acebook



.¤ª"˜¨¯¨¨Sa'id Bin Amir oSa'iid Ibn 'Aamir¸,ø¨¨"ª¤.
Pemilik kebesaran di balik kesederhanaan. 

Siapa yang kenal nama ini, dan siapa pula di antara kita yang pernah mendengarnya sebelum ini … ?Berat dugaan bahwa banyak di antara kita — kalau tidak semua —yang belum pernah mendengarnya sama sekali. Dan saya yakin bahwa anda sekalian sekarang sama menunggu dan bertanya­-tanya, siapakah kiranya Sa’id bin ‘Amir ini … ?
Tentu! Saat ini akan anda ketahui juga siapa dia tokoh tersebut …. 

Ia adalah salah seorang shahabat Rasulullah yang utama, walaupun namanya tidak seharum nama mereka yang telah terkenal. Ia adalah salah seorang yang taqwa dan tak hendak menonjolkan diri!
Mungkin ada baiknya kita kemukakan di sini bahwa ia tak pernah absen dalam semua perjuangan dan jihad yang dihadapi Rasulullah saw. Tetapi itu telah menjadi pola dasar kehidupan semua orang Islam. Tidak selayaknya bagi orang yang beriman akan tinggal berpangku tangan dan tidak hendak turut meng­ambil bagian dalam apa juga yang dilakukan Nabi, baik di arena damai maupun dalam kancah peperangan.Sa’id menganut Islam tidak lama sebelum pembebasan Khaibar. Dan semenjak itu ia memeluk Islam dan bai’at kepada Rasulullah saw. Seluruh kehidupannya, segala wujud dan cita‑citanya .dibaktikan kepada keduanya. Maka ketaatan dan kepa­tuhan, zuhud dan keshalihan, keluhuran dan ketinggian, pendek­nya segala sifat dan tabi’at utama, mendapati manusia suci dan baik ini sebagai saudara kandung dan teman yang setia … !

Dan ketika kita berusaha hendak menemui dan menjajagi kebesarannya, hendaklah kita bersikap hati-hati dan waspada, hingga kita tidak terkecoh menyebabkannya lenyap atau lepas dari tangan . . . . Karena sewaktu pandangan kita tertumbuk pada Sa’id dalam kumpulan orang banyak, tidak suatu pun ke­istimewaan yang akan memikat dan mengundang perhatian kita. Mata kita akan melihat salah seorang anggota regu tentara dengan tubuh berdebu dan berambut yang kusut masai, yang baik pakaian maupun bentuk lahirnya tak sedikit pun bedanya dengan golongan miskin lainnya dari Kaum Muslimin … !Seandainya yang kita jadikan ukuran itu pakaian dan rupa lahir, maka takkan kita jumpai petunjuk yang akan menyatakan siapa sebenarnya ia. Kebesaran tokoh ini lebih mendalam dan berurat akar daripada tersembul di permukaan lahir yang kemilau. la jauh tersembunyi di sana, di balik kesederhanaan dan kesahajaannya …. Tahukah anda sekalian akan mutiara yang terpendam di perut lokan. Nah, keadaannya boleh ditamsilkan dengan itu ….

Ketika Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab memecat Mu’awiyah dari jabatannya sebagai kepala daerah di Syria, ia menoleh kiri dan kanan mencari seseorang yang akan menjadi penggantinya. Dan sistim yang digunakan Umar untuk memilih pegawai dan pembantunya, merupakan suatu sistim yang me­ngandung segala kewaspadaan, ketelitian dan pemikiran yang matang. Sebabnya ialah karena ia menaruh keyakinan bahwa setiap kesalahan yang dilakukan oleh setiap penguasa di tempat Yang jauh sekali pun, maka yang akan ditanya oleh Allah swt. ialah dua orang: pertama Umar . . . , dan kedua baru penguasa Yang melakukan kesalahan itu ….

Oleh sebab itu syarat-syarat yang dipergunakannya untuk menilai orang dan memilih para pejabat pemerintahan amat berat dan ketat serta didasarkan atas pertimbangan tajam dan sempurna, setajam penglihatan dan setembus pandangannya …. Di Syria ketika itu merupakan wilayah yang modern dan besar, sementara kehidupan di sana sebelum datangnya Islam meng­ikuti peradaban yang silih berganti, di samping ia merupakan pusat perdagangan yang penting dan tempat yang cocok untuk bersenang-senang . . . , hingga karena itu dan disebabkan hal itu ia merupakan suatu negeri yang penuh godaan dan rangsangan. Maka menurut pendapat Umar, tidak ada yang cocok untuk negeri itu kecuali seorang suci yang tidak dapat diperdayakan syetan manapun . . . , seorang zahid yang gemar beribadat, yang tunduk dan patuh serta melindungkan diri kepada Allah …. Tiba-tiba Umar berseru, katanya: “Saya telah menemukan­nya … I Bawa ke sini Sa’id bin ‘Amir … ! “
Tak lama antaranya datanglah Sa’id mendapatkan Amirul Mu’­minin yang menawarkan jabatan sebagai wali kota Homs. Tetapi Sa’id menyatakan keberatannya, katanya: “Janganlah saya dihadapkan kepada fitnah, wahai Amirul Mu’minin … ! “ Dengan nada keras Umar menjawab: “Tidak, demi Allah saya tak hendak melepaskan anda! Apakah tuan-tuan hendak membebankan amanat dan khilafat di atas pundakku lalu tuan-tuan meninggalkan daku . “

Dalam sekejap saat, Sa’id dapat diyakinkan. Dan memang kata-kata yang diucapkan Umar layak untuk mendapatkan hasil Yang diharapkan itu. Sungguh suatu hal yang tidak adil namanya bila mereka me­ngalungkan ke lehernya amanat dan jabatan sebagai khalifah, lalu mereka tinggalkan ia sebatang kara ….Dan seandainya seorang seperti Sa’id bin ‘Amir menolak untuk  memikul tanggung jawab hukum, maka siapa lagi yang akan membantu Umar dalam memikul tanggung jawab yang amat berat itu … ? 

Demikianlah akhirnya Sa’id berangkat ke Homs. Ikut bersamanya isterinya;  dan sebetulnya kedua mereka adalah pe­ngantin baru. Semenjak kecil isterinya adalah seorang wanita Yang amat cantik berseri-seri. Mereka dibekali Umar secukupnya,  Ketika kedudukan mereka di Homs telah mantap, sang isteri bermaksud menggunakan haknya sebagai isteri untuk memanfaatkan harta yang telah diberikan Umar sebagai bekal mereka. 

Diusulkannya kepada suaminya untuk membeli pakaian yang layak dan perlengkapan rumah tangga, lalu menyimpan sisanya. Jawab Sa’id kepada isterinya: “Maukah kamu saya tunjuk­kan yang lebih baik dari rencanamu itu? Kita berada di suatu negeri yang amat pesat perdagangannya dan laris barang jualan­nya. Maka lebih baik kita serahkan harta ini kepada seseorang yang akan mengambilnya sebagai modal dan akan memper­kembangkannya … ! “Bagaimana jika perdagangannya rugi?” tanya isterinya. “Saya akan sediakan borg atau jaminan”, ujar Sa’id.

 “Baiklah kalau begitu” kata isterinya pula. Kemudian Sa’id pergi ke luar, lalu membeli sebagian keperluan hidup dari jenis yang amat bersahaja, dan sisanya — yang tentu masih banyak itu — dibagi-bagikannya kepada faqir miskin dan orang-orang mem­butuhkan. Hari-hari pun berlalu, dan dari waktu ke waktu. isteri Sa’id menanyakan kepada suaminya soal perdagangan mereka dan bilakah keuntungannya hendak dibagikan. Semua itu dijawab oleh Sa’id bahwa perdagangan mereka berjalan lancar, sedang keuntungan bertambah banyak dan kian meningkat.

Pada suatu hari isterinya memajukan lagi pertanyaan serupa di hadapan seorang kerabat yang mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Sa’id pun tersenyum lalu tertawa yang menye­babkan timbulnya keraguan dan kecurigaan sang isteri. Didesak­nyalah suaminya agar menceritakannya secara terus terang. Maka disampaikannya bahwa harta itu telah disedeqahkannya dari semula.
Wanita itu pun menangis dan menyesali dirinya karena harta itu tak ada manfaatnya sedikit pun, karena tidak jadi dibelikan untuk keperluan hidup dirinya, dan sekarang tak sedikit pun tinggal sisanya ….
Sa’id memandangi isterinya, sementara air mata penyesalan dan kesedihan telah menambah kecantikan dan kemolekannya. Dan sebelum pandangan yang penuh godaan itu dapat mempengaruhi dirinya, Sa’id menujukan penglihatan bathinnya ke surga, maka tampaklah di sana kawan-kawannya yang telah pergi mendahului­nya, lalu katanya: “Saya mempunyai kawan-kawan yang telah lebih dulu menemui Allah . . . dan saya tak ingin menyimpang dari jalan mereka, walau ditebus dengan dunia dan segala isinya Dan karena is takut akan tergoda oleh kecantikan isterinya itu, maka katanya pula yang seolah-olah dihadapkan kepada dirinya sendiri bersama isterinya: “Bukankah kamu tabu bahwa di dalam surga itu banyak ter­dapat gadis-gadis cantik yang bermata jeli, hingga andainya seorang saja di antara mereka menampakkan wajahnya di muka bumi, maka akan terang-benderanglah seluruhnya, dan tentulah cahayanya akan mengalahkan sinar matahari dan bulan …
Maka mengurbankan dirimu demi untuk mendapathan mereka, tentu lebih wajar dan lebih utama daripada mengur­bankan mereka demi karena dirimu … ! “
Diakhirinya ucapan itu sebagaimana dimulainya tadi, dalam keadaan tenang dan tenteram, tersenyum simpul dan pasrah … Isterinya diam dan maklum bahwa tak ada yang lebih utama ? dan mengendalikan diri untuk mencontoh sifat zuhud dan ke­ taqwaannya … !

Dewasa itu Homs digambarkan sebagai Kufah kedua. Hal disebabkan sering terjadinya pembangkangan dan pendur­hakaan penduduk terhadap para pembesar yang memegang kuasaan. Dan karena kota Kufah dianggap sebagai pelopor slam soal pembangkangan ini, maka kota Homs diberi julukan bagai Kufah kedua. Tetapi bagaimanapun gemarnya orang-orang Homs ini menentang pemimpin-pemimpin mereka sebagai kita sebutkan itu, namun terhadap hamba yang shalih sebagai Sa’id, hati mereka dibukakan Allah, hingga mereka cinta dan taat kepadanya.

Pada suatu hari Umar menyampaikan berita kepada Said: “Orang-orang Syria mencintaimu . . .!” “Mungkin sebabnya karena saya suka menolong dan membantu mereka”, ujar Said. Hanya bagaimana juga cintanya warga kota Homs terhadap Said, namun adanya keluhan dan pengaduan tak dapat dielakkan . . . , sekurang-kurangnya untuk membuktikan bahwa Homs masih tetap menjadi saingan berat bagi kota Kufah di Irak … !

Suatu ketika, tatkala Amirul Mu’minin Umar berkunjung ke Homs, ditanyakannya kepada penduduk yang sedang  berkumpul lengkap: “Bagaimana pendapat kalian tentang Sa’id . . . ?” Sebagian hadirin tampil ke depan mengadukannya. Tetapi rupanya pengaduan itu mengandung barkah, karena dengan demikian terungkaplah dari satu segi kebesaran pribadi tokoh kita ini, kebesaran yang amat menakjubkan serta me­ngesankan … !
Dari kelompok yang mengadukan itu Umar meminta agar mereka mengemukakan titik-titik kelemahannya satu demi satu. Maka atas nama kelompok tersebut majulah pembicara yang mengatakan:
“Ada empat hal yang hendak kami kemukakan:
1.    la baru keluar mendapatkan kami setelah tinggi hari
2.    Tak hendak melayani seseorang di waktu malam hari ….
3.    Setiap bulan ada dua hari di mana ia tak hendak keluar mendapatkan kami hingga kami tak dapat menemui­nya….
4.    Dan ada satu lagi yang sebetulnya bukan merupakan kesalahannya tapi mengganggu kami, yaitu bahwa sewaktu­-waktu ia jatuh pingsan . . .”.

Umar tunduk sebentar dan berbisik memohon kepada Allah, katanya: “Ya Allah, hamba tahu bahwa ia adalah hamba-Mu terbaik, maka hamba harap firasat hamba terhadap dirinya tidak meleset “.
Lalu Said dipersilahkan untuk membela dirinya, ia ber­kata: “Mengenai tuduhan mereka bahwa saya tak hendak keluar sebelum tinggi hari, maka demi Allah, sebetulnya saya tak hendak menyebutkannya, . . . Keluarga kami tak punya khadam atau pelayan, maka sayalah yang mengaduk tepung dan membiarkannya sampai mengeram, lalu saya membuat roti dan kemudian wudlu untuk shalat dluha. Setelah itu barulah saya keluar mendapatkan mereka … ! “

Wajah Umar berseri-seri, dan katanya: “Alhamdulillah …. dan mengenai yang kedua?” Maka Sa’id pun melanjutkan pembicaraannya: “Adapun tuduhan mereka bahwa saya tak mau melayani mereka di waktu malam . . . , maka demi Allah saya benci menyebutkan sebabnya .. .! Saya telah menyediakan Siang hari bagi mereka, dan malam hari bagi Allah Ta’ala . . . ! sedang ucapan mereka bahwa dua hari setiap bulan di mana saya tidak menemui mereka . . . , maka sebabnya sebagai saya katakan tadi — saya tak punya khadam yang akan mencuci pakaian, sedang pakaianku tidak pula banyak untuk diper­gantikan. Jadi terpaksalah saya mencucinya dan menunggu sampai kering, hingga baru dapat keluar di waktu petang … Kemudian tentang keluhan mereka bahwa saya sewaktu­-waktu jatuh pingsan . . . sebabnya karena ketika di Mekah dulu saya telah menyaksikan jatuh tersungkurnya Khubaib al-Anshari. Dagingnya dipotong-potong oleh orang Quraisy dan mereka bawa ia dengan tandu sambil mereka menanya­kan kepadanya: “Maukah tempatmu ini diisi oleh Muham­mad sebagai gantimu, sedang kamu berada dalam keadaan sehat wal ‘afiat .. .? Jawab Khubaib: Demi Allah, saya tak ingin berada dalam lingkungan anak isteriku diliputi oleh keselamatan dan kesenangan dunia, sementara Rasulullah ditimpa bencana, walau oleh hanya tusukan duri sekali­pun…

Maka setiap terkenang akan peristiwa yang saya saksikan itu, dan ketika itu saya masih dalam keadaan musyrik, lalu teringat bahwa saya berpangku tangan dan tak hendak mengulurkan pertolongan kepada Khubaib, tubuh saya pun gemetar karena takut akan siksa Allah, hingga ditimpa penyakit yang mereka katakan itu . . . “. Sampai di sana berakhirlah kata-kata Sa’id, ia membiarkan kedua bibirnya basah oleh air mata yang suci, mengalir dari jiwanya yang shalih ….Mendengar itu Umar tak dapat lagi menahan diri dan rasa harunya, maka berseru karena amat gembira: “Alhamdulillah, karena dengan taufiq-Nya firasatku tidak meleset adanya . . .!” Lalu dirangkul dan dipeluknya Sa’id, serta diciumlah keningnya yang mulia dan bersinar cahaya… . Nah, petunjuk macam apakah yang telah diperoleh makhluq seperti ini . . . ? Guru dari kaliber manakah Rasulullah saw. itu … ? Dan sinar tembus seperti apakah Kitabullah itu ……..Corak sekolah yang telah memberikan bimbingan dan meniupkan inspirasi manakah Agama Islam ini … ?Tetapi mungkinkah bumi dapat memikul di atas punggungnya jumlah yang cukup banyak dari tokoh-tokoh berkwalitas demi­kian?

Sekiranya mungkin, tentulah ia tidak disebut bumi atau dunia lagi …. lebih tepat bila dikatakan Surga Firdausi …. Sungguh, ia telah menjadi Firdaus yang telah dijanjikan Allah! Dan karena Firdaus itu belum tiba waktunya, maka orang-orang yang lewat di muka bumi dan tampil di arena kehidupan dari tingkat tinggi dan mulia seperti ini amat sedikit dan jarang adanya . . . Dan Sa’id bin ‘Amir adalah salah seorang di antara mereka …. Uang tunjangan dan gaji yang diperolehnya banyak sekali, sesuai dengan kerja dan jabatannya, tetapi yang diambilnya hanyalah sekedar keperluan diri dan isterinya, sedang selebihnya dibagi-bagikan kepada rumah-rumah dan keluarga-keluarga lain yang membutuhkannya.

Suatu ketika ada yang menasihatkan kepadanya: Berikanlah kelebihan harta ini untuk melapangkan keluarga dan famili isteri anda! Maka ujarnya: “Kenapa keluarga dan ipar besanku saja yang harus lebih kuperhatikan . ., .? Demi Allah, tidak! Saya tak hendak menjual keridlaan Allah dengan kaum kera­batku – - -!”

Memang telah lama dianjurkan orang kepadanya: “Janganlah ditahan-tahan nafqah untuk diri pribadi dan keluarga anda, dan ambillah kesempatan untuk meni’mati hidup!”
Tetapi jawaban yang keluar hanyalah kata-kata yang senantiasa diulang-ulangnya: “Saya tak hendak ketinggalan dari rombongan pertama, yakni setelah saya dengar Rasulullah saw. bersabda:
“Allah ‘Azza wa Jalla akan menghimpun manusia untuk dihadapkan he pengadilan. Maka .datanglah orang-orang miskin yang beriman, berdesak-desakkan maju he depan tak ubahnya bagai kawanan burung merpati. Lalu ada yang berseru kepada mereka: Berhentilah kalian untuk menghadapi perhitungan! Ujar mereka: Kami tak punya spa-spa untuk dihisab. Maka Allah pun berfirman: Benar­lah hamba-hamba-Ku itu . . . ! Lalu masuklah mereka he dalam surga sebelum orang-orang lain masuk

Dan pada tahun 20 Hijriyah dengan lembaran yang paling bersih, dengan hati yang paling suci dan dengan kehidupan yang Paling cemerlang., Sa’id bin ‘Amir pun menemui Allah ….
Telah lama sekali rindunya terpendam untuk menyusul rombongan perintis, yang hidupnya telah dinadzarkannya untuk memelihara janji dan mengikuti langkah mereka ….
Sungguh, rindunya telah tiada terkira untuk dapat menjum­pai Rasul yang menjadi gurunya, serta teman sejawatnya yang shalih dan suci ….!
Maka sekarang la akan menemui mereka dengan hati tenang, jiwa yang tenteram dan beban yang ringan ….
Yang tak ada beserta atau di belakangnya beban dunia atau harta benda yang akan memberati punggung atau menekan bahunya ….
Tak ada yang dibawanya kecuali zuhud, keshalihan dan ke­tagwaannya serta kebenaran jiwa dan budi baiknya …. Semua itu adalah keutamaan yang akan memberatkan daun timbangan, dan sekali-kali takkan memberatkan beban pikulan … !
Keistimewaan tersebut dipergunakan oleh pemiliknya untuk menggoncang dunia, dan dijadikan pegangan yang kokoh se­hingga tak tergoyahkan oleh tipu daya dunia … !

Selamat bahagia bagi Sa’id bin ‘.,4mir … !
Selamat baginya, baik  selagi hidup maupun sctelah wafatnya…!
Selamat, sekah lagi selamat, terhadap riwayat dan kenan-kenangannya.
Serta selamat bahagia pula bagi Para shahabat Rasulullah yakni orang-orang mulia dan gemar beramal serta rajin ber­ibadat … !

(10)  
SA'IID IBN `AAMIR  
Greatness Under Worn-out Garments 

        Does any of us know this man or have any of us ever heard his name before? Most probably, the majority of us, if not all, have not heard his name mentioned before. I imagine that you wonder, who is Sa'iid Ibn `Aamir? Well, you are about to embark on a journey back in time so as to find out all that there is to be known about this "happy" ("Sa'iid" means "happy ") man, so fasten your seat belts.  

        In short, Sa'iid was one of the outstanding Companions of the Prophet (PBUH), notwithstanding the fact that his name was seldom, if ever, mentioned. He was one of the most distinguished unknown pious Companions. It was natural that he, like all Muslims, would accompany the Prophet (PBUH) in all his expeditions and battles, for as a believer, he could not lag or turn his back on Allah's Prophet (PBUH) in peace or war time. Shortly before the Conquest of Khaibar, Sa'iid submitted himself to Islam. Ever since he embraced Islam and gave his allegiance to the Prophet (PBUH)), he consecrated his life, existence, and destiny to the service of Islam. All the great virtues of obedience, asceticism, dignity, humbleness, piety, and pride thrived harmoniously inside this pure and kind man.  

       In our attempt to unveil his greatness, we must bear in mind that, in most cases, appearance contrasts with reality. If we are to judge him by his outer looks, we will not do him justice, for he was definitely ill-favored as regards his appearance. He had dusty uncombed hair. Nothing in his looks or appearance distinguished him from poor Muslims. If we are to judge his reality by his appearance, we will see nothing impressive or breath-taking. But if we dive deep into his inner self beyond his outer appearance, we will see greatness in the full meaning of the word. His greatness stood aloof from the splendor and ornament of life. Yet, it lurked there beyond his modest appearance and worn-out garments. Have you ever seen a pearl hidden inside its shell? Well, he was much like this hidden pearl.  

   When the Commander of the Faithful `Umar Than Al- Khattaab dismissed Mu'aawiyah from his position as governor of Homs in Syria, he exerted himself in searching for someone who was qualified to take over his position.  

        Undoubtedly, `Umar's standards of choice of governors and assistants were highly cautious, meticulous, and scrutinizing. He believed that if a governor committed a sin, error, or violation, two people would be asked to account for it before Allah: `Umar and the governor, even if this governor were in the farthest corner of the earth. His standards of estimation and evaluation of governors were highly subtle, alert, and perceiving. Centuries before the advent of Islam, Homs was a big city that witnessed, one after the other, the dawn and eclipse of many civilizations. besides, it was a vital trade center. The attractions of the vast city turned it into a place of seduction and temptation. In `Umar's opinion only an ascetic, devout, and repentant worshiper would be able to resist and renounce its attractions.  

        `Umar suddenly realized that Sa'iid Ibn `Aamir was the man he was looking for and cried out, "Sa'iid Ibn `Aamir is the right man for this mission." He summoned him. Sa'iid was offered the governorship by the Commander of the Faithful, but he refused saying, "Do not expose me to Fitnah (trials and affliction)." `Umar then cried out, "By Allah, I will not let you turn me down. Do you lay the burdens of your trusteeship and the caliphate upon my shoulders, then you refuse to help me out? " Instantly, Sa'iid was convinced of the logic of `Umar's words. Indeed, it was not fair to abandon or avoid their obligation towards their trusteeship and towards the caliphate and lay them on `Umar's shoulders. Moreover, if people like Sa'iid Ibn `Aamir renounced the responsibility of rule, then `Umar would definitely have a hard time to find a man who was highly pious and righteous enough to be entrusted with such a mission.  

 Hence, Sa'iid traveled with his wife to Syria. They were newly wed. Ever since his bride was a little girl, she had been an exquisitely blooming beauty. `Umar gave him a considerable sum of money at the time of his departure.  

        When they settled down in Syria, his wife wanted to use this money, so she asked him to buy appropriate garments, upholstery, and furniture, and to save the rest of it. Sa'iid said to her, "I have a better idea. We are in a country with profitable trade and brisk markets, so it would be better to give this money to a merchant so as to invest it." She said, "But if he loses it?" Sa'iid said, "I will make him a guarantee that the amount will be paid notwithstanding." She answered, "All right then."  

        Of course, Sa'iid went out and bought the necessities for an ascetic life, then gave all his money in voluntary charity in Allah's cause to the poor and those in need. Time went by, and every now and then his wife would ask him about their money and their profits and he would answer, "It is a highly profitable trade."  

        One day, she asked him the same question before one of his relatives who knew what he had done with the money. His relative smiled, then he could not help laughing in a way that made Sa'iid's wife suspicious. Therefore, she prevailed on him to tell her the truth. He told her, "Sa'iid on that day gave all his money in voluntary charity in Allah's cause." Sa'iid's wife was broken-hearted, for not only had she lost her last chance to buy what she wanted but also lost all their money. Sa'iid gazed at her sad, meek eyes glistening with tears that only added more charm and grace to her eyes; yet before he yielded to this fascinating figure, he perceived Paradise inhabited by his late friends and said, "I had companions who preceded me in ascending to Allah and you will not deviate from the path they have taken, not for the world." He was afraid lest her excelling beauty should make her disobey him; therefore he said as if he were talking to himself, "You know that Paradise is filled with Houris, fair females with wide and lovely eyes as wives for the pious, who are extremely lovely. If one of them had a peep at the earth, she would illuminate it with her light that combines the light of both the earth and the moon. So you should not blame me if I chose to sacrifice your love for their love and not vice versa." Throughout his talk, he was calm, pleased, and satisfied. His wife was peaceful, for she realized that she had no choice but to follow Sa`iid's example and adopt herself to his rigid, ascetic, and pious way of life.  

Homs at that time was called the second Kufa. The reason behind this was that its people were easily stirred and swayed to revolt against their governors. Homs was named after Al-Kufa in Iraq, which was notorious for endless mutiny and uprisings. Although, the people of Homs were given to mutiny, as we have already mentioned, Allah guided their hearts to His righteous slave Sa'iid. Thus, they loved and obeyed him.  

        One day, `Umar said to him, "I find it rather strange that the people of Syria love and obey you." Sa'iid answered, "Maybe they love me because I help and sympathize with them."  

        Despite the love of the people of Homs for Sa'iid, their innate rebellious disposition got the better of them. Hence, sounds of discontent and complaint began to be heard, thus proving that Homs was not called the second Kufa in vain. One day, as the Commander of the Faithful was visiting Homs, he asked its people who gathered around him for their opinion of Sa'iid. Some made complaints against him which were blessings in disguise, for they unveiled an impressively great man.  

       `Umar asked the criticizing group to state their complaints one by one. The representative of the group stood up and said, "We have four complaints against Sa'iid : First, he doesn't come out of his house until the sun rises high and the day becomes hot. Second, he does not see anyone at night. Third, there are two days in every month in which he doesn't leave his house at all. Fourth, he faints every now and then, and this annoys us although he can't help it." The man sat down and `Umar was silent for while for he was secretly supplicating Allah saying, "Allah, I know that he is one of Your best slaves. Allah, I beseech You not to make me disappointed in him." He summoned Sa'iid to defend himself. Sa'iid replied, "As for their complaint that I do not get out of my house before noon, by Allah I hate to explain the reason that made me do that, but I have to do so. The reason is that my wife does not have a servant, so I knead my dough, wait for it to rise, bake my bread, perform ablution and pray Duha, then I go out of my 

house." `Umar's face brightened as he said, "All praises and thanks be to Allah." Then he urged him to refute the rest of the allegations. Sa'iid went on, " As for their complaint that I do not meet anyone at night, by Allah, I hate to say the reason, but you force me to. Anyway, I have devoted the day to them and consecrated the night for Allah. As for the third complaint that they do not see me two days per month, well, I do not have a servant to wash my garment and I have no spare one. Therefore, I wash it and wait for it to dry shortly before sunset, then I go out of my house to meet them. My defense against the last complaint of the fainting fits is that I saw with my own eyes Khubaib Al-Ansaariy being slain in Makkah. The Quraish cut his body into small pieces and said, `Do you want to save yourself and see Muhammad in your place instead? He answered, `By Allah, I will not accept your offer of setting me free to return to my family safe and sound, even if you gave me all the splendors and ornaments of life in return for exposing the Prophet (PBUH) to the least annoyance, even if it was a prick of a thorn. Now, every time this scene of me standing there as a disbeliever, watching Khubaib being tortured to death and doing nothing to save him flickers in my mind, I find myself shaking with fear of Allah's punishment and I faint."  

        These were Sa'iid's words which left his lips that were already wet from the flow of his pure and pious tears. The overjoyed `Umar could not help but cry Out, "All praises and thanks be to Allah Who would not make me disappointed in you!" He hugged Sa'iid and kissed his graceful and dignified forehead.  

        What a great guidance must have been bestowed on those outstanding men! What an excellent instructor Allah's Prophet (PBUH) must have been! What a penetrating light must have emanated from Allah's Book! What an inspiring and instructive school Islam must have been! I wonder if the earth can take in so much of the piety and righteousness of those fortunate men. I presume that if that happened, then we would no longer call it the earth but rather Paradise. Indeed the "Promised Paradise."  

        Since it is not time for Paradise yet, it is only natural that those glorious superior men who pass by life are but few, very few. Sa'iid lbn `Aamir was definitely one of those superior Muslims.  

        His position allowed him a considerable salary, yet he took only enough money to buy the necessities for himself and his wife and gave the rest in voluntary charity in the way of Allah. One day, he was urged to spend this surplus on his family and relatives, yet he answered, "Why should I give it to my family and relatives? No, by Allah, I will not sell Allah's pleasure to seek my kinfolks' pleasure."  

        He was later urged, "Spend more money on yourself and on your family and try to enjoy the lawful good things." But he always answered, "I will not stay behind the foremost Muslims after I heard the Prophet (PBUH) say, `When Almighty Allah gathers all people on the Day of Reckoning, the poor believers will step forward in solemn procession. They will be asked to stop for reckoning but they will answer confidently: We have nothing to account for. Allah will say: My slaves said the truth. Hence, they will enter Paradise before all other people."  

        In A.H. 20, Sa'iid met Allah with a pure record, pious heart, and honorable history. He yearned for so long to be among the foremost Muslims; in fact, he consecrated his life to fulfill their covenant and follow in their footsteps. He yearned for so long for his Prophet (PBUH) and instructor and his pure and repentant comrades. He left all the burdens, troubles, and hardships of life behind. He had nothing but his pious, ascetic, awesome, and great inner self. These virtues made the balance of good deeds heavy rather than light. He impressed the world with his qualities rather than with his conceit.  

        Peace be upon Sa'iid lbn `Aamir. Peace be upon his life and resurrection. Peace be upon the honorable and obedient Companions of the Prophet and blessings and peace be upon him.  

.¤ª"˜¨¯¨¨Sa'id Bin Amir oSa'iid Ibn 'Aamir¸,ø¨¨"ª¤.



Categories: