acebook



.¤ª"˜¨¯¨¨Abdullah Bin Mas'ud o'Abd Allah Ibn Mas'uud¸,ø¨¨"ª¤.
 Yang pertama kali mengumandangkan
 Al-Qur'an dengan suara merdu. 

Sebelum Rasulullah masuk ke rumah Arqam, Abdullah bin Mas’ud telah beriman kepadanya dan merupakan orang keenam yang masuk Islam dan mengikuti Rasulullah saw. Dengan demi­kian ia termasuk golongan yang mula pertama masuk Islam ….

Pertemuannya yang mula-mula dengan Rasulullah itu di­ceritakannya sebagai berikut: “Ketika itu saya masih remaja, menggembalakan kambing kepunyaan ‘Uqbah bin Muaith. Tiba-tiba datang Nabi saw. bersama Abu Bakar, dan sertanya: “Hai nak, apakah kamu punya susu untuk minuman kami?”. “Aku orang kepercayaan” ujarku”, “dan tak dapat memberi anda berdua minuman … ! “ Maka sabda Nabi saw.: “Apakah kamu punya kambing betina mandul, yang belum dikawini oleh yang jantan . . . ?” “Ada”, ujarku. Lalu saya bawa ia kepada mereka. Kambing itu diikat kakinya oleh Nabi lalu disapu susunya sambil memohon kepada Allah. Tiba-tiba susu itu berair banyak …. Kemudian Abu Bakar mengambil­kan sebuah batu cernbung yang digunakan Nabi untuk menampung perahan susu. Lalu Abu Bakar pun minum­lah, dan saya pun tidak ketinggalan . . . . Setelah itu Nabi menitahkan kepada susu: “Kempislah!”, maka susu itu menjadi kempis …. Setelah peristiwa itu saya datang menjumpai Nabi, kataku: “Ajarkanlah kepadaku kata-kata tersebut!” Ujar Nabi saw.: “Engkau akan menjadi seorang anak yang terpelajar!”

Alangkah heran dan takjubnya Ibnu Mas’ud ketika menyaksikan seorang hamba Allah yang shalih dan utusan-Nya yang dipercaya memohon kepada Tuhannya sambil menyapu susu hewan yang belum pernah berair selama ini, tiba-tiba mengeluar­kan kurnia dan rizqi dari Allah berupa air susu murni yang enak buat diminum . . .!

Pada sa’at itu belum disadarinya bahwa peristiwa yang disaksikannya itu hanyalah merupakan mu’jizat paling enteng dan tidak begitu berani, dan bahwa tidak berapa lama lagi dari Rasulullah yang mulia ini akan disaksikannya mu’jizat yang akan menggoncangkan dunia dan memenuhinya dengan petunjuk serta cahaya …. Bahkan pada saat itu juga belum diketahuinya, bahwa diri­nya sendiri yang ketika itu masih seorang remaja yang lemah lagi miskin, yang menerima upah sebagai penggembala kambing milik ‘Uqbah bin Mu’aith, akan muncul sebagai salah satu dari mu’jizat ini, yang setelah ditempa oleh Islam menjadi seorang beriman, akan mengalahkan kesombongan orang-orang Quraisy dan menaklukkan kesewenangan para pemukanya ….

Maka ia, yang selama ini tidak berani lewat di hadapan salah seorang pembesar Quraisy kecuali dengan menjingkatkan kaki dan menundukkan kepala, di kemudian hari setelah masuk Islam, ia tampil di depan majlis para bangsawan di sisi Ka’bah, sementara semua pemimpin dan pemuka Quraisy duduk ber­kumpul, lalu berdiri di hadapan mereka dan mengumandangkan suaranya yang merdu dan membangkitkan minat, berisikan wahyu Illahi al-Quranul Karim:Bismillahirrahmanirrahim ….Allah Yang Maha Rahman . – - .Yang telah mengajarkan al-Quran …. Menciptakan insan ….Dan menyampaikan padanya penjelasan Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan …. Sedang bintang dan kayu-kayuan sama sujud kepada Tuhan ….

Lalu dilanjutkannya bacaannya, sementara pemuka-pemuka Quraisy sama terpesona, tidak percaya akan pandangan mata dan pendengaran telinga mereka …. dan tak tergambar dalam fikiran mereka bahwa orang yang menantang kekuasaan dan kesombongan mereka . . . , tidak lebih dari seorang upahan di antara mereka, dan penggembala kambing dari salah seorang bangsawan Quraisy . . . . yaitu Abdullah bin Mas’ud, seorang miskin yang hina dina

Marilah kita dengar keterangan dari saksi mata melukiskan peristiwa yang amat menarik dan mena)ubkan itu! Orang itu tiada lain dari Zubair r.a. katanya: “Yang mula-mula menderas al-Quran di Mekah setelah Rasulullah saw. ialah Abdullah bin Masud r.a. Pada suatu hari para shahabat Rasulullah berkumpul, kata mereka: “Demi Allah orang-orang Quraisy belum lagi mendengar sedikit pun al-Quran ini dibaca dengan suara keras di hadapan mereka ….Nah, siapa di antara kita yang bersedia memperdengarkan­nya kepada mereka …. ?”

Maka kata Ibnu Masud: “Saya.” Kata mereka: “Kami khawatir akan keselamatan dirimu! Yang kami inginkan ialah seorang laki-laki yang mempunyai kerabat yang akan mempertahankannya dari orang-orang itu jika mereka bermaksud jahat . . . . “ “Biarkanlah saya!” kata Ibnu Masud pula, “Allah pasti membela”. Maka datanglah Ibnu Mas’ud kepada kaum Quraisy di waktu dluha, yakni ketika mereka sedang berada di balai pertemuannya …. Ia berdiri di panggung lalu membaca Bismillahirrahmanir­rahim, dan dengan mengeraskan suaranya: Arrahman ‘allamal Quran …. Lalu sambil menghadap kepada mereka diteruskanlah bacaan­nya. 

Mereka memperhatikannya sambil sertanya sesamanya: “Apa yang dibaca oleh anak si Ummu ‘Abdin itu . . . ? Sungguh, yang dibacanya itu ialah yang dibaca oleh Mu­hammad!” Mereka bangkit mendatangi dan memukulinya, sedang Ibnu Mas’ud meneruskan bacaannya sampai batas yang dikehen­daki Allah . . . . Setelah itu dengan muka dan tubuh yang babak-belur ia kembali kepada para shahabat. Kata mereka: “Inilah yang kami khawatirkan terhadap dirimu …. Ujar Ibnu Ma’sud: “Sekarang ini tak ada yang lebih mudah bagiku dari menghadapi musuh-musuh Allah itu! Dan se­andainya tuan-tuan menghendaki, saya akan mendatangi mereka lagi dan berbuat hal yang sama esok hari …. ! “ Ujar mereka: “Cukuplah demikian! Kamu telah membacakan kepada mereka barang yang menjadi tabu bagi mereka!”

Benar, pada saat Ibnu Mas’ud tercengang melihat susu kam­bing tiba-tiba berair sebelum waktunya, belum menyadari bahwa ia bersama kawan-kawan senasib dari golongan miskin tidak berpunya, akan menjadi salah satu mu’jizat besar dari Rasulullah, yakni ketika mereka bangkit memanggul panji-panji Allah dan menguasai dengannya cahaya Siang dan sinar matahari. Tidak diketahuinya bahwa saat itu telah dekat . . . Kiranya secepat itu hari datang dan lonceng waktu telah berdentang, anak remaja buruh miskin dan terlunta-lunta serta-merta menjadi suatu mu’jizat di antara berbagai mu’jizat Rasulullah …. !

Dalam kesibukan dan berpacuan hidup, tiadalah ia akan menjadi tumpuan mata . . . . Bahkan di daerah yang jauh dari kesibukan pun juga tidak . . . .! Tak ada tempat baginya di kalangan hartawan, begitu pun di dalam lingkungan ksatria yang gagah perkasa, atau dalam deretan orang-orang yang ber­pengaruh. Dalam soal harta, ia tak punya apa-apa, tentang perawakan ia kecil dan kurus, apalagi dalam soal pengaruh, maka derajat­nya jauh di bawah . . . . Tapi sebagai ganti dari kemiskinannya itu, Islam telah memberinya bagian yang melimpah dan per­olehan yang cukup dari perbendaharaan Kisra dan simpanan Kaisar. Dan sebagai imbalan dari tubuh yang kurus dan jasmani yang lemah, dianugerahi-Nya kemauan baja yang dapat menun­dukkan para adikara dan ikut mengambil bagian dalam merubah jalan sejarah. Dan untuk mengimbangi nasibnya yang tersia ter­lunta-lunta, Islam telah melimpahinya ilmu pengetahuan, kemuli­aan serta ketetapan, yang menampilkannya sebagai salah seo­rang tokoh terkemuka dalam sejarah kemanusiaan ….

Sungguh, tidak meleset kiranya pandangan jauh Rasulullah saw. ketika beliau mengatakan kepadanya: “Kamu akan menjadi seorang pemuda terpelajar”. Ia telah diberi pelajaran oleh Tuhannya hingga menjadi faqih atau ahli hukum ummat Mu­hammad saw., dan tulang punggung para huffadh al-Quranul Karim. Mengenai dirinya ia pernah mengatakan: “Saya telah menampung 70 surat al-Quran yang kudengar langsung dari Rasulullah saw. tiada seorang pun yang me­nyaingiku dalam hal ini ……

Dan rupanya Allah swt. memberinya anugerah atas keberaniannya mempertaruhkan nyawa dalam mengumandangkan al­-Quran secara terang-terangan dan menyebarluaskannya di segenap pelosok kota Mekah di saat siksaan dan penindasan merajalela, maka dianugerahi-Nya bakat istimewa dalam membawakan bacaan al-Quran dan kemampuan luar biasa dalam memahami arti dan maksudnya. Rasulullah telah memberi washiat kepada para shahabat agar mengambil Ibnu Mas’ud sebagai teladan, sabdanya: “Berpegang-teguhlah kepada ilmu yang diberikan oleh Ibnu Ummi ‘Abdin . ! “

Diwashiatkannya pula agar mencontoh bacaannya, dan mempelajari cara membaca al-Quran daripadanya. Sabda Nabi saw.: “Barang siapa yang ingin   hendak mendengar al-Quran tepat seperti diturunkan, hendaklah ia mendengarkan­nya dari Ibnu Ummi ‘Abdin … ! Barang siapa yang ingin hendak membaca al-Quran tepat seperti diturunkan, hendaklah ia membacanya seperti bacaan Ibnu Ummi ‘Abdin … ! “ Sungguh, telah lama Rasulullah menyenangi bacaan al-Quran dari mulut Ibnu Mas’ud Pada suatu hari ia memanggilnya sabdanya: “Bacakanlah kepadaku, hai Abdullah!”

“Haruskah aku membacakannya pada anda, wahai Rasul­ullah . . . Jawab Rasulullah: “Saya ingin mendengarnya dari mulut orang lain” Maka Ibnu Mas’ud pun membacanya dimulai dari surat an-Nisa, hingga sampai pada firman Allah Ta’ala: Maka betapa jadinya bila Kami jadikan dari setiap ummat itu seorang saksi, sedangkan kamu Kami jadikan sebagai saksi bagi mereka …. ! Ketika orang-orang kafir yang mendurhakai Rasul sama berharap kiranya mereka disamaratakan dengan bumi . . . .! dan mereka tidak dapat merahasiakan pem­bicaraan dengan Allah …. !” (Q S 4 an-Nisa: 41 — 42) Maka Rasulullah tak dapat manahan tangisnya, air matanya meleleh dan dengan tangannya diisyaratkan kepada Ibnu Mas’ud yang maksudnya: “Cukup …. cukuplah sudah, hai Ibnu Mas’ud . . .! “

Suatu ketika pernah pula Ibnu Mas’ud menyebut-nyebut karunia Allah kepadanya, katanya: “Tidak suatu pun dari al-Quran itu yang diturunkan, kecuali aku mengetahui mengenai peristiwa apa diturunkannya. Dan tidak seorang pun yang lebih mengetahui tentang Kitab Allah daripadaku. Dan sekiranya aku tahu ada seseorang yang dapat dicapai dengan berkendaraan unta dan ia lebih tahu tentang kitabullah daripadaku, pastilah aku akan menemui­nya. Tetapi aku bukanlah yang terbaik di antaramu!”

Keistimewaan Ibnu Mas’ud ini telah diakui oleh para sha­habat. Amirul  Mu’minin Umar berkata mengenai dirinya: “Sungguh ilmunya tentang fiqih berlimpah-limpah Dan berkata Abu Musa al-Asy’ari: “Jangan tanyakan kepada kami sesuatu masalah, selama kiyai ini berada di antara tuan-tuan!” Dan bukan hanya keunggulannya dalam al-Quran dan ilmu fiqih saja yang patut dapat pujian, tetapi juga keunggulannya dalam keshalihan dan ketaqwaan. Berkata Hudzaifah tentang dirinya: “Tidak seorang pun saya lihat yang lebih mirip kepada Rasulullah saw. baik dalam cara hidup, perilaku dan ke­tenangan jiwanya, daripada Ibnu Mas’ud …. Dan orang-orang yang dikenal dari shahabat-shahabat Rasul­ullah sama mengetahui bahwa putera dari Ummi ‘Abdin adalah yang paling dekat kepada Allah …. ! “

Pada suatu hari serombongan shahabat berkumpul pada Ali karamallahu wajhah (semoga Allah memuliakan wajah atau dirinya), lalu kata mereka kepadanya: “Wahai Amirul Mu’minin, kami tidak melihat orang yang lebih berbudi pekerti, lebih lemah-lembut dalam mengajar, begitu pun yang lebih baik pergaulannya, dan lebih shalih daripada Abdullah bin Mas’ud …. !”
Ujar Ali: “Saya minta tuan-tuan bersaksi kepada Allah, apakah ini betul-betul tulus dari hati tuan-tuan ….. 2 “Benar”, ujar mereka. Kata Ali pula: “Ya Allah, saya mohon Engkau menjadi saksinya, bahwa saya berpendapat mengenai dirinya seperti apa yang mereka katakan itu, atau lebih baik dari itu lagi…. Sungguh, telah dibacanya al-Quran, maka dihalalkannya barang yang halal dan dihararnkannya barang yang Haram . . . , seorang yang ahli dalam soal keagamaan dan luas ilmu­nya tentang as-Sunnah …. ! “

Suatu ketika para shahabat memperkatakan pribadi Abdullah bin Mas’ud, kata mereka: “Sungguh, sementara kita terhalang, ia diberi restu, dan sementara kita bepergian, ia menyaksikan (tingkah laku Rasulullah saw.). . .”. Maksud mereka ialah bahwa Abdullah r.a. beruntung men­dapat kesempatan berdekatan dengan Rasulullah saw., suatu hal Yang jarang didapat oleh orang lain. la lebih sering masuk ke rumah Rasulullah dan menjadi teman duduknya. Dan lebih-lebih lagi ia adalah tempat Rasulullah menumpah­kan keluhan dan mempercayakan rahasianya, hingga ia diberi gelar “Peti Rahasia”.

Berkata Abu Musa al-Asy’ari: “Sungguh, setiap saya melihat Rasulullah saw., pastilah Ibnu Mas’ud berada menyertainya …”. Adapun yang menjadi sebab ialah karena Rasulullah saw. amat menyayanginya, terutama keshalihan dan kecerdasannya Serta kebesaran jiwanya, hingga Rasulullah pernah bersabda mengenai dirinya: “Seandainya saya hendak mengangkat seseorung sebagai amir tanpa musyawarat dengan Kaum Muslimin, tentulah yang saya angkat itu Ibnu Umi ‘Abdin. . . “.

Dan telah kita kemukakan washiat Rasulullah kepada para shahabatnya: “Berpegang teguhlah kepada ilmu Ibnu Ummi ‘Abdin!” Maka kesayangan dan kepercayaan ini memungkinkannya untuk bergaul rapat dengan Rasulullah saw., hingga ia beroleh hak yang tidak diberikannya kepada orang lain, bersabda Rasulullah saw. kepadanya: “Saya idzinkan kamu bebas dari tabir hijab. . . “INI MERUPAKAN LAMPU HIJAU BAGI Ibnu Mas’ud untuk masuk rumah Rasulullah saw. dan pintunya senantiasa terbuka baginya, biar Siang maupun malam. Dan inilah yang pernah diperkatakan oleh para shahabat:
“sementara kita terhalang, ia diberi idzin, dan sementara kita bepergian, ia menyaksikan – - .”. Dan memang Ibnu Mas’ud layak untuk memperoleh ke­istimewaan ini . . . . Karena walaupun pergaulan rapat seperti ini akan memberikan padanya keuntungan, tetapi Ibnu Mas’ud hanya bertambah khusyu’, tambah hormat dan sopan­ santun ….

Mungkin gambaran yang melukiskan akhlaqnya secara tepat, ialah sikapnya ketika menyampaikan Hadits dari Rasulullah saw. setelah beliau wafat. Walaupun ia jarang menyampaikan Hadits dari Rasulullah saw., tetapi kita lihat setiap ia menggerak­kan kedua bibirnya untuk mengatakan: “Saya dengar Rasul­ullah menyampaikan Hadits dan bersabda . . . .”, maka tubuhnya gemetar dengan amat sangat, dan ia tampak gugup dan gelisah. Sebabnya tiada lain karena takutnya akan alpa, hingga bersalah menaruh kata di tempat yang lain …. !

Marilah kita dengarkan kawan-kawannya melukiskan gejala­ gejala ini! Berkatalah ‘Amar bin Maimun: “Saya bolak-balik ke rumah Abdullah bin Mas’ud ada se­tahun lamanya, dan selama itu tak pernah saya dengar ia menyampaikan Hadits dari Rasulullah saw., kecuali sebuah Hadits yang disampaikannya pada suatu hari. Dari mulutnya mengalir ucapan: Telah bersabda Rasulullah saw. Tiba-tiba ia kelihatan gelisah hingga tampak keringat bercucuran dari keningnya. Kemudian katanya mengulangi kata-kata tadi: “Kira-kira demikianlah disabdakan oleh Rasul­ullah . . .”.

Dan bercerita Alqamah bin Qais: Biasanya Abdullah bin Mas’ud berpidato setiap hari Kamis sore menyampaikan Hadits. Tidak pernah saya dengar ia mengucapkan: “Telah bersabda Rasulullah”, kecuali satu kali saja . . . . Di saat itu saya lihat ia bertelekan tongkat, dan tongkatnya itu pun bergetar dan bergerak-gerak

Dan diceritakan pula oleh Masruq mengenai Abdullah ini: “Pada suatu hari Ibnu Mas’ud menyampaikan sebuah Hadits, katanya: “Saya dengar Rasulullah saw “ Tiba-tiba ia jadi gemetar, dan pakaiannya bergetar pula …. Kemudian katanya: “Atau kira-kira demikian  atau kira-kira seperti itulah . . .”.

Nah, sampai sejauh inilah ketelitian, penghormatan dan penghargaannya kepada Rasulullah saw ….Disamping menjadi bukti ketaqwaannya, ketelitian dan penghormatannya ini me­rupakan tanda kecerdasannya …. !
Orang yang lebih banyak bergaul dengan Rasulullah saw., penilaiannya terhadap kemuliaan Rasulullah lebih tepat. . . Dan itulah sebabnya adab sopan santunnya terhadap Rasulullah ketika beliau hidup, begitu pun kenangan kepada beliau setelah wafatnya, merupakan adab sopan santun satu-satunya dan tak ada duanya . – . .!

Ibnu Mas’ud tak hendak berpisah dari Rasulullah saw. baik di waktu bermukim maupun di waktu bepergian. la telah turut mengambil bagian dalam setiap peperangan dan pertempuran. Dan peranannya dalam perang Badar meninggalkan kenangan yang tak dapat dilupakan, yakni rubuhnya Abu Jahal oleh tebasan pedang Kaum Muslimin pada hari yang keramat itu ….

Khalifah-khalifah dan para shahabat Rasul mengakui ke­dudukannya ini, hingga ia diangkat oleh Amirul Mu’minin Umar sebagai Bendaharawan di kota Kufah. Kepada penduduk waktu mengirimnya itu dikatakan: “Demi Allah yang tiada Tuhan melainkan Dia, sungguh saya lebih mementingkan tuan-tuan daripada diriku, maka ambil­lah dan pelajarilah ilmu daripadanya … ! “

Dan penduduk Kufah telah mencintainya, suatu hal yang belum pernah diperoleh orang-orang sebelumnya, atau orang Yang setaraf dengannya . . . . Sungguh, kebulatan penduduk kufah untuk mencintai seseorang, merupakan suatu hal yang mirip dengan mu’jizat …. Sebabnya ialah karena mereka biasa menentang dan memberontak, mereka tidak tahan menghadapi hidangan yang serupa …. dan tidak mampu hidup selalu dalam aman dan tenteram …. !

Dan karena kecintaan mereka kepadanya demikian rupa, sampai-sampai mereka mengerumuni dan mendesaknya sewaktu’ ia hendak diberhentikan oleh Khalifah Utsman r.a. dari jabatan­nya, kata mereka: “Tetaplah anda tinggal bersama kami di sini dan jangan pergi, dan kami bersedia membela anda dari mala­petaka yang akan menimpa anda!” Tetapi dengan kalimat yang menggambarkan kebesaran jiwa dan ketaqwaannya, Ibnu Mas’ud menjawab, katanya: “Saya harus taat kepadanya, dan di belakang hari akan timbul peristiwa-peristiwa dan fitnah, dan saya tak ingin menjadi orang yang mula-mula membukakan pintunya . ! “ Pendirian mulia dan terpuji ini mengungkapkan kepada kita hubungan Ibnu Mas’ud dengan Khalifah Utsman …. Di antara mereka telah terjadi perdebatan dan perselisihan yang makin lama makin sengit, hingga gaji dan tunjangan pensiunnya ditahan dari Baitulmal . . . . Walau demikian namun tidak sepatah kata pun yang tidak baik keluar dari mulutnya mengenai Utsman ….

Bahkan ia berdiri sebagai pembela dan memperingatkan rakyat ketika dilihatnya persekongkolan di masa Utsman itu telah meningkat menjadi suatu pemberontakan ….

Dan ketika terbetik berita ke telinganya mengenai percobaan untuk membunuh Khalifah Utsman itu, keluarlah dari mulut­nya ucapan yang terkenal: “Sekiranya mereka membunuhnya, maka tak ada lagi orang sebanding dengannya yang akan mereka angkat sebagai khalifah … ” ‘

Dalam pada itu di antara kawan-kawan Ibnu Mas’ud ada yang berkata: “Tak pernah saya dengar Ibnu Mas’ud me­ngeluarkan cercaan satu kata pun terhadap Utsman Allah telah menganugerahinya hikmah sebagaimana telah memberinya sifat taqwa. Ia memiliki kemampuan untuk me­lihat jauh ke dasar yang dalam, dan mengungkapkannya secara menarik dan tepat ….

Marilah kita dengar ucapannya yang menggambarkan kesimpulan hidup yang istimewa dari Umar dengan kata-kata singkat tapi padat dan mena’jubkan, katanya: “Islamnya merupakan suatu kemenangan…… hijrahnya merupakan pertolongan . . . , sedang pemerintahannya menjadi suatu rahmat  ….”Berbicara tentang apa yang dikatakan orang sekarang tentang relativitas masa, ia mengatakan:“Bagi Tuhan kalian tiada Siang dan malam ….Cahaya langit dan bumi itu bersumber dari cahayanya ….Ia juga berbicara tentang pekerja dan betapa pentingnya mengangkat taraf budaya kaum pekerja ini katanya“Saya amat benci melihat seorang laki-laki yang menganggur tak ada usahanya untuk kepentingan dunia, dan tidak pula untuk kepentingan akhirat ….”.

Dan di antara kata-katanya yang bersayap ialah:
“Sebaik-baik kaya ialah kaya hati sebaik-baik bekal ialah taqwa; 
seburuk-buruk buta ialah buta hati; 
sebesar-besar dosa ialah berdusta; 
sejelek-jelek usaha ialah memungut riba; 
seburuk-buruk makanan ialah memakan harta anak yatim; 
siapa yang merna’afkan orang akan dimaafkan Allah;
dan siapa yang mengampuni orang akan diampuni Allah ….”

Nah, itulah gambaran singkat Abdullah bin Mas’ud shahabat  Roulull,ah saw. Dan itulah dia kilasan dari suatu kehidupan besar dan perkasa yang dilalui pemiliknya di jalan Allah dan Rasul-Nya Serta Agama-Nya …. Itulah dia laki-laki yang ukuran tubuhnya seumpama tubuh burung merpati           kurus dan pendek, hingga tinggi badannya tidak akan berapa bedanya dengan orang yang sedang duduk …Kedua betisnya kecil dan kempis,yang tampak ketika itu memanjat dan memetik dahan pohon arak untuk digunakan sikat Rasulullah saw. Para shahabat sama menertawakannya ketika melihat kedua betisnya itu. Maka bersabdalah Rasulullah saw :“Tuan-tuan menertawakan betis Ibnu Masud . . . , kedua­nya di sisi Allah lebih berat timbangannya dari gunung Uhud . ! “Memang . . . , inilah dia orang yang berasal dari keluarga miskin, buruh upahan, kurus dan hina, tetapi keyakinan dan keimanannya telah menjadikannya salah seorang imam di antara imam-imam kebaikan, petunjuk dan cahaya ….

Ia telah dikaruniai taufiq dan ni’mat oleh Allah yang me­nyebabkannya termasuk dalam golongan “sepuluh orang sha­habat Rasul yang mula pertama masuk Islam”, yakni orang­orang yang selagi hidupnya telah menerima berita gembira beroleh ridla Allah dan surga-Nya …. Ia telah terjun dan tak pernah absen dalam setiap perjuangan yang berakhir dengan kemenangan di mass Rasulullah saw., begitu pun di masa para khalifah sepeninggal beliau. Dan ia turut menyaksikan dua buah imperium dunia membukakan pintunya dengan tunduk dan patuh dimasuki panji-panji Islam dan ajarannya …. Disaksikannya pula jabatan-jabatan yang tersedia dan menunggu orang-orang Islam yang mau mendudukinya, begitu pun harta yang tidak terkira banyaknya bertumpuk-tumpuk di hadapan mereka, tetapi tidak satu pun yang dapat mengusik dan melupakannya dari janji yang telah diikrarkannya kepada Allah dan Rasul-Nya, atau merintanginya dari garis hidup dan ke­tekunan ibadat yang diliputi rasa khusyu’ dan taw adlu …..Dan di antara keinginan dan cita-cita hidup, tidak satu pun yang menarik hatinya kecuali sebuah, yakni yang selalu di­rindukan, menjadi buah bibir dan senandungnya, Serta menjadi angan-angan untuk mendapatkannya….

Nah, marilah kita simakkan kata-katanya sendiri menceritakan hal itu kepada kita:“Aku bangun di tengah malam, ketika itu aku mengikuti Rasulullah di perang Tabuk . . . . Maka tampak olehku nyala api di arah pinggir perkemahan, lalu kudekati untuk melihatnya. Kiranya Rasulullah bersama Abu Bakar dan Umar. Rupanya mereka sedang menggali kuburan untuk Abdullah Dzulbijadain al-Muzanni yang ternyata telah wafat. Rasulullah saw. ada di dalam lubang kubur itu, semen­tara Abu Bakar dan Umar mengulurkan jenazah kepada­nya. Rasulullah bersabda: “Ulurkanlah lebih dekat padaku saudara tuan-tuan itu . . . .! Lalu mereka mengulurkan kepadanya. Dan tatkala diletakkannya di lubang lahat, beliau berdu’a: “Ya Allah, aku telah ridla kepadanya, maka ridlai pula ia oleh-Mu . . .! Alangkah baiknya, sekiranya akulah, yang jadi pemilik liang kubur itu ….Nah, itulah dia satu-satunya cita-cita yang diharapkan dan diangan-angankan selagi hidupnya ….

Dan sebagai anda ketahui, ia tak pernah mencari kesempatan untuk mendapatkan sesuatu yang dikejar-kejar dan diperebutkan orang, berupa kemuliaan, kekayaan, pengaruh atau jabatan . . . .Hal ini semata-mata karena cita-citanya adalah cita-cita seorang tokoh yang berhati mulia, berjiwa besar dan berkeyakin­an teguh . . . . seorang tokoh yang mendapat petunjuk dari Allah memperoleh tuntutan dari al-Quran , dan menerima didikan dari Rasulullah saw


(12)  
`ABD ALLAH IBN MAS'UUD  
The First Reiter of Qur'aan 

        Before the Prophet (PBUH) entered Daar Al-Arqam, lbn Mas'uud had declared his belief in him. 

He was the sixth one to embrace Islam and follow the Prophet (PBUH). Thus he was one of the early Muslims.  

        He narrated his first meeting with the Prophet (PBUH): I was a young shepherd boy responsible for the sheep of `Uqbah lbn Abu Mu'ait. The Prophet (PBUH) once came with Abu Bakr and said, "O boy, do you have milk for us to drink?" and I said, "I can't let you drink their milk." The Prophet (PBUH) said, "Do you have a virgin sheep that has never mated with a male?" I said, "Yes" and brought it to them. The Prophet (PBUH) caught it and stroked its udder and prayed to Allah till the udder filled. Abu Bakr brought him a concave rock into which he milked the sheep. Abu Bakr drank the milk, and then after that the Prophet said to the udder, "Shrink," and it did. I went to the Prophet after this incident and said to him, "Teach me this kind of talk." The Prophet (PBUH) said, "You are already a learned boy."  

        `Abd Allah lbn Mas'uud was fascinated to see the pious Servant and Messenger of Allah supplicate Allah and stroke a virgin udder till it gave milk, pure and agreeable to those who drank it. lbn Mas'uud did not realize that what he had seen was but the least wonderful miracle and that soon he would see at the hands of that honorable Prophet other miracles that would shake the world and fill it with light and faith. He did not realize either that he himself, the poor, weak, hired shepherd boy working for `Uqbah lbn Abu Mu'ait would be one of those miracles when he became, through his Islam, a strong believer capable of defeating the pride of the Quraish and overcoming the oppression of its martyrs.  

        Before his Islam he never dared to pass by a session attended by any Quraish nobleman except with hastened steps and a bowed head, but after Islam he was capable of going to the Ka'bah, where the elite Quraish congregated and standing among them reading the Qur'aan in a loud, beautiful, impressive voice: "In the Name of Allah, the Most Beneficent, the Most Merciful, The Most Beneficent! Has taught the Qur'aan. He created man. He taught him eloquent speech. The sun and the moon run on their fixed courses (exactly) calculated with measured out stages for each. And the herbs (or stars) and the trees both prostrate " (55:1-6).  

        He went on reciting while the Quraish were thunderstruck, not believing their own eyes or ears. They could not imagine that the one challenging their pride was just one of their hired shepherd boys who was the poor unknown `Abd Allah Ibn Mas'uud. Let us hear an eye witness, Az-Zubair (May Allah be pleased with him), describe the exciting scene: `Abd Allah Ibn Mas'uud was the first one to recite Qur'aan publicly in Makkah after the Prophet (PBUH). It happened one day that the Prophet's Companions were gathered with the Prophet (PBUH). They said, "By Allah, the Quraish have never heard the Qur'aan being recited to them before. Isn't there any man to recite it so that they may hear it?" Thereupon Abd Allah Ibn Mas`uud said, "I." They said, "We are afraid they may harm you. We want a man with a strong family to protect him from those people if they want to harm him." He said, "Let me go, Allah will protect me." Ibn Mas`uud went to the Maqaam at the Ka`bah and recited " In the Name of Allah, the Most Beneficent, the Most Merciful, The Most Beneficent! Has taught the Qur'aan... " and he went on reciting. The Quraish gazed at him and said, "What does Ibn Umm `Abd say? He is reciting some of what Muhammad came with." They went to him and began to beat him in the face while he was reciting till he finished whatever Allah wished him to recite from the surah. He returned to his friends with a wounded face and body, and they told him, "This is what we were afraid would happen to you." He answered them, `Those enemies of Allah have never been more worthless to me than this moment, and if you wish I will go back to them and do the same tomorrow." They said, "No, it is enough for you.You have made them hear what they hated."  

 Indeed, when lbn Mas'uud was fascinated by the sheep's udder which was filled with milk before its time, he did not realize that he and his humble friends would be one of the greater miracles of the Prophet (PBUH) on the day they carried the banner of Allah, with which they outshone the sun. He did not realize that such a day was very near. Soon that day came, and the poor, hired boy became a miracle! 

        He was hardly seen in the crowd of life and not even seen away from that crowd because he was too humble when compared with those who possessed wealth, power, and social status. Financially, he was poor. Physically, he was feeble, and socially, he was a nobody. But Islam compensated him for his poverty with a large share of the treasures of Khosrau and Caesar. Islam also compensated him for his physical weakness with a strong will that conquered the oppressors and helped to change the whole historical course of events. Again, Islam compensated his humble social status through immortality, knowledge, and honor that gave him an eminent place among the most prominent of historical figures.  

        The Prophet's prophecy about him which said, "You are a learned boy" was true. Indeed, Allah endowed him with knowledge till he became the most learned of this Ummah and the best one to know Qur'aan by heart. Ibn Mas'uud described himself saying, "I in fact took from the mouth of Allah's Messenger more than seventy surahs of the Qur'aan. I have a better understanding of the Book of Allah than any one of you."  

        It could be that Allah wanted to reward him for risking his life when he used to recite Qur'aan everywhere during the years of torture. So, He the Almighty endowed him with a wonderful talent for reciting and understanding Qur'aan to the extent that made the Prophet (PBUH) direct his Companions to follow his example. The Prophet (PBUH) said, "Stick to the method of Ibn Umm `Abd." He recommended that they imitate his way of reciting and learn it from him. The Prophet (PBUH) said, "Whoever wants to hear Qur'aan as fresh as it was revealed, let him hear it from lbn Umm `Abd," and said, "Whoever wants to read Qur'aan as fresh as it was revealed, let him read it in the way Ibn Umm Abd does."  

      It was a pleasure for the Prophet (PBUH) to hear Qur'aan being recited from the mouth of lbn Mas'uud. The Prophet (PBUH) once called on him and said, "Recite to me, Abd Allah," and `Abd Allah said, "How can I recite to you when it was revealed to you?" The Prophet (PBUH) said, "I like to hear it from others." Thereupon lbn Mas'uud started reading part of Surat An-Nisaa' till he reached the verse: "How (will it be) then, when We bring from each nation a witness and We bring you as a witness against those people. On that day those who disbelieved and disobeyed the Messenger will wish that they were buried in the earth, but they will never be able to hide a single fact from Allah " (4: 41-42). Upon hearing this, the Prophet's eyes flooded with tears and he waved to lbn Mas'uud saying, "Enough, enough, lbn Mas'uud."  

        Ibn Mas'uud himself talked proudly about Allah's bounty upon him. "By Allah, there is no surah in the Book of Allah about which I do not know where and in what context it was revealed. I have a better understanding of the Book of Allah than you do, and if I were to know that someone had a better understanding than I and I could reach him on the back of a mule, I would definitely go to him on a camel's back, but I am not better than you are."  

        The Prophet's Companions witnessed this for him. The Commander of the Faithful `Umar lbn Al- Kattaab said about him," He was filled with knowledge." Also Abu Muusaa Al- Ash'ariy said about him, "Don't ask me about any matter as long as you have this scholar among you." He was not only praised for his knowledge of Qur'aan and jurisprudence, but also for his piety and God consciousness. Hudhaifah said about him, "I have never seen anyone more like the Prophet (PBUH) in his way of life and characteristics than Ibn Mas'uud." He also said, "The lucky Companions of the Prophet (PBUH) realized that Ibn Umm `Abd is the nearest one of them to Allah."  

        One day a number of Companions were gathered at the house of `Aliy lbn Abi Taalib and said to him, "O Commander of the Faithful, we have never seen a man who is more virtuous, more learned, more companionable, friendly, and God-fearing than `Abd Allah Ibn Mas'uud." `Aliy said, "I beg you by Allah, is this true from your hearts?" They said, "Yes." `Aliy said, "O Allah, I testify in front of You that 

I say about him like what they said and more. He read the Qur'aan and did what is lawful in it and avoided what is forbidden. He was knowledgeable in religion and scholarly in Sunnah."  

        The Prophet's Companions said about him, "He was admitted to the company of the Prophet (PBUH), whereas we were detained, and he was present in his company, whereas we were absent." This means he used to have more privileges than the others. He used to enter the Prophet's house and sit with him more than anybody else. He was the one the Prophet (PBUH) entrusted with his secrets to the extent that he was entitled "The Secretary."  

        Abu Muusaa Al-Ash'ariy (May Allah be pleased with him) said in this context, "I came to Allah's Messenger (PBUH) and thought that lbn Mas'uud was among the members of his family." This means that the Prophet (PBUH) loved him dearly for his piety and intelligence. He said about him, "If I were to appoint a commander without consulting the Muslims, I would have appointed lbn Umm `Abd," and as mentioned before, the Prophet (PBUH) asked his Companions to "Stick to the method of lbn Umm Abd."  

        He was so near to the Prophet (PBUH) and so trusted by him that he was given more privileges than anyone else was given. The Prophet (PBUH) told him, "My permission to you is that you may raise the curtains." This indicates his being allowed to knock at the Prophet's door at any time during the day or night. This is why the Companions said, "He was admitted to the company of the Prophet (PBUH), whereas we were detained, and he was present in his company, whereas we were absent."  

      He was really up to this standard. Although such a close relationship could have created some sort of intimacy, Ibn Mas'uud's attitude towards the Prophet (PBUH) was always one of respect and politeness. 

This was even after the Prophet's death. Although he seldom mentioned the Prophet (PBUH) after his death, in most cases when he did mention him, he began to tremble and shake, and all the signs of worry and perplexity appeared on him. This occurred whenever his lips began to murmur, "I heard the Prophet (PBUH) say lest he should forget or change one single letter of what was said.  

        Let us hear what his brothers in Islam said about such behavior. `Amr Ibn Maimuun reported, "I was frequently visited by lbn Mas'uud for about a year, during which time I did not hear him speak about the Prophet (PBUH). But one day he was talking and he uttered, "The Prophet (PBUH) said..." At this moment he was badly troubled and started to sweat and corrected himself, "The Prophet (PBUH) said something like that."  

       `Alqamah Ibn Qais reported, "lbn Mas'uud used to speak to people every Thursday night. I never heard him saying, "The Prophet (PBUH) said," but he once said it and he was leaning on a stick that started to shake in his hand.  

        Also, Masruuq narrated on the authority of Abd Allah, "One day Ibn Mas'uud was speaking and he said, "I heard the Prophet (PBUH). . ." On this he and his clothes started to shake. Then he corrected himself, `something like this."  

        Thus the veneration of the Prophet (PBUH) in his heart was that great, and this was a sign of his intelligence. Such a man, who accompanied the Prophet (PBUH) more than anybody else, was the best to realize how great the Prophet (PBUH) was. Therefore, he maintained the same manner concerning him during his life and after his death.  

        lbn Mas'uud never missed the company of the Prophet (PBUH) either while traveling or at home. He participated in all the battles, and on the Day of Badr his role was significant, especially with Abu Jahl. The Prophet's (PBUH) caliphs, were also fully aware of his proper value. The Commander of the Faithful `Umar lbn Al-Kataab appointed him as director of the treasury (Bait Al-Maal) in Kufa and he said to the people there, "By Allah, there is no god but He. You know that I have given you a preference over myself when I sent him to you to learn from him."  

The people of Kufa liked him as they never liked anyone before him. It was a real miracle that the whole people of Kufa agreed on liking somebody because they were known to be a people of rebellion and mutiny. They hardly agreed on one kind of food, and they did not tolerate peace and tranquillity. Their love for him was so great that when the Caliph `Uthmaan (May Allah be pleased with him) wanted to discharge him of his office, they surrounded him and said, "Stay with us and don't go. We will protect you against anything that you don't like." But lbn Mas'uud gave them an answer that really reflected his greatness and piety. He said, "He has the right of obedience on me. There will be turbulence coming and I hate to be the first to open the door to it."  

        This wonderful situation discloses to us the nature of the relationship between Ibn Mas'uud and `Uthmaan. They had an argument and a disagreement between them which ended with the caliph cutting Ibn Mas'uud's salary from the Bait Al-Maal. In return, lbn Mas'uud never spoke ill of the caliph. On the contrary, he used to defend him. When he heard about the attempted assassinations on `Uthmaan, he said his famous words, "If they kill him they will not find anyone like him to succeed ." Some of lbn Mas'uud's friends said, "We never heard him uttering a bad word about `Uthmaan." Allah endowed lbn Mas'uud with wisdom along with his piety.  

        He had an insight that enabled him to see facts beyond the surface, and the capability to express such facts in an intelligent style. For example, he summarized the life of `Umar lbn Al-Khattaab in one concise sentence: " `Umar's Islam was an opening, his Hijrah was a victory, and his rule was a mercy.  

       He once expressed the idea of the relativity of time saying, "Your Lord does not have day or night because the light of the earth and the skies is but from the light of His face."  

        In another context he praised the value of work in raising the social standard of man: "I hate a man living in leisure with nothing to do, either for his worldly life or the life to come. The next is a comprehensive phrase: "The best wealth is the wealth of the soul. The best provision is right conduct. The most major of sins is lying, the most evil earning is usury, and the most evil of what can be eaten is eating up the property of orphans. Whoever excuses others, will be excused by Allah, and whoever forgives others will be forgiven by others."  

        That was `Abd Allah lbn Mas'uud, the Prophet's (PBUH) Companion, and that is but one glimpse of the heroic life he lived in the way of Allah, His Prophet and His religion. That was the man who had been as small as a bird. He was so thin and short that he was the same height as a sitting person. He had very thin legs. He once climbed a tree to pick some arak sticks for the Prophet (PBUH), and when the Companions saw how thin his legs were they laughed. The Prophet (PBUH) said, "Are you laughing at Ibn Mas`uud's legs? On Allah's scales of justice they are heavier than the mountain of Uhud." Indeed that was the poor, weak hired boy who became by faith an Imam (leader) guiding people to the light.  

        It was Allah's bounty on him that he was counted among the first ten Companions of the Prophet (PBUH) who were promised to enter Paradise while they were still alive. He participated in all the victorious wars with the Prophet (PBUH) and his caliphs. He witnessed how the two greatest empires opened their gates in submission to the banners of Islam. He saw the high positions and lucrative money pouring into the hands of the Muslims, but his mind was never obsessed by such matters. Instead, he was pre-occupied with how to fulfil the pledge he offered to the Prophet (PBUH), and he was also never tempted to give up the life of humbleness and self- denial that he used to lead. He had only one wish that he dreamed all his life might come true.  

        Let us hear him speaking about it: While I was with the Prophet (PBUH) at the Battle of Tabuuk, I woke up at midnight to see a flame of fire near the place of the army. I followed it and found the Prophet (PBUH), Abu Bakr and `Umar digging a grave to bury `Abd Allah Dhul Bijaadain Al-Muzaniy who died at the time. The Prophet (PBUH) was in the grave and asked Abu Bakr and `Umar, "hand your brother to me," and they did. After he put his body in the grave he said, "O Allah, in this night I am fully satisfied and pleased with him. So be you pleased with him." I wished I was the one being buried in that hole.  

       This was his sole wish in his life. It was not related to what people were racing at in this life, such as wealth, social status or glory. It was the wish of a man who possessed a kind heart, a noble soul, and a strong faith. Such a man was guided by Allah, educated by the Prophet (PBUH), and enlightened by Qur'aan.  


.¤ª"˜¨¯¨¨Abdullah Bin Mas'ud o'Abd Allah Ibn Mas'uud¸,ø¨¨"ª¤.




Categories: