acebook

Para Sahabat - The Companions

.¤ª"˜¨¯¨¨Khalid Bin Sa'id Bin 'Ash o Khaalid Ibn Sa'iid¸,ø¨¨"ª¤.
Anggota pasukan berani mati angkatan yang pertama. 


Khalid bin Sa’id bin ‘Ash dilahirkan dari suatu keluarga kaya dan mewah, tergolong kepala-kepala suku dari seorang warga Quraisy yang terkemuka dan memegang pimpinan. Dan jika hendak ditambahkan lagi sebutlah: “Bin Umaiyah bin Abdi Syamsi bin Abdi Manaf … !”

Ketika berkas cahaya mulai merayap di pelosok-pelosok kota Mekah secara diam-diam, membisikkan bahwa Muhammad orang terpercaya itu memberitakan soal wahyu yang datang kepadanya di gua Hira’, begitu pun soal Risalah yang diterimanya dari Allah untuk disampaikan kepada hamba-hambanya, maka hati nurani Khalid dapat menangkap bisikan-bisikan tersebut dan mengakui kebenarannya . . . !

Jiwanya rasa terbang kegembiraan, seolah-olah di antaranya dengan Risalah itu sudah ada janji dari pertama …. Dan mulai­lah ia mengikuti berkas cahaya itu dalam segala liku-likunya. Dan setiap kali ia mendengarkan kelompok kaumnya mempercakap­kan Agama baru itu, ia pun duduk dekat mereka,mendengarkan­nya dengan baik disertai perasaan suka cita yang dipendam. Dari waktu ke waktu ia seolah-olah dipompa dengan kata-kata atau kalimat-kalimat mengenai peristiwa itu, yang mendorongnya untuk menyebarkan beritanya, untuk mempengaruhi orang dan mengajari mereka … !

Orang-orang yang memandang Khalid waktu itu, melihatnya sebagai seorang pemuda yang bersikap tenang, pendiam tak banyak bicara, tapi yang sebenarnya pada bathinnya dan dalam lubuk hatinya bergelora dengan hebatnya gerakan dan kegem­biraan. Di dalamnya menggelegar bunyi gendang yang di tabuh, kepakan bendera yang dinaikkan, bahana sangkakala yang ditiup . . . , nyanyian-nyanyian yang memanjatkan doa, Serta lagu-lagu pujaan yang mengagungkan Tuhan . … Pesta pora dengan segala keindahannya, dengan semua kemegahan, luapan semangat dan hiruk pikuknya . . . ! 

Pemuda ini menyimpan kegembiraan pesta-pora ini di dalam dadanya, ditutupnya rapat­-rapat. Karena seandainya diketahui oleh bapaknya bahwa bathin­nya sedang bersuka cita dengan da’wah Muhammad, niscaya hidupnya akan dibinasakannya dan tubuhnya akan diper­sembahkannya sebagai korban bagi tuhan-tuhan pujaan Abdu Manaf … !

Tetapi jiwa dan kesadaran bathin seseorang bila ia telah penuh sesak dengan suatu masalah, dan meluap sampai keper­mukaan, maka limpahannya tak dapat dibendung lagi …

Dan di suatu hari . . . .Tetapi bukan . . . , karena Siang belum lagi muncul, sedang Khalid yang sudah bangun itu masih berada di tempat tidurnya, baru saja mengalami suatu mimpi yang sangat dahsyat, mem­punyai kesan yang mengerikan, dan ibarat yang dalam …. Kalau begitu baiklah kukatakan saja, di suatu malam, Khalid bin Said bermimpi, bahwa ia berdiri di bibir nyala api yang besar, sedang ayahnya dari belakang hendak menolakkannya dengan kedua tangannya ke arah api itu, malah ia bermaksud hendak melemparkannya ke dalamnya. 

Kemudian dilihatnya Rasulullah datang ke arahnya, lalu menariknya dari belakang dengan tangan kanan­nya yang penuh berkah hingga tersingkirlah ia dari bahaya jilatan api ….la tersadar dari mimpinya dengan memperoleh bekal langkah perjuangan menghadapi masa depannya. Ia segera pergi ke rumah Abu Bakar lalu menceritakan mimpinya itu. Dan mimpi seperti itu sebetulnya tidak memerlukan ta’bir lagi … !

Kata Abu Bakar kepadanya
—”Sesungguhnya tak ada yang kuinginkan untukmu selain dari kebaikan. 

Nah, dialah Rasul Allah saw. ikutilah dia, karena sesungguhnya Islam akan menghindarkanmu dari api neraka!”Khalid pun pergilah mencari Rasulullah saw. sampai me­nemukan tempat beliau, lalu menumpahkan isi hatinya, dan menanyakan tentang da’wahnya. 

Jawab Nabi:
“Hendaklah engkau beriman kepada Allah yang Maha Esa semata, jangan mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun . . . . Dan engkau beriman kepada, Muhammad, hamba-Nya dan Rasul-Nya . . . . 

Dan engkau tinggalkan menyembah berhala yang tidak dapat mendengar dan tidak dapat melihat, tidak memberi mudarat dan tidak pula manfaat…(al-Hadits)

Khalid lalu mengulurkan tangannya yang disambut oleh tangan kanan  Rasulullah saw. dengan penuh kemesraan, dan Khalid pun mengucapkan:

“Aku naik saksi bahwa tak ada Tuhan selain Allah dan aku naik saksi bahwa Muhammad Rasul Allah”Maka terlepaslah sudah senandung jiwa dan nyanyian kalbu­nya . . . . Terlepas bebas semua gelora yang bergolak dalam bathinnya . . . dan sampailah pula berita ini kepada bapaknya….

Pada waktu Khalid memeluk Islam, belum ada orang yang mendahuluinya masuk itu kecuali empat atau lima orang, hingga dengan demikian ia termasuk dalam lima orang angkatan pertama pemeluk Islam. 

Dan setelah diketahui yang menjadi pelopor dari Agama ini, salah seorang di antaranya putera Sa’id bin ‘Ash maka bagi Sa’id, peristiwa itu akan menyebabkannya menjadi bulan-bulanan penghinaan dan ejekan bangsa Quraisy, dan akan menggoncangkan kedudukannya sebagai pemimpin.

Oleh karena itu dipanggilnyalah anaknya Khalid, lalu tanya­nya: “Benarkah kamu telah mengikuti Muhammad dan mem­biarkannya mencaci tuhan-tuhan kita … ?” 

Jawab Khalid:“Demi Allah, sungguh ia seorang yang benar dan sesungguh­nya aku telah beriman kepadanya dan mengikutinya . . . “.Ketika itu bertubi-tubilah pukulan ayahnya menimpa diri­nya, yang kemudian mengurungnya dalam kamar gelap di rumahnya, lalu membiarkannya terpenjara menderita lapar dan dahaga … sedang Khalid berseru kepadanya dengan suara keras dari balik pintu yang terkunci:
“Demi Allah, sesungguhnya ia benar dan aku beriman ke­padanya!”

Jelaslah sekarang bagi Sa’id bahwa siksa yang ditimpakan kepada anaknya itu belum lagi cukup dan memadai. 

Oleh sebab itu dibawanya anak itu ke tengah panas teriknya kota Mekah, lalu ia menginjak-injaknya di atas batu-batu yang panasnya menyengat, selama tiga hari penuh, tanpa perlindungan dan keteduhan . . . , tanpa setetes air pun yang membasahi bibir­nya….

Akhirnya sang ayah putus asa lalu kembali pulang ke rumah­nya.

Tapi di sana ia terus berusaha menyadarkan anaknya itu dengan berbagai cara baik dengan membujuk atau mengancam­nya, memberi janji kesenangan atau mempertakutinya dengan siksaan . . . tetapi Khalid berpegang teguh kepada kebenaran, 
Ia berkata kepada ayahnya:  “Aku tak hendak meninggalkan Islam karena suatu apapun, aku akan hidup dan mati bersamanya!”

Maka berteriaklah Sa’id: 
— “Kalau begitu enyahlah engkau pergi dari sini, anak keparat . . . ! 
Demi kata kau tak boleh makan di sini . . .           
Jawab Khalid: “Allah adalah sebaik-baik pemberi rizqi . . . 

Kemudian ditinggalkannya rumah yang penuh dengan kemewahan, berupa makanan, pakaian dan kesenangan itu, pergi memasuki kesukaran dan aral rintang­an….
Tetapi apa yang ditakutkan … ?
Bukankah ia didampingi oleh imannya … ?
Bukankah ia selalu mempertahankan kepemimpinan Hati nuraninya . . . ?
Dan dengan tegas telah menentukan nasib dirinya?
Apalah artinya lapar kalau begitu, apalah artinya halangan dan rintangan … ?

Dan bila manusia telah menemukan dirinya berada bersama kebenaran luhur seperti kebenaran yang diserukan Muham­mad saw. ini, maka masih adakah tersisa di seantero alam ini sesuatu yang berharga yang belum dimilikinya, padahal semuanya itu, bukankah Allah yang jadi pemilik dan pem­berinya … ?

Demikianlah Khalid melalui bermacam derita dengan pe­ngurbanan dan mengatasi segala halangan dan keimanan ….Dan sewaktu Rasulullah saw. memerintahkan para shahabat­nya yang telah beriman hijrah yang kedua ke Habsyi, maka Khalid termasuk salah seorang anggota rombongan …. Ia berdiam di sana beberapa lamanya, kemudian kembali bersama kawan-kawannya ke kampung halaman mereka di tahun yang ketujuh. 

Mereka dapatkan Kaum Muslimin telah menyelesaikan rencana mereka membebaskan Khaibar.

Sekarang Khalid bermukim di Madinah, di tengah-tengah masyarakat Islam yang baru, di mana ia termasuk salah seorang angkatan lima pertama yang menyaksikan kelahiran Islam, dan ikut membina bangunannya. Sejak itu Khalid selalu beserta Nabi dalam barisan pertama pada setiap peperangan atau per­tempuran . . . . 

Dan karena kepeloporannya dalam Islam ini serta keteguhan hatinya dan kesetiaannya,  jadilah ia tumpuan ke­sayangan dan penghormatan . .. . Ia memegang teguh prinsip dan pendiriannya, tak hendak menodai atau menjadikannya sebagai barang dagangan.Sebelum Rasul wafat, beliau mengangkatnya menjadi guber­nur di Yaman. Sewaktu sampai kepadanya berita pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah dan pengukuhannya, ia lalu meninggalkan jabatannya datang ke Madinah.

Ia kenal betul kelebihan Abu Bakar yang tak dapat di­tandingi oleh siapa pun . . . . Tetapi ia berpendirian bahwa di antara Kaum Muslimin yang lebih berhak dengan jabatan Khalifah itu, adalah salah seorang dari keturunan Hasyim, umpamanya Abbas atau Ali bin Abi Thalib.Pendiriannya ini dipegangnya teguh, hingga ia tidak bai’at kepada Abu Bakar . . . . 

Namun Abu Bakar tetap mencintai dan menghargainya, tidak memaksanya untuk mengangkat bai’at dan tidak pula membencinya karena tidak bai’at.

 Setiap disebut namanya di kalangan Muslimin, khalifah besar itu tetap menghargai dan memujinya,suatu hal yang memang menjadi hak dan miliknya ….Belakangan pendirian Khalid bin Sa’id ini berubah.

 Tiba-tiba di suatu hari ia menerobos dan melewati barisan-barisan di mesjid, menuju Abu Bakar yang sedang berada di atas mimbar, maka Ia pun membai’atnya dengan tulus dan hati yang teguh….Abu Bakar memberangkatkan pasukannya ke Syria, beliau menyerahkan salah satu panji perang kepada Khalid bin Sa’id, hingga dengan demikian berarti ia menjadi salah seorang kepala pasukan tentara. . . . . Tetapi sebelum tentara itu bergerak me­ninggalkan Madinah, Umar menentang pengangkatan Khalid bin Sa’id, dan dengan gigih mendesakkan usulnya kepada khalifah, hingga akhirnya beliau merubah keputusannya dalam pengangkatan ini ….

Berita itu sampailah kepada Khalid, maka tanggapannya hanyalah sebagai berikut: 
“Demi Allah, tidaklah kami bergem­bira dengan pengangkatan anda, dan tidak pula akan berduka dengan pemberhentian anda . . . !”

 Abu Bakar Shiddiq meringan­kan langkah ke rumah Khalid meminta ma’af padanya Serta menerangkan pendiriannya yang baru, dan menanyakan kepada kepala dan pemimpin pasukan mana ia akan bergabung, apakah kepada Amar bin ‘Ash anak pamannya, atau kepada Syurahbil bin Hasanah? Maka Khalid memberikan jawaban yang menunjuk­kan kebesaran jiwa dan ketaqwaannya, ujarnya: “Anak paman­ku lebih kusukai karena ia kerabatku, tetapi Syurahbil lebih kucintai karena Agamanya “‘ 

Kemudian dipilihnya sebagai prajurit biasa dalam kesatuan Syurahbil bin Hasanah ….

Sebelum pasukan bergerak maju,Abu Bakar meminta Syu­rahbil menghadap kepadanya lalu katanya: ”Perhatikanlah Khalid bin Sa’id, berikanlah apa yang menjadi haknya atas anda, sebagaimana anda ingin mendapatkan apa yang menjadi hak anda daripadanya, yakni seandainya anda di tempatnya, dan ia di tempat anda . . . . Tentu anda tabu kedudukannya dalam Islam . . . Dan tentu anda tidak lupa bahwa sewaktu Rasulullah wafat, ia adalah salah seorang dari gubernurnya . . . . Dan sebenarnya aku pun telah mengangkatnya sebagai panglima, tetapi kemudian aku berubah pendirian . . . . Dan semoga itulah yang lebih baik baginya dalam Agamanya, karena sungguh, aku tak pernah iri hati kepada seseorang dengan kepemimpinan … !

Dan sesungguhnya aku telah memberi kebebasan kepadanya untuk memilih di antara pemimpin-pemimpin pasukan siapa yang disukainya untuk menjadi atasannya, maka ia lebih me­nyukai anda daripada anak pamannya sendiri ….Maka apabila anda menghadapi suatu persoalan yang membutuhkan nasihat dan buah pikiran yang taqwa, pertama-tama hendaklah anda hubungi Abu Ubaidah bin Jarrah, lalu Mu’adz bin Jabal dan hendaklah Khalid bin Sa’id sebagai orang ketiga. 
Dengan demi­kian pastilah anda akan beroleh nasihat dan kebaikan …. 

Dan jauhilah mementingkan pendapat sendiri dengan mengabaikan mereka atau menyembunyikan sesuatu dari mereka…! 

Di medan pertempuran Marjus Shufar di daerah Syria yang terjadi dengan dahsyatnya antara Muslimin dengan orang-orang Romawi, maka di antara orang-orang yang pertama yang telah pasti tersedia pahala mereka di sisi Allah, terdapat seorang syahid mulia, yang telah menempuh jalan hidupnya sejak masa remaja belia saat ia menghadapi ajal, secara benar, beriman lagi berani . . . .

Kaum Muslimin yang sedang mencari-cari para syuhada sebagai qurban pertempuran, 
telah mendapatinya seperti sediakala: bersikap tenang, pendiam dan keras hati, lalu kata mereka: “ya Allah, berikanlah keridlaan kapada. Khalid bin Sa’id … ! “

(32) 
KHAALID IBN SA`IID  
A Fighter of the Foremost Muslims 

        Khaalid Ibn Sa`iid was born into a highly wealthy and power- oriented family. His family lived in luxury and abundance, and his father was proud of his influential high status among the Quraish. Khaalid descended from Ibn Umaiyah, Ibn `Abd Shams and Ibn' Abd Manaaf. 

        When the first rays of Islam crept in, slowly but surely over Makkah to announce in whispers that revelation had descended upon Muhammad the Trustworthy in the Cave of Hiraa' with a message from Allah to proclaim to His slaves, Khaalid's heart was revived and he gave an ear to the whispering which was like a wonderful light, and he was also heedful to it. He was thrilled with joy as if he had been waiting for this news all his life. He kept on following these rays of light wherever they went. Whenever he heard his people talking about the new religion, he would join them and listen carefully with repressed joy. Every now and then, he would participate in the conversation with a word or two that gave impetus to the new religion to achieve publicity, effect, and guidance.  

        If you had seen him in those days, you would have the impression that he was a quiet young man who kept discrete silence. Yet beyond this calm appearance lurked a commotion of human feeling that was full of movement and joy. You could almost hear sounds of drums, trumpets, prayers, and glorifications. You could almost see the hoisted flags. His inner-self was feasting in the full meaning of the world. You could feel the joy, thrill, and even the clamor and clatter of the feast day.  

        This young man kept this big feast to himself and concealed it from all people. He knew that if his father found out that he harbored all this love, enthusiasm, and support for Muhammad's invitation to Allah's way, he would offer him as a sacrifice to the `Abd Manaaf. But when our innerselves are full and saturated with a certain feeling, it is not long before we lose control over it and it overflows freely and excessively. One day. . . No, it was not yet daybreak, and Khaalid was in a state of alert sleepiness when he saw a vision that was highly impressionistic, effective, and telling.  

        To be more precise, one night, Khaalid Ibn Sa'iid saw in his sleep a vision of himself standing on the brink of a great fire. His father stood right behind him. Strangely enough, his father was incessantly pushing him towards the brink. He wanted to throw him right into the burning fire. Then Khaalid saw Allah's Prophet rush to him and pull him with his blessed right hand away from the burning fire.  

       When Khaalid woke up he knew what he had to do. He hastened to Abu Bakr's house and told him about his vision which was undoubtedly as clear as broad daylight. Abu Bakr said, "Allah chose you for His Mercy. This is the Prophet (PBUH). Follow him closely, for Islam will keep you away from hell."  

       Khaalid rushed looking for the Prophet until he found him. Then he asked the Prophet about his message. He (PBUH) answered him saying, "Worship Allah alone and join none with Him in worship. Believe in Muhammad, His slave and Prophet; and, finally, abandon the worship of idols which do not hear, see, or have power to either harm or benefit you."  

 The Prophet expressed his heartiest welcome as he shook Khaalid's hand. Khaalid instantly said, "I bear witness that there is no god but Allah and I bear witness that Muhammad is His Messenger." Simultaneously, the repressed joyful songs within him were set free. In fact, his celebration burst forth, and his father found out about his Islam.  

       Now, on the day of Khaalid's Islam, only four or five people had already preceded him in embracing Islam. Sa'iid thought that his son's early Islam would expose him to the humiliation and ridicule of the Quraish people. The Islam of one of Sa'iid Ibn Al-'Aas's sons, had sufficed to shake the ground under Sa'iid's feet and throw doubts upon the credibility of his leadership.  

        Hence, he summoned Khaalid and asked him, "Is it true that you have followed Muhammad, despite his blasphemy against our gods?' Khaalid courageously answered, "By Allah, he speaks the truth. I do believe in him and I will follow and obey him."  

       No sooner had he finished these words than his father leaped on him and beat him ruthlessly. Then he threw him into a pitch dark room in his house, where he was imprisoned. He tortured him with thirst, hunger, and exhaustion. Yet Khaalid kept on crying out from behind his bars, "By Allah, he speaks the truth and I do believe in him."  

        Sa`iid realized that this torture was not enough; therefore, he dragged him to the sun-baked ground and dug a ditch for him between its heavy burning rocks and kept him there for three days without shade or cover. He had absolutely nothing to drink during those three days. His father gave up all hope that his son would turn back from his faith, so he dragged him back home and kept on luring him to apostatize from the new religion, then threatened him.  

        This maneuver of promising and threatening went on for a while, yet Khaalid was solid as a rock as he said to his father, "I will not turn apostate even if you promise me the world. I will live and die as a Muslim, so help me Allah." Sa'iid lost his temper and shouted fiercely, "Get out of my sight, you fool! By Al-Laat, I will not sustain you from now on."     Khaalid answered, "Allah is the best of those who make provision."  

       Thus, he left the luxurious house that was full of food, clothes, and comfort. He left it to experience need and deprivation. But why should he worry when he had his faith by his side? Was he not in full control over his conscience and destiny? Then why should he be bothered by hunger, deprivation, or even torture? If a man found all he was looking for in the great truth that Muhammad was inviting people to believe in, there should be nothing in the whole world that could prove to be more important to him than his inner self, which he would then sell to Allah in a bargain in which Allah was both the owner and purchaser!  

        Thus, Khaalid Ibn Sa'iid subdued torture with sacrifice and overcame deprivation with faith. When the Prophet (PBUH) ordered his believing companions to embark on the second emigration to Abyssinia, Khaalid Ibn Sa'iid was one of the muhaajiiruun.  

       Khaalid settled there for the time destined by Allah. Then he returned to his house with his brethren in A.H. 7. When they arrived, the Muslims had just finished the conquest of Khaibar. Khaalid settled in Al-Madiinah amidst the new Muslim society whose nucleus he was a part of, being one of the five first Muslims who had witnessed its birth and established its foundations.  

        Khaalid did not miss a war or a battle. He was always the first to go forth during war time.  

        As one of the foremost Muslims, and highly conscientious and disciplined, Khaalid was always loved and honored.  

        He respected his conviction. Hence, he refused to hide or bargain with it. For instance, before the Prophet (PBUH) died, he assigned Khaalid to the post of Governor of Yemen. When he heard the news concerning Abu Bakr's nomination as caliph and the consensus of allegiance given to him, he left his work and set out for Al-Madiinah. He knew that Abu Bakr was an unmatched, righteous, and pious believer. However, he thought that the caliphate was Bani Haashim's right. He believed that Al-'Abbaas or `Aliy Ibn Abi Taalib should have been the caliph. He clung to his belief and did not take the oath of allegiance to Abu Bakr. Notwithstanding that, Abu Bakr held no grudge against him. On the contrary, he kept his love and appreciation for him. He did not compel him to give the oath nor hate him for refusing. He was hardly mentioned among the Muslims without the great caliph justly praising him. In time, Khaalid Ibn Sa'iid changed his viewpoint, and one day he broke through the lines of the Muslims in the mosque while Abu Bakr was standing on the pulpit and gave the oath of allegiance to him. It was a true and confident pledge to Abu Bakr.  

        Abu Bakr marched with his armies to Syria and assigned the command of a regiment to khaalid Ibn Sa'iid. Thus, he became one of the commanders of the armies. But before the troops left Al Madiinah, `Umar objected to Khaalid Ibn Sa'iid's command and prevailed on the caliph until he changed his previous order. Khaalid heard what had happened, yet his only response was, "By Allah, I was not overjoyed with being a commander, nor was I broken-hearted for being dismissed!"  

        As-Siddiiq (May Allah be pleased with him) hastened to Khaalid's house to offer him his sincere apology and to explain his new decision. Then he asked Khaalid which of the commanders of the army he would like to accompany to Syria. He asked him if he would like to be with his cousin, `Amr Ibn Al- 'Aas or with Shurahbiil Ibn Hasanah?  

        Khaalid's answered was highly revealing of his greatness and inner piety, for he answered, "My cousin is closer to me due to the relation of blood and Shurahbiil is closer to me due to his excellent piety." Then he chose to be a soldier in Shurahbiil Ibn Hasanah's regiment.  

        Abu Bakr summoned Shurahbill before the outbreak of the war and told him, "Take care of Khaalid Ibn Sa'iid. Treat him as you would like to be treated if you were in his position. You well know his high rank in Islam. You know that when the Prophet died, he was already his governor in Yemen. I myself assigned him as a commander, then I rescinded my decision. I hope that this revoked order will make him even more pious and righteous, for I think that command is a trial. I gave him the chance to choose his commander and he preferred you to his cousin. If you need the opinion of a pious and true adviser, you must resort to Abu Ubaidah Ibn Al-Jarraah first; second, Mu'aadh Ibn Jabal; and third, Khaalid Ibn Sa'iid. You will definitely find good advice with them. I warn you against acting upon your viewpoint alone and without consulting them first."  

        The pioneer of those martyred and rewarded in the Battle of Marj As-Sufar, where the Muslims and Romans met in terrible and deadly combat, was a glorious martyr who took a course in his life, from his early youth to the moment of his martyrdom, characterized by true belief and courageous action.  

        When the Muslims were examining their wounded and martyred on the battlefield, he lay there as he always was, a quiet young man with a discrete silence and strong determination. They all cried out, "May Allah be pleased with Khaalid Ibn Sa'iid."



.¤ª"˜¨¯¨¨Khalid Bin Sa'id Bin 'Ash o Khaalid Ibn Sa'iid¸,ø¨¨"ª¤.




Categories: