acebook




.¤ª"˜¨¯¨¨Suheil Bin 'Amar oo Suhail Ibn 'Amr¸,ø¨¨"ª¤. 
Dari kumpulan orang yang dibebaskan,
masuk golongan para pahlawan. 



Tatkala ia jatuh menjadi tawanan Muslimin di perang Badar, Umar bin Khatthab r.a. mendekati Rasulullah saw. katanya:  ”Wahai Rasulullah . . . , biarkan saya cabut dua buah gigi muka Suheil bin ‘Amar hingga ia tidak dapat berpidato men­jelekkan anda lagi setelah hari ini . . . !”
Ujar Rasulullah saw.: 
 ”Jangan wahai Umar! Saya tak hendak merusak tubuh seseorang, karena nanti Allah akan merusak tubuhku, walaupun saya ini seorang Nabi … !”

 Kemu­dian Rasulullah menarik Umar ke dekatnya, lalu katanya:  ”Hai Umar! Mudah-mudahan esok, pendirian Suheil akan berubah menjadi seperti yang kamu sukai . . . !”Hari-hari pun berlalu, hari berganti hari dan nubuwat Rasulullah muncul menjadi kenyataan . . . . Dan Suheil bin ‘Amar seorang ahli pidato Quraisy yang terbesar, beralih menjadi seorang ahli pidato ulung di antara ahli-ahli pidato Islam . . , serta dari seorang musyrik yang fanatik berbalik menjadi seorang Mu’min yang taat, yang kedua matanya tak pernah kering dari menangis disebabkan takutnya kepada Allah . .. ! 

Dan salah seorang pemuka Quraisy serta panglima tentaranya berganti haluan menjadi prajurit yang tangguh di jalan Islam . . . , seorang prajurit yang telah berjanji terhadap dirinya akan selalu ikut berjihad dan berperang, sampai ia mati dalam peperangan itu, dengan harapan Allah akan mengampuni dosa-dosa yang telah diperbuatnya . – - !Nah, siapakah dia orang musyrik berkepala batu yang kemu­dian menjadi seorang Muslim yang bertaqwa dan menemui syahidnya itu . . . ? Itulah dia Suheil bin ‘Amar . . . ! Salah seorang pemimpin Quraisy yang terkemuka dan cerdik pandai­nya yang dapat dibanggakan. Dan dialah yang diutus oleh kaum Quraisy untuk meyakinkan Nabi agar membatalkan rencananya memasuki Mekah waktu periatiwa Hudaibiyah … !

Di akhir tahun keenam Hijrah, Rasulullah saw. bersama para shahabatnya pergi ke Mekah dengan tujuan berziarah ke Baitullah dan melakukan ‘umrah  jadi bukan dengan maksud hendak berperang, tanpa mengadakan persiapan untuk pepe­rangan.Keberangkatan mereka ini segera diketahui oleh Quraisy, hingga mereka pergi menghadang mereka hendak menghalangi Muslimin mencapai tujuan mereka. Suasana pun menjadi tegang dan hati Kaum Muslimin berdebar-debar. Rasulullah berkata kepada para shahabatnya: — “Jika pada waktu ini Quraisy mengajak kita untuk mengambil langkah ke arah dihubungkan­nya tali silaturahmi, pastilah kukabulkan … !”Quraisy pun mengirim utusan demi utusan kepada Nabi saw. 

Semua mereka diberinya keterangan bahwa kedatangannya bukanlah untuk berperang, tetapi hanyalah untuk mengunjungi Baitullah al-Haram dan menjunjung tinggi upacara-upacara kebesarannya.Dan setiap utusan itu kembali, Quraisy mengirim lagi utusan yang lebih bijak dan lebih diaegani, hingga sampai kepada ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi, seorang yang lebih tepat untuk diaerahi tugas seperti ini. Menutut anggapan Quraisy ia akan mampu meyakinkan Rasulullah untuk kembali pulang. Tetapi tak lama antaranya ‘Urwah telah berada di hadapan mereka, katanya:“Hai manalah rekan-rekanku kaum Quraisy . . . ! Saya sudah pernah berkunjung kepada Kaisar, kepada Kisra dan kepada Negus di iatana mereka masing-masing …. Dan sungguh demi Allah, tak seorang raja pun saya lihat yang dihormati oleh rakyat­nya, seperti halnya Muhammad oleh Para shahabatnya . . . ! 

Dan sungguh, sekelilingnya saya dapati suatu kaum yang sekali-­kali takkan rela membiarkannya dapat cedera . . . ! Nah, per­timbangkanlah apa yang hendak tuan lakukan masak-masak … ! “Saat itu orang-orang Quraisy pun merasa yakin bahwa usaha­-usaha mereka tak ada faedahnya, hingga mereka memutuskan untuk menempuh jalan berunding dan perdamaian. Dan untuk melaksanakan tugas ini mereka pilihlah pemimpin mereka yang lebih tepat …. tiada lain dari Suheil bin ‘Amar ….Kaum Muslimin melihat Suheil datang dan mengenal siapa dia.

 Maka maklumlah mereka bahwa orang-orang Quraisy akhir­nya berusaha untuk berdamai dan mencapai Saling pengertian, dengan alasan bahwa yang mereka utus itu ialah Suheil bin ‘Amar … !Suheil duduk berhadapan muka dengan Rasulullah, dan terjadilah perundingan yang berlangsung lama di antara mereka, yang berakhir dengan tercapainya perdamaian. Dalam perunding­an ini Suheil berusaha hendak mengambil keuntungan sebanyak-­banyaknya bagi Quraisy. Didukung Pula oleh toleransi luhur dan mulia dari Nabi saw. yang mendasari berhasilnya perdamaian tersebut.Dalam pada itu waktu berjalan terus, hingga tibalah tahun ke delapan Hijriyah …. dan Rasulullah bersama Kaum Muslimin berangkat untuk membebaskan Mekah, yaitu setelah Quraisy melanggar perjanjian dan ikrar mereka dengan Nabi saw. serta orang-orang Muhajirin pun kembalilah ke kampung halaman mereka setelah mereka dulu diusir daripadanya dengan paksa. 

Bersama mereka ikut Pula orang-orang Anshar, yakni yang telah membawa mereka berlindung di kota mereka, serta mengutama­kan mereka dari diri mereka sendiri …. Kembalilah Pula Islam secara keseluruhannya, mengibarkan panji-panji kemenangannya di angkasa luas …. Dan kota Mekah pun membukakan semua pintunya . . . . Sementara orang-orang musyrik terlena dalam kebingungannya ….Nah, menurut perkiraan anda, apakah nasib yang akan ditemui sekarang ini oleh orang-orang itu, yakni orang-orang yang telah menyalah-gunakan kekuatan mereka selama ini ter­hadap Kaum Muslimin, berupa siksaan, pembakaran, pengucilan dan pembunuhan … ?

Rupanya Rasulullah yang amat pengasih itu tak hendak membiarkan mereka meringkuk demikian lama di bawah tekanan perasaan yang amat pahit dan getir ini. Dengan dada yang lapang dan sikap yang lunak dan lembut, dihadapkan wajahnya kepada mereka sambil berkata, sementara getaran dan irama suaranya yang bagai menyiramkan air kasih sayang berkumandang di telinga mereka:“Wahai segenap kaum Quraisy . . . ! Apakah menurut sangkaan kalian, yang akan aku lakukan terhadap kalian?”Mendengar itu tampillah musuh Islam kemarin Suheil bin ‘Amar memberikan jawaban:“Sangka yang baik . . . ! Anda adalah saudara kami yang mulia …. dan putera saudara kami yang mulia … !”

Sebuah senyuman yang bagaikan cahaya, tersungging di kedua bibir Rasulullah kekasih Allah itu, lalu serunya:“Pergilah kalian … ! Semua kalian bebas . . . ! “Ucapan yang keluar dari mulut Rasulullah yang baru saja memperoleh kemenangan ini tidaklah akan diterima begitu saja oleh orang yang masih mempunyai perasaan, kecuali dengan hati yang telah menjadi peleburan dan perpaduan antara rasa malu, ketundukan dan penyesalanPada saat itu juga, suasana yang penuh dengan keagungan dan kebesaran ini telah membangkitkan semua kesadaran Suheil bin ‘Amar, menyebabkannya menyerahkan dirinya kepada Allah Robbul ‘Alamin.

 Dan keislamannya itu, bukanlah keislaman seorang laki-laki yang menderita kekalahan lalu menyerahkan dirinya kepada taqdir  saat itu juga.  Tetapi  sebagaimana akan ternyata di belakang nanti — adalah keislaman seseorang yang terpikat dan terpesona oleh kebesaran Nabi Muhammad saw. dan kebesaran Agama yang diikuti ajaran-ajarannya oleh Nabi Muhammad, dan yang dipikulnya bendera dan panji-panjinya dengan rasa cinta yang tidak terbeda … !

Orang-orang yang masuk Islam di hari pembebasan kota Mekah itu disebut “thulaqa’ ”artinya orang-orang yang dibebas­kan dari segala hukum yang berlaku bagi orang yang kalah perang, karena mereka mendapat amnesti dan ampunan dari Rasulullah itulah, dengan kesadaran sendiri berpindah aqidah dari kemusyrikan ke Agama tauhid, yakni ketika beliau bersabda:  ”Pergilah tuan-tuan . . . ! Tuan-tuan semua bebas … !”Tetapi dari segolongan orang-orang yang dibebaskan ini karena ketulusan hati mereka, kebulatan tekad dan pengurbanan yang tinggi serta ibadat dengan hati yang suci mengantarkan mereka kepada barisan pertama dari shahabat-shahabat Nabi yang budiman. Maka di antara mereka itu terdapatlah Suheil bin ‘Amar.Agama Islam telah menempa dirinya secara baru. Dicetaknya semua bakat dan kecenderungannya dengan menambahkan yang lainnya, lalu semua itu dipacunya untuk menegakkan kebenaran, kebaikan dan keimanan . . . . Orang-orang melukiskan sifatnya dalam beberapa kalimat: “Pemaaf, pemurah . . . , banyak shalat, shaum dan bersedekah . . . serta membaca al-Quran dan menangis disebabkan takut kepada Allah … !”

Demikianlah kebesaran Suheil! 

Walaupun ia menganut Islam di hari pembebasan dan bukan sebelumnya, tetapi kita lihat dalam keislaman dan keimanannya itu ia mencapai kebenaran tertinggi,  sedemikian tinggi hingga dapat menguasai keseluruhan dirinya dan merubahnya menjadi seorang ‘abid dan zahid, dan seorang mujahid yang mati-matian berqurban di jalan Allah. Dan tatkala Rasulullah berpulang ke Rafiqul Ala, demi berita itu sampai ke Mekah waktu itu Suheil sedang bermukim di sana , Kaum Muslimin yang berada di sana menjadi resah dan gelisah serta ditimpa kebingungan, seperti halnya saudara­saudara mereka di Madinah.Maka seandainya kebingungan kota Madinah dapat dilenyap­kan ketika itu juga oleh Abu Bakar r.a. dengan kalimat-kalimat­nya yang tegas:“Barang siapa yang mengabdi kepada Nabi Muhammad maka sesungguhnya Nabi Muhammad telah wafat! 

Dan barang si­apa yang mengabdi kepada Allah, maka sesungguhnya Allah tetap hidup dan takkan mati untuk selama-lamanya … !”Kita akan sama kagum dan terpesona melihat bahwa Suheil r.a., dialah yang tampil di Mekah, dan melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Abu Bakar di Madinah.Dikumpulkannya seluruh penduduk, lalu berdiri memukau mereka dengan kalimat-kalimatnya yang mantap, memaparkan bahwa Muhammad itu benar-benar Rasul Allah dan bahwa ia tidak wafat sebelum menyampaikan amanat dan melaksanakan tugas risalat. Dan sekarang menjadi kewajiban bagi orang-orang Mu’min untuk meneruskan perjalanan menempuh jalan yang telah digariskannya.

Maka dengan langkah dan tindakan yang diambil oleh Suheil ini, serta dengan ucapannya yang tepat dan keimanannya yang kuat, terhindariah fitnah yang hampir saja menumbangkan keimanan sebagian manusia di Mekah ketika mendengar wa­fatnya Rasulullah … !Dan pada hari itu pula, lebih dari saat-saat lainnya, ter­pampanglah secara gemilang kebenaran dari nubuwat Rasulullah saw 

Bukankah telah dikatakannya kepada Umar ketika ia meminta idzin untuk mencabut dua buah gigi muka dari Suheil sewaktu tertawannya di perang Badar: “Jangan, karena mungkin pada suatu ketika kamu akan menyenanginya … !”Nah, pada hari inilah dan ketika sampai ke telinga Kaum Muslimin di Madinah tindakan yang diambil Suheil di Mekah serta pidatonya yang mengagumkan yang mengukuhkan keimanan dalam hati, teringatlah Umar bin Khatthab akan Ramalan Rasulullah …. Lama sekali ia tertawa, karena tibalah hari yang dijanjikan itu, di saat Islam memperoleh man’faat dari dua buah gigi Suheil yang sedianya akan dicabut dan dirontok­kannya … !Di saat Suheil masuk Islam di hari dibebaskannya kota Mekah . . . . Dan setelah ia merasakan manisnva iman, la berjanji terhadap dirinya yang maksudnya dapat disimpulkan pada kalimat-kalimat berikut ini:  ”Demi Allah, suatu suasana yang saya alami bersama orang-orang musyrik, pasti akan saya alami pula seperti itu bersama Kaum Muslimin!

 Dan setiap nafkah yang saya belanjakan bersama orang-orang musyrik, pasti akan saya belanjakan pula seperti itu bersama Kaum Mus­limin! Semoga perbuatan-perbuatan saya belakangan ini akan dapat mengimbangi perbuatan-perbuatan saya terdahulu … ! “Dahulu dengan tekun ia berdiri di depan berhala-berhala. Maka sekarang la akan berbuat lebih dari itu berdiri di hadapan Allah Yang Mafia Esa bersama orang-orang Mu’min . . . ‘ Itulah sebabnya ia terus shalat dan shalat …. tekun shaum dan shaum . . . segala macam ibadat yang dapat mensucikan jiwa dan mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala, pasti dilakukannya sebanyak-banyaknya … !

Demikian pula di masa silam, ia berdiri di arena peperangan bersama orang-orang musyrik menghadapi Islam! Maka sekarang ia harus tampil di barisan tentara Islam sebagai prajurit yang gagah berani, untuk memadamkan bersama para pendekar kebenaran, perapian Nubhar yang disembah oleh orang-orang Persi, dan mereka bakar di dalamnya saji-sajian rakyat yang mereka perbudak . . . , serta melenyapkan pula bersama para pendekar kebenaran itu kegelapan bangsa Romawi dan ke­dhaliman mereka, dan menyebarkan kalimat tauhid dan taqwa ke pelosok-pelosok dunia … !

Maka pergilah ia ke Syria bersama tentara Islam untuk turut mengambil bagian dalam peperangan-peperangan di sana. Tidak ketinggalan pada pertempuran Yarmuk, saat Kaum Muslimin menerjuni pertarungan yang terdahsyat dan paling sengit yang pernah mereka alami ….Hatinya bagaikan terbang kegirangan karena mendapatkan kesempatan yang amat baik ini, guna menebus kemusyrikan dan kesalahan-kesalahannya di masa jahiliyah dengan jiwa­ raganya.Suheil amat mencintai kampung halamannya Mekah, sampai lupa cinta yang dapat mengurbankan dirinya . . . . Walaupun demikian, ia tak hendak kembali ke sana setelah kemenangan Kaum Muslimin di Syria, katanya “Saya dengar Rasulullah saw. bersabda:“Ketekunan seseorang pada sesuatu saat dalain perjuangan di jalan Allah, lebih baik baginya daripada awal sepanjang hidupnya … ! ” Hadits.Maka sungguh saya akan berjuang di jalan Allah sampai mati, dan takkan kembali ke Mekah . . . !”

Suheil memenuhi janjinya ini . . . . Dan tetaplah ia berjuang di medan perang sepanjang hayatnya, hingga tiba saat keberang­katannya. Maka ketika ia pergi segeralah ruhnya terbang men­dapatkan rahmat dan keridlaan Allah … !



SUHAIL IBN `AMR  
From Liberation to Martyrdom 

        When he was captured into the hands of the Muslims in the Battle of Badr, `Umar Ibn Al-Khattaab approached the Messenger of Allah (PBUH) and said, "O Messenger of Allah, let me extract the teeth of Suhail Ibn `Amr until no speaker stands against you after today."  
     
  The great Messenger responded, "No, `Umar. I do not treat anyone harshly so Allah will not harm me, even though I am a Prophet." Then `Umar came nearer to him and the Prophet said, "Perhaps Suhail will take a stand tomorrow that will make you happy."  

       So the prophecy of the Messenger came true. The greatest orator of the Quraish, Suhail Ibn `Amr, changed into a brilliant and dazzling speaker of Islam. This polytheist who was always against Islam changed into an obedient believer. His eyes never stopped crying out of fear of Allah. One of the senior chiefs of the Quraish and a leader of its army changed into a very hard fighter in the path of Islam, a fighter who vowed to himself to be persistent and to persevere in courage, self-control, and fighting until he died on that path, so that perhaps Allah would forgive his previous sins.  

        So who was that obstinate polytheist ? He was Suhail Ibn `Amr, one of the prominent leaders of the Quraish, and one of its wise men and people of intelligence and discernment.  
     
  He was the one whom the Quraish appointed to convince the Messenger to change his mind and refrain from entering Makkah in the year of Hudaibiyah. At the end of A.H. 6, the Messenger and his Companions went out to Makkah to visit the Sacred House and to perform `Umrah. They did not want war and they were not prepared to fight.  
   
     The Quraish knew they were on their way to Makkah, so they went out to block the way and stop them from achieving their objective. The situation became critical and hearts became tense. The Messenger said to his Companions, "The Quraish do not call me today to a plan but ask me instead about the bonds of kinship. So I gave them to them."  

       The Quraish began to send their messengers and representatives to the Prophet, so he informed all of them that he did not come to fight but to visit the Sacred House and glorify its sacredness. Each time one of their representatives returned, they sent another after him more vigorous and unyielding and stronger in persuasion, until they chose `Urwah Ibn Mas'uud Ath-Thaqafiy. He was among the strongest and cleverest of them. The Quraish thought that `Urwah would be able to convince the Messenger to go back; however, he quickly came back to them saying, "O people of Quraish, indeed I went to the Persian emperor in his kingdom and Caesar in his kingdom and the Negus in his kingdom, but, by Allah, I swear I never saw a king whose people magnify him as the Companions of Muhammad magnify him. I saw around him a people that shall never surrender to evil. So, what will you do and what is your opinion?" 

 At that time the Quraish believed that there was no way for their attempts to succeed, so they decided to resort to negotiation and reconciliation. They chose for this task the most suitable of their chiefs. He was Suhail Ibn `Amr.  

        The Muslims saw Suhail coming towards them and recognized him and realized that the Quraish preferred the way of peace making and mutual understanding when at last they sent Suhail. Suhail sat in front of the Messenger, and a long dialogue took place ending with a peace treaty. Suhail attempted to gain much for the Quraish. The tolerant leniency, noble-mindedness, and excellent manner in which the Messenger managed the negotiations and peace making helped him in achieving that.  Days passed until A.H. 8 came. The Messenger and the Muslims went out for the conquest of Makkah after the Quraish had violated its treaty with the Messenger of Allah.  

        The Muhaajiruun returned to their homes which earlier they had been expelled from by force. They returned and with them the Ansaar, who had taken care of them in their city and preferred them over themselves.  
      
 With its flags fluttering victoriously in the sky, Makkah opened all of its gates and the polytheists were stopped in bewilderment. What would be their destiny and fate today, since they were the ones who had done wrong to the Muslims previously by killing them, burning them, torturing them, and starving them? The merciful Prophet (PBUH) did not want to leave them for long under the pressure of these debilitating feelings. He received them and turned to them in a good and noble manner and said to them with his merciful voice flowing tenderly and lovingly, "O people of Quraish, what do you think I will do with you?"  

        At that time the enemy of Islam in the past, Suhail lbn `Amr, stepped forward and answered, ''We think you will treat us well, O noble brother and son of a noble brother."  

        A smile formed from light appeared on the lips of the Beloved of Allah and he called to them, "Go, you are free, liberated." These words did not come from the victorious, triumphant Messenger except to change human beings with living feelings by melting them to obedience, humility, and repentance. At the same moment, this situation, filled with nobility and glory, stimulated all of Suhail lbn `Amr's feelings, so he surrendered to Allah, the Lord of the Worlds.His Islam, at that time, was not the surrender of a defeated man, resigned to fate. It was, as his future shall reveal in what follows, the surrender of a man overwhelmed and fascinated by the majesty of Muhammad and the grandeur of the religion that Muhammad demonstrated in his conduct in conformity with its teachings and instructions. These teachings, as he saw them, conveyed extraordinary benevolence, friendship, and devotion.  

        Those who announced their Islam on the Day of the Conquest of Makkah were designated with the name "At-Tulaqaa"' or those who were transferred by the forgiveness of the Prophet from polytheism to Islam when he said to them, "Go, you are free." Consequently, some persons from among those Tulaqaa' (or those who were liberated) were raised by their sincerity to a far distant horizon of sacrifice, worship, and purity which placed them in the first rank of the Prophet's righteous and devoted Companions. Among these was Suhail Ibn `Amr.  
      
 Islam molded and fashioned him afresh and refined all of his original skills and gifts and, what is more, increased them and placed all of them at the service of truth, goodness, and faith. They described him in these words: "The kind, generous, outstanding one. The one who performs prayer much and fasts and gives in charity and reads the Qur'aan and crys out of fear of Allah."


       That was the greatness of Suhail. For in spite of the fact that he accepted Islam on the Day of the Conquest of Makkah, and not before that, we see him truthfully affirming his Islam and its certainty, to the extent that he excelled in it with distinction, exerting himself with all his heart. He was transformed into a worshiper, self-denying and abstenious, and into one who sacrifices and strives in the path of Allah and Islam.  

        When the Messenger was transported to the company of the Most High, the news soon reached Makkah. Suhail at that time was residing there, and the Muslims were overwhelmed by agitation and perplexity, just as the Muslims were in Al-Madiinah. However, the confusion of Al-Madiinah was dissipated by Abu Bakr at that time by his decisive words: "Whoever worships Muhammad, know that Muhammad is dead; and whoever worships Allah, indeed Allah is living and never dies."  

  So we were amazed when we saw Suhail holding the same position in Makkah as Abu Bakr in Al- Madiinah. He gathered all of the Muslims there, and he stood dazzling them with his salutorious words, informing them that Muhammad was truly the Messenger of Allah and that he did not die until he had executed his trust and conveyed the message and that the duty of the believers towards this message was to assiduously devote all their efforts to it in pursuance of his methodology and approach.  
    
    On account of Suhail's position and his rightly directly words and strong faith, he warded off the discord and civil strife which almost extirpated and uprooted the faith of the people of Makkah when the news of the death of the Messenger reached them.  

        Did not he, the Messenger, say to Umar on the day `Umar asked the Prophet (PBUH) for permission to pull out the two teeth of Suhail when he was taken prisoner at Badr, "Leave them, perhaps they will make you happy one day."  

        So on the day when the news of the position of Suhail in Makkah and his dazzling speech which made the faith firm in the Muslims' hearts reached the Muslims in Al-Madiinah, `Umar Ibn Al Khattaab remembered the prophecy of his Messenger and laughed a long time, for the day had come in which Islam benefited from the two teeth of Suhail which `Umar had wanted to crush and tear out. When Suhail accepted Islam on the Day of the Conquest of Makkah and after he had tasted the sweetness of faith, he imposed on himself a vow he summed up in these words: By Allah, I do not leave situations and battles with the polytheists except I support the Muslims equally and no wealth I spent with the polytheists but I spend an equal amount with the Muslims. Perhaps my support of the Muslims will be followed by an ever greater support. I stood a long time with the polytheists in front of their idols, so let us now stand for a long time with the believers in the presence of Allah, the One and Only.  

        Thus, he started praying and praying and fasting and praying. He would not let a chance pass him by which would sharpen his spirit and make him close to his Lord Most High but that he took from it a sufficient portion.  

       Thus in his past he stood with the polytheists in situations of oppression and war against Islam. So, now let him take his place in the Muslim army, fighting bravely to extinguish, with the battalion of truth, the fire of the Persian king who used to worship idols and false gods other than Allah, and fighting to burn the destinies of the peoples who participated in this fake worship. So, let him fight also to destroy with the battalion of truth the darkness of Rome and its injustice and spread the word of monotheism and the fear of Allah to every place.  

        Thus, he went out with the Muslim army to Syria participating in its wars. On the Day of Yarmuuk, the Muslims courageously plunged into battle, encountering harm, violence, and danger. Suhail Ibn Amr was almost flying out of joy when he found on this crucial day the rich opportunity to make the effort, from his soul, to annihilate the sins and mistakes of jaahiliyah before accepting Islam. He used to love his house in Makkah greatly, so much so that it made him forget himself. Nevertheless, he refused to return to it after the Muslim victory over Syria, and so he said, "I heard the Messenger of Allah saying, The rank and position of one of you who spends one hour in the cause of Allah is better for him than his work throughout his life.' Therefore, I will strive in the path of Allah until death, and I shall not return to Makkah."  

        And Suhail died true to his vow and continued to strive for the remainder of his life committed to his religion until the appointed time of his demise. So his soul flew quickly to the Mercy of Allah and His pleasure.  

.¤ª"˜¨¯¨¨Suheil Bin 'Amar oo Suhail Ibn 'Amr¸,ø¨¨"ª¤. 




Categories: