acebook



.¤ª"˜¨¯¨¨'Ubaidah Bin Shamit o'Ubaadah Ibn As-Saamit¸,ø¨¨"ª¤. 
Tokoh yang gigih menentang penyelewengan. 

Ubadah bin Shamit termasuk salah seorang tokoh Anshar. Mengenai Kaum Anshar, Rasulullah saw. pernah bersabda:“Sekiranya orang-orang Anshar menuruni lembah atau celah bukit pasti aku akan mendatangi lembah dan celah bukit orang-orang Anshar . . . , dan kalau bukanlah karena hijrah, tentulah aku akan menjadi salah seorang warga Anshar…!

Dan di samping ia seorang warga Kaum Anshar, Ubadah bin Shamit merupakan salah seorang pemimpin mereka yang dipilih Nabi saw. sebagai utusan yang mewakili keluarga dan kaum kerabat mereka. Ubadah r.a. termasuk perutusan Anshar yang pertama datang ke Mekah untuk mengangkat bai’at kepada Rasulullah saw, untuk masuk Islam, yakni bai’at yang terkenal sebagai “baiatul ‘Aqabah pertama”. la termasuk salah seorang dari 12 orang beriman yang segera menyatakan keislaman dan meng­angkat bai’at, serta menjabat tangannya, menyatakan sokongan dan kesetiaan kepada Rasulullah saw.

Dan ketika datang musim haji tahun berikutnya, yakni saat terjadinya “Bai’atul ‘Aqabah kedua” yang dilakukan oleh per­utusan Anshar Anshar terdiri dari 70 orang beriman — pria dan wanita – maka ‘Ubadah menjadi tokoh perutusan dan wakil orang-orang Anshar itu …. Kemudian, ketika peristiwa berturut-turut silih berganti, saat-saat perjuangan, kebaktian dan pengorbanan susul-menyusul tiada henti, maka ‘Ubadah tak pernah absen dari setiap peristiwa, dan tak ketinggalan dalam memberikan sahamnya ….

Semenjak ia menyatakan, Allah dan Rasul sebagai pilihan.. nya, maka dipikulnya segala tanggung jawab akibat pilihannya itu dengan sebaik-baiknya …. Segala cinta kasih dan kethaatannya hanya tertumpah kepada Allah . . . . dan segala hubungan baik dengan kaum kerabat, dengan sekutu-sekutu maupun dengan musuh-musuhnya, hanya sesuai dan menuruti pola yang dibentuk oleh keimanan dan norma-norma yang dikehendaki oleh keimanan ini.

Semenjak dulu, keluarga ‘Ubadah telah terikat dalam suatu perjanjian dengan orang-orang yahudi suku qainuqa’di Madinah. Ketika Rasulullah saw. bersama para shahabatnya hijrah ke kota ini, orang-orang yahudi memperlihatkan sikap damai dan persahabatan terhadapnya. Tetapi pada hari-hari yang mengiringi perang Badar dan mendahului perang Uhud, orang-orang yahudi di Madinah mulai menampakkan belangnya. Salah satu qabilah mereka yaitu Bani Qainuqa’ membuat ulah untuk menimbulkan fitnah dan keribut­an di kalangan Kaum Muslimin.

Demi dilihat oleh ‘Ubadah sikap dan pendirian mereka ini, secepatnya ia melakukan tindakan yang setimpal dengan jalan membatalkan perjanjian dengan mereka, katanya: “Saya hanya akan mengikuti pimpinan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman Dan tidak lama antaranya turunlah ayat al-Quran memuji sikap, dan kesetiaannya ini; firman Allah swt.: Dan barangsiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman sebagai pemimpin, maka sungguh, partai atau golongan Allahlah yang beroleh kemenangan …. (Q.S. 5 al-Maidah:56)

Ayat Quran yang mulia telah mema’lumkan berdirinya partai Allah. Dan partai itu ialah golongan orang-orang beriman yang berdiri sekeliling Rasulullah saw. Mereka membawa bendera kebenaran dan petunjuk, merupakan lanjutan yang penuh barkah dari orang-orang beriman yang telah mendahului mereka dalam gelanggang sejarah. Mereka sigap berdiri sekeliling Nabi-nabi dan Rasul-rasul siap mengemban tugas yang sama, yakni menyampaikan di masa dan di zaman mereka masing-­masing Kalimat Allah yang Maha Hidup lagi Maha Pengatur.

Dan kali ini hizbullah atau partai Allah itu tidak hanya terbatas pada para shahabat Muhammad saw. belaka. Tugas ini akan berkelanjutan sampai generasi-generasi dan masa-masa mendatang, hingga bumi dan tiap penduduknya diwarisi oleh orang-orang yang iman kepada Allah dan Rasul-Nya serta ter­gabung di dalam barisan-Nya …. Demikianlah, tokoh di mana ayat yang mulia sengaja diturun­kan untuk menyambut baik pendiriannya serta memuji kesetiaan dan keimanannya, bukan hanya menjadi juru bicara tokoh-tokoh Anshar di Madinah semata, tetapi tampil sebagai seorang juru bicara para tokoh Agama yang akan meliputi seluruh pelosok dunia ….

Sungguh, ‘Ubadah bin Shamit yang mulanya hanya menjadi wakil kaum keluarganya dari suku Khazraj, sekarang meningkat menjadi salah seorang pelopor Islam, dan salah seorang pemimpin Kaum Muslimin. Namanya tak ubah bagai bendera yang berkibar di sebagian besar penjuru bumi, bukan hanya untuk satu atau dua generasi belaka, tetapi akan berkepanjangan bagi setiap generasi dan seluruh masa yang dikehendaki Allah Ta’ala …. !

Pada suatu hari Rasulullah saw. menjelaskan tanggung jawab seorang amir atau wali. Didengarnya Rasulullah menyatakan nasib yang akan menimpa orang-orang yang melalaikan kewajiban di antara mereka atau memperkaya dirinya dengan harta . . . , maka tubuhnya gemetar dan hatinya berguncang. la bersumpah kepada Allah tidak akan menjadi kepada walau atas dua orang sekalipun …. Dan sumpahnya ini dipenuhi sebaik-baiknya dan tak pernah dilanggarnya …. Di masa pemerintahan Amirul Mu’minin Umar r.a., tokoh yang bergelar al-Faruq ini pun tidak berhasil mendorongnya untuk menerima suatu jabatan, kecuali dalam mengajar ummat dan memperdalam pengetahuan mereka dalam soal Agama . . . .

Memang, inilah satu-satunya usaha yang lebih diutamakan ‘Ubadah dari lainnya, menjauhkan dirinya dari usaha-usaha lain yang ada sangkut-pautnya dengan harta benda dan kemewahan serta kekuasaan, begitu pun dari segala marabahaya yang di­khawatirkan akan merusak Agama dan karir dirinya ….

Oleh sebab itu ia berangkat ke Syria dan merupakan salah seorang dari tiga sekawan: ia sendiri, Mu’adz bin Jabal dan Abu Darda, menyebarluaskan ilmu, pengertian dan cahaya bimbingan di negeri itu. ‘Ubadah juga pernah berada di Palestina untuk beberapa waktu dalam melaksanakan tugas sucinya, sedang yang men­jalankan pemerintahan ketika itu atas nama khalifah adalah Mu’awiyah …. Sementara ‘Ubadah bermukim di Syria, walaupun badannya terkurung di sana, tapi pandangan matanya bebas lepas dan merenung jauh, nun ke sana melewati tapal betas, yaitu ke Madinah al-Munawwarah. Di saat itu Madinah sebagai ibu kota Islam dan tempat kedudukan khalifah, yakni Umar bin Khatthab, seorang tokoh yang tak ada duanya dan tamsil bandingan …!

Kemudian pandangannya kembali ke bawah pelupuk mata­nya, yakni ke Palestine tempat ia bermukim. Tampaklah olehnya Mu’awiyah bin Abi Sufyan, seorang pecinta dunia dan haws kekuasaan …. Sedangkan ‘Ubadah sebagai kita ma’lumi termasuk rombongan perintis yang telah menjalani sebagian besar dari hari-hari terbaiknya, saat terpenting dan paling berkesan bersama Rasul mulia …Rombongan pelopor yang bergelimang dalam kancah perjuangan dan ditempa oleh pengurbanan. La menganut Islam karena kemauan pribadi dan bukan karena menjaga ke­selamatan diri, pendeknya yang telah menjual harta benda dan dirinya kepada Ilahi Rabbi ….

‘Ubadah termasuk rombongan perintis yang telah dididik oleh Muhammad saw, dengan tangannya sendiri, yang telah beroleh limpahan mental, cahaya dan kebesarannya …. Dan seandainya di kalangan orang-orang yang masih hidup ada yang dapat ditonjolkan untuk percontohan luhur sebagai kepada pemerintahan yang dikagumi oleh ‘Ubadah dan diper­cayainya, maka orang itu tidak lain tokoh terkemuka yang sedang berkuasa di Madinah, ialah Umar bin Khatthab …. Maka sekiranya ‘Ubadah melanjutkan renungannya dan  membanding-bandingkan tindak-tanduk Mu’awiyah dengan apa yang dilakukan oleh khalifah, jurang pemisah di antara keduanya menganga lebar, dan sebagai akibatnya akan terjadilah bentrok­an dan memang telah terjadi … !

Berkata ‘Ubadah bin Shamit r.a.: “Kami telah bai’at kepada Rasulullah saw. tidak takut akan ancaman siapa pun dalam mentaati Allah …. !” Dan ‘Ubadah adalah seorang yang paling teguh memenuhi bai’at. Dan jika demikian, maka ia tidak akan takut kepada Mu’awiyah ,dengan segala kekuasaannya, dan ia akan tegak mengawasi segala kesalahannya …Sungguh, waktu itu penduduk Palestine menyaksikan peris­tiwa luar biasa . . . , dan tersiarlah berita ke sebagian besar negeri Islam perlawanan berani yang dilancarkan ‘Ubadah erhadap Mu’awiyah, hingga menjadi contoh teladan bagi mereka….

Dan bagaimana pun juga terkenalnya Mu’awiyah sebagai orang yang gigih dan ulet, tetapi sikap dan pendirian ‘Ubadah  tidak urung menyebabkannya sesak nafas. Hal itu dipandang­nya sebagai ancaman langsung terhadap wibawa dan kekuasaan­nya….

Dan di pihak ‘Ubadah, dilihatnya jarak pemisah di antaranya dengan Mu’awiyah kian sertambah lebar, akhirnya berkata kepada Mu’awiyah: “Demi Allah, saya tak hendak tinggal sekediaman denganmu untuk selama lamanya!” Lalu ditinggalkannya Palestine dan berangkat ke Madinah ….

Amirul Mu’minin Umar adalah seorang yang memiliki ke­cerdasan tinggi dan pandangan jauh. Ia selalu menginginkan kepala-kepala daerah tidak hanya mengandalkan kecerdasannya semata dan menggunakannya tanpa reserve. Maka terhadap orang seperti Mu’awiyah dan kawan-kawannya, tidak dibiarkan begitu saja tanpa didampingi sejumlah shahabat yang zuhud dan shalih, Serta penasihat yang tulus ikhlas. Mereka bertugas membendung keinginan-keinginan yang tidak terbatas, dan selalu mengingatkan mereka akan hari-hari dan masa Rasulullah saw.

Oleh sebab itu demi dilihat oleh Amirul Mu’minin bahwa ‘Ubadah telah berada di kota Madinah, ditanyalah: “Apa yang menyebabkan anda ke sini, wahai ‘Ubadah . . . ?” Dan tatkala diceritakan ‘Ubadah peristiwa yang terjadi antaranya dengan Mu’awiyah, maka kata Umar: “Kembalilah segera ke tempat anda! Amat jelek sekali jadinya suatu negeri yang tidak punya orang seperti anda . . .”. Lalu kepada Mu’awiyah dikirim pula Surat yang di antara isinya terdapat kalimat: “Tak ada wewenangmu sebagai amir terhadap ‘Ubadah”.

Memang, ‘Ubadah menjadi amir bagi dirinya …. Dan jika Umar al-Faruq sendiri telah memberikan penghormatan kepada seseorang setinggi ini, tak dapat tiada tentulah dia seorang besar      ! Dan sungguh, ‘Ubadah adalah seorang besar, baik karena keimanan, maupun karena keteguhan hati dan lurus jalan hidupnya!

Dan pada tahun 34 Hijriah, wafatlah is di Ramla di bumi Palestine; wakil ulung di antara wakil-wakil Anshar khususnya dan Agama Islam pada umumnya, dengan meninggalkan teladan yang tinggi dalam arena kehidupan ….

Semoga Allah memberi kita kemampuan mencontoh amal bakti para Assabiqunal-awwalun dan dapat melaksanakannya dalam diri pribadi sendiri sehingga kita menjadi syuhada’a ‘alan naas.


(15)  
`UBAADAH IBN AS -SAAMIT  
A Representative in Allah's Party ! 

        As one of the Ansaar he was mentioned in the Prophet's words "If the Ansaar chose to move in a certain direction, I would follow them. By Allah, if there had been no emigration, I would have chosen to be one of the Ansaar." `Ubaadah Ibn As-saamit was not only one of the Ansaar, but also one of their reknown leaders whom the Prophet (PBUH) chose to represent their people and tribes. When the first Ansaar delegation arrived at Makkah to make the oath of allegiance to the Prophet (PBUH), Ubaadah (May Allah be pleased with him) was one of the 12 believers who pledged allegiance to the Prophet (PBUH), embraced Islam, and clasped the Prophet's hand in support and loyalty! In the Second Pledge of Al `Aqabah, `Ubaadah was one of the leaders of the 70 men and two women and also one of the representatives of the Ansaar who gave his pledge to the Prophet (PBUH) during the Hajj season.  

        Ever since, Ubaadah never missed a battle or fell short of a sacrifice, as the arena at that time offered a kaleidoscope of self- sacrifice, valor, courage, and defiance. Since he chose Allah and His Prophet, he exerted himself to fulfill his obligations towards his religion. Therefore, his loyalty and obedience to Allah and his relationship with his relatives, allies, and enemies were all molded in a way so as to be compatible with the faith and conduct that a Muslim should have.  

        In the past, `Ubaadah's family had been tied in alliance with the Jews of Bani Qainuqaa' in Al- Madiinah. Since the Prophet and his Companions emigrated to Al-Madiinah, the Jews pretended to be on good terms with them; but after the Battle of Badr and a little while before the Battle of Uhud the Jews of Al- Madiinah began to show their true colors. Consequently, one of the Jewish tribes, Bani Qainuqaa', fabricated reasons for commotion and strife against the Muslims.  

        As soon as `Ubaadah realized their real intention, he decidedly threw aside their ancient treaty and said, "I take Allah, His Prophet, and those who have believed in Him as my protectors." The Qur'aan descended on the Prophet (PBUH) to support, salute, and praise `Ubaadah's loyal and steadfast attitude saying, " And whosoever takes Allah, His Messenger, and those who have believed as Protectors, then the party of Allah will be victorious" (5: 56).  

        Thus, the glorious verse announced the establishment of Allah's party, the members of which were the believers who stood firm by the Prophet's side and advocated the banner of right guidance and truth. They were regarded as the blessed blossom of the seed sown by their predecessors, who did their utmost to support their Messenger and invite people to believe in Allah the Ever-Living, the One Who Sustains and Protects all that exists. This newly born party of Allah would not only include the Companions of the Prophet, but also encompass the true believers of all future generations and times until Allah inherits the earth and whatever is with Him.  

        `Ubaadah, whose loyal and faithful attitude the verse praised, was not only a representative of the Al-Khazraj tribe, but was also one of the leaders of the pious and righteous Muslims who would always be looked upon by future generations throughout the world as a symbol of chivalry and discipline. His immortal history will forever resound throughout the world.  

One day `Ubaadah heard the Prophet talking about the responsibilities and obligations of commanders and governors and the punishment that awaited any one of them who abused his authority and manipulated the money entrusted to him. His words shook him so severely that he swore never to accept command, even over two people. He kept this oath. When the Commander of the Faithful `Umar Ibn Al- Khattaab (May Allah be pleased with him) became the caliph, he could not prevail on `Ubaadah to accept any influential position except educating and instructing people in Islamic religion. Indeed, thiswas the appropriate field for `Ubaadah, away from influential positions that might jeopardize his faith with precarious arrogance, power, and wealth.  

        Therefore, he traveled with Mu'aadh Ibn Jabal and Abu Ad- Dardaa' to Syria, where they illuminated the country with knowledge, fiqh, and enlightment. Afterward, `ubaadah traveled to Palestine, where Mu'aawiyah held jurisdiction in the name of the caliph.  

        When `Ubaadah lbn As-Saamit finally settled down in Syria, he always looked to Al-Madiinah as the capital of Islam and as the center of the caliphate where `Umar Ibn Al-Khattaab, a master- mind and a peerless man, lived. Then he turned around and looked over Palestine, where Mu'aawiyah Ibn Abi Sufyaan, a worldly-minded and a power hungry man, ruled.  

        `Ubaadah was, indeed, one of those blessed men who lived the best and the most accomplished days of their lives with the Prophet (PBUH). Those men who gained experience through struggle were cast in the same mold of conflict, struggle, and self-sacrifice. `Ubaadah had embraced Islam out of conviction rather than fear. Indeed, he sold himself and his fortune to Allah. He was one of the men who were brought up and disciplined by Muhammad (PBUH), who infused them with his wisdom, enlightenment, and greatness. To `Ubaadah, one of the most excellent models of the man in power was `Umar. Naturally, if `Ubaadah tried to judge Mu'aawiyah's conduct and character according to those standards, the result would not be in his favor and conflict would be inevitable. And that is exactly what happened.  
   
        `Ubaadah used to say, "We have given a pledge to the Prophet (PBUH) never to be afraid of anyone but Allah." `Ubaadah was a man who kept his pledges; therefore, he never feared Mu'aawiyah. Although Mu'aawiyah was in authority, `Ubaadah had already taken oath to stand fast and expose his wrongdoings.           Consequently, the people of Palestine watched him closely, holding their breath with astonishment, for the news of the fearless opposition led by `Ubaadah resounded across the world of Islam and was regarded as an outstanding example that should be followed. Notwithstanding the patience and tolerance Mu'aawiyah was famous for, he soon got tired of `Ubaadah's opposition, for he considered it a direct threat to his authority. Finally, when `Ubaadah realized that the gap between him and Mu`aawiyah was widening fatally, he addressed Mu'aawiyah saying, "By Allah, I will never live in the same land with a man like you." Consequently, he left Palestine and returned to Al- Madiinah.  

        Definitely, Umar was a man of outstanding perception and insight. He was so careful to surround governors like Mu'aawiyah, who manipulated their cleverness for their own interest, with a group of ascetic, pious, and steadfast Companions and advisers. He aimed at curbing their aspiration and avarice and reminding them of the era of the Prophet and his great feats.  

        Therefore, no sooner had the Commander of the Faithful `Umar Ibn Al Khattaab seen `Ubaadah in Al-Madiinah than he asked him, "What brought you back to Al-Madiinah?" When `Ubaadah told him about his dispute with Mu'aawiyah he ordered him, "Go back to where you belong. By Allah, any land that has no one like you living in it is a wasteland." `Umar immediately sent a message to Mu'aawiyah saying, "You are not to rule over `Ubaadah." Indeed, `Ubaadah was a commander of himself. When a man like `Umar held `Ubaadah in such high regard, then, undoubtedly, he must be a great and worthy man. `Ubaadah's greatness was unveiled through his faith, conscientiousness, and discipline.  

This sensible representative of the Ansaar and Islam died in A.H. 34, and his memory and history will forever be cherished and honored by all Muslims.  

.¤ª"˜¨¯¨¨'Ubaidah Bin Shamit o'Ubaadah Ibn As-Saamit¸,ø¨¨"ª¤. 





Categories: