acebook

Para Sahabat - The Companions
o
.¤ª"˜¨¯¨¨Abu Aiyub Al-Anshari¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨Abu Aiyuub Al-Ansaariy¸,ø¨¨"ª¤.
Pejuang di waktu senang ataupun susah. 


Rasulullah memasuki kota Madinah, dan dengan demikian berarti beliau telah mengakhiri perjalanan hijrahnya dengan gemilang, dan memulai hari-harinya yang penuh berkah di kampung hijrah, untuk mendapatkan apa yang telah disediakan qadar Ilahi baginya, yakni sesuatu yang tidak disediakannya bagi manusia-manusia lainnya ….

Dengan mengendarai untanya Rasulullah berjalan di tengah­-tengah barisan manusia yang penuh sesak, dengan luapan se­mangat dari kalbu yang penuh cinta dan rindu …. berdesak­-desakan berebut memegang kekang untanya, karena masing-­masingnya menginginkan untuk menerima Rasul sebagai tamunya ….

Rombongan Nabi itu mula-mula sampai ke perkampungan Bani Salim bin Auf; mereka mencegat jalan unta sembari berkata: “Wahai Rasul Allah tinggallah anda pada kami, bilangan kami banyak, persediaan cukup, serta keamanan terjamin . . . !”Tawaran mereka yang telah mencegat dan memegang tali kekang unta itu, dijawab oleh Rasulullah:“Biarkanlah, jangan halangi jalannya, karena ia hanyalah melaksanakan perintah . . . !”

Kendaraan Nabi terus melewati perumahan Bani Bayadhah, lalu ke kampung Bani Sa’idah, terus ke kampung Bani Harits ibnul Khazraj, kemudian sampai di kampung Bani ‘Adi bin Najjar . . . . Setiap suku atau kabilah itu mencoba mencegat jalan unta Nabi, dan tak henti-hentinya meminta dengan gigih agar Nabi saw. sudi membahagiakan mereka dengan menetap di. kampung mereka.

 Sedang Nabi menjawab tawaran mereka sambil tersenyum syukur di bibirnya ujarnya: “Lapangkan jalannya, karena ia terperintah . . .Nabi sebenarnya telah menyerahkan memilih tempat tinggalnya kepada qadar Ilahi, karena dari tempat inilah kelak kemasyhuran dan kebesarannya . . . . Di atas tanahnya bakal muncul suatu masjid yang akan memancarkan kalimat-kalimat Allah dan nur-Nya ke seantero dunia ….

 Dan di sampingnya akan berdiri satu atau beberapa bilik dari tanah dan batu kasar . . . , tidak terdapat di sana harta kemewahan dunia selain barang-barang bersahaja dan seadanya … !

Tempat ini akan dihuni oleh seorang Maha guru dan Rasul yang akan meniupkan ruh kebangkitan pada kehidupan yang Sudah padam, dan yang akan memberikan kemuliaan dan ke­selamatan  bagi mereka yang berkata:”Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap di atas pendirian … bagi mereka yang beriman dan tidak mencampur­kan keimanan itu dengan keaniayaan . . . , bagi mereka yang. mengikhlaskan Agama mereka  untuk Allah . . . dan bagi mereka yang berbuat kebaikan di muka bumi dan tidak berbuat binasa . . . .Benarlah Rasul telah menyerahkan sepenuhnya pemilih­an ini kepada qadar Ilahi yang akan memimpin langkah per­juangannya kelak . . . . 

Oleh karena inilah ia membiarkan Saja tali kekang untanya terlepas bebas, tidak ditepuknya kuduk unta itu tidak pula dihentikan langkahnya … hanya dihadapkan hatinya kepada Allah, serta diaerahkan dirinya kepada-Nya dengan berdoa:“Ya Allah, tunjukkan tempat tinggalku, pilihkanlah untukku … !”

Di muka rumah Bani Malik bin Najjar unta itu bersimpuh kemudian ia bangkit dan berkeliling di tempat itu, lalu pergi ke tempat ia bersimpuh tadi dan kembali bersimpuh lalu tetap dan tidak beranjak dari tempatnya. Maka turunlah Rasul dari atasnya dengan penuh harapan dan kegembiraan ….Salah seorang Muslimin tampil dengan wajah berseri-seri karena suka citanya . . . ia maju lalu membawa barang muatan dan memasukkannya ke rumahnya kemudian mempersilakan Rasul masuk . . . . Rasul pun mengikutinya dengan diliputi oleh hikmat dan berkat.

Maka tahukah anda sekalian siapa orang yang berbahagia ini, yang telah dipilih taqdir bahwa unta Nabi akan berlutut di muka rumahnya, hingga Rasul menjadi tamunya, dan semua penduduk Madinah akan sama merasa iri atas nasib mujurnya?Nah, ia adalah pahlawan yang jadi pembicaraan kita sekarang ini . . . , Abu Aiyub al-Anshari Khalid bin Zaid, cucu Malik bin Najjar. 

Pertemuan ini bukanlah pertemuan yang pertamanya dengan Rasulullah . . . . 

Sebelum ini, yakni sewaktu perutusan Madinah pergi ke Mekah untuk mengangkat sumpah setia atau bai’at, yaitu bai’at yang diberkati dan terkenal dengan nama “Bai’at Aqabah kedua”, maka Abu Aiyub al-Anshari termasuk di antara tujuh puluh orang Mu’min yang mengulurkan tangan kanan mereka ke tangan kanan Rasulullah serta menjabatnya dengan kuat, berjanji setia dan siap menjadi pembela.

Dan sekarang ketika Rasulullah sudah bermukim di Madinah dan menjadikan kota itu sebagai pusat bagi Agama Allah, maka nasib mujur yang sebesar-besarnya telah melimpah kepada Abu Aiyub, karena rumahnya telah dijadikan rumah pertama yang didiami muhajir agung Rasul yang mulia. 

Rasul telah memilih untuk menempati ruangan rumahnyatingkat pertama . Tetapi begitu Abu Aiyub naik ke kamarnya di tingkat atas ia pun jadi menggigil, dan ia tak kuasa mem­bayangkan dirinya akan tidur atau berdiri di suatu tempat yang lebih tinggi dari tempat berdiri dan tidurnya Rasulullah itu. la lalu mendesak Nabi dengan gigih dan mengharapkan beliau agar pindah ke tingkat atas, hingga Nabi pun memperkenan­kannya pengharapannya itu ….Nabi akan berdiam di sana sampai selesai pembangunan masjid dan pembangunan kamarnya di sampingnya . . . . Dan semenjak orang-orang Quraiay bermaksud jahat terhadap Islam dan berencana menyerang tempat hijrahnya di Madinah, meng­hasut kabilah-kabilah lain serta mengerahkan tentaranya untuk memadamkan nur Ilahi .. . semenjak itulah Abu Aiyub meng­alihkan aktifitasnya kepada berjihad pada jalan Allah. 

Maka dimulainya dengan perang Badar, lalu Uhud dan Khandaq, pen­deknya di semua medan tempur dan medan laga, ia tampil sebagai pahlawan yang sedia mengorbankan nyawa dan harta bendanya untuk Allah Rabul ‘alamin . . . . Bahkan sesudah Rasul wafat pun, tak pernah ia ketinggalan menyertai pertem­puran yang diwajibkan atas Muslimin sekalipun jauh jaraknya yang akan ditempuh dan berat beban yang akan dihadapi . . . ! 

Semboyan yang selalu diulang-ulangnya, baik malam ataupun Siang . . . dengan suara keras ataupun perlahan . . . adalah firman Allah Ta’ala:
“Berjuanglah kalian, baik di waktu lapang, maupun diwaktu sempit . . . !” (Q.S. 9 at-Taubat: 41)

Satu kali saja . . . ia absen tidak menyertai bala tentara Islam, karena sebagai komandannya khalifah mengangkat salah seorang dari pemuda Muslimin, sedang Abu Aiyub tidak puas dengan kepernimpinannya. Hanya sekali saja, tidak lebih … ! Sekalipun demikian, bukan main menyesalnya atas sikapnya yang selalu menggoncangkan jiwanya itu, katanya:“Tak jadi soal lagi bagiku, siapa orang yang akan jadi atasan­ku . . . !” 

Kemudian tak pernah lagi ia ketinggalan dalam pepe­rangan. Keinginannya hanyalah untuk hidup sebagai prajurit dalam tentara Islam, berperang di bawah benderanya dan mem­bela kehormatannnya … !

Sewaktu terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awtyah, ia berdiri di pihak Ali tanpa ragu-ragu, karena ialah Imam yang telah dibai’at oleh Kaum Muslimin . . . . 

Dan tatkala Ali syahid karena dibunuh, dan khilafat berpindah kepada Mu’awiyah,Abi Aiyub menyendiri dalam kezuhudan, bertawakkal lagi bertaqwa. Tak ada yang diharapkannya dari dunia hanyalah tersedianya suatu tempat yang lowong untuk berjuang dalam barisan para pejuang . . .

Demikianlah, sewaktu diketahuinya bala tentara Islam bergerak ke arah Konstantinopel, segeralah ia memegang kuda dengan membawa pedangnya, terus maju mencari syahid yang sudah lama didambakan dan dirindukannya . . . !

Dalam pertempuran inilah ia ditimpa luka berat. Ketika komandannya pergi menjenguknya, nafasnya sedang berlomba dengan keinginannya hendak menemui Allah . . . Maka ber­tanyalah panglima pasukan yang waktu itu Yazid bin Mu’awiyah: “Apa keinginan anda, wahai Abu Aiyub?”Aneh, adakah di antara kita yang dapat membayangkan atau mengkhayalkan apa keinginan Abu Aiyub itu … ? 

Tidak sama sekali! Keinginannya sewaktu nyawa hendak berpindah dari tubuhnya ialah sesuatu yang sukar atau hampir tak kuasa manusia membayangkan atau mengkhayalkannya … !

Sungguh, ia telah meminta kepada Yazid, bila ia telah me­ninggal, agar jasadnya dibawa dengan kudanya sejauh-jauh jarak yang dapat ditempuh ke arah musuh, dan di sanalah ia akan dikebumikan. Kemudian hendaklah Yazid berangkat dengan bala tentaranya sepanjang jalan itu, hingga terdengar olehnya bunyi telapak kuda Muslimin di atas kuburnya dan diketahuinya­lah bahwa mereka telah berhasil mencapai kemenangan dan keuntungan yang mereka cari . . . !

Apakah anda kira ini hanya lamunan belaka . . .? tidak. . . dan ini bukan khayalan, tetapi kejadian nyata, kebenaran yang akan disaksikan dunia di suatu hari kelak, di mana ia menajam­kan pandangan dan memasang telinganya, hampir-hampir tak percaya terhadap apa yang didengar dan dilihatnya … !Dan sungguh, wasiat Abu Aiyub itu telah dilaksanakan oleh Yazid! Di jantung kota Konstantinopel yang sekarang ber­nama Istanbul, di sanalah terdapat pandam pekuburan laki-laki besar, sungguh besar itu … !Hingga sebelum tempat itu dikuasai oleh orang-orang Islam, orang-orang Romawi penduduk Konstantinopel memandang Abu Aiyub di makamnya itu sebagai orang kudus suci …. 

Dan anda akan tercengang jika mendapati semua ahli sejarah yang mencatat periatiwa-periatiwa itu berkata: “Orang-orang Romawi sering mengunjungi dan berziarah ke kuburnya dan meminta hujan dengan perantaraannya, bila mereka mengalami kekeringan . . . “.

Sekalipun perang dan pertempuran sarat memenuhi ke­hidupannya, hingga tak pernah membiarkan pedangnya terletak beristirahat, namun corak kehidupannya adalah tenang tenteram laksana desiran bayu di kala fajar datang menjelma ….

Sebabnya ia pernah mendengar ucapan Rasulullah saw. yang terpateri dalam hatinya:
“Bila engkau shalat, maka shalatlah seolah-olah yang terakhir atau hendak berpiaah . . . . Jangan sekali-kali mengucapkan kata-kata yang menyebabkan engkau harus meminta maaf . . . ! 

Lenyapkan harapan terhadap apa Yang berada di tangan orang lain … !”

Dan oleh karena itulah tak pernah lidahnya terlibat dalam suatu fitnah … dan dirinya tidak terjerembab dalam kerakusan . . . . Ia telah menghabiskan hidupnya dalam kerinduan ahli ibadah dan ketahanan orang yang hendak berpisah. 

Maka sewaktu ajalnya datang tak ada keinginannya di sepanjang dan selebar dunia kecuali cita-cita yang melambangkan kepah­lawanan dan kebesarannya selagi hidupnya: “Bawalah jasadku jauh-jauh . . . jauh masuk ke tanah Romawi, kemudian kuburkan aku di sana … !”

Ia yakin sepenuhnya akan kemenangan, dan dengan mata hatinya dilihatnya bahwa wilayah ini telah termasuk dalam taman impian Islam, dalam lingkungan cahaya dan sinarnya ….

Karena itulah ia menginginkannya sebagai tempat iatirahat­nya yang terakhir, yakni di ibukota negara itu, di mana akan terjadi pertempuran yang menentukan, dan dari bawah tanahnya yang subur, ia akan dapat mengikuti gerakan tentara Islam, mendengar kepakan benderanya, dan bunyi telapak kudanya serta gemerincing pedang-pedangnya . . . !

Sekarang ini ia masih terkubur di sana Tetapi tidak lagi mendengar gemerincing pedang, atau ringkikan kuda! Keadaan telah berlalu, dan kapal telah berlabuh di tempat yang dituju, sejak waktu yang lama …. 

Tetapi setiap hari, dari pagi hingga petang didengarnya suara adzan yang berkumandang dari menara-­menaranya yang menjulang di angkasa, bunyinya:
“Allah Maha Besar …. Allah Maha Besar . . . . “.

Dan dengan rasa bangga, di dalam kampungnya yang kekal dan di mahligai kejayaannya ia menyahut:
“Inilah apa yang telah dijanjikan Allah dan Rasul-Nya ….
 Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya … !”


(33)  
ABU AIYUUB AL-ANSAARIY  
March Forth, Whether You Are Light or Heavy 

        The Prophet (PBUH) entered Al-Madiinah and put an end to his successful Hijrah. He began his first blessed days in the place of his immigration which destiny had selected for unprecedented and unmatched feats.  

        Riding on his camel, the Messenger (PBUH) advanced among the massive crowd which overflowed with enthusiasm, love, and longing. People crowded around the camel's halter in competition with one another to offer Allah's Messenger their hospitality and accommodation. As soon as the procession reached the neighborhood of Bani Saalim Ibn `Awf, the crowd stood in the way of the procession and addressed the Prophet saying, "O Messenger of Allah, please do accept our hospitable accommodation, for we are influential people who are great in number and wealth. We can also guarantee your support and protection." The Prophet (PBUH) mildly urged them to loosen its halter and get out of its way, for it had been ordered by Allah to stop at a certain place.  

        The procession advanced to the neighborhoods of Bani Bayaadah, then Bani Saa'idah, then Bani Al- Haarith Ibn Al-Khazraj, then to the Bani `Adiy, Ibn An-Najaar. The people of every tribe tried to stop the camel and pleaded with the Prophet (PBUH) to honor them with his approval of their hospitable accommodation. Yet the Prophet (PBUH) gave them the same answer, smiling thankfully, "Get out of its way, for it has been ordered by Allah to go to a certain place." Thus, the Prophet (PBUH) left the choice of his abode to destiny.  

        Later, this abode would be of critical and glorious importance, for on this land the mosque out of which the words and light of Allah would emanate, illuminating the entire universe, would be built.  

        Next to this mosque, a dwelling or rather dwellings made of clay and bricks would be built with nothing inside them but that which is barely sufficient for sustenance and living. These dwellings would be inhabited by an inspired instructor and Prophet (PBUH) who dawned upon this world to revive its waning spirit and to bestow honor and peacefulness upon all those who have said that their Lord is only Allah and thereafter stood firm and straight in the Islamic faith by abstaining from all kinds of sins and evil deeds which Allah has forbidden and by performing all kinds of good deeds which He has ordained. They were those who believed in the Oneness of Allah, worshiped none but Him alone and did not confuse their belief with wrong. They were those who purified their religion to Allah and reformed the land and did not make mischief on the earth.

Indeed, the Prophet (PBUH) was very careful to leave the choice of the place of his abode to Allah's determined decree.  

        Hence, he loosened the reins of his camel and did not pull it. Then he set his heart to Allah and supplicated, "Allah, pick and choose for me a place for my abode."  

        The camel knelt down in front of the house of Bani Maalik Ibn An-Najaar. Then it got up on its feet, circled around the place,then went back to the same spot again and knelt down, lowered its neck, and was motionless. The Prophet (PBUH) was optimistic and glad as he dismounted. One of the Muslims advanced towards the camel, took the saddle bags and carried them into his house.

 His face shone with joy and satisfaction as the Prophet (PBUH) who was enveloped with good fortune and blessings followed him right into his house. Would you like to know who was the happy, lucky man in front of whose house the camel knelt down, and the man in whose house the Prophet was guest, and the man whom all the people of the city envied for his great fortune? He was our hero, Abu Aiyuub Al Ansaariy, also known as Khaalid Ibn Zaid, the grandson of Maalik Ibn An-Najaar.  

        It was not the first meeting between the Prophet (PBUH) and Abu Aiyuub Al-Ansaariy. They had met before when the Madiinah delegation journeyed to Makkah to take the oath of allegiance to the Prophet (PBUH) in the famous Second Pledge of Al-'Aqabah. Abu Aiyuub Al-Ansaary was among the70 believers who shook hands with the Prophet (PBUH) and gave him his support and loyalty. It seems that Abu Aiyuub's great fortune was that his house was chosen for the great Muhaajir and the generous Prophet (PBUH) to live in when the Messenger of Allah entered Al-Madiinah and established it as the capital of Allah's new religion.  

        The Prophet (PBUH) preferred to live on the first floor. However, no sooner had Abu Aiyuub Al- Ansaary ascended to his room on the upper floor then he shook with regret for yielding to the Prophet's wish and accepting to live and sleep above the Prophet (PBUH). Instantly, he pleaded with the Prophet to move to the upper floor. He prevailed upon him, and the Prophet moved to the upper floor. The Prophet (PBUH) stayed there until the mosque was built and his dwelling was built next to it. 

        Ever since the Quraish began to fight against Islam, to raid Al Madiinah, the land of Hijrah, and to instigate tribes and organize armies to put out Allah's light, Abu Aiyuub became a professional in warfare and jihaad. This hero was there in Badr, Uhud, Al-Khandaq and the rest of the battles and wars. He sold himself, his money, and property to Allah, the Lord of All the Worlds.  

        Even after the Prophet had died, Abu Aiyuub never lagged behind or turned his back on a battle that the Muslims were destined to fight in, notwithstanding the hardships and the atrocities. 

The slogan that he sang day and night, secretly and openly was Allah's verse 
"March forth, whether you are light or heavy" 
(9 :41).  

        He never missed an expedition, but once. He refused to fight in an army whose commander was a young Muslim assigned by the caliph. Abu Aiyuub was against this choice. This one and only mistake shook his inner-most self, and he was always full of regrets as he repeated, "It is none of my concern who was appointed by `Aliy." Ever since that slip, he never missed a battle, no matter what.  

       It sufficed him to live as a soldier in the Muslim army, fight under its standard, and defend its sanctity.  

        When conflict erupted between `Aliy and Mu'aawiyah, he sided with `Aliy without the slightest hesitation. He believed that `Aliy was the rightful Imam who had been chosen by the Muslims. When `Aliy died and Mu'aawiyah took over the caliphate, the ascetic, steadfast, and pious Abu Aiyuub held himself aloof. He craved nothing of this world but for a place in the battlefield among the mujaahiduun who strive in the way of Allah. Therefore, no sooner had he seen the Muslim army march forth towards Constantinople than he mounted his horse, raised his sword, and galloped towards a great and long awaited marytrdom.  

        In this particular battle, he was wounded. The commander of the army paid him a visit to check up on him. He breathed heavily as if his longing to meet Allah made him impatient with the few minutes left of his life. The commander, Yaziid Ibn Mu'aawiyah, asked him, "What is your last wish, Abu Aiyuub?"  

        I wonder if any of us can guess or imagine what Abu Aiyuub's last wish was? No, his last wish before he died was inconceivable and beyond the imagination of most human beings. 

        He asked Yaziid to carry his body to the furthest point inside the enemy lands and bury him there, then to break through the enemy line until he reached his grave so that Abu Aiyuub might hear the sound of the galloping Muslim horses clattering over it and realize that they had achieved victory. Do you think this is poetic verse? No, this is neither poetic verse nor a whim of imagination. No, it really happened!. It is a fact that the whole world witnessed one day, and stood there watching, unbelievingly, with its eyes wide open, and listening unbelievingly, with its own ears. Yaziid carried out Abu Aiyuub's will to the fullest extent.  

        Finally, the body of this very great man was buried in the heart of Constantinople - Istanbul nowadays. Even before Islam enveloped this part of the world with its light, the Romans of Constantinople looked up to Abu Aiyuub as a saint.

 Strangely enough, all the historians who registered the events that sustain the previous claim say, "The Romans looked after his grave, visited it, and asked Allah to send down rain for his sake during times of drought."  

        Notwithstanding the quick and regular tempo of the battles that Abu Aiyuub's life was full of, leaving him no time to sheathe his sword and take his breath, his life was tranquil and pure as the early morning breeze.  

        He heard the Prophet (PBUH) relate a hadith and he always cherished it. 

The Prophet said, 
"First, if you perform a prayer, perform it neatly as if it was your last prayer. 
Second, do not utter a word for which you will have to apologize later on.
 Third, rid yourself of the hope of having whatever is enjoyed by other people."

 Thus, he never spread slander or mischief, he never desired anything, and he spent his life absorbed in spiritual longing as a sincere worshiper and with the aloofness of someone on his death bed. When it was time for him to die, he desired nothing of this world but for this single wish that represented his heroism and greatness: "Carry my body far inside the Roman lands, then bury me there." He believed in victory. He had enough insight to for see that those distant parts of the world would soon be one of the oases of Islam and would be illumined by its light.  

        Hence, he wanted to be interred there at the capital of the country where the final decisive battle would take place and where he could, from his blessed grave, follow up the proceedings of the war: the sweeping Muslim armies, the fluttering flags, the neighing of the horses, their galloping, and the clash of swords. Today, he is lying over there, although he cannot hear the clash of swords and the neighing of horses any more, for the decree of Allah has been fulfilled upon him. Instead, he hears the magnificent sound of the Aadhaan five times a day emanating from the high minarets across the horizon:  
   
Allahu akbar. Allah is the Greatest. 
Allahu akbar. Allah is the Greatest. 

        His overjoyed spirit in its eternal and glorious home answers saying, "This is what Allah and His Messenger had promised us and Allah and His Messenger spoke the truth." 




o
.¤ª"˜¨¯¨¨Abu Aiyub Al-Anshari¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨Abu Aiyuub Al-Ansaariy¸,ø¨¨"ª¤.







Categories: