acebook



.¤ª"˜¨¯¨¨Zaid Bin Haritsah oo Zaid Ibn Haarithah¸,ø¨¨"ª¤.
Tak ada orang yang lebih dicintainya daripada Rasulullah. 

Rasulullah saw. berdiri melepas balatentara Islam yang akan berangkat menuju medan perang Muktah, melawan orang­orang Romawi. Beliau mengumumkan tiga nama yang akan memegang pimpinan dalam pasukan secara berurutan, sabdanya: “Kalian semua berada di bawah pimpinan Zaid bin Hari­tsah! Seandainya ia tewas, pimpinan akan diambil alih oleh Jafar bin Abi Thalib; dan seandainya Jafar tewas Pula, maka komando hendaklah dipegang oleh Abdullah ibnul Rawahah”. Siapakah Zaid bin Haritsah itu? Bagaimanakah orangnya? siapakah pribadi yang bergelar “Pencinta Rasulullah itu?” 

tampan dan perawakannya biasa saja, pendek dengan kulit coklat kemerah-merahan, dan hidung yang agak pesek. Demikian yang dilukiskan oleh ahli sejarah dan riwayat. Tetapi sejarah hidupnya hebat dan besar.

Sudah lama sekali Su’da isteri Haritsah berniat hendak berziarah ke kaum keluarganya di kampung Bani Ma’an. Ia sudah gelisah dan seakan-akan tak shabar lagi menunggu waktu ke­berangkatannya. Pada suatu pagi yang cerah, suaminya ialah ayah Zaid, mempersiapkan kendaraan dan perbekalan untuk keperluan itu. Kelihatan Su’da sedang menggendong anaknya yang masih kecil, Zaid bin Haritsah. Di waktu ia akan menitipikam isteri dan anaknya kepada rombongan kafilah yang akan berangkat bersama dengan isterinya, dan ia harus menunaikan tugas pekerjaannya, menyelinaplah rasa sedih di hatinya, disertai perasaan aneh, menyuruh agar ia turut serta mendampingi anak dan isterinya. Akhirnya perasaan gundah itu hilang jua. Kafilah pun mulai bergerak memulai perjalanannya meninggalkan kampung itu, dan tibalah waktunya bagi Haritsah untuk meng­ucapkan selamat jalan bagi putera dan isterinya ….

Demikianlah, ia melepas isteri dan anaknya dengan air mata berlinang. Lama ia diam terpaku di tempat berdirinya sampai keduanya lenyap dari pandangan. Haritsah merasakan hatinya tergoncang, seolah-olah tidak berada di tempatnya yang biasa. la hanyut dibawa perasaan seolah-olah ikut berangkat bersama rombongan kafilah. Setelah beberapa lama Su’da berdiam bersama kaum ke­luarganya di kampung Bani Ma’an, hingga di suatu hari, desa itu dikejutkan oleh serangan gerombolan perampok badui yang menggerayangi desa tersebut. Kampung itu habis porak poranda, karena tak dapat mem­pertahankan diri. Semua milik yang berharga dikuras habis dan penduduk yang tertawan digiring oleh para perampok itu sebagai tawanan, termasuk si kecil Zaid bin Haritsah. Dengan perasaan duka kembalilah ibu Zaid kepada suaminya seorang diri.

Demi Haritsah mengetahui kejadian tersebut, ia pun jatuh tak sadarkan diri. Dengan tongkat di pundaknya ia berjalan mencari anaknya. Kampung demi kampung diselidikinya, padang pasir dijelajahinya. Dia bertanya pada kabilah yang lewat, kalau­kalau ada yang tahu tentang anaknya tersayang dan buah hatinya “Zaid”. Tetapi usaha itu tidak berhasil. Maka bersyairlah ia menghibur diri sambil menuntun untanya, yang diucapkannya dari lubuk perasaan yang haru:“Kutangisi Zaid, ku tak tahu apa yang telah terjadi, Dapatkah ia diharapkan hidup, atau telah mati? Demi Allah ku tak tahu, sungguh aku hanya bertanya.Apakah di lembah ia celaka atau di bukit ia binasa? Di kala matahari terbit ku terkenang padanya.Bila surya terbenam ingatan kembali menjelma. tiupan angin yang membangkitkan kerinduan pula,Wahai, alangkah lamanya duka nestapa, diriku jadi merana.

Perbudakan sudah berabad-abad dianggap sebagai suatu keharusan yang dituntut oleh kondisi masyarakat pada zaman itu. Begitu terjadi di Athena Yunani, begitu di kota Roma, dan begitu pula di seantero dunia, dan tidak terkecuali di jazirah Arab sendiri. Syandan di kala kabilah perampok yang menyerang desa, Bani Ma’an berhasil dengan rampokannya, mereka pergi menjualkan barang-barang dan tawanan hasil rampokannya ke pasar ‘Ukadz yang sedang berlangsung waktu itu. Si kecil Zaid dibeli oleh Hakim bin Hizam dan pada kemudian harinya ia mem­berikannya kepada bibinya Siti Khadijah. Pada waktu itu Khadijah radliyallahu ‘anha telah menjadi isteri Muhammad bin Abdillah (sebelum diangkat menjadi Rasul dengan turunnya wahyu yang pertama). Sementara pribadinya yang agung, telah memperlihatkan segala sifat-sifat kebesaran yang istimewa, yang dipersiapkan Allah untuk kelak dapat diangkat-Nya sebagai Rasul-Nya. Selanjutnya Khadijah memberikan khadamnya Zaid sebagai pelayan bagi Rasulullah. Beliau menerimanya dengan segala senang hati, lalu segera memerdekakannya. Dari pribadinya yang besar dan jiwanya yang mulia, Zaid diasuh dan dididiknya dengan segala kelembutan dan kasih sayang seperti terhadap anak, sendiri.

Pada salah satu musim haji, sekelompok orang-orang dari desa Haritsah berjumpa dengan Zaid di Mekah. Mereka menyampaikan kerinduan ayah bundanya kepadanya. Zaid balik menyampaikan pesan salam serta rindu dan hormatnya kepada kedua orang tuanya. Katanya kepada para hujjaj atau jemaah haji itu, tolong beritakan kepada kedua orang tuaku, bahwa aku di sini tinggal bersama seorang ayah yang paling mulia. Begitu ayah Zaid mengetahui di mana anaknya berada, segera ia mengatur perjalanan ke Mekah, bersama seorang sau­daranya. Di Mekah keduanya langsung menanyakan di mana rumah Muhammad al-Amin (Terpercaya). Setelah berhadapan muka dengan Muhammad saw., Haritsah berkata: “Wahai Ibnu Abdil Mutthalib . .. , wahai putera dari pemimpin kaumnya! Anda termasuk penduduk Tanah Suci yang biasa membebaskari orang tertindas, yang suka memberi makanan para tawanan … Kami datang ini kepada anda hendak meminta anak kami. Sudilah kiranya menyerahkan anak itu kepada kami dan bermurah hatilah menerima uang tebusannya seberapa adanya?”

Rasulullah sendiri mengetahui benar bahwa hati Zaid telah lekat dan terpaut ‘ kepadanya, tapi dalam pada itu merasakan pula hak seorang ayah terhadap anaknya. Maka kata Nabi kepada “Panggillah Zaid itu ke sini, suruh ia memilih sendiri. Seandainya dia memilih anda, maka akan saya kembalikan kepada anda tanpa tebusan. Sebaliknya jika ia memilihku, maka demi Allah aku tak hendak menerima tebusan dan tak akan menyerahkan orang yang telah memilihku!” Mendengar ucapan Muhammad saw. yang demikian, wajah Haritsah berseri-seri kegembiraan, karena tak disangkanya sama sekali kemurahan hati seperti itu, lalu ucapnya: “Benar-benar anda telah menyadarkan kami dan anda beri pula keinsafan di balik kesadaran itu!” Kemudian Nabi menyuruh seseorang untuk memanggil Zaid. Setibanya di hadapannya, beliau langsung bertanya: “Tahu­kah engkau siapa orang-orang ini?” “Ya, tahu”, jawab Zaid, “Yang ini ayahku sedang yang seorang lagi adalah pamanku”. Kemudian Nabi mengulangi lagi apa yang telah dikatakannya kepada ayahnya tadi, yaitu tentang kebebasan memilih orang yang disenanginya.

Tanpa berfikir panjang, Zaid menjawab: “Tak ada orang pilihanku kecuali anda! Andalah ayah, dan andalah pamanku!” Mendengar itu, kedua mata Rasul basah dengan air mata, karena rasa syukur dan haru. Lalu dipegangnya tangan Zaid, dibawanya ke pekarangan Ka’bah, tempat orang-orang Quraisy sedang banyak berkumpul, lalu serunya: “Saksikan oleh kalian semua, bahwa mulai saat ini, Zaid adalah anakku . . . yang akan menjadi ahli warisku dan aku jadi ahli warisnya “.

Mendengar itu hati Haritsah seakan-akan berada di awang­awang karena sukacitanya, sebab ia bukan saja telah menemukan kembali anaknya bebas merdeka tanph tebusan, malah sekarang diangkat anak pula oleh seseorang yang termulia dari suku Quraisy yang terkenal dengan sebutan “Ash-Shadiqul Amin”, — Orang lurus Terpercaya —, keturunan Bani Hasyim, tumpuan penduduk kota Mekah seluruhnya. Maka kembalilah ayah Zaid dan pamannya kepada kaumnya dengan hati tenteram, meninggalkan anaknya pada seorang pemimpin kota Mekah dalam keadaan aman sentausa, yakni sesudah sekian lama tidak mengetahui apakah ia celaka terguling di lembah atau binasa terkapar di bukit.

Rasulullah telah mengangkat Zaid sebagai anak angkat,  maka menjadi terkenallah ia di seluruh Mekah dengan nama “Zaid bin Muhammad” … . Di suatu hari yang cerah seruan wahyu yang pertama datang kepada sayidina Muhammad:

Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang telah menciptakan! Ia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang telah mengajari manusia dengan kalam (pena). Mengajari manusia apa-apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. 96 al-’Alaq; 1 — 5) 

Kemudian susul-menyusul datang wahyu kepada Rasul dengan kalimatnya:

Wahai orang yang berselimut! Bangunlah (siapkan diri), sampaikan peringatan (ajaran Tuhan). Dan agungkan Tuhanmu. (Q.S. 74 al-Muddattsir- 1 — 3)

Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu! Dan jika tidak kamu laksanakan, berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah akan melindungimu dari (kejahatan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir. (Q.S. 5 al-Maidah: 67)

Maka tak lama setelah Rasul memikul tugas kerasulannya dengan turunnya wahyu itu, jadilah Zaid sebagai orang yang kedua masuk Islam . . . , bahkan ada yang mengatakan sebagai orang yang pertama. Rasul sangat sayang sekali kepada Zaid. Kesayangan Nabi itu memang pantas dan wajar, disebabkan kejujurannya yang tak ada tandingannya, kebesaran jiwanya, kelembutan dan kesucian hatinya, disertai terpelihara lidah dan tangannya. Semuanya itu atau yang lebih dari itu menyebabkan Zaid punya kedudukan tersendiri sebagai “Zaid Kesayangan” sebagai­mana yang telah dipanggilkan shahabat-shahabat Rasul kepada­nya. Berkatalah Saiyidah Aisyah r.a.: “Setiap Rasulullah mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid, pastilah ia yang selalu diangkat Nabi jadi pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup sesudah Rasul, tentulah ia akan diangkatnya sebagai khalifah!”

Sampai ke tingkat inilah kedudukan Zaid di sisi Rasulullah saw. Siapakah sebenarnya Zaid ini?

Ia sebagai yang pernah kita katakan, adalah seorang anak yang pernah ditawan, diperjual-belikan, lalu dibebaskan Rasul dan dimerdekakannya. Ia seorang laki-laki yang berperawakan pendek, berkulit coklat kemerahan, hidung pesek tapi ia adalah manusia yang berhati mantap dan teguh serta berjiwa merdeka. Dan karena itulah ia mendapat tempat tertinggi di dalam Islam dan di hati Rasulullah saw. Karena Islam dan Rasulnya tidak sedikit juga mementingkan gelar kebangsawanan dan turunan darah, dan tidak pula menilai orang dengan predikat-predikat lahiriahnya, Maka di dalam keluasan faham Agama besar inilah cemerlangnya nama-nama seperti Bilal, Shuhaib, ‘Ammar, Khabbab, Usamah dan Zaid. Mereka semua punya kedudukan yang gemilang, baik sebagai orang-orang shaleh maupun sebagai pahlawan perang.

Dengan tandas Islam telah mengumandangkan dalam kitab sucinya al-Quranul Karim tentang nilai-nilai hidup:

“Sesungguhnya semulia-mulia kalian di sisi Allah, ialah yang paling taqwa!”
(Q.S. 49 al-Hujurat: 13)

Islamlah Agama yang membukakan segala pintu dan jalan untuk mengembangkan berbagai bakat yang baik dan cara hidup Yang suci, jujur dan direstui Allah ….Rasulullah saw. menikahkan Zaid dengan Zainab anak bibinya. Ternyata kemudian kesediaan Zainab memasuki tangga perkawinan dengan Zaid, hanya karena rasa enggan menolak anjuran dan syafa’at Rasulullah, dan karena tak sampai hati menyatakan enggan terhadap Zaid sendiri. Kehidupan rumah tangga dan perkawinan mereka yang tak dapat bertahan lama, karena tiadanya tali pengikat yang kuat yaitu cinta yang ikhlas karena Allah dari Zainab, sehingga berakhir dengan per­ceraian. Maka Rasulullah saw. mengambil tanggung jawab ter­hadap rumah tangga Zaid yang telah pecah itu. Pertama merangkul Zainab dengan menikahinya sebagai isterinya, kemu­dian mencarikan isteri baru bagi Zaid dengan mengawinkannya dengan Ummu Kaltsum binti ‘Uqbah. Disebabkan peristiwa tersebut diatas terjadi kegoncangan dalam masyarakat kota Madinah. Mereka melemparkan kecaman, kenapa Rasul menikahi bekas isteri anak angkatnya?

Tantangan dan kecaman ini dijawab Allah dengan wahyu­Nya, yang membedakan antara anak angkat dan anak kandung atau anak adaptasi dengan anak sebenarnya, sekaligus mem­batalkan adat kebiasaan yang berlaku selama itu. Pernyataan wahyu itu berbunyi sebagai berikut: 

Muhammad bukanlah bapak dari seorang laki-laki (yang ada bernama) kalian. Tetapi ia adalah Rasul Allah dan Nabi penutup. (Q.S. 33 a]-Ahzab: 40)

Dengan demikian kembali Zaid dipanggil dengan namanya semula “Zaid bin Haritsah”.Dan sekarang ….Tahukah anda bahwa kekuatan Islam yang pernah maju ke medan perang “Al-Jumuh” komandannya adalah Zaid bin Haritsah? Dan kekuatan-kekuatan lasykar Islam yang bergerak maju ke medan pertempuran at-Tharaf, al-’Ish, al-Hismi dan lainnya, panglima pasukannya, adalah Zaid bin Haritsah juga? Begitulah sebagaimana yang pernah kita dengar dari Ummil Mu’minin ‘Aisyah r.a. tadi: .”Setiap Nabi mengirimkan Zaid . dalam suatu pasukan, pasti ia yang diangkat jadi pemimpinnya!”

Akhirnya datanglah perang Muktah yang terkenal itu …. Adapun orang-orang Romawi dengan kerajaan mereka yang telah tua bangka, secara diam-diam mulai cemas dan takut terhadap kekuatan Islam, bahkan mereka melihat adanya bahaya besar yang dapat mengancam keselamatan dan wujud mereka. Terutama di daerah jajahan mereka Syam (Syria) yang berbatasan dengan negara dari Agama baru ini, yang senantiasa bergerak maju dalam membebaskan negara-negara tetangganya dari ceng­keraman penjajah. Bertolak dari pikiran demikian, mereka hendak mengambil Syria sebagai batu loncatan untuk menakluk­kan jazirah Arab dan negeri-negeri Islam.

Gerak-gerik orang-orang Romawi dan tujuan terakhir mereka yang hendak menumpas kekuatan Islam dapat tercium oleh Nabi. sebagai seorang ahli strategi, Nabi memutuskan untuk mendahului mereka dengan serangan mendadak daripada diserang di daerah sendiri, dan menyadarkan mereka akan keampuhan perlawanan Islam.

Demikianlah, pada bulan Jumadil Ula, tahun yang kedelapan Hijrah. tentara Islam maju bergerak ke Balqa’ di wilayah Syam. Demi mereka sampai di perbatasannya, mereka dihadapi oleh tentara Romawi yang dipimpin oleh Heraklius, dengan mengerah­kan juga kabilah-kabilah atau suku-suku badui yang diam di perbatasan. Tentara Romawi mengambil tempat di suatu daerah yang bernama Masyarif, sedang lasykar Islam mengambil posisi. di dekat suatu negeri kecil yang bernama Muktah, yang jadi nama pertempuran ini sendiri.

Rasulullah saw. mengetahui benar arti penting dan bahayanya peperangan ini. Olen sebab itu beliau sengaja memilih tiga orang panglima perang yang di waktu malam bertaqarrub mendekatkan diri kepada Ilahi, sedang di Siang hari sebagai -pendekar pejuang pembela Agama. tiga orang pahlawan yang siap menggadaikan jiwa raga mereka kepada Allah, mereka yang tiada berkeinginan kembali, yang bercita-cita mati syahid dalam perjuangan mene­gakkan kalimah Allah. Mengharap semata-mata ridla Ilahi dengan menemui wajah-Nya Yang Maha Mulia kelak ….

Mereka yang bertiga secara berurutan memimpin tentara itu ialah: Pertama Zaid bin Haritsah, kedua Ja’far bin Abi Thalib dan ketiga ‘Abdullah bin Rawahah, moga-moga Allah ridla kepada mereka dan menjadikan mereka ridla kepada-Nya, serta Allah meridlai pula seluruh shahabat-shahabat yang lain ….

Begitulah apa yang kita saksikan di permulaan ceritera ini, sewaktu berangkat Rasul berdiri di hadapan pasukan tentara, Islam yang hendak berangkat itu. Rasul melepas mereka dengan amanat: “Kalian harus tunduk kepada Zaid bin Haritsah sebagai pimpinan, seandainya ia gugur pimpinan dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib, dan seandainya Ja’far gugur pula, maka tempat­nya diisi oleh ‘Abdullah bin Rawahah!”

Sekalipun Ja’far bin Abi Thalib adalah orang yang paling dekat kepada Rasul dari segi hubungan keluarga, sebagai anak, pamannya sendiri . . . . Sekalipun keberanian ketangkasannya tak diragukan lagi, kebangsawanan dan turunannya begitu pula, namun ia hanya sebagai orang kedua sesudah Zaid, sebagai panglima pengganti, sedangkan Zaid beliau angkat sebagai panglima pertama pasukan.

Beginilah contoh dan teladan yang diperlihatkan Rasul dalam mengukuhkan suatu prinsip. Bahwa Islam sebagai suatu Agama baru mengikis habis segala hubungan lapuk yang didasar­kan pada darah dan turunan atau yang ditegakkan atas yang, bathil dan rasialisme, menggantinya dengan hubungan baru yang dipimpin oleh hidayah Ilahi yang berpokok kepada hakekat kemanusiaan ….Dan seolah-olah Rasul telah mengetahui secara ghaib tentang pertempuran yang akan berlangsung, beliau mengatur dan me netapkan susunan panglimanya dengan tertib berurutan: Zaid, lalu Ja’far, kemudian Ibnu Abi Rawahah. Ternyata ketiga mereka menemui Tuhannya sebagai syuhada sesuai dengan urutan itu pula!

Demi Kaum Muslimin melihat tentara Romawi yang jumlah­nya menurut taksiran tidak kurang dari 200.000 orang, suatu jumlah yang tak mereka duga sama sekali, mereka terkejut. Tetapi kapankah pertempuran yang didasari iman mempertimbangkan jumlah bilangan?

Ketika itulah … di sana, mereka maju terus tanpa gentar, tak perduli dan tak menghiraukan besarnya musuh . . . . Di depan sekali kelihatan dengan tangkasnya mengendarai kuda, panglima mereka Zaid, sambil memegang teguh panji-panji Rasulullah saw. maju menyerbu laksana topan, di celah-celah desingan anak panah, ujung tombak dan pedang musuh. Mereka bukan hanya sernata-mata mencari kemenangan, tetapi lebih dari itu mereka mencari apa yang telah dijanjikan Allah, yakni tempat pembaringan di sisiAllah, karena sesuai dengan firman-Nya:

Sesungguhnya Allah telah membeli jiwa dan harta orang­orang Mu min dengan surga sebagai imbalannya. (Q.S. 9 at-Taubah: 111)

Zaid tak sempat melihat pasir Balqa’, bahkan tidak pula keadaan bala tentara Romawi, tetapi ia langsung melihat ke­indahan taman-taman surga dengan dedaunannya yang hijau berombak laksana kibaran bendera, yang memberitakan kepada­nya, bahwa itulah hari istirahat dan kemenangannya.la telah terjun ke medan laga dengan menerpa, menebas, membunuh atau dibunuh. Tetapi ia tidaklah memisahkan kepala musuh-musuhnya, ia hanyalah membuka pintu dan menembus dinding, yang menghalanginya ke kampung kedamaian, surga yang kekal di sisi Allah ….Ia telah menemui tempat peristirahatannya yang akhir. Rohnya yang melayang dalam perjalanannya ke surga tersenyum bangga melihat jasadnya yang tidak berbungkus sutera dewangga, hanya berbalut darah suci yang mengalir di jalan Allah.

Senyumnya semakin melebar dengan tenang penuh nikmat, karena melihat panglima yang kedua Ja’far melesit maju ke depan laksana anak panah lepas dari busurnya, untuk menyambar panji-panji yang akan dipanggulnya sebelum jatuh ke tanah ….

(19)  
ZAID IBN HAARITHAH  
The Beloved 

        In the Battle of Mu'tah, the Prophet (PBUH) stood to pay his farewell to the departing Muslim army on its way to fight the Romans and to announce the name of the three successive commanders of the army: "Zaid Ibn Haarithah is your first commander, but in case he is wounded, Ja'far Ibn Abi Taalib will take over the command, and if the latter is wounded then `Abd Allah Ibn Rawaahah will replace him." But who was Zaid Ibn Haarithah. Who was the beloved one of the Prophet (PBUH)?  

        Narrators and historians described his appearance as short, dark swarthy, and snub-nosed. As for his reality, he was truly a great Muslim.  

        If we go back in time, we will see Haarithah, Zaid's father, just putting the luggage on the camel that was to carry his wife, Su`dah, to her family. Haarithah paid his farewell to his wife who carried Zaid - at that time a young child - in her arms. But every time he was about to leave his wife and child who were going with a caravan, to return to his house and work, he was driven by a mysterious and inexplicable urge to keep his wife and son in sight; yet it was time for them to set out on their way and Haarithah had to pay his last farewell to his wife and head back home. His tears flowed as he said goodbye and stood as if pinned to the ground until he lost sight of them. At that moment he felt broken-hearted.  

        Su'dah stayed with her family for a while. One day, suddenly her neighborhood was attacked by one of its opposing tribes. Taken by surprise, Bani Ma`n were defeated and Zai lbn Haarithah was captured along with other war prisoners. His mother returned home alone. When Haarithah heard the sad news, he was thunderstruck. He traveled everywhere and asked everyone about his beloved Zaid. He recited these lines of poetry on the spur of the moment to lament the loss of his son:  

        My heart was broken when I lost Zaid. I don't know if he is alive or dead or if I will ever see him again. By Allah, I still do not know if he was killed on the plain or slain on the mountain. His picture comes to the mind's eye whenever the sun rises or sets. Even when the wind blows, it brings along his memory. Alas, I am shrouded by my sadness, grief, and fear for him.  

        At that time, slavery was a recognized and established social fact that turned into a necessity. This was the case in Athens, which had long enjoyed a flourishing civilization, in Rome, and in the entire ancient world, including the Arab Peninsula. When the opposing tribe attacked the Bani Ma'n, it headed to the market of `Ukaadh, held at that time, to sell its prisoners of war. The child Zaid, was sold to Hakiim Ibn Huzaam, who gave him to his aunt Khadiijah as a gift. At that time, khadiijah was married to Muhammad Ibn `Abd Allah but the revelation had not yet descended on him. However, he enjoyed all the promising great qualities of prophets (PBUH). Khadiijah, on her part, gave her servant Zaid as a gift to her husband, Allah's Prophet. He was very pleased with Zaid and manumitted him at once. His great and compassionate heart overflowed with care and love towards the boy.  

        Later on, during one of the Hajj seasons, a group of Haarithah's tribe ran into Zaid in Makkah and told him about his parents anguish and grief ever since they had lost him. Zaid asked them to convey his love and longing to his parents. He told them, "Tell my father that I live here with the most generous and loving father." No sooner did his father know his son's whereabouts than he hastened on his way to him, accompanied by his brother.  

        As soon as they reached Makkah, he asked about the trustworthy Muhammad. When he met him, he said, "O son of lbn Abd Al-Muttalib! O son of the master of his tribe! Your land is one of security and sanctuary and you are famous for helping the distressed and sheltering the captive. We have come here to ask you to give us back our son. So please confer a favor on us and set a reasonable ransom for him." The Prophet knew the great love and attachment Zaid carried in his heart for him, yet at the same time, he respected Haarithah's parental right. Therefore, he told Haarithah, "Ask Zaid to come here and make him choose between you and me. If he chooses you, he is free to go with you, but if he chooses me then, by Allah, I will not leave him for anything in the world." Haarithah's face brightened, for he did not expect such magnanimity; therefore, he said, "You are far more generous than us." Then the Prophet (PBUH) summoned Zaid. When he came he asked him, "Do you recognize these people?" Zaid said, "Yes, this is my father and this is my uncle."  

        The Prophet (PBUH) told him what he had told Haarithah. Zaid replied, "I will not choose anyone but you, for you are a father and an uncle to me." The Prophet's eyes were full of thankful and compassionate tears. He held Zaid's hand and walked to the Ka'bah, where the Quraish were holding a meeting, and cried out, "I bear witness that Zaid is my son, and in case I die first, he will inherit from me, and in case he dies first, I will inherit from him." Hiaarithah was overjoyed, for not only had his son been manumitted but he had also become the son of the man who was known by the Quraish as "The Honest and Trustworthy". Moreover, he was a descendant of Bani Haashim and was raised to a high station among his people.  

       Zaid's father and uncle returned back home leaving their son safe and sound after he had become master of himself and after the Prophet (PBUH) had set to rest their fears concerning his fate.
  
       The Prophet (PBUH) adopted Zaid and from that moment on he was known as Zaid Ibn Muhammad.  
  
        Suddenly, on a bright morning whose brightness has never been seen before or since, the revelation descended on Muhammad: "read! In the name of your Lord who created - created mankind from something which clings; read! And your Lord is the Most Noble; who taught by the pen; taught mankind what he did not know " (96:1-5). Then the revelation continued: "O you encovered--- Arise and warn! And magnify your Lord" (74:1-3). "O Messenger! Proclaim the message which has been sent down to you from your Lord. And if you do not, then you have not conveyed His message. Allah will protect you from mankind. Verily, Allah guides not the people who disbelieve" (5 : 61). 
   
      As soon as the Prophet (PBUH) had shouldered the responsibility of his message, Zaid submitted himself to Islam. Narrators said that he was the second man and more probably the first man to embrace Al-Islam.  

        The Prophet (PBUH) loved Zaid so dearly due to his singular loyalty, greatness of spirit, conscientiousness, honesty, and trust worthiness. All this and more, made Zaid Ibn Haarithah or Zaid the Beloved One, as the Companions used to call him, hold a distinguished place in the Prophet's heart (PBUH). `Aa'ishah (May Allah be pleased with her) said, "The Prophet (PBUH) never sent Zaid on an expedition but as a commander and if his life had not been so short, he would have made him his successor.  

        Was it possible for anyone to be held in such great esteem by the Prophet? What was Zaid really like?  

        As we have mentioned, he was that boy who had been kidnapped, sold, and manumitted by the Prophet (PBUH). He was this short, swarthy, snub-nosed man. Above all, he had a compassionate heart and a free soul. Therefore, he was raised to the highest position by his Islam and the Prophet's love for him, for neither Islam nor the Prophet (PBUH) took notice of descent or prestige. Muslims like Bilaal ,Suhaib, Khabbaab, `Ammaar, Usaamah and Zaid were all alike according to this great religion. Each one of them played an important and distinctive role in gizing impetus to the rapidly spreading religion. These saintly ones and commanders were the sparkling stars of Islam. Islam rectified life values when the glorious Qur'aan said: "Surely, the most honorable among you in the sight of Allah are the most pious of you " (49:13). Moreover, it encouraged all promising talents and all pure, trustworthy, and productive potentialities.  

 The Prophet (PBUH) married his cousin Zainab to Zaid. It seems that Zainab (May Allah be pleased with her) accepted that marriage becaher shyness prevented her from turning down the Prophet's intercession. Unfortunately, the gap between them widened every day, and finally their marriage collapsed. The Prophet (PBUH) felt that he was , in a way, responsible for this marriage which ended up in divorce; therefore, he married his cousin and chose a new wife, Umm Kulthuum Bent `Uqbah for Zaid. The slanderers and the enemies of the Prophet spread doubt concerning the legality of Muhammad's marriage to his son's ex-wife. The Qur'aan refuted their claims by striking a distinction between sons and adopted sons. It abrogated adoption altogether saying: "Mohammed is not a father of any man among you, but he is the Messenger of Allah and the last of the Prophets " (33:90). Hence, Zaid was called after his father's name once again, namely, Zaid Ibn Haarithah.  

       Now, do you see the Muslim troops that marched towards the Battle of Al-Jumuuh? Their commander was Zaid Ibn Haarithah Do you see those Muslims troops that marched to At- Tarf, Al-'Iis and Hismii and other battles? The commander of all those battles was Zaid Ibn Haarithah. Truly, as Aa'ishah  May Allah be pleased with her) said, `The Prophet never sent Zaid on as expedition but as a commander.  

       At last, the Battle of Mu'tah took place. It seems that the Romans and their senescent empire were filled with apprehensions and forebodings about the rapid spread of Islam. They saw it as a genuine and fatal threat to their very existence, especially in Syria, which bordered the center of the new, sweeping religion. Therefore, they used Syria as a springboard to the Arab Peninsula and the Muslim nation.  

        The Prophet (PBUH) realized that the aim of the Roman skirmishes was to test the Muslim combat readiness. Therefore, he decided to take the initiative and exhibit in action Islam's determination to resist and to gain ultimate victory. On 1 Jumaadii A.H. 8, the Muslim army marched towards Al-Balqaa' in Syria until they reached its borders where Heraclius's armies of the Romans and Arabicized tribes residing at the borders were. The Roman army pitched camp at a place called Mashaarif, whereas the Muslim army pitched camp near a town called Mu'tah. Hence, the battle was named Mu'tah.  

        The Prophet (PBUH) knew how important and crucial this battle was; therefore he chose for its command three of those who were worshippers by night and fighters by day. Those three fighters sold their lives and property to Allah and renounced their needs and desires for the sake of great martyrdom which would pave their way to win Allah's pleasure and to see Allah, the Generous. These three commanders were in succession: Zaid Ibn Haarithah, Ja'far Ibn Abi Taalib and Abd Allah Ibn Rawaahah. (May Allah be pleased with them and they with Him, and may Allah be pleased with all the Companions.) Thus, the Prophet (PBUH) stood to bid farewell to his army and gave them his order saying, "Zaid Ibn Haarithah is your first commander, but in case he is wounded, Ja`far lbn Abi Taalib will take over the command, and if he is also wounded, `Abd Allah Ibn Rawaahah will take it over. 

Although Ja'far lbn Abi Taalib was one of the Prophet's closest friends who had valor, fearlessness, and good lineage, yet the Prophet chose him as the second commander after Zaid. Thus, the Prophet (PBUH) stressed the fact that the new religion of Islam came to abolish corrupt human relationships based on false and superficial discrimination. It established new, rational human relationships instead.  

       It was as if the Prophet foresaw the proceedings of the imminent battle, for he assigned the command of the army to Zaid, Ja'far, and then `Abd Allah and strangely enough, all of them were raised to Allah in the same order set by him. When the Muslims saw the vanguard of the Roman army, which they had estimated at 200,000 warriors, they were stunned by its enormity that surpassed all expectation. But since when did the battles of faith depend on number? At that moment, the Muslims flung themselves into the battlefield regardless of the consequences or jeopardy. Their commander, Zaid, carried the Prophet's standard and fought his way through the enemy's spears, arrows, and swords. He was not so much searching for victory as for concluding his deal with Allah, Who has purchased the lives and properties of Muslims in exchange for Paradise.  

        Zaid saw neither the sand of Al-Balqaa' nor the Roman forces. The only things that he saw were the hills of Paradise and its green cushions. These images flickered through his mind like the fluttering flags that had announced his wedding day. When he thrust and struck, he not only smote at the necks of his enemies, but also flung the doors open that stood in his way to the vast door through which he would reach the home of peace, the eternal Paradise and Allah's company. Zaid clung to his destiny. His spirit, on its way up to heaven, was overjoyed as it took its last glance at the body of its master that was not covered with soft silk but rather with pure blood shed in the way of Allah. His serene smile widened when he saw the second commander, Ja'far, dart towards the standard and hold it high before it touched the ground.  

.¤ª"˜¨¯¨¨Zaid Bin Haritsah oo Zaid Ibn Haarithah¸,ø¨¨"ª¤.









Categories: