acebook




♥.¤ª"˜¨¯¨¨Abu Dzar al Ghifari o❀o Abu Dhar al Ghifaariy¸,ø¨¨"ª¤.
Tokoh Gerakan Hidup Sederhana



Ia datang ke Mekah terhuyung-huyung letih tetapi matanya bersinar bahagia . . . Memang, sulitnya perjalanan dan panasnya udara padang pasir telah menyengat badannya dengan rasa sakit dan lelah, tetapi tujuan yang hendak dicapainya telah meringan­kan penderitaan dan meniupkan semangat serta rasa gembira dalam jiwanya.

Ia memasuki kota dengan menyamar. Seolah-olah ia seorang yang hendak melakukan thawaf keliling berhala-berhala besar di Ka’bah; atau seolah-olah musafir yang tersesat dalam perjalanan; atau lebih tepat orang yang telah menempuh jarak amat jauh, yang memerlukan istirahat dan menambah perbekalan. Padahal seandainya orang-orang Mekah mengetahui bahwa kedatangannya itu untuk menemui Muhammad saw. dan men­dengar keterangannya, pastilah mereka akan membunuhnya! Tetapi ia tak perduli akan dibunuh, asal saja setelah melintasi padang pasir luas, ia dapat menjumpai laki-laki yang dicarinya dan menyatakan iman kepadanya. Kebenaran dan da’wah yang diberikan Muhammad saw. dapat memuaskan hatinya.

Ia terus melangkah sambil memasang telinga, dan setiap didengarnya orang memperkatakan Muhammad saw., ia pun mendekat dan menyimak dengan hati-hati; hingga dari cerita yang tersebar di sana-sini, diperolehnya petunjuk yang dapat menunjukkan tempat persembunyian Muhammad saw., dan mempertemukannya dengan beliau.

Di suatu pagi hari, ia pergi ke tempat itu, didapatinya Mu­hammad saw. sedang duduk seorang diri. Didekatinya Rasul­ullah, katanya: “Selamat pagi, wahai kawan sebangsa!” “‘Alai­kas salam, wahai shahabat”, ujar Rasulullah. Kata Abu Dzar: “Bacakanlah kepadaku hasil gubahan anda!” “la bukan sya’ir hingga dapat digubah, tetapi adalah Quran yang mulia!”, ujar Rasulullah: “Bacakan­lah kalau begitu!”, kata Abu Dzar pula. 

Maka dibaca hanlah oleh Rasulullah, sedang Abu Dzar mendengarkan dengan penuh perhatian, hingga tidak berselang lama Ia pun berseru: “Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh
“Anda dari mana, saudara sebangsa?”, tanya Rasulullah. “Dari Ghifar”, ujarnya. Maka terbukalah senyum lebar di kedua bibir Rasulullah, sementara wajahnya diliputi rasa kagum dan ta’jub.

Abu Dzar tersenyum pula, karena ia mengetahui rasa terpendam di balik rasa kagum Rasulullah. demi mendengar bahwa orang yang telah mengaku Islam di hadapannya secara terns terang itu, seorang laki-laki dari Ghifar. Ghifar adalah suatu kabilah atau suku yang tak ada taranya dalam soal menempuh jarak. Mereka jadi tamsil perbandingan dalam melakukan perjalanan yang luar biasa. Malam yang Warn dan gelap gulita tidak menjadi soal bagi mereka,,dan celakalah orang yang kesasar atau jatuh ke tangan kaum Ghifar di waktu malam!

sekarang, di kala Agama Islam yang baru saja lahir. dan berjalan sembunyi-sembunyi, mungkinkah ada di antara orang‑ orang Ghifar itu seorang yang sengaja datang untuk masuk Islam? 

Berkatalah Abu Dzar dalam menceritakan sendiri kisah itu: “Maka pandangan Rasulullah pun turun naik, tak putus ta’jub memikirkan tabi’at orang-orang Ghifar, lalu sabdanya: Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada siapa yang disukai-Nya …! Benar, Allah menunjuki siapa yang la kehendaki! Abu Dzar salah seorang yang dikehendaki Allah beroleh petunjuk, orang yang dipilih-Nya akan mendapat kebaikan.

Dan memang, Abu Dzar ini seorang yang tajam pengamatan­nya tentang kebenaran. Menurut riwayat, ia termasuk salah seorang yang menentang pemujaan berhala di zaman jahiliyah, mempunyai kepercayaan akan Ketuhanan serta iman kepada Tuhan Yang Maha Besar lagi Maha Pencipta.

Demikianlah, baru saja ia mendengar bangkitnya seorang Nabi yang mencela berhala serta pemuja-pemujanya dan menyeru kepada Allah Yang Maha Esa lagi Perkasa, maka ia pun menyiap­kan bekal dan segera mengayunkan langkahnya. Abu Dzar telah masuk Islam tanpa ditunda-tunda lagi . Urutannya di kalangan Muslimin adalah yang kelima atau ke­enam. Jadi ia telah memeluk Agama itu pada hari-hari pertama, bahkan pads saat-saat pertama Agama Islam, hingga keislaman­nya termasuk dalam barisan terdepan.

Ketika ia masuk Islam, Rasulullah masih menyampaikan da’wahnya secara berbisik-bisik. Dibisikkannya kepada Abu Dzar begitu pun kepada lima orang lainnya yang telah iman kepadanya. Dan bagi Abu Dzar, tak ada yang dapat dilakukannya sekarang selain memendam keimanan itu dalam dada, lalu me­ninggalkan kota Mekah secara diam-diam dan kembali kepada kaumnya.

Tetapi Abu Dzar yang nama aslinya Jundub bin Janadah, seorang radikal dan revolusioner. Telah menjadi watak dan tabi’atnya menentang kebathilan di mana pun ia berada. Dan sekarang kebathilan itu berada di hadapannya serta disaksikannya dengan kedua matanya sendiri . . . . Batu-batu yang ditembok, yang dibentuk oleh para pemujanya, disembah oleh orang-orang yang menundukkan kepala dan merendahkan akal mereka, dan diseru mereka dengan ucapan yang muluk: Inilah kami, kami datang demi mengikuti titahmu!

Memang, ia melihat Rasulullah memilih cara bisik-bisik pada hari-hari tersebut, tetapi tak dapat tidak harus ada suatu teriakan keras yang akan dikumandangkan pemberontak ulung ini sebelum ia pergi. 

Baru Baja masuk Islam, ia telah menghadap­kan pertanyaan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, apa yang harus saya kerjakan menurut anda?” “Kembalilah kepada kaummu sampai ada perintah­ku nanti!”‘ ujar Rasulullah. “Demi Tuhan yang menguasai nyawaku’ , kata Abu Dzar pula, “saya takkan kembali sebelum meneriakkan Islam dalam masjid!”

Bukankah telah saya katakan kepada kalian … ?
Jiwa yang radikal dan revolusioner! Apakah Abu Dzar pada saat terbukanya alam baru secara gamblang, yang jelas terlukis pada pribadi Rasulullah yang diimaninya, serta da’wah yang uraiannya disampaikan dengan lisannya . .., apakah pada saat seperti itu ia mampu kembali kepada keluarganya dalam keadaan membisu seribu bahasa? Sungguh, hal itu di luar ke­sanggupan dan kemampuannya!

Abu Dzar pergi menuju Masjidil Haram dan menyerukan dengan sekeras-kerasnya suaranya: “Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah “. 

Setahu kita, teriakan ini merupakan teriakan pertama tentang Agama Islam yang menentang kesombongan orang-orang Quraisy dan memekakkan anak telinga mereka …. diserukan oleh seorang perantau asing, yang di Mekah tidak mempunyai bangsa, sanak keluarga maupun pembela. 

Dan sebagai akibatnya, ia mendapat perlakuan dari mereka yang sebetulnya telah dimaklumi akan ditemuinya .. . Orang-orang musyrik mengepung dan memukulnya hingga rubuh. 

Berita mengenai peristiwa yang dialami Abu Dzar itu akhir­nya sampai juga kepada paman Nabi, Abbas. la segera men­datangi tempat terjadinya peristiwa tersebut, tapi dirasanya ia tak dapat melepaskan Abu Dzar dari cengkeraman mereka kecuali dengan menggunakan diplomasi halus, maka katanya kepada mereka: “Wahai kaum Quraisy! Anda semua adalah bangsa pedagang yang mau tak mau akan lewat di kampung Bani Ghifar. Dan orang ini salah seorang warganya, bila ia ber­tindak akan dapat menghasut kaumnya untuk merampok kafilah­ – kafilahmu nanti!” Mereka pun sama menyadari hal itu, lalu pergi meninggalkannya.

Tetapi Abu Dzar yang telah mengenyam manisnya penderita­an dalam membela Agama Allah, tak hendak meninggalkan Mekah sebelum berhasil memperoleh tambahan dari darma baktinya. Demikianlah pada hari berikutnya, tampak olehnya dua orang wanita sedang thawaf keliling berhala-berhala Usaf dan Na-ilah sambil memohon padanya. Abu Dzar segera berdiri menghadangnya, lalu di hadapan mereka berhala-berhala itu dihina sejadi-jadinya. Kedua wanita itu memekik berteriak, hingga orang-orang gempar dan berdatangan laksana belalang, lalu menghujani Abu Dzar dengan pukulan hingga tak sadarkan diri. 

Ketika ia siuman, maka yang diserunya tiada lain hanyalah “bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah, dan bahwa Muham­mad itu utusan Allah”.

Maklumlah sudah Rasulullah saw. akan watak dan tabi’at murid barunya yang ulung ini serta keberaniannya yang me­nakjubkan dalam melawan kebathilan. Hanya sayang saatnya belum lagi tiba, maka diulanginyalah perintah agar din pulang, sampai bila telah didengarnya nanti Islam lahir secara terang‑ terangan, ia dapat kembali dan turut mengambil bagian dalam percaturan dan aneka peristiwanya .

Abu Dzar kembali mendapatkan keluarga serta kaumnya dan menceritakan kepada mereka tentang Nabi yang barn diutus Allah, yang menyeru agar mengabdi kepada Allah Yang Maha Esa dan membimbing mereka supaya berakhlaq mulia. seorang demi seorang kaumnya masuk Islam. Bahkan usahanya tidak terbatas pada kaumnya semata, tapi dilanjutkannya pada suku lain — yaitu suku Aslam — di tengah-tengah mereka ia pancarkan cahaya Islam ….

Hari-hari berlalu mengikuti peredaran masa, Rasulullah telah hijrah ke Madinah dan menetap di sana bersama Kaum Muslimin. 

Pada suatu hari, satu barisan panjang yang terdiri atas para pengendara dan pejalan kaki menuju pinggiran kota, meninggalkan kepulan debu di belakang mereka. Kalau bukanlah bunyi suara takbir mereka yang gemuruh, tentulah.yang melihat akan menyangka mereka itu suatu pasukan tentara musyrik yang hendak menyerang kota. Rombongan besar itu semakin dekat . . . lalu masuk ke dalam. kota … dan menujukan langkah mereka ke masjid Rasul­ullah dan tempat kediamannya. Ternyata rombongan itu tiada lain dari kabilah-kabilah Ghifar dan Aslam yang dikerahkan semuanya oleh Abu Dzar dan tanpa kecuali telah masuk Islam; laki-laki, perempuan, orang tua, remaja dan anak-anak.

Sudah selayaknyalah Rasulullah semakin ta’jub dan kagum! Belum lama berselang, ia ta’jub ada seorang laki-laki dari Ghifar yang menyatakan keislaman di hadapannya. Sabdanya menun­jukkan keta’juban itu:
Sungguh, Allah memberi hidayah kepada siapa yang di­kehendaki-Nya. 

Maka sekarang yang datang itu adalah seluruh warga Ghifar yang menyatakan keislaman mereka. Setelah beberapa tahun lamanya mereka menganut Agama itu, semenjak mereka diberi hidayah Allah di tangan Abu Dzar. Dan ikut pula bersama mereka suku Aslam.

Raksasa garong dan komplotan syetan telah beralih rupa menjadi raksasa kebajikan dan pendukung kebenar­an! 

Nah, tidakkah sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya?
Rasulullah melayangkan pandangannya kepada wajah-wajah yang berseri-seri, pandangan yang diliputi rasa haru dan cinta kasih. Sambil menoleh kepada suku Ghifar, ia bersabda: Suku Ghifar telah di-ghafar — diampuni — oleh Allah. Kemudian sambil menghadap kepada suku Aslam, sabdanya pula : Suku Aslam telah disalam — diterima dengan damai oleh Allah.


Dan mengenai Abu Dzar, muballigh ulung yang berjiwa,bebas dan bercita-cita mulia itu, tidakkah Rasulullah akan menyampaikan ucapan istimewa kepadanya?  Tidak pelik lagi, pastilah ganjarannya tidak terhingga, serta – ucapan kepadanya dipenuhi berkah! 

Dan tentulah pada dadanya akan tersemat bintang tertinggi, begitu pun riwayat hidupnya akan penuh dengan medali. Turunan demi turunan serta generasi demi generasi akan berlalu pergi, tetapi manusia akan selalu meng­ulang-ulang apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw. mengenai Abu Dzar ini: Takkan pernah lagi dijumpai di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar
Lebih benarkah ucapannya dari Abu Dzar.

Sungguh, Rasulullah saw. bagai telah membaca hari depan shahabatnya itu, dan menyimpulkan kesemuanya pada kalimat, tersebut. 

Kebenaran yang disertai keberanian, itulah prinsip hidup Abu Dzar secara keseluruhan! Benar bathinnya, benar pula lahirnya.
Benar ‘aqidahnya, benar pula ucapannya. Ia akan menjalani hidupnya secara benar, tidak akan melakukan kekeliruan.

Dan kebenarannya itu bukanlah keutamaan yang bisu, karena bagi Abu Dzar, kebenaran yang bisu bukanlah kebenaran! Yang dikatakan benar ialah menyatakan secara ter­buka dan terus terang, yakni menyatakan yang haq dan me­nentang yang bathil, menyokong yang betul dan meniadakan yang salah. Benar itu kecintaan penuh terhadap yang haq, mengemukakan­nya secara berani dan melaksanakannya secara terpuji.
Dengan penglihatannya yang tajam, bagai menembus ke alam ghaib yang jauh tidak terjangkau atau samudera yang tidak terselami, Rasulullah saw. menampakkan segala kesusahan yang akan dialami oleh Abu Dzar sebagai akibat dari kebenaran dan ketegasannya. Maka selalu dipesankan kepadanya agar melatih diri dengan keshabaran dan tidak terburu nafsu.
Pads suatu hari Rasulullah mengemukakan kepadanya per­tanyaan berikut ini:
“Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil barang upeti untuk diri mereka pribadi?” Jawab Abu Dzar: “Demi yang telah mengutus anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedangku!” Sabda Rasulullah pula: “Maukah kamu aku beri jalan yang lebih baik dari itu . . . ? Ialah bershabar sampai kamu menemuiku “.
Tahukah anda kenapa Rasulullah mengajukan pertanyaan seperti itu? Itulah persoalan pembesar dan harta … !
Nah itulah persoalan pokok bagi Abu Dzar dan untuk itu ia harus membaktikan hidupnya, suatu kemusykilan menyangkut masyarakat ummat dan masa depan yang harus dipecahkannya!
Hal itu telah dimaklumi oleh Rasulullah, dan itulah sebabnya kepada beliau mengajukan pertanyaan seperti demikian, yaitu untuk membekalinya dengan nasihat yang amat berharga: “Ber­shabarlah sampai kamu menemuiku”.
Maka Abu Dzar akan selalu ingat kepada wasiat guru dan Rasul ini. Ia tiadalah akan menggunakan ketajaman pedang terhadap para pembesar yang mengaut kekayaan dari harta rakyat sebagai ancamannya dulu . . . , tetapi juga ia tidak akan bungkam atau berdiam diri walau agak sesaat pun terhadap mereka!
Memang, seandainya Rasulullah saw. melarangnya meng­gunakan senjata untuk menebas leher mereka, tetapi beliau tidak melarangnya menggunakan lidah yang tajam demi mem­bela kebenaran. Dan wasiat itu akan dilaksanakannya … !
Masa Rasulullah berlalulah sudah, disusul kemudian oleh masa. Abu Bakar, kemudian masa Umar. Dalam kedua Khilafah ini masih dapat dijinakkan sebaik-baiknya godaan hidup dan unsur-unsur fitnah pemecah belah, hingga nafsu angkara yang haus dahaga tidak beroleh angin atau mendapatkan jalan.
Ketika itu tidak terdapat penyelewengan-penyelewengan yang akan mengakibatkan Abu Dzar bangkit menentang dengan suaranya yang lantang dan kecamannya yang pedas. Telah lama berlaku dalam pemerintahan Amirul Mu’minin Umar keharusan hidup sederhana dan menjauhi kemewahan serta menegakkan keadilan bagi setiap pejabat dan pembesar Islam. Begitu pun para hartawan di mana mereka berada, telah melaksanakan disiplin ketat yang hampir saja tidak terpikul oleh kemampuan manusia.
Tiada seorang pun di antara pejabatnya, baik di Irak, di Syria, Shan’a, atau di negeri yang jauh letaknya sekalipun, yang memakan panganan mahal yang tidak terjangkau oleh rakyat biasa, kecuali selang beberapa hari berita itu akan sampai kepada Umar dan perintah keras pun akan memanggil pejabat yang bersangkutan menghadap Khalifah di Madinah untuk menjalani Pemeriksaan ketat.
Akan tenanglah Abu Dzar kalau demikian … tenteram dan damai, selama al-Faruqul ‘adhim’) masih menjabat Amirul Mu’- minin . . . . Dan selama Abu Dzar dalam kehidupannya tidak diganggu oleh kepincangan-kepincangan seperti penumpukan harta dan penyalahgunaan kekuasaan, maka dengan pengawasan Umar ibnul Khatthab yang ketat terhadap fihak penguasa dan pembagian yang merata terhadap harta, berarti telah memberikan kepuasan dan kelegaan kepada dirinya …. Dan dengan demi­kian dapatlah ia memusatkan perhatiannya dalam beribadat kepada Allah penciptanya dan berjihad di jalan-Nya, tanpa sedikit pun hendak berdiam diri jika melihat kesalahan-kesalahan di sana-sini, yang ketika itu memang jarang terjadi ….
Akan tetapi setelah khalifah besar yang teramat adil dan paling mengagumkan di antara tokoh kemanusiaan telah pergi, terasa adanya kehampaan dalam kepemimpinan. Bahkan hal tersebut menimbulkan kemunduran yang tak dapat dikuasai dan dibatasi oleh tenaga manusia. Sementara itu meluasnya ajaran al-Islam ke berbagai pelosok dunia menumbuhkan ke­makmuran hidup. Orang yang tidak dapat menahan godaan dunia banyak yang terjerumus ke dalam kemewahan yang melebihi batas.
Abu Dzar melihat bahaya ini ….
Panji-panji kepentingan pribadi hampir saja menyeret dan men­depak orang-orang yang tugasnya sehari-hari menegakkan panji-­panji Allah. Dan dunia, dengan daya tarik serta tipu muslihatnya yang mempesona, hampir pula memperdayakan orang-orang yang mengemban risalah untuk mempergunakannya sebagai wadah untuk menyemai dan menanamkan kebajikan!
Dan harta yang dijadikan Allah sebagai pelayan yang harus tunduk kepada manusia, cenderung berubah rupa, menjadi tuan yang mengendalikan manusia.
Dan kepada siapa . . .?
Tiada lain kepada shahabat-shahabat Muhammad saw., yang di waktu wafatnya baju besinya sedang tergadai, sementara gundukan upeti dan harta rampasan perang bertumpuk di bawah telapak kakinya!
Hasil kekayaan bumi yang sengaja diperuntukkan Allah bagi semua ummat manusia, dengan menjadikan mereka mem­punyai hak yang sama, hampir berubah menjadi suatu keisti­mewaan dan hak monopoli bagi mereka yang terbenam dalam kemewahan.
Dan jabatan, yang merupakan amanat untuk dipertanggung­jawabkan kelak di hadapan pengadilan Ilahi, beralih menjadi alat untuk merebut kekuasaan, kekayaan dan kemewahan yang menghancur binasakan.
Abu Dzar melihat semua ini. Ia tidak memikirkan apakah itu menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya. Hanya ia langsung menghunus pedang, meletakkannya ke udara dan membedahnya. Kemudian ia bangkit berdiri dan menantang masyarakat yang telah menyimpang dari ajaran Islam dengan pedangnya yang tak pernah tumpul itu. Tetapi secepatnya bergemalah dalam kalbunya bunyi wasiat yang telah disampaikan Rasulullah ke­padanya dulu. Maka dimasukkannya kembali pedang itu. ke dalam sarungnyanya, karena tiada sepantasnya ia akan mengacung­kannya ke wajah seorang Muslim.
Dan tidak ada haq bagi seorang Mu’min untuk membunuh Mu min lainnya kecuali karena keliru (tidak sengaja).
(Q.S. 4 an-Nisa:92).
Bukankah dulu Rasulullah telah menyatakan di hadapan para shahabatnya bahwa di bawah langit ini takkan pernah lagi muncul orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar? Orang yang memiliki kemampuan seperti ini, berupa kata-kata tepat dan jitu, tidak memerlukan lagi senjata lainnya. Satu kalimat yang diucapkannya, akan lebih tajam dan banyak hasil­nya daripada pedang walau sepenuh bumi.
Maka dengan senjata kebenarannya ia akan pergi mendapat­kan para pembesar, kaum hartawan; pendeknya kepada dunia manusia yang cenderung menumpuk kekayaan yang membahaya­kan Agama, yakni Agama yang sengaja datang untuk memberi­kan bimbingan dan bukan untuk memungut upeti, sebab kenabian bukan suatu kerajaan, menjadi rahmat karunia bukan adzab sengsara, mengajarkan kerendahan hati bukan kesombong­an diri, persamaan bukan pengkastaan, kesahajaan bukan ke­serakahan, kesederhanaan bukan keborosan, kedamaian dan kebijaksanaan dalam menghadapi hidup bukan terpedaya dan mati-matian dalam mengejarnya …!
Baiklah ia pergi mendapatkan mereka semua, dan biarlah Allah menjadi Hakim di antaranya dengan mereka, dan Dialah sebaik-baik hakim!
Maka. pergilah Abu Dzar menemui pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta, dan dengan lisannya yang tajam dan benar me­rubah sikap mental mereka satu persatu. Dalam beberapa hari saja tak ubahnya ia telah menjadi panji-panji yang di bawahnya bernaung rakyat banyak dan golongan pekerja, bahkan sampai di negeri yang jauh yang penduduknya selama itu belum pernah melihatnya.
Nama Abu Dzar bagaikan terbang ke sana dan tak satu daerah pun yang dilaluinya — bahkan walau baru namanya yang sampai ke sana — menimbulkan rasa takut dan ngeri hati fihak penguasa dan golongan berharta yang berlaku curang.
Seandainya penggerak hidup sederhana ini hendak meng­ambil suatu panji bagi diri pribadi dan gerakannya, maka lambang yang akan terpampang pada panji-panji itu tiada lain dari sebuah seterika dengan baranya yang merah menyala. Sedang yang akan menjadi semboyan dan lagi yang selalu diulang-ulang­nya setiap waktu dan tempat, dan diulang-ulang Pula oleh para. pengikutnya seolah-olah suatu lagu perjuangan, ialah kalimat­ kalimat ini:
“Beritakanlah kepada Para penumpuk harta,yang menumpuk emas dan Perak,
mereka akan diseterika dengan seterika api neraka, menyeterika kening dan pinggang mereka di hari qiamat
Setiap ia mendaki bukit, menuruni lembah memasuki kota; dan setiap ia berhadapan dengan seorang pembesar, selalu kalimat itu yang menjadi buah mulutnya. Begitu pun setiap orang me­lihatnya datang berkunjung, mereka akan menyambutnya dengan ucapan: “Beritakan kepada para penumpuk harta . . .!”
Kalimat ini benar-benar telah menjadi panji-panji suatu missi yang menjadi tekad serta pendorong dalam membaktikan hidupnya, demi dilihatnya harta itu telah ditumpuk dan di­monopoli, serta jabatan disalahgunakan untuk memupuk ke­kuatan dan mengaut keuntungan; serta disaksikannya bahwa cinta dunia telah merajalela dan hampir saja melumuri hasil yang telah dicapai di tahun-tahun kerasulan, berupa keutamaan dan keshalihan, kesungguhan dan keikhlasan.
Abu Dzar menujukan sasarannya yang pertama terhadap poros utama kekuasaan dan gudang raksasa kekayaan, yaitu Syria, tempat bercokolnya Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang memerintah wilayah Islam paling subur, paling banyak hasil bumi dan paling kaya dengan barang upetinya. Mu’awiyah telah memberikan dan membagi-bagikan harta tanpa perhitungan, dengan tujuan untuk mengambil hati orang-orang terpandang dan berpengaruh, dan demi terjaminnya masa depan yang masih dirindukannya, didambakan oleh keinginannya yang luas tidak terbatas ….
Di sana tanah-tanah luas, gedung-gedung tinggi dan harta berlimpah telah menggoda sisa-sisa yang tinggal dari pemikul da’wah, maka Abu Dzar harus cepat mengatasinya, sebelum hal itu berlarut-larut, sebelum pertolongan datang terlambat hingga nasi telah menjadi bubur.
Pemimpin gerakan hidup sederhana ini pun berkemas-kemas, dan secepat kilat berangkat ke Syria. Dan demi berita itu di­dengar oleh rakyat jelata, mereka pun menyambut kedatangan­nya dengan semangat menyala penuh kerinduan, dan mengikuti ke mana perginya.
“Bicaralah, wahai Abu Dzar!” kata mereka: “bicaralah, wahai shahabat Rasulullah!” Abu Dzar melepaskan pandang menyelidik ke arah orang-orang yang berkerumun. Dilihatnya kebanyakan mereka adalah orang-orang miskin yang dalam kebutuhan. Lalu dilayangkan pandangnya ke arah tempat-tempat ketinggian yang tidak jauh letaknya dari sana, maka tampaklah olehnya gedung-gedung dan mahligai tinggi. Berserulah ia kepada orang-orang yang berhimpun sekelilingnya itu:
“Saya heran melihat orang yang tidak punya makanan di rumahnya, kenapa ia tidak mendatangi orang-orang itu dengan menghunus pedangnya!”
Tetapi segera pula teringat olehnya wasiat Rasulullah yang menyuruhnya memilih cara evolusi daripada cara revolusi, menggunakan kata-kata tandas daripada senjata pedang. Maka ditinggalkannyalah bahasa perang dan kembali menggunakan Bahasa logika dan kata-kata jitu. Diajarkannyalah kepada orang­orang itu bahwa mereka sama tak ubah bagai gigi-gigi sisir . bahwa.semua mereka berserikat dalam rizqi bahwa tak ada kelebihan seseorang dari lainnya kecuali dengan taqwa dan bahwa pemimpin serta pembesar dari suatu golongan, harus­lah yang pertama kali menderita kelaparan sebelum anak buah­nya, sebaliknya yang paling belakang menikmati kekenyangan setelah mereka … !
Dengan ucapan serta keberaniannya. Abu Dzar telah me­mutuskan untuk membentuk suatu pendapat umum di setiap negeri Islam; hingga dengan kebenaran, kekuatan dan ketang­guhannya menjadi kekangan terhadap para pembesar dan kaum hartawan, dan dapat mencegah munculnya suatu golongan yang menyalahgunakan kekuasaan atau menumpuk harta kekayaan.
Dalam beberapa hari saja daerah Syria seakan berubah men­jadi sel-sel lebah yang tiba-tiba menemukan ratu yang mereka ta’ati. Dan seandainya Abu Dzar memberikan isyarat untuk berontak, pastilah api pemberontakan akan berkobar. Tetapi sebagai telah kita katakan tadi, niatnya hanya, terbatas untuk membentuk suatu pendapat umum yang harus dihormati, dan agar ucapan-ucapannya menjadi busa bibir di tempat-tempat pertemuan, di masjid dan di jalan-jalan.
Bahaya terhadap perbedaan-perbedaan yang timbul itu mencapai puncaknya, ketika ia mengadakan dialog dengan Mu’awiyah di hadapan umum, di mana yang hadir menyampai­kan kepada yang tidak hadir dan beritanya, bagaikan terbang dibawa angin. Abu Dzar tampil sebagai orang yang paling jitu ucapannya sebagai telah dilukiskan oleh Nabi sebagai gurunya.
Dengan tidak merasa gentar dan tanpa tedeng aling-aling ditanyainya Mu’awiyah tentang kekayaannya sebelum menjadi wali negeri dan kekayaannya sekarang …. Mengenai rumah yang dihuninya di Mekah dulu, dan mahligai-mahligainya, yang ter­dapat di Syria dewasa ini . . . .
Kemudian dihadapkannya pertanyaan kepada para shahabat yang duduk di sekelilingnya, yaitu yang ikut bersama Mu’awiyah ke Syria dan telah memiliki gedung-gedung serta, tanah-tanah pertanian yang luas pula. Lalu ia berseru kepada semua yang hadir: “Apakah tuan-tuan yang sewaktu Qur’an diturunkan kepada Rasulullah, ia berada di lingkungan tuan-tuan”. Jawaban pertanyaan itu diberikannya sendiri, katanya: “Benar, kepada tuan-tuanlah al-Quran diturunkan, dan tuan-tuanlah yang telah mengalami sendiri berbagai peperangan!”
Kemudian diulangi pertanyaannya: “Tidakkah tuan-tuan jumpai dalam al-Quran ayat ini”:
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafqahkannya di jalan Allah, bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih. Yaitu ketika emas dan perak dipanaskan dalam api neraka, lalu diseterikakan ke kening, ke pinggang dan ke punggung mereka — sambil dikata­kan —. Nah, inilah dia yang kalian simpan untuk diri kalian itu, maka rasailah akibatnya!”
(Q.S. 9 at-Taubah: 24 — 35).
Mu’awiyah memotong jalan pembicaraannya, katanya: “Ayat ini diturunkan kepada Ahlul Kitab!”, “tidak!”, seru Abu Dzar; “bahkan ia diturunkan kepada kita dan kepada mereka!”
Abu Dzar melanjutkan ucapannya, menasehati Mu’awiyah dan para anak-buahnya agar melepaskan gedung, tanah serta harta kekayaan itu; dan tidak menyimpan untuk diri masing­-masing kecuali sekedar keperluan sehari-hari.
Berita tentang Abu Dzar dan soal jawab ini tersebar dari mulut ke mulut, dari orang banyak ke orang banyak. Semboyan­nya semakin nyaring terdengar di rumah-rumah dan di jalan­-jalan: “Sampaikan kepada para penumpuk harta akan seterika­seterika api neraka!”
Mu’awiyah sadar akan adanya bahaya, ia cemas akan akibat ucapan tokoh ulung ini. Tetapi ia pun mengerti akan pengaruh dan kedudukannya, hingga tidak akan melakukan hal-hal yang menyakitkannya. Hanya dengan segera ditulisnya surat kepada Khalifah Utsman r.a. menyatakan: “Abu Dzar telah merusak orang-orang di Syria!”
Sebagai jawabannya Utsman mengirim surat meminta Abu Dzar datang ke Madinah. Kembali Abu Dzar berkemas-kemas menyingsingkan kaki celananya, lalu berangkat ke Madinah. Dan pada hari keberangkatannya itu, Syria menyaksikan saat-saat perpisahan dan ucapan selamat jalan dari khalayak ramai, suatu peristiwa yang luar biasa yang belum pernah disaksikannya selama ini … !
“Aku tidak memerlukan dunia tuan-tuan . . ”
Demikianlah jawaban yang diberikan oleh Abu Dzar kepada Utsman setelah ia tiba di Madinah, yakni setelah berlangsung diskusi yang lama antara mereka. Dari pembicaraan dengan shahabatnya itu, dan berita-berita yang berdatangan kepadanya dari seluruh pelosok yang menyatakan dukungan sebagian besar rakyat terhadap pendapat Abu Dzar, Utsman menyadari sepenuh­nya bahaya gerakan ini dan kekuatannya. Dari itu ia mengambil keputusan akan membatasi langkahnya, yaitu dengan menyuruh Abu Dzar tinggal di dekatnya di Madinah.
Keputusan itu disampaikan dan ditawarkan oleh khalifah secara lunak lembut dan bijaksana, katanya: “Tinggallah di sini di sampingku! Disediakan bagimu unta yang gemuk, yang akan mengantarkan susu pagi dan sore!” “Aku tak perlu akan dunia tuan-tuan!”, ujar Abu Dzar.
Benar, ia tidak memerlukan dunia manusia karena ia termasuk golongan orang suci yang mencari kekayaan ruhani dan menjalani kehidupan untuk memberi dan bukan untuk mene­rima! Dimintanyalah kepada khalifah Utsman r.a. agar ia diberi idzin tinggal di Rabadzah, maka diperkenankannya.
Dalam hangat-hangatnya gerakan revolusi itu Abu Dzar tetap memelihara amanat Allah dan Rasul-Nya, dan meresapkan sampai ke tulang sum-sumnya nasihat yang diberikan oleh Nabi saw. agar tidak menggunakan senjata. Dan seolah-olah Rasulul­lah telah melihat semua yang ghaib; terutama mengenai Abu Dzar dan masa depannya, maka disampaikannyalah nasihat amat berharga itu.
Oleh sebab itu Abu Dzar tak hendak menyembunyikan rasa terkejutnya mendengar sebagian orang yang gemar menyalakan fitnah, telah menggunakan ucapan dan da’wahnya untuk meme­nuhi keinginan dan siasat licik mereka. Pada suatu hari sewaktu ia sedang berada di Rabadzah, datanglah perutusan dari Kufah memintanya untuk mengibarkan bendera pemberontakan ter­hadap khalifah. Maka disemburnya mereka dengan kata-kata tegas sebagai berikut:
“Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di tiang kayu yang tertinggi atau di atas bukit sekalipun, tentulah saya dengar titahnya dan saya taati, saya ber­shabar dan sadarkan diri, dan saya merasa bahwa demikian adalah yang sebaik-baiknya bagiku . . .! “
“Dan seandainya ia menyuruhku berkelana dari ujung ke ujung dunia, tentulah akan saya dengar dan taati, saya bershabar dan sadarkan diri, dan saya merasa bahwa demikian adalah yang sebaik-baiknya bagiku . . .!”
“Begitu pun jika ia meyuruhku pulang ke rumahku, tentulah akan saya dengar dan taati, saya bershabar dan sadarkan diri, dan saya merasa bahwa -demikian adalah yang sebaik-baiknya bagiku … !”
Itulah dia seorang pahlawan yang tidak menginginkan sesuatu tujuan duniawi; dan karena itu Allah melimpahinya “pandangan tembus” hingga sekali lagi ia melihat bahaya dan bencana yang tersembunyi di balik pemberontakan bersenjata maka di­jauhinya.
Sebagaimana ia telah melihat apa akibatnya bila ia membisu dan tidak buka suara yang tidak lain dari bahaya dan bencana, maka dihindarinya pula. Lalu ditariklah suaranya bukan pedangnya, menyerukan ucapan benar dan kata-kata tegas, tanpa suatu keinginan pun yang mendorong atau akibat yang akan meng­halanginya.
Abu Dzar telah mencurahkan segala tenaganya untuk me­lakukan perlawanan secara damai dan menjauhkan diri dari segala godaan kehidupan dunia. Ia akan menghabiskan sisa umurnya untuk melakukan penyelidikan yang lebih dalam tentang harta dan kekuasaan, karena keduanya mempunyai daya tarik dan pangkal fitnah yang dikhawatirkan Abu Dzar terhadap kawan-kawannya yang telah memikul panji-panji Islam bersama Rasulullah saw. dan yang harus tetap memikulnya untuk seterusnya.
Di samping itu kekuasaan dan harta merupakan urat nadi kehidupan bagi ummat dan masyarakat, hingga bila keduanya telah beres, maka nasib manusia pun akan menghadapi bahaya benar.
Abu Dzar berkeinginan agar tak seorang pun di antara shaha­bat Rasul menjadi pejabat atau pengumpul harta, tetapi hendak­lah mereka tetap menjadi pelopor kepada hidayah Allah dan pengabdi bagi-Nya. Ia telah mengenali benar tipu daya dunia dan harta ini, dan menyadari pula bahwa Abu Bakar dan Umar tak mungkin bangkit kembali. Telah pula didengarnya Nabi saw. memperingatkan shahabat-shahabatnya akan daya tarik dari jabatan ini dan dinasihatkannya:
Ini merupakan amanat, dan di hari qiamat menyebab­kan kehinaan dan penyesalan . . . , kecuali orang yang mengambilnya secara benar, dan menunaikan kewajiban yang dipikulkan kepadanya . . . “
Demikian ketatnya Abu Dzar mengenal hal ini, sampai – ­sampai ia menjauhi saudara dan handai taulannya, jika tak boleh dikatakan memutuskan hubungan dengan mereka, disebabkan mereka telah menjadi pejabat yang dengan sendirinya memiliki harta dan berkecukupan.
Pada suatu hari ia ditemui oleh Abu Musa al-Asy’ari, dan demi dilihatnya Abu Dzar, maka dibentangkan kedua tangannya sambil berseru kegirangan dengan pertemuan itu. “selamat wahai Abu Dzar . . . selamat wahai saudaraku!”; tetapi Abu Dzar menolak, katanya: “Aku bukan saudaramu lagi! Kita bersaudara dulu sebelum kamu menjadi pejabat dan gubernur!”
Demikian pula ketika pada suatu hari ia ditemui oleh Abu Hurairah yang memeluknya sambil mengueapkan selamat, Abu Dzar menolakkan dengan Langan, katanya: “Menyingkirlah daripadaku, bukankah kamu telah menjadi seorang pejabat; hingga terus-menerus mendirikan gedung, memelihara ternak dan mengusahakan pertanian!” Abu Hurairah menyanggah dengan gigih dan menolak semua desas-desus itu.
Yah, mungkin Abu Dzar bersikap keterlaluan dalam pan­dangannya terhadap harta dan kekuasaan. Tetapi ia mempunyai logika yang harus dikukuhkan dengan kebenaran dan keimanan‑ nya. Maka Abu Dzar berdiri dengan cita-cita dan karyanya, dengan fikiran dan perbuatannya, mengikuti pola yang telah dicontohkan bagi mereka oleh Rasulullah dan kedua shahabatnya Abu Bakar dan Umar
Dan seandainya sebagian orang melihat, bahwa ukuran itu terlalu ideal yang tak mungkin dapat dicapai, tetapi Abu Dzar menyaksikannya sebagai contoh nyata; yang telah menggariskan jalan hidup dan usaha, terutama bagi pribadi yang hidup di masa Rasulullah; yakni yang melakukan shalat di belakangnya, berjihad bersamanya dan telah mengambil bai’at akan patuh dan mentaatinya.
Lagi pula, sebagaimana telah kita kemukakan, dengan peng­lihatannya yang tajam ia melihat bahwa harta dan kekuasaan itu mempunyai pengaruh menentukan terhadap nasib manusia. Oleh sebab itu, setiap kebobrokan yang menimpa amanat tentang keadilan dan kekuasaan dalam soal harta, akan menimbulkan bahaya hebat yang harus segera disingkirkan!
Sepanjang hayatnya, dengan sekuat tenaga Abu; Dzar me­mikul panji contoh utama dari Rasulullah dan kedua shahabat­nya, menjadi penyangga dan sebagai orang terpercaya meme­liharanya. Dan ia menjadi maha guru dalam seni menghindarkan diri dari godaan jabatan dan harta kekayaan.
Pada suatu kali ditawarkan orang kepadanya sebuah jabatan sebagai amir di Irak, katanya: “Demi Allah, tuan-tuan takkan dapat memancingku dengan, dunia tuan-tuan itu untuk selama­lamanya!”
Kali yang lain, seorang kawan melihatnya memakai jubah usang, maka katanya: “Bukankah anda masih punya baju yang lain? Beberapa hari yang lewat saya lihat anda punya dua helai baju baru!”
Jawab Abu Dzar: “Wahai putera saudaraku! Kedua baju itu telah kuberikan kepada orang yang lebih membutuhkannya dari­padaku!” Kata kawan itu pula: “Demi Allah! Anda juga mem­butuhkannya!” Menjawablah Abu Dzar: “Ampunilah ya Allah . . .! Kamu terlalu membesarkan dunia! Tidakkah kamu lihat burdah yang saya pakai ini? Dan saya punya satu lagi untuk shalat Jum’at. saya punya seekor kambing untuk diperah susu­nya, dan -seekor keledai untuk ditunggangi! Ni’mat apa lagi yang lebih besar dari yang kita miliki ini …T’
Pada suatu’hari ia duduk menyampaikan sebuah Hadits, katanya:
“Aku diberi wasiat oleh junjunganku dengan tujuh per­kara: Disuruhnya aku agar menyantuni orang-orang miskin dan mendekatkan diri kepada mereka. Disuruh­nya aku melihat kepada orang yang di bawahku dan bukan kepada orang yang di atasku . . . . Disuruhnya aku agar tidak meminta sesuatu kepada orang lain …. Disuruhnya aku agar menghubungkan tali shilaturahmi …. Disuruh­nya aku mengatakan yang haq walaupun pahit . . . . Disuruhnya aku agar dalam menjalankan Agama Allah, tidak takut celaan orang. Dan disuruhnya agar memper­banyak menyebut: “Las hauls walaa quwwata illaa billah ” ‘
Sungguh, ia hidup menjalani wasiat itu, dan ditempanya corak hidupnya sesuai dengan wasiat itu, hingga ia pun menjadi hati nurani masyarakat dari ummat dan bangsanya. Berkata Imam Ali: “Tak seorang pun tinggal sekarang ini yang tidak memperdulikan celaan orang dalam menegakkan Agama Allah, kecuali Abu Dzar … ! “
Hidupnya dibaktikan untuk menentang penyalahgunaan kekuasaan dan penumpukan harta!
Untuk Menjatuhkan yang salah dan menegakkan yang benar! Mengambil alih tanggung jawab untuk menyampaikan nasihat dan per­ingatan!
Mereka larang ia memberikan fatwa, tapi suaranya bertambah lantang, katanya kepada yang melarang itu:
“Demi Tuhan yang nyawaku berada di tangan-Nya! Seandainya tuan-tuan menaruh pedang di atas pundakku, sedang menurut rasa hatiku masih ada kesempatan untuk menyampaikan ucapan Rasulullah yang kudengar dari­padanya, pastilah akan kusampaikan juga sebelum tuan­-tuan menebas batang leherku … !”
Wahai …. kenapa Kaum Muslimin tak hendak mendengar­kan nasihat dan tutur katanya waktu itu – – .! Seandainya mereka dengarkan, pastilah fitnah yang berkobar dan berlarut-larut; yang menjerumuskan pemerintah dan masyarakat Islam pada bahaya, padam dan mati dalam kandungan ….
Sekarang Abu Dzar sedang menghadapi sakaratul maut di Rabadzah . . . , suatu tempat yang dipilihnya sebagai tempat kediaman setelah terjadi perbedaan pendapat dengan Utsman r.a. Nah, marilah kita mendapatkannya, untuk melepas kepergian orang besar ini, dan menyaksikan akhir kesudahan dari kehidup­annya yang luar biasa!
Seorang perempuan kurus yang berkulit kemerah-merahan dan duduk dekatnya menangis. Perempuan itu adalah isterinya. Abu Dzar bertanya kepadanya: “Apa yang kamu tangiskan padahal maut itu pasti datang?” Jawabnya: “karena anda akan meninggal, padahal pada kita tak ada kain untuk kafanmu! “
Abu Dzar tersenyum dengan amat ramah — seperti halnya orang yang hendak merantau jauh — lalu berkata kepada isterinya itu:
“Janganlah menangis! Pada suatu hari, ketika saya berada di sisi Rasulullah bersama beberapa orang shahabatnya, saya dengar beliau bersabda: “Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang akan meninggal di padang pasir liar, yang akan disaksikan nanti oJeh serombongan orang-orang beriman – . .!”
Semua yang ada di Majlis Rasulullah itu telah meninggal di kampung dan di hadapan jama’ah Kaum Muslimin, tak ada lagi yang masih hidup di antara mereka kecuali daku . . . . Nah, inilah daku sekarang menghadapi maut di padang pasir, maka perhatikanlah olehmu jalan . . . . siapa tabu kalau-kalau rombongan orang-orang beriman itu sudah datang! Demi Allah saya tidak bohong, dan tidak pula dibohongi!”
Dan ruhnya pun kembali ke hadlirat Allah …. Dan benarlah, tidak salah ….
Kafilah yang sedang berjalan cepat di padang sahara itu terdiri atas rombongan Kaum Mu’minin yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas’ud, shahabat Rasulullah saw. Dan sebelum sampai ke tempat tujuan, Ibnu Mas’ud telah melihat sesosok tubuh; sesosok tubuh yang terbujur seperti tubuh mayat, sedang di sisinya seorang wanita tua dengan seorang anak, kedua-duanya menangis.
Dibelokkannya kekang kendaraan ke tempat itu, diikuti dari belakang oleh anggota rombongan. Dan demi pandangannya jatuh ke tubuh mayat, tampak olehnya wajah shahabatnya; saudaranya seagama dan saudaranya dalam membela Agama Allah, yakni Abu Dzar. Air matanya mengucur lebat, clan di hadapan tubuh mayat yang suci itu ia berkata:
“Benarlah ucapan Rasulullah ….
Anda berjalan sebatang kara ….
mati sebatang kara ….
dan dibangkitkan nanti sebatang kara . . .
Ibnu Mas’ud r.a. pun duduklah, lalu diceiitakan kepada para shahabatnya maksud dari pujian yang diucapkannya itu: “Anda berjalan seorang diri, mati seorang diri dan dibangkitkan nanti seorang diri!
Ucapan itu terjadi di waktu perang Tabuk tahun kesembilan Hijrah . . . . Rasulullah saw. telah menitahkan untuk maju me­mapak dan menghadang pasukan Romawi yang telah berkumpul di suatu tempat, telah siap perang akan menggempur ummat Islam.
Kebetulan waktu Nabi menyerukan Kaum Muslimin untuk berjihad itu, di saat musim susah dan panas terik. Tempat yang akan dituju jaraknya amat jauh, sedang musuh menakutkan pula. Sebagian Kaum Muslimin ada yang enggan ikut serta karena berbagai alasan.
Rasulullah dan para shahabatnya berangkatlah diikuti oleh sebahagian orang setengah terpaksa karena enggan. Dan ber­tambah jauh perjalanan mereka, bertambah pula kesulitan dan kesusahan yang diderita.
Bila ada orang yang tertinggal di belakang, mereka berkata: “Wahai Rasulullah! si anu telah tertinggal”. Maka ujarnya:
“Biarkanlah! Andainya ia berguna, tentu akan disusulkan oleh Allah pada kalian. Dan andainya tidak, maka Allah telah membebaskan kalian daripadanya!”
Pada suatu kali, mereka melihat berkeliling, kiranya tiada tampak oleh mereka Abu Dzar. Maka kata mereka kepada Rasulullah saw.: “Abu Dzar telah tertinggal, keledainya me­nyebabkan ia terlambat”. Rasulullah mengulangi jawabannya tadi.
Keledai Abu Dzar memang telah amat lelah disebabkan lapar dan haus serta terik matahari, hingga langkahnya menjadi gontai. Ada dicobanya dengan berbagai akal menghalaunya agar berjalan cepat, tetapi kelelahan bagai merantai kakinya.
Abu Dzar merasa bahwa jika demikian ia akan ketinggalan jauh dari Kaum Muslimin hingga tak dapat mengikuti jejak mereka. Maka ia pun turun dari punggung kendaraannya, di­ambilnya barang-barang dan dipikul di atas punggungnya, lalu diteruskannya perjalanan dengan berjalan kaki. Dipercepatlah langkahnya di tengah-tengah padang pasir yang panas bagai menyala itu, agar dapat menyusul Rasulullah saw. dan para shahabatnya.
Di waktu pagi, ketika Kaum Muslimin telah menurunkan barang-barang mereka untuk beristirahat, tiba-tiba salah seorang dari anggota rombongan melihat dari kejauhan debu naik ke atas, sedang di belakangnya kelihatan sosok tubuh seorang laki­laki yang mempercepat langkahnya.
“Wahai Rasulullah!” kata orang yang melihat itu, “itu ada seorang laki-laki berjalan seorang diri!” Ujar Rasulullah saw.: “Mudah-mudahan orang itu Abu Dzar … !” Mereka melanjutkan pembicaraan sambil menunggu pendatang itu selesai menempuh jarak yang memisahkan mereka, di saat mana mereka akan mengetahui siapa dia.
Musafir mulia itu mendekati mereka secara lambat, langkah­nya bagai disentakkan dari pasir lembut yang membara, semen­tara beban di punggung bagai menggantungi tubuhnya. Namun ia tetap gembira penuh harapan, karena berhasil menyusul kafilah yang dilingkungi barkah, dan tidak ketinggalan dari Rasulullah saw. dan saudara-saudaranya seperjuangan ….
Setelah ia sampai dekat rombongan, seorang berseru: “Wahai Rasulullah! demi Allah ia Abu Dzar”. Sementara itu Abu Dzar menujukan langkahnya ke arah Rasulullah. Dan demi Rasulullah melihatnya, tersungginglah senyuman di kedua bibir beliau, sebuah senyuman yang penuh santun dan belas kasihan, sab­danya:
“Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya
kepada Abu Dzar … !
Ia berjalan sebatang kara ….
Meninggal sebatang kara ….
Dan dibangkitkan nanti sebatang kara ….
Setelah berlalu masa dua puluh tahun atau lebih dari hari yang kits sebutkan tadi, Abu Dzar wafat di padang pasir Raba­dzah sebatang kara . . . , Setelah sebatang kara pula ia menempuh hidup yang luar biasa yang tak seorang pun dapat menyamainya. Dan dalam lembaran sejarah, ia muncul sebatang kara — yakni orang satu-satunya — baik dalam keagungan zuhud maupun keluhuran cita . . . , dan kemudian di sisi Allah ia akan dibangkit­kan nanti sebagai tokoh satu-satunya pula, karena dengan tum­pukan jasa-jasanya yang tidak terpemadai banyaknya, tak ada lowongan bagi orang lain untuk berdampingan …

ABU DHAR AL-GHIFAARIY
The Leader of Opposition and an Enemy of Wealth

Cheerfully and happily did he turn toward Makkah. Indeed, the difficulty of his journey and the hard, burning desert sand made him suffer pain. However, the goal he was striving to reach made him forget his pain and filled his soul with joy and delight.

He entered Makkah disguised as one of those who came to circumambulate the great idols of the Sacred House of the Ka'bah or as a passer-by who had lost his way or who had traveled far and sought provision and shelter.

If the inhabitants of Makkah knew that he had come to search for Muhammad (PBUH) and to listen to him, they would cut him into pieces. He did not fear being cut up piece by piece, but not before meeting the person he had crossed the hot burning deserts to see and for whose sake afterwards he was willing to risk his life because he believed in him and was convinced of his honesty and the truth of his message.

He went about secretly gathering information and whenever he heard someone speaking about Muhammad (PBUH), he carefully approached him until he was finally able to compile all the scattered pieces of information which he had heard here and there. Finally, he was guided to the place where he was able to see Muhammad (PBUH).

One morning he went there and found the Prophet (PBUH) sitting alone. He approached him and said, "O my Arab brother, good morning." Thereupon the Prophet replied, "And may peace be upon you, my brother." Abu Dhar then said, "Sing to me some of what you are saying." The Prophet (PBUH) answered, "It isn't a poem to be sung, but a Holy Qur'aan." Abu Dhar said, "Then recite for me."

The Prophet (PBUH) recited to him while he listened. It was not long until Abu Dhar shouted, "I bear witness that there is no god but Allah and that Muhammad is His Prophet (PBUH) and Messenger." The Prophet (PBUH) asked him, "Where are you from, my Arab brother?" Abu Dhar answered, "From Ghifaar." A broad smile appeared on the Prophet's lips (PBUH) and his face was filled with wonder and astonishment.

However, Abu Dhar was also smiling, for he knew well that the reason behind the Prophet's astonishment was because the man who had just embraced Islam in front of him was from Ghifaar. Ghifaar was a tribe with a notorious reputation for highway robbery. Its people were famous for theft and were known as allies of darkness and night. Woe to him who fell into their hinds on a dark night! Was it possible that one of them would embrace Islam while it was still a new, secret religion? Narrating the story himself, Abu Dhar said: The Prophet (PBUH) lifted his eyes out of astonishment, due to Ghifaar's reputation. Then he said, "Allah guides whom He wills." Indeed, Allah guides whom He wills.

Abu Dhar (May Allah be pleased with him) was one of those whom Allah wanted to be rightly guided and for whom He wanted the best. His insight was always directed towards truth. It has been narrated that he worshiped Allah during the period of Jaahiliyah, which means that he revolted against the worship of idols and turned towards the belief in One Great Creator.

Therefore, he had hardly heard about the appearance of a prophet rejecting idols and their worship and calling to the worship of Allah, the One, the Sublime, the Vanquisher, when he immediately set out and quickened his steps to meet this new Messenger of Allah (PBUH).

Immediately, without hesitation, he embraced Islam. His order among the converts was fifth or sixth, which means that he converted during the first days, if not the first hours, of Islam. His conversion was indeed very early.

When he embraced Islam the Prophet (PBUH) was till secretly whispering the call to Islam to himself and to the five who believed in him. Abu Dhar could not do anything except carry his faith within his heart, secretly leaving Makkah and returning to his people.

However, Abu Dhar - his real name was Jundub lbn Janaadah - had a restless and agitated temper. He had been created to revolt against falsehood wherever it existed. Now he saw falsehood with his own eyes as lifeless rocks piled upon each other. The birth of their worship was long before his existence: minds and foreheads bowed down in front of them and people calling to them saying, "At your service, at your service!"

It is true that he saw the Prophet's preference to whisper in those days, but he wished that a loud shout declaring Islam publicly be made by the venerable and honorable followers before his departure. Immediately after embracing Islam, he turned to the Prophet (PBUH) with the following question: "O Messenger of Allah, what is it that you order me?" The Prophet (PBUH) replied, "Go back to your kin until my order reaches you." Abu Dhar said, "In the name of the One Who owns my soul between His hands, I am not going back until I cry out loudly declaring Islam within the mosque!"

Did I not tell you? His temper was restless and agitated. At the same moment when Abu Dhar discovered a totally new world, a wonderful new world represented by the Prophet (PBUH) whom he believed in and by the call which he became acquainted with by the Prophet's tongue, at that same moment he was asked to return silently to his kin. ! that possible? It was beyond his ability.

Hereupon, he entered the Sacred House and cried out as loud as he could, "I bear witness that there is no god but Allah and that Muhammad is His Messenger!" As far as we know, it was the first public pronouncement declaring Islam and challenging the arrogance of the Quraish which reached their ears. It was cried out by a stranger who did not have any relatives, reputation, or protection in Makkah.

He acted out of his own dedication and courage even though he knew what was going to happen. He was surrounded by the polytheists, who hit him till he fell down. This news reached Al `Abbaas, the Prophet's uncle. He came quickly but could not rescue Abu Dhar! except by a clever trick. Thus he told them, "O you Quraish! You are merchants and your routcrosses over Ghifaar and this man here is one of their tribesmen. Beware, he may incite his kin against you, provoking them to rob your caravans while passing by." They came back to their senses and left him alone.

Having tasted the sweetness of being hurt in the cause of Allah, Abu Dhar did not want to leave Makkah without being given more. So, on the next day, or perhaps on the same day, Abu Dhar encountered two women circling around two idols (Usaaf and Naa'ilah) and calling upon them. He stood in front of them rudely disgracing their idols. The women shouted loudly, and men hastened as fast as lightening, immediately hitting him until he fell down unconscious. When he regained consciousness he shouted again that there is no god but Allah and Muhammed (PBUH) is His Messenger.

The Prophet (PBUH) realized the nature of his new disciple and his amazing ability to encounter falsehood. However, the time for public declaration of the message had not yet come, so again he ordered Abu Dhar to go back to his kin and whenever he heard the announcement of the new religion, he would play his role.

Abu Dhar returned to his kin and tribe, telling them about the Prophet (PBUH) who called people to worship only Allah and who guided them to noble manners. His people embraced Islam one by one. Bani Ghifaar alone did not suffice him; he turned to Bani Aslim, to spread his lights there. Time passed and the Prophet (PBUH) emigrated to Al Madiinah and there, together with Muslims, he settled down.

One day the city welcomed long lines of people on horseback and on foot. Their feet made a great noise. Were it not for their loud shout "Allah is the Greatest", the viewer would have thought it was an attacking polytheist army. The great parade approached and entered Al-Madiinah. Their destination was the Prophet's (PBUH) Mosque. The parade consisted of two tribes, Bani Ghifaar and Bani Aslim. Abu Dhar made them come as Muslims, all of them: men, women, elderly, youth, and even the children! No doubt, the Prophet's wonder and astonishment increased. In the distant past he had been very astonished when he witnessed one of the tribe of Ghifaar his embracement of Islam, and he had expressed on that day his wonder saying, "Allah guides whom He wills."

But now, the whole tribe had come after already becoming Muslim. It had lived several years under the banner of Islam since Allah guided it by means of Abu Dhar. Now it had come together with Bani Aslim.

The former allies of the devil, the notorious highwaymen, had become the allies of truth and great men of good deeds.

Is it not true that Allah guides whom He pleases? The Prophet (PBUH) looked at their kind faces with eyes full of joy, tenderness, and love. He looked at Bani Ghifaar and said, "May Allah forgive Ghifaar." Then he turned to Bani Aslim and said, "May Allah make peace with Aslim."

Abu Dhar, this magnificent propogator of Islam who was obstinate, unyielding, and difficult to be defeated: was the Prophet (PBUH) not going to salute him with a special greeting? Indeed, his reward was going to be abundant and his greeting blessed. He was going to carry on his chest- but also his history was going to carry - the highest, most honorable, and most respectable medals. Generations and centuries will pass away, but the Prophet's opinion about Abu Dhar will always stay alive in people's memory: "The earth never carried above it, nor did the sky ever shade under it a more truthful tongue than Abu Dhar's".

The Prophet (PBUH) determined his Companion's future and summed up his whole life in those simple words.

Bold and daring truthfulness was the essence of Abu Dhar's whole life. Truthfulness of his inner soul as well as his appearance. Truthfulness of his faith as well as his tongue. All his life he was truthful. Neither deceiving himself or anyone else, nor allowing anyone to deceive him.

His truthfulness was not mute merit. According to Abu Dhar, truthfulness is never silent. Truthfulness is equivalent to openness and publicity, publicity of truth and challenge to falsehood, support of right and refutation of wrong. Truthfulness is a reasonable ally to truth and a courageous expression of it; both quicken their pace.

The Prophet (PBUH) could see with his unmistaken insight- across remote distances and the far unknown future - all the different difficulties Abu Dhar had to face due to his truthfulness and firmness. He therefore was always ordering him to let patience and deliberateness be his manner. The Prophet once asked him, "O Abu Dhar! What would you do if you witnessed a time when commanders monopolize the war booty?" He replied, "I swear by Allah Who sent you with the truth, I would strike them with my sword!" The Prophet (PBUH) said to him, "Shall I guide you to what is better? Be patient till you meet me."

Why did the Prophet (PBUH) ask him this specific question? Commanders, money? It was the cause Abu Dhar was going to devote his life to and the problem he was to encounter with society in the future.

The Prophet (PBUH) knew it; therefore he asked him this question in order to provide him with this precious advice: "Be patient till you meet me."

Abu Dhar kept his teacher and Prophet's instruction unforgotten. Therefore, he did not carry a sword against those commanders who enriched themselves by taking what was the public money. But also, he did not keep silent, and he did not let them rest. Indeed, although the Prophet (PBUH) had forbidden him to carry his sword against them, he did not forbid him to carry a sharp truthful tongue. And that is what he did.

The era of the Prophet (PBUH) and of Abu Bakr and `Umar passed with its complete transcendence over all worldly temptations. Even the tempted desirous and greedy souls could not find a paved and open way for their devious desires. In those days there were no deviations to be oppossed loudly by Abu Dhar's sharp words. As long as the Commander of the Faithful `Umar lived, Muslim governors, rulers, and even the wealthy, were forced to live a humble, modest, aesthetic and just life, almost beyond human capacity. No governor of the Caliph, whether in Iraq, Syria, Yemen, or anywhere else in the region, could ever eat a kind of sweet unaffordable by ordinary people without such a piece of information soon reaching Umar, who would immediately order that governor to return to Al-Madiinah, where he would face a severe punishment. Therefore, Abu Dhar lived without trouble and happily, with much inward peace, as long as `Umar was Commander of the Faithful. Nothing ever annoyed Abu Dhar more than the abuse of power and the monopoly of wealth. `Umar's firm control over power and his fair distribution of wealth allowed him tranquility and satisfaction.

It was because of this that he was able to devote himself to Allah's worship and jihaad in the cause of Allah, never keeping silent if any infringement was seen here or there, which rarely happened. However, the greatest, most just and most magnificent ruler that human beings were ever to experience left our world one day, leaving behind a tremendous gap, causing inevitable reactions beyond human expectations.

The Islamic campaigns continued, thus bringing under control more regions. At the same time, desires and longing for ambition to enjoy the comforts and luxury of life started to float to the surface. In these events, Abu Dhar saw the impending danger. The banners of personal glory were about to tempt those whose role in life was to lift the standard of Allah. Life with its false embellishments and its wild arrogance was about to tempt those whose role was to make out of life a plantation of good deeds. Money - created by Allah to be obedient to His servants for the benefit of mankind - was about to turn into a tyrant master. A master of whom? The Prophet's Companions.

The Prophet (PBUH) died with a pawned shield, although piles of war booty were under his service. The excellence of the earth created by Allah for all human beings and with their rights upon it mutually corresponding - was about to turn into a monopoly and privilege Power - a responsibility that pious people tremble at when thinking about its horrible charge in the Hereafter - turned into a means of authority, wealth, and destructive luxury.

Abu Dhar realized all that. He did not search for his duties or responsibilities, but rather took his sword, waved it in the air and set out to face his society with his unbeatable sword. But soon the echo of the Prophet's (PBUH) advice struck his heart, so he returned it to its scabbard. He remembered the Prophet (PBUH) had said he should not lift it in the face of a Muslim. "It is not lawful for a believer to kill another believer except by error " (4: 92).

His role was not to fight but to oppose. The sword was not a means of change and reformation, but the truthful, sincere, and brave word was. The fair word does not lose its path, and its consequences are not terrifying. The Prophet (PBUH) once said, while surrounded by his Companions, that the earth never carried above it, nor did the sky ever shade a more truthful tongue than Abu Dhar's. Why should someone who owns such a truthful tongue and truthful conviction need a sword?

A single word by him hit the target more than uncountable swords. Therefore, Abu Dhar was to encounter all the governors, the wealthy, and all those who worshipped the worldly life and relied upon it, thereby representing an even greater danger to the religion which came to be a guide, not a tax collector; prophethood, not dominion; mercy, not afflication; humbleness, not superiority; equality, not differentiation; satisfaction, not greed; sufficiency, not luxury and a life of ease full of temptation, with this life the only goal.

So Abu Dhar went out to face all those challenges, and Allah will judge truthfully between him and them, and Allah is the Most Just of Judges.

Abu Dhar went out to the strongholds of power and wealth, attacking them one after the other. Within a short time he became the standard around which the laborers of Islam and the masses gathered. Even in the remote districts where people had not yet met him, word about him got around and he became well known until he hardly passed through a land in which his name had not reached the ears of some the people and without crucial questions being raised which threatened the welfare and worldly interests of the powerful and wealthy.

If this honorable, rebellious Companion was to select an appropriate standard for himself and his movement, he would not find a better one than an iron, a glowing, hot, and flaming iron. Thus he turned the following words into his chant and earnest appeal, repeating them every time and every place he went. People repeated them after him as if they were an anthem: Announce to those who hoard up gold and silver, the warning of branding irons with which their foreheads and bodies will be branded in the hereafter. He never ascended a mountain or descended a valley or entered a city or faced a ruler without repeating the same words, so much so that people would always welcome him when he approached them by repeating "Announce to those who hoard up gold and silver, the warning of branding irons." This statement turned into "signature time" for his message to which he devoted his life. That was because he saw wealth being accumulated and monopolized for power and being turned into a means of supremacy and abuse. He saw an overwhelming passion for life which was about to erase all beauty, piety, devotion, and sincerity built up during the previous years of the great mission of the Messenger of Allah.

When he began his attack, he started with the most authoritative and horrible stronghold: there in Syria, where Mu`aawiyah Ibn Abi Sufyaan was ruling one of the most fertile lands in the world of Islam, granting and distributing money carelessly, thereby bestowing undeserved privileges upon people of power and rank in order to guarantee his future, a future he aspired to promote. There in Syria, the country of overwhelming palaces, country estates and fortunes which tempted the remnants of the carriers of the Islamic message, he began his attack. Abu Dhar wanted to confront the center of danger before it ruined and destroyed all Muslims.

The leader of the opposition to corrupt worldly power wore his humble gown and hastened as fast as lightning towards Syria. Ordinary people hardly heard about his arrival before they hurried to welcome him with great enthusiasm and longing desire, surrounding him wherever he would go or stay. "O Abu Dhar, please tell us... O, Companion of the Prophet (PBUH) please tell us..."

Sharp-eyed he would take a glance at the multitude around him, seeing the majority of them suffering from poverty and need. He then directed his eyes to a place not too far away where he saw many palaces and landed estates. Then he shouted to those around him, "I wonder why those who don't find something to eat don't go out holding their swords ready to fight?" Then he immediately remembered the Prophet's admonition to replace opposition and rebellion with patience, and to replace the sword with brave and daring words, abandoning the language of war and returning to logic, reason, and conviction; teaching people that they are all equal like the teeth of a comb; that they are all partners as far as the means of living are concerned; that no one is superior to another except in piety; and that their ruler should be the first to starve if the people suffer hunger and the last to satisfy his appetite if they become sated.

He decided to create by means of his words and bravery a public opinion all over the Muslim countries which would represent, through its intelligence, indomitability, and strength, a hindering force to the deviations of the rulers and the rich and wealthy, in order to hinder the appearance and spread of a power- and wealth- monopolizing class.

Within a few days, the whole of Syria turned into what resembled a bee-hive which had found its queen. If Abu Dhar would have given the slightest passing gesture of revolt, the whole of Syria would have been set on fire. But, as mentioned before, he focused his interest on creating a respectable public opinion. His words turned into the subject of conversation everywhere, inside mosques, during meetings, and even on roads. Danger increased and reached its peak for Abu Dhar, speaking about the newly acquired privileges of the rich and powerful, on the day in which be argued with Mu'aawiyah in front of the masses. Every witness of that debate told those who missed it, so that its news spread as fast as wildfire.

Abu Dhar, who possessed the most truthful tongue on earth, as the Prophet (PBUH) described him, stood up. He asked Mu'aawiyah about his wealth before and after being in power, about the house in which he was living in Makkah, and the castles he owned in Syria. Then he raised the question to the Companions who had accompanied Mu`aawiyah to Syria and were now owners of estates and castles. After that he cried to them "is it you among whom the Prophet lived when the Qur'aan was being revealed? Then he answered himself, "Yes, it is you! The Qur'aan was revealed among you. It is you who experienced with the Prophet (PBUH) all the different scenes.

Then he asked them again, "Can't you find this verse in the Book of Allah? .... and those who hoard up gold and silver, and do not expend it in the cause of GOD, announce to them a painful chastisment - On the Day when it shall be heated in the Fire of Hell, and with it their foreheads, and their bodies, and their backs shall be branded, "This is what you treasured for yourselves, so taste the evil of what you were treasuring " (9: 34-35).

However, Mu'aawiyah wanted to end the whole dispute by arguing that this verse was mentioned regarding the People of the Book (i.e. the Jews and Christians). Hereupon cried Abu Dhar, "No, it has been revealed for us all." Abu Dhar then continued his talk, advising Mu'aawiyah and his followers to give up their landed estates, castles, money, and all their possessions, and to abstain from saving for themselves more than their daily need. Through the people's assemblies, congregations, and meetireached everyone's ears.

Louder and louder was Abu Dhar's anthem to be heard everywhere: "Announce to those who hoard up gold and silver the warning of branding irons." Mu'aawiyah felt the danger of the words of the great, honorable, and rebellious Companion who terrified him. Yet Mu'aawiyah appreciated his value and did not harm him, but he immediately wrote to the Caliph `Uthmaan say Allah be pleased with him), "Abu Dhar spoils the people in Syria."

`Uthmaan sent for Abu Dhar, asking him to come to Al-Madiinah. Abu Dhar set off from Syria with kindness, affection, and honor. His farewell day was celebrated in Syria in a manner Damascus had never witnessed the like of.

"I don't need your world!" That is what Abu Dhar said to the Caliph `Uthmaan after be reached Al- Madlinah and a prolonged conversation took place between them.

After this conversation and after having heard the news coming from all different regions of the Muslim world, it was confirmed that Abu Dhar's opinions had actually agitated the multitudes, who began to crystallize around them. It was at that time that `Uthmaan began to truly realize the actual danger of Abu Dhar's opinion and its strength. He therefore decided to keep him beside him at Al- Madiinah.

`Uthmaan presented to him his decision in a very kind and friendly way. He said to him, "Stay here beside me. You will be endowed with blessings day and night." Abu Dhar then answered, "I don't need your world."

Indeed, he did not need people's world. He was one of those saints who searched for the enrichment of their soul, dedicating his life to giving, not to receiving! He asked the Caliph `Uthmaan (May Allah be pleased with him) to allow him to go out to Ar- Rabadhah, and he allowed him. Despite his fierce opposition, he stayed dose to Allah and His Prophet (PBUH) in a very honest way, always keeping within his soul the Prophet's advice never to carry a sword. It was as if the Prophet had seen the whole of Abu Dhar's destiny and future, so he bestowed upon him this precious advice.

Abu Dhar never hid his annoyance when seeing those who liked to ignite the flames of civil strife by using his words and opinions as a mean to satisfy their passionate desire and cunning deceits. One day, while in Ar-Rabadhah, a delegation from Kufa came to ask him to raise the flag of revolution against the caliph. He drove them back with decisive words: "By Allah, if `Uthmaan was to crucify me on the longest board or on a mountain, I would patiently obey, for Allah's reward would be waiting for me, and I see it to be the best for me. And if he was to force me to walk from one end of the horizon to the other, I would patiently obey, for Allah's reward would be waiting for me, and I see it to be the best for me. And if he was to force me back to my home I would patiently obey, for Allah's reward would be waiting for me, and I see it to be the best for me."


He was a man who was not interested in any worldly gain; thus he was blessed with insight by Allah. He realized again the tremendous danger involved in armed civil strife; therefore, he abstained from it. But he also realized the tremendous danger involved in silence; therefore, he abstained from it. That is why he raised his voice, not his sword, and raised the word of truth and sincerity. He was not tempted by greedy desires nor hindered by worldly obstacles.

Abu Dhar kept himself busy with and devoted himself to sincere, honest opposition. He spent his whole life focusing on the faults of power and the faults of money. Thus power and money possessed the temptation. Abu Dhar was afraid his brethren would fall into their traps - his same brethren who had carried the standard of Islam with the Prophet (PBUH) and whom he wanted to remain the carriers of the Prophet's message (PBUH).

Power and money were, furthermore, the backbone of societies and communities. If misused, the destiny of people would encounter serious and imminent danger.

Abu Dhar wished so much that the Prophet's companions would not be appointed as governors and would not collect fortunes, but would rather stay as they always had been: as spiritual guides to the right path for Allah's worshipers.

He knew well the voracity of life and the voracity of money, and he knew that the example of Abu Dhar and `Umar was never going to be repeated! How often did he hear the Prophet (PBUH) asking his Companions to be aware of the temptation of authority saying, "It's a deposition in trust, and on the Day of Resurrection it will be a shame and regret except to the one who was endowed with it justly and accomplished his duty."

Abu Dhar went so far that he avoided his brethren if he did not boycott them, for no other reason than that they had become rules and, of course, had become wealthier. Abu Muusaa Al-Ash'ariy once met him. He had hardly seen him when he stretched his arms with joy and delight shouting, "Welcome Abu Dhar! Welcome my brother!" But Abu Dhar held himself back saying, "I am not your brother; I was so before you became an administrator and governor".

In the same way, Abu Hurairah once met and embraced him in welcome, but Abu Dhar pushed him back and said, "Isn't it you who became goveror, then extended your buildings and possessed plantations and cattle?" Abu Hurairah defended himself, trying to prove his innocence and refute those rumors. It may seem that Abu Dhar had an exaggerated position towards power and wealth, but he had a logic which was shaped by his sincerity to himself and his faith. Thus, Abu Dhar stood with his dreams, deeds, behavior, and viewpoints according to the same standard the Prophet (PBUH) and his two Companions Abu Bakr and `Umar had left behind.

If some people saw that standard to be an out-of-reach ideal, Abu Dhar saw it to be an example charting the path of life and toil especially for those who had actually experienced the Prophet (PBUH), prayed behind him, taken part in jihaad with him, and sworn the oath of allegiance to him.

In addition to that - as mentioned before - his inspired intellect knew the decisive influence of power and property in determining people's destiny. Therefore, any disturbance which might afflict the trustworthiness of power or the fairness of wealth represents an imminent danger which must be resisted and opposed.

As long as he lived, Abu Dhar upheld the standard of the Prophet (PBUH) and his two Companions' good example. He was a great figure in the art of predominance over the temptation of power and wealth. The governorship of Iraq was once offered to him, but he said, "By Allah, you will never tempt me with your world."

Once, one of his companions saw him wearing an old gown and asked him, "Don't you have another 
one? I saw you a couple of days ago with two other gowns in your hands." Abu Dhar replied, "O cousin! I gave them to someone who needed them more than I do." He said to him, " By Allah, you need them!" Abu Dhar then answered, "May Allah forgive us. You glorify this life! Can't you see that I am wearing a gown? And I own another one for the congregational Friday prayer. Moreover, I own a goat which I milk and a donkey which I ride. Is there a better blessing?"

He once sat down talking to people and said, "My friend advised me to do seven things:
*He asked me to love the poor and to get closer to them.
*He asked me to look to those who are inferior and not to those who are superior.
*He asked me never to ask anyone for anything (i.e. to abstain from begging).
* He asked me to be kind to my relatives.
* He asked me to say the truth, no matter how sour it may be.
* He asked me never to be afraid of a critic's censure. 
*And he asked me to frequently say, "There is no power nor might except Allah's."

He lived according to this advice until he became a living conscience moving among his people. Imam Aliy once said, "There is no one nowadays who is nonchalant about people's criticism - as far as Allah and His rules are concerned - except Abu Dhar."

He lived opposing the abuse of power and the monopoly of property. He lived resisting all that was wrong and building all that was right. He lived devoted to the responsibility of good advice and warning. When he was hindered from spelling out his fatwaa (formal legal opinion in Islamic law), he raised his voice and said to those hindering him, "By the name of the One in Whose hands my soul is, if you put the sword to my neck and I still thought that I could carry out a word I've heard from the Prophet(PBUH) before you cut, I would carry it out."

Had the Muslims listened on that day to his advice, a lot of civil strife and turmoil would have been prevented - turmoil that reached its peak and dangers that became grave, serious, and imminent. The state, society and Muslim nation had to face all that rebellion and aggrevated, alarming danger. But then Abu Dhar was suffering the agony of death in Ar Rabadhah, the place he chose to stay inafter his disagreement with Uthmaan say Allah be pleased with him). Let us go to him to give himfarewell and let us see how the last scene of his admirable life is.

This slim dark-skinned woman sitting crying beside him is his wife. He is asking her, "Why do you cry and death is true?" She answers crying, "You are dying and I don't have a gown which suffices to be a winding sheet!!" He smiles like a passing evening glow and says to her "Calm down. Don't cry. I heard the Prophet (PBUH) once saying while I was sitting among a number of Companions "one of you will die in a desert land, and a group of the faithful will witness him." All those who were sitting with me at that assembly have died, whether in a village or among a congregation. No one is left except me, andnow I am dying in a desert land. Watch out, a group of the faithful will soon show up. By Allah, I didn'tlie in my life." He passed away. Blessed was he.

There is a caravan which sets off on a journey across the desert. It consists of a group of the faithful with `Abd Allah Ibn Mas'uud, the Prophet's Companion, at theirhead. lbn Mas'uud visualized the scene before he reached it: a scene of an out-stretched body like that of a dead person and beside him a crying woman and boy. He redirects his camel's bridle and the whole caravan follows him towards the scene. He has hardlytaken a look at the dead body, when he realizes that it is his companion brother in Islam, Abu Dhar.

His tears roll down abundantly while he stands in front of this virtuous body saying, "TheMessenger of Allah was truthful You will walk alone, die alone, and resurrect alone."lbn Mas'uud (May Allah be pleased with him) narrated the interpretation of the statement "You will walk alone, die alone, and resurrect alone," to his companions: That was in the ninth year after Hijrah, during the Battle of Tabuuk, when the Prophet, (PBUH) hadordered full preparation to meet the Romans, who had begun to carry out their conspiracies and cunningtricks against Islam.

The days in which people were asked to go out for jihaad were very hot, distressful, and hard. Thedestination was far away and the enemy terrifying.

A group of Muslims refrained from going forth, justifying their position with different apologies. The Prophet (PBUH) and his Companions went forth. The farther they went, the more exhausted andtired they became. Whenever a man stayed behind people said, "O Prophet! So-and-so stayed behind."He then said, "Let him! If he's any good, he will reach you. If he's something else, then Allah will saveyou his trouble."

One day the people turned around. They could not find Abu Dhar. They told the Prophet (PBUH) that Abu Dhar had stayed behind and his camel had slowed down. It is here that the Prophet (PBUH)repeated his first statement. Abu Dhar's camel became weaker under the severe pressure of hunger, thirst,and hot weather. It stumbled due to weakness and fatigue. Abu Dhar tried by all means to force it tomove forward, but the burden of the camel's exhaustion was too heavy.

Finally, Abu Dhar felt that he would be left behind, losing the caravan's traces. Therefore, he dismounted from his camel, took his belongings, carried them on his back, and continued his route onfoot over the burning desert sand, hurrying in order to rejoin the Prophet (PBUH) and his Companions.In the early morning, while the Muslims were stopped for a while to rest, one of them saw a cloudof dust and sand behind which the shadow of a man could be seen. The one who saw that said to theProphet (PBUH), "O Messenger of Allah, there is someone walking alone." The Prophet (PBUH) said,"It is Abu Dhar."

The Muslims continued their talk until the man crossed the remaining distance between them. Onlythen were they able to know who he was.

The respectful traveler approached little by little. Although he could only with great effort pull his feet out of the burning sand and with a lot of pain carry the heavy burden on his back, he was verydelighted to have finally reached the blessed caravan without staying behind and abandoning the Prophet(PBUH) and his Companions.

When he at last reached the caravan, someone shouted, "O Prophet, it's Abu Dhar." Abu Dharbeaded towards the Prophet (PBUH). The Prophet (PBUH) had hardly seen him, when he tenderly,kindly, and sadly smiled and said, "Allah will have mercy upon Abu Dhar. He walks alone, dies alone,and resurrects alone."

Twenty years or more had passed since then. Abu Dhar died alone in the desert of Ar-Rabadhah,having walked on a path no one else had passed over so gloriously . He is also remembered alone by history for his brave resistance and his great asceticism. Allah willalso resurrect him alone, because the multitude of his various merits will not enable anyone else to find aplace near him.


♥.¤ª"˜¨¯¨¨Abu Dzar al Ghifari o❀o Abu Dhar al Ghifaariy¸,ø¨¨"ª¤.


Categories: