acebook




oo
.¤ª"˜¨¯¨¨Hamzah Bin Abdul Muthalib¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨Hamzah Ibn 'Abd Al-Muttalib¸,ø¨¨"ª¤.
 Singa Allah dan panglima syuhada. 


Kota Mekah masih mendengkur dalam tidur nyenyaknya, yakni setelah Siang yang penuh dengan usaha dan kesibukan dengan ibadat dan aneka permainan. Orang Quraisy tidur lelap dan membalik-balikkan diri mereka di atas ranjang . . . , tetapi di sana ada seorang insan yang resah geliaah dan matanya tak hendak terpejam. Ia cepat masuk kamar tidur dan beriatirahat dalam waktu singkat, lalu bangkit dengan penuh kerinduan karena rupanya ada janji dengan Allah. Ia menuju tempat shalat yang terletak di biliknya, lalu munajat kepada Allah dan berdu’a dengan tekunnya …. Dan setiap istrinya terbangun demi mendengar gemuruh dada­nya yang turun naik dan bunyi du’anya yang hangat serta terus- menerus, menyebabkannya merasa kasihan dan memohon agar ia memperhatikan dirinya dan mengambil waktu iatirahat yang cukup. Maka dengan air mata mengalir yang mendahului kata-­katanya dijawabnya: “Wahai Khadijah . . . ! Masa untuk tidur berlalulah sudah … ! “ Memang perihalnya belum lagi memusingkan orang-orang Quraisy dan mengganggu tidur nyenyak mereka, walaupun sudah mulai menjadi titik perhatian mereka. Ia barn Saja memulai da’wahnya dan menyampaikan ajarannya secara rahasia dan berbisik-bisik. Orang-orang yang beriman kepadanya waktu itu masih amat sedikit ….


Tetapi di antara orang-orang yang belum beriman itu ada pula yang menaruh kasih sayang dan penghormatan kepadanya serta memendam niat dan keinginan hati untuk beriman dan menyertai kafilahnya yang penuh barkah. Mereka terhalang untuk menyatakan maksud itu hanyalah karena keadaan suasana dan lingkungan, tekanan kebiasaan dan adat-istiadat, serta kebimbangan hati untuk mengabulkan panggilan atau menolak seruan. Maka dalam golongan ini terdapatlah Hamzah bin Abdul Mutthalib, yaitu paman Nabi saw. dan saudara sesusunya ….


Hamzah telah kenal akan kebesaran dan kesempurnaan ke­ponakannya, tahu sebaik-baiknya akan kepribadian dan watak serta akhlaqnya. la tidak hanya mengenalnya sebagai seorang paman terhadap keponakannya semata, tetapi juga sebagai saudara terhadap saudaranya, dan shahabat terhadap teman sejawatnya. Sebabnya ialah karena Rasulullah dan Hamzah dari satu generasi, dan usia yang berdekatan. Mereka dibesarkan bersama, bermain bersama dan menjadi shahabat karib, serta menempuh jalan kehidupan dari bermula selangkah demi se­langkah secara bersama-lama pula …. Hanya memang, di waktu muda masing-masing mereka telah menempuh jalan sendiri-sendiri. Hamzah mulai bersaing dengan teman-temannya untuk mendapatkan kelayakan hidup dan merintis jalan bagi dirinya untuk beroleh kedudukan di kalangan pembesar-pembesar kota Mekah dan pemimpin-pemimpin Quraisy. Sementara Muhammad saw. tetap bertahan di ling­kungan cahaya ruhani yang mulai menerangi jalan baginya me­nuju Ilahi, serta mengikuti bisikan hati yang mengajaknya men­jauhi kebisingan hidup untuk mencapai renungan yang dalam, serta mempersiapkan diri dalam menyambut dan menerima kebe­naran ….


Kita tegaskan, bahwa walaupun kedua anak muda itu telah mengambil arah yang berlainan, tetapi tidak satu detik pun hilang dari ingatan Hamzah. Keutamaan shahabat dan ke­ponakannya, yakni keutamaan dan kemuliaan yang mengantar­kan pemiliknya kepada kedudukan tinggi di mata manusia umumnya, dan melukiskan secara gamblang masa depannya yang gemilang telah banyak diketahui Hamzah . . . .


Pagi hari itu, seperti biasa Hamzah keluar rumahnya. Di sisi Ka’bah didapatinya se rombongan pembesar dan bangsawan Quraisy, lalu ia pun duduk bersama mereka, mendengarkan apa yang mereka percakapkan. Rupanya mereka sedang membicarakan Muhammad saw. Dan untuk pertama kali Hamzah melihat mereka diliputi rasa gelisah diaebabkan oleh da’wah yang dilakukan oleh keponakannya. Dari ucapan mereka tersembur amarah murka, kebencian dan kedengkian. Sebelum itu mereka tidak peduli, atau pura-pura tidak peduli dan ambil puling. Tetapi sekarang wajah-wajah mereka mengerikan, menyeringai karena berang dan kecewa serta hendak menerkam. 

Lama Hamzah tertawa mendengar obrolan mereka. Dituduhnya mereka keterlaluan dan salah tafsir …. Di saat itu Abu Jahal segera menegaskan kepada hadlirin bahwa sebenarnya Hamzah paling tahu akan bahaya ajaran yang diserukan oleh Muhammad saw., hanya ia menganggapnya enteng hingga Quraisy jadi lengah dan lalai. Kemudian nanti datang suatu saat di mana keadaan telah terlambat dan terbuka­lah baginya bahaya yang dibawa oleh keponakannya itu ….


Demikianlah mereka melanjutkan pembicaraan dalam suasana hiruk pikuk yang tidak luput dari ancaman, sementara Hamzah kadang-kadang turut tertawa dan kadang-kadang menampakkan Wajah murka. Dan ketika pertemuan itu usai dan masing-masing meneruskan acaranya, kepala Hamzah pun dipenuhi fikiran dan perasaan baru, menyebabkan perhatiannya tertuju kepada urusan keponakannya dan mempertimbangkan kembali buruk baik­nya….


Hari-hari pun berlalu silih berganti, dan makin lama desas­-desus yang disebarkan Quraisy sekitar da’wah Rasul makin memuncak ….kemudian desas-desus itu berubah menjadi hasutan dan kom­Plotan, sementara Hamzah memperhatikan suasana dari jauh …. Ketabahan hati keponakannya itu amat mengherankannya, sementara usahanya yang mati-matian membela keimanan dan kelancaran da’wahnya, merupakan suatu hal yang baru bagi kaum Quraisy umumnya, walaupun sebenarnya mereka terkenal gigih keras kepala.


Dan andainya ketika itu keragu-raguan dapat menggoyahkan kepercayaan seseorang tentang kebenaran Rasulullah dan ke­besaran jiwanya, tetapi ia takkan menemukan jalan untuk mempengaruhi dan memperdayakan Hamzah. Hamzah adalah orang yang paling kenal siapa Muhammad saw, semenjak masa kanak-kanak hingga waktu mudanya yang tidak bernoda, dan sampai usia dewasanya yang terpercaya. Ia kenal Muhammad saw. sebagaimana ia kenal akan dirinya, bahkan lebih dari itu lagi. Semenjak mereka lahir ke alam wujud, menjadi remaja dan sama-sama berangkat dewasa, di mana lembaran kehidupan Muhammad saw. terbuka di hadapan mata­nya suci bersih laksana sinar matahari, tidak satu cacat pun di­lihatnya pada lembaran itu … ! Tidak sekali pun dilihatnya ia marah atau naik darah, kecewa atau putus asa , apalagi menampakkan ketamakan dan keserakah­an, berolok-olok atau berbuat hal yang sia-sia. Dan Hamzah bukan saja seorang yang menikmati kekuatan jasmaniah belaka, tetapi ia dikaruniai pula kekuatan kemauan dan ketajaman akal fikiran. Dari itu tidak wajar bila ia ketinggal­an dan tak ingin mengikuti orang yang diketahuinya betul-betul jujur dan dapat dipercaya. Hanya hal itu dipendamnya dalam hati, menunggu saat yang tepat untuk membukakannya, yang waktunya telah dekat dan tidak akan menunggu lama …. Dan hari yang ditunggu-tunggu itu pun datanglah …. Ham­zah keluar dari rumahnya menjinjing busur dan menujukan langkahnya ke arah padang belantara untuk melatih kegemaran dan melakukan olah raga yang amat disukainya yaitu berburu. Ia amat mahir dalam hal ini.


Ada kira-kira setengah hari ia menghabiakan waktunya di sana, dan ketika kembali dari perburuannya ia langsung pergi ke Ka’bah untuk thawaf seperti biasa sebelum pulang ke rumahnya. Setibanya dekat Ka’bah ia ditemui oleh seorang pelayan wanita Abdullah bin Jud’an. 

Dan demi dilihatnya Hamzah telah dekat, berkatalah pelayan itu kepadanya: “Wahai Abu Umarah, seandainya anda melihat apa yang dialami oleh keponakan anda Muhammad saw. baru-baru ini . . . . ! Abul Hakam bin Hiayam, ketika mendapatkan Muhammad saw. sedang duduk di sana, disakiti dan dimakinya, hingga mengalami hal-­hal yang tidak diinginkan … !” Lalu dilanjutkannya cerita mengenai perlakuan Abu Jahal kepada Rasulullah …. Hamzah mendengarkan perkataannya dengan baik, kemudian ia menundukkan kepalanya sejenak, lalu membawa busur panah­nya dan menyandangkan ke bahunya. Setelah itu dengan langkah cepat tetapi tegap ia pergi menuju Ka’bah dan berharap akan bertemu dengan Abu Jahal di sana …. Dan jika tidak ditemui­nya, maka pencarian akan dilakukannya di mana pun juga sampai berhasil … 


- Tetapi belum lagi sampai di Ka’bah, kelihatan olehnya Abu Jahal di pekarangannya sedang dikelilingi oleh beberapa orang pembesar Quraisy. Maka dalam ketenangan yang mencekam, Hamzah maju mendapatkan Abu Jahal lalu melepaskan busurnya dan memukulkannya ke kepala Abu Jahal hingga luka dan mengeluarkan darah. Dan sebelum orang-orang itu menyadari apa Yang terjadi, Hamzah pun membentak Abu Jahal, katanya:
“Kenapa kamu cela dan kamu maki Muhammad saw., pada­hal aku telah menganut Agamanya dan mengatakan apa yang dikatakannva ? Nah, cobalah ulangi kembali makianmu itu kepadaku jika kamu berani!” Dalam sekejap waktu orang-orang yang berada di sana lupa akan penghinaan yang baru menimpa pemimpin mereka dan darah yang mengalir dari kepalanya, terpesona oleh kata-kata Yang keluar dari mulut Hamzah yang tak ubah bagai bunyi halilintar di siang bolong . . . , yaitu kata-kata yang diucapkannya untuk menyatakan bahwa ia telah menganut Agama Muhammad saw., mengakui apa yang diakuinya dan mengatakan apa yang dikatakannya …. Apa, apakah Hamzah telah masuk Islam … ? Dan …. seorang anak muda Quraisy yang paling gigih membela haknya serta yang paling mulia … ! 

Sungguh suatu bencana besar yang tak dapat diatasi oleh bangsa Quraisy Keislaman Hamzah akan menarik perhatian tokoh­-tokoh pilihan untuk sama-sama memasuki Agama itu, hingga Muhammad saw. akan beroleh tenaga dan kekuatan yang akan membela da’wah dan memperkokoh barisannya, dan di suatu saat nanti orang-orang Quraisy akan bangun dan sadarkan diri, karena mendengar bunyi linggis dan tembilang yang menghancur­leburkan berhala-berhala dan tuhan-tuhan mereka … !


Memang tidak salah . . .! Hamzah telah masuk Ialam, dan di hadapan umum telah dikeluarkan simpanan hatinya selama ini, dan ditinggalkannya orang banyak itu merenungi kekecewa­an dan kegagalan harapan mereka, dan dibiarkannya Abu Jahal menjilat darah yang mengucur dari kepalanya yang luka. Hamzah kembali memungut busur dengan tangan kanannya, dan meng­gantungkannya di bahu, lalu dengan langkah yang tegap dan hati Yang pekat pergi pulang ke rumahnya ….


Hamzah adalah seorang yang berfikiran cerdas dan ber­pendirian keras …. Ketika ia telah pulang ke rumahnya dan hilang rasa lelahnya duduklah ia, dan membawa dirinya berfikir serta merenungkan periatiwa yang baru Saja dialaminya …. Bagaimana cara ia menyatakan keislamannya … dan kapan …. ? Ia telah menyatakannya dalam saat emosi dan tersinggung, saat amarah dan naik darah …. Ia tak sudi bila keponakannya diperlakukan secara sewenang-wenang dan dianiaya tanpa adanya pembela! Oleh sebab itulah ia jadi murka dan tampil membela Muhammad saw. serta kehormatan Bani Hasyim, maka dipukul­nya kepala Abu Jahal sampai luka, dan diteriakkan ke mukanya bahwa ia telah beragama Ialam . . . . Tetapi, apakah merupakan cara terbaik bagi seseorang untuk meninggalkan agama nenek moyang dan kaumnya, agama yang telah mereka anut semenjak beribu tahun dan berabad-abad … ? Lalu ia langsung menerima Agama baru yang belum lagi diselidiki ajarannya dan belum dikenal hakikatnya kecuali sekelumit kecil Benar, ia tidak sedikit pun ragu tentang kebenaran Muham­mad saw. dan ketulusan maksudnya. Tetapi mungkinkah se­seorang menerima satu Agama baru berikut segala kewajiban dan tanggung jawabnya di saat marah dan naik darah sebagai yang dilakukan oleh Hamzah sekarang ini? Memang dalam dadanya terpendam niat untuk menghormati da’wah baru yang panji-panjinya dipikul oleh keponakannya. Hanya seandainya ia telah ditaqdirkan akan menjadi salah se­orang pengikut dari da’wah ini, yang beriman dan menyediakan diri untuk menjadi pembantu dan pembelanya, maka apabilakah sebenarnya waktu yang tepat untuk memasukinya … ? Apakah di saat berang dan tersinggung ataukah setelah berfikir dan merenung … ?


Demikianlah kelugasan pendirian dan kemurnian berfikir mengharuskannya untuk membawa semua masalah ini kembali ke batu ujian dan neraca pertimbangan. Mulailah ia berfikir dan hari-hari berlalu . . . , Siang hatinya tak pernah tenteram dan malam matanya tak pernah terpejam …. Dan anehnya ketika kita berusaha mencari kebenaran dengan perantaraan akal, maka kebimbangan pun tampil ke depan sebagai penghalang …. 

Demikianlah, demi Hamzah mengguna­kan akalnya untuk membahas masalah Agama Ialam dan mem­banding-bandingkan yang lama dengan yang baru, timbullah keraguan dalam dirinya yang dibangkitkan oleh kerinduan yang telah mendarah daging terhadap agama nenek moyangnya, dan kecemasan yang telah jadi pusaka turun-temurun terhadap segala hal yang baru ….


Bangkitlah semua kenangannya mengenai Ka’bah berikut tuhan-tuhan dan berhala-berhalanya, begitupun tentang pengaruh keagamaan yang telah ditanamkan oleh patung-patung pahatan itu terhadap semua penduduk Mekah dan bangsa Quraisy umumnya . . . , hingga memisahkan diri dari sejarah tersebut dan meninggalkan agama lama yang telah berurat-akar ini, tak ubah bagai hendak melompati jurang yang lebar …. Timbullah keheranannya mengapa orang demikian mudah dan tergesa-gesa mau meninggalkan agama nenek moyang­nya . . . . Maka rnenyesallah ia atas apa yang telah dilakukannya, hanya perjalanan akal tetap diteruskan dan tidak dihenti­kannya …. Dan tatkala dirasakan bahwa akal fikiran semata tidak berdaya, maka dengan ikhlas dan tulus hati, ia pun pergi berlindung kepada yang ghaib. Di sisi Ka’bah, sambil wajahnya menengadah ke langit, dan dengan minta pertolongan kepada segala kudrat dan nur yang terdapat di alam wujud ini, ia memohon dan berdo’a agar beroleh petunjuk kepada yang haq dan jalan yang lurus.


Dan marilah kita dengar ceritanya ketika mengisahkan berita selanjutnya, katanya: , .. . . Kemudian timbullah sesal dalam hatiku karena meninggalkan agama nenek moyang dan kaumku . . .  dan aku pun diliputi kebingungan hingga mata tak hendak tidur… . Lalu pergilah aku ke Ka’bah, dan memohon kepada Allah agar membukakan hatiku untuk menerima kebenaran dan melenyapkan segala keraguan. Maka Allah pun mengabulkan permohonanku itu dan memenuhi hatiku dengan keyakinan . . . . Aku pun segera menemui Rasulullah saw., dan me­maparkan keadaanku padanya, maka dido’akannya kepada Allah agar ditetapkan-Nya hatiku dalam Agamanya . . . .


Demikianlah Hamzah menganut Ialam secara yakin ….


Allah menguatkan Agama Ialam dengan Hamzah, dan sebagai batu karang yang kukuh menjulang ia membela Rasulullah dan shahabat-shahabatnya yang lemah . . . . Abu Jahal melihat Hamzah berdiri dalam barisan Kaum Muslimin, maka menurut keyakinannya perang sudah tak dapat dielakkan lagi. Oleh sebab itu dihasutnyalah orang-orang Quraisy untuk melakukan kekerasan terhadap Rasulullah dan para shahabat, dan ia terns  mempersiapkan diri untuk melancarkan perang saudara yang akan dapat memuaskan haus dahaga, melipur rasa dendam dan sakit hatinya.


Memang, tentu saja Hamzah tak dapat membendung segala siksaan mereka, tetapi keialamannya seolah-olah menjadi benteng dan periaai, di samping menjadi days penarik bagi kebanyakan kabilah Arab, — apalagi setelah diikuti pula dengan masuk Ialamnya Umar bin Khatthab — untuk mengikuti langkahnya, hingga mereka pun memasukinya dengan berduyun-duyun ….


Dan semenjak masuk Ialam, Hamzah telah bernadzar akan membaktikan segala keperwiraan, kesehatan bahkan hidup matinya untuk Allah dan Agama-Nya, hingga Nabi saw. berkenan memasangkan pada dirinya julukan iatimewa ini: “Singa Allah dan singa Rasul-Nya “.


Sariyah, atau angkatan bersenjata tanpa disertai Nabi, yang mula pertama dikirim untuk menghadapi musuh, dipimpin oleh Hamzah…. Dan panji-panji pertama yang dipercayakan oleh Rasulullah saw. kepada salah seorang Muslimin, diserahkan kepada Hamzah …. Kemudian ketika kedua angkatan bersenjata berhadapan-muka di perang Badar, keberanian luar biasa telah ditunjukkan oleh Singa Allah dan Singa Rasul-Nya yang tiada lain dari Hamzah …. !


Sisa-sisa tentara Quraisy kembali dari Badar ke Mekah dan berjalan terhuyung-huyung membawa kegagalan dan kekalahan – - – - Abu Sufyan tak ubah bagai pohon kayu besar yang tumbang dan tercabut dengan urat akarnya. la berjalan dengan kepala tunduk meninggalkan di tengah-tengah medan, tubuh pemuka-pernuka Quraisy yang telah tiada bernyawa, seperti Abu Jahal, ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Umayah bin Khalaf, ‘tJqbah bin Abi Mu’aith, Aswad bin Abdul Aswad al Makhzumi, walid bin ‘Utbah, Nadlar bin Harits, ‘Ash bin Sa’id, Tha’mah bin ‘Adi serta beberapa puluh pemimpin dan tokoh Quraisy lainnya seperti mereka.


Sungguh, Quraisy takkan mau menelan kekalahan pahit ini begitu saja . . . . Mereka mulai mempersiapkan diri, meng­himpun segala dana dan daya untuk menuntut bela dan menebus kekalahan mereka. Pendeknya Quraisy telah bertekad bulat untuk berperang …. ! Dan datanglah saatnya perang Uhud di mana orang-orang Quraisy tumpah keluar, disertai oleh sekutu mereka dari ber­bagai kabilah Arab lainnya. Mereka dipimpin oleh Abu Sufyan. Sedang yang dituju oleh pemuka-pemuka Quraisy dengan pepe­rangan ini sebagai sasaran, hanyalah dua orang saja, yaitu Rasul­ullah saw. dan Hamzah r.a. Memang, dari buah pembicaraan dan rencana yang mereka atur sebelum perang, dapatlah diketahui bahwa Hamzah berada pada urutan kedua sesudah Rasulullah sebagai sasaran dan bulan-bulanan dari peperangan ini.


sebelum berangkat, mereka telah memilih seseorang yang diberi tugas untuk menyelesaikan rencana mereka terhadap Hamzah. Orang itu adalah seorang budak Habsyi yang memiliki kemahiran iatimewa dalam melemparkan tombak . Dalam peperangan nanti mereka memerintahkan budak itu untuk memusatkan perhatian hanya kepada satu tugas saja, yaitu menjadikan Hamzah sebagai barang buruan dan melepaskan lemparan tombak dengan lemparan yang mematikan kepadanya. Dan mereka memperingatkannya agar tidak melalaikan tugas tersebut bagaimanapun juga jalan peperangan dan akhir ke­sudahannya. sebagai imbalan mereka berjanji akan membalas jasanya dengan harga besar dan tinggi, yakni kebebasan dirinya — Budak yang bernama Wahsyi itu adalah milik Jubair bin Muth’am — waktu perang Badar, paman Jubair ini tewas di tengah medan dan ia ingin menuntut bela, maka katanya kepada Wahsyi: “Berangkatlah bersama orang-orang itu! Dan jika kamu berhasil membunuh Hamzah, maka kamu bebas … ! “ Kemudian mereka bawa ia kepada Hindun binti ‘Utbah yakni istri Abu Sufyan, agar dihasut dan didesaknya untuk melaksanakan rencana yang mereka inginkan. Dalam perang Badar, Hindun ini telah kehilangan bapak, paman, saudara dan puteranya . . . . disampaikan orang kepadanya bahwa Hamzahlah yang telah membunuh sebagian keluarganya itu, dan yang menyebabkan terbunuhnya yang lain. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan bahwa wanita inilah di antara orang-orang Quraisy, baik wanita maupun laki-lakinya yang paling keras menghasut untuk berperang. Tujuannya tidak lain hanyalah untuk mendapatkan kepala Hamzah, betapa juga mahal harga yang harus dibayarnya …. !


Berhari-hari lamanya sebelum peperangan dimulai, tak ada pekerjaan Hindun kecuali menggembleng dan menghasut Wahsyi serta menumpahkan segala dendam dan kebenciannya kepada Hamzah dan merencanakan peranan yang akan dimainkan oleh budak itu …. la telah menjanjikan kepada budak itu, andainya ia berhasil membunuh Hamzah, akan diberinya kekayaan dan perhiasan paling berharga yang dimiliki oleh wanita — sementara itu jari-jarinya yang penuh kebencian memegang anting-anting, permata yang mahal serta kalung emas yang terlilit pada lehernya —, lalu dengan kedua matanya yang bercahaya katanya kepada Wahsyi: “Jika kamu dapat membunuh Hamzah, maka semua ini menjadi milikmu …. !” Air liur Wahsyi pun mengalirlah mendengar itu . . . dan angan-angannya terbang melayang dipenuhi rasa rindu dan ingin cepat bertemu dengan peperangan yang akan menyebabkan tombaknya mendapatkan mangsanya, hingga ia tidak lagi menjadi budak belian, begitu pula ia ingin segera memiliki barang-barang perhiasan yang selama ini menghias leher istri pemimpin dan putri tokoh suku Quraisy …. ! . Demikianlah persekongkolan jahat, di mana segala unsur­-unsur perang sama-sama menginginkan Hamzah r.a. terbunuh sistim terbuka tanpa ditawar-tawar.
Dan pertempuran itu pun tibalah ….


Kedua pasukan telah berhadapan muka, sementara Hamzah berada di tengah-tengah medan yang menjadi sarang maut dan penderitaan. Ia memakai pakaian perang, sedang di dadanya terdapat bulu burung unta yang biasa diambilnya sebagai peng­hias dadanya dalam peperangan …. Hamzah mulai menyerbu dan menyerang kiri kanan, dan setiap kepala yang diarahnya pastilah putus oleh pedangnya. Pukulannya terhadap orang-orang musyrik tiada henti-hentinya, dan seolah-olah maut menyerahkan diri ke dalam tangannya, dilontarkannya kepada siapa yang dikehendakinya, lalu ter­tancap di hulu hatinya …. !


Seluruh Kaum Muslimin maju dan menyerbu ke muka, hingga kemenangan menentukan telah hampir berada di tangan, dan sisa-sisa Quraisy terpukul mundur dan lari porak-poranda. Dan seandainya pasukan panah tidak meninggalkan kedudukan mereka di puncak bukit, dan turun ke bawah untuk memungut barang-barang rampasan dari musuh yang kalah . . . , sekiranya mereka tidak melanggar perintah dan tidak membiarkan garis pertahanan panjang menjadi terbuka bagi masuknya pasukan berkuda Quraisy, pastilah perang Uhud akan menamatkan riwayat mereka dan jadi kuburan bagi kaum penyerang baik lelaki maupun wanita, bahkan bagi kuda dan unta mereka …. !


Maka di saat mereka lengah dan tidak waspada itulah pasukan berkuda Quraisy menyerang Kaum Muslimin dari belakang hingga mereka jadi sasaran dan bulan-bulanan pedang yang menari-nari berkelebatan ….
Terpaksalah Kaum Muslimin mengatur barisan kembali dan memungut senjata yang telah ditinggalkan oleh sebagian mereka yang lari karena serbuan Quraisy yang mendadak itu Tetapi sergapan yang tiba-tiba dan tidak disangka-sangka itu akibatnya memang amat kejam dan pahit sekali …. ! Hamzah melihat apa yang terjadi, maka baik semangat, tenaga maupun perjuangannya dijadikannya berlipat ganda . . . . Ia menerjang ke kiri dan ke kanan, ke muka dan ke belakang, sementara Wahsyi sedang mengintainya di sana . . . , dan me­nunggu terbukanya kesempatan untuk melemparkan tombak ke tubuhnya ….


Marilah sekarang kita dengarkan cerita Wahsyi menyampai­kan laporan pandangan mata tentang periatiwa tersebut, katanya “Saya seorang Habsyi, dan mahir melemparkan tombak dengan teknik Habsyi, hingga jarang sekali lemparanku meleset . . . . Tatkala orang-orang telah mulai berperang, saya pun keluar dan mencari-cari Hamzah, hingga akhirnya tampak di antara manusia tak ubahnya bagai unta kelabu yang mengancam orang-orang dengan pedangnya hingga tak seorang pun yang dapat bertahan di depannya …. Maka demi Allah, ketika saya bersiap-siap untuk membunuhnya, saya bersembunyi di balik pohon agar dapat menerkamnya atau menunggunya supaya dekat, tiba-tiba saya didahului oleh Siba’ bin Abdul ‘Uzza yang tampil he depannya …. Tatkala ia tampak oleh Hamzah, maka serunya: “Marilah ke sini hai anak tukang sunat wanita!” Lalu ditebasnya hingga tepat mengenai kepalanya …. Ketika itu saya pun menggerakkan tombak mengambil ancang-ancang, hingga setelah terasa tepat, saya lontarkan­lah hingga mengenai pinggang bagian bawah dan tembus he bagian muka di antara dua pahanya . . . . Dicobanya bangkit ke arahku, tetapi ia tak berdaya lalu rubuh dan meninggal …. Saya datang mendekatinya dan mencabut tombakku, lalu kembali he perkemahan dan duduk-duduk di sana, karena tak ada lagi tugas dan keperluanku. Saya telah membunuh­nya semata-mata demi kebebasan dari perbudahan yang memilikiku


Dan tak -ada salahnya bila kita mendengarkan kisah Wahsyi selanjutnya: “Sesampainya di Mekah saya pun dibebaskan. Saya tetap bermukim di sana sampai kota itu dimasuki oleh Rasulullah di hari pembebasan, maka saya lari he Thaif. Dan tak kala perutusan Thaif menghadap Rasulullah untuk menyatakan keislaman, timbul berbagai rencana dalam fikiranku. Kataku dalam hati biarlah saya pergi he Syria, atau he Yaman, atau ke tempat lain. Demi Allah, ketika saya berada dalam ke bingungan itu datanglah seseorang mengatakan kepadaku: “Hai tolol! Rasulullah tak hendak membunuh seseorang yang masuk Islam … ! “
Maka pergilah saya mendapatkan Rasulullah saw. di Ma­dinah. Saya baru tampak olehnya ketika tiba-tiba telah berdiri di depannya mengucapkan dua kalimat syahadat. Tatkala saya dilihatnya, beliau bertanya:
“Apakah kamu ini Wahsyi … ?
“Benar ya Rasulullah’; ujarku.
Lalu sabdanya: “Ceritakanlah kepadaku bagaimana kamu membunuh Hamzah!”
Maka saya Ceritakanlah. Dan setelah cerita saya itu selesai, sabdanya pula: “Sangat menyesal . . .! Sebaiknya engkau menghindarkan perjumpaan denganku . .


Maka selalulah saya menghindarkan diri dari hadapan dan jalan yang akan ditempuh oleh Rasulullah agar tidak ke­lihatan oleh beliau sampai saat beliau diwafatkan Allah …. Tatkala Kaum Muslimin pergi memadamkan pemberontakan (Nabi palsu) Musailamatul Kadzdzah penguasa Yamamah, saya pun ikut bersama mereka dan membawa tombak yang saya gunakan untuk membunuh Hamzah dahulu. Ketika orang-orang mulai bertempur saya lihat Musailamatul Kadzdzah sedang berdiri dengan pedang di tangan. Maka saya pun bersiap-siaplah dan menggerakkan tombak mem­buat ancang-ancang, hingga setelah terasa tepat, saya lempar­lah dan menemui sasarannya. Maka sekiranya saya dengan tombak itu telah membunuh sebaik-baik manusia yaitu Hamzah, saya berharap kiranya Allah akan mengampuniku karena dengan tombak itu pula saya telah membunuh sejahat-jahat manusia yaitu Musai­lamah …. !


Demikianlah Singa Allah dan Singa Rasul-Nya itu gugur sebagai syahid mulia . . .! Dan sebagaimana hidupnya telah menggemparkan, demikian kewafatannya telah menggemparkan pula…. Musuh-musuh tak puas hanya dengan kewafatannya belaka! Betapa mereka telah mengerahkan orang-orang Quraisy dan mencurahkan harta benda mereka dalam suatu peperangan besar yang tujuannya tiada lain dari mendapatkan Rasulullah dan pamannya Hamzah.


Hindun binti ‘Utbah ya’ni istri Abu Sufyan telah menyuruh Wahsyi agar mengambil hati Hamzah untuk dirinya. Keinginan­nya yang mempunyai imbalan ini dikabulkan oleh orang Habsyi itu. Dan tatkala ia kembali kepada Hindun dan memberikan hati Hamzah dengan tangan kanannya, maka ia menerima kalung dan anting-anting dari wanita itu dengan tangan kirinya sebagai balas jasa dalam memenuhi tugasnya ….
Maka Hindun yang ayahnya telah tewas di tangan Kaum Muslimin di perang Badar itu dan istri Abu Sufyan panglima kaum musyrik penyembah berhala, menggigit dan mengunyah hati Hamzah dengan harapan akan dapat mengobati hatinya yang pedih karena dendam dan amarah murka. Tetapi rupanya hati itu telah liat (slot) hingga tak dapat dikunyah dan tidak mempan oleh taring-taringnya, maka di­keluarkan dari mulutnya, lalu kedengaranlah teriakan keras, yaitu seruan yang diucapkan dan berbunyi sebagai berikut:
“Kekalahan di Badar terbalaslah sudah oleh kami Dan peperangan itu bagai hari-hari silih berganti Daku tak tahan mengenangkan ‘Utbah ayahku itu Begitu pula saudaraku, paman serta putera sulungku  Sekarang hatiku puas, nadzar telah terpenuhi Sakit di dada telah terobati oleh Wahsyi” 

Peperangan pun usailah, kaum musyrikin menaiki unta dan menghalau kuda mereka pulang ke Mekah …. Dan Rasulullah beserta shahabat turun ke bekas medan pertempuran untuk meninjau para syuhada ….
Maka nun di sana yakni di perut lembah, ketika beliau memeriksa wajah para shahabatnya yang telah menjual diri mereka kepada Allah dan menyajikannya sebagai kurban yang ikhlas kepada Allah Yang Maha Besar, beliau berhenti sejenak …. menyaksi­kan dan membisu . . . , menggertakkan gigi dan membasahi Pelupuk mata …. Tidak terlintas dalam angannya sedikit pun bahwa moral orang-orang Arab akan merosot sedemikian rupa hingga jatuh pada kebiadaban keji dan sampai hati merusak mayat sebagai yang disaksikan pada pamannya syahid mulia Hamzah bin Abdul Mutthalib, Singa Allah dan tokoh utama syuhada ….


Rasulullah membuka kedua matanya yang dengan airnya berkilat-kilat laksana kaca . . . ,sambil matanya tertuju kepada tubuh pamannya itu, beliau bersabda: “Tah pernah ahu menderita mushibah seperti yang kuderita dengan peristiwa anda sekarang ini … Dan tidak satu suasana pun yang lebih menyakitkan hatiku seperti suasana sekarang ini …


Lalu sambil menoleh kepada para shahabat, sabdanya: “Sekiranya Shafiah saudara perempuan Hamzah takkan berduka dan tidak akan menjadi  sunnah sepeninggal­ku nanti, akan kubiarkan ia mengisi perut binatang buas dan tembolok burung nasar . . .! Tetapi sekiranya aku diberi kemenangan oleh Allah di salah satu medan per­tempuran dengan orang Quraisy, akan kuperbuat sebagai yang mereka perbuat, terhadap tiga puluh orang laki-laki di antara mereka … ! “


Maka para shahabat pun berseru pula: “Demi Allah, sekiranya pada suatu waktu nanti kita diberi kemengan oleh Allah terhadap mereka, akan kita cincang mayat-mayat mereka seperti yang belum pernah dilakukan oleh seorang Arab pun … ! “ Tetapi Allah yang telah memberi kemuliaan kepada Hamzah sebagai seorang syahid, memuliakannya sekali lagi dengan men­jadikan gugurnya itu sebagai suatu kesempatan untuk memper­oleh pelajaran penting yang akan melindungi keadilan sepanjang masa dan mengharuskan diperhatikannya kasih sayang walau dalam qiahash dan menjatuhkan hukuman. Demikianlah, belum lagi selesai Rasulullah saw. mengucapkan ancamannya itu, ia masih berada di tempat itu dan belum lagi meninggalkannya, turunlah wahyu berupa ayat-ayat mulia Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik, dan berdiakusilah dengan mereka dengan cara yang utama! Sesungguhnya Tuhan kalian lebih me­ngetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan la lebih mengetahui siapa-siapa yang beroleh petunjuk . . . . Jika kalian hendak membalas, balaslah seperti yang telah dilakukan mereka kepada kalian dan jika kalian ber­shabar, maka itu. memang lebih baik bagi orang-orang yang shabar. . . . Dan bershabarlah kamu, dan keshabaranmu itu takkan tercapai kecuali dengan pertolongan Allah; serta jangan kamu berduka-cita atas mereka, serta janganlah sesak nafas karena tipu dtya yang mereka lakukan …. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang taqwa serta orang-orang yang berbuat baik …. ! (Q.S.16 an-Nahl:125 — 128).


Maka turunnya ayat-ayat tersebut di tempat ini, merupakan penghormatan sebaik-baiknya terhadap Hamzah, yang pahalanya pasti akan diberikan oleh Allah!
Rasulullah saw. amat sayang kepadanya, dan sebagai telah kita sebutkan dulu, ia bukanlah hanya paman yang tercinta belaka ….
Tetapi juga saudara sesusu ….
Dan teman sepermainan …
Serta shahabat sepanjang masa ….

Dan di saat-saat perpiaahan ini, tidak ada penghormatan yang lebih utama yang ditemui Rasulullah untuk melepas ke­pergiannya daripada menshalatkannya bersama-sama dengan seluruh syuhada, seorang demi seorang ….Demikianlah jasadnya dibawa ke tempat shalat di medan laga yang telah menyaksikan kepahlawanan dan menampung darah­nya, lalu diahalatkan oleh Rasulullah bersama para shahabat. Kemudian dibawa lagi ke sana seorang syahid lain dan diahalat­kan oleh Rasulullah. Mayat itu diangkat tetapi Hamzah dibiar­kan ditempatnya, lalu dibawa lagi syahid ketiga dan dibaringkan di dekat Hamzah dan diahalatkan pula oleh Rasulullah.
Begitulah para syuhada itu didatangkan, syahid demi syahid sernentara, Rasulullah menshalatkan mereka seorang demi se­orang, hingga bila dihitung ada tujuhpuluh kali banyaknya Rasulullah menshalatkan Hamzah waktu itu . . . .


Rasulullah pulang ke rumah meninggalkan medan peperang­an. Di jalan didengarnya wanita-wanita Bani Abdil Asyhal menangisi syuhada mereka. Maka dengan amat santun dan sayang, sabdanya: “Tetapi Hamzah, tak ada wanita yang menangisinya …!” Hal ini kedengaran oleh Sa’ad bin Mu’adz, dan disangkanya Rasulullah akan senang hatinya bila ada wanita yang menangisi pamannya, lalu segeralah ia mendatangi wanita-wanita Bani Asyhal tali dan menyuruh mereka agar menangisi Hamzah pula. Suruhan itu mereka lakukan, tetapi demi Rasulullah mendengai tangis mereka, ia pergi menemui mereka sabdanya:“Bukan ini yang saya maksudkan …Pulanglah kalian, semoga Allah memberi kalian rahmat, dan tak boleh menangis lagi setelah hari ini … ! “


Dan para penyair shahabat Rasulullah berlomba-lomba meng­gubah sya’ir untuk meratapi Hamzah dan mengenangkan jasa­-jasanya yang besar. Berkatalah Hasaan bin Tsabit dalam qashi­dahnya yang panjang:
“Tinggalkan masa lalu yang penuh berhala
Ikuti jejak Hamzah yang bergelimang dengan pahala Penunggang kuda di medan laga
Bagaikan singa terluka di hutan belantara
Seorang warga Hasyim mencapai yang cemerlang Tampil ke medan laga membela kebenaran
Gugur sebagai syahid di medan pertempuran Di tangan Wahsyi pembunuh bayaran … ! “


Dan dengarlah pula kata Abdullah bin Rawahah:

“Air mata mengalir tak ada hentinya
Walau ratap dan tangia tak ada artinya Bagimu wahai singa Allah kami tafakur
Sambil bertanya Hamzahkah yang gugur? Ujian telah menimpa kami hamba Allah
Begitu pula Muhammad Rasulullah
Dengan kepergianmu benteng musuh berantakan Dengan kepergianmu
tercapailah tujuan”


Dan berkatalah pula Shafiyah binti Abdul Mutthalib, yaitu bibi Rasulullah saw. dan saudara Hamzah:
“Ilahi Rabbi pemilik ‘arasy telah memanggilnyq datang Ke dalam surga tempat hidup bersenang senang Memang itulah yang kita tunggu dan selalu harapkan Hingga di yaumul mahsyar Hamzah beroleh tempat yang lapang Demi Allah, selama angin barat berhembus daku takkan lupa Baik di waktu bermukim maupun bepergian ke mana saja Selalu berkabung dan menangiai Singa Allah Sang Pemuka Pembela Islam terhadap setiap kafir orang angkara Sementara daku mengucapkan sya’ir, keluargaku sama berdo’a.
Semoga Allah memberimu balasan, wahai saudara, wahai pembela”.


Tetapi ratapan terbaik yang menharurnkan kenangan terhadap dirinya  ialah kata-kata yang diucapkan oleh Rasulullah ketika berdiri di depan jasad Hamzah sewaktu dilihatnya berada di antara syuhada pertempuran itu, sabdanya:
“Melimpahlah atasmu Rahmat ar-Rahim
Akulah saksi bagimu di hadapan al-Hakim
Engkaulah pendekar penyambung silaturrahim
Berbuat kebaikan pembela yang di dhalim ….


Tak dapat kiranya disangkal, bahwa mushibah yang me­nimpa Nabi saw. diaebabkan gugur pamannya yang utama Hamzah amat besar sekali, hingga sebagai penghibur baginya amat sukarlah dapat ditemukan ….
Tetapi taqdir telah menyediakan bagi Rasulullah sebaik­baik hiburan.

Dalam perjalanan pulang dari Uhud ke rumahnya, Rasulullah saw. melewati seorang wanita warga Bani Dinar, yang dalam peperangan itu telah kehilangan bapak, suami dan saudaraya…. Ketika wanita itu melihat Kaum Muslimin pulang dari medan perang, ia segera mendapatkan mereka dan menanyakan berita pertempuran. Maka mereka sampaikan bela sungkawa atas gugurnya suami, bapak dan saudaranya itu …. Sambil mengeluh, kiranya wanita itu menanyakan:
“Bagaimana kabarnya Rasulullah …. ?”
“Baik, alhamdulillah beliau dalam keadaan yang anda ingin­kan”, ujar mereka.
“Bawa beliau ke sini hingga saya dapat melihatnya . . . katanya pula.
Mereka pun tetap berdiri di samping wanita tersebut, hingga Rasulullah saw. telah dekat kepada mereka. Maka demi tampak oleh wanita itu, ia pun datang menghampiri Rasul­ullah, katanya:
“Apa pun mushibah yang menimpa asal tidak menimpa diri anda, soalnya enteng belaka
Memang……………………………………………


Itu adalah suatu hiburan yang terbaik dan paling kekal Dan mungkin Rasulullah saw. akan tersenyum menyaksikan periatiwa iatimewa dan satu-satunya ini! Karena dalam dunia pengurbanan, kesetiaan dan kecintaan, peristiwa itu tak ada bandingannya ….! Seorang wanita . lemah dan miskin …. sekaligus telah kehilangan bapak, suami dan saudaranya . . . , tetapi sambutan­nya terhadap perang yang menyampaikan berita yang dapat menggoncangkau gunung-gunung itu, hanyalah: “Tetapi bagaimana kabarnya Rasulullah …….. Sungguh, suatu peristiwa yang telah diatur corak dan waktunya oleh tangan taqdir secara baik dan tepat, guna disajikan sebagai penghibur alakadarnya bagi Rasulullah …. dalam menghadapi mushibah dengan gugurnya Singa Allah dan panglima para syuhada ….!

(11)  
HAMZAH IBN `ABD AL-MUTTALIB  
The Lion of Allah and The Martyr of Martyrs 

        After a day full of work, worship, and entertainment, the people of Makkah fell into a deep sleep. The people of the Quraish were turning in their beds except for one who forsook his bed of sleep. He used to go to bed early, rest for a few hours, then wake up in great anxiety for the expected appointment with Allah. He went to the praying corner in his room to supplicate to his God. Whenever his wife awakened upon hearing the voice of his long supplications, she shed tears out of warm sympathy and asked him not to take it so hard and to get some sleep. He only answered her in tears, "The time for sleep is over, khadijjah." At that time Muhammad was not yet a serious problem for the Quraish, although he had started to draw their attention as he started to spread his call secretly; those who believed in him were still quite few.  

        There were people among the non-believers who loved and respected him. They yearned to declare their belief in him and become one of his followers, but their fear of the prevailing norms and the pressure of inherited traditions prevented them. Among them was Hamzah lbn `Abdul Muttalib, the Prophet's paternal uncle who was at the same time his brother through fosterage (i.e. they had been breast-fed by the same woman).  

        Hamzah was fully aware of the greatness of his nephew and of the truth he came with. He used to know him not only as a nephew, but also as a brother and friend because they both belonged to the same generation. They always played together and walked together on the same road of life step by step. But in their youth they departed, each one in his own way: Hamzah preferred the life of leisure, trying to take his place among the prominent leaders of the Quraish and Makkah, while Muhammad chose the life of seclusion away from the crowd, immersed in the deep spiritual meditation that prepared him to receive the truth.  

        Despite the fact that each of them had a different way of living out his own youth, Hamzah was always attentive to the virtues of his friend and nephew. Such virtues helped Muhammad to win a special place in the hearts of people and helped to draw a clear outline for his great future.  

        The next day, Hamzah went out as usual. At the Ka'bah he found a number of Quraishi noblemen. He sat with them, listening to what they had to say: they were talking about Muhammad. For the first time Hamzah saw them worried about the call his nephew was propagating with a tone of bitterness and rage marking their voices. Before that, they had never paid attention - at least they had pretended not to do so - but on that day their faces looked perplexed, upset, and aggressive.  

        Hamzah laughed at their talks and accused them of exaggeration. Abu Jahl said to his companions that Hamzah was the best one to know the danger of his nephew's call and that he pretended to underestimate this danger till the Quraish would relax so much that when they awakened it would be after his nephew had complete control over them.  

        They kept talking and threatening while Hamzah sat, sometimes smiling, sometimes frowning. When they dispersed his head was full of new ideas about the issues of his nephew that they had discussed in his presence.  
   
Days passed and the Quraish's whispering about the Prophet's call increased. Later, whispering turned into provocation and Hamzah watched from a distance. His nephew's composed, steadfast attitude 

towards their provocations puzzled him. Such an attitude was quite unfamiliar to the Bani Quraish, who were themselves known to be strong and challenging.  

        If doubts of the greatness and truth of Muhammad could steal into anyone's heart, they would have never stolen into Hamzah's heart, because he was the best one to know Muhammad from his early childhood to his youth, then to his proud, honest manhood. Hamzah knew Muhammad as he knew himself and maybe more. Since they had come into life together, grown up together, and attained full strength together, Muhammad's life had been as pure and clear as the sunlight. It never occurred to Hamzah that Muhammad could make an error or a doubtful act in his life. He never saw Muhammad angry, hopeless , greedy, careless, or unstable. Hamzah was not only physically strong, but was also wise and strong-willed. Therefore, it was natural for him to follow a man in whose honesty and truthfuIness he wholeheartedly believed. Thus he kept a secret in his heart that was soon going to be disclosed.  

        Then came the day. Hamzah went out of his house towards the desert carrying his bow to practice his favorite sport of hunting (in which he was very skilled). He spent most of his day there. On his way home he passed by the Ka'bah as usual, to circumambulate it.  

        Near the Ka'bah, a female servant of `Abd Allah lbn Jud'aan  saw him and said, "O Abu `Umaarah! You haven't seen what happened to your nephew at the hands of Abu Al-Hakam lbn Hishaam. When he saw Muhammad sitting there, he hurt him and called him bad names and treated him in a way that he hated." She went on to explain what Abu Jahl had done to the Prophet of Allah. Hamzah listened to her carefully and paused for a while, then with his right hand he picked up his bow and put it on his shoulder. He walked with fast, steady steps towards the Ka'bah, hoping to meet Abu Jahl there. He decided that if he did not find him, he would search for him everywhere till he did.  

        As soon as he reached the Ka'bah he glanced at Abu Jahl sitting in the yard in the middle of the Quraishi noblemen. Hamzah advanced very calmly towards Abu Jahl and hit him with his bow on the head till it broke the skin and bled. To everybody's surprise, Hamzah shouted, "You dare to insult Muhammad while I follow his religion and I say what he says? Come and retaliate upon me. Hit me if you can." In a moment they all forgot how their leader Abu Jahl had been insulted and they were all thunderstruck by the news that Hamzah had converted to Muhammad's religion and that he saw what Muhammad saw and said what he said. Could Hamzah really have converted to Islam when he was the strongest and most dignified Quraishi young man?  

        Such was the overwhelming disaster to which the Quraish were helpless, because Hamzah's conversion would attract others from the elite to do the same. Thus Muhammad's call would be supported, and he would find enough solidarity that the Quraish might wake up one day to find their idols being pulled down.  

        Indeed, Hamzah had converted, and he announced what he had kept secret in his heart for so long. Again Hamzah picked up his bow, put it on his shoulder, and with steady steps and full strength left the place with everyone looking disappointed and Abu Jahl licking the blood flowing from his wounded head.  

        Hamzah possessed a sharp sight and dear consciousness. He went home, and after he had relaxed from the day's exhaustion he sat down to think over what had happened. He had announced it in a moment of indignation and rage. He hated to see his nephew getting insulted and suffering injustice with no one to help him. Such racial zeal for the honor of Bani Haashim's talk had made him hit Abu Jahl on the head and shout declaring his Islam. But was that the ideal way for anyone to change the religion of his parents and ancestors and to embrace a new religion whose teachings he had not yet become familiar with and whose true reality he had not acquired sufficient knowledge of? It was true that Hamzah had never had any doubts about Muhammad's integrity, but could anybody embrace a new religion with all its responsibilities just in a moment of rage as Hamzah had done?  

  It was true that he had always kept in his heart a great respect for the new call his nephew was carrying and its banner, but what should the right time have been to embrace this religion if he was destined to embrace it? Should it be a moment of indignation and anger or a moment of deep reflection? Thus he was inspired by a clear consciousness to reconsider the whole situation in light of strict and meticulous thinking.  

        Hamzah started thinking. He spent many restless days and sleepless nights. When one tries to attain the truth by the power of mind, uncertainty will become a means of knowledge, and this is what happened to Hamzah. Once he used his mind to search Islam and to weigh between the old religion and the new one, he started to have doubts raised by his innate inherited nostalgia for his father's religion and by the natural fear of anything new. All his memories of the Ka`bah, the idols, the statues and the high religious status these idols bestowed on the Quraish and Makkah were raised.  

        It appeared to him that denying all this history and the ancient religion was like a big chasm which had to be crossed. Hamzah was amazed at how a man could depart from the religion of his father that early and that fast. He regretted what he had done but he went on with the journey of reasonable thinking. But at that moment, he realized that his mind was not enough and that he should resort sincerely to the unseen power. At the Ka'bah he prayed and supplicated to heaven, seeking help from every light that existed in the universe to be guided to the right path.  

        Let us hear him narrating his own story: I regretted having departed from the religion of my father and kin, and I was in a terrible state of uncertainty and could not sleep. I came to the Ka'bah and supplicated to Allah to open my heart to what was right and to eliminate all doubts from it. Allah answered my prayer and filled my heart with faith and certainty. In the morning I went to the Prophet (PBUH) informing him about myself, and he prayed to Allah that He may keep my heart stable in this religion.  

        In this way Hamzah converted to Islam, the religion of certainty.  

        Allah supported Islam with Hamzah's conversion. He was strong in defending the Prophet of Allah (PBUH) and the helpless amongst his Companions. When Abu Jahl saw him among the Muslims, he realized that war was inevitably coming. Therefore he began to support the Quraish to ruin the Prophet and his Companions. He wanted to prepare for a civil war to relieve his heart of anger and bitter feelings.  

        Hamzah was unable, of course, to prevent all the harm alone, but his conversion was a shield that protected the Muslims, and was the first source of attraction to many tribes to embrace Islam. The second source was `Umar Ibn Al-Khattab's conversion, after which people entered Allah's religion in crowds. Since his conversion, Hamzah devoted all his life and power to Allah and His religion till the Prophet (PBUH) honored him with the noble title, "The Lion of Allah and of His Messenger".  

        The first military raid launched by the Muslims against their enemies was under the command of Hamzah. The first banner that the Prophet handed to any Muslim was to Hamzah. In the battle of Badr, when the two conflicting parties met, the Lion of Allah and of His Messenger was there performing great wonders.  

        The defeated remnants of the Quraish army went back to Makkah stumbling in disappointment. Abu Sufyaan was broken hearted with a bowed head as he left on the battlefield the dead bodies of the Quraish martyrs such as Abu Jahl, Utbah Ibn Rabii'ah, Shaibah lbn Rabii'ah, Umaiyah Ibn khalaf, `Uqbah Thn Abi Mu'ait, Al-Aswad Ibn `Abdul Al-Asad Al-Makhzumi, Al- Wallid lbn `Utbah, Al-Nafr lbn Al-Haarith, Al-'Aas lbn Sa'iid, Ta'mah lbn `Addi and tens of other great Quraish.  

        But the Quraish would not accept the defeat easily. They started to prepare the army and to pull together all powers to avenge their honor and their dead. They insisted to continue the war. In the Battle of Uhud, all the Quraish went to war together with their allies from the Arabs, under the leadership of Abu Sufyaan once again.  


        The Quraishi leaders had targeted two persons in the new battle, namely, the Prophet (PBUH) and Hamzah (May Allah be pleased with him). If one had heard them talking and plotting before the war, one would realize that Hamzah was their second main target after the Prophet (PBUH).  

        Before they went to war, they had already chosen the person in charge of assassinating Hamzah: an Abyssinian slave with extra ordinary skill in spear throwing. They planned for him to kill Hamzah, his only role being to hit him with a deadly spear. They warned him not to be busy with any other preoccupation other than Hamzah, regardless of the situation on the battlefield. They promised him the excellent reward of his freedom. The slave, whose name was Wahshiy, was owned by Jubair Ipn Mut`am. Jubair's uncle had been killed in the Battle of Badr, so Jubair said to Wahshiy, "Go out with the army, and if you kill Hamzah you will be free." Afterwards, the Quraish sent Wahshiy to Hind Bint `Utbah, Abu Sufyaan's wife, to give him more encouragement to kill Hamzah, because she had lost her father, uncle, brother, and son and it was said that Hamzah had been behind their deaths.  

        This was the reason why Hind was the most enthusiastic one of all the Quraish to escalate the war. All she wanted was Hamzah's head, whatever the cost might be. She spent days before the battle pouring all her rage into Wahshiy's heart and making the plans for him. She promised him if he killed Hamzah she would give him her most precious trinkets. With her hateful fingers she held her precious pearl earrings and a number of golden necklaces around her neck and gazed at him saying, "All these are yours if you kill Hamzah." Wahshiy's mouth watered for the offer, and his soul yearned for the battle after which he would win his freedom and cease to be a slave, in addition to all the jewelry decorating the neck of the leading woman of the Quraish, the wife of its leader, and the daughter of its master. It was clear then that the whole war and the whole conspiracy were decisively seeking Hamzah.  

        The Battle of Uhud started and the two armies met. Hamzah was in the middle of the battlefield in battle dress and on his bosom he put an ostrich feather that he used to wear while fighting. He was moving everywhere cutting off the head of each polytheist he reached among the army of the Quraish. It seemed that death was at his command. Whenever he ordered it for anyone it reached him in the heart. 

        The Muslims were about to gain victory and the defeated army of the Quraish started to withdraw in fright, but the Muslim archers left their places on the mountain to collect the spoils of war that the Quraish had left. If they had not left their places, giving the Quraish cavalry the chance to find a way, the battle would have ended as a gigantic grave for all the Quraish, including men, women, horses, and even cattle.  

        The Quraish attacked the Muslims by surprise from the back and started strilang them with thirsty swords. The Muslims tried to pull themselves together, picking up the weapons they had put down upon seeing the Quraish withdrawing, but the attack was too violent. When Hamzah saw what had happened, he doubled his strength and his activity. Hamzah was striking all around him while Wahshiy was observing him, waiting for the right moment. Let us hear Wahshiy himself describe the scene.  

        I was an Abyssinian man who used to throw the spear in an Abyssinian way that scarcely misses its target. When the armies met I searched for Hamzah till I found him in the middle of the crowd like a huge camel. He was killing every one around him with his sword. Nothing could stop him. By Allah, I prepared for him. I wanted him. I hid behind a tree so that I might attack him or he might come close to me. At that moment Sabaa'u Ibn `Abd Al-'Uzzaa approached him before me. When Hamzah glanced at him he shouted, "Come to me, you son of the one who circumcises!" and he hit him directly in the head. Then I shook my spear till I was in full control over it and threw it. The spear penetrated him from the back and came out from between his legs. He rose to reach me but could not and soon died. I came to his body and took my spear and went back to sit in the camp. I didn't want anything else to do with him. I killed him only to be free.  

        Let Wahshiy continue his story: When I returned to Makkah, they set me free. I stayed there till the Prophet (PBUH) entered Makkah on the Day of the Conquest. I fled to At-Taa'if. When the delegation of Al-Taa'if went to declare their conversion to Islam, I heard various people say that I should go to Syria or Yemen or any other place. While I was in such distress, a man said to me, "Woe to you! The Prophet 

(PBUH) never kills anyone entering his religion." I went to Allah's Prophet (PBUH) in Al- Madiinah, and the moment he first saw me I was already giving my true testimony. When he saw me he said, "Is it you, Wahshiy?" I said, "Yes, Messenger of Allah." He said, "Tell me, how did you kill Hamzah?" I told him, and when I finished he told me, "Woe to you! Get out of my sight and never show your face to me." From that time, I always avoided wherever the Prophet (PBUH) went lest he should see me, till he died.  Afterwards, when the Muslims fought Musailamah the Liar in the Battle of Al-Yamaamah, I went with them. I took with me the same spear that I had killed Hamzah with. When the armies met, I saw Musailamah standing with his sword in his hand. I prepared for him, shook my spear till I had full control over it, threw it, and it went into his body. If I killed with this spear the best of people, Hamzah, I wish that Allah may forgive me, as I killed with it the worst of people, Musailamah.  

        Thus the Lion of Allah and of His Messenger died as a great martyr. His death was as unusual as his life, because it was not enough for his enemies to kill him. They sacrificed all the men and money of the Quraish to a battle only seeking the Prophet (PBUH) and his uncle Hamzah.  

        Hind Bint `Utbah, the wife of Abu Sufyaan, ordered Wahshiy to bring her Hamzah's liver, and he responded to her savage desire. When he returned to her, he delivered the liver to her with his right hand, while taking the necklaces with the left as a reward for the accomplished task. Hind, whose father had been killed in the Battle of Badr and whose husband was the leader of the polytheist army, chewed Hamzah's liver hoping to relieve her heart, but the liver was too tough for her teeth so she spat it out and stood up shouting her poem:  
   
For Badr we've paid you better 
In a war more flaring than the other. 
I was not patient to revenge the murder of 
`Utbah, my son, and my brother. 
My vow's fulfilled, my heart's relieved forever. 

        The battle ended and the polytheists mounted their camels and led their horses back to Makkah. The Prophet (PBUH) and his Companions examined the battlefield to see the martyrs. There, in the heart of the valley, the Prophet (PBUH) was examining the faces of his Companions who had offered their souls to their Lord and had given their lives as a precious sacrifice to Him.  
  
        The Prophet (PBUH) suddenly stood up and gazed in an upset manner at what he saw. He ground his teeth and dosed his eyes. He never imagined that the Arabic moral code could be that savage so as to cut and disfigure a dead body in the dreadful way that had happened to his uncle, the Lion of Allah, Hamzah Ibn `Abd Al Muttalib. The Prophet (PBUH) opened his shining eyes and looked at the dead body of his uncle saying, "I will never have a worse loss in my life than yours. I have never been more outraged than I am now." 

        Then he turned to his Companions saying, "It is only for the sake of Safiyah [Hamzah's sister] that she should be grieved and that it should be taken as a practice after me. Otherwise, I would have ordered him to be left without burying so that he may be in the stomachs of beasts and in the craws of birds. If Allah destines me to win over the Quraish, I will cut thirty of them into pieces."  

        Therefore, the Companions shouted, "By Allah, if one day we conquer them, we will cut them in a way that no Arab has done before!" Allah honored Hamzah by making his death a great lesson for the Muslims to learn justice and mercy, even in situations when penalties and retaliation were justified. No sooner had the Prophet finished his threatening words, then a revelation came down to him while he was still standing in his place with the following verse: "Call mankind to the Way of your Lord with wisdom and sound advice, and reason with them in a well mannered way. Indeed your Lord is well aware of those who have gone astray from His way, and He is well aware of those who are guided. And if you retaliate, let your retaliation be to the extent that you were afflicted, but if you are patient, it will certainly be best for those who are patient; and be patient, yet your patience is only with the help of GOD, and do not sorrow for them, not distress yourself at what they devise. Indeed GOD is with those who are pious, and those who are doers of good" (16:125-127).  

        The revelation of these verses in this situation was the best honor for Hamzah. As stated before, the Prophet (PBUH) loved him dearly because he was not only an uncle, but also his brother by fosterage, his playmate in childhood, and the best friend in all his life.  

        The Prophet (PBUH) did not find any better farewell for Hamzah than praying for him among the numerous martyrs. Hamzah's body was carried to the place of prayer on the battlefield, in the same place which had witnessed his bravery and embraced his blood. The Prophet (PBUH) and his Companions prayed for him, then they brought another martyr and put him beside Hamzah, and prayed for him. Then they took the martyr away and left Hamzah and brought the next martyr and placed him beside Hamzah and prayed for him and so on. They brought all the martyrs, one after the other and prayed for them beside Hamzah, who on that day was prayed for seventy times (the number of martyrs).  


        On his way from the battlefield, the Prophet (PBUH) heard the women of Bani `Abd Al- Ashhal lamenting their martyrs and he said, "But Hamzah has no one to lament him." Sa'd lbn Mu'aadh heard this sentence and thought that the Prophet (PBUH) would be satisfied if the women would lament his uncle. He hurried to the women of Bani Abd Al-Ashhal and ordered them to lament Hamzah. When the Prophet (PBUH) heard them doing this he said, "I did not mean this. Go back, may Allah have mercy on you. There will be no crying anymore." The Prophet's (PBUH) Companions began to say their eulogies for Hamzah in praise of his virtues. The poet Hassaan lbn Thaabit said in the course of a long poem:  

   
Moan for Hamzah the one 
Who won't forget your horse which was old. 
He spurs horses when away they run 
Like lions in jungles. He's strong and bold, 
Whiter than Haashim. He looks in the sun 
Except for the night, his tongue never told 
Among your swords, in was he done, 
Paralyzed be the hands that Wahshiy has sold." 

Abd Allah lbn Rawaahah also said: 
I moaned, but what did moaning do for me? 
When they said Hamzah the Lion was killed 
Abu Ya`liy, a man with honor was filled 
For your death, pillars down were pulled. 

Safiyah, Hamzah's sister and the Prophet's (PBUH) aunt said:  
  
To the happy Paradise of Allah he was invited. 
Such a destiny for Hamzah was what we wanted, 
I won't forget you if I stayed or departed. 
I moan for a lion by whom Islam was protected. 
O brother, may Allah for what you did 
Make you rewarded. 

        But the best words said about him were those of the Prophet (PBUH) when he first saw him among the martyrs: "May Allah have mercy on you. You were, as far as I knew, always uniting blood relations and doing all sorts of goodness."  
  
        The loss of Hamzah was great and nothing could console the Prophet (PBUH) for it. But to his surprise, Allah offered him the best consolation. When he was walking home from Uhud, he saw a woman from the Bani Diinaar whose husband, father, and brother had been killed in the battle. She asked the returning Muslim soldiers about the battle. When they told her of the death of her father, husband, and brother, she soon asked them anxiously, "What about the Prophet of Allah?" They said, "He is very well as you wish him to be." She said, "Show me, let me look at him." They stayed beside her till the Prophet (PBUH) came and when she saw him she said, "if you are safe, all other disasters will be of no importance." 

        Yes, this was the best condolence for the Prophet (PBUH). He smiled at this unusual situation which had no similitude in loyalty and devotion. A poor, helpless woman lost in an hour father, brother, and husband. Her reaction to that news - which if it had fallen on a mountain would have made it collapse - was, "What about the Prophet of Allah?" It was such a well-timed situation that it is evident that Allah planned to console His Prophet (PBUH) for the death of Allah's Lion and martyr of all martyrs. 


oo
.¤ª"˜¨¯¨¨Hamzah Bin Abdul Muthalib¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨Hamzah Ibn 'Abd Al-Muttalib¸,ø¨¨"ª¤.


Categories: