acebook


Para Sahabat - The Companions

.¤ª"˜¨¯¨¨Umeir Bin Sa'ad o'Umair Ibn Sa'd¸,ø¨¨"ª¤.

 Tokoh yang tak ada duanya. 




Masih ingatkah anda sekalian akan Sa’id bin Amir . .. ?  Yaitu seorang zahid dan abid yang selalu melindungkan dirinya kepada Allah, yang telah diminta oleh Amirul Mu’minin Umar untuk menjadi gubernur dan kepala daerah Syria. . . ? Pada bagian pertama dari buku ini telah kita bicarakan dan kita saksikan hal-hal mena’ajubkan mengenai keshalehan, ketinggian akhlak dan sifat zuhudnya … !

Nah, sekarang pada lembaran-lembaran ini kita akan ber­temu pula dengan saudara, bahkan saudara kembarnya, baik dalam keshalehan, maupun dalam ketinggian akhlak dan sifat zuhud itu, begitupun dalam kebesaran jiwa yang jarang tan­dingannya … !

la adalah Umeir bin Sa’ad! Kaum Muslimin memberinya gelar “Tokoh yang tak ada duanya”.

 Cukup kiranya meyakin­kan, bahwa gelar ini diberikan secara bulat oleh para shahabat Rasul yang sama-sama mempunyai kelebihan, pengertian dan cahaya kebenaran …. !

Ayahnya Sa’ad al-Qari r.a. ikut menyertai Rasulullah dalam perang Badar dan peperangan-peperangan lain sesudahnya, serta setia memegang janjinya, sampai ia kembali menemui Allah karena gugur sebagai syahid di pertempuran Qadiaiah melawan Perri. Dibawanya anaknya sewaktu datang kepada Rasulullah hingga anak itu pun turut bai’at dan masuk Islam ….Semenjak Umeir memeluk Islam, dan menjadi ahli ibadah yang tidak berpiaah dari mihrab mesjid, ia meninggalkan segala kemewahan dan pergi bernaung ke bawah sakinah atau ke­tenangan.

Sukarlah anda akan menemukannya di bariaan pertama . . . , kecuali pada jama’ah shalat, memang ia mempertahankan shaf yang pertama itu untuk mengejar pahala bariaan muka … ; dan di medan jihad, ia selalu bergegas mengejar bariaan terdepan, karena ia selalu mendambakan diri untuk mendapatkan syahid. Selain dari hal-hal seperti itu, maka ia tetap tekun memperbanyak amal kebaikan, kepemurahan, keutamaan Serta ketaqwa­an….Ia seorang yang cepat menyadari kesalahan dan Sering menangiai dosanya . . . ! 

Seorang yang tiada terpikat oleh harta dunia dan selalu mencari jalan kembali kepada Tuhannya ….  Seorang musafir yang merindukan pulang kepada Allah, dalam setiap perjalanan dan di setiap pemukiman ….Sungguh, Allah telah menjadikan hati para shahabat lainnya kasih-sayang kepadanya, hingga ia pun menjadi buah hati dan tumpuan kasih mereka. Semua itu karena kekuatan imannya, kebersihan jiwanya, ketenangan jalan hidupnya, keharuman akhlaqnya, dan kecemerlangan penampilannya, menerbitkan kegembiraan dan kenangan bagi setiap orang yang menggauli atau melihatnya. Dan tak seorang atau satu pun yang diutama­kannya lebih dari Agamanya . . . !

Pada suatu hari didengarnya Jullas bin Suwaid bin Shamit, yang masih jadi kerabatnya, sedang berbincang-bincang di rumah­nya, katanya: “Seandainya laki-laki ini memang benar, tentulah kita ini lebih jelek dari keledai-keledai … !” 

Yang dimaksudkan dengan laki-laki di sisi ialah Rasulullah saw. sedang Jullas sendiri termasuk di antara orang-orang yang memeluk Islam karena terbawa-bawa keadaan.Sewaktu Umeir bin Sa’ad mendengar kata-kata tersebut, bangkitlah kemarahan dan kebingungan dalam hatinya yang biasa tenang dan tenteram itu. Kemarahan disebabkan oleh seorang yang telah mengaku menganut Islam berani merendah­kan Rasul dengan kata-kata yang keji itu …  Dan kebingungan karena fikirannya berjalan cepat tentang tanggung jawabnya terhadap apa yang telah didengarnya dan tak dapat diterimanya . . .. 

Akan disampaikannyalah segala apa yang telah didengarnya kepada Rasulullah saw.? 

Bagaimana caranya, padahal ia harus bersifat jujur dalam mengemukakannya .. . ?

 Ataukah ia akan berdiam diri saja lalu memendam di dalam dadanya semua yang didengarnya . . . ?

 Bagaimana …Dan di mana letak kebenaran penunaian dan cinta setianya kepada Rasul, yang telah membimbing mereka dari kesesatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan ? Tetapi kebingungannya tidaklah berjalan lama, karena jiwa yang tulus selalu menemukan jalan keluar bagi penyelesaiannya . . . ! 

Dan dengan segera Umeir berubah menjadi seorang laki-laki perkasa dan Mu’min yang taqwa . . . , maka ia pun menghadapkan pembicaraan kepada Jullas bin Suwaid, katanya: “Demi Allah, hai Jullas! Engkau adalah orang yang paling kucintai, dan yang paling banyak berjasa kepadaku, dan yang paling tidak kusukai akan ditimpa sesuatu yang tidak menyenangkan . . . ! 

Sungguh, engkau telah melontarkan sesuatu ucapan, seandainya ucapan itu kusebarkan dan sumbernya daripadamu, niscaya akan menyakitkan hatimu Tetapi andainya kubiarkan saja kata-kata itu, tentulah Agamaku akan binasa padahal haq Agama itu lebih utama ditunaikan. Dari itu aku akan menyampaikan apa yang kudengar kepada Rasul­ullah … !”

Demikianlah Umeir telah memenuhi keinginan hatinya yang shaleh secara sempurna ….

 Pertama ia telah menunaikan haq majlis sesuai dengan amanat, dan dengan jiwanya yang besar membebaskan diri dari berperan sebagai orang yang mendengar­-dengarkan kata orang lalu menyampaikannya kepada orang lain. 

Kedua itu telah menunaikan haq Agamanya yaitu dengan menyingkapkan sifat kemunafikan yang meragukan.

 Dan ketiga ia telah memberi kesempatan kepada Jullas untuk kembali dari kesalahan dan memohon ampun kepada Allah atas keke­liruannya, yakni sewaktu secara terus terang dikatakannya kepadanya, bahwa persoalan ini akan diaampaikannya kepada Rasulullah saw. 

Seandainya ia sedia bertaubat dan memohon ampun, maka hati Umeir akan lega karena tak perlu lagi menerus­ kannya kepada Rasulullah saw.Tetapi rupanya Jullas telah dipengaruhi betul-betul oleh rasa sombong dengan dosanya itu, dan tidak ada perasaan menyesal sedikitpun atau keinginan untuk bertaubat. 

Hingga ter­paksalah Umeir meninggalkan mereka, katanya: “Akan kusampaikan kepada Rasulullah sebelum Tuhan menurunkan wahyu yang melibatkan diriku dengan dosamu …Rasulullah setelah mendapat laporan dari Umeir mengirim. kan orang mencari Jullas, tetapi setelah Jullas dihadapkan ia mengingkari katanya itu, bahkan ia mengangkat sumpah palsu atas nama Allah . . . ! Tetapi ayat al-Quran telah datang memisahkan antara yang haq dengan yang bathil:

“Mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidak mengatakan sesuatu (yang menyakitkan hatimu). Padahal mereka telah mengucapkan kata-kata kufur, dan mereka telah kafir sesudah Islam, serta mereka mencita-citakan sesuatu yang tak dapat mereka capai …. Dan tak ada yang menimbulkar  dnedam kemarahan mereka hanyalah lantaran Allah dan Rasulnya telah menjadikan mereka berkecukupan disebabkan karunia-Nya . . . . Seandainya mereka bertaubat, maka itulah yang terlebih baik bagi mereka, dan seandainya mereka berpaling, Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih di dunia dan akhirat. Mereka tidak akan mempunyai pembela maupun penolong di muka bumi … ! “(Q.S. 9 at-Taubah:74)

Dengan turunnya ayat Quran ini, terpaksalah Jullas meng­akui pembicaraannya, dan meminta ampun atas kesalahannya, teristimewa di kala diperhatikannya ayat yang mulia yang memutuskan menghinakannya, tetapi di saat yang sama menjanjikan rahmat Allah seandainya ia bertaubat dan mencabut kata-kata­nya:

 “Maka seandainya mereka bertaubat, itulah yang terlebih baik untuk mereka… !”

Dan karenanya tindakan Umeir ini menjadi kebaikan dan berkat kepada Jullas, hingga ia bertaubat dan setelah itu ke­Islamannya menjadi baik . . . . Nabi memegang telinga Umeir dan berkata kepadanya sambil memuaskan hatinya dengan pujian-pujian:

“Hai anak muda, sungguh nyaring telingamu . . . dan Tuhanmu membenarkan tindakanmu … !”

Aku sungguh beruntung sekali dapat menemukan Umeir untuk pertama kah, semenjak aku menulia buku mengenai Umar bin Khatthab mulai empat tahun yang lalu. kisahnya bersama Amirul Mu’minin Umar sungguh mempesonakanku, hingga rasanya tak ada lagi cerita lain yang lebih mempesona dari itu . . . . Nah, cerita inilah sekarang yang akan kupaparkan kepada anda sekalian, agar anda ikut menyaksikan suatu kebesaran iatimewa dalam kecemerlangan yang mengagumkan. Anda tahu bahwa Amirul Mu’minin Umar r.a. selalu berhati-­hati memilih para gubernurnya, seolah-olah ia memilih orang-­orang yang sama mutunya dengan dirinya …. la selalu memilih­nya dari orang-orang yang zuhud dan shaleh, dan orang-orang yang dipercaya dan jujur . . . yang tidak mengejar pangkat atau kedudukan bahkan tak hendak menerima jabatan tersebut kecuali karena Amirul Mu’minin memaksanya untuk men­jabatnya ….Sekalipun pandangan tajam dan pengalamannya luas, namun dalam memilih gubernur-gubernur dan pembantu-pembantu utamanya ini beliau selalu menimbangnya dalam waktu yang panjang dan mengamatinya dengan teliti.

 Beliau selalu meng­ulang-ulang pesan atau fatwanya yang mengesankan itu sebagai berikut:
“Aku menginginkan seorang laki-laki bila ia berada dalam suatu kaum, padahal ia adalah rakyat biasa,tetapi menonjol seolah-olah ia lah pemimpinnya .. .. Dan bila ia berada di antara mereka sebagai pemimpinnya, ia menampakkan diri sebagai rakyat biasa . . . . Aku menghendaki seorang gubernur yang tidak membedakan dirinya dari manusia kebanyakan dalam soal pakaian, makanan dan tempat tinggal . . . . Di­tegakkannya shalat di tengah-tengah mereka . . . berbagi rata dengan mereka berdasarkan yang haq . . . dan tak pernah ia menutup pintunya untuk menolak pengaduan mereka … !”

Maka berdasarkan norma-norma dan peraturan yang keras inilah, ia di suatu hari memilih Umeir bin Sa’ad untuk menjadi gubernur di Homs. Umeir berusaha menolak dan melepaskan diri dari jabatan tersebut tetapi sia-sia, karena Amirul Mu’minin tetap mengharuskan dan memaksanya untuk menerimanya ….Umeir pun memohon kepada Allah petunjuk dengan shalat iatikharah, dan kemudian melaksanakan tugas kewajibannya …. Dan setelah berjalan setahun masa jabatannya di Homs itu, tak ada hasil pemungutan pajak yang sampai ke Madinah …. Bah­kan tak ada sepucuk surat pun yang datang kepada Amirul Mu’minin daripadanya ….

Amirul Mu’minin memanggil penulisnya, katanya: “Tulislah surat kepada Umeir agar ia datang pada kita!”
Maka di sinilah saya akan meminta keidzinan anda untuk melaporkan pertemuan di antara Umar dan Umeir, sebagaimana tercantum dalam buku saya “Di hadapan Umar”, sebagai berikut: 

“Di suatu hari jalan-jalan kota Madinah menyaksikan seorang laki-laki dengan rambut kusut dan tubuh berdebu. Ia diliputi kelelahan karena berjalan jauh. Langkah-langkahnya seakan‑akan tercabut dari tanah disebabkan lamanya kepayahan dalam perjalanan, dan tenaganya yang sudah habis terkuras . . . . Di atas pundak kanannya terdapat buntil kulit dan sebuah piring … sedang di pundak kirinya kendi beriai air … ! 
Ia bertelekan pada sebuah tongkat, yang tidak akan terasa berat bila dibawa oleh orang yang kurus dan lemah . . . . Ia menghampiri majlisUmar dengan langkah yang gontai, lalu ucapnya: “Assalamu­’alaikum ya Amirul Mu’minin . . . !” 
Umar membalas salamnya kemudian menanyainya. Hatinya sedih melihatnya dalam ke­adaan payah dan letih itu.
 “Apa kabar hai Umeir?”
 Jawab Umeir: Keadaanku sebagaimana yang anda lihat sendiri . . . . Bukankah anda melihat aku berbadan sehat dan berdarah bersih, dan dunia di tanganku yang dapat kukendalikan semauku . . .”  
Apa yang kamu bawa itu?   
Yang kubawa ialah buntil atau bungkusan tempat membawa bekal . .. , piring tempat aku makan, kendi tempat air minum dan wudhu, kemudian tongkat untuk bertelekan dan guna melawan musuh jika datang menghadang .. .. Demi Allah, dunia ini tak lain hanyalah pengikut bagi bekal kehidupanku . . . !
 — Apakah anda datang dengan berjalan kaki?
 — Benar!
 — Apa tak ada orang yang mau mem­berikan binatang kendaraannya untuk kamu tunggangi . . . ?
 — Mereka tidak menawarkan dan aku tidak pula memintanya. 
—Apa yang kamu lakukan mengenai tugas yang kami berikan padamu? 
— Aku telah mendatangi negeri yang anda titahkan itu. Orang-orang shaleh di antara penduduknya telah kukumpulkan. Kuangkat mereka mengurus pemungutan pajak dan kekayaan negara. Bila telah terkumpul, kupergunakan. kembali pada tempatnya yang wajar untuk kepentingan mereka. Dan kalau ada kelebihan, tentulah sudah kukirimkan ke sini … !

 — Kalau begitu kau tak membawa apa-apa untuk kami? 
— Tidak … !”
Maka berserulah Umar dalam keadaan bangga dan berbaha­gia:  “Tetapkan kembali jabatan gubernur bagi Umeir yang dijawab oleh Umeir dengan mengelakkan diri secara bersungguh­ sungguh, katanya: “Masa yang demikian itu telah berlalu … aku tak hendak menjadi pegawai anda lagi, atau pegawai pejabat setelah anda … !”

Cerita ini bukanlah skenario yang kami atur sendiri, dan bukan pula cerita yang dibuat-buat … tetapi benar-benar peristiwa sejarah yang pada suatu masa pernah disaksikan oleh bumi Madinah selaku ibu kota Islam yakni di saat-saat kejayaan dan kebesarannya. Maka dari tipe golongan manakah tokoh-tokoh utama dan luar biasa itu … ?Umar r.a. selalu berang angan dan mengatakan: “Aku ingin sekali mempunyai beberapa orang laki-laki yang seperti Umeir akan jadi pembantuku untuk melayani Kaum Muslimin .. . . “. 

Sebabnya, Umeir yang dilukiskan oleh para shahabatnya sebagai  “tokoh yang tak ada duanya” benar-benar telah meningkat naik dan dapat mengatasi kelemahan dirinya selaku manusia berhadapan dengan harta benda dunia dan kehidupan yang penuh dengan onak dan duri ini …. 

Di waktu ia diharus­kan melaksanakan pemerintahan dan pemimpin, maka keduduk­annya yang tinggi itu hanya semakin menambah sifat wara’ dari orang suci ini, dengan perkembangan, pertumbuhan dan kecemerlangan ….

Ketika ia menjabat sebagai gubernur di Horns itu ia telah menggariskan tugas kewajiban seorang kepala pemerintahan Islam dalam kata-kata yang selalu diutarakannya dalam meng­gembleng Kaum Muslimin dari atas mimbar. 

Kata-kata itu demikian bunyinya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Islam mempunyai dinding teguh dan pintu yang kukuh . . . . Dinding Islam itu ialah keadilan . . . sedang pintunya ialah kebenaran . . . . Maka apabila dinding itu telah dirobohkan, dan pintunya didobrak orang, Islam pun akan dapat dikalahkan. Islam akan senan­tiasa kuat selama pemerintahannya kuat.

 Kekuatan peme­rintah tidak terletak dalam angkatan perang, atau keperkasa­an angkatan kepulisian . . . .  Tetapi dalam realita pelaksana, melaksanakan segala ketentuan dengan jujur dan benar disertai menegakkan keadilan . . !” Dan sekarang dalam kita melepas Umeir dan menghor­matinya dengan penuh kebesaran dan hati yang khusyu’, marilah kita menundukkan kepala dan kening kita: —

Bagi sebaik-baik guru, yaitu Nabi Muhammad. Bagi ikutan orang-orang taqwa, yakni Nabi Muhammad. Bagi pembawa rahmat Allah yang dilimpahkan kepada umat manusia sepanjang hayatnya. Semoga shalawat dan salam-Nya terlimpah kepadanya – . – - Begitu pun ucapan selamat dan berkah-Nya . . . . Semoga ter­limpah pula salam atas keluarganya yang suci . .. .

Begitupun terlimpah atas para shahabatnya yang terpuji …


(30)  
`UMAIR IBN SA'D  
The Matchless! 
        Do you remember Sa'iid Ibn `Aamir ? That ascetic and steady worshiper who was forced by the Commander of the Faithful `Umar to accept the governorship of Syria?  

        We spoke about him in the first part of this book, and we saw the wonder of wonders while talking about his asceticism, his renouncement of all worldly pleasure, and his piety.  

        But now we will meet on these pages a brother of his, better to say a twin brother, an identical twin in terms of piety, asceticism, elevation and greatness of soul, which is actually incomparable.  

        It is `Umair Ibn Sa'd. He was called by the Muslims "The Matchless". What do you think about a man about whom there was a public consensus that he deserved that title, a consensus of the Prophet's Companions, with all the merit, enlightment, and intellect they possessed? 

       His father was Sa'd, the reciter (May Allah be pleased with him). He experienced the Battle of Badr with the Messenger of Allah and all the following events and stayed loyal to his oath till he passed away as a martyr in the Battle of Al-Qaadisiyah. 

        He brought his son with him to the Prophet (PBUH) to swear the oath of allegiance and to embrace Islam.  
     
   From the day `Umair embraced Islam, he turned into a worshiper dwelling at Allah's mihrab (prayer niche), escaping and running away from the lights of fame, withdrawing to the tranquility and calmness of shadow.  

        It is absolutely out of the question that you find him in the front rows, except the row of prayer he stations himself in the front row to be granted the reward of the highest in faith - and the rows of jihaad - he hastens to the front row, hoping to be one of the martyrs. Other than that, he is dedicated to attaining righteousness, piety, and virtue. He is a returner to Allah, weeping for his sins! He is a devotee to Allah, hoping to be accepted as a faithful returner to Him ! He is a traveler to Allah in all journeys and all instances. 

        Allah blessed him with his companions love for him. He was the delight of their eyes and the darling of their hearts. That was because of his strong, firm belief, his pure soul, his calm nature, the scent of his good qualities, and his beaming appearance. All that made him the joy and pleasure of all those who met or saw him.  

       No one and nothing whatsoever was superior to his religion. He once heard Julaas Ibn Suwaid Ibn As-saamit, one of his close relatives, saying, "If the man is truthful, then we've more evil than mules!" He meant by "the man" the Prophet (PBUH). Julaas was one of those who embraced Islam out of fear. 

       When `Umair heard that statement, his calm, quiet spirit burst into anger and confusion.

Anger because one of those who pretended to be a Muslim had insulted the Prophet by this wicked language. Confusion because a lot of thoughts came quickly to his mind, all revolving around his responsibility towards what he had just heard and denied.  
      
  Should he communicate all that he had heard to the Prophet? How, and what about the trustworthiness of private meetings? Should he keep silent and leave what he had heard within his breast? How? And where was his loyalty to the Prophet (PBUH) who was sent by Allah to guide them after having lived astray and to illuminate them after having lived in darkness?  

 However, his confusion did not last long. The truthfulness to himself helped him to find a way out. `Umair immediately behaved like a strong man and a pious believer. He turned to Julaas Ibn Suwaid, "O Julaas, by Allah, you're one of the most beloved to myself and the last one I would like to see afflicted by something he dislikes. You've now said something that if I spread it around, it would harm you; if I keep silent, I would ruin my religion, and the fulfillment of duty towards religion has priority. So I'm going to inform the Messenger of Allah what you've said!"  

        Here `Umair pleased his pious conscience completely. First, he fulfilled the duty of preserving the trustworthiness of private talks and elevated his great noble soul away from the role of a slandering listener. Second, he fulfilled his duty towards his religion and shed light on a suspicious hypocrite. Third, he gave Julaas a chance to reconsider his fault and to ask Allah for forgiveness. if he had done that straightforwardly, then his conscience would have found peace, because it would not have been necessary any more to inform the Prophet (PBUH).  

        However, Julaas's pride made him hold to his falsehood. His lips did not spell out the word "sorry" nor any other apology. `Umair left him saying, "I will inform the Prophet (PBUH) before a revelation makes me a partner of your sin."  

       The Prophet (PBUH) sent for Julaas, who denied and moreover swore by Allah that he had not said that! However, a Qur'aanic verse demonstrated clearly the true and the false: "They swear by GOD that they said nothing, but they indeed uttered the word of unbelief, and disbelieved after they had become Muslims, and they intended a plot but could not accomplish what they intended and they only showed hostility towards Islam after GOD and His Messenger had enriched them out of His Bounty, so if they repent it will be better for them, so if they turn away, GOD will chastise them with a painful chastisement in this world and the Hereafter, and on earth there will be none to protect or help them" 
(9 : 74).  
        Julaas found himself forced to confess his fault and to apologize, especially when he heard the holy verse which accused him, promising him at the same moment Allah's mercy if he repented and refrained from that: "So if they repent it will be better for them".  

       `Umair's action was a blessing for Julaas. Thus Julaas repented and his Islamic conduct turned to be more righteous than before. The Prophet (PBUH) held his ear and praised him, "O my boy! Your ear was loyal and your Lord believed you."  

        I was delighted when I met `Umair for the first time four years ago while composing my book Between the Hands of `Umar. I was amazed. Nothing could amaze me so much as what happened between him and the Commander of the Faithful. I am going to narrate to you that event for you to enjoy with me "excellence" in its most precious and magnificent form.  

       You all know that the Commander of the Faithful, `Umar (May Allah be pleased with him) chose his governors very cautiously as if choosing his destiny He always chose them from among the ascetic, pious, honest, and truthful: those who escaped from power and authority and would not accept it unless forced by the Commander of the Faithful to do so.  

        Despite his unerring insight and his overwhelming experience, he was very deliberate when choosing his governors and counselors, dealing scrupulously with his decision.  

        He never stopped his famous statement: "I need a man who, if among his clan would seem to be their prince while he isn't so in reality, and who, if among them would seem to be an ordinary one while being their prince in reality. I need a governor who won't favor himself above the other people in terms of clothing, food, or dwelling; who will lead them in their prayers, distribute their dues among them fairly, and rule them justly, never shutting his door leaving their needs and wishes unfulfilled.  

        According to these strict requisites he chose `Umair Ibn Sa'd to be a governor over Homs. `Umair tried to free himself of that task and to save himself, but the Commander of the Faithful obligated him and imposed it upon him forcefully. `Umair asked Allah for proper guidance. Then he went to carry out his duty and task.  

        In Homs, a whole year passed and no land tax reached Al Madiinah, nor did a single message reach the Commander of the Faithful. The Commander of the Faithful called his scribe, to whom he said, Write to `Umair ordering him to come here."  

       Will you allow me to tell you about the meeting between `Umar and `Umair as it was related in my previous book Between the Hands of `Umar? 

        One day the roads of Al-Madiinah witnessed a dusty, shaggy man, covered by the hardship of travel and hardly pulling his feet out from the hot sandy ground due to his long suffering and the tremendous effort he spent. On his left shoulder there was a sack and a wooden bowl. On his right shoulder there was a small waterskin filled with water. He supported his thin, weak, tired body with a stick.  

        He turned to `Umar's assembly with very slow, heavy steps. "O Commander of the Faithful, peace be upon you.  

        `Umar replied. Deeply afflicted by the scene of his weakness and over exertion, he asked him, `What's wrong with you, `Umair?"  

        "Can't you see I'm healthy, possessing a pure conscience and possessing the whole world?"  

        `Umar asked, "What do you have with you?"  

        `Umair replied, "I've a sack in which I carry my food, a bowl in which I eat, my utensils for my ablution and drink, and a stick to lean on and fight an enemy if he crosses my way. By Allah, the whole world is an obedient slave of my belongings."  

        "Did you come walking on foot?" "Yes."  

        "Didn't you find anyone who would give you an animal to ride on?"  
   
     "They didn't offer and I didn't ask them."  

       "What did you do with what we charged you with?"  

        "I went to the country to which you sent me. There I gathered all its virtuous inhabitants and made them in charge of levying the taxes, so when they did that I put the money there where it belongs. If anything had remained I would have sent it to you."  

       "Didn't you bring us anything?"  
        
  "no"  

        Hereby `Umar shouted, amazed and happy, `Reappoint `Umair." But `Umair replied with complete composure, "Those were old days. I won't work for you or for anyone else!"  

       This scene is not a written drama nor an invented conversation. It is a historical event  3 witnessed by the soil of Al Madiinah, the old capital of Islam during great unforgotten days. What kind of men were those unparalleled, elevated ones!  

        Umar (May Allah be pleased with him) was always wishing How much do I wish to have men like `Umair to assist me in ruling the Muslims!  

That was because `Umair, who had been fairly described by his companions as being "The Matchless", could prove superiority over all human weakness caused by our material existence and our thorny life.  

        When this great saint was destined to face the test of power and authority, his piety was not afflicted. It rather became more elevated, raised beaming and bright.  

        When he was Governor of Homs, he drew a dear picture of the tasks of a Muslim ruler. How often did his words from the pulpit shake the multitude of Muslims: "Islam is a well-fortified wall and a firm gate. As for the wall, that's justice; and the gate is truth. If the wall is torn down and the gate destroyed, then Islam loses its protective strength. Islam remains well-fortified as long as its reign is mighty. The might of its reign cannot be realized by killing with swords or by slashing with whips; rather by the fulfillment of truth and justice!"  
   
        Now we greet `Umair for the last time, greeting him with humility and respect! Let us bow our heads for the best tutor, Muhmmad, the Imam of all the pious, Muhammad, Allah's mercy sent to the people in the midst of the heat and drought of life.  
  
        May Allah's peace be upon him, may Allah's mercy be upon him, may Allah's salutations be unto him, may Allah's blessings be upon him, and peace be upon all pious ones and peace be upon all his righteous Companions.




.¤ª"˜¨¯¨¨Umeir Bin Sa'ad o'Umair Ibn Sa'd¸,ø¨¨"ª¤.




Para Sahabat - The Companions

.¤ª"˜¨¯¨¨'Khubaib Bin 'Adi oo Khubaib Ibn 'Adiy¸,ø¨¨"ª¤.
 Pahlawan yang syahid di kayu salib. 


Dan kini …. Lapangkanlah jalan kepada pahlawan ini, wahai para shahabat …. Mari kemari, dari segenap penjuru dan tempat …. Datang­lah ke sini, secara mudah atau bersusah payah …. Kemarilah bergegas dengan menundukkan hati . . . . Menghadaplah untuk mendapatkan pelajaran dalam berkurban yang tak ada tandingan­nya …. Mungkin anda sekalian akan berkata: “Apakah semua yang telah anda ceritakan kepada kami dulu bukan merupakan pelajaran-pelajaran tentang pengurbanan yang jarang tanding­annya?”

Benar . . . , semuanya pelajaran, dan kehebatannya tak ada tandingan dan imbangannya …. Tapi kini kalian berada di muka seorang maha guru baru dalam mata pelajaran seni berqurban Seorang guru, seandainya anda ketinggalan menghadiri kuliahnya, anda akan kehilangan banyak kebaikan-kebaikan yang tidak terkira . . . . Mari bersama kami, wahai penganut aqidah dari setiap ummat dan tempat. Mari bersama kami, wahai pengagum ketinggian dari segala masa dan zaman . . . . Kamu juga, wahai orang-orang yang telah sarat oleh beban penipuan diri dan berprasangka buruk terhadap Agama dan iman . . . .Marilah datang dengan kebanggaan palsumu itu . . . . 

Marilah, dan perhatikanlah bagaimana Agama Allah itu telah membentuk dan menempa tokoh-tokoh terkemuka …. 

Marilah perhatikan oleh kalian! Kemuliaan yang tiada tara … kegagahan sikap,ketetapan pendirian, keteguhan hati . . . kepantang munduran … pengurbanan dan kecintaan yang tak ada duanya . . . Ring­kasnya, kebesaran yang luar biasa dan mengagumkan, yang telah dikalungkan oleh keimanan yang sempurna ke leher pemiliknya yang tulus ikhlas Tampakkah oleh anda sekalian tubuh yang disalib itu . ? 

Nah, inilah dia judul pelajaran kita hari ini, wahai semua anak manusia! 

Benar . . . tubuh yang disalib di hadapan kalian itulah sekarang yang jadi judul dan mata pelajaran, dan jadi contoh teladan dan sekaligus guru. Namanya Khubaib bin ‘Adi. Hafalkan benar dengan baik nama yang mulia ini! Hafalkan dan dengungkan serta lagukanlah namanya, karena ia jadi kebanggaan dari setiap manusia, setiap agama, dari setiap aliran dan dari setiap bangsa di setiap zaman … !Ia seorang yang cukup dikenal di Madinah dan termasuk shahabat Anshar. Ia Sering bolak-balik kepada Rasulullah saw. sejak beliau hijrah kepada mereka, lalu beriman kepada Rabbul  Alamin. Seorang yang berjiwa bersih, bersifat terbuka, beriman teguh dan berhati mulia. 
Ia adalah sebagai yang dilukiskan oleh Hassan bin Tsabit, penyair Ialam sebagai berikut:

“Seorang pahlawan yang kedudukannya sebagai teras orang-orang Anshar. 
Seorang yang lapang dada namun tegas dan keras tak dapat ditawar-tawar”.

Sewaktu bendera perang Badar dikibarkan orang, terdapatlah di sana seorang prajurit berani mati dan seorang pahlawan gagah perkasa yang tiada lain dari Khubaib bin ‘Adi ini.

 Salah seorang di antara orang-orang musyrik yang berdiri menghadang jalannya di perang Badar ini dan tewas di ujung pedangnya, ialah seorang pemimpin Quraisy yang bernama al-Harits bin ‘Amir bin Naufal. Setelah pertempuran selesai dan siaa-siaa pasukan Quraiay yang kalah kembali ke Mekah, tahulah Bani Harits siapa yang telah menewaskan bapak mereka. 

Mereka menghafalkan dengan baik nama orang Ialam yang telah menewaskan ayah mereka dalam pertempuran itu ialah Khubaib bin ‘Adi..!Orang-orang Ialam telah kembali ke Madinah dari perang Badar. Mereka meneruskan pembinaan masyarakat mereka yang baru  . . . Adapun Khubaib, ia adalah seorang yang taat ber­ibadah, dan benar-benar membawakan sifat dan watak seorang ‘abid dan kerinduan seorang ‘asyik …. Demikianlah ia beribadat menghadap Allah dengan sepenuh hatinya . . . berdiri shalat di waktu malam dan berpuasa di waktu siang serta memahasucikan Allah pagi dan petang ….

Pada suatu hari Rasulullah saw. bermaksud hendak menye­lidiki rahasia orang-orang Quraisy, hingga dapat mengetahui ke mana tujuan gerakan serta langkah persiapan mereka untuk suatu peperangan yang baru …. Untuk itu beliau pilih sepuluh orang dari para shahabatnya, termasuklah di antaranya Khubaib dan sebagai pemimpin mereka diangkat oleh Nabi, ‘Ashim bin Tsabit.Pasukan penyelidik ini pun berangkatlah ke tujuannya hingga sampai di suatu tempat antara Osfan dan Mekah. 

Rupanya gerakan mereka tercium oleh orang-orang dari kampung Hudzail yang didiami oleh suku Bani Haiyan, orang-orang ini segera berangkat dengan seratus orang pemanah mahir, menyusul orang­-orang Ialam dan mengikuti jejak mereka dari belakang ….Pasukan bani Haiyan hampir Saja kehilangan jejak, kalau tidaklah salah seorang mereka melihat biji kurma berjatuhan di atas pasir...

Biji-biji itu dipungut oleh sebagian di antara orang-orang ini, lalu mengamatinya berdasarkan firasat yang tajam yang biasa dimiliki oleh bangsa Arab, lalu berseru kepada teman-teman mereka: “Biji-biji itu berasal dari Yatsrib … nama lain dari Madinah … Ayuh, kita ikuti, hingga dapat kita ketahui di mana mereka berada … !

Dengan petunjuk biji-biji kurma yang berceceran di tanah, mereka terus berjalan, hingga akhirnya mereka melihat dari jauh rombongan Kaum Muslimin yang sedang mereka cari-cari itu …. ‘Ashim, pemimpin penyelidik merasa bahwa mereka sedang dikejar musuh, lalu diperintahkannya kawan-kawannya untuk menaiki suatu puncak bukit yang tinggi . . .. Para pemanah musuh yang seratus orang itu pun dekatlah sudah. Mereka mengelilingi Kaum Muslimin lalu mengepung mereka dengan ketat. . . .Para pengepung meminta agar Kaum Muslimin menyerahkan diri dengan jaminan bahwa mereka tidak akan dianiaya. Ke­sepuluh orang ini menoleh kepada pemimpin mereka ‘Achim bin Tsabit al-Anshan r.a.

 Rupanya ia menyatakan: “Adapun aku, demi Allah aku tak akan turun, mengemia perlindungan orang musyrik . . . ! Ya Allah, sampaikanlah keadaan kami ini kepada Nabi-Mu . . .!”

Dan segeralah para pemanah yang seratus orang itu meng­hujani mereka dengan anak panah …. Pernimpin mereka ‘Achim beserta tujuh orang lainnya menjadi sasaran dan mereka pun gugurlah sebagai syahid. Mereka meminta agar yang lain turun dan tetap akan dijamin keselamatannya sebagai dijanjikan. 

Maka turunlah ketiga orang itu, yaitu Khubaib beserta dua orang shahabatnya . . .Para pemanah mendekati Khubaib dan salah seorang temannya, mereka menguraikan tali-temali mereka dan mengikat keduanya. Teman mereka yang ketiga melihat hal ini sebagai awal pengkhianatan janji, lalu ia memutuskan mati secara nekad sebagaimana dilakukan ‘Achim dan teman-temannya, maka gugurlah ia pula menemui syahid seperti yang diinginkannya ….

Dan demikianlah, kedelapan orang yang terbilang di antara orang-orang Mu’min yang paling tebal keimanannya, paling teguh menepati janji dan paling setia melaksanakan tugas kewajibannya terhadap Allah dan Rasul, telah menunaikan darma bakti mereka sampai mati ….Khubaib dan seorang temannya yang seorang lagi Zaid, berusaha melepaskan tali ikatan mereka, tapi tidak berhasil karena buhulnya yang sangat erat. Keduanya dibawa oleh para pemanah durhaka itu ke Mekah.

 Nama Khubaib menggema dan tersiar ke telinga orang banyak …. 

Keluarga Harits bin ‘Amin yang tewas di perang Badar, cepat mengingat nama ini dengan baik, suatu nama yang menggerakkan dendam kebencian di dada mereka. Mereka pun segera membeli Khubaib sebagai budak . . . untuk melampiaskan seluruh dendam kebencian mereka kepadanya. 

Dalam hal ini mereka mendapat saingan dari pen­duduk Mekah lainnya yang juga kehilangan bapak dan pemimpin mereka di perang Badar. Terakhir mereka merundingkan semacam siksa yang akan ditimpakan kepada Khubaib untuk memuaskan dendam kemarahan mereka, bukan saja terhadapnya tetapi juga terhadap seluruh Kaum Muslimin! 

Dan sementara itu, golongan musyrik lainnya melakukan tindakan kejam pula terhadap teman Khubaib, Zaid bin Ditsinnah, yaitu dengan menyula atau menusuknya dari dubur hingga tembus ke bagian atas badannya ….Khubaib telah menyerahkan dirinya sepenuhnya, menyerah­kan hatinya, pendeknya semua urusan dan akhir hidupnya kepada Allah Rabbul’alamin. Dihadapkannya perhatiannya kepada beribadat dengan jiwa yang teguh, keberanian yang tangguh disertai sakinah atau ketenteraman yang telah dilimpah­kan Allah kepada yang dapat menghancurkan batu karang dan melebur ketakutan. Allah selalu besertanya sementara ia senantiasa beserta Allah . . . . 

Kekuasaan Allah menyertainya, seakan-akan jari-jemari kekuasaan itu membalut dadanya hingga terasa sejuk dingin ….

Pada suatu kali salah seorang puteri Harits datang menjenguk ke tempat tahanan Khubaib yang ada di sekitar rumahnya, tiba-tiba ia meninggalkan tempat itu sambil berteriak, memanggil dan mengajak orang Mekah menyaksikan keajaiban, katanya: “Demi Allah saya melihat Khubaib menggenggam setangkai besar anggur sambil memakannya . . . sedang ia terikat teguh pada besi … padahal di Mekah tak ada sebiji anggur pun …. Saya kira itu adalah rizqi yang diberikan Allah kepada Khubaib.

Benarlah Itu adalah rizqi yang diberikan Allah kepada hambanya yang shaleh, sebagaimana dahulu pernah diberikan­Nya seperti itu kepada Maryam anak ‘Imran, yaitu di saat: “Setiap kali Zakaria masuk ke dalam mihrabnya, dan ditemukannya rizqi di dekat Maryam …. 

Katanya: 
Dari mana datangnya makanan ini hai Maryam? 

Jawabnya:
 Ia datang dari Allah, sesungguhnya Allah memberi rizqi kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan tidak terhingga …. 
(Q.S. 3 Ali Imran: 37)

Orang-orang musyrik menyampaikan berita kepada Khubaib tentang tewasnya serta penderitaan yang dialami shahabat dan saudaranya Zaid bin Ditsinnah. r.a. 

Mereka mengira dengan itu dapat merusakkan urat sarafnya, serta membayangkan dan merasakan derita dan siksa yang membawa kematian kawannya itu. Tetapi mereka tidak mengetahui bahwa Allah telah merang­kulnya dengan menurunkan sakinah dan rahmat-Nya …. Terus mereka menguji keimanannya dan membujuknya dengan janji pembebasan seandainya ia man mengingkari Muhammad dan sebelum itu Tuhannya yang telah diimaninya …. Tetapi usaha mereka tak ubahnya seperti hendak mencopot matahari dengan memanahnya…! 

Benar, keimanan Khubaib tak ubah bagai matahari, baik tentang kuatnya, jauhnya maupun tentang panas­nya dan cahayanya . .. ! Ia akan bercahaya bagi orang-orang yang mencari cahayanya dan ia akan padam menggelap bagi orang yang menghendakinya gelap. 

Adapun orang yang meng­hampirinya dan menentangnya maka ia akan terbakar dan hangus.

Dan tatkala mereka telah berputus asa dari apa yang mereka harapkan, mereka seretlah pahlawan ini ke tempat kematiannya …mereka bawa ke suatu tempat yang bernama Tan’im, dan di sanalah ia menemui ajalnya ….Sebelum mereka melaksanakan itu, Khubaib minta idzin kepada mereka untuk shalat dua rakaat. Mereka mengidzinkan­nya, dan menyangka bahwa rupanya sedang berlangsung tawar ­menawar dalam dirinya untuk menyerah kalah dan menyatakan keingkarannya kepada Allah, kepada Rasul dan kepada Agama­nya . . . . Khubaib pun shalatlah dua rakaat dengan khusu’, tenang, dan hati yang pasrah . . . . Dan melimpahlah ke dalam rongga jiwanya, lemak manisnya iman . . . maka ia menyatakan cintanya kiranya ia terus shalat, terus shalat dan shalat lagi ….

Tetapi kemudian ia berpaling ke arah algojonya, lalu katanya kepada mereka:
 “Demi Allah, kalau bukanlah nanti ada sangkaan kalian bahwa aku takut mati, 
niscaya akan kulanjutkan lagi shalatku … !”

Kemudian diangkatnya kedua pangkal lengannya ke arah langit lalu. mohonnya:
 “Ya Allah, susutkanlah bilangan mereka … 
musnahkan mereka sampai binasa … !”

 Kemudian diamat-­amatinya wajah mereka, disertai suatu keteguhan tekad lalu berpantun:
Mati bagiku tak menjadi masalah ….
Asalkan ada dalam ridla dan rahmat Allah Dengan jalan apapun kematian itu terjadi… .
 Asalkan kerinduan kepada-Nya terpenuhi Ku berserah menyerah kepada-Nya . .  . 

Sesuai dengan taqdir dan kehendak-Nya Semoga rahmat dan berkah Allah tercurah …. pada setiap sobekan daging dan tetesan darah.

Dan mungkin inilah peristiwa pertama dalam sejarah bangsa Arab, di mana mereka menyalib seorang laki-laki, kemudian membunuhnya di atas salib … !Mereka telah menyiapkan pelepah-pelepah tamar untuk membuat sebuah salib besar, lalu. menyandarkan Khubaib di atasnya, dengan mengikat teguh setiap bagian ujung tubuhnyaOrang-orang musyrik itu jadi buas dengan melakukan segala kekejaman yang menaikkan bulu roma. 

Para pemanah bergantian melepaskan panah-panah mereka.Kekejaman yang di luar batas ini sengaja dilakukan secara perlahan-lahan terhadap pahlawan yang tidak berdaya karena tersalib …. Tapi ia tak memicingkan matanya, dan tak pernah kehilangan sakinah yang mena’ajubkan itu yang telah memberi cahaya kepada wajahnya. Anak-anak panah bertancapan ke tubuhnya dan pedang-pedang menyayat-nyayat dagingnya. Di kala itu salah seorang pemimpin Quraiay mendekatinya sambil berkata: “Sukakah engkau, Muhammad menggantikanmu, dan engkau sehat wal’afiat bersama keluargamu?” Tenaga Khu­baib pulih kembali, dengan suara laksana angin kencang ia, berseru kepada para pembunuhnya: “Demi Allah tak sudi aku bersama anak istriku selamat meni’mati kesenangan dunia,sedang Rasulullah kena musibah walau oleh sepotong duri … ! ”

 Kalimat dan kata-kata hebat yang menggugah ini pulalah yang telah diucapkan oleh teman seperjuangannya Zaid bin Ditsinnah sewaktu mereka hendak membunuhnya . . .. Kata-kata yang mempesona itu yang telah diucapkan oleh Zaid kemarin, dan diulangi oleh Khubaib sekarang . . . yang menyebabkan Abu Sofyan, yang waktu itu belum lagi masuk Islam mempertepukkan kedua telapak tangannya sembari berkata kepada penganiaya itu: “Demi Allah, belum pernah kulihat manusia yang lebih men­cintai manusia lain, seperti halnya shahabat-shahabat Muhammad terhadap Muhammad.. .

Kata-kata Khubaib ini bagaikan aba-aba yang memberi keleluasaan bagi anak-anak panah dan mata-mata pedang untuk mencapai sasarannya di tubuh pahlawan ini, yang menyakitinya dengan segala kekejaman dan kebuasan . . . . Dekat ke tempat kejadian ini telah berterbangan burung-burung bangkai dan burung-burung buas lainnya, seolah-olah sedang menunggu selesainya para pembantai pulang meninggalkan tempat itu, hingga dapat mendekat dan mengerubungi tubuh yang sudah menjadi mayat itu sebagai santapan istimewa – . . 

Tetapi kemu­dian burung-burung tersebut berbunyi bersahut-sahutan lalu berkumpul dan saling mendekatkan paruhnya seakan-akan mereka sedang berbisik dan berbicara perlahan-lahan serta saling bertukar kata dan buah fikiran. Dan tiba-tiba mereka beterbang­an membelah angkasa, dan pergi menjauh .. . . jauh … jauh sekali . . . .

Seolah-olah burung ini dengan perasaan dan nalurinya tercium akan jasad seorang yang shaleh yang berdekat diri kepada Allah dan menyebarkan baunya yang harum dari tubuh yang tersalib itu, maka mereka segan dan malu akan menghampiri dan menyakitinya . . . !

Demikianlah burung-burung itu berlalu terbang berbondong-bondong melintasi angkasa dan menahan diri dari kerakusannya ….Orang-orang musyrik telah kembali ke Mekah, ke sarang kedengkian, setelah meluapkan dendam kesumat dan permusuh­an. Dan tinggallah tubuh yang syahid itu dijaga oleh sekelompok para algojo bersenjata tombak dan pedang.

Dan Khubaib, ketika mereka menaruhnya di atas pelepah kurma yang mereka jadikan sebagai kayu salib tempat mereka mengikatkannya, telah menghadapkan mukanya ke arah langit sambil berdoa kepada Tuhannya Yang Maha Besar, Katanya: 
“Ya Allah kami telah menyampaikan tugas dari Rasul-Mu, 
maka mohon disampaikan pula kepadanya esok, 
tindakan orang-orang itu terhadap kami … !”
Doanya itu diperkenankan oleh Allah …. 

Sewaktu Rasul di Madinah, tiba-tiba ia diliputi suatu perasaan yang kuat, mem­beritahukan bahwa para shahabatnya dalam bahaya . . . dan terbayanglah kepadanya tubuh salah seorang mereka sedang tergantung di awang-awang ….

Dengan segera beliau saw. memerintahkan shahabatnya Miqdad bin Amar dan Zubair bin Awwam . . . , yang segera menunggang kuda mereka dan memacunya dengan kencang. Dan dengan petunjuk Allah sampailah mereka ke tempat yang di­maksud. 

Maka mereka turunkanlah mayat shahabat mereka Khubaib, sementara tempat suci di bumi telah menunggunya untuk memeluk dan menutupinya dengan tanah yang lembab penuh berkah ….Tak ada yang mengetahui sampai sekarang di mana sesung­guhnya makam Khubaib.

 Mungkin itu lebih pantas dan utama untuknya, sehingga senantiasalah ia menjadi kenangan dalam hati nurani kehidupan, sebagai seorang pahlawan yang mati syahid di atas kayu salib …



(29)  
KHUBAIB IBN `ADIY  
A Hero on the Cross! 


        And now, pave the way for this hero. Come nearer from all directions, from everywhere. Come in any way you can and strive your utmost, come hurrying and submitting. Approach in order to be taught the lesson of sacrifice, an incomparable lesson. You will say, Weren't all the stories you have previously told lessons of incomparable sacrifice?  

        Indeed, they were lesson of uncomparable magnificence. Nothing whatsoever can be similar to it. However, you are now in front of a new master illustrating the art of sacrifice, a figure who, if you miss meeting him, then you have missed a great deal, indeed a great deal. Come to us, all people of faith in every nation and country. Come to us, lovers of exaltedness in every period and era. And you, too, who carry a heavy burden of illusion and you whose belief in creed and religions is one of falsehood and error. Come with your illusion. Come and see how Allah's religion built men. Come and see what glory, what strength, what firmness, what determination, what sacrifice, what loyalty!  

       To sum up, what extraordinary and amazing greatness has been granted by the belief in truth to its sincere followers.  

        Can you see the crucified body? It is our lesson today - to all mankind! Indeed, the crucified body in front of you is our subject, our lesson, our master. His name is Khubaib Ibn `Adiy. Remember this name well!  

       Remember it, sing it, it is an honor for anyone belonging to any religion, to any sect, belonging to any ethnic group and living in any era!  

        He belonged to the Aws tribe from Al-Madiinah. He belonged to the Ansaar.  

        Since the day of the Prophet's Hijrah to Al-Madiinah and since the day of his belief in Allah, Lord of the Worlds, he frequently visited the Prophet (PBUH).  

       His soul, spirit, and conscience were pure, and his belief was firm. He was described by Hassaan lbn Thaabit, Islam's poet: He looked like a falcon among the Ansaar. Allah endowed him with noble character and good morals."  
      
  When the standards of the Battle of Badr were lifted, he was there, a bold warrior and a daring fighter.

 Among the polytheists whom he killed with his sword during the battle was Al-Haarith Ibn `Aamir Ibn Nawfal.  

       After the battle was over and the defeated remnants of the Quraish had returned to Makkah, the sons of Al-Haarith learned that their father had been killed. They learned the name of his killer very well by heart: Khubaib Ibn `Adiy.  

        The Muslims returned from Badr to Al-Madiinah and persistently built their new community. Knubaib was a true worshiper, a pious devotee, carrying the nature of a devotee and the longing aspiration of a worshiper. There he turned to worship with the spirit of a passionate lover, praying at night, fasting during the day, glorifying Allah, Lord of the Worlds.  

        One day the Prophet (PBUH) wanted to know the Quraish's secrets so as to be fully aware of the target of their movements and any preparations for a new battle. Therefore, he chose ten of his Companions, among whom was Khubaib, and Aasim lbn Thaabit as leader.  

 The expedition set off towards its destination until they reached a place between `Asafaan and Makkah. News of them reached an area of Hudhail called Bani Hayaan. They hastened to them with 100 of their most skillful spearmen. They set out to pursue them and to follow their tracks.  

       They almost lost them but for the fact that one of them found some discarded date pits on the sand. He picked them up and, with the amazing skill Arabs were famous for, glanced at them, then shouted loudly so that the others could hear him, "They are date pits from Yathrib  1 . Let's follow them and they will surely guide us. They followed the discarded date pits until they could see in the distance what they were searching for.  

        `Aasim, the expedition's leader, felt that they were being chased, so he ordered his companions to mount the high peak of a mountain. The 100 spearmen approached and surrounded the foot of the mountain and besieged them thoroughly.  

        They asked them to surrender themselves after giving them their word not to hurt them. The ten turned to their leader, Aasim Ibn Thaabit Al-Ansaariy (May Allah be pleased with them all), and waited for his command. He then said, As for me, by Allah, I will never let myself fall into the protection of a polytheist. May Allah inform our Prophet about us."  

        The spearmen then began to throw their spears at them. Their leader Aasim was wounded and died as a martyr. In the same way seven others were wounded and died as martyrs.  

       The rest were then called and promised that they would be safe if they came down. The three descended, Khubaib and his two friends. The spearmen approached Khubaib and his companion,  

     Zaid Ibn Ad-Dithinnah, and tied them up. Their third one recognized the beginning of their deceipts, so he decided to die there where `Aasim and his companions had fallen. He died where he wished.  

        That is how some of the greatest, most faithful, most loyal to Allah and his Prophet (PBUH), and most sincere believers passed away. Khubaib and Zaid tried to untie themselves, but they were fled very thoroughly and tightly.  
        
   The deceptive spearmen took them to Makkah where they sold them to the polytheists. 

The name of Khubaib reached everyone's ear. The sons of Al-Haarith Ibn Aamir, who had been killed in Badr, remembered his name very well and were moved by spite and hatred. They hurried to buy him. Most of the inhabitants of Makkah, who had lost their fathers and leaders in the Battle of Badr, competed in purchasing him in order to take revenge. They enjoined each other to take revenge on him and commenced to prepare him for a fate to satisfy their desire for revenge, not directed at him, as such, but at all the Muslims.  

        Some other people took Khubaib's companion Zaid Ibn Ad- Dithinnah and set out to torture him severely.  

        Khubaib submitted his heart, his whole life, and destiny to Allah, Lord of the Worlds. He turned to His worship with a firm soul, unruffled and fearless, accompanied by a divine tranquility. Even hard, solid mountain rocks and terror itself might melt and simply vanish due to it.  

        Allah was with him, and he was with Allah. Allah's hand was over him, and he could almost feel His fingers within his chest.  

        One day, one of Al-Haarith's daughters entered where he was kept as a captive at Al-Haarith's house. She quickly hurried out, calling the people to see an unbelievable thing! `By Allah, I saw him holding a big bunch of grapes, eating from it while being fettered with iron chains - at a time when there isn't a single grape in Makkah. I can't think of it except as being a blessing from Allah!"  

 Indeed, it was a blessing given by Allah to His virtuous worshiper, as He gave to Maryam (Mary, mother of Jesus) daughter of `Imraan before: "Whenever Zakariya entered the sanctuary he found her furnished with provision, he said, 
"O Mary from where did you get this?" She said.
 "It is from GOD, surely GOD provides who He pleases without measure" 
(3 : 37).  

        The polytheists brought him the news of the death of his companion Zaid Ibn Ad-Dithinnah (May Allah be pleased with him).

 They hoped thereby to break down his nerves. However, they did not know that Allah, the Most Merciful, had invited him into His hospitality, blessing him with divine tranquility and mercy.  

        They set Out to bargain with him over his faith, promising to save his life if he disbelieved in Muhammad and his Lord, but they were like children trying to catch the sun by a mere arrow-shot.  

        Indeed, Khubaib's faith was like the sun in its strength, flame, light, and far-reachedness. He shed light upon those seeking light and warmed those seeking warmth, but the one who approached him to challenge him would be burned and destroyed.  

        When they lost hope of reaching their desire, they took the hero to face his destiny. They took him to a place called At- Tan'iim, where he would be killed.  

        As soon as they reached this place, Khubaib asked them to allow him to pray two rak'ahs. They allowed him with the hope that he would make up his mind to announce his surrender and disbelief in Allah, His Messenger and His religion.  

       Solemnly, peacefully and humbly Khubaib prayed two rak'ahs.  

        He felt the sweetness of faith within his soul, so that he wished that he could keep on praying and praying. However, he turned toward his killers and said to them, "By Allah, were it not for your thinking that I'm afraid of death, I would have continued praying." Then he lifted his hands towards the sky and said, "O Allah! Count them one by one and then perish them all!" Then he scanned their faces intently and set out singing:  
   
When I am being martyred as a Muslim, 
I do not care in what way I receive my death 
For Allah's sake. 
If He wishes, 
He will bless the cut limbs. 

 It was perhaps the first time in Arab history to crucify a man then kill him on the cross. They had prepared out of palm tree trunks a huge cross on which they fixed Khubaib, his limbs tied tightly. The polytheists gathered in obvious glee at his suffering while spearmen prepared their lances.  

        All that cruelty was intentionally performed slowly in front of the crucified hero. He did not close his eyes, and amazing tranquility beamed from his face. Then spears began to skirmish and swords to tear his flesh into pieces.
  
        One of the Quraish leaders approached him saying, `Would you like Muhammad to be in your place and you be healthy and secure among your kin?"  

       Only then did Khubaib burst like a thunderstorm, shouting to his killers, "By Allah, I woud not like to be among my relatives and sons enjoying all the world's health and well-being while even a tiny thorn hurts the Prophet."  

They were the same great words spoken by Zaid Ibn Ad Dithinnah when he was being killed! The same amazing, dazzling strong words Zaid said one day before they were said by Khubaib. At that, Abu Sufyaan, who had not yet embraced Islam, had to shake his head and say astonished, "By Allah! I've never seen anybody love somebody else the way Muhammad's companions love Muhammad."  

        Khubaib's words were so provocative that the spears and swords began to tear the hero's body to pieces, attacking it with complete madness and cruelty.  

        Not far away from the scene, birds and buzzards were flying around as if waiting for the butchers to end their task and leave the spot so that they could approach the fresh dead body to have a delicious meal. However, soon they called to one another and gathered, and their beaks moved as if whispering and talking. Suddenly they flew away in the sky, far, far away. They smelled by their instinct the scent of a pious, repentant man which spread from his crucified body, so they were ashamed to approach him or to hurt him. The flock of birds flew away, just and pure, into the vastness of space.  

        The group of malicious polytheists returned to their dens in Makkah while the dead body of the martyr stayed there, guarded by a group of Quraishi spearmen.  

        When they were lifting Khubaib onto the palm trunk cross and tying him firmly, Khubaib turned his face towards the sky asking his Ever Magnificent Lord, "Allah! We fulfilled the mission of Your Messenger. Inform him in the early morning of what is happening to us.  

        Allah responded to his prayer. while he was in Al-Madiinah, the Prophet (PBUH) was filled with a strong feeling that his Companions were facing a severe trial, and he could almost see the crucified dead body of one of them.  

        Immediately the Prophet (PBUH) sent for Al-Miqdaad lbn `Amr and Az-Zubair lbn Al-'Awaam. They mounted their horses and set off to cross the land rapidly. Allah guided them to their desired destination. They lowered Khubaib's body to a pure spot of ground waiting to shelter him under its moist soil.  

       No one knows to this day where Khubaib's grave lies. May be that is better and more respectable for him so that he remains in history's memory and in the conscience of life a hero, a hero on the cross.



.¤ª"˜¨¯¨¨'Khubaib Bin 'Adi oo Khubaib Ibn 'Adiy¸,ø¨¨"ª¤.





Para Sahabat - The Companions

.¤ª"˜¨¯¨¨ Zubair Bin Awwam oAz-Zubair Ibn Al'Awaam¸,ø¨¨"ª¤.
 Pembela Rasulullah s.a.w. 


Setiap tersebut nama Thalhah, pastilah disebut orang nama Zubair! Begitu pula setiap disebut nama Zubair, pastilah disebut orang pula nama Thalhah . . . ! Maka sewaktu Rasulullah saw. mempersaudarakan para shahabatnya di Mekah sebelum Hijrah, beliau telah mempersaudarakan antara Thalhah dengan Zubair.Sudah semenjak lama Nabi saw. memperkatakan keduanya secara bersamaan . . . , seperti kata beliau: “Thalhah dan Zubair adalah tetanggaku di dalam surga”. Dan kedua mereka berhimpun bersama Rasul dalam kerabat dan keturunan.

Adapun Thalhah bertemu asal-usul turunannya dengan Rasul pada Murrah bin Ka’ab. Sedang Zubair bertemu pula asal­-usulnya dengan Rasulullah pada Qusai bin Kilab, sebagaimana pula ibunya Shafiah, adalah saudara bapak RasulullahThalhah dan Zubair, kedua mereka banyak persamaan satu sama lain dalam aliran kehidupan Persamaan di antara keduanya sangat banyak: dalam pertumbuhan di masa remaja . . . kekaya­an, kedermawanan, keteguhan beragama dan kegagah-beranian. Keduanya termasuk orang-orang angkatan pertama masuk Islam . . . dan tergolong kepada sepuluh orang yang diberi kabar gembira oleh Rasul masuk surga. Keduanya juga sama termasuk kelompok shahabat ahli musyawarah yang enam, yang diserahi tugas oleh Umar bin Khatthab memilih Khalifah sepeninggal­nya….

Akhir hayatnya juga bersamaan secara sempurna . bahkan satu sama lain tidak berbeda … ! Sebagaimana telah kita katakan, Zubair termasuk dalam rombongan pertama yang masuk Islam, karena ia adalah dari golongan tujuh orang yang mula-mula menyatakan keiislamannya, dan sebagai perintis telah memainkan peranannya yang penuh berkat di rumah Arqam ….Usianya waktu itu baru limabelas tahun. Dan begitulah ia telah diberi petunjuk, nur dan kebaikan selagi masih remaja . . . . Ia benar-benar seorang penunggang kuda dan berani sejak kecilnya , . . hingga ahli sejarah menye­butnya bahwa pedang pertama yang dihunuskan untuk membela Iislam adalah Zubair bin ‘Awwam.

Pada hari-hari pertama dari Islam, sementara Kaum Muslimin waktu itu sedikit sekali hingga mereka selalu bersembunyi­sembunyi di rumah Arqam, tiba-tiba pada suatu hari tersebar berita bahwa Rasul terbunuh.

Seketika itu, tiada lain tindakan Zubair kecuali menghunus pedang dan mengacungkannya, lalu ia berjalan di jalan-jalan kota Mekah laksana tiupan angin kencang, padahal ia masih muds belia . . . ! Ia pergi mula-mula meneliti berita tersebut dengan bertekad seandainya berita itu ternyata benar, maka niscaya pedangnya akan menebas semua pundak orang Quraisy, sehingga ia mengalahkan mereka, atau mereka menewaskan­nya….Di suatu tempat ketinggian kota Mekah, Rasulullah me­nemukannya, lalu sertanya akan maksudnya. Zubair menyampai­kan berita tersebut …. Maka Rasulullah memohonkan bahagia dan mendu’akan kebaikan baginya serta keampuhan bagi pedangnya.

Sekalipun Zubair seorang bangsawan terpandang dalam kaumnya, namun tak kurang ia menanggung adzab derita dan penyiksaan Quraisy. Yang memimpin penyiksaan itu adalah pamannya sendiri. Pernah ia disekap di suatu kurungan, kemu­dian dipenuhi dengan embusan asap api agar sesak nafasnya, lalu dipanggilnya Zubair di bawah tekanan siksa: “Tolaklah olehmu Tuhan Muhammad itu, nanti kulepaskan kamu dari siksa ini!”

Tantangan itu dijawab oleh Zubair dengan pedas dan mengejutkan:  “Tidak . . . demi Allah, aku tak akan kembali kepada kekafiran untuk selama-lamanya!” Padahal pada waktu itu ia belum menjadi pemuda teruna, masih belia bertulang lembut – - – -Zubair melakukan hijrah ke Habsyi (Ethiopia) dua kali, yang pertama dan yang kedua, kemudian ia kembali, untuk menyertai ketinggalan semua peperangan bersama Rasulullah. Tak pernah ia ketinggalan dalam berperang atau bertempur. Banyaknya tusukan dan luka-luka yang terdapat pada tubuhnya dan masih berbekas sesudah lukanya itu sembuh membuktikan pula kepahlawanan Zubair dan keperkasaannya . . . ! 

Maka marilah kita dengarkan bicara salah seorang shahabatnya yang telah menyaksikan bekas-bekas luka yang terdapat hampir pada segenap bagian tubuhnya, demikian katanya: “Aku pernah menemani Zubair ibnul ‘Awwam pada sebagian perjalanan dan’ aku melihat tubuhnya, maka aku saksikan banyak sekali bekas luka goresan pedang, sedang di dadanya terdapat seperti mata air yang dalam, menunjukkan bekas tusukan lembing dan anak panah . . . . 

Maka kataku kepadanya: “Demi Allah, telah ku­saksikan sendiri pada tubuhmu apa yang belum pernah kulihat pada orang lain sedikit pun . . . !” Mendengar itu Zubair men­jawab: “Demi Allah, semua luka-luka itu kudapat bersama Rasulullah pada peperangan di jalan AllahKetika perang Uhud usai dan pasukan Quraisy berbalik kembali ke Mekah, ia diutus Rasul bersama Abu Bakar untuk mengikuti gerakan tentara Quraisy dan menghalau mereka, hingga mereka menganggap Kaum Muslimin masih punya kekuat­an, dan tidak terpikir lagi untuk kembali ke Madinah guna memulai peperangan yang baru.Abu Bakar dan Zubair memimpin tujuh puluh orang Mus­limin. 

Sekalipun mereka sebenarnya sedang mengikuti suatu pasukan yang menang, namun kecerdikan dan muslihat perang yang dipergunakan oleh ash-Shiddiq dan Zubair, membuat orang­-orang Quraisy menyangka bahwa mereka salah duga menilai kekuatan Kaum Muslimin, dan membuat mereka berfikir, bahwa pasukan perintis yang dipimpin oleh Zubair dan ash-Shiddiq dan tampak kuat, tak lain sebagai pendahuluan dari bala tentara Rasul yang menyusul di belakang, dan akan tampil menghalau mereka dengan dansyat. Karena itu mereka bergegas memper­cepat perjalanannya dan mengambil langkah seribu pulang ke Mekah!

Di samping Yarmuk, Zubair merupakan seorang prajurit yang memimpin langsung suatu pasukan …. Sewaktu ia melihat sebagian besar anak buah yang dipimpinnya merasa gentar menghadapi bala tentara Romawi yang menggunung maju, ia meneriakkan “Allahu Akbar” . . . dan maju membelah pasukan, musuh yang mendekat itu seorang diri dengan mengayunkan pedangnya, kemudian ia kembali ke tengah-tengah barisan musuh yang dahsyat itu dengan pedang di tangan kanannya, menari-nari dan berputar bagaikan kincir, tak pernah melemah apalagi berhenti ….Zubair r.a. sangat gandrung menemui syahid! Amat merindu­kan mati di jalan Allah.’ 

Ia pernah berkata: “Thalhah bin Ubaidillah memberi nama anak-anaknya dengan nama Nabi-nabi padahal sudah sama diketahui bahwa tak ada Nabi lagi sesudah Muhammad saw. . . . maka aku menamai anak-anakku dengan nama para syuhada, semoga mereka berjuang mengikuti syu­hada . . . ! Begitulah dinamainya seorang anaknya Abdullah bin Zubair mengambil berkat dengan shahabat yang syahid Abdullah bin Jahasy.

Dinamainya pula seorang lagi al-Munzir mengambil berkat dengan shahabat yang syahid al-Munzir bin Amar. Dinamainya pula yang lain ‘Urwah mengambil berkat dengan ‘Urwah bin Amar. Dan ada pula yang dinamainya Ham­zah, mengambil berkat dengan syahid yang mulia Hamzah bin Abdul Muthalib. Ada lagi Ja’far, mengambil berkat dengan syahid yang besar Ja’far bin Abu Thalib. Juga ada yang dinama­kannya Mush’ab mengambil berkat dengan shahabat yang syahid Mush’ab bin Umeir. Tidak ketinggalan yang dinamainya Khalid mengambil berkat dengan shahabat Khalid bin Sa’id. 

Demikianlah ia seterusnya memilih untuk anak-anaknya nama para syuhada, dengan pengharapan agar sewaktu datang ajal mereka nanti, mereka tercatat sebagai syuhada … !

Dalam riwayat hidupnya telah dikemukakan: ”bahwa ia tak pernah memerintah satu daerah pun, tidak pula mengumpul pajak atau bea cukai, pendeknya tak ada jabatannya yang lain kecuali berperang pada jalan Allah . . . “.

 Kelebihannya sebagai prajurit perang tergambar pada pengandalannya pada dirinya sendiri secara sempurna dan kepercayaan yang teguh. Sekalipun sampai seratus ribu orang menyertainya di medan tempur, namun akan kau lihat bahwa ia berperang seakan-akan sendirian di arena pertempuran …. dan seolah-olah tanggung jawab perang dan kemenangan terpikul di atas pundaknya sendiri.Keistime­waannya sebagai pejuang, terlukis pada keteguhan hatinya dan kekuatan urat syarafnya. Ia menyaksikan gugur pamannya Hamzah di perang Uhud. 

Orang-orang musyrik telah menyayat­-sayat tubuhnya yang terbunuh itu dengan kejam, maka ia berdiri di mukanya dengan sikap satria menahan gejolak hati dengan memegang teguh hulu pedangnya. Tak ada fikirannya yang lain daripada mengadakan pembalasan yang setimpal, tapi wahyu segera datang melarang Rasul dan Muslimin hanya mengingat soal itu sajaDan sewaktu pengepungan atas Bani Quraidha sudah berjalan lama tanpa membawa hasil, Rasulullah mengirimnya bersama. 

Ali bin Abi Thalib. Ia berdiri di muka benteng musuh yang kuat Serta mengulang-ulang ucapannya: “Demi Allah, biar kami rasakan sendiri apa yang dirasakan Hamzah, atau kalau tidak, akan kami tundukkan benteng mereka … !” Kemudian ia terjun ke dalam benteng hanya berdua saja dengan Ali …. Dan dengan kekuatan urat syaraf yang mempesona, mereka berdua berhasil menyebarkan rasa takut pada musuh yang bertahan dalam benteng, lalu membukakan pintu-pintu benteng tersebut bagi kawan-kawan mereka di luar … !

Di perang Hunain, Zubair melihat pemimpin suku Hawazin yang juga menjadi panglima pasukan musyrik dalam perang tersebut namanya Malik bin Auf . . . , terlihat olehnya sesudah pasukan Hawazin bersama panglimanya lari tunggang langgang dari medan perang Hunain, ia sedang berdua di tengah-tengah gerombolan besar shahabat-shahabatnya bersama sisa pasukan yang kalah, maka secara tiba-tiba diserbunya rombongan itu seorang diri, dan dikucar-kacirkannya kesatuan mereka, kemudi­an dihalaunya mereka dari tempat persembunyian yang mereka gunakan sebagai pangkalan untuk menyergap pemimpin-pemim­pin Iislam yang baru kembali dari arena peperangan.Kecintaan dan penghargaan Rasul terhadap Zubair luar biasa sekali, dan Rasulullah sangat membanggakannya, katanya: “setiap Nabi mempunyai pembela dan pembe itu adalah Zubair bin ‘Awwam … !”

 Karena bukan saja ia saudara sepupunya dan suami dari Asma binti Abu Bakar yang mempunyai dua puteri semata, tapi lebih dari itu adalah karena pengabdiannya yang luar biasa, keberaniannya yang perkasa, kepemurahannya yang tidak terkira dan pengorbanan diri dan hartanya untuk Allah Tuhan dan islam semata. Sungguh, Hasan bin Tsabit telah melukiskan sifat-sifatnya ini dengan indah sekali, katanya: “Ia berdiri teguh menepati janjinya kepada Nabi dan mengikuti petunjuknya. Menjadi pembelanya, sementara perbuatan sesuai dengan perkataannya. Ditempuhnya jalan yang telah digunakan­nya, tak hendak menyimpang dari padanya.

 Bertindak sebagai pembela kebenaran, karena kebenaran itu jalan sebaik-baiknya.Ia adalah seorang berkuda yang termasyhur, dan pahlawan yang gagah perkasa.Merajalela di medan perang dan ditakuti di setiap arena.

 Dengan Rasulullah mempunyai pertalian darah dan masih berhubungan keluarga.Dan dalam membela islam mempunyai jasa-jasa yang tidak terkira.Betapa banyaknya mara bahaya yang mengancam Rasulullah Nabi al-Musthafa.Disingkirkan Zubair dengan ujung pedangnya, maka semoga Allah membalas jasa-jasanya”.Ia seorang yang berbudi tinggi dan bersifat mulia . . . . 

Ke­beranian dan kepemurahannya seimbang laksana dua kuda satu tarikan . . . ! Ia telah berhasil mengurus perniagaannya dengan gemilang, kekayaannya melimpah, tetapi semua itu dibelanja­kannya untuk membela Islam, sehingga ia sendiri mati dalam berutang . . . ! 

Tawakkalnya kepada Allah merupakan dasar kepemurahannya, sumber keberanian dan pengorbanannya .. . hingga ia rela menyerahkan nyawanya, dan diwasiatkannya kepada anaknya Abdullah untuk melunasi utang-utangnya, demikian pesannya: “Bila aku tak mampu membayar utang, minta tolonglah kepada Maulana … induk semang kita … “.
Lalu ditanya anaknya Abdullah: “Maulana yang mana bapak maksudkan . . . ?” 
Maka jawabnya: “Yaitu Allah Induk Semang dan Penolong kita yang paling utama … !”
Kata Abdullah kemudian: “Maka demi Allah, setiap aku terjatuh ke dalam kesukaran karena utangnya, tetap aku memohon: 
“Wahai Induk Semang Zubair, lunasilah utangnya, maka Allah mengabulkan permohonan itu, dan alhamdulillah hutang pun dapat dilunasi . . . “.

Dalam perang Jamal sebagaimana telah kami utarakan dalam ceriteranya yang lalu mengenai Thalhah, Zubair menemui akhir hayat dan tempat kesudahannya . . . . 

Sesudah ia menyadari kebenaran .dan berlepas tangan dari peperangan, terus diintai oleh golongan yang menghendaki terus berkobarnya api fitnah, lalu ia pun ditusuk oleh seorang pembunuh yang curang waktu ia sedang lengah, yakni di kala ia sedang shalat menghadap Tuhannya ….

Si pembunuh itu pergi kepada Imam Ali, dengan maksud melaporkan tindakannya terhadap Zubair, dengan dugaan bahwa kabar itu akan membuat Ali bersenang hati, apalagi sambil menanggalkan pedang-pedang Zubair yang telah dirampasnya setelah melakukan kejahatan tersebut . . . .

Tetapi Ali berteriak demi mengetahui bahwa di muka pintu ada pembunuh Zubair yang minta idzin masuk dan memerintah­kan orang untuk mengusirnya, katanya: “Sampaikan berita kepada pembunuh putera ibu Shafiah itu, bahwa untuknya telah disediakan api neraka … !” 

Dan ketika pedang Zubair ditunjuk­kan kepada Ali oleh beberapa shahabatnya, ia mencium dan lama sekali ia menangis kemudian katanya: 
“Demi Allah, pedang ini sudah banyak berjasa, digunakan oleh pemiliknya untuk melindungi Rasulullah dari marabahaya . . . “.

Dalam mengakhiri pembicaraan kita mengenai dirinya,apakah masih ada penghormatan yang lebih indah dan berharga untuk dipersembahkan kepada Zubair, dari ucapan Imam Ali sendiri … ? 

Yaitu :
“Selamat dan bahagia bagi Zubair dalam kematian sesudah mencapai kejayaan hidupnya . . . ! 
Selamat, kemudian selamat kita ucapkan kepada pembela Rasulullah …


AZ -ZUBAIR IBN AL `AWAAM  
The Prophet's Disciple!

        It is almost impossible to mention Talhah without mentioning Az-Zubair, too, and almost impossible to mention Az-Zubair without mentioning Talhah as well.  

        When the Prophet (PBUH) was fraternizing with his Companions in Makkah before the Hijrah to Al-Madiinah, he fraternized with Talhah and Az-Zubair.  

        The Prophet (PBUH) often talked about them together, for example in his statement "Talhah and Ar-Zubair are my neighbors in Paradise."  

       Both of them were linked to the Prophet (PBUH) through relationship and descent. As for Talhah he is linked to the Prophet (PBUH) through Murah lbn Ka'b. Zubair's lineage is linked to the Prophet through Qusaii Ibn Kulaab. In addition to that, his mother Safiah is the Prophet's paternal aunt.  

        Talhah and Az-Zubair resembled each other tremendously in their fates. The similarity between them was enormous in terms of their upbringing, their wealth, their generosity, their religious solidarity, and their magnificent bravery. Both of them were early converts to Islam. Both of them were among the ten to whom Paradise was promised by the Prophet (PBUH) and among the six whom `Umar entrusted with the duty of choosing the next caliph following him. Even their destiny was one of complete similarity. In fact was one destiny.  

        As mentioned, Az-Zubair's embracement of Islam was an early one. Indeed he was one of the first seven who quickened their steps towards Islam and played a role with the blessed early converts at Daar Al-Arqam. At that time he was 15 years old; that is how he was endowed with guidance, light, and all the good while still a youth.  

        He was a horseman and a bold warrior from childhood, to the extent that historians mention that the first sword lifted in Islam was Az-Zubair's sword. 

        In the very early days of Islam, while the Muslims were still few in number, hiding in Daar Al- Arqam, a rumor spread that the Prophet (PBUH) had been killed. Az-Zubair had hardly heard that when he unsheathed his sword and hurried through the streets of Makkah although still so young.  

        First he went to learn the truth of what had been said, determined that if it were true, he would cut the whole of the Quraish into pieces until they killed him.  

        On the high hills of Makkah, the Prophet (PBUH) met him and asked, "What's the matter?" Az- Zubair told him the news. The Prophet (PBUH) prayed for him and asked Allah to bestow mercy and all good upon him, and victory upon his sword.  

        Despite Az-Zubair's nobility among his clan, he had to carry the burden of the Quraish's persecution and torment. It was his uncle who was in charge of his torture. He wrapped him in a mat, set it on fire to let him suffocate, and called to him while he was under the pressure of severe torture, "Disbelieve in Muhammad's Lord and I will ward off this torture."  

       Az-Zubair, who was at that time no more than a growing youth, replied in a horrible challenging way, "No! By Allah, I won't return to polytheism ever again."  

Az-Zubair emigrated to Abyssinia twice, in the first and second migrations. Then he returned to take part in the battles with the Prophet (PBUH). No raid or battle ever missed him.  

       Plentiful were the stabs which his body had to receive and preserve even after his wounds had been healed. They were like medals telling of Az-Zubair's heroism and glory.  

        Let us listen to one of his companions, who once saw and described these medals, which crowded each other over his body: While accompanying Az- Zubair in one of his journeys, I saw his body spotted with sword scars. His chest was like hollow eyes due to the variety of stabs and wounds. I said to him, "I've seen on your body what I've never seen before." He replied, "By Allah, I haven't received one of them except while I was with the Prophet (PBUH) and in the cause of Allah."  

        During the Battle of Uhud, after the army of the Quraish had retreated towards Makkah, the Prophet (PBUH) assigned him together with Abu Bakr to follow the Quraish's army and to chase them so they would realize how strong the Muslim party was and would not think of reattacking Al-Madiinah and continuing the fight. Abu Bakr and Az-Zubair led 70 Muslims. Although they were chasing a victorious army, the military skill used by As-Siddiiq and Az-Zubair, made the Quraish think that they had overestimated the Tosses of the Muslim party. They thought that the powerful front row, whose strength Az-Zubair and As-Siddiiq successfully demonstrated, was nothing other than the advance guard of the Prophet's army, which seemed to approach in order to launch a horrible pursuit. The Quraish hastened away and quickened their pace towards Makkah.  

        On the Day of Al-Yarmuuk, Az-Zubair was an army in himself. When he saw most of the warriors under his command moving backwards when they saw the huge advancing Roman "mountains", he cried, "Allahu akbar! Allah is the greatest!" With a sharp striking sword he burst alone into those advancing "mountains", then he retreated, then penetrated the same horrible rows with his sword in his right hand, never tripping nor slipping.  

        May Allah be pleased with him who was so much in love with martyrdom, full of enthusiasm for dying in the cause of Allah. He said, "Talhah gives his sons names of the Prophets and he knows there is no prophet after Muhammad (PBUH). But I give my sons the names of martyrs, and may they die as martyrs!"  

        In this way he named one son `Abd Allah as a good omen, after the martyr Companion Abd Allah lbn Jahsh; another he named Al-Mundhir after the martyr Companion Al-Mundhir lim `Amr;  another he named Urwah after the martyr Companion `Urwah Ibn `Amr; another he called Hamzah after the martyr Companion Hamzah Ibn Abi Taalib; another he called Ja'far after the martyr Companion Ja'far Ibn Abi Taalib; another he called Mus`ab after the martyr Companion Mus'ab Ibn Umair and another he called Khaalid after the martyr Companion Khaalid lbn Sa`iid.  

        In this way he chose for his sons the names of martyrs, hoping that they would all die martyrs.  

        It is mentioned in his biography that he never held a governorship, nor the task of collecting taxes or tribute, but only the task of fighting in the cause of Allah.  

        His merit as a warrior can be seen in his total self-reliance and his complete self-confidence.  

        Even if 100,000 warriors were to join him in combat, you would still see him fighting as if standing alone on the battlefield, and as if the responsibility of fighting and for victory rested on him alone.  

        His merit as a warrior is represented in his firmness and the strength of his nerves.  
     
   He saw his uncle Hamzah on the Day of Uhud: the polytheists had cut his corpse into pieces in a dreadful way. He stood in front of him like a high firm rooted mountain, gritting his teeth while holding his sword tightly, having nothing in mind except a horrible revenge. Soon, however, a divine revelation prohibited the Prophet (PBUH) and the Muslims from even the slightest thought of such a thing.  

        When the Bani Quraidhah siege lasted a long period without their surrender, the Prophet (PBUH) sent him with `Aliy Ibn Abi Taalib. There in front of the insurmountable fortress he stood and repeated several times,"By Allah We will taste what Hamzah tasted or we will open their fortress." Then they two alone threw themselves into the fortress.  

       With admirable strong nerves, they were able to terrify the besieged inside it and to open its gates. 

        On the Day of Hunain he could see Maalik lbn `Awf, leader the of Hawaazin and of the polytheist army, after his defeat in Hunain standing in the midst of some of his companions and the remnants of his defeated army. He burst alone into their midst and single handedly scattered them and pushed them away from the place of ambush from which they kept an eye on the Muslim leaders who were returning from the battlefield.  

        His share of the Prophet's love and appreciation was great.  

        The Prophet (PBUH) was so proud of him that he said, "Every prophet has a disciple, and my disciple is Az-Zubair Ibn Al `Awaam." He was not only his cousin and the husband of Asmaa Bint Abu Bakr ("The Lady of the Two Belts") but, moreover, he was the powerful, loyal, brave, bold, generous, and bountiful, who gave away and devoted his life and money for Allah, Lord of all the worlds.  

        His characteristics were noble, his good qualities great. His bravery and generosity were always parallel to each other. He managed a successful trade, and his fortune was enormous; however, he spent all of that in the cause of Islam until he died in debt. His trust in Allah was the reason behind his generosity, bravery, and redemption.  

        Even when he generously gave up his soul, he asked his son to pay his debt. "If you're unable to pay it, then seek my Master's help." `Abd Allah asked him, "Which master do you mean?" He answered, "Allah. He is the best Guardian, the best Helper." `Abd Allah said afterwards, "By Allah I never fell into trouble because of his debt. I only said, `O Master of Zubair, pay his debt,' so He did."  
     
   On the Day of Al-Jamal, and in the same way previously mentioned about Talhah, was Az-Zubair's end and fate. After he saw it right to refrain from fighting, a group of those who had been keen to see the flames of civil strife continuously raging and never extinguished followed him. A treacherous murderer stabbed him while he was praying and standing between the hands of Allah.  

        The murderer went to Imam `Aliy, thinking that he would be announcing to him good news when telling him about his attack upon Az-Zubair and when putting into his hands the sword which he had stolen from him after committing his crime. When `Aliy knew that Az-Zubair's murderer was standing at his door asking permission to enter, he shouted ordering that he be expelled and said, "Announce Hell to the murderer of Safiah's son!" When they showed him Az Zubair's sword, Imam `Aliy kissed it and then cried painfully saying,

 "A sword whose owner had so long wiped the Prophet's grief."  

        Is there a better, more wonderful and eloquent salute to be directed to Az-Zubair at the end of our talk than the words of lmam `Aliy?  
       
 May peace be upon Az-Zubair in death after his life. 
Peaceful greeting after peaceful greeting upon the Prophet's disciple.




.¤ª"˜¨¯¨¨ Zubair Bin Awwam oAz-Zubair Ibn Al'Awaam¸,ø¨¨"ª¤.