acebook

Para Sahabat - The Companions
.¤ª"˜¨¯¨¨Umeir Bin Wahab oUmair Ibn Wahb¸,ø¨¨"ª¤.  
 Jagoan Quraisy
yang berbalik membela Islam yang gigih. 


Di perang Badar ia termasuk salah seorang pemimpin Quraisy yang menghunus pedangnya untuk menumpas Islam. la seorang yang tajam penglihatan dan teliti perhitungannya. Oleh karena itulah ia diutus kaumnya untuk menyelidiki jumlah Kaum Muslimin yang ikut pergi berperang dengan Rasul, dan untuk mengamat-amati apakah di belakang itu ada balabantuan atau yang masih bersembunyi ….

Umeir bin Wahab al-Jambi pun berangkatlah, dan dengan kudanya ia dapat mengamati sekeliling perkemahan pasukan Muslimin, kemudian kembalilah ia memberi laporan kepada kaumnya, bahwa kekuatan mereka kurang lebih tigaratus orang dan perkiraannya itu ternyata benar.

Lalu mereka menanyainya, apakah di belakang itu ada bala bantuan, yang dijawabnya: “Aku tidak melihat apa-apa lagi dibelakang mereka … tetapi wahai kaum Quraisy, terbayang di hadapanku pusara-pusara menganga yang menantikan jasad mereka . . . ! Mereka adalah kaum yang tidak mempunyai peranan dan perlindungan kecuali pedang mereka sandiri … ! Demi Allah, tidak mungkin salah seorang di antara mereka terbunuh, tanpa terbunuhnya seorang di antara kita sebagai imbalannya! Maka apabila jumlah kita yang tewas sama dengan jumlah mereka, kehidupan mane lagi yang lebih baik setelah itu…!” … ? Nah, cobalah kamu fikirkan baik-baik … 

Kata-kata dan buah fikirannya itu berkesan dan berpengaruh kepada sebagian di antara pemimpin-pemimpin Quraisy, dan hampir saja mereka menghimpun laki-laki mereka untuk kembali pulang ke Mekah tanpa perang, seandainya Abu Jahal tidak merusakkan fikiran tersebut. Dikobarkannyalah api kebencian ke dalam jiwa mereka, tegasnya api peperangan di mana ia sendiri tewas sebagai korbannya yang pertama …

Penduduk Mekah memberinya gelar dengan “Jagoan Qu­raisy”. Di perang Badar itu, benar-benar si Jagoan ini mendapat pukulan hebat, karena usahanya menemui kegagalan total. Orang­orang Quraisy kembali ke Mekah dengan kekuatan yang telah hancur berantakan. Umeir bin Wahab telah Pula meninggalkan darah dagingnya sendiri di Madinah . karena anaknya jatuh menjadi tawanan Kaum Muslimin ….

Pada suatu hari kebetulan ia terlibat dalam percakapan dengan pamannya Shafwan bin Umaiyah …. Shafwan ini sejak lama memendam rasa dendam dan bencinya dengan getir, karena ayahnya Umaiyah bin Khalaf menemui ajalnya tewas di perang Badar, sedang tulang belulangnya telah mendekam di sumur tua.

Shafwan dan Umeir duduk berbincang-bincang sama-sama melampiaskan kebenciannya. Marilah kita panggil ‘Urwah bin Zubeir untuk memaparkan percakapan panjang mereka kepada kita:

Kata Shafwan: “Demi Allah, tak ada lagi gunanya hidup kita setelah peristiwa itu       “‘ Dan berkata Pula Umeir: “Kau benar, dan demi Allah, kalau karena utang yang belum sempat kubayar, dan keluarga yang kukhawatirkan akan tersia-sia sepeninggalku, niscaya aku berangkat mencari Muhammad saw. untuk membunuhnya . . . !” “Aku mempunyai alasan kuat untuk berbicara dengannya, akan kukatakan, bahwa aku datang untuk membicarakan anakku yang tertawan itu”. Shafwan segera menanggapi dan katanya Pula: “Biarlah aku yang me­nanggung utangmu .. . , akan kulunasi semua dan keluargamu hidup bersama keluargaku, akan kujaga mereka seperti keluargaku!”

Maka kata Umeir lagi: “Nah, kalau begitu marilah kita simpan rahasia kita ini . . . !” Kemudian Umeir meminta pedang­nya, yang sudah disuruhnya asah dan diberi racun. Maka berang­katlah ia hingga sampai di Madinah …. Di Madinah selagi Umar bin Khatthab bercakap-cakap dengan sekelompok Muslimin tentang perang Badar dan mereka menyebut-nyebut pertolongan Allah kepada mereka, sewaktu ia menoleh, tampaklah olehnya Umeir bin Wahab yang baru saja menambatkan tunggangannya di muka mesjid, siap memperguna­kan pedangnya, maka kata Umar:

“Itu si Umeir bin Wahab anjing musuh Allah! Demi Allah, pastilah kedatangannya untuk maksud jahat . . . ! Dialah yang telah menghasut orang banyak dan mengerahkan mereka untuk memerangi kita di perang Badar … !”

Lalu Umar masuk menghadap Rasulullah saw. dan lantas berkata: “Ya Nabi Allah, itu si Umeir musuh Allah, ia telah datang siap menghunus pedangnya … !

Jawab Rasulullah saw.: “Suruhlah ia masuk menghadapku …

Umar pun pergi mengambil pedangnya dan menimang­-nimangnya di tangan, sembari mengatakan kepada orang-orang Anshar yang ada di sana, agar mereka masuk semua dan duduk dekat Rasulullah sambil mengawasi tindak tanduk bajingan itu terhadap Rasul, karena ia tidak dapat dipercaya. Lalu Umar membawa masuk Umeir menghadap Nabi, sambil membawa pedangnya yang tersandang di pundaknya, dan sewaktu hal ini dilihat oleh Rasul, beliau berkata: “Biarkanlah ia wahai Umar, dan anda wahai Umeir …. dekatlah ke mari!”

Umeir pun mendekat seraya berkata: “Selamat pagi!” suatu ucapan jahiliyah, maka jawab Nabi saw.: “Sesungguhnya Allah telah memuliakan kami dengan suatu ucapan kehormatan yang lebih baik dari ucapanmu hai Umeir, yaitu salaam . . . peng­hormatan ahli surga!”

Ujar Umeir Pula: “Demi Allah, aku masih hijau tentang hal itu!”

Tanya Rasulullah Pula: “Apa maksudmu datang ke sini, hai Umeir?” Jawabnya: “Kedatanganku ke sini sehubungan dengan tawanan yang berada di tangan anda”.

Tukas Nabi Pula: “Apa maksud pedangmu yang tersandang itu?” Jawab Umeir: “Pedang-pedang keparat! Menurut anda apakah ada manfa’atnya pedang itu bagi kami?”

Berkata Pula Rasulullah: “Berkatalah terus terang hai Umeir, apa maksud kedatanganmu yang sebenarnya?”

Ujar Umeir Pula: “Tak ada maksudku yang lain, hanyalah yang kusebutkan tadi”.

Kata Rasulullah saw. lagi: “Bukankah kamu telah duduk bersama Shafwan bin Umaiyah di atas batu, lalu kamu berbincang-bincang tentang orang-orang Quraisy yang tewas di sumur Badar, kemu­dian katamu: “Kalau bukan karena utang dan keluargaku, niscaya aku akan pergi membunuh Muhammad. Lalu Shafwan menjamin akan membayar utangmu dan menanggung keluarga­mu, asal kamu membunuhku, padahal Allah telah menjadi penghalang bagi maksudmu itu . . . !”

Waktu itu berserulah Umeir: “Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu annaka Rasulullah . . . . Urusan ini tak ada yang menghadirinya selain aku dengan Shafwan saja. Demi Allah, tak ada yang memberi kabar kepadamu selain Allah! Maka puji syukur kepada Allah yang telah menunjuki aku kepada Islam!” Maka berkatalah Rasulullah kepada shahabat-shahabatnya: “Ajarilah saudaramu ini soal Agama, bacakan kepadanya al­Quran dan bebaskanlah tawanan itu serta serahkanlah ke­padanya!” Begitulah Umeir bin Wahab masuk Islam ….

Dan dernikianlah masuk Islamnya Jagoan Quraisy! Ia telah diliputi oleh nur Rasul dan nur Islam seluruhnya, hingga tiba-tiba dalam sekajap saat ia telah berbalik menjadi pembela Islam yang gigih. Berkatalah Umar bin Khatthab r.a.: “Demi Allah yang diriku di Tangan-Nya! Sesungguhnya aku lebih suka melihat babi daripada si Umeir sewaktu mula-mula muncul di hadapan kita . . . ! Tetapi sekarang aku lebih suka kepadanya daripada sebagian anakku sendiri …

Umeir duduk merenungkan dengan mendalam toleransi atau kelapangan dada dan sifat pema’af Agama ini serta kebesaran Rasul-Nya. Ia teringat akan masa-masa. silamnya di Mekah, sewaktu ia merencanakan tipu muslihat busuk dan memerangi Islam, yakni sebelum hijrah Rasul dan shahabat-shahabatnya ke Madinah. Kemudian ia teringat Pula usaha dan perjuangannya di pedang Badar . . . . Dan kini, ia datang dengan menimang­-nimang pedang di tangan.hendak membunuh Rasul. Dan semua itu dengan sekejap mata habis dikikis dengan ucapannya: “La ilaha illallah, Muhammadur-Rasulullah Alangkah pema’af dan sucinya, serta teguhnya kepercayaan diri, ajaran yang dibawa oleh Agama besar ini  …!

Beginikah kiranya Islam dalam sekejap saja sedia meng­hapuskan segala kesalahannya yang lalu, sementara orang-orang Islam melupakan segala dosa dan kejahatannya serta permusuh­annya yang lampau, dan membukakan dasar hati mereka untuk­nya, bahkan sedia merangkul dan memeluknya ke haribaan mereka?

Beginikah jadinya, pedang yang tergenggam kuat untuk suatu niat yang jahat, dan kekejaman keji, yang kilatannya masih membayang di muka mereka, semuanya sudah dilupa­kan, dan sekarang tak ada yang diingat lagi, kecuali Islamnya Umeir, dan dalam waktu sekejap ia telah menjadi salah seorang dari Kaum Muslimin, shahabat Rasul, yang mempunyai hak seperti hak-hak mereka, dan memikul kewajiban dan tanggung jawab seperti mereka Pula?

Dan beginikah akhirnya, seorang yang hampir dibunuh oleh Umar bin Khatthab beberapa saat sebelumnya, sekarang jadi dicintainya melebihi cintanya kepada anak cucunya sendiri?

Kalaulah salah satu saat dari keberanian yakni saat Umeir menyatakan keislamannya, telah membawa keberuntungan bagi Umeir berupa penghargaan, kemuliaan, ganjaran dan penghormatan dari Islam, maka tak ada penilaian lain, bahwa benar­-benarlah Islam itu suatu Agama yang maka luhur … !

Tidak berapa lama antaranya Umeir sudah mengenal tugas kewajibannya terhadap Islam . . . . Bahwa ia akan berbakti kepadanya, seimbang dengan usahanya memeranginya di masa lampau. Dan bahwa ia akan mengajak orang kepada Islam setaraf dengan ajakannya memusuhinya di masa silam. Dan bahwa ia akan memperlihatkan kepada Allah dan Rasul-Nya apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya itu berupa kejujuran, perjuangan dan ketaatan. Dan begitulah, ia datang menghadap Rasulullah pada suatu hari, sembari berkata: “Wahai Rasulullah! Dahulu aku berusaha memadamkan cahaya Allah, sangat jahat terhadap orang yang memeluk Agama Allah ‘Azza wajalla, maka sekarang aku ingin agar anda idzinkan aku pergi ke Mekah!

Aku akan menyeru mereka kepada Allah dan kepada Rasul­Nya, serta kepada Islam, semoga mereka diberi hidayah oleh Allah! Kalau tidak, aku akan menyakiti mereka karena agama mereka, sebagaimana dulu aku menyakiti shahabat-shahabatmu karena agama yang diikuti mereka . . .

Pada hari-hari itu, semenjak Umeir meninggalkan kota Mekah menuju Madinah, maka Shafwan bin Umaiyah yang telah menghasut Umeir pergi membunuh Rasul, sering mundar-mandir di jalan-jalan kota Mekah dengan sombong, dan ia selalu menumpahkan kegembiraannya yang meluap di semua majlis dan tempat-tempat pertemuannya … !

Dan setiap ia ditanyai kaum dan sanak saudaranya sebab­-sebab kegembiraannya itu, padahal tulang-belulang ayah masih terjemur di panas terik matahari padang Badar, ia lalu menepuk­kan kedua telapak tangannya dengan bangga sambil berkata kepada orang-orang itu: “Bersenang hatilah kalian karena bakal ada satu kejadian yang akan datang beritanya dalam beberapa hari lagi, yang akan menghapus malu kita di perang Badar … !

Setiap pagi ia keluar ke tempat ketinggian di pinggiran kota Mekah, menanyai kafilah-kafilah dan para penunggang kalau-kalau ada peristiwa penting terjadi di Madinah. Tapi jawaban mereka tidak ada yang menyenangkan dan meng­gembirakannya, karena tak ada seorang pun yang mendengar atau melihat suatu kejadian penting di Madinah. Shafwan tidak berputus asa, bahkan ia tetap shabar menanyai rombongan demi rombongan, hingga akhirnya ia menemukan sebagian mereka yang waktu ditanyainya: “Apa tak ada suatu kejadian di Madinah?”, mendapat jawaban dari musafir itu: “Benar, telah terjadi suatu kejadian besar – - – !”

Air muka Shafwan berseri-seri, seluruh kegembiraannya meluap dan melimpah ruah. Ia kembali menanyai orang itu dengan bergegas karena dorongan ingin tabu: “Apa sebenarnya yang terjadi, tolong ceriterakan kepadaku”. Jawab orang itu: “Umeir bin Wahab telah memeluk Islam, ia di sana sedang memperdalam Agama dan mempelajari al-Qur’an … !”

Bumi rasa berputar bagi Shafwan . . . . Peristiwa yang diharap-harapkannya akan dapat menggembirakan kaumnya, dan selalu dinantikannya untuk melupakan kejadian perang Badar, tabu-tabu hari itu berita itu yang datang kepadanya, yang bagai­kan petir menyambarnya.

Pada suatu hari sampailah sang musafir di kampung halaman­nya . . . . Umeir telah kembali ke Mekah, tak lupa membawa pedangnya dan siap untuk bertempur. Dan orang yang mula­-mula menjumpainya ialah Shafwan bin ‘Umaiyah . . . . Baru Baja Shafwan melihatnya, bermaksudlah ia hendak menyerang Umeir. Akan tetapi melihat pedang yang siaga di tangan Umeir ia pun mengurungkan maksudnya, dan merasa puas dengan melontar­kan caci maki padanya kemudian berlalu . . . .

Sekarang Umeir bin Wahab masuk ke kota Mekah sebagai seorang Muslim, sedang sewaktu meninggalkannya ia adalah seorang musyrik. Dimasukinya kota itu dan dalam ingatannya tergambar sikap Umar bin Khatthab mula ia masuk Islam, yang setelah Islamnya itu menyerukan: “Demi Allah, tidak akan ku­biarkan satu tempat pun yang pernah kududuki dengan kekafiran, melainkan akan kududuki lagi dengan keimanan … !

Seolah-olah Umeir hendak menjadikan kata itu sebagai lambang dan pendirian ini. menjadi contoh teladan. Ia telah bertekad bulat hendak menyerahkan hidupnya untuk berbakti kepada Islam, yang sekian lama diperanginya. Dan ia mem­punyai kemampuan dan kesempatan untuk membalas setiap kejahatan yang hendak ditimpakan kepadanya!

Demikianlah ia mengganti dan mengimbangi apa-apa yang telah luput pada masa silamnya, berpacu dengan waktu mengejar tujuannya. Ia berda’wah menyebarkan Agama Islam, baik Siang maupun malam, secara terang-terangan dan terbuka . . . Keimanan yang telah terhunjam di hatinya, telah melimpahkan rasa aman, petunjuk dan cahaya. Dari lidah dan ucapannya keluar kalimat dan kata-kata yang haq, yang digunakannya untuk menyeru orang kepada keadilan, kebaikan dan kebajikan. Sedang di tangan kanannya tergenggam teguh pedangnya yang akan me­ngecutkan hati setiap penghalang jalan menuju kebaikan, yakni mereka yang selalu mengganggu orang-orang beriman dan hendak membawa mereka ke jalan yang bengkok.

Dalam beberapa minggu saja, orang-orang yang mendapat petunjuk masuk Islam berkat usaha Umeir bin Wahab melebihi perkiraan yang melintas dalam angan-angan Umeir. Umeir pergi membawa mereka dalam satu barisan yang panjang dan terang­-terangan ke Madinah. Padang pasir yang mereka lalui dalam perjalanan itu, seolah-olah tak dapat menyembunyikan ketakjuban dan keheranannya, terhadap pria yang belum lama berselang melintasi dengan pedang terhunus menggerakkan setiap langkahnya ke Madinah untuk membunuh Rasul . . . . Kemudian laki-laki itu Pula yang melintasinya sekali lagi dari Madinah, tetapi wajahnya berlainan dengan wajah semula ketika ia pergi; sekarang ia membaca al-Quran dari atas punggung untanya yang ikut gembira ….

Dan kini, laki-laki itulah juga telah mengarungi Padang pasir yang sama untuk ketiga kalinya, mengepalai suatu rom­bongan iring-iringan yang panjang dari orang-orang yang beriman yang suara tahlil dan takbir mereka bergema memenuhi ang­kasa….
Sungguh benar, ia merupakan suatu berita besar …. berita tentang seorang Jagoan Quraisy dengan hidayah Allah telah merubahnya menjadi seorang pembela berani mati di antara pembela-pembela Islam lainnya. Ia yang selalu siap sedia di samping Rasul pada setiap peperangan dan pertempuran, dan yang kesetiaan serta baktinya kepada Agama Allah tetap teguh tidak berubah setelah Rasul wafat!

Di hari pembebasan kota Mekah, Umeir tak hendak me­lupakan shahabat dan karibnya Shafwan bin ‘Umaiyah, ia pergi untuk menyampaikan kepadanya kebaikan Islam dan meng­ajaknya untuk memeluknya, setelah ternyata tak ada lagi kesangsian terhadap kebenaran Rasul dan risalat. Tapi Shafwan telah bersiap-siap dengan kendaraannya menuju Jeddah untuk berlayar ke Yaman ….

Umeir sangat kecewa dan merasa kasihan melihat sikap Shafwan, maka dibulatkannya tekad hendak menyelamatkan shahabatnya itu dari jalan kesesatan. Ia pun segera pergi kepada Rasulullah saw., lalu berkata kepadanya: “Ya Nabi Allah, sesungguhnya Shafwan itu adalah penghulu kaumnya, ia hendak pergi melarikan diri dengan menerjuni laut karena takut daripada anda. Maka mohon anda beri ia keamanan dan perlindungan, semoga Allah melimpahkan karunia-Nya kepada anda!”

Jawab Nabi: “Dia aman!”

Kata Umeir Pula: “Ya Rasul Allah, berilah aku suatu tanda sebagai bukti keamanan dari anda!” Maka Rasulullah saw. memberikan sorbannya yang dipakainya sewaktu memasuki kota Mekah.

Sekarang mari kita serahkan kepada ‘Urwah bin Zuber untuk menceriterakan kejadian itu selengkapnya:
“Umeir pun pergilah dengan sorban itu mendapatkan Shaf­wan yang ketika itu sudah hendak berlayar. Serunya kepadanya: “Ayah dan ibuku menjadi jaminan bagimu! Ingatlah kepada Allah, janganlah engkau silap dan berputus asa! Inilah tanda keamanan dari Rasulullah saw. yang sengaja aku bawa untukmu!”

Ujar Shafwan, “Nyahlah engkau tak perlu bercakap denganku!” Jawab Umeir Pula: “Benar Shafwan, jaminanmu ayah dan ibuku, sesungguhnya Rasulullah saw. itu adalah manusia yang paling utama, paling banyak kebajikannya, paling penyantun dan paling baik. Kemuliaannya kemuliaanmu, martabatnya marta­batmu … !”

Kata Shafwan: “Aku takut terhadap diriku …

Kata Umeir: “Beliau orang yang paling penyantun dan paling mulia, lebih dari apa yang engkau duga!”

Maka akhirnya Shafwan bersedia ikut kembali. Mereka berdiri di muka Rasulullah saw.,

lalu kata Shafwan: “Kawan ini mengatakan bahwa anda telah memberiku jaminan keamanan!” 

Jawab Rasul: “Betul!”

Kata Shafwan lagi: “Berilah aku kes6mpatan memilih selama dua bulan!”

Balas, Rasul Pula: “Engkau diberi kebebasan memilih selama empat bulan!” Kemudian Shafwan pun Islamlah. Dan tak ter­kirakan bahagianya Umeir dengan Islamnya Shafwan shahabatnya itu

Umeir bin Wahab pun melanjutkan perjalanan hidupnya yang penuh berkah menuju Allah Ta’ala mengikuti jejak Rasul’Besar yang diutus Allah kepada ummat manusia untuk melepaskan mereka dari kesesatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang ….


UMAIR IBN WAHB  
The Satan of Paganism and Disciple of Islam 


On the Day of Badr, he was one of the leaders who took up their swords to put an end to Islam. He was sharp-sighted and a perfect estimator, so his people delegated him to determine the number of Muslims who set forth with the Messenger and to see if the Muslims had ambushers or reinforcements behind them. `Umair Ibn Wahb Al-Jamhii galloped on his horse round the camp of the Muslims, then returned to his people and told them that there were about 300 men, and his estimation was right.  

        They asked him if they had reinforcements behind them. He said, "I found nothing. But O you Quraish, I saw horses carrying veritable death. They have neither fortitude nor refuge except their swords. By Allah! I see if one of them is killed, one of you will be killed also. If they killed the same number as you, what would be the benefit of life after that? Think wisely."  

        Some of the leaders of the Quraish were affected by his opinion and what he had said and were about to gather their men and return to Makkah without fighting, were it not for Abu Jahl who altered their opinion and ignited the fire of spite and war, in which he was its first victim.  

       The Quraish gave him the epithet "The Satan of Quraish". On the Day of Badr, the Satan of Quraish fought fiercely and wildly, but the forces of the Quraish returned to Makkah completely beaten and `Umair Ibn Wahb left a part of himself at Al-Madiinah, as the Muslims had taken his son as a prisoner of war.  

        One day, he joined his cousin Safwaan Ibn Umaiyah who was chewing his enemies in deadly bitterness because his father Umaiyah Ibn Khalaf had been killed at Badr and his bones buried at Al- Qaliib.  

        Safwaan and `Umair sat together ruminating on their enemies. Let `Urwah Ibn Az- Zubair tell us their long dialogue:  

        Safwaan, mentioning those who were killed at Badr said, "By Allah, there isn't any good in life after them." `Umair said, "That's true. By Allah, were it not for debts that I'm unable to repay and my children who I fear might be vagabonds after me, I would ride to Muhammad and kill him. I have a plausable reason to give him. I'll say that I have come for the sake of my son, a prisoner of war." Safwaan seized the chance and said, "I'll repay your debts and maintain your children with mine and comfort them as long as they live." `Umair agreed and said, "Keep it secret." Then he ordered his sword to be sharpened and poisoned and set out.  

        When he arrived at Al-Madiinah, `Umar Ibn Al-Khattaab was sitting among some of the Muslims talking about the Day of Badr. `Umar looked and saw `Umair Ibn Wahb, girded with his sword, making his camel kneel at the door of the mosque. `Umar said, "That dog, the enemy of Allah, `Umair Ibn Wahb! By Allah, he has come for nothing but evil. It is he who provoked us on the Day of Badr." `Umar entered and said to the Messenger (PBUH), "O Prophet of Allah , here is the enemy of Allah, `Umair Ibn Wahb come girded with his sword."  

        The Prophet (PBUH) said, "Let him in." `Umar came and took him by the scabbard of his sword round his neck and said to some of the men, "Enter and sit with the Prophet (PBUH) and be cautious of that fellow, he is dishonest." Then `Umar entered holding the scabbard of his sword round his neck and when the Prophet saw him, he told `Umar to let him alone and said to `Umair, "Draw nearer. Umair approached and said, "Good morning." That was the salutation in the period of Jahiliyah.  

The Prophet (PBUH) said, "Allah has honored us with a better salutation than yours. It is As-  Salaam, the salutation of the believers in Paradise."  
   
     Umair said, " O, Muhammad, by Allah I have heard it recently."  

        The Prophet (PBUH) said, "What made you come, `Umair?" `Umair said, "I have come for the sake of this captive in your hands." The Prophet (PBUH) said, " Tell the truth, `Umair, what have you come for ?" `Umair, "I have come for that purpose." The Prophet (PBUH) said, "But you sat with Safwaan Ibn Umaiyah at Al-hijir and mentioned those of Al-Qalub from the Quraish, then you said, were it not for my debts and my children, I would ride and kill Muhmmad. Safwaan promised to repay your debts and maintain your children on condition that you kill me, but Allah prevented you from doing so."  

       At the moment, `Umair cried, "I witness that there is no god but Allah and that you are His Prophet. That matter wasn't attended by anyone except Safwaan and me. By Allah, Allah told it to you. Praise be to Allah who guided me to Islam." The Prophet (PBUH) said to his companions, "Teach your brother the religion and how to reach the Qur'aan and set free the prisoner of war."  
   
   Thus, `Umair Ibn Wahb embraced Islam. Thus, the Satan of Quraish was so overwhelmed by the light of the Prophet (PBUH) and the light of Islam that, in a moment, he embraced Islam and turned into the Disciple of Islam.  

        `Umar Ibn Al-Khattaab, (may Allah be pleased with him) said, "By Allah, I hated him more than I hated a pig, when he appeared. But now, I love him more than I love some of my sons."  

   `Umair sat thinking deeply about the tolerance of this religion and the greatness of its Prophet. He remembered his previous days in Makkah when he was arguing and fighting against Islam before the Hijrah of the Prophet (PBUH) and his Companions to Al-Madiinah. Then he remembered his fighting on the Day of Badr and his coming on this day to kill the Prophet. All that was abolished in a moment of saying, "There is no god but Allah and Muhammad is His Messenger."  

        What tolerance! What purity, what self confidence that this great religion carries. At such a moment Islam abolished all his previous sins, Muslims forgave all his crimes and hate, opened their hearts and embraced him. Is not he whose sword is still glimmering in front of their eyes, planning with devilish intention to commit the most ignoble deed? All that was forgotten and nothing was mentioned. `Umair became in a single moment, one of the Muslims and one of the Prophet's Companions with their rights and duties. Did not he whom `Umar Ibn Al-Khattaab wanted to kill a short time ago become dearer to him than his sons?  

        If in one moment of truth when `Umair embraced Islam he deserved all the respect, honor, glory, and splendor of Islam, then Islam is indeed a great religion.  

        Within a short period of time, `Umair knew that his duty towards this religion was to serve it as much as he had fought it, to support it as much as he had conspired against it and to show Allah and His Prophet what they liked of truth, struggle, and obedience. Thus, one day he came to the Prophet and said "O Prophet of Allah, I had been doing my best to put out the light of Allah and was fond of hurting the Muslims. I would like you to give me permission to go to Makkah to call them to Allah, His Prophet and to Islam. Allah may guide them, otherwise, I'll hurt them in their religion as I used to hurt your companions in their religion."  

        From the time `Umair left Makkah for Al-Madiinah, Safwaan lbn Umaiyah, who had persuaded `Umair to go and kill the Messenger, walked proudly in the streets of Makkah, and dropped into its meetings and clubs joyfully and merrily. And whenever his people and his brothers asked him about the reason for his merriment and ecstasy when the bones of his father were still warm in the sands of Badr, he rubbed his hands proudly and said to the people, "Hurrah ! After a few days, happy news will come and make you forget the Battle of Badr." Every morning he went out of Makkah and asked the caravans, `Hasn't any matter occurred in Al-Madiinah?" Their answers were in the negative, as none of them had heard or seen any important matter in Al-Madiinah.  

 Safwaan continued without despair asking caravan after caravan until one day he met one and said to them, "Hasn't anything taken place in Al-Madiinah?" The traveler said, "Yes, a very important matter occurred." With a radiant face and at the peak of ecstasy Safwaan asked the traveler anxiously, "What happened? Tell me!" The man said ,"`Umair Ibn Wahb has embraced Islam, and he is there learning the religion and the Qur'aan!"  Safwaan felt giddy, and the good new which he had announced to his people and for which they were waiting to make them forget the Battle of Badr came to him that day dreadful enough to cause his ruin! One day the traveler arrived, and `Umair returned to Makkah holding his sword, ready to fight, and Safwaan Ibn `Umaiyah was the first who met him. No sooner did Safwaan see `Umair than he got ready to attack him, but the combat-ready sword in the hand of Umair dissuaded him. He was satisfied with some insults vented on `Umair and went his way.  

        `Umair entered Makkah as a Muslim though he had left it a few days earlier as a polytheist. In his memory was the image of `Umar Ibn Al-Khattaab when he embraced Islam, and cried, "By Allah! I'll sit as a believer in every place where I sat as a polytheist." Taking these words as a motto and that situation as a model, `Umair made up his mind to sacrifice his life for the religion that he had boldly fought against when he had the force to hurt any Muslim. And thus he began to compensate for what he had missed and to race with time by calling to Islam day and night, secretly and openly. In his heart faith floods upon him with safety, guidance, and light.  

        On his tongue are words of truth with which he calls to justice, charity, kindness and good. In this right hand is a sword with which he terrifies the severers who hinder the believers from the path of Allah and want it crooked. Within a few weeks, those who embraced Islam by the guidance of `Umair Ibn Wahb were becoming innumerable. `Umair set forth with them to Al- Madiinah in a delightful, long caravan.  

        The desert that they crossed during their journey could not hold its astonishment and wonder at that man who had crossed it a short while ago holding his sword and hurrying towards Al-Madiinah to kill the Prophet (PBUH). Then he had crossed it returning from Al Madiinah with quite a different face from the first one. He was reciting the Qur'aan on the back of his she-camel. Now, he was crossing the desert for the third time ahead of a long procession of believers filling the desert with the praise of Allah. Yes, it was a great announcement, that the Satan of the Quraish was turned by the guidance of Allah into a bold Disciple of Islam who stood beside the Prophet (PBUH) in battles and situations and whose loyalty to the religion of Allah continued to be firm even after the departure of the Prophet from life. 

       On the day of the Conquest of Makkah, he did not forget his companion and relative, to call him to Islam, especially after there was no doubt in the truth of the Prophet (PBUH) and his mission.  

  Safwaan had traveled to Jeddah on his way to Yemen by sea. `Umair pitied him so much that he decided to deliver him from Satan by all means. He hurried to the Prophet (PBUH) and said, "O Prophet of Allah, Safwaan Ibn `Umaiyah is the chief of his people. He set off escaping from you to throw himself into the sea. Give him safety. Peace be upon you." The Prophet (PBUH) said, "He is safe." `Umair said "O Prophet of Allah, give me a token for his safety." The Prophet (PBUH) gave him his turban which he had worn when he entered Makkah.  
  
We let `Urwah Ibn Az-Zubair complete the story: `Umair set off till he reached Safwaan when he was about to sail. `Umair said, "O Safwaan, I sacrifice my mother and father for you. Avert perishing yourself. This is the safety of the Prophet of Allah (PBUH) I came to you with." Safwaan said to him, "Woe to you! Go away, don't speak to me." `Umair said to him, "O Safwaan! I sacrifice my mother and father for you. The Prophet of Allah is the best, the most righteous, and the most clement of all people. His glory is yours and his honor is yours." Safwaan said, "I'm afraid." `Umair said, "He's more clement and more generous than that." He returned with him until they came to the Prophet (PBUH). Safwaan said to the Prophet, "He claims that you have given me safety." The Prophet said, "He speaks the truth." Safwaan said to the Prophet, "Give me the option for four months." The Prophet (PBUH) said, "You 

have the option for four months." After a while Safwaan embraced Islam, and `Umair was extremely happy about his acceptance of Islam. Ibn Wahb went on his blessed journey to Allah following the great Prophet by whom Allah saved people from straying and took them out of the depth of darkness into light.


.¤ª"˜¨¯¨¨Umeir Bin Wahab oUmair Ibn Wahb¸,ø¨¨"ª¤.  




Categories: