acebook




.¤ª"˜¨¯¨¨Khabbab Bin Arats oKhabaab Ibn Al-Arat¸,ø¨¨"ª¤.  
 Guru besar dalam berkorban. 

Serombongan orang Quraisy mempercepat langkah mereka menuju rumah Khabbab, dengan maksud hendak mengambil pedang-pedang pesanan mereka. Memang, Khabbab seorang pandai besi yang ahli membuat alat-alat senjata terutama pedang, yang dijualnya kepada penduduk Mekah dan dikirimnya ke pasar-pasar.

Berbeda dengan biasa, Khabbab yang hampir tidak pernah meninggalkan rumah dan pekerjaannya, ketika itu tidak dijumpai oleh rombongan Quraisy tadi di rumahnya. Mereka pun duduklah menunggu kedatangannya.Beberapa lama antaranya, datanglah Khabbab, sedang pada wajahnya terlukis tanda tanya yang bercahaya dan pada kedua matanya tergenang air alamat sukacita . . . , maka diucapkannya salam kepada teman-temannya itu lalu duduk di dekat mereka.

Mereka segera menanyakan kepada Khabbab:“Sudah selesai­kah pedang-pedang kami itu, hai Khabbab?”Sementara itu air mata Khabbab sudah kering, dan pada kedua matanya tampak sinar kegembiraan, dan seolah-olah berbicara dengan dirinya sendiri, katanya: “Sungguh, keadaannya amat mena’jubkan!”Orang-orang itu kembali sertanya kepadanya:”Hai Khabbab, keadaan mana yang kamu maksudkan … ? Yang kami tanyakan kepadamu adalah soal pedang kami, apakah sudah selesai kamubuat . . . ?” Dengan pandangannya yang menerawang seolah‑olah mimpi,Khabbab lalu sertanya: “Apakah tuan-tuan sudah melihatnya … ? Dan apakah tuan-tuan sudah pernah mendengar ucapannya … !’

Mereka Saling pandang diliputi tanda tanya dan keherananDan salah seorang di antara mereka kembali sertanya, kali ini dengan suatu muslihat, katanya: “Dan kamu, apakah kamu sudah melihatnya, hai Khabbab … ?”Khabbab menganggap remeh siasat lawan itu, maka ia berbalik sertanya: “Siapa maksudmu … ?”“Yang saya tuju ialah orang yang kamu katakan itu!” ujar orang tadi dengan marah.

Maka Khabbab memberikan jawabannya setelah memper­lihatkan kepada mereka bahwa ia tak dapat dipancing-pancing. Jika ia mengakui keimanannya sekarang ini di hadapan mereka, bukanlah karena hasil muslihat dan termakan umpan mereka, tetapi karena ia telah meyakini kebenaran itu serta menganutnya, dan telah mengambil putusan untuk menyatakannya secara terus terang . . . . Maka dalam keadaan masih terharu dan terpesona, serta kegembiraan jiwa dan kepuasannya, disampaikanlah jawab­an, katanya: “Benar… , saya telah melihat dan mendengarnya …Saya saksikan kebenaran terpancar daripadanya, dan cahaya bersinar-sinar dari tutur katanya…!

sekarang orang-orang Quraisy pemesan senjata itu mulai mengerti, dan salah seorang di antara mereka berseru: “Siapa dia orang yang kau katakan itu, hai budak Ummi Anmar . . . !’Dengan ketenangan yang hanya dimiliki oleh orang suci, Khabbab menyahut:
“Siapa lagi, hai Arab shahabatku Siapa lagi di antara kaum anda yang daripadanya terpancar kebenaran, dan dari tutur katanya bersinar-sinar cahaya selain ia. se­orang … ?”

seorang lainnya yang bangkit terkejut mendengar itu berseru pula: “Rupanya yang kamu maksudkan ialah Muhammad . . .”. Khabbab menganggukkan kepalanya yang dipenuhi kebanggaan serta katanya: “Memang, ia adalah utusan Allah kepada kita, untuk mem­bebaskan kita dari kegelapan menuju terang benderang Dan setelah itu Khabbab tidak ingat lagi apa yang diucapkannya,begitupun apa yang diucapkan orang kepadanya . . . . Yang diingatnya hanyalah bahwa setelah beberapa saat lamanya ia sadarkan diri dan mendapati tamu-tamunya telah bubar dan tak ada lagi, sedang tubuh bengkak-bengkak dan tulang-tulangnya terasa sakit, dan darahnya yang mengalir melumuri pakaian dan tubuhnya Kedua matanya memandang berkeliling dengan tajam …. kiranya tempat itu amat sempit untuk dapat melayani pandangan tembusnya. Maka dengan menahan rasa sakit, ia bangkit menuju tempat yang lapang, dan di muka pintu rumahnya ia berdiri sambil bersandar pada dinding, sedang kedua matanya yang mulia berkelana panjang menatap ufuk lalu berputar ke arah kanan kiri ….

Dan tiadalah ia berhenti sampai jarak yang biasa dikenal oleh manusia, tetapi ia ingin hendak menembus jarak jauh yang tidak terjangkau …. Memang . . . , kedua matanya itu ingin menyelidiki kejauhan yang tidak terjangkau dalam kehidupannya, begitu pun dalam kehidupan orang-orang di kota Mekah, orang-orang di setiap tempat serta pada segala masa umumnya ….

Wahai, mungkinkah pembicaraan yang didengarnya dari Muhammad saw. pada hari itu, merupakan cahaya yang dapat menerangi jalan menuju kejauhan ghaib dalam kehidupan seluruh ummat manusia     ?

Demikianlah Khabbab tenggelam dalam renungan tinggi dan pemikiran mendalam, dan setelah itu ia kembali masuk rumahnya untuk membalut luka tubuhnya dan mempersiapkannya untuk menerima siksaan dan penderitaan baru . . . . ! Dan mulai saat itu Khabbab pun mendapatkan kedudukan yang tinggi di antara orang-orang yang tersiksa dan teraniaya . .. ! Didapatkannya kedudukan itu di antara, orang-orang yang walau pun mereka miskin dan tak berdaya, tetapi berani tegak menghadapi ke‑ sombongan Quraisy, kesewenangan dan kegilaan mereka . . . ! Diperolehnya kedudukan yang mulia itu di antara orang-orang yang telah memancangkan dalam jiwanya tiang bendera yang mulai berkibar di ufuk luas sebagai pernyataan tenggelamnya masa pemujaan berhala dan kekaisaran. la berdampingan dengan orang yang menyampaikan berita gembira munculnya kejayaan Agama Allah, yakni Tuhan satu-satunya yang berhak diibadahi dan segala peraturannya dengan ikhlas ditaati, Serta menyampai­kan tibanya saat jaya bagi orang tertindas yang tidak berdaya. Ia akan duduk sama rendah berdiri sama tinggi di bawah bendera tersebut dengan orang-orang yang tadinya telah memeras dan menganiayanya …. Dan dengan keberanian luar biasa, Khabbab memikul tang­gung jawab semua itu sebagai seorang perintis.

“Berkatalah Sya’bi:Khabbab menunjukkan ketabahannya, hingga tak sedikit pun hatinya terpengaruh oleh tindakan biadab orang-orang kafir. Mereka menindihkan batu membara ke punggungnya, hingga terbakarlah dagingnya . . . !”

Kafir Quraisy telah merubah semua besi yang terdapat di rumah Khabbab yang dijadikannya sebagai bahan baku untuk membuat pedang, menjadi belenggu dan rantai besi. Lalu mereka masukkan ke dalam api hingga menyala dan merah membara, kemudian mereka lilitkan ke tubuh, pada kedua tangan dan kedua kaki Khabbab . . . . Dan pernah pada suatu hari ia pergi bersama kawan-kawannya sependeritaan menemui Rasulullah saw. tetapi bukan karena kecewa dan kesal atas pengorbanan, hanyalah karena ingin dan mengharapkan keselamatan, kata mereka: “Wahai Rasulullah, tidakkah anda hendak memintakan per­tolongan bagi kami … ?” Yah, marilah kita dengarkan Khabbab menceritakan langsung kepada kita kisah itu dengan kata-katanya sendiri:
“Kami pergi mengadu kepada Rasulullah saw. yang ketika itu sedang tidur berbantalkan kain burdahnya di bawah naungan Ka’bah. Permohonan kami kepadanya: “Wahai Rasulullah, tidakkah anda hendak memohonhan kepada Allah pertolongan bagi kami . . . . ?” Rasulullah saw. pun duduk, mukanya jadi merah, lalu sabdanya: “Dulu se­belum kalian, ado seorang laki-lahl yang disiksa, tubuhnya dikubur kecuali leher ke atas, lalu diambil sebuah gergaji untuk menggergaji kepalanya, tetapi siksaan demikian itu tidak sedikit pun dapat memalingkannya dari Agama­nya . . . ! Ada pula yang disikat antara daging dan tulang­-tulangnya dengan sikat besi, juga tidak dapat menggoyah­kan keimanannya …. Sungguh Allah akan menyempur­nakan hal tersebut, hingga setiap pengembara yang bepergi­an dari Shan’a ke Hadlramaut, tiada takut kecuali oleh Allah ‘Azza wa Jolla, walaupun serigala ada di antara hewan gembalaannya, tetapi saudara-saudara terburu­buru f!” Khabbab dengan kawan-kawannya mendengarkan kata-kata itu, bertambahlah keimanan dan keteguhan hati mereka, dan masing-masing mereka berikrar akan membuktikan kepada Allah dan Rasul-Nya hal yang diharapkan dari mereka, ialah ketabahan, keshabaran dan pengurbanan.

Demikianlah Khabbab menanggung penderitaan dengan shabar, tabah dan tawakkal. Orang-orang Quraisy terpaksa meminta bantuan Ummi Anmar, yakni bekas majikan Khabbab yang telah membebaskannya dari perbudakan. Wanita tersebut akhirnya turun tangan dan turut mengambil bagian dalam me­nyiksa dan menderanya. Wanita itu mengambil besi panas yang menyala, lalu me­naruhnya di atas kepada dan ubun-ubun Khabbab, sementara Khabbab menggeliat kesakitan. Tetapi nafasnya ditahan hingga tidak keluar keluhan yang akan menyebabkan algojo-algojo tersebut merasa puas dan gembira … !

Pada suatu hari Rasulullah saw. lewat di hadapannya, sedang besi yang membara di atas kepalanya membakar dan meng­hanguskannya, hingga kalbu Rasulullah pun bagaikan terangkat karena pilu dan iba hati …. Tetapi apa yang dapat diperbuat oleh Rasulullah saw. untuk menolong Khabbab waktu itu . . . ? Tidak ada . . . , kecuali meneguhkan hatinya dan mendu’akannya ‘ Pada saat itu Rasulullah mengangkat kedua belah telapak tangannya ter­kembang ke arah langit, sabdanya memohon: “Ya Allah, limpahkanlah pertolongan-Mu kepada Khab­bab!” Dan kehendak Allah pun berlakulah, selang beberapa hari Ummi Anmar menerima hukuman qishas, seolah-olah hendak dijadikan peringatan oleh Yang Maha Kuasa baik bagi dirinya maupun bagi algojo-algojo lainnya. Ia diserang oleh semacam penyakit panas yang aneh dan mengerikan. menurut keterangan ahli sejarah ia melolong seperti anjing…………… Dan dinasihatkan orang mengenai dirinya bahwa satu-satunya jalan atau obat yang dapat menyembuhkannya ialah menyeterika kepalanya dengan besi menyala . . . ! Demikianlah kepalanya yang angkuh itu menjadi sasaran besi panas, yang disetrikakan orang kepadanya tiap pagi dan petang Jika orang-orang Quraisy hendak mematahkan keimanan dengan siksa maka orang-orang beriman mengatasi siksaan itu dengan pengurbanan I Dan Khabbab adalah salah seorang yang dipilih oleh taqdir untuk menjadi guru besar dalam ilmu tebusan dan pengurbanan …. Boleh dikata seluruh waktu dan masa hidupnya dibaktikannya untuk Agama yang panji-panjinya mulai berkibar ….

Di masa-masa da’wah pertama, Khabbab r.a. tidak merasa cukup dengan hanya ibadat dan shalat semata, tetapi ia juga memanfaatkan kemampuannya dalam mengajar. Didatanginya rumah sebagian temannya yang beriman dan menyembunyikan keislaman mereka karena takut kekejaman Quraisy, lalu dibaca­kannya kepada mereka ayat-ayat al-Quran dan diajarkannya Ia mencapai kemahiran dalam belajar al-Quran yang diturunkan ayat demi ayat dan surat demi surat. Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan mengenai dirinya, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Barangsiapa ingin membaca al-Quran tepat sebagaimana diturunkan, hendaklah ia meniru bacaan Ibnu Umrni ‘Abdin! ” . . . , hingga Abdullah bin Mas’ud menganggap Khabbab bagai tempat sertanya mengenai soal-soal yang bersangkut paut dengan al-Quran , baik tentang hafalan maupun pelajaran­ya Khabbab adalah juga yang mengajarkan al-Quran kepada athimah binti Khatthab dan suaminya Sa’id bin Zaid ketika mereka dipergoki oleh Umar bin Khatthab yang datang dengan pedang di pinggang untuk membuat perhitungan dengan Agama islam dan Rasulullah saw. Tetapi demi dibacanya ayat-ayat Quran yang termaktub pada lembaran yang dipergunakanoleh Khabbab untuk mengajar, ia pun berseru dengan suaranya ang barkah: “Tunjukkan kepadaku di mana Muhammad Dan ketika Khabbab mendengar ucapan Umar itu, ia pun segera keluar dari tempat persembunyiannya, serunya: “Wahai Umar! Demi Allah, saya berharap kiranya ‘kamulah yang telah dipilih oleh Allah dalam memperkenankan per­mohonan Nabi-Nya saw. Karena kemarin saya dengar ia memohon: “Ya Allah, kuatkanlah Agama Islam dengan salah seorang di antara dug lelaki yang lebih Engkau sukai: Abul Hakam bin Hisyam dan Umar bin Khatthab . . . ! “ Umar segera. menyahut: “Di mana saya dapat menemuinya orang ini, hai Khabbab?” “Di Shafa”, ujar Khabbab, “yaitu rumah Arqam bin Abil Arqam”. Maka pergilah Umar men­patkan keuntungan yang tidak terkira, menemui awal nasibnya yang bahagia . . . . !

Khabbab ibnul Arat menyertai Rasulullah saw. dalam semua erangan dan pertempurannya, dan selama hayatnya ia tetap membela keimanan dan keyakinannya …. Dan ketika Baitulmal melimpah ruah dengan harta kekayaan di masa pemerintahan Umar dan Utsman radliyallahu ‘anhuma, maka Khabbab beroleh gaji besar, karena termasuk golongan Muhajirin yang mula pertama masuk Islam. Penghasilannya yang cukup ini memungkinkannya untuk membangun sebuah rumah di Kufah, dan harta kekayaannya disimpan pada suatu tempat di rumah itu yang dikenal oleh para shahabat dan tamu-tamu yang memerlukannya, hingga bila di antara mereka ada sesuatu keperluan, ia dapat mengambil uang yang diperlukannya dari tempat itu ….

Walaupun demikian, Khabbab tak pernah tidur nyenyak dan tak pernah air matanya kering setiap teringat akan Rasul­ullah saw. dan para shahabatnya yang telah membaktikan hidup­nya kepada Allah. Mereka beruntung telah menemui-Nya sebelum pintu dunia dibukakan bagi Kaum Muslimin dan sebelum harta kekayaan diserahkan ke tangan mereka. Dengarkanlah pembicaraannya dengan para pengunjung yang datang menjenguknya ketika ia r.a. dalam sakit yang mem­bawa ajalnya. Kata mereka kepadanya: “Senangkanlah hati anda wahai Abu Abdillah, karena anda akan dapat menjumpai teman-­teman sejawat anda !”

Maka ujarnya sambil menangis: “Sungguh, saya tidak merasa kesal atau kecewa, tetapi tuan-tuan telah mengingatkan saya kepada para shahabat dan sanak saudara yang telah pergi mendahului kita dengan membawa semua amal bakti mereka, sebelum mereka men­dapatkan ganjaran di dunia sedikit pun juga . . . ! Sedang kita .. , kita masih tetap hidup dan beroleh kekayaan dunia, hingga tak ada tempat untuk menyimpannya lagi kecuali tanah.”

Kemudian ditunjuknya rumah sederhana yang telah dibangunnya itu, lalu ditunjuknya pula tempat untuk menaruh harta ke­kayaan, Serta katanya: “Demi Allah, tak pernah saya menutupnya walau dengan sehelai benang, dan tak pernah saya halanginya terhadap yang meminta …! Dan setelah itu ia menoleh kepada kain kafan yang telah disediakan orang untuknya. Maka ketika dilihatnya mewah dan berlebih-lebihan, katanya sambil mengalir air matanya: “Lihatlah ini kain kafanku …! Bukankah kain kafan Hamzah paman Rasulullah saw. ketika gugur sebagai salah seorang syuhadah hanyalah burdah ber­warna abu-abu, yang jika ditutupkan ke kepalanya terbukalah kedua ujung kakinya, sebaliknya bila ditutupkan ke ujung kakinya, terbukalah kepalanya   …!”

Khabbab berpulang pada tahun 37 Hijriah. Dengan demikian ahli membuat pedang di masa jahiliyah telah tiada lagi. Demikian halnya guru besar dalam pengabdian dan pengurbanan dalam Islam telah berpulang …. ! Laki-lali yang termasuk dalam jama’ah yang diturunkan al­Quran untuk membelanya, dan yang dilindungi sewaktu sebagi­an para bangsawan Quraisy menuntut agar Rasulullah saw. me­nyediakan untuk menerima mereka pada suatu hari tertentu, sedang bagi orang-orang miskin seperti Khabbab, Shuhaib dan Bilal suatu hari tertentu pula ….

Kiranya al-Qur anul Karim merangkul laki-laki hamba Allah itu dengan penuh kemuliaan dan kehormatan, sementara ayat-­ayatnya berkumandang menyatakan kepada Rasul yang mulia seperti berikut: Dan janganlah engkau mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya sepanjang pagi dan petang, mereka itu meng­hamp keridlaan-Nya . – . ! Engkau sedikit pun tidak di­minta pertanggungjawaban – yang menjadi perhitungan bagi mereka. Begitu pun perhitungan bagimu tidak akan dimintakan tanggung jawab mereka sedikit pun. Apabila engkau mengusir mereka, pasti engkau termasuk orang­orang dhalim.

Demikianlah Kami uji sebagian mereka dengan sebagian lainnya, sehingga mereka berkata: Itukah orang-orang yang diberi karunia oleh Allah di antara kita … ? (Allah berfirman): Tidakkah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur … ? Dan jika datang kepadamu orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, ucapkanlah kepada mereka: Selamat bahagia bagi kalian, Tuhan kalian telah mewajib­kan diri-Nya rasa kasih sayang.
(Q.s.6 al-An’am: 52 — 54)

Demikianlah setelah turunnya ayat ini, maka Rasulullah saw. amat memuliakan mereka, dibentangkannya untuk mereka kainnya, dan dirangkulnya bahu mereka Serta sabdanya: “Selamat datang bagi orang-orang yang diriku diberi washiat oleh Allah untuk memperhatikan mereka … !”

Sungguh, salah seorang putera terbaik dari masa wahyu dan generasi pengurbanan telah wafat Mungkin kata-kata terbaik yang kita ucapkan untuk melepas tokoh ini, ialah apa yang diucapkan oleh Imam Ali karamallahu wajhah ketika ia kembali dari perang Shiffin dan kebetulan pandangannya jatuh atas sebuah makam yang basah dan segar, maka tanyanya: “Makam siapa ini . . . ?” “Makam Khabbab”, ujar mereka. Maka lama sekali ia merenunginya dengan hati khusyu‘ dan duka, lalu katanya:

“Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Khabbab, Yang dengan ikhlas menganut Islam dengan penuh se­mangat ….
Mengikuti hijrah sernata-mata karena taat ….

(16)  
KHABBAAB IBN AL-ARAT  
A Master in the Art of Self-Sacrifice 

        A group of the Quraish hastened to Khabbaab's house to take the swords they had asked him to make. Khabbaab was a swordmaker who sold his wares to the people of Makkah or sent them to its market.  

        It was not like Khabbaab to leave his house and work; therefore, the Quraish sat there and waited for his return. After a long time, Khabbaab arrived. His face was bright with questions, and his eyes were filled with graceful tears. He immediately greeted his guests and sat down. They asked him in a hurry, ''Khabbaab, did you finish making our swords?! There were no more tears in his eyes. Instead, his eyes were filled with bright delight. He spoke as if to himself, "It makes me wonder!"  

        His clients asked him, `What makes you wonder? We ask you about our swords. Did you finish them?!'  

        Khabbaab gazed at them as if he were hypnotized. Then he asked them, "Did you see him? Did you hear him?" They looked at one another in astonishment. Then one of them asked slyly, "Did you see him Khabbaab?" Khabbaab asked, "Whom do you mean?" turning the tables on him. The man answered, irritatedly, "I mean the same person that you mean!"  

        Khabbaab answered after he had exhibited his invulnerability to their attempts to wrest information from him. He wanted to prove to them that if he were to confess his faith before them, he would announce it in public and would not be duped or led on. He would announce his Islam because he saw and embraced what was right.  

        He was still suspended in his ecstasy and spiritual upliftment when he answered, "Yes, I did see and hear him. As a matter of fact, I have seen him enveloped and illuminated by truth."  

        Suddenly, the Quraishi clients began to realize what he meant; therefore one of them shouted, "Who are you talking about, you slave of Umm `Ammaar?" Khabbaab answered with saintly quietude, "Who else but the brother Arab. Who else of your people is enveloped and illuminated by truth?"  

        Another shouted and jumped in terror, "Do you mean Muhammad? "Khabbaab nodded in satisfaction and said, "Yes, he is the Messenger of Allah to us, to bring us out of the darkness of disbelief into the light of belief."  

        No sooner had he finished these words than he fell unconscious. The only thing he remembered was waking up after long hours to find his clients gone and his body full of bleeding bruises and wounds! Nevertheless, his wide eyes encompassed his surroundings as if the place was too narrow for his penetrating stare. Despite the pain, he rose and went into the open, limping his way out of his house, leaning on the wall.  

        His noble eyes embarked on a long, perpetual journey roaming about the horizon. He was not searching for the familiar dimensions of people, but rather for the missing dimension. Indeed, his eyes traveled in search of the missing dimension in his life, in Makkah, and in the life of people everywhere and at all times. He wondered if what he had heard from the Prophet on that day was the light that leads to the missing dimension in the life of all people.  

Khabbaab was wrapped in sublime contemplation and deep thought. Then he went home to treat his wounds and prepare himself for a new round of torture and pain.  

        From that day, Khabbaab occupied a foremost place among the oppressed and tortured who, notwithstanding their poverty and weakness, rose against the Quraish's haughtiness, tyranny, and madness. He was high in rank among those believers who were devoted to the standard of Islam that fluttered on the boundless horizon. It sounded the end of the era of paganism and despotism to announce the dawn of a new world, the sovereign of which is Allah, Who is worshipped alone by people who obey Him and do righteous deeds sincerely for His sake, and not to show off or set up rivals with Him in worship. Moreover, it announced the glad tidings of the emergence of the weak and oppressed people who would stand up as one man under the standard of Islam and would stand on equal terms with those who used and abused them in the past. Khabbaab withstood the consequences that ensued after embracing Islam with an outstanding courage that was becoming of a pioneer of Islam. Ash-Sha'biy narrated,  

        "Khabbaab withstood all the horrors that the polytheists exposed him too. They went so far as to place burning stones onto his naked back until his flesh came off." Indeed, Khabbaab had his share of horrible torture, yet his resistance and patience were extraordinary. For instance, the polytheists of the Quraish turned all the iron they could find in Khabbaab's place - which he had used to make swords - into fetters and chains. They put them under the fire until they blazed, then chained his body, hands, and legs with them.  

        One day, Khabbaab went with some of his oppressed brethren to the Prophet (PBUH) and said, "O Messenger of Allah, please ask Allah to bestow his victory and safety on us." This was an expression of hope in Allah's safety rather than of faint-heartedness and feebleness.  

        Now, let us hear the story as told by Khabbaab himself: One day, we went to the Prophet and found him laying his head on a garment in the shade of the Ka'bah, so we said to him, "O Messenger of Allah, we hope that you will ask Allah to bestow His victory and safety on us." Instantly, the Prophet sat up, and his face reddened as he said, "Not a long time ago, men like you who believed in Allah used to be dragged into a ditch where they were sawed from the head downwards, yet this didn't make them turn back from their religion. They also used to comb them with iron combs that split their flesh and bones, yet they didn't turn their backs on their religion. Believe me, Allah will put an end to all your sufferings and grant you victory so much so that one day, a man will travel from San'aa' to Hadramawt and fear no one but Allah and the wolf, lest it should devour his sheep. But you have no patience."  

        As soon as Khabbaab and his comrades heard these words, they seemed to have reached the apex of certainty and determination. Therefore, they decided to show Allah and the Prophet (PBUH) nothing but will, patience, and self-sacrifice. Khabbaab then walked patiently yet decidedly into the dungeons of hell.  

        The Quraish were maddened by his steadfastness and endurance; therefore, they decided to seek the help of his former slave mistress, Umm Ammaar, who became Khabbaab's principal torturer. For instance, she used to place burning iron on Khabbaab's head, yet Khabbaab deliberately controlled himself so as to deprive his torturer of the joy of hearing him moan. One day, the Prophet (PBUH) saw his head burned and blackened by the hot iron. His heart was full of sympathy and anguish, but there was nothing that he could do at that time but to supplicate Allah to our forth patience on him and strengthen his faith. Thus the Prophet (PBUH) raised his hands and supplicated,"Allah, make Khabbaab victorious over the disbelieving people."  

        Allah brought it about a few days later. Retaliation befell Umm `Ammaar as if destiny meant it as an ultimatum to the rest of the torturers. She suffered a peculiar, acute rabies attack that made her, according to historians, bark like dogs. At that time, she was told that the only cure for her ordeal was to cauterize her head. Finally, her stubborn head burned day and night with burning iron.  

 All in all, the Quraish fought faith with torture, while the believers fought torture with self-sacrifice. Khabbaab was one of those whom Allah had chosen to take their place among the masters of self-denial and sacrifice.  

        Not only had Khabbaab (May Allah be pleased wih him) devoted his time to the service of the new religion, but also to worshiping, praying, and instucting. He used to visit his brothers who hid their Islam in dread of the Quraish's tyranny and despotism. There, he used to read the Qur'aan and instruct them. He was, truly, a genius in studying every surah and verse in the Qur'aan. Even `Abd Allah Ibn Mas'uud, whom the Prophet praised by saying, "He who wants to read the Qur'aan in exactly the same way it descended on me, should imitate lbn Umm `Abd", considered Khabbaab as a reference to all that concerns the Qur'aan, whether as a text or a textbook.  

        Khabbaab was the one who was teaching the Qur'aan to Faatimah Bint Al-Khattaab and her husband Sa'iid Ion Zaid, when `Umar Ibn Al-Khattaab thrust his way right into their house with unsheathed sword so as to settle his account with Islam and the Prophet (PBUII). Allah willed that as soon as `Umar heard the verse in the scroll being recited in a slow and pleasant voice by Khabbaab, he cried out, "Tell me where Muhammad is!" when Khabbaab heard `Umar's words, he came out of his hiding place and said, "`Umar, by Allah, I do hope that Allah chose you to fulfil the Prophet's supplication. For yesterday, I heard the Prophet say, `Allah, please support Islam with whom You love best, either Abi Al-Hakam Ibn Hishaam or `Umar Ibn Al- Khabbaab."' `Umar repeated his question, "Where is Muhammad now?" Khabbaab answered, "At As-Safaa in Daar Al-Arqam Ibn Abi Arqam." At that very moment, `Umar ascended towards his great fortune and blessed destiny.  

        Khabbaab witnessed all the battles and wars side by side with the Prophet. He treasured his faith and certainty throughout his life.  

        When the Muslim treasury (Bait Al-Maal) overflowed with money during the caliphates of `Umar and `Uthmaan (May Allah be pleased with them both), Khabbaab had a large salary as one of the foremost Muslim Muhaajiruun.  

        This abundant income enabled Khabbaab to build himself a house in Kufa. He used to put his money where all his friends, visitors, and those in need could find it. Nevertheless, whenever the Prophet (PBUH) and the Companions who sacrificed their lives for Allah and met Him before the Muslims became victorious and wealthy were mentioned, his eyes filled with tears and he became sleepless.  

        Listen to him talking to his brothers who came to visit him on his deathbed. They said, "Be content, Abu `Abd Allah; you will meet your brothers tomorrow." His eyes flowed with tears as he answered, "I am not crying out of fear of death, but you reminded me of the brothers who left this life without enjoying any of its splendor or luxury, yet we have lived on until we have sucked in its splendor and wealth to the extent that we placed this wealth on the sand," and he pointed to his newly-built humble house. Then he pointed to the place where he kept his money and exclaimed, `By Allah, I have never refused to give it to anyone who asked me for it, as if the strings were his." Then he looked upon his shroud and said weeping, "Look, this is my shroud." He considered it extravagant and luxurious. He then said, "Yet Hamzah the Prophet's uncle, on the day of his martyrdom had nothing to be used for a shroud but a torn garment which if placed on his head, would show his feet, and if placed on his feet, would show his head."  

        Khabbaab died in A.H. 37. Alas, the swordmaker in paganism died. The master of self-denial and sacrifice in Islam died. He was one of the group of believers in whose defense the Qur'aan descended on the Prophet when the elite of the Quraish pleaded with the Prophet to assign a day for them and another for the poor Muslims like Khabbaab, Suhaib and Bilaal. However, the great Qur'aan embraced those men of Allah to honor and glorify, and these verses descended on the noble Prophet: "And turn not away those who invoke their Lord, morning and afternoon, seeking His Face. You are accountable for them in nothing, and they are accountable for you in nothing, that you may turn them away and thus become of the Zalimun (unjust). Thus We have tried some of them with others, that they might say: "Is it these (poor believers) that Allah has favoured from amongst us?" Does not Allah know best those who are grateful? When those who believe in our Ayat (verses) come to you, say: "Salamun `Alaikum" (peace be on you); your Lord has written Mercy for Himself" (6 : 52).  

        Thus, whenever the Prophet saw them after the descent of these verses, he took special care to honor them, so much so that he spread out his garment so that they would sit on it next to him and patted them on their shoulders saying, "I welcome you whom Allah enjoined me to favor.  

 It was indeed a tragic loss when one of the pious, noble, and legitimate sons of revelation and the generation of sacrifice died.  

        All in all, perhaps the best farewell to Khabbaab was the words of Imam `Aliy (May Allah be pleased with him) when he was on his way back from siffiin and saw a recently dug moist grave and asked about the deceased.  

        They answered, `It is Khabbaab's grave." Then he contemplated in reverence and sorrow, "O Allah, bestow Your mercy on Khabbaab, for You know that he was a true Muslim, an obedient Muhaajir and a determined mujaahid who strove hard in the cause of Allah."  

.¤ª"˜¨¯¨¨Khabbab Bin Arats oKhabaab Ibn Al-Arat¸,ø¨¨"ª¤.





Categories: