acebook

.¤ª"˜¨¯¨¨Abdullah Bin Abbas oo 'Abd Allah Ibn Abbaas¸,ø¨¨"ª¤. 
Kyai ummat ini. 


Ibnu Abbas serupa dengan Ibnu Zubeir bahwa mereka sama-sama menemui Rasulullah dan bergaul dengannya selagi masih kecil, dan Rasulullah wafat sebelum Ibnu Abbas mencapai usia dewasa. 

Tetapi ia seorang lain yang di waktu kecil telah mendapat kerangka kepahlawanan dan prinsip-prinsip kehidupan dari Rasulullah saw. yang mengutamakan dan mendidiknyaserta mengajarinya hikmat yang murni. Dan dengan keteguhan iman dan kekuatan akhlaq serta melimpahnya ilmunya, Ibnu Abbas mencapai kedudukan tinggi di lingkungan tokoh-tokoh sekeliling Rasul ….la adalah putera Abbas bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, paman Rasulullah saw. Digelari “habar” atau kyai atau lengkap­nya “kyai ummat”, suatu gelar yang hanya dapat dicapainya karena otaknya yang cerdas, hatinya yang mulia dan pengetahu­annya yang luas.

Dari kecilnya, Ibnu Abbbas telah mengetahui jalan hidup yang akan ditempuhnya, dan ia lebih mengetahuinya lagi ketika pada suatu hari Rasulullah menariknya ke dekatnya selagi ia masih kecil itu dan menepuk-nepuk bahunya serta mendoakannya:“Ya Allah, berilah ia ilmu Agama yang mendalam dan ajar­kanlah kepadanya ta’wil”. Kemudian berturut-turut pula datangnya kesempatan di mana Rasulullah mengulang-ulang du’a tadi bagi Abdullah bin Abbas sebagai saudara sepupunya itu . . . , dan ketika itu ia mengertilah bahwa. ia diciptakan untuk ilmu dan pengetahuan. Sementara persiapan otaknya mendorongnya pula dengan kuat untuk menempuh jalan ini. Karena walaupun di saat Rasulullah saw. wafat itu, usianya belum lagi lebih dari tiga belas tahun, tetapi sedari kecilnya tak pernah satu hari pun lewat, tanpa ia menghadiri majlis Rasulullah dan menghafalkan apa yang di­ucapkannya . . . .

Dan setelah kepergian Rasulullah ke Rafiqul Ala, Ibnu Abbas mempelajari sungguh-sungguh dari shahabat-shahabat Rasul yang pertama, apa-apa yang luput didengar dan dipelajari­nya dari Rasulullah saw. sendiri. Suatu tanda tanya (ingin me­ngetahui dan ingin sertanya) terpatri dalam dirinya.Maka setiap kedengaran olehnya seseorang yang mengetahui suatu ilmu atau menghafalkan Hadits, segeralah ia menemuinya dan belajar kepadanya. Dan otaknya yang encer lagi tidak mau puas itu, mendorongnya untuk meneliti apa yang didengarnya. Hingga tidak saja ia menumpahkan perhatian terhadap mengum­pulkan ilmu pengetahuan semata, tapi juga untuk meneliti dan menyelidiki sumber-sumbernya.

Pernah ia menceritakan pengalamannya:  ”Pernah aku sertanya kepada tiga puluh orang shahabat Rasul saw. mengenai satu masalah”. Dan bagaimana keinginannya yang amat besar untuk mendapatkan sesuatu ilmu, digambarkannya kepada kita sebagai berikut:“Tatkala Rasulullah saw. wafat, kukatakan kepada salah seorang pemuda Anshar: “Marilah kita sertanya kepada shahabat Rasulullah, sekarang ini mereka hampir semuanya sedang bekumpul.?”Jawab pemuda Anshar itu:“Aneh sekali kamu ini, hai Ibnu Abbas! Apakah kamu kira orang-orang akan membutuhkanmu, padahal di kalangan mereka sebagai kau lihat banyak terdapat shahabat Rasul­ullah . . . !’ Demikianlah ia tak mau diajak, tetapi aku tetap pergi sertanya kepada shahabat-shahabat Rasulullah.Pernah aku mendapatkan satu Hadits dari seseorang, dengan cara kudatangi rumahnya kebetulan ia sedang tidur Siang. Ku­bentangkan kainku di muka pintunya, lalu duduk menunggu, Sementara angin menerbangkan debu kepadaku, sampai akhirnya ia bangun dan keluar menemuiku. 

Maka katanya: “Hai saudara sepupu Rasulullah, apa maksud kedatanganmu? Kenapa tidak kamu suruh saja orang kepadaku agar aku datang kepada­mu?” “Tidak!” ujarku, “bahkan akulah yang harus datang mengunjungi anda! Kemudian kutanyakanlah kepadanya sebuah Hadits dan aku belajar daripadanya … !”

Demikianlah pemuda kita yang agung ini sertanya, kemudian sertanya dan sertanya lagi, lalu dicarinya jawaban dengan teliti, dan dikajinya dengan seksama dan dianalisanya dengan fikiran yang berlian. Dari hari ke hari pengetahuan dan ilmu yang dimilikinya berkembang dan tumbuh, hingga dalam usianya yang muda belia telah cukup dimilikinya hikmat dari orang­orang tua, dan disadapnya ketenangan dan kebersihan pikiran mereka, sampai-sampai Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab r.a. menjadikannya kawan bermusyawarah pada setiap urusan penting dan menggelarkannya “pemuda tua” . . . !

Pada suatu hari ditanyakan orang, kepada Ibnu Abbas: “Bagaimana anda mendapatkan ilmu ini … ?’Jawabnya:“Dengan lidah yang gemar sertanya, dari akal yang suka berfikir … ! “Maka dengan lidahnya yang selalu sertanya dan fikirannya yang tak jemu-jemunya meneliti, serta dengan kerendahan hati dan pandainya bergaul, jadilah Ibnu Abbas sebagai “kyai ummat ini”.Sa’ad bin Abi Waqqash melukiskannya dengan kalimat­kalimat seperti ini :‑“Tak seorang pun yang kutemui lebih cepat mengerti, lebih tajam berfikir dan lebih banyak dapat menyerap ilmu dan lebih luas sifat santunnya dari Ibnu Abbas … ! Dan sungguh, kulihat Umar memanggilnya dalam urusan-urusan pelik, padahal sekelilingnya terdapat peserta Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Maka tampillah Ibnu Abbas menyampaikan pendapatnya, dan Umar pun tak hendak melampaui apa katanya!”Ketika membicarakannya, Ubaidillah bin ‘Utbah berkata:“Tidak seorang pun yang lebih tahu tentang Hadits yang diterimanya dari Rasulullah saw. daripada Ibnu Abbas … ! 

Dan tak kulihat orang yang lebih mengetahui tentang putusan Abu Bakar, Umar dan Utsman dalam pengadilan daripada­nya . . . ! Begitu pula tak ada yang lebih mendalam pengerti­annya daripadanya . . . .Sungguh, ia telah menyediakan waktu untuk mengajarkan fiqih satu hari, tafsir satu hari, riwayat dan strategi perang satu hari, syair satu hari, dan tarikh serta kebudayaan bangsa Arab satu hari ….Serta tak ada yang lebih tahu tentang syair, bahasa Arab, tafsir al-Quran, ilmu hisab dan soal pembagian pusaka daripadanya . .. ! Dan tidak seorang muslim pun yang pergi duduk ke dekatnya kecuali hormat kepadanya, serta tidak seorang pun yang sertanya, kecuali mendapatkan jawaban daripadanya … !”

seorang Muslim penduduk Bashrah melukiskannya pula sebagai berikut: — (Ibnu Abbas pernah menjadi gubernur di sana, diangkat oleh Ali) telah mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga perkara …
1. Menarik hati pendengar apabila ia berbicara.
2. Memperhatikan setiap ucapan pembicara.
3. Memilih yang teringan apabila memutuskan perkara.
1. Menjauhi sifat mengambil muka.
2. Menjauhi orang-orang yang rendah budi.
3. Menjauhi setiap perbuatan dosa.

Sebagaimana kita telah paparkan bahwa Ibnu Abbas adalah orang yang menguasai dan mendalami berbagai cabang ilmu. Maka ia pun menjadi pedoman bagi orang-orang yang mencari ilmu, berbondong-bondong orang datang dari berbagai penjuru negeri Islam untuk mengikuti pendidikan dan mendalami ilmu pengetahuan.Di samping ingatannya yang kuat bahkan luar biasa itu, Ibnu Abbas memiliki pula kecerdasan dan kepintaran yang Istimewa. 

Alasan yang dikemukakannya bagaikan cahaya matahari, menembus ke dalam kalbu menghidupkan cahaya iman …. Dan dalam percakapan atau berdialog, tidak saja ia membuat lawan­nya terdiam, mengerti dan menerima alasan yang dikemukakan­nya, tetapi juga menyebabkannya diam terpesona, karena manis­nya susunan kata dan keahliannya berbicara … !Dan bagaimana pun juga banyaknya ilmu dan tepatnya alasan tetapi diskusi atau tukar fikiran itu . .. ! 

Baginya tidak lain hanyalah sebagai suatu alat yang paling ampuh untuk mendapat­kan dan mengetahui kebenaran . . . !Dan memang, telah lama ia ditakuti oleh Kaum Khawarij karena logikanya yang tepat dan tajam! Pada suatu hari ia diutus oleh Imam Ali kepada sekelompok besar dari mereka. Maka terjadilah di antaranya dengan mereka percakapan yang amat mempesona, di mana Ibnu Abbas mengarahkan pembicaraan serta menyodorkan alasan dengan cara yang menakjubkan. Dari percakapan yang panjang itu, kita cukup mengutip cuplikan di bawah ini:Tanya Ibnu Abbas:  ”Hal-hal apakah yang menyebabkan tuan-tuan menaruh dendam terhadap Ali … ?”

Ujar mereka: “Ada tiga hal yang menyebabkan kebencian kami padanya:  Pertama dalam Agama Allah ia sertahkim kepada manusia, padahal Allah berfirman: “Tak ada hukum kecuali bagi Allah . . . !) kedua, ia berperang, tetapi tidak menawan pihak musuh dan tidak pula mengambil harta rampasan. Seandainya pihak lawan itu orang-orang kafir, berarti harta mereka itu halal. Sebaliknya bila mereka orang-orang beriman maka haram­lah darahnya . .  !’)Dan ketiga, waktu sertahkim, ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu’minin dari dirinya demi mengabulkan tuntutan lawannya. Maka jika ia sudah tidak jadi amir atau kepala bagi orang-orang Mu’min lagi, berarti ia menjadi kepala bagi orang-orang kafir . . . !”Lamunan-lamunan mereka itu dipatahkan oleh Ibnu Abbas, katanya:  ”Mengenai perkataan tuan-tuan bahwa ia sertahkim kepada manusia dalam Agama Allah, maka apa salahnya … ?

Bukankah Allah telah berfirman:

“Hai orang-orang beriman! Janganlah kalian membunuh binatang buruan, sewaktu kalian dalam ihrarn! Barang siapa di antara kalian yang membunuhnya dengan sengaja, maka hendaklah ia membayar denda berupa binatang ternak yang sebanding dengan hewan yang dibunuhnya itu, yang untuk tnenetapkannya diputuskan oleh dua orang yang adil di antara kalian sebagai hakimnya . . . !” (Q.S. 5 al-Maidah: 95)

Nah, atas nama Allah cobalah jawab: “Manakah yang lebih penting, sertahkim kepada manusia demi menjaga darah kaum Muslimin, ataukah sertahkim kepada mereka mengenai seekor kelinci yang harganya seperempat dirham … ?”Para pemimpin Khawarij itu tertegun menghadapi logika tajam dan tuntas itu. 

Kemudian “kyai ummat ini” melanjutkan bantahannya:“Tentang ucapan tuan-tuan bahwa ia perang tetapi tidak melakukan penawanan dan merebut harta rampasan, apakah tuan-tuan menghendaki agar ia mengambil Aisyah istri Rasulullah dan Ummul Mu’minin itu sebagai tawanan, dan pakaian berkabungnya sebagai barang rampasan . . . ?’Di sini wajah orang-orang itu jadi merah padam karena malu, lalu menutupi muka mereka dengan tangan …. sementara Ibnu Abbas beralih kepada soal yang ketiga katanya:“Adapun ucapan tuan-tuan bahwa ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu’minin dari dirinya sampai selesainya tahkim, maka dengarlah oleh tuan-tuan apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di hari Hudaibiyah, yakni ketika ia mengimlakkan surat perjanjian yang telah tercapai antaranya dengan orang-orang Quraisy. Katanya kepada penulis: “Tulislah: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad Rasulullah . . . “. Tiba-tiba utusan Quraisy menyela: “Demi Allah, seandainya kami mengakuimu sebagai Rasulullah, tentulah kami tidak menghalangimu ke Baitullah dan tidak pula akan memerangimu … ! Maka tulislah: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah . . . !” Kata Rasulullah kepada mereka: “Demi Allah, sesungguhnya saya ini Rasulullah walaupun kamu tak hendak mengakuinya … !” Lalu kepada penulis, surat perjanjian itu diperintahkannya: “Tulislah apa yang mereka kehendaki! 

Tulis: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah … !

Demikianlah, dengan cara yang menarik dan menakjubkan ini, berlangsung soal jawab antara Ibnu Abbas dan golongan Khawarij, hingga belum lagi tukar fikiran itu selesai, duapuluh ribu orang di antara mereka bangkit serentak, menyatakan kepuasan mereka terhadap keterangan-keterangan Ibnu Abbas dan sekaligus memaklumkan penarikan diri mereka dari me­musuhi Imam Ali … !Ibnu Abbas tidak saja memiliki kekayaan besar berupa ilmu pengetahuan semata, tapi di samping itu ia memiliki pula kekayaan yang lebih besar lagi, yakni etika ilmu Serta akhlaq para ulama. Dalam kedermawanan dan sifat pemurahnya, la bagaikan Imam dengan panji-panjinya. Dilimpah-ruahkannya harta bendanya kepada manusia, persis sebagaimana ia melimpah­ruahkan ilmunya kepada mereka. . . .Orang-orang yang bersama dengannya, pernah menceritakan dirinya sebagai berikut:  ”‘Iidak sebuah rumah pun kita temui yang lebih banyak makanan, minuman buah-buahan, begitupun ilmu pengetahuannya dari rumah Ibnu Abbas … !” Di samping itu ia seorang yang berhati suci dan berjiwa bersih, tidak menaruh dendam atau kebencian kepada siapa juga. Keinginannya yang tak pernah menjadi kenyang, ialah harapan­nya agar setiap orang, baik yang dikenalnya atau tidak, beroleh kebaikan … !

Katanya mengenai dirinya:“Setiap aku mengetahui suatu ayat dari kitahullah, aku berharap kiranya semua manusia mengetahui seperti apa yang kuketahui itu . . . ! Dan setiap aku mendengar seorang hakim di antara hakim-hakim Islam melaksanakan keadilan dan memutus sesuatu pekara dengan adil, maka aku merasa gembira dan turut mendoakannya . . . ,padahal tak ada hubungan perkara antara aku dengannya . . . ! Dan setiap aku mendengar turunnya hujan yang menimpa bumi Muslimin, aku merasa berbahagia, padahal tidak seekor pun binatang ternakku yang digembalakan di bumi tersebut . . . !”la seorang ahli ibadah yang tekun beribadat dan rajin sertaubat . . . , Sering bangun di tengah malam dan shaum di waktu Siang, dan seolah-olah kedua matanya telah hafal akan jalan yang dilalui oleh air matanya di kedua pipinya, karena seringnya ia menangis, baik di kala ia shalat maupun sewaktu membaca al-Quran …. 

Dan ketika ia membaca ayat-ayat al-Quran yang memuat berita duka atau ancaman, apalagi mengenai maut dan saat dibangkitkan, maka isaknya sertambah keras dan sedu sedannya menjadi-jadi … !Di samping semua itu, ia juga seorang yang berani, berfikiran sehat dan teguh memegang amanat . . . ! Dalam perselisihan yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah,  ia mempunyai beberapa pendapat yang menunjukkan tingginya keeerdasan dan banyak­nya akal Serta siasatnya . . . . la lebih mementingkan perdamaian dari peperangan, lebih banyak berusaha dengan jalan lemah lembut daripada kekerasan, dan menggunakan fikiran daripada paksaan . . . !

Tatkala Husein r.a. bermaksud hendak pergi ke Irak untuk memerangi Ziad dan Yazid, Ibnu Abbas menasehati Husein, memegang tangannya dan berusaha sekuat daya untuk meng­halanginya. 

Dan tatkala ia mendengar kematiannya, ia amat terpukul, dan tidak keluar-keluar rumah karena amat dukanya.Dan di setiap pertentangan yang timbul antara Muslim dengan Muslim tak ada yang dilakukan oleh Ibnu Abbas, selain mengacungkan bendera perdamaian, berlunak lembut dan me­lenyapkan kesalah-pahaman ….Benar ia ikut terjun dalam peperangan di pihak Imam Ali terhadap Mu’awiyah, tetapi hal itu dilakukannya, tiada lain hanyalah sebagai tamparan keras yang wajib dilakukan terhadap penggerak perpecahan yang mengancam keutuhan Agama dan kesatuan ummat … !

Demikianlah kehidupan Ibnu Abbas, dipenuhi dunianya dengan ilmu dan hikmat, dan disebarkan di antara ummat buah nasehat dan ketaqwaannya . . . . Dan pada usianya yang ketujuh ­puluh satu tahun, ia terpanggil untuk menemui Tuhannya Yang Maka Agung . . . . Maka kota Thaif pun menyaksikan perarakan besar, di mana seorang Mu’min diiringkan menuju surganya.Dan tatkala tubuh kasarnya mendapatkan tempat yang aman dalam kuburnya, angkasa bagai berguncang disebabkan gema janji Allah yang haq:

“Wahai jiwa yang aman tenteram! 
Kembalilah kamu kepada Tuhanmu dalam keadaan ridla dan diridlai. 
Maka masuklah ke dalam lingkungan hamba-Ku.
Dan masuklah ke dalatn surga-Ku . . . !”


(54)  
`ABD ALLAH IBN `ABBAAS  
The Scholar of This Nation! 

        Ibn `Abbaas was similar to Ibn Az-Zubair in that both experienced the Prophetic era while still children. The Prophet (PBUH) died before Ibn `Abbaas had reached manhood. He had also been granted, while still very young, all the basic materials of manliness and the principles of life by the Prophet (PBUH), who liked him most, praised him, and taught him pure wisdom.  

        Due to his firm belief, gentleness, good character, and the richness of his knowledge, he was able to occupy a very high rank among the men around the Prophet (PBUH).  
  
     He was the son of Al-'Abbaas Ibn `Abd Al-Muttalib Ibn Haashim, the Prophet's uncle. His epithet was "The Nation's Scholar". He deserved the title and position due to his vast knowledge, the enlightenment of his mind, and his versatility.  
  
      Ibn `Abbaas came to knowledge at a very early age, a knowledge which increased as days went by. That is because the Prophet (PBUH) was always drawing `Abd Allah close to him, patting his shoulders and asking Allah, "O Allah, bless him with the full knowledge of the religion and interpretation of the Holy Qur'aan." The Prophet (PBUH) repeated the same prayer for his cousin `Abd Allah in various situations. In this way `Abd Allah Ibn `Abbaas realized that he had been created to acquire knowledge, and his intellectual capabilities inclined strongly in that direction. Although his age did not exceed 13 when the Prophet (PBUH) died, he had not spent his childhood in vain. He had attended the Prophet's assemblies and learned his words by heart.  

        When the Prophet (PBUH) died, he was eager to learn from the Companions what he had failed to hear or learn from the Prophet (PBUH) himself.  

        He turned into a continuous question mark. Whenever he heard that someone had acquired wisdom or learned a hadiith by heart, he hurried to learn it from him. His bright ambitious mind forced him to examine all that came to his ears.  

       He was not just concerned with gathering information, but with examining it and its sources. He once said about himself, "If I wanted to know something about an issue I would ask 30 Companions."  
   
     He drew a picture demonstrating his concern to reach truth and knowledge: When the Prophet (PBUH) died, I said to one of the Ansaar youth, "Let's go to the Prophet's Companions to ask them, as they are still numerous." He said, "O Ibn `Abbaas, how strange you really are! Do you think that people are in need of you while the great Companions are still among them?" The young man dropped the matter, whereas I turned to ask the Prophet's Companions. Whenever I was informed that someone had related a hadiith, would go to him in the afternoon while he was napping. I put my gown as a pillow under my head in front of his door. The wind scattered the dust over me. When he finished his nap and came out and saw me, he said, "O Prophet's cousin, what is it that brought you here? Why didn't you send for me ?" Then I would say, "No, it's you who deserves to be visited." Then I would ask him about the hadiith and learn from him.  

        In this way our young man went on asking and asking and asking, then examining the answers and discussing them with a curious mind.  
   
     Every day his wisdom and knowledge developed until he achieved, while still a youth, the wisdom, patience, and eloquency of the elderly, so much so that the Commander of the Faithful `Umar (May Allah be pleased with him) was eager to consult with him in every great issue. He called him, "The young leader of the elderly". Ibn `Abbaas was once asked, "How could you acquire all that knowledge?" He answered, "By means of a questioning tongue and a reasoning mind." Through his continuously inquiring tongue, his ever- detecting mind, and, moreover, his humility and gentleness, Ibn `Abbaas was to become the nation's scholar.  

        Sa'd Ibn Abi Waqqaas described him in the following words: I've never seen one with such presence of mind nor more intellectual and milder than Ibn `Abbaas. I've seen `Umar (May Allah be pleased with him), although surrounded by those who attended Badr, inviting him to discuss difficult problems. Whenever lbn `Abbaas spoke out his view point, 'Umar always stuck to it.  
   
     `Ubaid Allah Ibn `Utbah once said: I've never seen anyone more knowledgeable in the Prophet's hadiith than Ibn `Abbaas. Neither did I see anyone more knowledgeable during Abu Bakr, `Umar or `Uthmaan's caliphates than him; or more accurate in what he says in terms of jurisprudence or more knowledgeable in terms of poems, the Arabic language, Qur'aanic interpretation or religious matters. He divided his time, each day teaching one subject or another, jurisprudence, Qur'aanic interpretation, invasions, poems, and history, each one a different day. I've never seen a scholar listening to him without submitting himself completely to him, nor asking without being impressed by his vast and rich knowledge.  
  
