acebook



.¤ª"˜¨¯¨¨Sa'adz Bin Mu'adz oSa'a Ibn Mu'aadh¸,ø¨¨"ª¤.
"Kebahagiaan bagimu, wahai Abu Amr".


Pada usia 31 tahun ia masuk Islam . . . . Dan dalam usia 37 tahun ia pergi menemui syahidnya . . . . 

Dan antara hari keislamannya sampai saat wafatnya, telah diisi oleh Sa’ad bin Muadz dengan karya-karya gemilang dalam berbakti kepada Allah dan Rasul-Nya . . . .Lihatlah : . . ! Gambarkanlah dalam ingatan kalian laki-laki yang anggun berwajah tampan berseri-seri, dengan tubuh tinggi jangkung dan badan gemuk gempal … ? 

Nah, itulah dia … !

Bagai hendak dilipatnya bumi dengan melompat dan berlari menuju rumah As’ad bin Zurarah, untuk melihat seorang pria dari Mekah bernama Mush’ab bin Umeir yang dikirim oleh Muhammad saw. sebagai utusan guna menyebarkan tauhid dan Agama Islam di Madinah ….Memang, ia pergi ke sana dengan tujuan hendak mengusir perantau ini ke luar perbatasan Madinah, agar ia membawa kembali Agamanya dan membiarkan penduduk Madinah dengan agama mereka … !

Tetapi baru Saja ia bersama Useid bin Zurarah sampai ke dekat majlis Mush’ab di rumah sepupunya, tiba-tiba dadanya telah terhirup udara segar yang meniupkan rasa nyaman .Dan belum lagi ia sampai kepada hadirin dan duduk di antara mereka memasang telinga terhadap uraian-uraian Mush’ab, maka petunjuk Allah telah menerangi jiwa dan ruhnya.

Demikianlah, dalam ketentuan taqdir yang mengagumkan, mempesona dan tidak terduga, pemimpin golongan Anshar itu melemparkan lembingnya jauh-jauh, lalu mengulurkan tangan kanannya mengangkat bai’at kepada utusan Rasulullah sawDan dengan masuk Islamnya Sa’ad, bersinarlah pula di Madinah mata hari baru, yang pada garis edarnya akan berputar dan beriringan qalbu yang tidak sedikit jumlahnya, dan bersama Nabi Muhammad saw. menyerahkan diri mereka kepada Allah Robbul’alamin … !Sa’ad telah memeluk Islam, memikul tanggung jawab itu dengan keberanian dan kebesaran . . . . Dan tatkala Rasulullah hijrah ke Madinah, maka rumah-rumah kediaman Bani Abdil Asyhal, yakni kabilah Sa’ad, pintunya terbuka lebar bagi golong­an Muhajirin, begitu pula semua harta kekayaan mereka dapat dimanfa’atkan tanpa batas, pemakainya tidak perlu rendah diri dan jangan takut akan disodori bon perhitungan.Dan datanglah saat perang Badar . . . . Rasulullah saw. me­ngumpulkan shahabat-shahabatnya dari golongan Muhajirin dan Anshar untuk bermusyawarah dengan mereka tentang urusan perang itu . . . . Dihadapkannya wajahnya yang mulia ke arah orang-orang Anshar, seraya katanya: “Kemukakanlah buah fikiran kalian, wahai shahabat … !”

Maka bangkitlah Sa’ad bin Mu’adz tak ubah bagi bendera di atas tiang, katanya:“Wahai Rasulullah . .. ! Kami telah beriman kepada anda, kami percaya dan mengakui bahwa apa yang anda bawa itu adalah hal yang benar, dan telah kami berikan pula ikrar dan janji-janji kami. Maka laksanakanlah terus, ya Rasul­allah apa yang anda inginkan, dan kami akan selalu bersama anda … ! Dan demi Allah yang telah mengutus anda mem­bawa kebenaran! Seandainya anda menghadapkan kami ke lautan ini lalu anda menceburkan diri ke dalamnya, pastilah kami akan ikut mencebur, tak seorang pun yang akan mundur, dan kami tidak keberatan untuk menghadapi musuh esok pagi! 

Sungguh, kami tabah dalam pertempuran dan teguh menghadapi perjuangan . . . ! Dan semoga Allah akan memperlihatkan kepada anda tindakan kami yang menyenangkan hati . . . ! Maka marilah kita berangkat dengan berkah Allah Ta’ala … !”

Kata-kata Sa’ad itu muncul tak ubah bagai berita gembira,dan wajah Rasul pun bersinar-sinar dipenuhi rasa ridla dan bangga serta bahagia, lalu katanya kepada Kaum Muslimin:“Marilah kita berangkat dan besarkan hati kalian karena Allah telah menjanjikan kepadaku salah satu di antara dua golongan! . . . Demi Allah, . .. sungguh seolah-olah tampak olehku kehancuran orang-orang itu … !” (al-Hadits)Dan di waktu perang Uhud, yakni ketika Kaum Muslimin telah cerai-berai disebabkan serangan mendadak dari tentara musyrikin, maka takkan sulit bagi penglihatan mata untuk menemukan kedudukan Sa’ad bin Mu’adz ….

Kedua kakinya seolah-olah telah dipakukannya ke bumi di dekat Rasulullah saw. mempertahankan dan membelanya mati­-matian, suatu hal yang agung, terpancar dari sikap hidupnya ….Kemudian datanglah pula saat perang Khandak, yang dengan jelas membuktikan kejantanan Sa’ad dan kepahlawanannya . . . . Perang Khandak ini merupakan bukti nyata atas persekongkolan dan siasat licik yang dilancarkan kepada Kaum Muslimin tanpa ampun, yaitu dari orang-orang yang dalam pertentangan mereka, tidak kenal perjanjian atau keadilan.

Maka tatkala Rasulullah saw. bersama para shahabat hidup dengan sejahtera di Madinah mengabdikan diri kepada Allah Saling nasihat-menasihati agar mentaati-Nya serta mengharap agar orang-orang Quraisy menghentikan serangan dan peperang­an, kiranya segolongan pemimpin Yahudi secara diam-diam pergi ke Mekah lalu menghasut orang-orang Quraisy terhadap Rasulullah sambil memberikan janji dan ikrar akan berdiri di samping Quraisy bila terjadi peperangan dengan orang-orang Islam nanti.Pendeknya mereka telah membuat perjanjian dengan orang-­orang musyrik itu, dan bersama-sama telah mengatur rencana dan siasat peperangan. 

Di samping itu dalam perjalanan pulang mereka ke Madinah, mereka berhasil pula menghasut suatu suku terbesar di antara suku-suku Arab yaitu kabilah Gathfan dan mencapai persetujuan untuk menggabungkan diri, dengan tentara Quraisy.Siasat peperangan telah diatur dan tugas Serta peranan telah dibagi-bagi. Quraisy dan Gathfan akan menyerang Madinah dengan tentara besar, sementara orang-orang Yahudi, di waktu Kaum Muslimin mendapat serangan secara mendadak itu, akan melakukan penghancuran di dalam kota dan sekelilingnya!Maka tatkala Nabi saw. mengetahui permufakatan jahat ini, beliau mengambil langkah-langkah pengamanan. 

Dititah­kannyalah menggali khandak atau parit perlindungan sekeliling Madinah untuk membendung serbuan musuh. 

Di samping itu diutusnya pula Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah kepada Ka’ab bin Asad pemimpin Yahudi suku Quraidha untuk menyelidiki sikap mereka yang sesungguhnya terhadap orang yang akan datang, walaupun antara mereka dengan Nabi saw. sebenarnya sudah ada beberapa perjanjian dan persetujuan damai.Dan alangkah terkejutnya kedua utusan Nabi, karena ketika bertemu dengan pemimpin Bani Quraidha itu, jawabnya ialah: “Tak ada persetujuan atau perjanjian antara kami dengan Mu­hammad . . . !”

Menghadapkan penduduk Madinah kepada pertempuran sengit dan pengepungan ketat ini, terasa amat berat bagi Rasul­ullah saw.. Oleh sebab itulah beliau memikirkan sesuatu siasat untuk memisahkan suku Gathfan dari Quraisy, hingga musuh yang akan menyerang, bilangan dan kekuatan mereka akan tinggal separoh.Siasat itu segera beliau laksanakan yaitu dengan mengadakan perundingan dengan para pemimpin Gathfan dan menawarkan agar mereka mengundurkan diri dari peperangan dengan imbalan akan mendapat sepertiga dari hasil pertanian Madinah.

 Tawaran itu disetujui oleh pemimpin Gathfan, dan tinggal lagi mencatat persetujuan itu hitam di atas putih . . . .Sewaktu usaha Nabi sampai sejauh ini, beliau tertegun, karena menyadari tiadalah sewajarnya la memutuskan sendiri masalah tersebut. Maka dipanggilnyalah para shahabatnya untuk merundingkannya.

 Terutama Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah, buah fikiran mereka amat diperhatikannya, karena kedua mereka adalah pemuka Madinah,dan yang pertama kali berhak untuk membicarakan soal tersebut dan memilih langkah mana yang akan diambil ….Rasulullah menceritakan kepada mereka berdua peristiwa perundingan yang berlangsung antara Dia dengan para ­pemimpin Gathfan. Tak lupa ia menyatakan bahwa langkah itu diambilnya ialah karena ingin menghindarkan kota dan penduduk Madinah dari serangan dan pengepungan dahsyat.

Kedua pemimpin itu tampil mengajukan pertanyaan:“Wahai Rasulullah, apakah ini pendapat anda sendiri, ataukah wahyu yang dititahkan Allah … ?” 
Ujar Rasulullah:
 “Bukan, tetapi ia adalah pendapatku yang kurasa baik untuk tuan-­tuan! Demi Allah, saya tidak hendak melakukannya kecuali karena melihat orang-orang Arab hendak memanah tuan-tuan secara serentak dan mendesak tuan-tuan dari segenap jurusan. 

Maka saya bermaksud hendak membatasi kejahatan mereka sekeeil mungkin … !”Sa’ad bin Mu’adz merasa bahwa nilai mereka sebagai laki-laki dan orang-orang beriman,mendapat ujian betapa juga coraknya. Maka katanya:“Wahai Rasulullah! Dahulu kami dan orang-orang itu berada dalam kemusyrikan dan pemujaan berhala, tiada mengabdi­kan diri pada Allah dan tidak kenal kepada-Nya, sedang mereka tak mengharapkan akan dapat makan sebutir kurma pun dari hasil bumi kami kecuali bila disuguhkan atau dengan cara jual beli .. .. Sekarang, apakah setelah kami mendapat kehormatan dari Allah dengan memeluk Islam dan mendapat bimbingan untuk menerimanya, dan setelah kami dimuliakan­Nya dengan anda dan dengan Agama itu, lalu kami harus menyerahkan harta kekayaan kami … ?

 Demi Allah, kami tidak memerlukan itu, dan demi Allah, kami tak hendak memberi kepada mereka kecuali pedang . . . hingga Allah menjatuhkan putusan-Nya dalam mengadili kami dengan mereka. . . !”Tanpa membuang waktu Rasulullah saw. merubah pendiriannya dan menyampaikan kepada para pemimpin suku Gathfan bahwa shahabat-shahabatnya menolak rencana perundingan, dan bahwa beliau menyetujui dan berpegang kepada putusan shahabat­nya….Selang beberapa hari, kota Madinah mengalami penge­pungan ketat. Sebenarnya pengepungan itu lebih merupakan pilihannya sendiri daripada dipaksa orang, disebabkan adanya parit yang digali sekelilingnya untuk menjadi benteng perlin­dungan bagi dirinya. 
Kaum Muslimin pun memasuki suasana perang. Dan Sa’ad bin Mu’adz keluar membawa pedang dan tombaknya sambil berpantun:

“Berhentilah sejenak, nantikan berkecamuknya perang Maut berkejaran menyambut ajal datang menjelang … !”

Dalam salah satu perjalanan kelilingnya nadi lengannya disambar anak panah yang dilepaskan oleh salah seorang musyrik. Darah menyembur dari pembuluhnya dan segera ia dirawat secara darurat untuk menghentikan keluarnya darah. Nabi saw. menyuruh membawanya ke mesjid, dan agar didirikan kemah untuknya agar ia berada di dekatnya selama perawatan.Sa’ad, tokoh muda mereka itu dibawa oleh Kaum Muslimin ke tempatnya di mesjid Rasul. Ia menunjukkan pandangan mata­nya ke arah langit, lalu mohonnya:“Ya Allah, jika dari peperangan dengan Quraisy ini masih ada yang Engkau sisakan, maka panjangkanlah umurku untuk menghadapinya! Karena tak ada golongan yang diinginkan untuk menghadapi mereka daripada kaum yang telah meng­aniaya Rasul-Mu, telah mendustakan dan mengusirnya … ! 

Dan seandainya Engkau telah mengakhiri perang antara kami dengan mereka, jadikanlah kiranya musibah yang telah menimpa diriku sekarang ini sebagai jalan untuk menemui syahid … !

Dan janganlah aku dimatikan sebelum tercapai­nya yang memuaskan hatiku dengan Bani Quraidha … !”Allah-lah yang menjadi pembimbingmu, wahai Sa’ad bin Mu’adz … ! Karena siapakah yang mampu mengeluarkan ucapan seperti itu dalam suasana demikian, selain dirimu … ?

Dan permohonannya dikabulkan oleh Allah. Luka yang dideritanya menjadi penyebab yang mengantarkannya ke pintu syahid, karena sebulan setelah itu, akibat luka tersebut ia kem­bali menemui Tuhannya. Tetapi peristiwa itu terjadi setelah hatinya terobati terhadap Bani Quraidha.

Kisahnya ialah~setelah orang-orang Quraisy merasa putus asa untuk dapat menyerbu kota Madinah dan ke dalam barisan mereka menyelinap rasa gelisah, maka mereka sama mengemasi barang perlengkapan dan alat senjata, lalu kembali ke Mekah dengan tangan kosong.Rasulullah saw. berpendapat, mendiamkan perbuatan orang­orang Quraidha,berarti membuka kesempatan bagi kecurangan dan pengkhianatanmereka terhadap kota Madinah bilamana saja mereka menghendaki, suatu hal yang tak dapat dibiarkan berlalu! Oleh sebab itulah beliau mengerahkan shahabat-sha­habatnya kepada Bani Quraidha itu. Mereka mengepung orang-­orang Yahudi itu selama 25 hari. 

Dan tatkala dilihat oleh Bani Quraidha bahwa mereka tak dapat melepaskan diri dari Kaum Muslimin, mereka pun menyerahlah dan mengajukan permohon­an kepada Rasulullah yang mendapat jawaban bahwa nasib mereka akan tergantung kepada putusan Sa’ad bin Mu’adz. Di masa jahiliyah dahulu, Sa’ad adalah sekutu Bani Quraidha …. Nabi saw. mengirim beberapa shahabat untuk membawa Sa’ad bin Mu’adz dari kemah perawatannya di mesjid. Ia dinaikkan ke atas kendaraan, sementara badannya kelihatan lemah dan menderita sakit.
Kata Rasulullah kepadanya: 
 ”Wahai Sa’ad! Berilah kepu­tusanmu terhadap Bani Quraidha . . . !” 

Dalam fikiran Sa’ad terbayang kembali kecurangan Bani Quraidha yang berakhir dengan perang Khandak dan nyaris menghancurkan kota Madinah serta penduduknya. 
Maka ujar Sa’ad: — “Menurut pertimbanganku, orang-orang yang ikut berperang di antara mereka hendaklah dihukum mati. Perempuan dan anak mereka diambil jadi tawanan, sedang harta kekayaan mereka dibagi­-bagi . .. !”Demikianlah, sebelum meninggal, hati Sa’ad telah terobatt terhadap Bani Quraidha . . . .Luka yang diderita Sa’ad setiap hari bahkan setiap jam kian sertambah parah . . . . 

Pada suatu hari Rasulullah saw. datang menjenguknya. Kiranya didapatinya, ia dalam saat ter­akhir dari hayatnya. Maka Rasulullah meraih kepalanya dan menaruhnya di atas pangkuannya, lalu berdu’a kepada Allah, katanya: “Ya Allah, Sa’ad telah berjihad di jalan-Mu; ia telah membenarkan Rasul-Mu dan telah memenuhi kewajibannya.

Maka terimalah ruhnya dengan sebaik-baiknya cara Engkau menerima ruh . . . !”Kata-kata yang dipanjatkan Nabi itu rupanya telah mem­berikan kesejukan dan perasaan tenteram kepada ruh yang hendak pergi. 

Dengan susah payah dicobanya membuka kedua matanya dengan harapan kiranya wajah Rasulullah adalah yang terakhir dilihatnya selagi hidup ini, katanya: “Salam atasmu, wahai Rasulullah … ! Ketahuilah bahwa aku mengakui bahwa anda adalah Rasulullah!”Rasulullah pun memandangi wajah Sa’ad lalu katanya: “Kebahagiaan bagimu wahai Abu Amr … ! “

Berkata Abu Sa’id al-Khudri: — “Saya adalah salah seorang yang menggali makam untuk Sa’ad …. Dan setiap kami menggali satu lapisan tanah, tercium oleh kami wangi kesturi, hingga sampai ke liang lahat”.Musibah dengan kematian Sa’ad yang menimpa Kaum Mus­limin terasa berat sekali. Tetapi hiburan mereka juga tinggi nilainya, karena mereka dengar Rasul mereka yang mulia ber­sabda: “Sungguh, ‘Arasy Tuhan Yang Rahman bergetar dengan berpulangnya Sa’ad bin Mu’adz . . . !”

(45)  
SA'D IBN MU'AADH  
Rejoice, Abu Amr! 
        He committed himself to Islam at the age of 31 and won martyrdom at 37. This seven years lapse was a tough one in which Sa'd lbn Mu`aadh (May Allah be pleased with him) exerted all his energy in the service of Allah and His Messenger (PBUH).  

        Look Do you see that handsome, gallant, tall man with a radiant face? He is the one. He ran quickly to As'ad Ibn Zuraarah to see this man who came from Makkah, Mus`ab Ibn `Umair, whom Muhammad (PBUH) had sent to Al-Madiinah to call people to commit themselves to Islam and monotheism. He was going there to drive this stranger out of Al-Madiinah along with his religion. But no sooner had he approached Mus`ab's assembly at the house of his nephew, As'ad Ibn Zuraarah, than his heart was revived by a sweet pacifying breeze. No sooner had he reached those men who gathered there, taken his place among them and listened intently to Mus`ab's words than Allah guided him to the right path that illuminated his heart and soul. In one of the incredible miracles of fate, the leader of the Ansaar put aside his spear and shook hands with Mus`ab as a sign of his allegiance to the Prophet (PBUH).  

       A new sun shone on Al-Madiinah as soon as Sa'd Ibn Mu'aadh committed himself to Islam. It would encompass many hearts that would revolve in the sphere of Islam later on.

Sa'd committed himself to Islam and withstood the hardships that ensued with much heroism and greatness. When the Prophet (PBUH) emigrated to  Al-Madiinah,the houses of Bani Al-Ashhal - Sa'd's tribe - welcomed the Muhaajiruun, and their money was utterly at their disposal without arrogance, abuse, or limitation. When the Battle of Badr was about to take place, the Prophet (PBUH) gathered his Companions, both Ansaar and Muhaajiruun, to consult them on the preparations for war. His amiable face turned towards the Ansaar and he addressed them saying, "I want to know your opinion about what should be done concerning the imminent battle."  

       Sa`d Ibn Mu'aadh stood up and said "O Prophet of Allah, we firmly believe in you, and we witness that what descends on you is the truth. We swore a solemn oath and gave you the allegiance, so go ahead with whatever you want, and we shall stand by your side. We swear by Allah Who has sent you with the truth that if you reach the sea and cross it, we will cross it hand in hand with you. No man will lag or stay behind. We are absolutely ready to go to war against our enemy tomorrow for we are given to terrible warfare and we are sincere in our desire to meet Allah. I hope that Allah will make us do what will make you proud of us. So go on with whatever is in your mind. Allah bless you."  

       Sa'd's words made the Prophets' face brighten with satisfaction and happiness as he addressed the Muslims and said, "Rejoice, for Allah promised me one of the two parties of the enemy (either the army or the caravan). By Allah I can almost see with my own eyes where each one of the enemy will be killed."  

       In the Battle of Uhud, the Muslims lost control and dispersed as they were taken by surprise by the army of disbelievers. Everything was hectic, yet Sa'd lbn Mu'aadh stood there as if pinned to the ground next to the Prophet (PBUH). He defended him courageously as a noble warrior should do.  

        The Battle of Al-Khandaq came as a suitable opportunity for Sa`d to show his admirable manliness and amazing valor. The Khandaq Battle came as a clear sign for the shrewd and deceitful schemes with which Muslims were being ruthlessly haunted by an enemy who had no consideration whatsoever for justice or covenant. For while the Prophet (PBUH) and his Companions were living in Al-Madiinah in peace, reminding one another to worship and obey Allah, hoping that the Quraish would refrain from their hostility, a group of Jewish leaders stealthily headed for Makkah to instigate the Quraish against the Prophet (PBUH). The Jews pledged to help the Quraish if they decided to raid Al- Madiinah. They made an agreement with the disbelievers and even laid down the battle plan. Moreover, on their way home they incited Bani Ghatfaan - one of the biggest Arab tribes - and made an agreement with its leaders to join forces with the Quraish army.  

       The war plan was ready and everyone knew his role. The Quraish and Ghatfaan were to attack Al- Madiinah with an enormous army, whereas the Jews were to sabotage Al-Madiinah simultaneously with the attack.  

        When the Prophet (PBUH) found out the treacherous scheme, he resorted to counter plot. First, he ordered his Companions to dig a trench around Al-Madiinah to hold back the attackers. Second, he sent Sa'd lbn Mu'aadh and Sa`d lbn `Ubaadah to Ka'b lbn Asad, the leader of Bani Quraidhah, to learn exactly where they stood concerning the imminent war. At that time, mutual agreements and treaties were already signed between the Prophet (PBUH) and the Jews of Bani Quraidhah. The two messengers of the Prophet met with the Jewish leader, yet to their surprise he denied the agreement by saying, "We did not sign any agreement or treaty with Muhammad."  

        It was hard for the Prophet to expose the people of Al Madiinah to such a deadly invasion and exhausting siege; therefore, the only answer was to neutralize Ghatfaan so that the attacking army would lose half of its men and strength. He began to negotiate with the Ghatfaan leaders so that they would forsake the Quraish in exchange for one third of Al-Madiinah's crops. The leaders of Ghatfaan accepted this agreement, and both parties were to sign it shortly. 

       The Prophet (PBUH) could not go any further without consulting his Companions. He valued Sa'd Ibn Mu`aadh and Sa'd Ibn `Ubaadah's opinion, for they were the leaders of Al- Madiinah and had the right to have a say in any decision that affected it.  

        The Prophet (PBUH) told them about his negotiations and that he had resorted to this compensation lest Al-Madiinah and its inhabitants be exposed to this dangerous attack and horrible siege. Both Sa'ds asked the Prophet (PBUH), "Is it a matter of choice or is it an inspiration from Allah?" The Prophet (PBUH) answered, "It is actually a matter that I chose for you. By Allah, I only do this because I can clearly see that the Arabs joined forces to strike you as one man so I want to curb their strength."

Sa'd lbn Mu'aadh had the intuition that their fate as men and as believers was being subtly tested so he said, "O Messenger of Allah, when we and those Jews were disbelievers and polytheists, they did not even dream of eating a date from our land unless we gave it to them out of generosity, hospitality, or for trade purposes. So how is it, after Allah has guided us to Islam and made us honored by it and by you, that we give them our money? By Allah, we can do without this agreement, and we will give them nothing but warfare until Allah settles our dispute." The Prophet (PBUH) at once changed his mind and notified Ghatfaan's leaders that his Companions rejected the proposed agreement and that he approved and supported their opinion. 

        A few days later Al-Madiinah witnessed a horrible siege. It was, in fact, a siege which it brought upon itself rather than was forced upon it due to the trench that was dug as a protection and safely procedure. The Muslims were prepared for war. Sa'd Ibn Mu`aadh marched around with his sword and spear and recited lines of poetry that mean, `I waited anxiously for the battle to start. How beautiful death seems when the time is the right time.''  

        In one of the rounds of war, Sa`ds arm was showered with the mows of one of the disbelievers, and blood gushed severely from his wounds. He received first aid assistance to stop the bleeding, then the Prophet (PBUH) ordered him carried to the mosque where a tent was put up so that he would be near the Prophet while he was nursed. The Muslims carried their great hero into the Prophet's mosque and Sa`d looked up to the sky and said, `O Allah our Lord, if the war against the Quraish is to last any longer, please do let me live a little while longer to fight against them, for I like nothing better than fighting those people who hurt Your Prophet, disbelieved him, and even drove him to emigrate. But if the war has already ended, please make my wounds pave my way to martyrdom. I implore You, dear Allah, not to let me die until I avenge myself upon Bani Quraidhah!" 

        Allah will stand by you, Sa'd lbn Mu'aadh! For who could say such a thing in such a situation but you ? Allah did fulfill his supplication. His injury caused his death a month later, but he did not die until he had taken his revenge on the Jews of Bani Quraidhah. After the Quraish became desperate in their attempt to vanquish Al Madiinah and their soldiers were gripped by panic, they took their arms and equipment and returned to Makkah ashamed and disappointed.  

        The Prophet (PBUH) believed that Al-Madiinah had been compromised by the deceit and treachery of the Jews for too long. They left the Muslims in the lurch whenever they chose, a thing that the Prophet could no longer accept. Therefore, he ordered his Companions to march towards Bani Quraidhah, and there the Muslims besieged them for 25 days. When the Jews were certain that there was no escape from the Muslims, they pleaded with the Prophet (PBUH) to let Sa'd lbn Mu'aadh, their ally in pagan times, decide what would become of them.  

        The Prophet (PBUH) sent his Companions to bring Sa'd from his tent at the mosque. He came carried on a camel and he looked so pale and sick. The Prophet (PBUH) addressed him, "Sa`d, decide what should be done to Bani Quraidhah." Sa`d remembered their treachery and deceit in general and in the Battle of Al Khandaq in particular, when Al-Madiinah had come too close to its ruin, and said, "I say kill their warriors, capture their children, and distribute their money." Thus Sa`d did not die until he had taken his revenge.  

        Sa`d's wounds became worse every day. One day, the Prophet (PBUH) visited Sa'd and found him on the verge of death, so he put his head on his blessed lap and called upon Allah, "O Allah, Our Lord, Sa'd has striven hard in the way of Allah. He believed in Your Prophet and did his very best. So please do accept his soul with goodly acceptance." The words of the Prophet (PBUH) fell like coolness and safety on the departing noble soul. 

He strove to open his eyes, hoping that the last face he saw would be the Prophet's and said, 
"Peace be upon you, Prophet. I do witness that you are indeed the Messenger of Allah."  

       The Prophet (PBUH) took a farewell look of Sa`d's face and said, "Rejoice, Abu `Amr." Abu Sa`iid Al-Khudriy (May Allah be pleased with him) said, "I was one of those who dug Sa'd's grave, and each time we dug out a layer of sand, we smelled musk. This went on until we reached his burial niche." 

Sa'd's death was a tragic loss for the Muslims. Their only consolation was when they heard the Prophet (PBUH) say, "The throne of the Most Beneficent shook when Sa'd lbn Mu'aadh died."  


.¤ª"˜¨¯¨¨Sa'adz Bin Mu'adz oSa'a Ibn Mu'aadh¸,ø¨¨"ª¤.





Categories: