acebook

Para Sahabat - The Companions


.¤ª"˜¨¯¨¨ Abu Hurairah oAbu Hurairah¸,ø¨¨"ª¤.
 Otaknya menjadi
gudang perbendaharaan pada masa Wahyu. 


Memang benar, bahwa kepintaran manusia itu mempunyai akibat yang merugikan dirinya sendiri. Dan orang-orang yang mempunyai bakat-bakat istimewa, banyak yang harus membayar mahal, justru pada waktu ia patut menerima ganjaran dan peng­hargaan ….Shahabat mulia Abu Hurairah termasuk salah seorang dari mereka . .. . 

Sungguh dia mempunyai bakat luar biasa dalam kemampuan dan kekuatan ingatan … 

Abu Hurairah r.a. mem­punyai kelebihan dalam seni menangkap apa yang didengarnya, sedang ingatannya mempunyai keistimewaan dalam seni meng­hafal dan menyimpan . . . . Didengarnya, ditampungnya lalu terpatri dalam ingatannya hingga dihafalkannya, hampir tak pernah ia melupakan satu kata atau satu huruf pun dari apa yang telah didengarnya, sekalipun usia sertambah dan masa pun telah berganti-ganti. Oleh karena itulah, ia telah mewakafkan hidupnya untuk lebih banyak mendampingi Rasulullah sehingga termasuk yang terbanyak menerima dan menghafal Hadits, Serta meriwayatkannya.Sewaktu datang masa pemalsu-pemalsu hadits yang dengan sengaja membikin hadits-hadits bohong dan palsu,seolah-olah berasal dari Rasulullah saw. 

mereka memperalat nama Abu Hurairah dan menyalahgunakan ketenarannya dalam meriwayatkan Hadits dari Nabi saw., hingga sering mereka mengeluarkan sebuah “hadits”, dengan menggunakan kata-kata:  ”Berkata Abu Hurairah . . . “.Dengan perbuatan ini hampir-hampir mereka menyebabkan ketenaran Abu Hurairah dan kedudukannya selaku penyampai Hadits dari Nabi saw. menjadi lamunan keragu-raguan dan tanda tanya, kalaulah tidak ada usaha dengan susah payah dan ketekunan yang luar biasa, serta banyak waktu yang telah di­habiskan oleh tokoh-tokoh utama para ulama Hadits yang telah membaktikan hidup mereka untuk berhidmat kepada Hadits Nabidan menyingkirkan setiap tambahan yang dimasukkan ke dalamnya.’Di sana Abu Hurairah berhasil lolos dari jaringan kepalsuan dan penambahan-penambahan yang sengaja hendak diselundup­kan oleh kaum perusak ke dalam Islam, dengan mengkambing ­hitamkan Abu Hurairah dan membebankan dosa dan kejahatan mereka kepadanya ….

Setiap anda mendengar muballigh atau penceramab atau khatib Jum’at mengatakan kalimat yang mengesankan“dari Abu Hurairah r.a. berkata ia, telah bersabda Rasulullah saw.Saya katakan ketika anda mendengar nama ini dalam rangkaian kata tersebut, dan ketika anda banyak menjumpainya, yah … banyak sekali dalam kitab-kitab Hadits, sirah, fikih serta kitab-kitab Agama pada umumnya, maka ketahuilah bahwa anda sedang menemui suatu pribadi antara sekian banyak pribadi yang paling gemar bergaul dengan Rasulullah dan mendengarkan sabdanya ….

 Karena itulah Perbendaharaannya yang mena’jubkan dalam hal Hadits dan pengarahan-pengarahan penuh hikmat yang dihafalkannya dari Nabi saw. jarang diperoleh bandingannya . . . . 

Dan dengan bakat pemberian Tuhan yang dipunyainya beserta perbendaharaan Hadits tersebut, Abu Hurairah merupa­kan salah seorang paling mampu membawa anda ke hari-hari masa kehidupan Rasulullah saw. beserta para shahabatnya r.a. dan membawa anda berkeliling, asal anda beriman teguh dan berjiwa siaga, mengitari pelosok dan berbagai ufuk yang membuktikan kehebatan Muhammad saw. beserta shahabat-shahabat­nya itu dan memberikan makna kepada kehidupan ini dan memimpinnya ke arah kesadaran dan pikiran sehat. Dan bila garis-garis yang anda hadapi ini telah menggerakkan kerinduan anda untuk mengetahui lebih dalam tentang Abu Hurairah dan mendengarkan beritanya, maka silakan anda memenuhi keinginan anda tersebut . . . .Ia adalah salah seorang yang menerima pantulan revolusi Islam, dengan segala perubahan mengagumkan yang diciptakan­nya. Dari orang upahan menjadi induk semang atau majikan . . . . Dari seorang yang terlunta-lunta di tengah-tengah lautan manusia, menjadi imam dan ikutan. Dan dari seorang yang sujud di hadapan batu-batu yang disusun menjadi orang yang beriman kepada Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa . . . . 

Inilah dia sekarang bereerita dan berkata:“Aku dibesarkan dalam keadaan yatim, dan pergi hijrah dalam keadaan miskin . . . .  Aku menerima upah sebagai pem­bantu pada Busrah binti Ghazwan demi untuk mengisi perutku…! Akulah yang melayani keluarga itu bila mereka sedang menetap dan menuntun binatang tunggangannya bila sedang bepergian . . . . 

Sekarang inilah aku, Allah telah menikahkanku dengan putri Busrah, maka segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Agama ini tiang penegak, dan menjadikan Abu Hurairah ikutan ummat …Ia datang kepada Nabi saw. di tahun yang ke tujuh Hijrah sewaktu beliau berada di Khaibar; ia memeluk Islam karena dorongan kecintaan dan kerinduan . . . . 

Dan semenjak ia ber­temu dengan Nabi saw. dan berbaiat kepadanya, hampir-hampir ia tidak berpisah lagi daripadanya kecuali pada saat-saat waktu tidur . . . . Begitulah berjalan selama masa empat tahun yang dilaluinya bersama Rasulullah saw. yakni sejak ia masuk Islam sampai wafatnya Nabi, pergi ke sisi Yang Maha Tinggi. 

Kita katakan: “Waktu yang empat tahun itu tak ubahnya bagai suatu usia manusia yang panjang lebar, penuh dengan segala yang baik, dari perkataan, sampai kepada perbuatan dan pen­dengaranDengan fitrahnya yang kuat, Abu Hurairah mendapat ke­sempatan yang besar yang memungkinkannya untuk memain­kan peranan penting dalam berbakti kepada Agama Allah.Pahlawan perang di kalangan shahabat, banyak ….Ahli fiqih, juru da’wah dan para guru juga tidak sedikit ….Tetapi lingkungan dan masyarakat memerlukan tulisan dan penulis. Di masa itu golongan manusia pada umumnya, jadi bukan hanya terbatas pada bangsa Arab Saja, tidak mementing­kan tulis-menulis. 

Dan tulis-menulis itu belum lagi merupakan bukti kemajuan di masyarakat manapun. nBahkan Eropah sendiri juga demikian keadaannya sejak kurun waktu yang belum lama ini. Kebanyakan dari raja-rajanya, tidak terkecuali Charlemagne sebagai tokoh utamanya, adalah orang-orang yang buta huruf tak tahu tulis baca, padahal me­nurut ukuran masa itu, mereka memiliki kecerdasan dan kemampuan besar ….

Kembali kita pada pembicaraan semula untuk melihat Abu Hurairah, bagaimana ia dengan fitrahnya dapat menyelami kebutuhan masyarakat baru yang dibangun oleh Islam, yaitu kebutuhan akan orang-orang yang dapat melihat dan memelihara peninggalan dan ajaran-ajarannya. Pada waktu itu memang ada para shahabat yang mampu menulis, tetapi jumlah mereka sedikit sekali, apalagi sebagiannya tak mempunyai kesempatan untuk mencatat Hadits-hadits yang diucapkan oleh Rasul.

Sebenarnya Abu Hurairah bukanlah seorang penulis, ia hanya seorang ahli hafal yang mahir, di samping memiliki kesempatan atau mampu mengadakan kesempatan yang diperlukan itu, karena ia tak punya tanah yang akan digarap, dan tidak pula perniagaan yang akan diurus… .

Ia pun menyadari bahwa dirinya termasuk orang yang masuk Islam belakangan, maka ia bertekad untuk mengejar ketinggalan­nya, dengan cara mengikuti Rasul terus-menerus dan secara tetap menyertai majlisnya . . .. Kemudian disadarinya pula adanya bakat pemberian Allah ini pada dirinya, berupa daya ingatannya yang luas dan kuat, Serta semakin sertambah kuat, tajam dan luas lagi dengan do’a Rasul saw., agar pemilik bakat ini diberi Allah berkat.

Ia menyiapkan dirinya dan menggunakan bakat dan kemampuan karunia Ilahi untuk memikul tanggung jawab dan meme­lihara peninggalan yang sangat penting ini dan mewariskannya kepada generasi kemudian ….Abu Hurairah bukan tergolong dalam barisan penulis, tetapi sebagaimana telah kita utarakan, ia adalah seorang yang terampil menghafal lagi kuat ingatan . . . . Karena ia tak punya tanah yang akan ditanami atau perniagaan yang akan menyibukkannya, ia tidak berpisah dengan Rasul, baik dalam perjalanan maupun di kala menetap ….

Begitulah ia mempermahir dirinya dan ketajaman daya ingatnya untuk menghafal Hadits-hadits Rasulullah saw. dan pengarahannya.  Sewaktu Rasul telah pulang ke Rafikul ‘Ala (wafat),Abu Hurairah terus-menerus menyampaikan Hadits-­hadits, yang menyebabkan sebagian shahabatnya merasa heran sambil bertanya-tanya di dalam hati, dari mana datangnya Hadits-hadits ini, kapan didengarnya dan diendapkannya dalam ingatannya...

Abu Hurairah telah memberikan penjelasan untuk menghilangkan kecurigaan ini, dan menghapus keragu-raguan yang menulari para shahabatnya, maka katanya: “Tuan-tuan telah mengatakan bahwa Abu Hurairah banyak sekali mengeluarkan Hadits dari Nabi saw. . . . Dan tuan-tuan katakan pula orang-­orang Muhajirin yang lebih dahulu daripadanya masuk Islam, tak ada menceritakan Hadits-hadits itu … ? 

Ketahuilah, bahwa shahabat-shahabatku orang-orang Muhajirin itu, sibuk dengan perdagangan mereka di pasar-pasar, sedang shahabat-shahabatku orang-orang Anshar sibuk dengan tanah pertanian mereka …. Sedang aku adalah seorang miskin, yang paling banyak menyertai majlis Rasulullah, maka aku hadir sewaktu yang lain absen .. dan aku selalu ingat seandainya mereka lupa karena ke­sibukan ….

Dan Nabi saw. pernah berbicara kepada kami di suatu hari, kata beliau: “Siapa yang membentangkan serbannya hingga selesai pembicaraanku, kemudian ia meraihnya ke dirinya, maka ia takkan terlupa akan suatu pun dari apa yang telah didengarnya daripadaku … ! “

Maka kuhamparkan kainku, lalu beliau berbicara kepadaku, kemudian kuraih kain itu ke diriku, dan demi Allah, tak ada suatu pun yang terlupa bagiku dari apa yang telah kudengar daripadanya...! 

Demi Allah, kalau tidaklah karena adanya ayat di dalam Kitabullah niscaya tidak akan kukabarkan kepada kalian sedikit jua pun! Ayat itu ialah:“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa­apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterang­an dan petunjuk, sesudah Kami nyatakan kepada manusia di dalam Kitab mereka itulahyang dikutuk oleh Allah dan dikutuk oleh para pengutuk (Malatkat-malatkat) . . . !”

Demikianlah Abu Hurairah menjelaskan rahasia kenapa hanya ia seorang diri yang banyak mengeluarkan riwayat dari Rasulullah saw.
Yang pertama: karena ia melowongkan waktu untuk me­nyertai Nabi lebih banyak dari para shahabat lainnya.

Kedua, karena ia memiliki daya ingatan yang kuat, yang telah-diberi berkat oleh Rasul, hingga ia jadi semakin kuat ….

Ketiga, is menceritakannya bukan karena ia gemar bercerita, tetapi karena keyakinan bahwa menyebarluaskan Hadits-hadits ini, merupakan tanggung jawabnya terhadap Agama dan hidup­nya. Kalau tidak dilakukannya berarti ia menyembunyikan kebaikan dan haq, dan termasuk orang yang lalat yang sudah tentu akan menerima hukuman kelalatannya. … !

Oleh sebab itulah ia harus  memberitakan, tak suatu pun yang menghalanginya dan tak seorang pun boleh melarang­nya . . . hingga pada suatu hari Amirul Mu’minin Umar berkata kepadanya: “Hendaklah kamu hentikan menyampaikan berita dari Rasulullah! Bila tidak, maka’kan kukembalikan kau ke tanah Daus..!” (yaitu tanah kaum dan keluarganya).Tetapi larangan ini tidaklah mengandung suatu tuduhan bagi Abu Hurairah, hanyalah sebagai pengukuhan dari suatu pandangan yang dianut oleh Umar, yaitu agar orang-orang Islam dalam jangka waktu tersebut, tidak membaca dan menghafalkan yang lain, kecuali al-Quran sampai ia melekat dan mantap dalam hati sanubari dan pikiran ….

Al-Quran adalah Kitab suci Islam, Undang-undang Dasar dan kamus lengkapnya, dan terlalu banyaknya cerita tentang Rasulullah saw. teristimewa lagi pada tahun-tahun menyusul wafatnya saw., saat sedang dihimpunnya al-Quran, dapat menyebabkan kesimpangsiuran dan campur-baur yang tak berguna dan tak perlu terjadi . . . !Oleh karena ini Umar berpesan: “Sibukkanlah dirimu dengan al-Quran karena dia adalah kalam Allah . . . “. Dan katanya lagi: “Kurangilah olehmu meriwayatkan perihal Rasulullah kecuali yang mengenai amal perbuatannya!”

Dan sewaktu beliau mengutus Abu Musa al-Asy’ari ke Irak ia berpesan kepadanya: “Sesungguhnya anda akan mendatangi suatu kaum yang dalam mesjid mereka terdengar bacaan al­Quran seperti suara lebah, maka biarkanlah seperti itu, dan jangan anda bimbangkan mereka dengan Hadits-hadits, dan aku menjadi pendukung anda dalam hal ini …….Al-Quran sudah dihimpun dengan jalan yang sangat cermat, hingga terjamin keasliannya tanpa dapat dirembesi oleh hal-hal lainnya ….

 Adapun Hadits, maka Umar tidak dapat menjamin bebasnya dari pemalsuan atau perubahahan atau diambilnya sebagai alat untuk mengada -ada terhadap Rasulullah saw. dan merugikan Agama Islam.. .

Abu Hurairah menghargai pandangan Umar, tetapi ia juga percaya terhadap dirinya dan teguh memenuhi amanat, hingga ia tak hendak menyembunyikan suatu pun dari Hadits dan ilmuselama diyakininya bahwa mrnyembunyikannya adalah dosa dan kejahatan.Demikianlah, setiap ada kesempatan untuk menumpahkan isi dadanya berupa Hadits yang pernah didengar dan ditangkap­nya tetap saja disampaikan dan dikatakannya ….

Hanya terdapat pula suatu hal yang merisaukan, yang me­nimbulkan kesulitan bagi Abu Hurairah ini, karena seringnya ia bercerita dan banyaknya Haditsnya yaitu adanya tukang Hadits yang lain yang menyebarkan hadits-hadits dari Rasul saw. Dengan menambah-nambah dan melebih-lebihkan hingga para. shahabat tidak merasa puas terhadap sebagian besar dari Hadits-haditsnya. Orang itu namanya Ka’ab al-Ahbaar, seorang Yahudi yang masuk Islam.

Pada suatu hari Marwan bin Hakam bermaksud menguji kemampuan menghafal dari Abu Hurairah. Maka dipanggilnya ia dan dibawanya duduk bersamanya, lalu dimintanya untuk mengabarkan hadits-hadits dari Rasulullah saw. Sementara itu disuruhnya penulisnya menuliskan apa yang diceritakan Abu Hurairah dari balik dinding. Sesudah berlalu satu tahun, dipanggilnya Abu Hurairah kembali, dan dimintanya mem­bacakan lagi hadits-hadits yang dulu itu Yang telah ditulis oleh sekretarisnya. Ternyata tak ada yang terlupa oleh Abu Hurairah walau agak sepatah kata pun … !

Ia berkata tentang dirinya: — “Tak ada seorang pun dari shabat-shahabat Rasul Yang lebih banyak menghafal Hadits dari pada aku, kecuali Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash,karena ia pandai menuliskannya sedang aku tidak . . . “.Dan Imam Syafi’I mengemukakan pula pendapatnya tentang Abu Hurairah: — “Ia seorang yang paling banyak hafal di antara seluruh perawi Hadits semasanya” Sementara Imam Bukhari menyatatakan pula: Ada kira-kira delapan ratus orang atau lebih dari shahabat tabi’indan ahli ilmu yang meriwayatkan Hadits dari Abu Hurairah”

Demikianlah Abu Hurairah tak ubah bagai suatu perpustakaan besar yang telah ditaqdirkan kelestarian dan keabadiannya ….

Abu Hurairah termasuk seorang ahli ibadat yang mendekat­kan diri kepada Allah, selalu melakukan ibadat bersama isterinya dan anak-anaknya semalam-malaman secara bergiliran; mula­- mula ia berjaga sambil shalat sepertiga malam kemudian di­lanjutkan oleh isterinya sepertiga malam dan sepertiganya lagi dimanfaatkan oleh puterinya Dengan demikian, tak ada satu saat pun yang berlalu setiap malam di rumah Abu Hurairah, melainkan berlangsung di sana ibadat, dzikir dan shalat!

Karena keinginannya memusatkan perhatian untuk me­nyertai Rasul saw. ia pernah menderita kepedihan lapar yang jarang diderita orang lain. Dan pernah ia menceritakan kepada kita bagaimana rasa lapar telah menggigit-gigit perutnya, maka diikatkannya batu dengan surbannya ke perutnya itu dan di­tekannya ulu hatinya dengan kedua tangannya, lalu terjatuhlah ia di mesjid sambil menggeliat-geliat kesakitan hingga sebagian shahabat menyangkanya ayan, padahal sama sekali bukan … !

Semenjak ia menganut Islam tak ada yang memberatkan dan menekan perasaan Abu Hurairah dari berbagai persoalan hidupnya ini, kecuali satu masalah yang hampir menyebabkannya tak dapat memejamkan mata. Masalah itu ialah mengenai ibunya, karena waktu itu ia menolak untuk masuk Islam . . . . Bukan hanya sampai di sana saja, bahkan ia menyakitkan perasaannya dengan menjelek-jelekkan Rasulullah di depannya ….

Pada suatu hari ibunya itu kembali mengeluarkan kata-kata Yang menyakitkan hati Abu Hurairah tentang Rasulullah saw., hingga ia tak dapat menahan tangisnya dikarenakan sedihnya, lalu ia pergi ke mesjid Rasul . .. . 

Marilah kita dengarkan ia menceritakan lanjutan berita kejadian itu sebagai berikut:
Sambil menangis aku datang kepada Rasulullah, lalu kata­ku: — “Ya Rasulallah, aku telah meminta ibuku masuk Islam.Ajakanku itu ditolaknya, dan hari ini aku pun baru saja me­mintanya masuk Islam. Sebagai jawaban ia malah mengeluarkan kata-kata yang tak kusukai terhadap diri anda. Karenanya mohon anda doakan kepada Allah kiranya ibuku itu ditunjuki-Nya kepada Islam …

Maka Rasulullah saw. berdoa:
 “Ya Allah tunjukilah ibu Abu Hurairah!”Aku pun berlari mendapatkan ibuku untuk menyampaikan kabar gembira tentang doa Rasulullah itu. 

Sewaktu sampai di muka pintu, kudapati pintu itu terkunci. Dari luar kedengaran bunyi gemercik air, dan suara ibu memanggilku: “Hai Abu Hurairah, tunggulah di tempatmu itu . . . !”

Di waktu ibu keluar ia memakai baju kurungnya, dan mem­balutkan selendangnya sambil mengucapkan: 
“Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa Rasu­luh . . . “

Aku pun segera berlari menemui Rasulullah saw. sambil menangis karena gembira, sebagaimana dahulu aku menangis karena berduka, dan kataku padanya: “Kusampaikan kabar suka ya Rasulallah, bahwa Allah telah mengabulkan doa anda . . . , Allah telah menunjuki ibuku ke dalam Islam … “. 

Kemu­dian kataku Pula: “Ya Rasulallah, mohon anda doakan kepada Allah, agar aku dan ibuku dikasihi oleh orang-orang Mu’min, baik laki-laki maupun perempuan!” 

Maka Rasul berdoa:
 “Ya Allah, mohon engkau jadikan hamba-Mu ini beserta ibunya
 dikasihi oleh sekalian orang-orang Mu’min, laki-laki dan pe­rempuan … !”

Abu Hurairah hidup sebagai seorang ahli ibadah dan seorang mujahid . .. tak pernah ia ketinggalan dalam perang, dan tidak Pula dari ibadat. 

Di zaman Umar bin Khatthab ia diangkat sebagai amir untuk daerah Bahrain, sedang Umar sebagaimana kita ketahui adalah seorang yang sangat keras dan teliti terhadap pejabat-pejabat yang diangkatnya. 

Apabila ia mengangkat se­seorang sedang ia mempunyai dua pasang pakaian maka sewaktu meninggalkan jabatannya nanti haruslah orang itu hanya mem­punyai dua pasang pakaian juga … malah lebih utama kalau ia hanya memiliki satu pasang saja! 

Apabila waktu meninggalkan jabatan itu terdapat tanda-tanda kekayaan, maka ia takkan luput dari interogasi Umar, sekalipun kekayaan itu berasal dari jalan halal yang dibolehkan syara’! Suatu dunia lain . . yang diisi oleh Umar dengan hal-hal luar biasa dan mengagumkan … !Rupanya sewaktu Abu Hurairah memangku jabatan sebagai kepala daerah Bahrain ia telah menyimpan hartayang berasal dari sumber yang halal. Hal ini diketahui oleh Umar, maka ia pun dipanggilnya datang ke Madinah  . . . 

Dan mari kita dengar­kan Abu Hurairah memaparkan soal jawab ketus yang ber­langsung antaranya dengan Amirul Mu’minin Umar;
  Kata Umar: “Hai musuh Allah dan musuh kitab-Nya, apa engkau telah mencuri harta Allah?” 
Jawabku: “Aku bukan musuh Allah dan tidak Pula musuh Kitab-Nya …hanya aku menjadi musuh orang yang memusuhi keduanya dan aku bukanlah orang yang mencuri harta Allah...!” 

 Dari mana kau peroleh sepuluh ribu itu?  Kuda kepunyaanku beranak-pinak dan pemberian orang berdatangan . . . .  Kembalikan harta itu ke perbendaharaan negara (baitul maal) … !Abu Hurairah menyerahkan hartanya itu kepada Umar, kemudian ia mengangkat tangannya ke arah langit sambil ber­doa: “Ya Allah, ampunilah Amirul Mu’minin …….Tak selang beberapa lamanya. Umar memanggil Abu Hurai­rah kembali dan menawarkan jabatan kepadanya di wilayah baru. Tapi ditolaknya dan dimintanya maaf karena tak dapat menerimanya. 

Kata Umar kepadanya: — “Kenapa, apa sebab­nya?”

Jawab Abu Hurairah: “Agar kehormatanku tidak sampai tercela, hartaku tidak dirampas, punggungku tidak dipukul...!” Kemudian katanya lagi: “Dan aku takut menghukum tanpa ilmu dan bicara tanpa belas kasih … !”

Pada suatu hari sangatlah rindu Abu Hurairah hendak ber­temu dengan Allah …. Selagi orang-orang yang mengunjunginya mendoakannya cepat sembuh dari sakitnya, ia sendiri berulang­-ulang memohon kepada Allah dengan berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku telah sangat rindu hendak bertemu dengan-Mu, Semoga Engkau pun demikian . . . !” 

Dalam usia 78 tahun, tahun yang ke-59 Hijriyah ia pun berpulang ke rahmatullah. Di sekeliling orang-orang shaleh penghuni pandam pekuburan Baqi’, di tempat yang beroleh berkah, di sanalah jasadnya di­baringkan . . . ! 

Dan sementara orang-orang yang mengiringkan jenazahnya kembali dari pekuburan, mulut dan lidah mereka tiada henti-hantinya membaca Hadits yang disampaikan Abu Hurairah kepada mereka dari Rasul yang mulia ….

Salah seorang di antara mereka yang baru masuk Islam sertanya kepada temannya: “Kenapa syekh kita yang telah berpulang ini diberi gelar Abu Hurairah (bapak kucing)? 

Tentu temannya yang telah mengetahui akan menjawabnya: “Di waktu jahiliyah namanya dulu Abdu Syamsi, dan tatkala ia memeluk Islam, ia diberi nama oleh Rasul dengan Abdurrahman. 

Ia sangat penyayang kepada binatang dan mempunyai seekor kucing, yang selalu diberinya makan, digendongnya, dibersihkannya dan diberinya tempat. 

Kucing itu selalu menyertainya seolah-olah bayang-bayangnya.

Inilah sebabnya ia diberi gelar “Bapak kucing”, moga-moga Allah ridla kepadanya dan menjadikannya ridla kepada Allah … !

(35)  
ABU HURAIRAH  
The Memory of the Revelation Era 

        It is true that a person's intelligence reckons against him, and those who own extraordinary gifts often pay the price at a time when they should receive a reward or thanks. The noble Companion Abu Hurairah is one of those. He had an unusual gift which was his strong memory.  

        He (May Allah be pleased with him) was good in the art of listening and his memory was good in the art of storing. He used to listen, understand, and memorize; then he hardly forgot one word, no matter how long his life lasted. That is why his gift made him memorize and narrate the Prophetic traditions (Hadiths) more than any of the Companions of the Messenger (PBUH).  

        During the period of Al-Wada'iin, the writers who were specialized in telling lies about the Messenger of Allah (PBUH) misused Abu Hurairah's wide reputation for narrating about the Messenger of Allah (PBUH), and whenever they fabricated a hadith they used to say, "Abu Hurairah said...." By so doing they were attempting to make Abu Hurairah's reputation and status as a narrator about the Prophet (PBUH) questionable. However, because of the extraordinary efforts exerted by great reverent people who devoted their lives to serve the Prophetic Hadith and reject every falsehood, Abu Hurairah (May Allah be pleased with him) was saved from the lies and fabrications that the vicious wanted to infiltrate into Islam through him and to make him bear their sins.  

       Now, when we hear a preacher, lecturer or the one who delivers the Friday sermon saying this transmitted expression, "Narrated by Abu Hurairah (May Allah be pleased with him): The Messenger of Allah (PBUH) said,..."  

        I say when you hear this name in that form, or when you meet it many times in books of hadith, biography, jurisprudence, and religious books generally, you have to know that you are meeting the most interesting personality of the Companions with regard to his ability and talents of listening because of the wonderful traditions and wise instructions that he memorized about the Prophet (PBUH), which was his great fortune and incomparable gift.  

        Having this gift (May Allah be pleased with him), he was naturally one of the Companions who were most capable of vividly reminding you of those days when the Messenger (PBUH) and his Companions were living and of transporting you to that horizon which witnessed the glorious deeds of the Prophet (PBUH) and his Companions who gave vitality and significance to life and led to the right path.  

        So if these lines have moved your curiosity to get introduced to Abu Hurairah and hear some things about him, here is what you want.  

        He was one of those who reflected the Islamic revolution and all the tremendous changes that it brought about! He changed from a workman to a master, from a lost man in the crowd to an Imam and outstanding man, from a worshiper of accumulated stones to a believer in Allah, the One, the irresistable.  

        He said. I was brought up as an orphan, and I emigrated as a poor man. I worked for Busrah Bint Ghazwaan for my daily food. I used to serve them when they dismounted, and walked near them when they rode. And now Allah has married her to me. All praise to Allah Who made the religion our support and made Abu Hurairah an lmam.  

        It was A.H.7 when he went to the Prophet (PBUH), while the latter was in khaibar, and embraced Islam. From the time he pledge allegiance to the Prophet (PBUH), he would not part from him except to sleep. Thus were the four years in which he lived with the Messenger of Allah (PBUH) from the time he embraced Islam till the Prophet died. We say that those four years were very long, full of virtuous words, deeds, and listening.  

        By virtue of his good nature, Abu Hurairah was able to play a prominent role by which he could serve the religion of Allah. There were many war heroes among the Companions. There were many jurisprudents, propagators of the faith, and teachers, but the milieu and people lacked writing and scribes. In that time, mankind - not only Arabs - was not much concerned with writing. It was not a sign of development in any society. It was the same even in Europe not so long ago. Most of its kings, with Charlemagne at the top of the list, could not read or write, although they were intelligent and capable at the same time.  

        Let us go back to our talk about Abu Hurairah. He realized by his nature the need of the new society that Islam was building for those who would keep its legacy and teachings. There were scribes among the Companions who used to write, but they were few. Besides, some of them had no free time to be able to write every hadith that the Messenger uttered.  

        Abu Hurairah was not a scribe, but learned by heart, and he had this necessary free time, for he had no land to plant or commerce to take care of. Believing that he had embraced Islam late, he intended to compensate for what he had missed by accompanying and sitting with the Messenger (PBUH). Besides, he himself knew the gift Allah had bestowed on him, which was his broad, retentive memory, which became even broader and stronger after the Messenger (PBUH) had invoked Allah to bless it for him. Then why should he not be one of those who took the burden of keeping this legacy and transmitting it to the coming generations? Yes, this was the role that his talents made possible for him to play, and he had to play it without flagging.  

        Abu Hurairah was not one of the scribes, but, as we said, he had a strong memory that made him retain things in his mind very quickly. He had neither land to plant nor commerce to keep him busy; hence he used to not part from the presence of the Messenger, neither in travel nor at other times.  

       Thus, he devoted himself and his precise memory to memorizing the hadiths and instructions of the Messenger of Allah (PBUH). When the Prophet (PBUH) died, Abu Hurairah kept narrating his traditions, which made some Companions wonder how he could know all those hadiths?  When did he hear them?  

       Abu Hurairah (May Allah be pleased with him) shed light on this phenomenon, as if defending himself against the doubts of some of the Companions.  

       He said: You say that Abu Hurairah narrates much about the Prophet (PBUH) and that the Muhaajiruun who preceded him to Islam do not narrate those traditions. But my friends among the Muhaajiruun were busy with their contracts in the market, and my friends among the Ansaar were busy with their lands. I was a poor man, always sitting with the Messenger of Allah, so I was present when they were absent, and I memorized if they forgot. Besides, one day the Prophet (PBUH) said, "Whoever spreads his garment till I finish my speech, then collects it to his chest, will never forget whatever I've said!" Therefore, I spread my clothes and he directed his speech to me, then I collected it. By Allah, I did not forget what he said to me later on. By Allah, I would have narrated nothing at all, but for a verse of Allah's Book:

 " Surely those who conceal the manifest Revelations and the guidance which We have revealed, after We have made it clear for the people in the Book, those it is who shall be cursed by GOD and by those who curse"
 (2:159).  

        This was the way Abu Hurairah explained the reason for being unique in narrating so many hadiths about the Messenger of Allah (PBUH). First, he had the time to accompany the Prophet more than any one else. Second, he had a strong memory blessed by the Messenger so it became stronger. Third, he did not narrate because he was fond of narrating but because spreading those traditions was the responsibility of his religion and life; otherwise he would be a concealer of the good and right, negligent of his duties, and would deserve the punishment of the negligent.  

 For these reasons he kept narrating, and nothing could stop or hinder him, even when `Umar, the Commander of the Faithful, told him, "Stop narrating about the Messenger of Allah, or I'll send you to the land of the Daws" - the land of his people. But this prohibition from the Commander of the Faithful was not an accusation of Abu Hurairah, but a support of a theory `Umar was adopting and stressing, that the Muslims during this very period should read and memorize nothing but the Qur'aan so that it would settle in their hearts and minds. The Qur'aan is Islam's book, constitution and dictionary. Narrating about the Messenger of Allah (PBUH) abundantly, especially in those years that followed his death (PBUH) when the Qur'aan was being compiled, caused unnecessary confusion. That is why `Umar used to say, "Get busy with the Qur'aan; it is Allah's words. He also used to say, "Narrate a little about the Messenger of Allah but for what can be followed."  

        When he sent Abu Muusaa Al-Ash'ariy to Iraq, he said to him, "You are going to people where you can hear the sound of the Qur'aan in their mosques as if it were a drone of bees. Let them do what they are doing and don't occupy them with traditions. I'm your partner in this." The Qur'aan had been compiled in a warranted way such that nothing had crept into it. But `Umar could not guarantee that some traditions were not slanted, forged, or taken as a way to tell lies about the Messenger of Allah (PBUH) and thus harm Islam.  

       Abu Hurairah appreciated `Umar's point of view, but he was also sure of himself and his honesty. He did not want to conceal anything of the traditions or knowledge that he thought would be a sin to conceal. Hence, whenever he found a chance to unload the traditions he had heard or understood from his breast, he did so.  

        An important reason which played a prominent role in provoking troubles around Abu Hurairah for talking about and narrating many traditions was the fact that there was another narrator in those days who used to narrate and exaggerate about the Messenger (PBUH), and the Muslim Companions were not certain of his traditions. This narrator was Ka'b Al-Ahbaar, who was a Jew who had embraced Islam.  

        Once Marwaan Ibn Al-Hakam wanted to examine Abu Hurairah's ability to memorize. He invited him to sit with him and asked him to narrate about the Messenger of Allah (PBUH) while a scribe sat behind a screen and was told to write whatever Abu Hurairah said. After a year, Marwaan invited him once again and asked him to narrate the same traditions the scribe had written. Abu Hurairah had not forgotten a single word!  

        He used to say about himself, "No one among the companions of the Messenger of Allah (PBUH) narrates about him more than I do except `Abd Allah Ibn Amr Ibn Al-'Aas. He used to write, but I didn't."  

       Imam Ash- Shaafiy (May Allah be pleased with him) said about him, "No one in his period was more capable of narrating traditions with such a memory than Abu Hurairah."  

        Al Bukhaariy (May Allah be pleased with him) said, "Almost eight hundred or more Companions, followers (the generation after the Companions) and people of knowledge narrated through Abu Hurairah." Thus, Abu Hurairah was a big, immortal school.  
    
    Abu Hurairah (May Allah be pleased with him) was an ever- and oft-returning worshiper who used to take turns with his wife and daughter in praying the whole night. He prayed one third of the night, his wife another third, and his daughter a third. Thus, not one hour of the night passed in Abu Hurairah's house without prayers. In order to be free to accompany the Messenger of Allah (PBUH), he suffered the cruelty of hunger like nobody else. He used to talk about the times when hunger was so cruel that he would put a stone on his stomach, press his liver with his hand, and fall in the mosque while twisting that stone such that some of his friends thought that he was epileptic, but he was not.  

        When he embraced Islam, he had only one continuously oppressing problem that would not let him sleep. That problem was his mother, for from that day onwards she refused to embrace Islam. Not only that, but she also used to hurt her son by speaking ill of the Messenger of Allah. One day she spoke to Abu Hurairah about the Messenger of Allah (PBUH) in a way that he hated. So, he left her crying and sad and went to the Messenger's mosque.  

       Let us listen to him narrate the rest of the story: I went to the Messenger of Allah crying and said, "O Messenger of Allah, I used to call Umm Hurairah to Islam, and she used to refuse. Today, I called her, but she spoke to me about you in a way that I hated. Invoke Allah to guide Umm Hurairah to Islam." 

So the Messenger of Allah (PBUH) said, "O Allah, guide Umm Hurairah." Then I ran out to give her the good news about the Messenger of Allah's invocation to Allah. When I arrived at the door, I found it closed, and I beard the sound of water. She called, "Stay where you are, Abu Hurairah." Then she put on her shift and veil and she came out saying, "I bear witness that there is no god but Allah and that Muhammad is His slave and Messenger." So I hurried to the Messenger of Allah (PBUH) crying out for joy as I had cried for sadness and I said, "Here is good news, O Messenger of Allah. Allah has answered your invocation. Allah has guided Umm Hurairah to Islam." I added, "O Messenger of Allah, invoke Allah to make all the believers love me and my mother." He said, "O Allah, make every believer love this slave of Yours and his mother."  
    
    Abu Hurairah led the life of a worshiper and fighter. He did not miss a battle or a pious deed. 

During the caliphate of `Umar lbn Al-Khattaab (May Allah be pleased with him), he made him governor of Bahrain. `Umar, as we know, used to call his rulers sternly to account. If he made one of them governor when he had two garments, on the day he ceased to govern, he should still own no more than those two garments, and it would be better to leave office with only one ! But if he left office with any display of wealth, he would not escape `Umar's reckoning, even if the source of his fortune was halaal. It was another world that `Umar filled with wonders and miracles.  

       When Abu Hurairah was made governor of Bahrain, he saved some money from halaal sources However, Umar knew and invited him to Al-Madiinah.  

       Let Abu Hurairah narrate the quick conversation that took place between them: `Umar said to me, "O the enemy of Allah and His Book, did you steal the money of Allah?" I said, "I am not the enemy of Allah or His Book. I am the enemy of their enemy. Besides, I am not the one who steals the money of Allah!" He said, "Then how did you gather 10,000?" I said, "I had a horse that had foaled repeatedly." `Umar said, "Put it (the money) in the Bait Al-Maal (the treasury)."  
        Abu Hurairah gave the money to `Umar and raised his hands towards the sky saying, "O Allah, forgive the Commander of the Faithful." After a while `Umar called Abu Hurairah and offered him the governorship again. However, he refused and apologized. `Umar asked why. Abu Hurairah said, "So that my honor would not be at stake, my money would not be taken, and my back would not be beaten." He added, "I'm afraid I would judge without knowledge or speak without patience."  

       One day, his yearning to meet Allah intensified. While his visitors were invoking Allah to cure him of his disease, he was imploring Allah saying, "O Allah, I love to meet You, so love to meet me." In A.H. 59, he died at the age of 78. His calm body was buried in a blessed place among the reverent inhabitants of Al-Baqii'  

        Returning from his funeral, the people kept reciting many of the traditions that he had taught them about the noble Messenger. One of the recent Muslims asked his friends, "Why was our deceased sheikh called Abu Hurairah?" His knowing friend answered, "In the pre Islamic time his name was `Abd Shams. When he embraced Islam, the Messenger called him `Abd Ar-Rahman. He used to be sympathetic towards animals. He had a cat that he used to feed, carry, clean, and shelter, and it used to accompany him as if it were his shadow. Thus, he was called Abu Hurairah, which means father of the small cat. May Allah be pleased with him."  
 



.¤ª"˜¨¯¨¨ Abu Hurairah oAbu Hurairah¸,ø¨¨"ª¤.


Para Sahabat - The Companions

o
.¤ª"˜¨¯¨¨ Abbas Bin Abdul Muthalib¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨Al-'Abbaas Ibn Al-Muttalib¸,ø¨¨"ª¤.
Pengurus air minum untuk Kota Suci Mekah
dan Madinah (Haramain). 



Pada suatu musim kemarau, di waktu penduduk dan negeri ditimpa kekeringan yang sangat, keluarlah Amirul Mu’minin Umar bersama-sama Kaum Muslimin ke lapangan terbuka, melakukan shalat istisqa’ (minta hujan), dan berdu’a merendah­kan diri kepada Allah yang Penyayang agar mengirimkan awan dan menurunkan hujan kepada mereka..Umar berdiri sambil memegang tangan kanan Abbas dengan tangan kanannya, diangkatkannya ke arah langit sembari ber­kata:  ”Ya Allah, sesungguhnya kami pernah memohonkan hujan perantaraan Nabi-Mu, pada masa beliau masih berada di antara kami . . . . Ya Allah, sekarang kami meminta hujan pula perantaraan paman Nabi-Mu, maka mohonlah kami diberi hujan … !”

Belum lagi sempat Kaum Muslimin meninggalkan tempat mereka, datanglah awan tebal dan hujan lebat pun turunlah, mendatangkan sukacita, menyiram bumi dan menyuburkan tanah. Para shahabat pun menemui Abbas, memagut dan men­ciumnya Serta mengambil berkat dengannya sambil berkata:  ”Selamat kami ucapkan untuk anda, wahai penyedia air minum Haramain (Mekah – Madinah) … !”

Nah, siapakah dia penyedia air minum Haramain ini? 

Dan siapakah orang yang dijadikan Umar sebagai perantara baginya kepada Allah, padahal. Umar sudah tak asing lagi bagi kita ketaqwaannya, kedahuluannya masuk Islam, serta kedudukannya di sisi Allah dan di sisi Rasul-Nya serta di sisi orang-orang beriman . . . ?

Ia adalah Abbas, paman Rasulullah saw. Rasul memulyakannya sebagaimana ia pun mencintainya, juga memujinya dan menyebut-nyebut kebaikan budi pekertinya, sabdanya:“Inilah orang tuaku yang masih ada ……Inilah dia Abbas bin Abdul Mutthalib, orang Quraisy yang paling pemurah dan teramat ramah … !Sebagaimana Hamzah adalah paman Nabi dan Shahabatnya, demikian pula halnya Abbas paman dan teman sebayanya, se­moga Allah ridla keduanya … !

Perbedaan umur antara keduanya hanya terpaut dua atau .tiga tahun yakni lebih tua Abbas dari Rasulullah. 

Demikianlah, Muhammad saw dan pamannya Abbas merupakan dua orang anak yang hampir sebaya dan dua orang pemuda dari satu ang­katan. Ikatan kekeluargaan bukanlah satu-satunya alasan yang menyebabkan keakraban dan terjalin persabatan yang intim antara keduanya,tetapi persamaan umur tidak kurang berpengaruhnya.Hal lain yang menyebabkan Nabi menempatkan Abbas di tempat pertama, ialah karena akhlaq dan budi pekertinya. Abbas adalah seorang yang pemurah, sangat pemurah, seolah-olah dialah paman atau bapak kepemurahan . . . . 

Ia selalu menjaga dan menghubungkan tali silaturrahmi dan kekeluargaan, dan untuk itu tidak segan-segan mengeluarkan tenaga ataupun harta . . . . 

Di samping itu semua, ia juga seorang yang cerdas, bahkan sampai ke tingkat genius . . . . dan dengan kecerdasannya ini yang disokong oleh kedudukannya yang tinggi di kalangan Quraisy, ia sanggup membela Rasul saw. dari bencana dan kejahatan mereka, ketika beliau melahirkan da’wahnya secara terang-terangan.

Dalam pembicaraan kita tentang Hamzah terdahulu, kita mengenal Hamzah yang selalu menentang kedurhakaan orang Quraisy dan kebiadaban Abu Jahal dengan pedangnya yang arnpuh.

 Adapun Abbas, ia menentangnya dengan kecerdasan dan kecerdikan yang memberi manfa’at bagi Islam sebagaimana halnya senjata pedang yang bermanfa’at dalam membela haknya dan mempertahankannya … !

Maka Abbas tidak mengumumkan keislamannya kecuali baru pada tahun pembebasan kota Mekah, yang menyebabkan sebagian ahli sejarah memandangnya tergolong kepada orang­-orang yang belakangan masuk Islam, tetapi riwayat-riwayat lain dalam sejarah memberitakannya termasuk orang-orang Islam angkatan pertama, hanya Saja menyembunyikan keislam­annya itu ….Berkatalah Abu Rafi’ khadam Rasulullah saw.: “Aku adalah anak suruhan (pelayan) bagi Abbas bin Abdul Mutthalib, dan waktu itu Islam telah masuk kepada kami, ahli bait … ke­luarga Nabi … maka Abbas pun masuk Islam begitu pula Ummul. Fadlal, dan aku pun juga masuk … hanya Abbas menyembunyi­kan keislamannya . . . !”

 Inilah riwayat Abu Rafi’ yang men­ceritakan keadaan Abbas dan masuk Islamnya sebelum perang Badar Dan kalau begitu, waktu itu Abbas telah menganut Islam….Beradanya ia di Mekah sesudah Nabi dan shahabat-shahabat­nya merupakan suatu langkah perjuangan yang sudah direncana­kan dengan matang hingga membuahkan hasil yang sebaik­baiknya.

Orang-orang Quraisy pun tidak menyembunyikan keragu­-raguan mereka tentang hati kecil Abbas, tetapi mereka tak punya alasan untuk memusuhinya, apalagi pada lahirnya tingkah laku dan agamanya tidaklah bertentangan dengan kemauan mereka!Hingga waktu datang perang Badar terbukalah kesempatan bagi orang-orang Quraisy untuk menguji rahasia hati dan pen­dirian Abbas yang sesungguhnya . . . . 

Sedang Abbas lebih cerdik dan tidak lengah terhadap gerak-gerik dan tipu muslihat busuk yang direncanakan Quraisy dalam melampiaskan kejengkelannya dan mengatur permufakatan jahat mereka ….Sekalipun Abbas telah berhasil menyampaikan keadaan dan gerak-gerik orang-orang Quraisy kepada Nabi di Madinah orang Quraisy pun berhasil memaksanya maju berperang, suatu perbuatan yang tidak disukai dan dikehendakinya..!

 Namun keberhasilan Quraisy itu adalah keberhasilan sementara, karena ternyata berbalik membawa kerugian dan kehancuran mereka….Kedua golongan itu pun bertemulah di medan perang Badar . . . . Pedang-pedang pun gemerincing beradu dalam kecamuk perang yang menakutkan, yang akan menentukan hidup mati dan akhir kesudahan kedua belah pihak ….Rasulullah berseru di tengah-tengah para shahabatnya, katanya: 
 ”Sesungguhnya ada beberapa orang dari keluarga Bani Hasyim dan yang bukan Bani Hasyim yang keluar dipaksa pergi berperang, padahal sebenarnya mereka tidak hendak memerangi kita . . . oleh sebab itu siapa di antara kamu yang menemukannya, maka janganlah ia dibunuhnya . . ! Siapa yang bertemu dengan Abul Bakhtari bin Hisyam bin Harits bin Asad, janganlah membunuhnya . . . ! Dan siapa yang bertemu dengan Abbas bin Abdul Mutthalib, jangan membunuhnya karena orang­orang itu dipaksa untuk ikut berperang … !”

Dengan perintahnya ini tidak berarti Rasul hendak mem­berikan keistimewaan kepada pamannya Abbas,karena tidak pada tempatnya dan bukan pula pada waktunya! Dan bukanlah Muhammad saw. orangnya yang akan rela melihat kepada para shahabatnya berjatuhan dalam pertempuran menegakkan yang haq, lalu membela pamannya dengan memberinya hak-hak isti­mewa, di saat pertempuran sedang berlangsung, seandainya diketahuinya bahwa pamannya itu orang musyrik ….

Benar . . . ! Rasul yang pernah dilarang Allah memintakan ampun untuk pamannya Abu Thalib .. hanya semata-mata memintakan ampun , sekalipun Abu Thalib banyak jasa dan pemberiannya terhadap Nabi Muhammad saw. dan Islam berupa pembelaan dan pengurbanan . . . .

Tidaklah logis dan masuk akal jika ia akan mengatakan ke­pada orang-orang yang bertempur di perang Badar memerangi bapak-bapak dan sanak-sanak saudara mereka dari golongan musyrik:  ”Kecualikan oleh kalian dan jangan bunuh pamankuLain halnya kalau Rasul mengetahui pendirian pamannya yang sebenarnya, dan ia tabu bahwa pamannya itu menyembu­nyikan keislamannya dalam dadanya, sebagaimana diketahuinya pula jasa-jasanya yang tidak sedikit serta pengabdian-pengabdian­nya yang tak terlihat terhadap Islam . . . serta diketahuinya pula belakangan, bahwa ia dipaksa ikut berperang dan mengalami tekanan, maka waktu itu adalah kewajiban Nabi untuk melepaskan orang yang mengalami nasib seperti ini dari marabahaya, dan melindungi darahnya selama kemungkinan masih terbuka…

Seandainya Abu Bakhtari bin Harits (bukan sanak keluarga Nabi) yang tidak dikenal menyembunyikan keislamannya, dan tidak pernah pula membela Islam walaupun secara diam-diam sebagaimana dilakukan Abbas, paling-paling kelebihannya hanya karena ia tak pernah ikut-ikutan dengan pemimpin-pemimpin Quraisy menyakiti dan menganiaya Kaum Muslimin, dan tidak menyukai tindakan mereka yang demikian, dan ia ikut dalam peperangan karena dipaksa dan ditekan ….

Seandainya Abu Bakhtari hanya disebabkan hal-hal itu telah berhasil mendapatkan syafa’at Rasulullah untuk dilindungi darahnya serta nyawanya . . . maka apakah seorang Muslim yang terpaksa menyembunyikan keislamannya . . . . dan laki-laki ini pembelaannya terhadap Islam dapat dibuktikan secara nyata, sedang yang lainnya secara diam-diam dan tersembunyi . . . apakah tidak lebih berhak dan lebih pantas untuk mendapatkan syafaat tersebut . . . ? Benarlah demikian dan tidak salah! Se­benarnya Abbas adalah orang Muslim dan pembela itu! 

Dan marilah kita kembali ke belakang sejenak untuk meninjaunya!

Pada Bai’atul Aqabah Kedua, di mana sebanyak tujuhpuluh tiga pria dan dua wanita perutusan Anshar datang ke Mekahdi musim haji guna mengangkat sumpah setia kepada Allah dan Rasul-Nya, dan untuk merundingkan hijrah Nabi saw. ke Madinah, waktu itulah Rasul menyampaikan berita perutusan dan bai’at ini kepada pamannya karena Rasul sangat memper­cayainya dan memerlukan buah fikiran pamannya itu …

Tatkala tiba waktu berkumpul yang dilakukan secara sem­bunyi-sembunyi dan rahasia, keluarlah Rasul bersama pamannya Abbas ke tempat orang-orang Anshar menunggu.Abbas ingin menyelidiki dan menguji golongan ini sampai di mana kesetiaan mereka terhadap Nabi . . . . Marilah kita persilakan salah seorang anggota perutusan itu untuk men­ceritakan kepada kita peristiwa yang didengar dan dilihatnya sendiri. Orang itu. ialah Ka’ab bin Malik r.a. demikian ceritanya:“. . .. Kami telah duduk menanti kedatangan Rasul di tengah jalan menuju bukit, hingga akhirnya beliau datang dan ber­samanya Abbas bin Abdul Mutthalib. 

Abbas pun angkat bicara katanya: “Wahai golongan Khazraj, anda sekalian telah mengetahui kedudukan Muhammad saw. di sisi kami, kami telah membelanya dari kejahatan kaum kami, sedang ia mem­punyai kemuliaan dalam kaumnya dan kekuatan di negerinya. Tetapi ia enggan bergabung dengan mereka, bahkan ia bermaksud ikut kalian dan hidup bersama kalian . . . . Seandainya kalian benar-benar hendak menunaikan apa yang telah kalian janjikan kepadanya dan kalian membelanya terhadap orang yang memusuhinya, silakan kalian memikul tanggung jawab tersebut! Tetapi seandainya kalian bermaksud akan menyerahkan dan mengecewakannya sesudah ia bergabung dengan kalian, lebih baik dari sekarang kalian meninggalkannya … !”Abbas mengucapkan kata-katanya yang tajam lagi keras ini dengan sorotan matanya seperti mata elang ke wajah orang­orang Anshar . . . untuk mengikuti kesan kata-kata itu dan jawabannya yang segera ….

Dan ia tidak hanya sampai di situ saja. 

Kecerdasannya yang tinggi adalah kecerdasan praktis yang dapat menjangkau jauh akan hakikat sesuatu bidang kenyataan, dan menghadapi setiap perspektifnya sebagaimana layaknya seorang yang mempunyai perhitungan dan pengalaman. Ketika itu dimulainya pula per­cakapannya dengan mengemukakan pertanyaan cerdik, demi­kian: “Coba anda lukiskan kepadaku peperangan, bagaimana caranya anda memerangi musuh-musuh anda . ‘ ‘? “

Berdasarkan kecerdasan dan pengalamannya terhadap orang­orang Quraisy Abbas telah dapat menyimpulkan bahwa pepe­rangan tak dapat  tidak akan terjadi antara Islam dan kemusyrik­an! 

Orang-orang Quraisy tak hendak mundur dari agamanya, dari rasa keningratannya dan keingkarannya, sedang Islam Agama yang tetap haq itu tak akan mengalah terhadap yang bathil mengenai haq-haqnya yang telah disyari’atkan . . . . Nah, apakah orang-orang Anshar ,,, penduduk’ Madinah akan tahan berperang waktu terjadi nanti … ? 

Apakah mereka, dalam bidang seniyudha dapat menandingi orangorang Quraisy yang cekatan dalam taktik dan muslihat perang? Oleh karena inilah ia mengemukakan pertanyaannya yang lalu sebagai pan­cingan:  ”Coba gambarkan kepadaku, bagaimana anda me­merangi musuh-musuh anda … !”Ternyata orang-orang Anshar yang mendengarkan perkataan Abbas ini, adalah laki-laki yang teguh kukuh laksana gunung … ! Belum sempat Abbas menyelesaikan bicaranya, terutama per­tanyaan yang merangsang dan menggairahkan itu orang-orang itu sudah mulai angkat bicara . . . . 

Abdullah bin Amer bin Hiram mulai menjawab pertanyaan tersebut: “Demi Allah kami adalah keluarga prajurit .. . yang telah makan asam garamnya medan laga, kami pusakai dari nenek moyang kami turun­-temurun. Kami pemanah cekatan, penembus jantung setiap sasaran, pelempar lembing, memecah kepala setiap coaling dan pemain pedang, penebas setiap penghalang . . . !”

Abbas menjawab dengan wajah berseri-seri: “Kalau begitu anda sekalian ahli perang, apakah anda juga punya baju besi?” Jawab mereka “Ada …. kami punya cukup banyak!” 

Kemudian terjadilah percakapan penting dan menentukan antara Rasulullah saw. dan orang-orang Anshar . . , percakapan yang insya Allah akan kami paparkan nanti dalam lembaran-lembaran yang akan datang ….Demikianlah peranan Abbas dalam Bai’atul Aqabah . . . . 

Baginya sama saja apakah ia telah masuk Islam waktu itu secara diam-diam, atau masih dalam berfikir, tapi jelas peranannya sangat penting dalam menetapkan garis pemisah antara kaumnya yang akan tenggelam ke dalam kegelapan malam dan kekuatan membawa cahaya terbit menuju terang benderangnya siang. 

Dalam peristiwa itu terlihat pula kejantanannya seorang pahlawan dan ketinggiannya seorang ilmuwan.Pecahnya perang Hunain akan memperkuat bukti keberanian dari orang yang kelihatannya pendiam dan lemah lembut ini yang diperlihatkannya di arena pertempuran, semacam kepah­lawanan yang akan memenuhi ruang dan masa, yakni sewaktu ia sangat diperlukan dan keadaan amat memerlukan, sementara pada saat-saat lainnya ia terpendam jauh dalam dada, terlindung dari cahaya . . . !

Di tahun kedelapan hijrah, sesudah Allah membebaskan negeri Mekah bagi Rasul dan Agamanya, sebagian kabilah yang berpengaruh di jazirah Arab tidak sudi melihat kemenangan gemilang dan perkembangan yang cepat dari Agama ini …. 

Maka bersatulah kabilah-kabilah Hawazin, Tsaqif, Nashar, Jusyam dan lain-lain, lalu mengambil keputusan untuk melancar­kan serangan menentukan terhadap Rasulullah dan Kaum Mus­limin. . . .Dan janganlah kita terpedaya mendengar kata-kata “kabilah”, sehingga terbayang pada kita corak peperangan-peperangan yang diterjuni Rasul pada masa itu, hanya semata-mata perkelahian kecil-kecilan dari orang-orang gunung, yang dilancarkan kabilah-­kabilah dari tempat-tempat perlindungan mereka … !

Mengetahui hakikat kenyataan ini tidak Saja memberikan kepada kita suatu penilaian yang teliti bagi usaha luar biasa yang dapat memberikan ukuran yang sehat dan dipercaya tentang nilai kemenangan besar yang telah dicapai oleh Islam dan orang­orang yang beriman, dan suatu gambaran yang jelas terhadap taufik Allah yang menonjol pada setiap kejayaan dan keme­nangan ini . . . !Kabilah-kabilah tersebut telah menghimpun diri dalam barisan-barisan besar, terdiri dari para prajurit perang yang keras, ganas dan ulet . . . . Kaum Muslimin tampil dengan jumlah kekuatan dua belas ribu orang. Tentu anda akan bertanya . . . duabelas ribu orang . . . ? 

Ya benar, duabelas ribu orang yang telah membebaskan Mekah dari kehidupan anarsis, kehidupan syirik dan kekejaman, kehidupan penyembahan berhala dan penguburan anak perempuan. Yang telah membebaskan Mekah dari orang-orang yang mengusir Nabi dan ummat Islam, bahkan dari kaum yang mengejar-kejar Nabi dan ummat Islam sampai Madinah.Duabelas ribu orang yang telah mengibarkan panji-panji Islam di angkasa Mekah di atas puing-puing berhala, dengan tidak setetes pun darah tertumpah . . . !

Suatu kemenangan yang membangkitkan kesombongan bagi sebagian Kaum Muslimin yang imannya masih lemah. Ya, bagai­mana pun mereka adalah manusia, karenanya mereka jadi lemah berhadapan dengan kemegahan yang dibangkitkan oleh jumlah mereka yang banyak dan organisasi yang rapi serta kemenangan mereka yang besar di Mekah, hingga keluarlah ucapan mereka:  ”Sekarang, dengan jumlah sebanyak ini, kita tak mungkin dapat dikalahkan lagi … !”

Karena segala peristiwa yang dialami Kaum Muslimin pada masa hidup Pasulullah merupakan cermin sejarah, yang menjadi pendidikan bagi umatnya yang hidup kemudian, maka peris­tiwa Hunain ini merupakan tonggak sejarah yang perlu di­perhatikan.

Suatu perjuangan suci tidak mungkin tercapai apabila di­campuri niat riya dan sikap congkak, serta hanya didasarkan pada kekuatan dan jumlah pasukan.Dalam perang Hunain ini Allah memberikan pelajaran pada mereka walau harus ditebus dengan pengurbanan yang besar.

Pelajaran itu berupa kekalahan besar yang mendadak di awal peperangan ini, hingga setelah mereka berendah diri memohon kepada Allah, ampunan dan melepaskan diri dari alam materi serta mendekatkan diri pada inayat Ilahi, meninggalkan ketergantungan kekuatan hanya atas pasukan, lalu mengandalkan kekuatan Allah, barulah kekalahan mereka berbalik jadi kemenangan, dan turunlah ayat al-Quranul Karim memperingat­kan Kaum Muslimin:dan di waktu perang Hunain, yakni ketika kalian merasa bangga dengan jumlah kalian yang banyak, maka ternyata itu tidak berguna sedikit pun bagi kalian hingga bumi yang lapang kalian rasakan sempit, lalu kalian ber­paling melarikan diri . . . !” 

Kemudian Allah menurunkan sakinah-Nya kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan diturunkannya balatentara yang tiada kalian lihat dan disiksa-Nya orang-orang kafir! Dan itulah memang balasan bagi orang kafir … !”  
(Q.S. 9 at- Taubat: 25 — 26)

Waktu itu suara Abbas dan keteguhan hatinya merupakan tanda-tanda sakinah dan keberanian mempertaruhkan nyawa yang lebih gemilang . . . . Maka Sewaktu orang Islam sedang berkumpul menyusun kekuatan di salah satu lembah Tihamah sambil menanti-nanti kedatangan musuh, sebenarnya orang-orang musyrik telah mendahului mereka ke lembah dan bersembunyi di parit-parit dan di tepi-tepi jalan bukit, siap dengan senjata di tangan untuk memulai serangan.

Ketika Kaum Muslimin sedang lengah itu mereka menyerbu dan melakukan sergapan secara mendadak dan membingungkan, menyebabkan Kaum Muslimin sama melarikan diri sejauh-jauh­nya hingga tak sempat menoleh ke kiri dan kanan, Rasulullah menyaksikan akibat sambaran dan serangan mendadak itu ter­hadap Kaum Muslimin.

 Beliau naik ke atas punggung kuda begalnya yang putih, lalu berseru dengan suara keras: “Hendak ke mana kalian . . . ? Marilah kepadaku .. . aku adalah Nabi, tidak pernah bohong . . . aku anak Abdul Mutthalib … !” 

Di keliling Nabi waktu itu hanya tinggal Abu Bakar, Umar, Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdul Mutthalib bersama anaknya Fadlal bin Abbas, Ja’far bin Harits, Pabi’ah bin Harits, Usamah bin Zaid, Aiman bin Ubeid dan beberapa shahabat lainnya yang tak banyak jumlahnya.Ada lagi di sans seorang perempuan yang beroleh kedudukan tinggi di antara laki-laki dan para pahlawan …. namanya Ummu Sulaim binti Milhan …. 

Perempuan ini telah melihat kebingung­an Kaum Muslimin dan keadaan mereka yang kacau balau, maka segera ia menunggangi unta suaminya Abu Thalhah r.a. dan terus menghentak unta itu ke arah Rasul ….
Sewaktu janin yang ada dalam perutnya bergerak,
 — karena waktu itu ia sedang hamil
 — dibukanya selendangnya lalu dibebatkannya ke perutnya dengan ikatan yang cukup kuat. 

Sewaktu ia sampai ke dekat Nabi saw. dengan khanjar terhunus di tangan kanannya, Rasul menyambutnya dengan tersenyum, katanya:
 “Ummu Sulaim? 

Jawabnya: “Benar . . . demi bapakku dan ibuku yang jadi tebusanmu, wahai Rasulullah … ! Bunuhlah semua mereka yang melarikan diri itu sebagaimana anda membunuh mereka yang memerangi anda; mereka patut mendapatkannya . . . !” 

Maka semakin bercahayalah senyuman di muka Rasul yang percaya sepenuhnya akan janji Tuhannya, lalu katanya: 
“Sesung­guhnya Allah telah cukup — jadi pelindung — dan jauh lebih baik, hai Ummu Sulaim … !”

Sewaktu Rasulullah dalam kedudukan demikian, Abbas berada di dekatnya bahkan antara kedua tumitnya memegang kekang keledainya, menghadang maut dan bahaya...

Nabi memerintahkan untuk memanggil orang banyak, karena Abbas mempunyai suara lantang, maka berserulah ia:
 — “Hai golongan Anshar . . . wahai pemegang bai’at . . . !” 

Maka seolah-olah suaranya itu suara kadar dan jurubicaranya jua …. 

Karena demi mereka yang ketakutan karena serangan mendadak ini dan yang kacau balau di dalam lembah itu, mendengar suara panggilan tersebut, mereka menjawabnya serentak: 
“Labbaika Lab­baika, kami segera datang, ini kami datang … !

Allah menurunkan sakinah dan mengembalikan keberanian dan semangat tempur Kaum Muslimin dengan perantaraan suara Abbas dan sikap kepahlawanannya.

 Mereka berbalik kembali laksana angin kencang, sampai­-sampai karena unta atau kudanya membandel, mereka melompat turun lari maju, sambil membawa baju besi, pedang dan panahnya menuju arah suara Abbas . . . 

Maka pertempuran berlangsung lagi dengan garang dan kejamnya. 

Rasulullah berseru: 
“Sekarang peperangan memuncak panas . . . !” Benar, perang menjadi panas . . . ! 

Dan berangsur-angsur korban di pihak Hawazin dan Tsaqif berjatuhan, pasukan berkuda Allah telah mengalahkan angkatan berkuda lata, dan Allah menurunkan sakinahnya kepada Rasul dan orang-orang Mu’min …Rasulullah amat mencintai Abbas, sampai beliau tidak dapat tidur sewaktu berakhirnya perang Badar, karena pamannya pada malam itu tidur bersama tawanan yang lain . . . . 

Nabi tidak menyembunyikan rasa sedihnya ini, sewaktu ditanyakan kepadanya, sebabnya. . . beliau tidak dapat tidur padahal Allah telah memberikan pertolongan sebesar-besarnya, beliau men­jawab: “Serasa terdengar olehku rintihan Abbas dalam beleng­gunya…

Salah seorang di antara Muslimin mendengar kata-kata Rasul tersebut, lalu segera pergi ke tempat para tawanan dan melepaskan belenggu Abbas. Orang ini kembali dan mengabarkan kepada Rasulullah, katanya:  ”Ya Rasulallah aku telah melonggarkan ikatan belenggu Abbas sedikit!” Tetapi kenapa hanya Abbas saja ? 

Ketika itu Rasul memerintahkan kepada shahabatnya itu: 
“Ayuh pergilah, laku­kanlah seperti itu terhadap semua tahanan … !”

Benar, kecintaan Nabi kepada pamannya tidak dimaksud­kannya untuk memperbedakannya dari manusia lain yang mengalami keadaan yang sama!

Dan tatkala musyawarah menetapkan membebaskan tawanan dengan jalan menerima tebusan,berkatalah Rasul kepada paman­nya:
 “Wahai Abbas . . . , tebuslah dirimu, dan anak saudaramu Uqeil bin Abi Thalib, Naufal bin Harits, dan teman karibmu ‘Utbah bin Amar saudara Bani Harits bin Fihir, sebab kamu banyak harta!”

Mulanya Abbas bermaksud hendak membebaskan dirinya tanpa membayar uang tebusan, katanya:  ”Hai Rasulullah, sebenarnya aku’kan sudah masuk Islam, hanya orang-orang itu memaksaku . . . !” Tetapi Rasul saw. terus mendesaknya agar membayarnya, dan berkenaandengan peristiwa ini turunlah ayat al-Quranul Karim memberikan penjelasan sebagai berikut

“Wahai Nabi! Katakanlah kepada tawanan yang ada dalam tanganmu: 
Jika Allah mengetahui dalam hati kalian kebaikan, pasti, 
la akan mengganti apa yang telah diambil daripada kalian dengan yang lebih baik dan Ia mengampuni kalian, dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang … !” 
(Q.S. 8 A-Anfal: 70)

Demikianlah Abbas menebus dirinya dan orang-orang ber­samanya dan pulang kembali ke Mekah … dan setelah itu jalan fikiran dan keimanan Abbas tidak dapat disembunyikan lagi pada orang Quraisy. 

Tak lama kemudian dikumpulkannya hartanya dan dibawanya barang-barangnya lalu terus menyusul Rasul ke Khaibar, untuk ikut mengambil bagian dalam rombong­an angkatan Islam dan kafilah orang-orang beriman …. 

Ia sangat dicintai dan dimuliakan oleh Kaum Muslimin, terutama karena melihat Rasul sendiri memuliakan Serta mencintainya,begitupun mendengar ucapan Rasul terhadapnya:
“Abbas adalah saudara kandung ayahku ….Maka siapa yang menyakiti Abbas tak ubahnya menyakiti­ku!”

Abbas meninggalkan keturunannya yang diberkati; 
Abdullah bin Abbas mutiara ummat dengan pengertian alim, ‘abid dan shaleh, adalah salah seorang anak yang diberkati Nabi.

Pada hari Jum’at tanggal 14 bulan Rajab tahun 32 Hijrah. penduduk kampung dataran tinggi Madinah mendengar pengumuman: 
“Rahmat Allah bagi orang yang menyaksikan Abbas bin Abdul Mutthalib!”

Mereka mendapati Abbas telah meninggal ….. 

Amat banyak sekali orang mengiringkan jenazahnya, belum pernah terjadi selama ini sebanyak itu. Jenazahnya dishalatkan oleh khalifah Muslimin pada waktu itu, yakni Utsman bin Affan r.a. Di bawah tanah Baqi’ beristirahatlah dengan tenang tubuh Abul Fadlal . . . . la tidur nyenyak dengan hati puas, di lingkungan orang baik­-baik yang telah sama-sama memenuhi janji mereka kepada Allah

(34)  
AL -`ABBAAS IBN `ABD AL-MUTTALIB  
The Provider of Water of the Two Harams The Masjid  
Al-Haram in Makkah and the Masjid An-Nabawi in Al-Madiinah 


        In the Year of Drought, the Commander of the Faithful `Umar, along with a great number of Muslims, went out into a vast open area to perform the prayer for rain and supplicate Allah the Most Merciful to send down rain. `Umar (May Allah be pleased with him) held Al `Abbaas's right hand in his right hand and raised it towards the sky and supplicated, "O Almighty Allah, we used to ask You for rain for the Prophet's sake while he was alive. O Almighty Allah, today, we ask you for rain for the sake of the Prophet's uncle. So please send down rain on us." The Muslim congregation did not leave until rain poured announcing glad tidings, irrigation, and fertility.  

       The Companions rushed to embrace Al-'Abbaas and express their affection for his blessed status saying, "Rejoice! You are now the provider of water of the two Harams."  

        What was the man who was called the provider of water of the two Harams really like? Who was this man for whose sake `Umar beseeched Allah to send down rain, notwith- standing `Umar's piety, precedence, and high station well-known to Allah, His Prophet and the believers? He was Al-'Abbaas, the Prophet's (PBUH) uncle. The Prophet (PBUH) held him in great esteem. His reverence and love for him were inseparable. He always praised his good nature saying, "He is the only one left of my family."  

       Al-'Abbaas Ibn Abd Al-Muttalib was the most generous man of the Quraish. Moreover, he was good to his relatives and maintained the bond of kinship!  

       Al-Abbaas, just like Hamzah (May Allah be pleased with them both), was nearly the same age as the Prophet, being only two or three years older. Thus, Muhammad and his uncle Al- Abbaas were of the same age and generation as children and as young men. Being relatives was not the only bond that made them close friends. They were tied by the bonds of age and life- time friendship.  

        In addition, Al-'Abbaas's good nature and excellent manners complemented the Prophet's standards of judgment, for Al-'Abbaas was excessively generous, as if he was the sponsor of good and noble deeds towards humanity. He treasured kinship bonds and cherished his family and relatives. He put himself, his influence, and his money at their disposal.  

       Moreover, he was an extremely intelligent man. His intelligence was tinged with craftiness. This, along with his high station among the Quraish, enabled him to avert mischief and abuse against the Prophet (PBUH) when he began to invite people openly to embrace Islam.  

        As we have mentioned before, Hamzah treated the Quraish's oppression and injustice and Abu Jahl's arrogance and hostility with his devastating sword. As for Al-'Abbaas, he treated them with a kind of intelligence and craftiness that benefited Islam in the same way that swords did to protect and defend its existence and victory. A group of historians mentioned Al-Abbaas among those who were last in embracing Islam, for his Islam was not announced openly until the year of the Conquest of Makkah. However, others narrated that he was foremost in submitting himself to Islam but that he hid his faith.  

       Abu Raafi'a, the Prophet's (PBUH) servant, said, "I was Al `Abbaas lbn `Abd Al-Muttalib's slave when Islam dawned on the family of the house. Thus, Al-'Abbaas, Umm Al-Fadl and I submitted ourselves to Islam, but Al-`Abaas hid his Islam." This is Abu Raafi'a's statement in which he witnessed Al-' Abbaas's Islam before the Battle of Badr.  

 Consequently, Al-`Abbaas was a foremost Muslim. His staying in Makkah despite the Prophet's (PBUH) Hijrah was a premeditated plan which bore fruit. The Quraish neither hid their suspicions of Al Abbaas's real intentions, nor could they find a reason to show hostility to him, especially when he showed nothing but adherence to their way of life and religion.  

       When the Battle of Badr took place, the Quraish found their golden opportunity to unveil Al- `Abbaas's real allegiance. Al-`Abbaas was a shrewd man who detected, at once, the evil plots which the Quraish resorted to to alleviate their anguish and loss.  

       If Al-`Abbaas was able to inform the Prophet (PBUH) in Al Madiinah of the Quraish's plans and preparation! they would still succeed in leading him into a battle which he did not believe in and did not want. However, it would be a temporary success which would soon turn into a devastating upheaval.  

       The two armies met in combat in the Battle of Badr. The Prophet (PBUH) called his Companions saying, "There are men of Bani Haashim and of other clans of the tribe who were forced to march forth. They do not really want to fight us. Therefore if any of you meet one of them during the battle, I order you to spare his life. Do not kill Abu Al-Bakhtariy Ibn Hishaam Ibn Al-Haarith Ibn Assad. Do not kill Al-' Abbaas Ibn `Abd Al-Multalib, for he was forced to go forth in this battle."  

        Now, the Prophet (PBUH) was not favoring his uncle Al-`Abbaas with a privilege, for it was neither the occasion nor the time for privileges. Muhammad (PBUH) would not intercede on his uncle's behalf - while the battle reached the apex of atrocity and while he saw his companions struck down in the battle of truth - if he knew that his uncle was one of the disbelievers. Indeed, if the Prophet had been ordered not to even ask for Allah's forgiveness for his uncle Abi Taalib, despite his endless support, help, and sacrifice for Islam, then how could he order the Muslims who were killing their own disbelieving fathers and brothers in the Battle of Badr to make an exception for his uncle and spare his life? It certainly does not seem logical or feasible. The only logical explanation is that the Prophet knew his uncle's secret and hidden allegiance and his secret services for Islam. He also knew that he was forced to go forth to the battle. Therefore, it was his duty to save him as far as he was able to.  

        If Abu Al-Bakhtariy Ibn Al-Haarith won the Prophet's intercession although he did not hide his Islam nor support it as Al-'Abbaas did, it was because he refused to take part in the Quraish's abuse and oppression against the Muslims. Second, he went forth to battle out of embarrassment and compulsion. Was not a Muslim who hid his Islam and supported it openly and secretly in many notable situations more worthy of this intercession? Indeed, Al-'Abbaas was that Muslim and that helper. Let us go back in time to prove this statement.  

        When 73 men and two women from a delegation of the Ansaar came to Makkah during the Hajj season to take the oath of allegiance to the Prophet in the Second Pledge of Al-'Aqabah and to make preparations with the Prophet for the imminent emigration of the Muslims to Al-Madiinah, the Prophet (PBUH) informed his uncle Al `Abbaas concerning all that went on between him and the delegation and about the pledge, for he trusted his uncle and treasured his opinion.  

        When it was time for the secret meeting, the Prophet (PBUH) and his uncle Al-'Abbaas went to where the Ansaar were waiting for them. Al-`Abbaas wanted to test their loyalty and ability to help and protect the Prophet.  

        Now, let us hear one of the delegation, Ka'b Ibn Maalik (May Allah be pleased with him) narrate the proceedings of this meeting: We sat in the ravine waiting for the Prophet (PBUH) until he arrived accompanied by his uncle. Al-'Abbaas Ibn Abd Al- Muttalib said, "O people of Khazraj, you are well aware of Muhammad's lineage. We have prevented our people from abusing him. He lives here protected and supported by his people and in his own country, yet he prefers to accompany you and emigrate to Al- Madiinah. So, on the one hand, if you are certain that you will be capable of giving him sufficient help, protection, and safety, then fulfill your pledge to the fullest. On the other hand, if you intend to forsake and thwart him after he has emigrated to you, then you had better show him your true colors now before it is too late."   As Al-`Abbaas uttered these decisive words, his eyes were surveying the Ansaar's faces in order to trace and observe their reflexes and reaction to his words. Al-'Abbaas was not satisfied with what he saw, for his great intelligence was a practical one that investigated tangible and solid facts and confronted them from all their angles with the scrutiny of a calculating expert.  

        Hence, he posed an intelligent question: "Describe to me your combat readiness and war strategy." Al-'Abbaas was astute enough and experienced with the nature and disposition of the Quraish to realize that war between Islam and disbelief was inevitable, for on the one hand there was no way that the Quraish would accept to forsake their religion, glory, and arrogance. On the other hand, Islam would not yield its legitimate rights to the power of falsehood. The question was, Would the people of Al- Madiinah stand firmly behind the Prophet (PBUH) at the outbreak of war? 

        Were they, technically speaking, on the same level of expertise in the tactics of war, attack, and retreat as the Quraish were ? That was what Al-'Abbaas had in mind when he asked them to describe their combat readiness and war strategy.  

        The Ansaar were firm as a mass of mountain as they listened to Al- `Abbaas. No sooner had he finished asking this provocative question than the Ansaar spoke: "By Allah, we are given to warfare. We are men of soldierly bearing. We were raised on the tactics of war and trained to fight. We inherited excellent warfare expertise from our fathers and grandfathers. We have learned to keep on shooting arrows until the last one. We have learned to stab with our spears until they break. We have learned to carry our swords and strike hard until either we or our enemy is vanquished."  

       Al-'Abbaas was overjoyed as he said, "I can tell from what I have just heard that you are masters of warfare, but do you have armor?" They answered, "Of course, we have armor, shields, and helmets."  

        Afterwards, a great and magnificent dialogue occurred between the Prophet (PBUH) and the Ansar, which we will narrate in detail later on. That was Al-'Abbaas's attitude at The Second Pledge of Al- 'Aqabah. Whether he had already embraced Islam or had not yet taken his final decision does not change the fact that his great attitude determined his forthcoming role in contributing to the eclipse of the power of darkness and the imminent dawn of Islam. Moreover, it sheds light on his outstanding stout- heartedness.  

        Finally, the Battle of Hunain took place, offering more evidence of the self-sacrifice of this quiet and compassionate man whose impressive and immortal heroism would be projected on the battlefield only under pressing necessity. Otherwise, this innate heroism would dwell in his innermost self, yet it would always be lurking there.  

        In A.H. 8 and after Allah had enabled His Prophet and Islam to achieve the Conquest of Makkah, some of the influential tribes in the Arab Peninsula were enraged by the quick victory that this new religion had achieved in such a short time. Therefore, the Hawaazan, Thaqiif, Nasr, Jusham, and other tribes held a meeting and agreed to wage a decisive war against the Prophet (PBUH) and the Muslims. Now, we should not let the word "tribes" mislead us into underestimating the gravity of the wars that the Prophet (PBUH) fought throughout his life. We must not think that they were small- scale skirmishes in the mountains. On the contrary, these tribal wars, fought at the tribes' strongholds, were far more difficult and atrocious than ordinary wars. If we bear this fact in mind we would not only have an accurate evaluation of the incredible effort exerted by the Prophet (PBUH) and his Companions, but also a correct and trustworthy one of the value of this great victory achieved by Islam and the believers, and an illuminated insight into Allah's guidance that was conspicuous in their success and victory.  

        As we have said, the tribes gathered in endless waves of fierce warriors. There were 12,000 warriors in the Muslim army. Twelve thousand? Who were these warriors ? They were those who, not a long time before, had liberated Makkah, dragging the power of polytheism and idolatry to the last and bottomless abyss, and had raised their flags across the horizon without rivalry or competition.  This was undoubtedly an unprecedented victory that made pride stealthily creep into the victorious Muslims. In the final analysis, the Muslims were only human beings. Their large numbers and great achievement in Makkah made them vulnerable to pride. Consequently they said, "We shall not be overcome by a small group."  

        Their depending solely on their military power, solely and pride in their military conquest were unrighteous sentiments that they would quickly recover from through a painful yet curing shock which was awaiting them, for heaven was preparing them for a much more glorious and elevated end than war. The curing shock was a sudden large-scale defeat shortly after the two armies met in fierce combat. The Muslims at once supplicated Allah in humiliation and submission. They perceived that there was no fleeing from Allah, no refuge but with Him, and there was no power but His.

These supplications flowed throughout the battlefield, turning defeat into victory.  

        Accordingly, the glorious Qur'aan descended addressing the Muslims: ... " on the Day of Hunain when you rejoiced at your great number but it availed you naught and the earth, vast as it is, was straitened for you, then you turned back in flight. Then Allah did send down His tranquility upon the Messenger and on the believers, and sent down forces which you saw not, and punished the disbelievers. Such is the recompense of disbelievers " (9: 25 –26) On that day, Al-`Abbaas's voice and firmness were the most outstanding manifestation of this calmness and tranquility and of self-sacrifice. For while the Muslims joined forces in one of the valleys waiting for the arrival of their enemies, the polytheists were already hidden throughout the ravines with unsheathed swords. They wanted to take the initiative. Suddenly, they flung themselves into the battlefield and attacked the Muslims ruthlessly. This blitzkrieg shook the Muslims and made them turn their backs to the battle and run away without even casting a glance at one another. When the Prophet (PBUH) saw the chaos that this sudden attack brought to the Muslim lines, he at once mounted his white mule and cried out at the top of his voice, "Where are my people? Come back and fight! I am truly the Prophet! I am the son of `Abd Al-Muttalib!"  

       At that moment, the Prophet (PBUH) stood there surrounded by Abu Bakr, `Umar, `Aliy lbn Abi Taalib, Al-' Abbaas lbn `Abd Al Muttalib, his son Al-Fadl Ibn Al-'Abbaas, Ja'far Ibn Al- Haarith, Rabii'ah Ibn Al-Haarith, Usaamah Ibn Zaid, Aiman Ibn `Ubaid and a few other Companions.  

        There was also a woman who was raised to a high station among those men and heroes, namely, Umm Suliim Bint Milhaan. When she saw the chaos and confusion that the Muslims had fallen into, she mounted her husband Abi Talhah's camel (May Allah be pleased with them both) and hastened towards the Prophet (PBUH). When her baby moved in her womb, she took off her outer garment and pulled it tight around her belly. As soon as she reached the Prophet (PBUH), she gave him her dagger. The Prophet (PBUH) smiled and asked, "Why do you give the dagger to me, Umm Suliim?" She answered, "You are dearer to me than my own father and mother. Kill those who turned their backs on you as you do your enemies, for they deserve the same punishment." The Prophet's face lit up, for he had strong faith in Allah's promise, and he said, "Allah sufficed us against them and has been good to us."  

        In those difficult moments, Al-' Abbaas was next to the Prophet (PBUH). In fact, he followed him like his shadow, holding the halter tightly and defying danger and death. The Prophet (PBUH) ordered him to cry out at the top of his voice, for he was a stout and loud voiced man, saying, `Come back and fight, O Ansaar people! Come back, for you took the oath of allegiance to Allah and His Prophet." His voice sounded throughout the battlefield as if it was both the caller and warner of destiny. As soon as those terrified and dispersed Muslims heard his voice, answered in one breath,  

    "Here I am at your service. Here I am at your service." They flung themselves into the battlefield like a hurricane. They dismounted the horses and camels which would not move and ran with their shields, swords, and bows as if they were pulled by Al-`Abbaas's voice. Once again, the two armies met in fierce combat. The Prophet (PBUH) cried out, "Now it is time for fierce fighting." It was really a ferocious fight. The bodies of Hawaazan and Thaqiif rolled down the battlefield. Allah's warriors defeated the warriors who worshiped the idol of Al-Laat. Allah had sent down His calmness and tranquility on the Prophet and the believers.  The Prophet (PBUH) loved his uncle Al-`Abbaas dearly, to the extent that he could not sleep when the Battle of Badr lay down its burden and his uncle was captured. The Prophet (PBUH) did not try to hide his feelings. When he was asked about the reason for his sleeplessness, despite his sweeping victory, he said, "I heard Al `Abbaas moan in his fetters." As soon as a group of Muslims heard the Prophet's words, they rushed to where the captives were, untied Al-`Abbaas, and returned to the Prophet and said, "O Prophet, we loosened Al-'Abbaas's fetters a little." But why should Al-`Abbaas alone enjoy this privilege? Consequently, the Prophet ordered them, "Go and do that to all the prisoners."  

        Indeed, the Prophet's love for Al-'Abbaas did not mean that he should receive special treatment that distinguished him from other captives. When it was decided that a ransom would be taken in exchange for the captives' freedom, the Prophet (PBUH) asked his uncle, "O Abbaas, pay the ransom for yourself and your nephew Aqiil Ibn Abi Taalib, Nawfal lbn Al-Haarith and your ally, `Utbah lbn `Amr and the brothers of Bani Al-Haarith Ibn Fahr, for you can afford it." Al-`Abbaas wanted to be set free without paying a ransom, saying, "O Mesenger of Allah, I was a Muslim but my people forced me to go forth in this battle." 

But the Prophet (PBUH) insisted on it. The glorious Qur'aan descended to comment on this incident saying!
 " O Prophet! Say to the captives that are in your hands: If Allah knows any good in your hearts, He will give something better than what has been taken from you, and He will forgive you, and Allah is oft forgiving! Most Merciful" 
(8:70).  

        Hence Al-'Abbaas paid the ransom for himself and his friends and returned to Makkah. From that point onwards the Quraish lost their influence over him and their benefit from his insight and guidance. 

Therefore, Al-`Abbaas took his money and luggage and joined the Prophet in Khaibar so as to have a place in the ranks of islam and the believers. The Muslims loved, revered, and honored him, especially when they realized how much the Prophet (PBUH) loved and honored him when he said,"Al-`Abbaas was like a twin brother to my father. Consequently! if anyone annoyed Al-'Abbaas, it would be as though he personally annoyed me."  

       Al-`Abbaas had blessed offspring. `Abd Allah lbn Abbaas, the learned of the Muslim nation, was one of those blessed sons  

        On Friday, the 14th of Rajab, A.H. 32, the people of Al Awaalii in Al-Madiinah heard a crier calling out, "May Allah have mercy on whoever saw Al-'Abbaas Ibn Abd Al-Muttalib." They realized at once that Al-'Abbaas had died.  

        An unprecedented large congregation of people! such as Al-Madiinah had not experienced before, accompanied the funeral procession to the graveyard. The Commander of the Faithful `Uthmaan (May Allah be pleased with him) performed the funeral prayer. The body of Abu Al-Fadl was laid in Al-Baqii'. He sleeps comforted and delighted among the faithful who have been true to their covenant with Allah.





o

.¤ª"˜¨¯¨¨ Abbas Bin Abdul Muthalib¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨Al-'Abbaas Ibn Al-Muttalib¸,ø¨¨"ª¤.