      Ibn `Abbaas, who was appointed governor of Basra during the caliphate of `Aliy Ibn Abi Taalib (may Allah be pleased with him) was once described by a Muslim in the following words: He stuck to three matters, and gave up three. He dazzled men's hearts whenever he talked. He was a good listener whenever he was spoken to. He chose the easiest of two matters whenever he was opposed. He gave up hypocrisy. He gave up the companionship of wicked people. He gave up all that is excusable.  
  
      His diverse culture and vast, comprehensive knowledge were admirable. He was the skillful, shrewd authority in every field of knowledge: Qur'aanic interpretation, jurisprudence, history, Arabic language and literature. Therefore, he was a recourse for the seeker after truth. People traveled to him in groups from all parts of the Islamic world in order to listen to him and to learn from him.  
  
     A Companion who was contemporary with him narrated: I've seen one of Ibn `Abbaas's scholastic assemblies. If the whole tribe of the Quraish would have been proud, it would have been enough for their pride. I've seen people gathering in front of his door until the whole path had become so crowded that no one could enter or exit.  
      
  I entered, informing him that a great number of people were sitting in front of his door. He asked me to prepare his water for ablution, which he performed, then sat down and said, "Go out to them and invite those interested in Qur'aanic interpretation."  
  
      I went out and let them in. They entered, filling the house. They didn't ask about anything without being answered in a satisfactory manner. Then he said to them, " Don't forget your brethren." They went out to allow others to enter. Then he said, "Go out and invite those interested in jurisprudence."  
     
   I went out and let them in. They entered, filling the house. They didn't ask about anything without being satisfactorily answered. Then he said, "Don't forget your brethren." They went out to allow others to enter. Then he said, "Go out and invite those interested in religious duties."  
    
    I went out and let them in. They entered, filling the house. They didn't ask about anything without being satisfactorily answered. Then he said, "Don't forget your brethren." They went out to allow others to enter.  
   
     Then he said, "Go out and invite those interested in the Arabic language and literature." I went out and let them in. They entered, filling the house. They didn't ask about anything without being satisfactorily answered.   Ibn Abbaas had not only a sharp memory but an extraordinary one, and extreme brilliance and intelligence. His arguments were as dear, bright, and cheerful as sunlight. He would not let his opponent leave until he was not only convinced but, in addition, completely satisfied and pleased with the magnificence of his logic and brilliance of his speech.  
     
   In spite of his rich knowledge and effective argument, he never considered his discussion and conversation a battle of intellects in which he could be proud of his vast knowledge and victory over his opponents. On the contrary he considered it a straightforward path to visualize and realize truth.  
   
     For a long time his fair and sharp logic had been a source of alarm to the Khawaarij. Once Imam `Aliy (May Allah be pleased with him) sent him to a large group of the Khawaarij. They had a wonderful discussion, in which he was in control of the talk, arguing in a very admirable way. The following is an extract of that long conversation:  Ibn `Abbaas asked them, `What do you have against `Aliy?"  

        They said, "We are discontent with three matters. 

First, he let men judge in Allah's religion, whereas Allah said, ". . surely judging is only for GOD" (6:57).  

       Second, he is a murderer. However, he didn't take any captives or war booty. If they had been disbelievers, then their wealth would have been permissible, and if they had been Muslims, then their murder would have been prohibited.  
    
    Third, during the arbitration, he agreed to give up the title `Commander of the Faithful' in response to his enemies. If he isn't Commander of the Faithful, then he must be Commander of the Disbelievers."  

       Ibn Abbaas began to refute their claims. "As for letting men judge in Allah's religion, what's wrong with that? Allah said, " O you who believe! Do not kill animals of the hunt while you are on the Pilgrimage, and whoever of you kills it intentionally, he shall make recompense the equal of what he has killed from the cattle, which shall be judged by two just men among you" (5: 95). Tell me, by Allah, is letting men judge in sparing the Muslim blood not worthier than letting them judge in the case of compensating a killed rabbit that is worth a quarter of a dirham?"  
    
    Their leaders stammered in speech under the pressure of that sarcastic but decisive logic. Then he continued his talk. "As for your claim that he is a murderer who didn't take prisoners or war booty, did you expect him to take Aa'ishah, the Prophet's wife and Mother of the Faithful, a prisoner and her belongings as booty?" At that moment their faces went blank out of shame and they tried to cover them with their hands.  
    
    Ibn `Abbaas went on to the third claim. "As for your claim that he agreed to give up the title `Commander of the Faithful' to give arbitration a chance, let me tell you what the Prophet (PBUH) did on the Day of Hudaibiyah. While he was dictating the agreement between him and the Quraish, he said to the scribe, `Write, This is what the Messenger of Allah agreed upon.' The representative of the Quraish said, `By Allah, if we believed that you were the Messenger of Allah, we wouldn't have hindered you from entering the Sacred House or fought against you.' The Prophet (PBUH) then said, `Then write, This is what Muhammad Ibn `Abd Allah has agreed upon. By Allah, I'm the Messenger of Allah even if you deny that. Write whatever you like."' 

        The discussion between lbn `Abbaas and the khawaarij went on in such a miraculous, magnificent way.

The discussion had hardly ended when some 20,000 of the Khawaarij announced their conviction in what was said and announced the end of their oppositon to Aliy's imamate.  

        lbn `Abbaas not only possessed a great fortune of knowledge but also a greater fortune of manners of knowledge and the knowledgeable. He was a great figure in his generosity. He spent his wealth abundantly for the people's sake with the same willingness with which he shared his knowledge. His contemporaries said, We've never seen a house more filled with food, drinks, fruits, and knowledge than Ibn `Abbaas's house."  

        He possessed a pure soul that never carried any spite. He never tired of wishing all the good for people, those whom he knew and those whom he did not. He said about himself, "Whenever I recited a verse, I wished that all people had acquired the knowledge I've acquired. Whenever I heard about a just ruler ruling fairly, I was filled with delight and prayed for him, although I did not need him! Whenever I heard about rain falling on Muslim land, I was filled with delight although I did not own any livestock grazing on that land."  

       He was a devoted repenting worshiper, praying at night and often fasting. No one could miss the stream of tears on his cheek. That is because he cried so much whenever he prayed or recited the Qur'aan. Whenever he read a scolding or threatening verse, or the mention of death and resurrection, his wail and laments grew louder and louder.  

        In addition, he was honest, brave, and eloquent. He had his own viewpoint and opinions about the dispute between lmam `Aliy and Mu`aawiyah, which proved his capacity for stratagem.  

       He preferred peace to war, kindness to violence, logic to compulsion.  

       When Al-Hussain (May Allah be pleased with him) intended to go to Iraq to fight Ziyaad and Yaziid, Ibn `Abbaas did everything he could to prevent him. Afterwards, he was informed about his martyrdom. He felt deep grief and kept indoors.  

       Whenever a dispute between two Muslims arose, he could always be seen carrying the banner of peace, forgiveness, and tenderness.  

       It is true that he himself was involved in the battle between `Aliy and Mu'aawiyah when he fought on `Aliy's side. But he did that because, at the beginning, the war represented a necessary eradication of a movement which was causing a terrible split within the Islamic community, threatening the unity of the faith and of the believers.  

        As long as he lived he filled the whole world with knowledge and wisdom, spreading among people his scent of piety.  

        When he reached the age of 71, he was invited to meet Allah. The city of At-Taa'if witnessed a great scene for a believer who had been promised Paradise. While his body settled safely in its grave, the horizon was shaken by the echo of the truthful divine promise: 
"O soul at peace. Return to your Lord, well pleased and well pleasing. Enter you among My servants. And enter into My Paradise!" (89:27-30).  
 
.¤ª"˜¨¯¨¨Abdullah Bin Abbas oo 'Abd Allah Ibn Abbaas¸,ø¨¨"ª¤. 


  

Categories: