ada lagi orang lain yang pantas menduduki jabatan itu, karena masih banyak di antara shahabat-shahabat Rasulullah yang shalih dan wara’ yang juga pantas memegang jabatan kehakiman dan mampu memberikan fatwa secara praktis maka ia menolaknya.

Maka dengan penolakannya itu tidaklah akan menyebabkan lowongnya kursi jabatan tersebut atau mengakibatkannya jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berwenang. Telah tertanam dalam kehidupan pribadi Ibnu Umar untuk selalu membina dan meningkatkan diri agar lebih sempurna ketaatan dan ibadah­nya kepada Allah. Apalagi bila dikaji kehidupan Agama Islam di waktu itu, ternyata bahwa dunia telah terbuka pintunya bagi Kaum Mus­limin, harta kekayaan melimpah ruah, pangkat dan kedudukan bertambah-tambah. Daya tarik harta dan kedudukan itu telah merangsang dan mempesona hati orang-orang beriman, me­nyebabkan bangkitnya sebagian shahabat Rasulullah — di antara­nya Ibnu Umar — mengibarkan bendera perlawanan terhadap rangsangan dan godaan itu. 

Caranya ialah dengan menyediakan diri mereka sebagai contoh teladan dalam yuhud dan keshalihan, menjauhi kedudukan-kedudukan tinggi, mengatasi fitnah dan godaannya ….

Boleh dikata bahwa Ibnu Umar adalah “Penyerta malam” yang biasa diisinya dengan melakukan shalat …. atau “kawan dinihari” yang dipakainya untuk menangis dan memohon di­ampuni. Di waktu remajanya ia pernah bermimpi yang oleh Rasulullah dita’birkan bahwa qiyamul lail itu nantinya akan menjadi campuran tumpuan cita Ibnu Umar, tempat tersangkut‑ nya kesenangan dan kebahagiaannya. 

Nah, marilah kita dengar ceritera tentang mimpinya itu: “Di masa Rasulullah saw. saya bermimpi seolah-olah di tanganku ada selembar kain beludru. Tempat mana saja yang saya ingini di surga, maka beludru itu akan menerbangkanku ke sana… Lalu tampak pula dua orang yang mendatangiku dan ingin membawaku ke neraka. Tetapi seorang Malaikat menghadang mereka, katanya: Jangan ganggu! Maka kedua orang itu pun meluangkan jalan bagiku …. Oleh Hafshah, yaitu saudaraku, mimpi itu diceriterakannya kepada Rasulullah saw. Maka sabda Rasulullah saw.: “Akan menjadi laki-laki paling utamalah Abdullah itu, andainya ia sering shalat malam dan banyak melakukan­nya! “

Maka semenjak itu sampai ia pulang dipanggil Allah, Ibnu Umar tidak pernah meninggalkan qiyamul lail baik di waktu ia mukim atau musafir. Yang dilakukannya ialah shalat, membaca al-Quran dan banyak berdzikir menyebut nama Allah . . . , dan yang sangat menyerupai ayahnya ialah airmatanya bercucuran bila mendengar ayat-ayat peringatan dari al-Quran . Berkata ‘Ubeid bin ‘Umeir: “Pada suatu hari saya bacakan ayat berikut ini kepada Abdullah bin Umar: Betapakah bila Kami hadapkan dari setiap ummat seorang saksi, dan Kami hadapkan pula kamu sebagai saksi atas mereka semua . . . ? Padahari itu orang-orang kafir dan yang mendurhakai Rasul berharap kiranya mereka ditelan bumi, dan tiada pula suatu pembicaraan pun yang dapat mereka sembunyikan dari Allah … ! “ (Q.S. 4 an-Nisa: 41 — 42) Maka Ibnu Umar pun menangis, hingga janggutnya basah oleh airmata. Pada suatu hari ketika ia duduk di antara kawan­-kawannya, lalu membaca: Maka celakalah orang-orang yang berlaku curang dalam takaran! Yakni orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta dipenuhi, tetapi mengurangkannya bila mereka yang menakar atau menimbang untuk orang lain. Makkah mereka merasa bahwa mereka akan di­bangkitkan nanti menghadapi suatu hari yang dahsyat… , yaitu ketika manusia sama berdiri di hadapan Tuhan Rabbul ‘alamin … (Q.S. 83 at-Tathfif: 1— 6). Terus saja ia mengulang-ulang ayat: Ketika manusia sama berdiri di hadapan Rabbul ‘alamin sedang airmatanya mengucur bagai hujan …. hingga akhirnya ia jatuh disebabkan duka dan banyak menangis itu …. 

Kemurahan, sifat zuhud dan wara’ bekerja sama pada dirinya dalam suatu paduan seni yang agung membentuk corak kepri­badian mengagumkan dari manusia besar ini . . . . Ia banyak memberi karena ia seorang pemurah . . . . Yang diberikannya ialah barang halal karena ia seorang yang wara’ atau shalih . . . . Dan ia tidak peduli, apakah kemurahannya itu akan menyebab­kannya miskin karena ia zahid, tidak ada minat terhadap dunia….

Ibnu Umar termasuk orang yang hidup ma’mur dan berpeng­hasilan banyak. Ia adalah seorang saudagar yang jujur dan berhasil dalam sebagian benar dari kehidupannya. Di samping itu gaji­nya dari Baitulmal tidak sedikit pula: Tetapi tunjangan itu tidak sedikit pun disimpannya untuk dirinya pribadi, tetapi dibagi-­bagikan sebanyak-banyaknya kepada orang-orang miskin, yang kemalangan dan peminta-minta.

Ayub bin Wa-il ar-Rasibi pernah menceriterakan kepada kita salah satu contoh kedermawanannya. Pada suatu hari Ibnu Umar menerima uang sebanyak empat ribu dirham dan sehelai baju dingin. Pada hari berikutnya Ibnu Wa-il melihatnya di pasar sedang membeli makanan untuk hewan tunggangannya secara berutang. Maka pergilah Ibnu Wa-il mendapatkan keluarga­nya, tanyanya: Bukankah kemarin Abu Abdurrahman — maksud­nya Ibnu Umar — menerima kiriman empat ribu dirham dan sehelai baju dingin? ” “Benar”, ujar mereka. Kata Ibnu Wa-il: “Saya lihat ia tadi di pasar membeli makanan untuk hewan tunggangannya dan tidak punya uang untuk mem­bayarnya . . . “ Ujar mereka: “Tidak sampai malam hari, uang itu telah habis dibagi-bagikannya. Mengenai baju dingin, mula-mula dipakainya, lalu ia pergi ke luar. Tapi ketika kembali, baju itu tidak kelihatan lagi; dan ketika kami tanyakan, jawabnya bahwa baju itu telah diberikannya kepada seorang miskin . ! “

Maka Ibnu Wa-il pun pergilah sambil menghempas-hempaskan kedua belah telapak tangannya satu sama lain, dan pergi menuju pasar. Di sana ia naik ke suatu tempat yang tinggi dan berseru kepada orang-orang pasar, katanya: “Hai kaum pedagang …! Apa yang tuan-tuan lakukan terhadap dunia . . . .? Lihat Ibnu Umar, datang kiriman kepadanya se­banyak empat ribu dirham, lalu dibagi-bagikannya hingga esok pagi ia membelikan hewan tunggangannya makanan secara utang . . .! “

Memang, seorang yang gurunya Muhammad saw. dan bapak­nya Umar, adalah seorang yang luar biasa dan cocok untuk hal-hal istimewa . . 

Sungguh, kedermawanan, sifat zuhud dan wara’, ketika unsur ini membuktikan secara gamblang, bagaimana Abdullah bin Umar menjadi seorang pengikut terpercaya dan seorang putera teladan ….

Bagi orang yang ingin melihat kesetiaannya mengikuti jejak langkah Rasulullah, cukuplah bila diketahuinya bahwa Ibnu Umar akan berhenti dengan untanya di suatu tempat itu, karena pada suatu hari dilihatnya Rasulullah berhenti dengan untanya di tempat itu, seraya katanya: “Semoga setiap jejak akan me­nimpa di atas jejak sebelumnya … !” Begitu pula dalam baktinya kepada orang tua, penghormatan dan kekagumannya, Ibnu Umar mencapai suatu taraf yang mengharuskan agar kepribadian Umar itu diteladani oleh pihak musuh, apatah lagi oleh kaum kerabat, dan kononlah oleh putera-­putera kandungnya sendiri … ! Terlintas pada kita: Tiada masuk akal, orang yang mengaku sebagai pengikut Rasul ini dan penganut ayah yang terkenal al-Faruk . . . , akan menjadi budak atau hamba harta . . . . Me­mang harta itu datang kepadanya secara berlimpah ruah  . . . , tetapi ia hanya sekedar lewat, atau mampir ke rumahnya sebentar saja … !

Dan kedermawanan ini, baginya bukanlah sebagai alat untuk mencari nama, atau agar dirinya menjadi buah bibir dan sebutan orang. Oleh sebab itu pemberiannya hanya ditujukannya kepada fakir miskin dan yang benar-benar membutuhkan. Jarang sekali makan seorang diri, karena pasti disertai oleh anak-anak yatim dan golongan melarat. Sebaliknya ia seringkali memarahi dan menyalahkan sebagian putera-puteranya, ketika mereka me­nyediakan jamuan untuk orang-orang hartawan, dan tidak mengundang fakir miskin, katanya: “Kalian mengundang orang­orang yang dalam kekenyangan, dan kalian biarkan orang-orang yang kelaparan!”

Dan fakir miskin itu kenal benar siapa Ibnu Umar, mengeta­hui sifat santunnya dan merasakan akibat kedermawanan dan budi baiknya. Sering mereka duduk di jalan yang akan dilaluinya pulang, dengan maksud semoga tampak olehnya hingga dibawa­nya ke rumahnya. Pendeknya mereka berkumpul sekelilingnya tak ubah bagai kawanan lebah yang berhimpun mengerumuni kembang demi untuk menghisap sari madunya … !

Bagi Ibnu Umar harta itu adalah sebagai pelayan, dan bukan sebagai tuan atau majikan! Harta hanyalah alat untuk mencukupi keperluan hidup dan bukan untuk bermewah-mewahan. Dan hartanya itu bukanlah miliknya semata, tapi padanya ada bagian tertentu haq fakir miskin, jadi merupakan hak yang serupa tak ada hak istimewa bagi dirinya. Kedermawanan yang tidak terbatas ini disokong oleh sifat zuhudnya. Ibnu Umar tak hendak membanting tulang dalam mencari dan mengusahakan dunia. Harapan dari dunia itu hanya­lah hendak mendapatkan pakaian sekedar penutup tubuhnya dan makanan sekedar penunjang hidup.

Salah seorang shahabatnya yang baru pulang dari Khurasan menghadiahkan sehelai baju halus yang indah kepadanya, serta katanya: “Saya bawa baju ini dari Khurasan untukmu! Dan alangkah senangnya hatiku melihat kamu menanggalkan pakaian­mu yang kasar ini, lalu menggantinya dengan baju baru yang indah ini!” “Coba lihat dulu”, jawab Ibnu Umar. Lalu dirabanya baju itu dan tanyanya: “Apakah ini sutera?” “Bukan”, ujar kawannya itu, “itu hanya katun”. Ibnu Umar mengusap-usap baju itu sebentar, kemudian diserahkannya kembali, katanya: “Tidak, saya khawatir terhadap diriku … ! Saya takut ia akan menjadi­kan diriku sombong dan megah, sedang Allah tidak menyukai orang-orang sombong dan bermegah diri …  “

Pada suatu hari, seorang shahabat memberinya pula sebuah kotak yang berisi penuh. “Apa isinya ini … ?”, tanya Ibnu Umar. Jawab shahabatnya: “Suatu obat istimewa, saya bawa untukmu dari Irak!” “Obat untuk penyakit apa”, tanya Ibnu Umar pula. “Obat penghancur makanan untuk membantu pencernaan”. Ibnu Umar tersenyum, katanya kepada shahabat itu: “Obat penghancur makanan . . . ? Selama empat puluh tahun ini saya tak pernah memakan sesuatu makanan sampai kenyang … !”

Nah, seseorang yang tak pernah makan sampai kenyang selama 40 tahun bukanlah maksudnya hendak menjauhi ke kenyangan itu semata, tetapi pastilah karena zuhud dan wara’- nya, serta usahanya hendak mengikuti jejak langkah Rasulullah dan bapaknya! 

Ia cemas akan dihadapkan pada hari qiamat dengan pertanyaan sebagai berikut: Telah kamu habiskan segala keni’matan di waktu hidupmu di dunia, kamu bersenang-senang dengannya! Ia menyadari bahwa di dunia ini ia hanyalah tamu atau seorang musafir lalu . . . Dan pernah ia berceritera tentang dirinya, katanya: “Tak pernah saya membuat tembok dan tidak pula menanam sebatang kurma semenjak wafatnya Rasulullah saw. 

Berkata Maimun bin Mahran: “Saya masuk ke rumah Ibnu Umar dan menaksir harga barang-barang yang terdapat di sana berupa ranjang, selimut, tikar . . . , pendeknya apa juga yang terdapat di sana, maka saya dapati harganya tidak sampai seratus dirham . . . !” 

Dan demikian itu bukanlah karena kemiskinan, karena Ibnu Umar adalah seorang kaya … ! Bukan pula karena kebakhilan, karena ia seorang pemurah dan dermawan . . .! Sebabnya tidak lain hanyalah karena ia seorang zahid tidak terpikat oleh dunia, tidak suka hidup mewah dan tak senang menyimpang dari kebenaran dan keshalihan dalam menempuh hidup ini.

Ibnu Umar dikaruniai umur panjang dan mengalami masa Bani Umaiyah, di mana harta melimpah ruah, tanah tersebar luas dan kemewahan meraja-lela di kebanyakan rumah, bahkan katakanlah di mahligai-mahligai dan istana-istana . . .! 

Tapi walau demikian, namun gunung yang mulia ini tetap tegak dan tak tergoyahkan, tak hendak beranjak dari tempatnya dan tak hendak bergeser dari sifat wara’ dan zuhudnya. Dan bila disebut orang kebahagiaan dunia dan kesenangan­nya yang dihindarinya itu, ia berkata: “Saya bersama shahabat­-shahabatku telah sama sepakat atas suatu perkara, dan saya khawatir jika menyalahi mereka, takkan bertemu lagi dengan mereka untuk selama-lamanya Dan kepada yang lain diberitahukannya bahwa ia meninggal­kan dunia itu bukanlah disebabkan ketidak mampuan; ditadah­kannya kedua tangannya ke langit, katanya; “Ya Allah, Engkaumengetahui bahwa kalau tidaklah karena takut kepada-Mu, tentulah kami akan ikut berdesakan dengan bangsa kami Quraisy memperebutkan dunia ini. .

Benar … ! Seandainya ia tidak takut kepada Allah, tentulah ia akan ikut merebut dunia dan tentulah ia akan berhasil. Tetapi ia tidak perlu berebutan, karena dunia datang sendiri kepadanya, merayunya dengan berbagai kesenangan dan daya perangsang­nya….

Adakah lagi yang lebih menarik dari jabatan khalifah? Ber­kali-kali jabatan itu ditawarkan kepada Ibnu Umar, tetapi ia tetap menolak. Bahkan ia pernah diancam jika tak mau me­nerimanya, tetapi pendiriannya semakin teguh dan penolakannya semakin kerns lagi …

Berceritakan Hasan r.a.:
“Tatkala Utsman bin Affan dibunuh orang, ummat me­ngatakan kepada Abdullah bin Umar: “Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah, agar kami minta orang-orang bai’at pada anda!’ Ujarnya: ‘Demi Allah? seandainya dapat, janganlah ada walau setetes darah pun yang ter­tumpah disebabkan daku!’ Kata mereka pula: ‘Anda harus keluar! Kalau tidak akan kami bunuh di tempat tidurmu!’ Tetapi jawaban Ibnu Umar tidak berbeda dengan yang pertama. Demikianlah mereka membujuk dan mengancam­nya, tetapi tak satu pun hasil yang mereka peroleh . . . .!”

Dan setelah itu, ketika masa telah berganti masa dan fitnah telah menjadi-jadi, Ibnu Umar tetap merupakan satu-satunya harapan. Orang-orang mendesaknya agar sedia menerima jabatan khalifah dan mereka akan bai’at kepadanya, tetapi ia selalu menolak. Penolakan ini menyebabkan timbulnya masalah yang ditujukan kepada Ibnu Umar. Tetapi ia mempunyai logika dan alasan pula. Sebagai dimaklumi setelah terbunuhnya Utsman r.a. keadaan tambah memburuk dan berlarut-larut yang akan membawa ben­cana dan malapetaka. Dan walaupun ia tidak mempunyai ambisi untuk jabatan khalifah tersebut, tetapi Ibnu Umar bersedia memikul tanggung jawab dan menanggung resikonya dengan syarat ia dipilih oleh seluruh Kaum Muslimin dengan kemauan sendiri tanpa dipaksa. Adapun jika bai’at itu dipaksakan oleh sebagian atas lainnya di bawah ancaman pedang, maka inilah yang tidak disetujui oleh Ibnu Umar, dan la menolak jabatan khalifah yang dicapai dengan cara seperti itu.

Dan ketika itu, syarat tersebut tidaklah mungkin. Bagai­manapun kebaikan Ibnu Umar dan kekompakan Kaum Muslimin dalam mencintai dan menghormatinya, tetapi luasnya daerah dan letaknya yang berjauhan, di samping pertikaian yang sedang berkecamuk di antara Kaum Muslimin, menyebabkan mereka terpecah-pecah kepada beberapa golongan yang saling berperang dan mengangkat senjata, maka suasana tidaklah memungkinkan tercapainya konsensus atau persesuaian yang diharapkan oleh Ibnu Umar itu.

Seorang laki-laki mendatanginya pada suatu hari, katanya: “Tak seorang pun yang lebih buruk perlakuannya terhadap ummat manusia daripadamu !” “Kenapa ? , ujar Ibnu Umar;”demi Allah, tak pernah saya me­numpahkan darah mereka, tidak pula berpisah dengan jama’ah mereka apalagi memecah-belah kesatuan mereka!” Kata laki-laki itu pula: “Andainya kamu mau, tak seorang pun yang akan menentang … ! Jawab Ibnu Umar: “Saya tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang lainnya tidak!”

Bahkan setelah peristiwa berkembang sedemikian rupa, dan kedudukan Muawiyah telah kokoh, dan setelah itu beralih pula kepada puteranya Yazid . . . , lalu Muawiyah II putera Yazid setelah beberapa hari menduduki jabatan khalifah meninggalkan­nya karena tidak menyukainya. 

Sampai saat itu Ibnu Umar telah menjadi seorang tun berusia lanjut, ia masih menjadi harapan ummat untuk jabatan tersebut. Marwan datang kepadanya, katanya: “Ulurkanlah tangan anda agar kami bai’at! Anda adalah pemimpin Islam dan putera dari pemimpinnya!” Ujar Ibnu Umar: “Apa yang kita lakukan terhadap orang-orang masyriq?” “Kita gempur mereka sampai mau bai’at!” “Demi Allah,”ujar Ibnu Umar Pula: “saya tak sudi dalam umur saya yang tujuh puluh tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan saya …

Marwanpun pergi berlalu sambil berdendang: “Api fitnah berkobar sepeninggal Abu Laila, Dan kerajaan akan berada di tangan yang kuat lagi perkasa”. Yang dimaksud dengan Abu Laila ialah Muawiyah bin Yazid.

Penolakan untuk menggunakan kekerasan dan alat senjata inilah yang menyebabkan Ibnu Umar tak hendak campur tangan dan bersikap netral dalam kekalutan bersenjata yang terjadi di antara pengikut Ali dan penyokong Muawiyah dengan mengambil kalimat-kalimat berikut sebagai semboyan dan prinsipnya:

“siapa yang berkata: ‘Marilah shalat!’ akan saya pe­nuhi….

Dan siapa yang berkata: ‘Marilah menuju kebahagiaan!’ akan saya turuti pula ….

Tetapi siapa yang mengatakan: ‘Marilah membunuh saudaramu seagama dan merampas hartanya!’ maka saya akan katakan tidak . . . .”

Hanya dalam sikap netral dan tak hendak campur tangan ini, Ibnu Umar tak mau membiarkan kebathilan. Telah lama sekali Mu’awiyah yang ketika itu berada di puneak kejayaannya melakukan tindakan-tindakan yang menyakitkan dan mem­bingungkannya, sampai-sampai Mu’awiyah mengancam akan membunuhnya. Padahal dia selalu bersemboyan: “Seandainya di antaraku dengan seseorang ada hubungan walau agak sebesar rambut, tidaklah ia akan putus … !”

Dan pada suatu hari Hajjaj’) tampil berpidato, katanya: “Ibnu Zubair telah merubah Kitabullah!” Maka berserulah Ibnu Umar menentangnya: “Bohong bohong . . . . , kamu bohong   . ! “

Hajjaj yang selama ini ditakuti oleh siapa pun juga, merasa terpukul mendapat serangan tiba-tiba ….Tetapi kemudian dia melanjutkan pembicaraan dengan mengancamnya akan memberi balasan yang seburuk-buruknya. Ibnu Umar mengacungkan tangannya ke muka Hajjaj, dan di hadapan orang-orang yang sama terpesona dijawabnya: “Jika ancamanmu itu kamu laksana­kan, maka sungguh tak usah heran, kamu adalah seorang diktator yang biadab!” Tetapi bagaimana juga keras dan beraninya, sampai akhir hayatnya Ibnu Umar selalu ingin agar tidak terlibat dalam fitnah bersenjata itu dan menolak untuk berpihak kepada salah satu golongan ….

Berkatalah Abul ‘Aliyah al-Barra:
“Pada suatu hari saya berjalan di belakang Ibnu Umar tanpa diketahuinya. Maka saya dengar ia berbicara kepada dirinya: ‘Mereka letakkan pedang-pedang mereka di atas pundak-pundak lainnya, mereka berbunuhan lalu berkata: “Hai Abdullah bin Umar ikutlah dan berikan bantuan . sungguh sangat menye­dihkan.” la amat menyesal dan duka melihat darah Kaum Muslimin tertumpah oleh sesamanya. Dan sebagai kita baca dalam kata pengantar mengenai riwayatnya. ini, “tiadalah ia hendak mern­bangunkan orang Muslimin yang sedang tertidur”.

Dan sekiranya ia mampu menghentikan peperangan dan menjaga darah tertumpah pastilah akan dilakukannya, tetapi suasana ternyata tidak mengidzinkan, oleh sebab itu dijauhinya. Sebetulnya hati kecilnya berpihak kepada Ali r.a., bahkan pada lahirnya Ibnu Umar yakin bahwa Ali r.a. di pihak yang benar, hingga diriwayatkan bahwa setelah ia menganalisa semua peristiwa dan situasi pada akhir hidupnya itu ia berkata: “Tiada sesuatu pun yang saya sesalkan karena tidak kuperoleh, kecuali suatu hal, aku sangat menyesal tidak mendampingi Ali dalam memerangi golongan pendurhaka . . .!”

Penolakannya berperang di pihak Ali yang sebenarnya mempertahankan haq dan berada di pihak yang benar, dilakukan­nya bukan dengan maksud hendak lari atau menyelamatkan diri, tetapi adalah karena tidak setuju dengan semua perselisihan dan fitnah itu, serta menghindari peperangan yang terjadi bukan di antara Muslim dengan musyrik, tetapi antara sesama Muslimin yang saling menerkam saudaranya ….

Hal itu dijelaskannya dengan gamblang ketika ia ditanyai oleh Nafi’: “Hai Abu Abdurrahman, anda adalah putera Umar dan shahabat Rasulullah saw., dan anda adalah serta anda . . .! Tetapi apa yang menghalangi anda bertindak?” — mak­sudnya membela Ali. Maka ujarnya: “Sebabnya ialah karena Allah Ta’ala telah mengharamkan atasku menumpahkan darah Muslim! Firman-Nya ‘Azza wa Jalla: Perangilah mereka itu hingga tak ada lagi fitnah dan hingga orang-orang beragama itu semata ikhlas karena Allah.   (Q.S. 2 al-Baqarah: 193). Nah, kita telah melakukan itu dan memerangi orang-orang musyrik, hingga agama itu semata bagi Allah! Tetapi sekarang apa tujuan kita berperang . . .? Saya telah mulai berperang semenjak berhala-berhala masih memenuhi Masjidil Haram dari pintu sampai ke sudut-sudutnya, hingga akhirnya semua itu dibasmi Allah dari bumi Arab … ! Sekarang, apakah saya akan memerangi orang yang mengucapkan “Lah ilaaha illallaah”, tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah?” Demikianlah logika dan alasan dari Ibnu Umar, dan demi­kianlah pula keyakinan dan pendiriannya! 

Jadi ia menghindari peperangan dan tak hendak turut mengambil bahagian padanya, bukanlah karena takut atau hal-hal negatif lainnya, tetapi adalah karena tak menyetujui perang saudara antara sesama ummat beriman, dan menentang tindakan seorang Muslim yang meng­hunus pedang terhadap Muslim lainnya.

Ibnu Umar menjalani usia lanjut dan mengalami saat-saat dibukakannya pintu keduniaan bagi Kaum Muslimin. Harta melimpah ruah,. jabatan beraneka ragam dan kehendak serta keinginan berkobar-kobar. Tetapi kemampuan mentalnya yang luar biasa, telah merubah khasiat zamannya! Masa yang penuh dengan segala macam keinginan, dengan fitnah dan harta benda itu, dirubahnyalah bagi dirinya menjadi suatu masa yang diliputi oleh zuhud dan keshalihan, kedamaian dan kesejahteraan yang dijalani oleh pribadi; tekun dan melindungkan diri ini dengan segala keyakinan, telah dibentuk dan ditempa oleh Agama Islam di masa-masa pertamanya yang gemilang dan tinggi menjulang itu, tidak tergoyahkan sedikit pun juga.

Dengan bermulanya masa Bani Umayah, corak kehidupan mengalami perubahan, suatu perubahan yang tak dapat dielak­kan. Masa itu boleh disebut sebagai masa kelonggaran dalam segala hal, kelonggaran yang tidak Baja sesuai dengan keinginan ­keinginan pemerintah, tetapi juga dengan keinginan-keinginan pribadi dan golongan.

Dan di tengah badai rangsangan masa yang terpukau oleh kelonggaran-kelonggaran itu, oleh hasil perolehan dan kemegah­annya, Ibnu Umar tetap bertahan dengan segala keutamaannya, tidak menghiraukan semuanya itu, dengan melanjutkan pengem­bangan jiwanya yang besar. Sungguh, ia telah berhasil menjaga tujuan mulia dari kehidupannya sebagai diharapkannya, hingga orang-orang yang semata dengannya melukiskannya sebagai berikut: “Ibnu Umar telah meninggal dunia, dan dalam keutama­an tak ubahnya ia dengan Umar”.

Bahkan ketika menyaksikan sifat dan akhlaqnya yang me­ngagumkan itu, mereka membandingkannya dengan Umar, yaitu bapaknya yang berpribadi besar, kata mereka:
“Umar hidup di suatu masa di mana banyak tokoh-tokoh yang menjadi saingannya, tetapi Ibnu Umar hidup di suatu zaman, di mana tidak ditemui yang menjadi tolak bandingannya … !”
Perbandingan itu terlalu berlebihan, tetapi dapat dima’afkan terhadap orang seperti Ibnu Umar . . . . Adapun Umar, tak seorang pun dapat disejajarkan dengannya. Tak mungkin ada bandingannya di setiap masa dari kaum mana pun juga!

Suatu hari dari tahun 73 H . . . , ketika sang surya telah condong ke Barat hendak memasuki peraduannya, salah sebuah kapal keabadian telah mengangkat jangkar dan mulai berlayar, bertolak menuju rafiqul a’la di alam barzakh, dengan membawa suatu sosok tubuh salah seorang tokoh teladan terakhir mewakili zaman wahyu di Mekah dan Madinah, yaitu jasad Abdullah bin Umar bin Khatthab -

 (5)   `Abd Allah Ibn `Umar 
The Persistent and Repentant to Allah 

        When he was at the peak of his long life he said, " I swore the oath of allegiance to the Prophet (PBUH). I never broke my oath, nor have I turned to something else to this day. I never swore allegiance to those in civil strife, nor did I awake a sleeping Muslim."  

        These words are a summary of the life of that virtuous man who lived past the age of 80. His relationship with Islam and the Prophet began when he was only 13 years old, when he accompanied his father to the battle of Badr, hoping to have a place among the Mujaahiduun, but he was sent back by the Prophet due to his young age. Since that day - and even before that when he accompanied his father on his Hijrah to Al-Madiinah - that young boy who possessed premature manly merits began his relation with the Prophet of Islam (PBUH).  

        From that day till the day he passed away at the age of 85, we will always find him persistent, repentant, never deviating from his path, not even by a hairbreadth, never breaking the oath of allegiance which he had sworn, nor breaking a pledge he had made. The merits of `Abd Allah Ibn `Umar, which dazzle people's vision, are abundant. Among these are his knowledge, modesty, the straightness of his conscience and path, his generosity, piety, persistence in worship, and his sincere adherence to the Prophet's model. By means of all these merits and qualities did Ibn `Umar shape his unique personality, his sincere and truthful life.  

        He learned a lot of good manners from his father, `Umar Ibn Al khattaab, and together with him, they learned from the Prophet (PBUH) all the good manners and all that can be described as noble virtues.  

        Like his father, his belief in Allah and His Prophet was perfect; therefore, the way he pursued the Prophet's steps was admirable. He was always looking at what the Prophet was doing in every matter and then humbly imitating his deeds to the finest detail. For example, wherever the Prophet prayed, there also would lbn `Umar pray, and on the same spot. If the Prophet invoked Allah while standing, then lbn 'Umar would invoke Allan while standing. If the Prophet invoked Allah while sitting, so also would lbn `Umar invoke Allah while sitting. On the same particular route where the Prophet once dismounted from his camel and prayed two rak'ahs, so would lbn `Umar do the same while traveling to the same place.  

        Moreover, he remembered that the Prophet's camel turned twice at a certain spot in Makkah before the Prophet dismounted and before his two rak'ahs of prayer. The camel may have done that spontaneously to prepare itself a suitable halting place, but lbn `Umar would reach that spot, turn his camel in a circle, then allow it to kneel down. After that he would pray two rak'ahs in exactly the same manner he had seen the Prophet (PBUH) do. Such exaggerated imitation once provoked the Mother of the Believers `Aa'ishah (may Allah be pleased with her) to say, "No one followed the Prophet's steps in his coming and going as lbn `Umar did."  

        He spent his long, blessed life and his firm loyalty adhering to the Prophet's Sunnah to the extent that a time came when the virtuous Muslims were asking Allan, "O Allah, save lbn `Umar as long as I live so that I can follow him. I don't know anyone still adhering to the early traditions except him."  

        Similar to that strong and firm adherence to each of the Prophet's steps and practice (Sunnah) was lbn `Umar's respect for the Prophetic traditions (Hadith). He never related a hadith unless he remembered it to the letter. His contemporaries said, "None of the Companions of the Prophet was more cautious not to add or subtract something from a hadith than `Abd Allah lbn `Umar."  

In the same way he was very cautious when giving a fatwah (legal formal opinion in Islamic law). One day somebody came to ask him a fatwah . When he put forward his question, lbn `Umar answered, "I have no knowledge concerning what you are asking about." The man went his way. He had hardly left the place when Ibn `Umar rubbed his hands happily saying to himself, "Ibn `Umar has been asked about what he doesn't know, so he said, ` I don't know!'" He was very much afraid to perform ijtihaad (independent judgment in a legal question) in his fatwah, although he was living according to the instructions of a great religion, a religion which grants a reward to the one who makes a mistake and two rewards to the one who comes out with a correct righteous fatwah. However, lbn `Umar's piety deprived him of the courage to make any fatwahs.  

        In the same way he refrained from the post of judge. The position of a judge was one of the highest positions of state and society, guaranteeing the one engaged in it wealth, prestige, and glory. But why should the pious Ibn `Umar need money, prestige, and glory? The Caliph `Uthmaan once sent for him and asked him to hold the postion of judge but he apologized. `Uthmaan asked him, "Do you disobey me?" Ibn `Umar answered, "No, but it came to my knowledge that judges are of three kinds one who judges ignorantly: he is in hell; one who judges according to his desire: he is in hell; one who involves himself in making ijtihaad and is unerring in his judgment. That one will turn empty-handed, no sin committed and no reward to be granted. I ask you by Allah to exempt me." `Uthmaan exempted him after he pledged him never to tell anyone about that, for `Uthmaan knew Ibn `Umar's place in people's hearts and he was afraid that if the pious and virtuous knew his refraining from holding the position of judge, they would follow him and do the same, and then the Caliph would not find a pious person to be judge.  

      It may seem as if Ibn `Umar's stance was a passive one. However, it was not so. Ibn `Umar did not abstain from accepting the post when there was no one more suitable to hold it than himself. In fact a lot of the Prophet's pious and virtuous Companions were actually occupied with fatwah and judgment.  

        His restraint and abstention would not paralyze the function of jurisdiction, nor would it cause it to be held by unqualified ones, so Ibn `Umar preferred to devote his time to purifying his soul with more worship and more obedience. Furthermore, in that stage of Islamic history, life became more comfortable and luxurious, money more abundant, positions and authoritative ranks more available. The temptation of money and authoritative ranks began to enter the hearts of the pious and faithful , which made some of the Prophet's Companions - Ibn `Umar among them - to lift the banner of resistance to that temptation by means of making themselves models and examples of worship, piety, and abstention, refraining from high ranks in order to defeat their temptation.  

        Ibn `Umar made himself a "friend of the night", praying at night, crying, and asking forgiveness during its latter hours before daybreak. He had once, during his youth, seen a dream. The Prophet interpreted it in a way which made the night prayer `Abd Allah's utmost hope and a means of his delight and joy.  

        Let us listen to him, while he narrates the story of his dream: During the Prophetic era, I saw a dream in which I was riding a piece of brocade which let me fly to any place in Paradise I wished. Then I saw two approaching me, intending to take me to hell, but an angel met them saying, "Don't be afraid," so they left me. My sister Hafsah narrated the dream to the Prophet (PBUH), who said, "What an excellent man `Abd Allah is. If he is praying at night, then let him pray more."  

        From that day until he met with Allah, he never stopped performing his night prayer, neither while staying in one place nor while traveling. He was frequently praying, reciting the Qur'aan, and praising Allah. Like his father, his tears rolled down abundantly whenever he heard a warning verse in the Qur'aan.  

        Ubaid lbn `Umar said: I was once reading to `Abd Allah lbn `Umar this verse: "How will it be for them when We bring from every nation a witness, and bring you to witness over them all? On that day those who disbelieved and disobeyed the Messenger will wish the earth to be split open and swallow them, but they will never conceal GOD any of their saying " (4:41-42) Ibn `Umar began to cry till his beard was wet from his tears. One day he was sitting among his brothers reading "Woe to those who give insufficient measure, who when others measure for them they make full measure, but when they measure out, or weigh out for others, they give less than due. Do such not think that they shall be raised up on a Mighty Day? The Day when all mankind shall stand before the Lord of the Worlds" (83:1-6). Then he repeated again and again "The Day when all mankind shall stand before the Lord of the Worlds" while his tears were rolling down like heavy rain falls from the sky until he fell down because of his tremendous sorrow and crying.  

        His generosity, asceticism and piety all worked together in complete harmony to shape the most magnificent merits of that great man. He gave out abundantly because he was generous. He granted the fine halaal things because he was pious, never caring if his generosity left him poor because he was ascetic.  

        lbn `Umar (May Allah be pleased with him) was one of those who had high incomes. He was a successful, honest merchant for a greater part of his life, and his income from the treasury (Bait Al-Maal) was abundant. However, he never saved that money for himself, but always spent it copiously on the poor, the needy, and beggars.  

        Ayub Ibn Waa'il Ar-Rassiby tells us about one of his generous acts: One day lbn `Umar was granted 4,000 dirhams and a piece of velvet. The next day Ayub Ibn Waa'il saw him in the market buying his camel some fodder on credit. lbn Waa'il went to his house asking his close relatives, "Wasn't Abu `Abd Ar-Rahman (i.e. `Abd Allah Ibn `Umar granted 4,000 dirhams and a piece of velvet yesterday?" They said, "Yes." He then told them that he had seen him in the market buying fodder for his camel and could not find money for it. They told him, "He didn't go to sleep before distributing all of it, then he carried the velvet on his back and went out. When he returned it wasn't with him. We asked him about it, and he said, `I gave it to a poor person.  

        lbn Waa'il went out shaking his head until he entered the market. There he climbed to a higher ground and shouted to the people, "O merchants, what do you do with your life? Here is Ibn `Umar who's been granted 4,000 dirhams, so he distributes them, then the next morning he buys fodder for his camel on credit?!"  

        The one to whom Muhammad (PBUH) was tutor and `Umar his father must be a great man, deserving all that is great.  

        Ibn `Umar's generosity, asceticism, and piety, these three qualities demonstrate how sincere his imitation of the Prophetic model was and how sincere his worship.  

        He imitated the Prophet (PBUH) to the extent that he stood with his camel, where the Prophet had once stood saying, "A camel foot may stand over a camel foot." His respect, good behavior, and admiration towards his father reached also to a far extent. `Umar's personality forced his foes, his relatives, and, above all, his sons to pay him respect. I say, the one who belongs to that Prophet and that kind of father should never be a slave of money. Large amounts of money came to him but soon passed, just crossing his house at that moment.  

        His generosity was never a means of arrogance. He always dedicated himself to the poor and needy, rarely eating his meal alone: orphans and poor people were always present. He often blamed some of his sons when they invited the rich, and not the poor ones, to their banquets, thereupon saying, "You leave the hungry behind and invite the sated ones." The poor knew his tenderness, felt his kindness and sympathy, so they sat down across his path for him to take them to his house. When he saw them he was like a sweet scented flower surrounded by a drove of bees to suck its nectar.  

        Money in his hands was a slave, not a master, a means for necessities and not luxury. Money was not his alone. The poor had a right to it, a mutually corresponding right, with no privilege kept to himself. His self-denial helped him to reach such great generosity that he never stored, endeavored, or had a vivid interest toward the worldly life. On the contrary, he never wished to possess more than a gown to cover his body and just enough food to keep him alive.  

 Once a friend coming from khurasan presented him with a fine, delicate, handsome, embellished and decorated gown, saying to him, "I've brought you this gown from khurasan. I would be pleased to see you take off this rough gown and wear this nice one." lbn `Umar said, "Show it to me then. " He touched it asking, "Is it silk?" His friend said, "No, it's cotton." `Abd Allah looked at it for a while then pushed it away with his right hand saying, "No, I'm afraid to tempt myself. I'm afraid it would turn me into an arrogant, proud man. Allah dislikes the arrogant, proud ones."  

        On another day, a friend presented him with a container filled with something. Ibn `Umar asked him, "What's that?" He said, "Excellent medicine, which I brought you from Iraq!" lbn `Umar said, `What does it cure?" He said, "It digests food." Ibn `Umar smiled and said to his friend, "Digests food? I haven't satisfied my appetite for 40 years."  

        He who has not satisfied his appetite for 40 years has not curbed his appetite due to need or poverty, but rather due to self- denial and piety, and a trial to imitate the Prophet and his father.  

        He was afraid to hear on the Day of Judgment:"You have wasted all your good deeds for the enjoyment in the life of this world" (46:20). He realized that he was in this life just as a visitor or a passer-by. He described himself saying, "I haven't put a stone upon another (i.e. I haven't built anything) nor planted a palm tree since the Prophet's death."  

        Maimuun Ibn Muhraan once said, "I entered Ibn `Umar's house and tried to evaluate all that was inside such as the bed, the blanket, the mat and so on. Indeed, everything. I didn't find it worth even 100 dirhams."  

        That was not due to selfishness; he was very generous. But it was due to his asceticism, his disdain of luxury, and his adherence to his attitude of sincerity and piety.  

        Ibn `Umar lived long enough to witness the Umayyid period, when money became abundant, and land and estates spread, and a luxurious life was to be found in most dwellings, let alone most castles.  

        Despite all that, he stayed like a firm-rooted mountain, persistent and great, not slipping away from his paths and not abandoning his piety and asceticism. If life with its pleasure and prosperity - which he always escaped from - was mentioned, he said, "I've agreed with my companions upon a matter. I'm afraid if I change my stance I won't meet them again." Then he let the others know that he did not turn his back to the worldly life owing to inability, so he lifted his hands to the sky saying, "O Allah, You know that if it weren't for fear of You, we would have emulated our clan in the Quraish in this life."  

        Indeed, if it were not for his God-fearing self, he would have rivaled people in this life, and he would have been triumphant. He did not have to rival people. Life was striving towards him and chasing him with its tempting pleasure.  

        Is there any position more tempting than the caliph's? It was offered to Ibn `Umar several times, but he refused. He was threatened with death if he refused, but he continued his refusal and his shunning.  

        Al Hassan (May Allah be pleased with him) reported: When `Uthmaan Ibn `Affaan was killed it was said to `Abd Allah Ibn `Umar, "You are the people's master and the son of the people's master. Go out so that people swear to you the oath of allegiance." He said, "By Allah, if I could, I would never allow a drop of blood to be shed because of me." They said, You will either go out or we will kill you in your bed." He repeated his first statement. They tried to tempt him by frightening him, but all in vain!  

        After that, when time passed and civil strife became rampant, Ibn `Umar was always the hope of the people who urged him to accept the caliph's position. They were ready to swear to him the oath of allegiance, but he always and constantly refused.  

His refusal may be seen as a reprehensible act. However, he had his logic and argument. After the murder of `Uthmaan (May Allah be pleased with him) the situation got worse and aggravated in a dangerous and alarming way.  

        Although he was very humble towards the position of the caliph, he was ready to accept its responsibilities and face its dangers, but only on the condition that he be voluntarily and willingly chosen by all Muslims. However, to force one single Muslim to swear the oath of allegiance by sword was what he opposed, and so he refused the post of caliph.  

        At that time, however, this was impossible. Despite his merits and the public consensus of love and respect for him, the expansion into the different regions, the long distances between them, and the disputes which furiously set fire between the Muslims and divided them into sects fighting each other made it impossible to reach such a consensus set by Ibn `Umar as a condition for his acceptance of the caliphate.  

        A man once met him and said, "No one is more evil in the whole Muslim community than you!" lbn `Umar said, `Why? By Allah, I've never shed their blood, or divided their community, or sowed dissension." The man replied, "If you had wished it, every single one would have agreed upon you." Ibn `Umar said, "I don't like to see it (the caliphate) being offered to me while one man says no and another one says yes.  

        The people still loved him even after events changed and the caliphate went to Mu'aawiyah, then to his son Yaziid, then to Mu'aawiyah II, son of Yaziid, who stepped down renouncing its pleasure after a couple of days in office.  

        Even on that day, when lbn `Umar was an old man, he was still the people's hope and the hope of the caliphate. Thus Marwaan went to him saying, "Give me your hand to swear to you the oath of allegiance. You're the master of the Arabs, and the son of their master. " Ibn `Umar asked, `What are we going to do with the people of the east?" Marwaan said, "Beat them until they swear the oath." lbn `Umar replied, "I don't like to be 70 years old and a man gets killed because of me."  

        Marwaan went away singing: I can see civil strife boiling in its pots and the kingdom after Abi Laila (i.e. Mu'aawiyah Ibn Yaziid) will end in the hands of the victorious.  

        This refusal to use force and the sword is what made lbn `Umar hold a position of neutrality and isolation during the armed civil strife between the parties of `Ally and Mu'aawiyah, reciting these solemn words:  

            To the one who says, !Come to prayer," I will respond.  
            And to the one who says, "Come to success," I will respond. 
            But to the one who says, "Come to kill your Muslim brother" 
            to take his money," I will say, "No." 

        But while remaining neutral and isolated he never turned to hypocrisy. How often did he confront Mu'aawiyah - while the latter was at the summit of his authority - with challenges which confused and hurt him till he threatened to kill him! and he was the one who said, "if there is only a tiny hair between me and the people it won't be torn."  

        One day Al-Hajaaj stood preaching and said, "lbn Az-Zubair has distorted the Book of Allah!" Hereupon Ibn Umar shouted in his face, "You are lying! You are lying! You are lying!" Al-Hajaaj was at a loss, struck by surprise.  

        Everything and everyone was terrified even by the mention of his name. He promised lbn `Umar the worst punishment, but Ibn `Umar waved his hand in A'-Hajaaj's face and replied, while people were dazzled, "If you do what you just promised, there is no wonder about it, for you are a foolish imposed ruler."  

        However, despite his strength and bravery, he remained cautious until his last days, never playing a role in the armed civil strife and refusing to lean towards either of the parties.  

        Abu Al-'Aaliyah Al Barraa' related: I was once walking behind Ibn `Umar without his realizing it. I heard him saying to himself, "They are holding their swords, raising them high, killing each other, and saying, `O Ibn `Umar, give us a hand!'?"  

He was filled with sorrow and pain seeing Muslims blood shed by their own hands. As mentioned at the very beginning, he never awoke a sleeping Muslim. If he could have stopped the fight and saved the blood he would have done that, but the events were too powerful; therefore he kept to his house.  

        His heart was with `Ally (may Allah be pleased with him), and not only his heart but it seems his firm belief, based on a narration of what he said in his last days: "I never felt sorry about something that I missed except that I didn't fight on the side of `Ally against the unjust party."  

 However, when he refused to fight with Imam Ally, on whose side truth was, it was not because he sought a safe position, but rather because he refused the whole matter of the dispute and civil strife and refrained from a fight not one in which Muslims fight disbelievers, but one between Muslims who cut each other into pieces.  

        He clarified this when Naafi' asked him, "O Abu `Abd Rahman, you are the son of `Umar and the Companion of the Prophet (PBUH) and you are who you are. What hinders you from that matter?" He meant fighting on Ally's side. He replied, "What hinders me is that Allah has forbidden us to shed the blood of a Muslim. Allah the Mighty and Powerful said: "and continue fighting them until there is no more persecutions and GOD's Religion prevails "(2:193) and we did that. We fought the disbelievers until Allah's religion prevailed, but now, what is it we are fighting for? I fought when the idols were all over the Sacred House, from the corner to the door, until Allah cleared the land of the Arabs from it (idolatry). Should I now fight those who say, There is no god but Allah?" That was his logic, argument, and conviction.  

        Thus he did not refrain from fighting, nor abstain from taking part in battle to escape fighting, nor did he passively refuse to determine the outcome of the civil war within the Ummah of the faithful rather he refused to hold a sword in the face of a Muslim brother.  

        `Abd Allah lbn `Umar lived long and witnessed the days in which life "opened its gates to the Muslims." Money became more abundant, high positions more available, while ambition and desires spread. But his magnificent psychological capacities changed the rules of his time. He changed the era of ambition, money, and civil strife into an era of asceticism, humility, piety, and peace. He turned persistently to Allah and lived according to his worship, firm belief, and humbleness. Nothing whatsoever could affect his virtuous nature shaped and modeled by Islam during his early years.  

        The nature of life changed within the beginning of the Umayyid period. This change was inevitable. It was a period of expansion in every aspect of life, in the ambition of the state as well as the ambitions of individuals.  

        In the midst of the excitement of temptation and the agitation of an era lured by the idea of expansion with its pleasure and booty, stood Ibn `Umar with his merits, occupying himself with his excellent spiritual progress. He gained from his great excellent life all that he desired, so that his contemporaries described him by saying, "Ibn Umar died while being like Umar in his merit."  

        Moreover, dazzled by the glitter of his merits, his contemporaries liked to compare him with his father `Umar saying, "`Umar lived in a time when similar ones could be found, and Ibn `Umar lived in a time when there was no one similar to him." It is an exaggeration which may be forgiveable because Ibn `Umar deserved it. But as for `Umar, no one can be compared to him. It is absolutely out of the question that a similar one is to be found in any period of time.  

        In the year A.H. 73, the sun sank and the ship of eternity hoisted its sail towards the next life carrying the body of the last representative of the first days of the Revelation in Makkah and Al Madiinah: `Abd Allan Ibn `Umar Ibn Al-Khattab.

♥.¤ª"˜¨¯¨¨Abdullah bin Umar ❀ `Abd Allah Ibn `Umar ¸,ø¨¨"ª¤.






♥.¤ª"˜¨¯¨¨Bilal bin Rabah o❀o Bilaal ibn Rabaah¸,ø¨¨"ª¤.
Muadzin Rasulullah ...
Lambang Persamaan Derajat Manusia


Bila disebut nama Abu Bakar, maka Umar akan berkata: “Abu Bakar adalah pemimpin kita, yang telah memerdekakan pemimpin kita”. Maksudnya ialah Bilal seorang yang diberi gelar oleh Umar “pemimpin kita”, 

tentulah suatu pribadi besar yang layak memperoleh kehormatan seperti itu! Tetapi setiap menerima pujian yang ditujukan kepada dirinya, maka laki-laki yang berkulit hitam, kurus kerempeng, tinggi jangkung, berambut lebat dan bercambang tipis — sebagai dilukiskan oleh ahli-ahli riwayat — akan menundukkan kepala dan memejamkan mata, serta dengan air mata mengalir mem­basahi pipinya, akan berkata: “Saya ini hanyalah seorang Habsyi, dan kemarin saya seorang budak belian!”  

Nah, siapakah kiranya orang Habsyi yang kemarin masih jadi budak belian ini … ? Itulah dia Bilal. bin Rabah, muaddzin Islam dan penggoncang berhala yang dipuja Quraisy sebagai tuhan! la merupakan salah satu keajaiban iman dan kebenaran! Salah satu mujizat Islam yang maka besar! Dari tiap sepuluh orang, semenjak munculnya Agama itu sampai sekarang, bahkan sampai kapan saja dikehendaki Allah, kita akan menemukan sedikitnya tujuh orang yang kenal terhadap Bilal. Artinya dalam lintasan kurun dan generasi, terdapat jutaan manusia yang mengenal Bilal; hafal akan namanya dan tahu riwayatnya secara lengkap, sebagaimana mereka kenal akan dua Khalifah terbesar dalam Islam (Abu Bakar dan Umar).

Anda akan dapat menanyakan kepada setiap anak yang masih merangkak pada tahun-tahun pelajaran dasarnya; baik di Mesir, Pakistan, Indonesia atau Cina . . . di Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa dan Asia … di Irak, Syria, Turki, Iran dan Sudan . . . di Tunisia, Aljazair, dan Maroko … pendeknya di seluruh permukaan bumi yang didiami oleh Kaum Muslimin …. anda akan dapat menanyakan kepada setiap remaja Islam: “Siapakah Bilal itu, wahai buyung?” Tentulah akan keluar jawabannya yang lancar: “Ia adalah muaddzin Rasul. Asalnya seorang budak, yang disiksa oleh tuannya dengan batu pangs, agar ia meninggalkan Islam, tetapi jawabnya: “. . . Ahad … Ahad . . Allah Yang Maha Tunggal … Allah Yang Maha Tunggal … ! “

Dan setelah anda lihat keabadian yang telah dianugerahkan Islam kepada Bilal . . . , bahwa sebelum Islam, Bilal ini tidak lebih dari seorang budak belian; yang menggembalakan unta milik tuannya dengan imbalan dua genggam kurma! Tanpa Islam, pastilah ia takkan luput dari kenistaan perbudakan — sampai maut datang merenggutnya — setelah itu orang melupakannya….

Tetapi kebenaran iman dan keagungan Agama yang diyakini-nya telah meluangkan baginya dalam kehidupan dan riwayat hidup, suatu kedudukan tinggi pada deretan tokoh-tokoh Islam dan orang-orang sucinya . . .! Banyak di antara orang-orang terkemuka — golongan berpengaruh dan mempunyai harta —yang tidak berhasil mendapatkan agak sepersepuluh dari ke­haruman nama yang diperoleh Bilal si Budak Habsyi ini . . . ! ‘Bahkan tidak sedikit tokoh-tokoh sejarah yang tidak mencapai separoh kemasyhuran yang dicapai oleh Bilal!

Kehitaman warna kulit; kerendahan kasta dan bangsa, serta kehinaan dirinya di antara manusia selama itu sebagai budak belian, sekali-kali tidaklah menutup pintu baginya untuk me­nempati kedudukan tinggi yang dirintis oleh kebenaran, ke­yakinan, kesucian dan kesungguhannya setelah ia memasuki Agama Islam.
Semua itu adalah karena dalam neraca penilaian dan peng­hormatan yang diberikan kepadanya, tak ada perhitungan lain kecuali kekaguman; yakni ketika dijumpai kebesaran yang tidak terduga. 

Orang menyangka bahwa seorang hamba seperti Bilal, biasanya asal-usulnya tidak menentu; tidak berdaya dan tidak mempunyai keluarga, serta tidak memiliki suatu hak pun dari hidupnya. Dirinya adalah milik tuannya yang telah membeli dengan hartanya, dan kerjanya berada di tengah hewan ternak, pulang balik di antara unta dan domba tuannya. Menurut dugaan mereka, makhluq seperti ini takkan mampu melakukan sesuatu, atau menjadi sesuatu yang berarti!Kiranya ia berbeda dengan spa yang disangka dan diper-kirakan itu. Karena ia mampu mencapai derajat keimanan yang tidak mungkin dicapai oleh lainnya …. lalu menjadi muaddzin pertama bagi Rasulullah dan Islam; suatu aural yang menjadi inceran bagi setiap pemimpin dan pembesar Quraisy yang telah masuk Islam dan menjadi pengikut Rasul.
Benar . . . , Bilal bin Rabah!

Corak kepahlawanan apakah, dan bentuk kebesaran manakah yang ditonjolkan oleh ketiga kata-kata ini, “Bilal bin Rabah .. .?” Ia seorang Habsyi dari golongan orang berkulit hitam. Taqdir telah membawa nasibnya menjadi budak dari Bani Jumah di kota Mekah, karena ibunya salah seorang hamba sahaya mereka. Kehidupannya tidak berbeda dengan budak biasa. Hari­harinya berlalu secara rutin tapi gersang, tidak memiliki sesuatu pada hari itu, tidak pula menaruh harapan pada hari esok. 

Dan berita-berita mengenai Muhammad saw. telah mulai sampai ke telinganya, yakni ketika orang-orang di Mekah menyampaikan-nya dari mulut ke mulut. Juga ketika mendengar obrolan majikannya bersama tetamunya; terutama majikannya Umayah bin khdaf, salah seorang pemuka Bani Jumah, yaitu kabilah yang menjadi majikan yang dipertuan oleh Bilal. Lamalah sudah didengarnya Umayah ketika membicarakan Rasulullah, baik dengan kawan-kawannya maupun sesama warga sukunya; mengeluarkan kata-kata berbisa; penuh dengan rasa amarah, tuduhan dan kebencian. 

Di antara apa yang dapat ditangkap oleh Bilal dari ucapan kemarahan yang tidak berujung ­pangkal itu, ialah sifat-sifat yang melukiskan Agama baru bagi­nya. Dan menurut hematnya, sifat-sifat itu merupakan hal-hal baru dipandang dari sudut lingkungan di mana ia tinggal.  Sebagai­mana juga di antara ucapan-ucapan yang keras penuh ancaman itu, tapi pula kedengaran olehnya pengakuan mereka akan kemuliaan Muhammad saw., tentang kejujuran dan keterper­cayaannya … Benar, didengarnya mereka ta’jub dan keheranan terhadap ajaran yang dibawa oleh Muhammad saw.! Sebagian mereka mengatakan kepada yang lain: “Tidak pernah Muhammad saw. berdusta atau menjadi tukang sihir . . . tidak pula sinting atau berubah akal . . . , walau kita terpaksa menuduhnya demikian, demi untuk membendung orang-orang yang berlomba-lomba memasuki Agamanya!”

Didengarnya mereka mempercakapkan kesetiaannya menjaga amanat . . . , tentang kejujuran dan ketulusannya – . . , tentang akhlaq dan kepribadiannya …. Didengarnya pula mereka ber­bisik-bisik mengenai sebab yang mendorong mereka menentang dan memusuhinya, yaitu: pertama kesetiaan mereka terhadap kepercayaan yang diwariskan nenek moyangnya; dan kedua kekhawatiran merosotnya kemuliaan Quraisy, kemuliaan yang mereka peroleh sebagai imbalan kedudukan mereka menjadi markas keagamaan, sebagai pusat ibadat dan upacara haji di serata jazirah Arab . . . , kemudian kedengkian terhadap Bani Hasyim, kenapa munculnya Nabi dan Rasul itu dari golongan ini dan bukan dari fihak mereka ..

Pada suatu hari, Bilal bin Rabah melihat Nur Ilahi dan mendengar imbauannya dalam lubuk hatinya yang suci murni. Maka ia mendapatkan Rasulullah saw. dan menyatakan keislam­annya. Dan tidak lama antaranya, berita rahasia keislaman Bilal terungkaplah …. dan beredar di antara kepala tuan-tuan­nya dari Bani Jumah, yakni kepala-kepala yang selama ini ditiup oleh kesombongan dan ditindih oleh kecongkakan . . . ! Maka setan-setan di muka bumi tampillah bermunculan dan bersarang dalam dada Umayah bin Khalaf, yang menganggap keislaman seorang hambanya sebagai tamparan pahit yang menghina dan menjatuhkan kehormatan mereka semua ….

Apa . . . ? Budak mereka orang Habsyi itu masuk Islam dan menjadi pengikut Muhammad . . . ? Walaupun demikian, tidak apa! kata Umayah dalam hatinya. “Matahari yang terbit hari ini takkan tenggelam dengan Islamnya budak durhaka itu … ! ” Memang, bukan saja sang surya itu tidak tenggelam dengan Islamnya Bilal, tetapi pada suatu hari kelak matahari akan tenggelam dengan membawa semua patung-patung dan pembela ­pembela berhala itu … ! Mengenai Bilal, tidak saja ia beroleh kedudukan yang me­rupakan kehormatan bagi Agama Islam semata — walau Islam memang lebih berhak untuk itu — tetapi juga merupakan ke­hormatan bagi perikemanusiaan umumnya … ! la telah menjadi sasaran berbagai macam siksaan sebagai dialami oleh tokoh-tokoh utama lainnya.

Seolah-olah Allah telah menjadikannya sebagai tamsil per­bandingan bagi ummat manusia, bahwa hitamnya warna kulit dan perbudakan, sekali-kali tidak menjadi penghalang untuk mencapai kebesaran jiwa, asal saja ia beriman dan taat kepada Tuhannya serta memegang teguh haq-haqnya ….

Bilal telah memberikan pelajaran kepada orang-orang yang semasa dengannya, juga bagi orang-orang di segala masa; bagi orang-orang yang seagama dengannya, bahkan bagi pengikut­ pengikut agama lain; suatu pelajaran berharga yang menjelaskan bahwa kemerdekaan jiwa dan kebebasan nurani, tak dapat dibeli dengan emas separuh bumi, atau dengan siksaan bagaimanapun dahsyatnya … !
Dalam keadaan telanjang ia dibaringkan di atas bara, dengan tujuan agar ia meninggalkan Agamanya atau mencabut pengakuannya, tetapi ia menolak ….


Maka budak Habsyi yang lemah tidak berdaya ini telah dijadikan oleh Rasulullah saw. dan Agama Islam sebagai guru bagi seluruh kemanusiaan dalam soal menghormati hati nurani dan mempertahankan kebebasan serta kemerdekaannya.

Pada suatu ketika, di tengah hari bulat; waktu padang pasir berganti rupa menjadi neraka jahannam, mereka membawanya ke luar, lalu melemparkannya ke pasir yang bagai menyala dalam keadaan telanjang, kemudian beberapa orang laki-laki meng­angkat batu besar panas laksana bara, dan menjatuhkannya ke atas tubuh dan dadanya …. Siksaan kejam dan biadab ini mereka ulangi setiap hari, hingga karena dahsyatnya lunaklah hati beberapa orang di antara algojo-algojo yang menaruh kasihan kepadanya. Mereka berjanji dan bersedia melepaskannya asal saja ia mau menyebut nama tuhan-tuhan mereka secara baik-baik walau dengan sepatah kata sekalipun — tak usah lebih — yang akan menjaga nama baik mereka di mata umum, hingga tidak menjadi buah pembicaraan bagi orang-orang Quraisy bahwa mereka telah mengalah dan bertekuk lutut kepada seorang budak yang gigih dan keras kepala. Tetapi, walau sepatah kata pun yang dapat diucapkan bukan dari lubuk hatinya, dan yang dapat menebus nyawa dan hidup­nya tanpa kehilangan iman dan melepas keyakinannya, Bilal tak hendak mengucapkannya … !

Memang, ditolaknya mengucapkan hal itu, dan sebagai gantinya diulang-ulanglah senandungnya yang abadi: “Ahad … ! Ahad . . .! Allah Yang Maha Tunggal . . . ! Allah Yang Maha Tunggal . . .!” Pendera-pendera itu pun berteriak, bahkan seakan­-akan hendak memohon kepadanya: “Sebutlah Lata dan ‘Uzza!” Tetapi jawabannya tidak berubah dari: “Ahad … ! Ahad … ! ” “Sebutlah apa yang kami sebut!”, pinta mereka pula. Tetapi dengan ejekan pahit dan penghinaan yang mena’jubkan ia men­jawab: “lidahku tak dapat mengucapkannya … ! “

Tinggallah Bilal dalam deraan panas dan tindihan batu, hingga ketika hari petang mereka tegakkan badannya dan ikat­kan tali pada lehernya, lalu mereka suruh anak-anak untuk meng­araknya keliling bukit-bukit dan jalan-jalan kota Mekah, semen­tara Bilal tiada lekang kedua bibirnya melagukan senandung sucinya: “Ahad. . .! Ahad. . .!”

Berat dugaan kita, bahwa bila malam telah tiba, orang-orang itu akan menawarkan padanya: “Esok, ucapkanlah kata-kata yang baik terhadap tuhan-tuhan kami, sebutlah: tuhanku Lata dan ‘Uzza . . . , nanti kami lepaskan dan biarkan kamu sesuka hatimu! Telah letih kami menyiksamu, seolah-olah kami sendirilah yang disiksa!” Tetapi pastilah Bilal akan menggeleng­kan kepalanya dan hanya menyebut: “Ahad … ! Ahad . ! “ Karena tak dapat menahan gusar dan amarah murkanya, Umayah meninju sambil berseru: “Kesialan apa yang menimpa kami disebabkanmu, hai budak celaka?! Demi tuhan Lata dan ‘Uzza, akan kujadikan kau sebagai contoh bagi bangsa budak dan majikan-majikan mereka!” Dengan keyakinan seorang Mu’min dan kebesaran seorang suci, Bilal menyahut: “Ahad … Ahad…

Orang-orang yang diserahi tugas berpura-pura menaruh kasih­an kepadanya, kembali membujuk dan mengajukan tawaran, katanya kepada Umayah: “Biarkanlah ia wahai Umayah! Demi Lata dan ‘Uzza! Mulai saat ini ia takkan disiksa lagi! Bilal ini anak buah kami, bukankah ibunya sahaya kami . . .? Nah, ia takkan rela bila dengan keislamannya itu nama kami menjadi ejekan dan cemoohan bangsa Quraisy . . .!” Bilal membelalakkan matanya menentang para penipu dan pengatur muslihat licik itu, tetapi tiba-tiba ketegangan itu men­jadi kendur dengan tersunggingnya sebuah senyuman bagai cahaya fajar dari mulutnya. Dan dengan ketenangan yang dapat menggoncangkan dan mengarubirukan mereka, katanya: “Ahad…! Ahad . ! “

Waktu pagi hampir berlalu, waktu dhuhur dekat menjelang, dan Bilal pun dibawa orang ke padang pasir, tetapi tetap shabar dan tabah, tenang tak tergoyah. Sementara mereka menyiksanya, tiba-tiba datanglah Abu Bakar Shiddiq, serunya: “Apakah kalian akan membunuh seorang laki-laki karena mengatakan bahwa Tuhanku ialah Allah?!” Kemudian katanya kepada Umayah bin Khalaf: “Terimalah ini untuk tebusannya, lebih tinggi dari harganya, dan bebaskan ia … ! “ Bagai orang yang hampir tenggelam, tiba-tiba diselamatkan oleh sampan penolong, demikianlah halnya Umayah saat itu; hatinya lega dan merasa amat beruntung demi didengarnya Abu Bakar hendak menebus budaknya. la telah berputus asa akan dapat menundukkan Bilal. Apalagi mereka adalah orang-orang saudagar, dengan dijualnya Bilal mereka melihat keuntungan yang tidak akan diperoleh dengan jalan membunuhnya.

Dijualnyalah Bilal kepada Abu Bakar yang segera mem­bebaskannya, dan dengan demikian Bilal pun tampillah meng­ambil tempatnya dalam lingkungan orang-orang merdeka . . . . Dan ketika as-Shiddiq mengepit Bilal membawanya ke alam bebas, berkatalah Umayah: “Bawalah ia! Demi Lata dan ‘Uzza, seandainya harga tebusannya tak lebih dari satu ugia, pastilah ia akan kulepas juga!” Abu Bakar ‘arif akan keputusasaan dan pahitnya kegagalan yang tersirat dalam ucapan itu, hingga lebih baik tidak di­layaninya. Tetapi karena ini menyangkut kehormatan seorang laki-laki yang sekarang telah menjadi saudara yang tak berbeda dengan dirinya, maka jawabnya kepada Umayah: “Demi Allah, andainya kalian tak hendak menjualnya kecuali seratus ugia, pastilah akan kubayar juga!”

Kemudian pergilah Abu Bakar bersama shahabatnya itu kepada Rasulullah saw. dan menyampaikan berita gembira tentang kebebasannya, maka saat itu pun tak ubah bagai hari rays besar juga … ! Dan setelah Rasulullah saw. bersama Kaum Muslimin hijrah dan menetap di Madinah, beliau pun mensyari’atkan adzan untuk melakukan shalat. Maka siapakah kiranya yang akan men­jadi muaddzin untuk shalat itu sebanyak lima kali dalam sehari semalam . . . yang suara takbir dan tahlilnya akan berkumandang ke seluruh pelosok … ? Ialah Bilal . . . , yang telah menyerukan: “Ahad . . . ! Ahad . . . ! Allah Maha Tunggal . . . ! Allah Maha Tunggal . . .!” semenjak 13 tahun yang lalu, sementara siksaan membantai dan menyelai tubuhnya.

Pada hari itu pilihan Rasulullah jatuh atas dirinya sebagai muaddzin pertama dalam Islam. Dan dengan suaranya yang merdu dan empuk diisinya hati dengan keimanan dan telinga dengan keharuan, sementara seruannya menggemakan:
“Allahu Akbar. . . Allahu Akbar Allahu Akbar … 
Allahu Akbar Asyhadu allailaha illallah
Asyhadu allailaha illallah
Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah 
Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah Hayya ‘alas shalah
Hayya ‘alas shalah
Hayya ‘alal falah
Hayya alai falah
Allahu Akbar.. . Allahu Akbar La ilaha illallah. . . “.

Antara Kaum Muslimin dan tentara Quraisy yang datang menyerang Madinah terjadi peperangan . . . . Pertempuran berkecamuk dengan amat sengit dan dahsyat . . . , sementara Bilal maju dan menerjang dalam perang pertama yang diterjuni Islam itu, yaitu Bakar . . . , yang sebagai semboyannya dititahkan oleh Rasulullah menggunakan ucapan: “Ahad … ! Ahad … ! “

Dalam peperangan ini Quraisy mengerahkan tenaga intinya, dan pemuka-pemukanya terjun untuk akhirnya menemui tempat pembantaian mereka . . .! Pada mulanya Umayah bin Khalaf, yaitu bekas majikan Bilal yang telah menyiksanya secara kejam dan biadab, tak hendak ikut dalam peperangan itu. Tetapi demi mendengar keengganan dan sifat pengecutnya itu, maka salah seorang di antara kawannya yang bernama ‘Uqbah bin Abi With mendatanginya sambil di tangan kanannya membawa sebuah mijmar — pedupaan yang dipergunakan wanita untuk mengasapi tubuhnya dengan kayu wangi —.

Setelah sampai dan ia berhadapan muka dengan Umayah Yang ketika itu sedang duduk di tengah-tengah anak buahnya, ditaruhlah pedupaan itu di hadapannya seraya berkata: “Hai Abu Ali! Terimalah dan pergunakanlah pedupaan ini. Karena kamu tak lebih dari seorang wanita!”

“Keparat! apa yang kau bawa ini?, teriak Umayah dengan seramnya. Tetapi tak dapat mengelak terpaksa akhirnya ia turut dalam peperangan itu bersama kawan-kawannya …. Amboi, rahasia taqdir apakah kiranya yang tersembunyi di balik peristiwa ini . . .? Uqbah bin Mu’ith adalah seorang yang paling gigih mendorong Umayah untuk melakukan siksaan terhadap Bilal dan orang-orang tak berdaya lainnya dari Kaum Muslimin Dan sekarang, ia pulalah yang mendesaknya supaya ikut dalam Perang Badar, tempat ia akan menemui ajalnya . . .! Tetapi juga tempat tewasnya ‘Uqbah itu sendiri tanpa kecuali …

Mulanya Umayah keberatan dan enggan untuk ikut dalam peperangan . . . , dan kalau bukanlah karena desakan Uqbah dengan cara sebagai kita ketahui itu, tidaklah ia hendak meng­ambil bagian di dalamnya … Tetapi rencana Allah pasti berlaku! Umayah harus ikut. Ada piutang lama antara dirinya dengan salah seorang hamba Allah yang datang saatnya untuk diselesai­kan. Allah tak pernah mati, dan sebagaimana kalian memper­lakukan orang demikianlah pula kalian diperlakukan orang! Dan taqdir ini gemar sekali mempermainkan orang sombong dan aniaya! Uqbah yang kata-katanya didengar oleh Umayah dan kemauannya untuk menyiksa orang-orang Mu’min yang tak berdosa diturutnya, justeru yang menyeretnya ke liang kubur … !

Kemudian di tangan siapakah Di tangan Bilal. . . , tidak lain di tangan Bilal sendiri! Tangan yang oleh Umayah dulu diikat dengan rantai, sedang pemiliknya didera dan disiksa. Maka tangan inilah pula pada hari itu — ya’ni di waktu perang Badar — suatu saat yang tepat dan diatur oleh taqdir, yang telah menyelesaikan utang-piutang dan membuat per­hitungan dengan algojo-algojo Quraisy yang telah menimpakan penghinaan dan kedhaliman terhadap orang-orang Mu’min … ! Peristiwa ini terjadi secara sempurna, tanpa ditambah atau di­bumbui … !

Ketika pertempuran di antara dua pihak telah mulai, dan barisan Kaum Muslimin maju bergerak dengan semboyannya: “Ahad . ..! Ahad … !’,’maka jantung Umayah pun bagai tercabut dari urat akarnya dan rasa takut mengancam dirinya. . . Kalimat yang kemarin diulang-ulang oleh hambanya di bawah tekanan siksa dan dera, sekarang telah menjadi semboyan dari suatu Agama secara utuh, dan dari suatu ummat yang baru secara keseluruhan . . . ! “Ah ad ! Ahad . . .!” Demikianlah dan dengan kecepatan seperti ini . . . , serta pertumbuhan yang demikian besar … ?

Pertempuran telah berkecamuk dan pedang bertemu pedang Ketika perang telah hampir usai, kelihatanlah oleh Umayah, abdurrahman bin ‘Auf, seorang shahabat Rasulullah saw. Maka segera ia melindungkan diri kepadanya, dan meminta untuk menjadi tawanannya; dengan harapan akan dapat menyelamatkan nyawanya …. Permintaan itu dikabulkan oleh Abdurrahman yang bersedia melindunginya, dan di tengah-tengah hiruk-pikuknya perang dibawanyalah Umayah ke tempat orang-orang tawanan. Di tengah jalan ia kelihatan oleh Bilal, yang segera berseru: “Ini dia .. . gembong kekafiran, Umayah bin Khalaf! Biar aku mati daripada orang ini selamat … ! “

Sambil menyatakan itu diangkatlah pedangnya hendak memenggal kepala yang selama ini menjadi besar disebabkan kecongkakan dan kesombongan. “Hai Bilal, ia tawananku! ” seru Abdurrahman. “Tawanan – . . ? ” ujar bilal, ‘padahal pertempuran masih berkobar dan roda peperangan masih berputar . . . ? ” la diterima sebagai tawanan . . . , padahal belum lama berselang senjatanya terhunjam di tubuh Kaum Muslimin yang sampai sekarang masih meneteskan darahnya … ? Tidak . . .! bagi Bilal itu artinya berolok-olok dan penindasan. Dan cukuplah selama ini Umayah berolok-olok dan melakukan penindasan. la telah menindas demikian rupa, hingga hari ini tak ada lagi kesempatan tersisa, dalam keadaan segawat ini . . . dalam akibat yang me­nentukan ini! orang kafir, Umayah bin Khalaf … ! Biar aku mati daripada dia lolos … ! “

Berdatanganlah serombongan Kaum Muslimin dengan pedang penyebar maut di tangan mereka dan mengepung Umayah ber­sama puteranya — yang berperang di pihak Quraisy — sementara Abdurrahman bin Auf tak dapat berbuat apa pun, bahkan juga tidak dapat melindungi bajunya yang telah terkoyak-koyak oleh desakan orang banyak. Bilal memandangi tubuh Umayah yang telah rubuh oleh tebasan pedang-pedang itu dengan lama sekali, kemudian ia bergegas meninggalkan tempat itu, sementara suaranya yang nyaring mengumandangkan: “Ahad … ! Ahad … !

Menurut hemat saya, bukanlah haq kita untuk membahas keutamaan toleransi dari pihak Bilal dalam suasana seperti itu …. Tetapi seandainya pertemuan antara Bilal dengan Uma­yah terjadi pada suasana lain, maka bolehlah kita meminta kepadanya agar memberi ma’af, yang tak mungkin ditolak oleh orang yang seperti Bilal keimanan dan ketaqwaannya.

Hanya sebagai kita ketahui, mereka bertemu di medan laga, masing-masing pihak mendatanginya dengan tujuan untuk menghancurkan pihak. lawannya . . . . Pedang dan tombak her­kelebatan … para korban berguguran – – – , dan maut merajalela berseliweran . . .! Tiba-tiba pada saat seperti itu Bilal melihat Umayah, yang tak sejengkal pun dari tubuhnya luput dari bekas kekejaman dan adzab siksa Umayah! Lalu di manakah dan betapa tampak olehnya … ? Dilihatnya dalam kancah pertempuran; memenggal kepala Kaum Muslimin yang ditemui Umayah, dan seandainya ia beroleh kesempatan untuk memenggal kepala Bilal pada saat itu, tentulah tidak akan disia-siakannya! Nah, dalam keadaan seperti demikianlah kedua laki-laki itu berhadapan muka! Maka tidaklah adil me­nurut logika, bila kita bertanya kepada Bilal, kenapa ia tak hendak memberi ma’af dengan sebaik-baiknya . . .!

Hari-hari berlalu . . . dan Mekah dibebaskan . . . . Dengan mengepalai sepuluh ribu Kaum Muslimin, Rasulullah memasuki kota itu, bersyukur dan mengucapkan takbir. Beliau langsung menuju Ka’bah yang telah dipadati berhala oleh Quraisy dengan jumlah bilangan hari dalam setahun, ialah tidak kurang dari 360 buah berhala. Yang benar telah datang, hancur luluhlah kebathilan …. Mulai hari itu tak ada lagi Lata . ‘Uzza … atau. Hubal, dan semenjak itu manusia tidak lagi menundukkan kepala­nya kepada batu atau berhala – . . , dan tak ada lagi yang mereka puja sepenuh hati kecuali Allah yang tak ada tara atau banding­an-Nya; Tuhan yang Maha Tunggal lagi Esa, Maha Tinggi dan Maha Besar ….

Rasulullah memasuki Ka’bah dengan membawa Bilal sebagai teman . . .! Baru saja masuk, beliau telah berhadapan dengan sebuah patung pahatan, menggambarkan Ibrahim ‘alaihissalam sedang berjudi dengan menggunakan anak panah. Rasulullah amat murka, sabdanya:
“Semoga mereka dihancurkan Allah! Tak pernah nenek moyang kita melakukan perjudian demikian . . .. Dan Ibrahim itu bukanlah seorang yahudi, bukan pula seorang nasrani, tetapi seorang yang beragama suci dan seorang Muslim, dan sekali-kali bukan dari golongan musyrik “. Rasulullah menyuruh Bilal naik ke bagian atas masjid untuk mengumandangkan adzan. Maka Bilal pun adzanlah . . ‘ dan amboi . . . , alangkah mengharukan saat itu, tempat itu dan suasana kala itu … ! Gerakan kehidupan di Mekah terhenti, dan dengan jiwa yang satu, ribuan Kaum Muslimin dengan hati khusyu’ dan secara berbisik mengulangi kalimat demi kalimat yang diucapkan Bilal. Orang-orang musyrik di rumahnya masing-masing hampir tak percaya dan bertanya-tanya dalam hatinya:

— Inikah dia Muhammad dengan orang-orang miskinnya yang kemarin terusir meninggalkan kampung halamannya … ?

— Betulkah dia, yang mereka usir, mereka perangi, dan mereka bunuh keluarga yang paling dicintainya serta kerabat yang paling dekat kepadanya … ?

— Dan betulkah dia, yang beberapa saat yang lalu, nyawa mereka berada di tangannya, memaklumkan kepada mereka: “Pergilah kalian . . . , kalian semua bebas … !”

Tiga orang bangsawan Quraisy sedang duduk-duduk di pekarangan Ka’bah. Mereka tampak terpukul menyaksikan panorama itu, yaitu ketika Bilal menginjak-injak berhala-berhala mereka dengan kedua telapak kakinya, kemudian di atas rerun­tuhannya yang telah hancur luluh, menyenandungkan suara adzannya yang berkumandang di seluruh pelosok Mekah yang tak ubahnya bagai tiupan angin di musim bunga ….

Ketiga orang itu ialah: Abu Sufyan bin Harb — yang telah masuk Islam beberapa saat yang lalu — dan ‘Attab bin Useid serta Harits bin Hisyam — kedua mereka belum lagi masuk Islam —. Sementara matanya tertuju kepada Bilal yang sedang menyuarakan adzan, ‘Attab berkata: “Sungguh Useid dimuliakan Allah, ia tidak mendengar sesuatu yang amat dibencinya!” Berkata pula Harits: “Demi Allah, seandainya saya tahu bahwa Muhammad saw. itu di pihak yang benar, pastilah saya paling dahulu akan mengikutinya . . .! Sedang Abu Sufyan yang di­plomat itu menukas pembicaraan kedua shahabatnya dengan katanya: “Saya tak hendak mengatakan sesuatu, karena se­andainya saya berkata pastilah akan disebarkan oleh kerikil­ kerikil ini!”

Ketika Nabi saw. meninggalkan Ka’bah tampaklah mereka olehnya, lalu dalam sekejap waktu dibacanya wajah-wajah mereka. Kemudian dengan kedua matanya yang bersinar dengan Nur Hahi, sabdanya kepada mereka: “Saya tahu apa yang telah kalian katakan tadi . . …. Lalu diceriterakannyalah apa yang mereka katakan itu. Maka Harits dan ‘Attab pun berseru: “Kami menyaksikan bahwa anda adalah Rasulullah. Demi Allah tak seorang pun mendengarkan pembicaraan kami, hingga kami dapat menuduh bahwa ia telah menyampaikannya kepada anda … !” Sekarang mereka menghadapi Bilal dengan pandangan baru. Dalam lubuk hati mereka bergema kembali kalimat-kalimat yang mereka dengar dalam pidato Rasulullah sewaktu mula-mula masuk Mekah.

Hai golongan Quraisy . . Allah telah melenyapkan daripada kalian kesombongan jahiliyah dan kebanggaan dengan nenek moyang… , Manusia itu dari Adam …. sedang Adam dari tanah … ! Bilal melanjutkan hidupnya kini bersama Rasulullah saw. dan ikut mengambil bagian dalam semua perjuangan bersenjata yang dialaminya. la tetap menjadi muaddzin, menjaga serta menye­marakkan syi’ar Agama besar ini, yang telah membebaskan dari kegelapan kepada cahaya, dari perbudakan kepada kemer­dekaan … ! Kedudukan Agama Islam semakin tinggi, demikian pula halnya Kaum Muslimin, taraf dan derajat mereka ikut naik; dan Bilal semakin lama semakin dekat di hati Rasulullah saw. yang menyatakannya sebagai “seorang laki-laki penduduk surga”.

Tetapi sikapnya tidak berubah, tetap seperti biasa; mulia dan besar hati, yang selalu memandang dirinya tidak lebih dari “seorang Habsyi yang kemarin menjadi budak belian”.

Pada suatu hari ia pergi meminang dua orang wanita untuk diperisterikannya dan diperisterikan saudaranya, maka katanya kepada bapa wanita itu: “Saya ini Bilal, dan ini saudaraku, kami berasal dari budak bangsa Habsyi. . . . Pada mulanya kamiberada dalam kesesatan kemudian diberi petunjuk oleh Allah, dahulu kami budak-budak belian lalu dimerdekakan oleh Allah. . . . Jika pinangan kami anda terima alhamdulillah — segala puji bagi Allah, dan seandainya anda tolak, maka Allahu Akbar, Allah Maha Besar … !

Rasulullah saw. pergi meninggalkan alam fana dan .naik ke rafiqul a’la dalam keadaan ridla dan diridlai, dan penanggung jawab Kaum Muslimin sepeninggal beliau dibebankan di atas pundak khalifahnya Abu Bakar as-Shiddiq Bilal pergi mendapatkan khalifah Rasulullah, menyampaikan isi hatinya.

Wahai Khalifah Rasulullah, saya mendengar Rasulullah bersabda: Aural orang Mu’min yang utama adalah berjihad fi sabi­lillah. “Jadi apa maksudmu, hai Bilal?” tanya Abu Bakar. “Saya ingin berjuang di jalan Allah sampai saya meninggal dunia”, ujar Bilal. “Siapa lagi yang akan menjadi muaddzin bagi kami?”, tanya Abu Bakar pula. Dengan air mata berlinang Bilal men­jawab: “Saya takkan menjadi muaddzin lagi bagi orang lain setelah Rasulullah”. “Tidak” kata Abu Bakar, “tetaplah tinggal di sini hai Bilal, dan menjadi muaddzin kami!” Jawab Bilal pula: “seandainya anda memerdekakan saya dulu adalah untuk ke­pentingan anda, baiklah saya terima permintaan anda itu. Tetapi bila anda memerdekakan saya karena Allah, biarkanlah diri saya untuk Allah sesuai dengan maksud baik anda itu!” “Tak lain saya memerdekakanmu itu, hai Bilal, semata-mata karena Allah!”

Kemudian mengenai kelanjutannya terjadi perbedaan pen­dapat di antara para ahli riwayat. Sebagian meriwayatkan bahwa ia pergi ke Syria dan menetap di sana sebagai pejuang dan mujahid. Sementara menurut lainnya, ia menerima permintaan Abu Bakar untuk tinggal bersamanya di Madinah. Kemudian setelah Abu Bakar wafat dan Umar diangkat sebagai khalifah, barulah Bilal minta idzin dan mohon diri kepadanya, lalu berangkat ke Syria.

Bagaimanapun juga, Bilal telah menadzarkan sisa hidup dan usianya untuk berjuang menjaga benteng-benteng Islam di perbatasan, dan membulatkan tekadnya untuk dapat menjumpai Allah dan Rasul-Nya, sewaktu ia sedang melakukan aural yang paling disukai oleh keduanya . . . . Dan suaranya yang syandu, dalam dan penuh wibawa itu, tidak lagi mengumandangkan adzan seperti biasa. Sebabnya ialah karena demi ia membaca “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah “, maka kenangan lama­nya bangkit kembali, dan suaranya tertelan oleh kesedihan, digantikan oleh cucuran tangis dan air mata ….

Adzannya yang terakhir, ialah ketika Umar sebagai Amirul Mu’minin datang ke Syria. Orang-orang menggunakan kesem­patan tersebut dengan memohon kepada khalifah untuk meminta Bilal menjadi muaddzin bagi satu shalat saja. Amirul Mu’minin memanggil Bilal; ketika waktu shalat telah tiba, maka diminta­nya ia menjadi muaddzin. Bilal pun, naik ke menara dan adzanlah . . . . Shahabat­ shahabat yang pernah mendapati Rasulullah di waktu Bilal menjadi muaddzinnya sama-sama menangis mencucurkan air mata, yang tak pernah mereka lakukan selama ini …. sedang yang paling keras tangisnya di antara mereka ialah Umar …

Bilal berpulang ke rahmatullah di Syria sebagai pejuang di jalan Allah seperti diinginkannya. Dan di bawah bumi Damsyiq, sekarang terpendam kerangka dan tulang-belulang suatu pribadi yang besar di antara pribadi-pribadi manusia, yang amat teguh dan tangguh pendiriannya dalam mempertahankan ‘aqidah dan keimanan ….

Semoga Rahmat dan Karunia Allah melimpah ruah kepada Bilal dan kepada kita semua





BILAAL IBN RABAAH
Sneering at Horror!

Whenever Umar lbn Al khattaab mentioned Abu Bakr he would say, "Abu Bakr is our master and the emancipator of our master." That is to say, Bilaal.

Indeed, the man to whom `Umar would give the agnomen "Our Master" must be a great and fortunate man. However, this man - who was very dark in complexion, slender, very tall, thick- haired and with a sparse beard, as described by the narrators - would hardly hear words of praise and commendation directed at him and bestowed bountifully upon him without bending his head, lowering his eyelids and saying with tears flowing down his two cheeks, "Indeed, I am an Abyssinian. Yesterday, I was only a slave!"

So who is this Abyssinian who was yesterday only a slave? He is Bilaal Ibn Rabaah the announcer of the time of Muslim prayer and the troublemaker to the idols. He was one of the miracles of faith and truthfulness, one of Islam's great miracles. For out of every ten Muslims, from the beginning of Islam until today and until Allah wills, we will meet seven, at least, who know Bilaal. That is, there are hundreds of millions of people throughout the centuries and generations who know Bilaal, remember his name, and know his role just as they know the two greatest Caliphs in Islam, Abu Bakr and `Umar!

Even if you ask a child who is still in his first years of primary school in Egypt, Pakistan, Malaysia, or China, in the two Americas, Europe, or Russia, in Iraq, Syria, Turkey, Iran, or Sudan, in Tunis, Algeria, or Morocco, in the depth of Africa and in the mountains of Asia, in every place on the earth where Muslims reside, you can ask any Muslim child, "Who is Bilaal, child?" He will answer you, "He was the muezzin of the Messenger (PBUH) and he was the slave whose master used to torture him with hot burning stones to make him apostatize. But instead he said, "One, One."

Whenever you consider this enduring fame that Islam bestowed upon Bilaal, you should know that before Islam this Bilaal was no more than a slave who tended herds of camels for his master for a handful of dates. Had it not been for Islam, it would have been his fate to remain a slave, wandering among the crowd until death brought an end to his life and caused him to perish in the profoundest depths of forgetfulness.

However, his faith proved to be true, and the magnificence of the religion which he believed in gave him, during his lifetime and in history, an elevated place among the great and holy men of Islam. Indeed, many human beings of distinction, prestige, or wealth have not obtained even one-tenth of the immortality which Bilaal the Abyssinian slave gained. Indeed, many historical figures were not conferred even a portion of the fame which has been bestowed upon Bilaal.

Indeed, the black color of his complexion, his modest lineage, and his contemptible position among people as a slave did not deprive him, when he chose to embrace Islam, of occupying the high place which his truthfulness, certainty, purity, and self-sacrifice qualified him for. For him, all this would not have been on the scale of estimation and honor except as an astonishing occurrence when greatness is found where it could not possibly be.

People thought that a slave like Bilaal - who descended from strange roots, who had neither kinfolk nor power, who did not possess any control over his life but was himself a possession of his master who had bought him with his money, who came and went amid the sheep, camels, and other livestock of his master - they thought that such a human creature would neither have power over anything, nor become anything. But he went beyond all expectations and possessed great faith that no one like him could possess! He was the first muezzin of the Messenger and of Islam, a position which was aspired to by all the masters and nobles of the Quraish who embraced Islam and followed the Messenger. Yes, Bilaal lbn Rabaah.

Oh what valor and greatness are expressed by these three words Bilaal Ibn Rabaah!

He was an Abyssinian from the black race. His destiny made him a slave of some people of the tribe of Jumah in Makkah, where his mother was one of their slave girls. He led the life of a slave whose bleak days were alike and who had no right over his day and no hope for his tomorrow.

The news of Muhammad's (PBUH) call began and reached his ears when people in Makkah began to talk about it and when he began listening to the discussions of his master and his guests, especially Umayah lbn khalaf, one of the elders of the Bani Jumah, of which Bilaal was one of the slaves. How often did he hear Urnayah talking to his friends for some time and to some persons of his tribe. Many times they talked about the Messenger with words that were overflowing with anxiety, rage, and malice!

Bilaal, on the other hand, was receiving between those words of insane fury and rage the attributes of this new religion. He began to feel that they were new qualities for the environment which he lived in. He was also able to receive during their threatening, thunderous talks their acknowledgement of Muhammad's nobility, truthfulness, and loyalty. Yes indeed, he heard them wondering and amazed at what Muhammad came with. They said to one another, "Muhammad was never a liar, magician, or mad, but we have to describe him this way until we turn away from him those who rush to his religion."

He heard them talking about his honesty and loyalty, about his manliness and nobility, and about his purity and composure of his intelligence. He heard them whispering about the reasons which caused them to challenge and antagonize him: First, their allegiance to the religion of their fathers; Second, their fear over the glory of the Quraish which was bestowed upon them because of their religious status as a center of idol worship and resort in the whole of the Arabian Peninsula; Third, the envy of the tribe of Bani Haashim that anyone from them should claim to be a prophet or messenger.

One day Bilaal Ibn Rabaah recognized the light of Allah and heard His resonance in the depths of his good soul. So he went to the Messenger of Allah and converted to Islam. It did not take long before the news of his embracing Islam was spread. It was a shock to the chiefs of the Bani Jumah, who were very proud and conceited. The devils of the earth sat couched over the breast of Umayah Ibn khalaf, who considered the acceptance of Islam by one of their slaves a blow that overwhelmed them with shame and disgrace.

Their Abyssinian slave converted to Islam and followed Muhammad. Umayah said to himself, "It does not matter. Indeed the sun this day shall not set but with the Islam of this stray slave." However, the sun never did set with the Islam of Bilaal, but it set one day with all the idols of the Quraish and the patrons of paganism among them.

As for Bilaal, he adopted an attitude that would honor not only Islam, even though Islam was more worthy of it, but also all humanity. He resisted the harshest kind of torture like all pious great men. Allah made him an example of the fact that blackness of skin and bondage would not decry the greatness of the soul if it found its faith, adhered to its Creator, and clung to its right.

Bilaal gave a profound lesson to those of his age and every age, for those of his religion and every religion, a lesson which embraced the idea that freedom and supremacy of conscience could not be bartered either for gold or punishment, even if it filled the earth. He was stripped naked and laid on hot coals to make him renounce his religion, but he refused.

The Messenger (PBUH) and Islam made this weak Abyssinian slave a teacher to all humanity in the art of respecting conscience and defending its freedom and supremacy. They used to take him out in the midday heat when the desert turned to a fatal hell. Then they would throw him naked on its scorching rocks and bring a burning hot rock, which took several men to lift from its place, and throw it onto his body and chest. This savage torture was repeated every day until the hearts of some of his executioners took pity on him. Finally, they agreed to set him free on condition that he would speak well of their gods, even with only one word that would allow them to keep their pride so that the Quraish would not say they had been defeated and humiliated by the resistence of their persevering slave.

But even this one word, which he could eject from outside his heart and with it buy his life and soul without losing his faith or abandoning his conviction, Bilaal refused to say. Yes, he refused to say it and began to repeat his lasting chant Instead: "One... One!" His torturers shouted at him, imploring him, "Mention the name of Al-Laat and Al-'Uzzaa." But he answered, "One . . . One" They said to him, "Say as we say." But he answered them with remarkable mockery and caustic irony, "Indeed my tongue is not good at that."

So Bilaal remained in the melting heat and under the weight of the heavy rock, and by sunset they raised him up and put a rope around his neck. Then they ordered their boys to take him around the mountains and streets of Makkah. And Bilaal's tongue did not mention anything other than his holy chant, "One... One."

When the night overtook them, they began bargaining with him, "Tomorrow, speak well of our gods, say, `My lord is Al-Laat and Al `Uzzaa,' and we'll leave you alone. We are tired of torturing you as if we are the tortured ones." But he shook his head and said, "One... One." So, Umayah Ibn khalaf kicked him and exploded with exasperating fury, and shouted, "What bad luck has thrown you upon us, O slave of evil? By Al-Laat and Al-'Uzzaa, I'll make you an example for slaves and masters." But Bilaal  answered with the holy greatness and certainty of a believer, "One... One."

And he who was assigned to play the role of a sympathizer returned to talking and bargaining. He said "Take it easy, Umayah. By Al-Laat, he will not be tortured again. Indeed Bilaal is one of us, his mother is our slave girl He will not be pleased to talk about and ridicule us because of his Islam." But Bilaal gazed at their lying cunning faces, and his mouth slackened like the light of dawn. He said with calmness that shook them violently, "One... One."

It was the next day and midday approached. Bilaal was taken to the sun-baked ground. He was patient, brave, firm, and expecting the reward in the Hereafter.

Abu Bakr As-siddiiq went to them while they were torturing him and shouted at them, "Are you killing a man because he says, `Allah is my Lord?"' Then he shouted at Umayah lbn khalaf, "Take more than his price and set him free." It was as if Umayah were drowning and had caught a lifeboat. It was to his liking and he was very much pleased when he heard Abu Bakr offering the price of his freedom, since they had despaired of subjugating Bilaal. And as they were merchants, they realized that selling him was more profitable to them than his death.

They sold him to Abu-Bakr, and then he emancipated him immediately, and Bilaal took his place among free men. When As- siddilq put his arm round Bilaal, rushing with him to freedom, Umayah said to him, "Take him, for by Al-Laat and Al-' Uzzaa if you had refused to buy him except for one ounce of gold, I would have sold him to you." Abu Bakr realized the bitterness of despair and disappointment hidden in these words. It was appropriate not to answer, but because they violated the dignity of this man who had become his brother and his equal, he answered Umayah saying, "By Allah, if you had refused to sell him except for a hundred ounces, I would have paid it." He departed with his companion to the Messenger of Allah, giving him news of his liberation, and there was a great celebration.

After the Hijrah of the Messenger (PBUH) and the Muslims to Al-Madiinah and their settling there, the Messenger instituted the Adhaan. So who would become the muezzin five times a day? Who would call across distant lands, "Allah is the Greatest" and "There is no god but Allah"?

It was Bilaal, who had shouted thirteen years before while the torture was destroying him, "Allah is One... One." He was chosen by the Messenger that day to be the first muezzin in Islam. With his melodious soul-stirring voice, he filled the hearts with faith and the ears with awe when he called:

Allah is the Greatest, Allah is the Greatest
Allah is the Greatest, Allah is the Greatest
I bear witness that there is no god but Allah
I bear witness that there is no god but Allah
I bear witness that Muhammad is the Messenger of Allah
I bear witness that Muhammad is the Messenger of Allah
Come to Prayer
Come to Prayer
Come to Success
Come to Success
Allah is the Greatest, Allah is the Greatest

There is no god but Allah Fighting broke out between the Muslims and the army of the Quraish who came to invade Al- Madiinah. The war raged fiercely and terribly while Bilaal was there attacking and moving about in the first battle. Islam was plunged into the Battle of Badr, whose motto the Messenger (PBUH) ordered to be, "One... One."

In this battle, the Quraish sacrificed their youth and all their noblemen to their destruction. Umayah Ibn khalaf, who had been Bilaal's master and who used to torture him with deadly brutality, was about to retreat from fighting. But his friend Uqbah Ibn Abu Mu`iit went to him when he heard the news of his withdrawal, carrying a censer in his right hand. When he arrived he was sitting among his people. He threw the censer between his hands and said to him, "O Abu `Ally, use this. You are one of the women." But Umayah shouted at him saying, "May Allah make you and what you came with ugly!" And he did not find a way out, so he went out to fight.

What other secrets does destiny conceal and unfold? `Uqbah Ibn Abu Mu'iit had been the greatest supporter of Umayah in the torture of Bilaal and other weak Muslims. And on that day, he himself was the one who urged him to go to the Battle of Badr where he would die, just as it would be the place where Uqbah would die! Umayah had been one of the shirkers from war. Had it not been for what Uqbah did to him, he would not have gone out fighting.

But Allah executes His command. So let Umayah go out, because there was an old account between him and one of the slaves of Allah. It was time to settle it. The Judge never dies. As you owe, you shall be owed to.

Indeed destiny would be very much pleased to mock the tyrants. Uqbah, whose provocations Umayah used to listen to and follow his desire to torture the innocent believers, was the same person who would lead Umayah to his death. By the hand of whom? By the hand of Bilaal himself and Bilaal alone! The same hands that Umayah used to chain and whose owner he beat and tortured. Those very hands were on that day, in the Battle of Badr, on a rendezvous that destiny had set the best time for, with the torture of the Quraish who had humiliated the believers unjustly and aggressively. That is what really happened.

When the fighting began between the two sides, and the side of the Muslims shouted the motto, "One . . . One," the heart of Umayah was startled, and a warning came to him. The word which his slave used to repeat yesterday under torture and horror became today the motto of a whole religion and of a whole new nation.

"One . . . One" Is it so? With this quickness? And with this rapid growth?

The swords clashed in the battle and the fighting became severe. As the battle neared its end, Umayah lbn Khalaf noticed `Abd Ar Rahman Ibn `Awf, the Companion of the Messenger of Allah. He sought refuge with him and asked to be his captive, hoping to save his life. `Abd Ar-Rahman accepted his supplication and granted him refuge. Then he took him and walked with him amidst the battle to the place where captives were held.

On the way Bilaal noticed him and shouted, "The head of kuft (disbelief), Umayah lbn Khalaf! May I not be saved if he is saved!" he lifted up his sword to cut off the head which was all the time full of pride and arrogance. But `Abd Ar-Rahman Ibn `Awf shouted at him, "O Bilaal, he is my captive!" A captive while the war was still raging? A captive while his sword was still dripping blood because of what he had been doing just moments before to the bodies of the Muslims? No! In Bilaal's opinion, this was irony and abuse of the mind, and Umayah had scoffed and abused the mind enough. He scoffed until there was no irony remaining for such a day, such a dilemma, and such a fate!

Bilaal realized that he would not be able alone to storm the sanctuary of his brother in faith, `Abd Ar-rahman Ibn `Awf. So he shouted at the top of his voice to the Muslims, "O helpers of Allah! The head of Kufr, Umayah Ibn khalaf! May I not be saved if he is saved!" A band of Muslims approached with swords dripping blood. They surrounded Umayah and his son, who was fighting with the Quraish. `Abd Ar-Rabman Ibn `Awf could not do anything. He could not even protect his armor which the crowd removed. Bilaal gazed long at the body of Umayah, who fell beneath the smashing swords. Then he hastened away from him shouting, "One... One."

I do not think it is our right to examine the virtue of leniency in Bilaal on this occasion. If the meeting between Bilaal and Umayah had taken place in other circumstances, we would have been allowed to ask Bilaal for leniency, and a man like him in faith and piety would not have withheld it. But the meeting which took place between them was in a war, where each party came to destroy its enemy.

The swords were blazing, the killed were failing. Then Bilaal saw Umayah, who had not left even a small place on his body free of the traces of his torture. Where and how did he see him? He saw him in the arena of battle and fighting, mowing down with his sword all of the heads of Muslims he could. If he had reached the head of Bilaal then, he would have cut it off. In such circumstances as the two men met, it is not fair to ask Bilaal: Why did you not forgive him gently?

The days went by and Makkah was conquered. The Messenger (PBUH) entered it, thankful and saying, "Allah is the Greatest," at the head of 10,000 Muslims. He headed for the Ka`bah immediately, this holy place which the Quraish had crowded with idols amounting to the number of days of the year. "The truth has come and falsehood has vanished."

Ever since that day, there has been no Uzzaa, no Laat and no Hubal. Man will not bow to a rock or idol after today. People will worship no one with all his conscience but Allah, Who has no likeness, the One, Most Great, Most High. The Messenger entered the Ka`bah accompanied by Bilaal. He had hardly entered it when he faced a carved idol representing lbraahiim (Abraham) (PBUH) prophesying with sticks.

The Messenger (PBUH) was angry and said, "May Allah kill them. Our ancestor never did prophesy with sticks. lbraahiim was not a Jew or Christian, but he was a true Muslim and was never a polytheist." Then he ordered Bilaal to ascend to the top of the mosque and call to Prayer, and Bilaal called the Adhaan. How magnificent `was the time, place, and occasion!

Life came to a standstill in Makkah, and thousands of Muslims stood like motionless air, repeating in submissiveness and whispering the words of the Adhaan after Bilaal while the polytheists were in their homes hardly believing what was happening.

Is this Muhammad (PBUH) and his poor followers who were expelled yesterday from their homes? Is this really he, with 10,000 of his believers? Is this really he whom we chased away, fought and killed his most beloved kin and relations? Is this really he who was speaking to us a few minutes ago while our necks were at his mercy, saying, "Go, you are free!"?

But three nobles of the Quraish were sitting in the open space in front of the Kabah, as if they were touched by the scene of Bilaal treading their idols with his feet and sending above its heaped wreckage his voice with the Adhaan, spreading to all the horizons of Makah, like a passing spring. These three were Abu Sufyaan lbn Harb, who had embraced Islam only hours ago, and `Attaab Ibn Usaid and Al- haarith Ibn Hishaam, who had not yet embraced Islam.

`Attaab, with his eyes on Bilaal crying out the Adhaan, said, "Allah has honored Usaid in that he did not hear this, or else he would have heard what would infuriate him." Al-haarith said, "By Allah, if I were sure that Muhammad (PBUH) is telling the truth, I would follow him." Abu Sufyaan, the old fox, commented on their speech saying, "I am not saying a word, for if I do, these pebbles will inform about me."

When the Prophet left the Ka'bah he saw them, read their faces instantly, and said with his eyes shining with the light of Allah and the joy of victory, "I know what you've said," and he told them what they had said.

Al-Haarith and Attaab shouted, `We bear witness that you are the Messenger of Allah. By Allah, no one heard us, so we can't say somebody informed you!"

And they welcomed Bilaal with new hearts, which enclosed the echo of the words which they had heard in the Messenger's speech just after he entered Makkah. "O people of the Quraish, Allah has removed from you the arrogance of pre-Islamic paganism, and its boasting about forefathers. People are descended from Adam, and Adam was from dust."

Bilaal lived with the Messenger of Allah (PBUH), witnessing all the battles with him, calling to Prayer and observing the rites of this great religion that took him out of darkness to light and from servitude to freedom. The stature of Islam along with the stature of Muslims was elevated. Every day Bilaal was getting closer to the heart of the Messenger of Allah, who used to describe him as "one of the inhabitants of Paradise."

But Bilaal remained just as he was, noble and humble, always considering himself "the Abyssinian who only yesterday was a slave." One day he was proposing to two girls for himself and his brother, so be said to their father, " I am Bilaal and this is my brother, two slaves from Abyssinia. We were astray and Allah guided us. We were two slaves and Allah emancipated us. If you agree on us marrying your daughters, all praise is to Allah; if you refuse, then Allah is the Greatest."

The Messenger passed away to Allah, well pleased and well pleasing, and Abu Bakr As-siddiiq took the command of the Muslims after him. Bilaal went to the caliph (successor) of the Messenger of Allah and said to him, "O Caliph of the Messenger of Allah, I heard the Messenger of Allah (PBUH) say, "The best deed of a believer is jihaad in the cause of Allah."

Abu Bakr said to him, "So what do you want, Bilaal?" He said,"I want to defend in the cause of Allah until I die." Abu Bakr said, "And who will call the Adhaan for us?" Bilaal said, with his eyes overflowing with tears, "I will not call the Adhaan for anyone after the Messenger of Allah." Abu Bakr said, "Stay and call to Prayer for us, Bilaal." Bilaal said, "If you emancipated me to be for you, I will do what you want, but if you emancipated me for Allah, leave me to Whom I was emancipated for." Abu Bakr said, "I emancipated you for Allah, Bilaal."

The narrators differ. Some of them believe that he traveled and remained fighting and defending. Some others narrate that he accepted Abu Bakr's request to stay with him in Madiinah. When Abu Bakr died and Umar succeeded him, Bilaal asked his permission and went to Syria.

Anyhow, Bilaal vowed the remaining part of his life to fight in the cause of Islam, determined to meet Allah and His Messenger having done the best deed they love.

His melodious, welcoming, awe-inspiring voice did not call the Adhaan any more, because whenever he uttered in his Adhaan, "I bear witness that Muhammad (PBUH) is the Messenger of Allah," memories would stir him, and his voice would vanish under his sadness while the tears cried out the words.

His last Adhaan was during the days Umar, the Commander of the Faithful, when he visited Syria. The Muslims entreated him to persuade Bilaal to call one Adhaan for them. The Commander of the Faithful called Bilaal when it was time for Prayer and pleaded with him to make the Adhaan. Bilaal ascended and did so. The Companions of the Messenger of Allah (PBUH) who were with the Commander of the Faithful while Bilaal was calling the Adhaan wept as they never did before, and Umar the most strongly.

Bilaal died in Syria, fighting in the cause of Allah just as he had wanted. Beneath the dust of Damascus, today therlies the body of one of the greatest men of humankind in standing up for the creedof Islam with conviction.

♥.¤ª"˜¨¯¨¨Bilal bin Rabah o❀o Bilaal ibn Rabaah¸,ø¨¨"ª¤.