acebook



.¤ª"˜¨¯¨¨Abu Musa Al-Asy'ari oAbu Muusaa Al-Ash'ariy¸,ø¨¨"ª¤. 
Yang penting keikhlasan, kemudian terjadilah apa yang akan terjadi. 



Tatkala Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab mengirimnya ke Bashrah untuk menjadi panglima dan gubernur, dikumpulkan­nyalah penduduk lalu berpidato di hadapan mereka, katanya:  ”Sesungguhnya Amirul Mu’minin Umar telah mengirimku kepada kamu sekalian, agar aku mengajarkan kepada kalian kitab Tuhan kalian dan Sunnah Nabi kalian, serta membersihkan jalan hidup kalian … !”

Orang-orang sama heran dan bertanya-tanya . . . ! 

Mereka mengerti apa yang dimaksud dengan mendidik dan mengajari mereka tentang Agama, yang memang menjadi kewajiban gubernur dan panglima. Tetapi bahwa tugas gubernur itu juga membersihkan jalan hidup mereka, hal ini memang amat meng­herankan dan menjadi suatu tanda tanya … !Maka siapakah kiranya gubernur ini, yang mengenai dirinya Hasan Basri r.a. pernah berkata:  ”Tak seorang pengendara pun yang datang ke Basrah yang lebih berjasa kepada penduduk­nya selain dia … !”Ia adalah Abdullah bin Qeis dengan gelar Abu Musa al-Asy­’ari. Ia meninggalkan negeri dan kampung halamannya Yaman menuju Mekah, segera setelah mendengar munculnya seorang Rasul di sana yang menyerukan tauhid, dan menyeru beribadah kepada Allah berdasarkan penalaran dan pengertian, serta me­nyuruh berakhlaq mulia.Di Mekah dihabiskan waktunya untuk duduk di hadapan Rasulullah saw. menerima petunjuk dan keimanan daripadanya.

Lalu pulanglah ia ke negerinya membawa kalimat Allah, baru kembali lagi kepada Rasul saw. tidak lama setelah selesainya pembebasan Khaibar ….Kebetulan kedatangannya ini bersamaan dengan tibanya Ja’far bin Abi Thalib bersama rombongannya dari Habsyi, hingga semua mereka mendapat bagian saham dari hasil pertempuran Khaibar.Kali ini, Abu Musa tidaklah datang seorang diri, tetapi membawa lebih dari limapuluh orang laki-laki penduduk Yaman yang telah diajarinya tentang Agama Islam, serta dua orang saudara kandungnya yang bernama Abu Ruhum dan Abu Burdah.Rombongan ini, bahkan seluruh kaum mereka dinamakan Rasulullah golongan Asy’ari, serta dilukiskannya bahwa mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya di antara sesama­nya. Dan Sering mereka diambilnya sebagai tamsil perbandingan bagi para shahabatnya, sabda beliau: — “Orang-orang Asy’ari ini, bila mereka kekurangan makanan dalam peperangan atau ditimpa paceklik, maka mereka kumpulkan semua makanan yang mereka miliki pada selembar kain, lalu mereka bagi rata . . . . Maka mereka termasuk golonganku, dan aku termasuk golongan mereka. . . !”

Mulai saat itu, Abu Musa pun menempati kedudukannya yang tinggi dan tetap di kalangan Kaum Muslimin dan Mu’minin yang ditaqdirkan memperoleh nasib mujur menjadi shahabat Rasul­ullah dan muridnya, dan yang menjadi penyebar Islam ke seluruh dunia, pada setiap saat.Abu Musa merupakan gabungan yang istimewa dari sifat­-sifat utama! Ia adalah prajurit yang gagah berani dan pejuang yang tangguh bila berada di medan perang … ! Tetapi ia juga seorang pahlawan perdamaian, peramah dan tenang, keramahan dan ketenangannya mencapai batas maksimal … ! Seorang ahli hukum yang cerdas dan berfikiran sehat, yang mampu mengerah­kan perhatian kepada kunci dan pokok persoalan, serta mencapai hasil gemilang dalam berfatwa dan mengambil keputusan, sampai ada yang mengatakan: “Qadli atau hakim ummat ini ada empat orang, yaitu Umar, Ali, Abu Musa dan Zaid bin TsabitDi samping itu ia berkepribadian suci hingga orang yang menipunya di jalan Allah, pasti akan tertipu sendiri, tak ubahnya seperti senjata makan tuan . . . ! Abu Musa sangat bertanggung jawab terhadap tugasnya dan besar perhatiannya terhadap sesama manusia. Dan andainya kita ingin memilih suatu sem­boyan dari kenyataan hidupnya, maka semboyan itu akan berbunyi: — “Yang penting ialah ikhlas, kemudian biarlah terjadi apa yang akan terjadi . . . !”

Dalam arena perjuangan al-Asy’ari memikul tanggung jawab dengan penuh keberanian, hingga menyebabkan Rasulullah saw. berkata mengenai dirinya: — “Pemimpin dari orang-orang berkuda ialah Abu Musa . . . !” Dan sebagai pejuang, Abu Musa melukiskan gambaran hidupnya sebagai berikut:  ”Kami pernah pergi menghadapi suatu peperangan bersama Rasulullah, hingga sepatu kami pecah berlobang-lobang, tidak ketinggalan sepatuku, bahkan kuku jariku habis terkelupas, sampai-sampai kami terpaksa membalut telapak kaki kami dengan sobekan kain… !”Keramahan, kedamaian dan ketenangannya, jangan harap menguntungkan pihak musuh dalam sesuatu peperangan . .. ! Karena dalam suasana seperti ini, ia akan meninjau sesuatu dengan sejelas-jelasnya, dan akan menyelesaikannya dengan tekad yang tak kenal menyerah . . . !Pernah terjadi ketika Kaum Muslimin membebaskan negeri Persi, al-Asy’ari dengan tentaranya menduduki kota Isfahan. Penduduknya minta berdamai dengan perjanjian bahwa mereka akan membayar upeti. Tetapi dalam perjanjian itu mereka tidak jujur, tujuan mereka hanyalah untuk mengulur waktu untuk mempersiapkan diri dan akan memukul Kaum Muslimin secara curang … !

Hanya kearifan Abu Musa yang tak pernah lenyap di saat-­saat yang diperlukan, mencium kebusukan niat yang mereka sembunyikan . . . . Maka tatkala mereka bermaksud hendak melancarkan pukulan mereka itu, Abu Musa tidaklah terkejut, bahkan telah lebih dulu slap untuk melayani dan menghadapi mereka. Terjadilah pertempuran, dan belum lagi sampai tengah hari, Abu Musa telah memperoleh kemenangan yang gemilang . . . !Dalam medan tempur melawan imperium Persi, Abu Musa al-Asy’ari mampunyai saham dan jasa besar. Bahkan dalam pertempuran di Tustar, yang dijadikan oleh Hurmuzan sebagai benteng pertahanan terakhirdan tempat ia bersama tentaranya mengundurkan diri, Abu Musa menjadi pahlawan dan bintang lapangannya . . . ! Pada saat itu Amirul Mu’minin Umar ibnul Khatthab mengirimkan sejumlah tentara yang tidak sedikit, yang dipimpin oleh ‘Ammar bin Yasir, Barra’ bin Malik, Anas bin Malik, Majzaah al-Bakri dan Salamah bin Raja’.

Dan kedua tentara itu pun, yakni tentara Islam di bawah pimpinan Abu Musa, dan tentara Persi di bawah pimpinan Hurmuzan, bertemulah dalam suatu pertempuran dahsyat. Tentara Persi menarik diri ke dalam kota Tustar yang mereka perkuat menjadi benteng. Kota itu dikepung oleh Kaum Mus­limin berhari-hari lamanya, hingga akhirnya Abu Musa mem­pergunakan akal muslihatnya ….Dikirimnya beberapa orang menyamar sebagai pedagang Persi membawa dua ratus ekor kuda disertai beberapa prajurit perintis menyamar sebagai pengembala.Pintu gerbang kota pun dibuka untuk mempersilakan para pedagang masuk. Secepat pintu benteng itu dibuka, prajurit­-prajurit pun berloncatan menerkam para penjaga dan pertempur­an kecil pun terjadi.

Abu Musa beserta pasukannya tidak membuang waktu lagi menyerbu memasuki kota, pertempuran dahsyat terjadi, tapi tak berapa lama seluruh kota diduduki dan panglima beserta seluruh pasukannya menyerah kalah.Panglima musuh beserta para komandan pasukan oleh Abu Musa dikirim ke Madinah, menyerahkan nasib mereka pada Amirul Mu’minin.Tetapi baru saja prajurit yang kaya dengan pengalaman dan dahsyat ini meninggalkan medan, ia pun telah beralih rupa menjadi seorang hamba yang rajin bertaubat, sering menangis dan amat jinak bagaikan burung merpati . . . . Ia membaca al-Quran dengan suara yang menggetarkan tali hati para pen­dengarnya, hingga mengenai ini Rasulullah pernah bersabda:“Sungguh, Abu Musa telah diberi Allah seruling dari seruling-seruling keluarga Daud … ! “Dan setiap Umar r.a. melihatnya, dipanggilnya dan disuruh­nya untuk membacakan Kitahullah:   ”Bangkitkanlah kerinduan kami kepada Tuhan kami, wahai Abu Musa … !”Begitu pula dalam peperangan, ia tidak ikut serta, kecuali jika melawan tentara musyrik, yakni tentara yang menentang Agama dan bermaksud hendak memadamkan nur atau cahaya Ilahi . . . . 

Adapun peperangan antara sesama Muslim, maka ia menyingkirkan diri dan tak hendak terlibat di dalamnya.Pendiriannya ini jelas terlihat dalam perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah, dan pada peperangan yang apinya berkobar ketika itu antara sesama Muslim.Dan mungkin pokok pembicaraan kita sekarang ini akan dapat mengungkapkan prinsip hidupnya yang paling terkenal yaitu pendiriannya dalam tahkim, pengadilan atau penyelesaian sengketa antara Ali dan Mu’awiyah.Pendiriannya ini sering dikemukakan sebagai saksi dan bukti atas kebaikan hatinya yang berlebihan, hingga menjadi makanan empuk bagi orang yang menipudayakannya. Tetapi sebagaimana akan kita lihat kelak, pendirian ini walaupun mung­kin agak tergesa-gesa dan terdapat padanya kecerobohan, hanya­lah mengungkapkan kebesaran shahabat yang mulia ini, baik kebesaran jiwa dan kebesaran keimanannya kepada yang haq serta kepercayaannya terhadap sesama kawan ….pendapat Abu Musa mengenai soal tahkim ini dapat kita simpulkan sebagai berikut:  

Memperhatikan adanya peperangan sesama Kaum Muslimin, dan adanya gejala masing-masing mempertahankan pemimpin dan kepala pemerintahannya, suasana antara kedua belah pihak sudah melantur sedemikian jauh serta teramat gawat menyebabkan nasib seluruh ummat Islam telah berada di tepi jurang yang amat dalam, maka menurut Abu Musa, suasana ini harus diubah dan dirombak dari semula secara keseluruhan . . . !Sesungguhnya perang saudara yang terjadi ketika itu, hanya berkisar pada pribadi kepala negara atau khalifah yang diperebut­kan oleh dua golongan Kaum Muslimin. Maka pemecahannya ialah hendaklah Imam Ali meletakkan jabatannya untuk semen­tara waktu, begitu pula Mu’awiyah harus turun, kemudian urusan diserahkan lagi dari semula kepada Kaum Muslimin yang dengan jalan musyawarat akan memilih khalifah yang mereka kehendaki.

Demikianlah analisa Abu Musa ini mengenai kasus tersebut, dan demikian pula cara pemecahannya . . . ! Benar bahwa Ali k.w. telah diangkat menjadi khalifah secara sah. Dan benar pula bahwa pembangkangan yang tidak beralasan, tidak dapat di­biarkan mencapai maksudnya untuk menggugurkan yang haq yang diakui syari’at … ! 

Hanya menurut Abu Musa, pertikaian sekarang ini telah menjadi pertikaian antara penduduk Irak dan penduduk Syria, yang memerlukan pemikiran dan pemecah­an dengan cara baru. Karena pengkhianatan Mu’awiyah sekarang ini telah menjadi pembangkangan penduduk Syria, sehingga semua pertikaian itu tidaklah hanya pertikaian dalam pendapat dan pilihan Saja …Tetapi kesernuanya itu telah berlarut-larut menjadi perang saudara dahsyat yang telah meminta ribuan korban dari kedua belah pihak, dan masih mengancam Islam dan Kaum Muslimin dengan akibat yang lebih parah!Maka melenyapkan sebab-sebab pertikaian dan peperangan serta menghindarkan benih-benih dan biang keladinya, bagi Abu Musa merupakan titik tolak untuk mencapai penyelesaian … !

Pada mulanya, sesudah menerima rencana tahkim, Imam Ali bermaksud akan mengangkat Abdullah bin Abbas atau shahabat lainnya sebagai wakil dari pihaknya. Tetapi golongan besar yang berpengaruh dari shahabat dan tentaranya memaksa­nya untuk memilih Abu Musa al-Asy’ari.Alasan mereka karena Abu Musa tidak sedikit pun ikut campur dalam pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah sejak semula. Bahkan setelah ia putus asa membawa kedua belah pihak kepada Saling pengertian, kepada perdamaian dan menghentikan pepe­rangan, ia menjauhkan diri dari pihak-pihak yang bersengketa itu. Maka ditinjau dari segi ini, ia adalah orang yang paling tepat untuk melaksanakan tahkim.

Mengenai keimanan Abu Musa, begitupun tentang kejujuran dan ketulusannya, tak sedikit pun diragukan oleh Imam Ali. Hanya ia tahu betul maksud-maksud tertentu pihak lain dan pengandalan mereka kepada anggar lidah dan tipu muslihat. Sedang Abu Musa, walaupun ia seorang yang ahli dan berilmu, tidak menyukai siasat anggar lidah dan tipu muslihat ini, serta ia ingin memperlakukan orang dengan kejujurannya dan bukan dengan kepintarannya. Karena itu Imam Ali khawatir Abu Musa akan tertipu oleh orang-orang itu, dan tahkim hanya akan beralih rupa menjadi anggar lidah dari sebelah pihak yang akan tambah merusak keadaan …Dan tahkim antara kedua belah pihak itu pun mulailah …. Abu Musa bertindak sebagai wakil dari pihak Imam Ali sedang Amr bin ‘Ash sebagai wakil dari pihak Mu’awiyah. Dan sesung­guhnya ‘Amr bin ‘Ash mengandalkan ketajaman otak dan kelihaiannya yang luar biasa untuk memenangkan pihak Mu’a­wiyah.Pertemuan antara kedua orang wakil itu, yakni Asy’ari dan ‘Amr, didahului dengan diajukannya suatu usul yang di­lontarkan oleh Abu Musa, yang maksudnya agar kedua hakim menyetujui dicalonkannya, bahkan dimaklumkannya Abdullah bin Umar sebagai khalifah Kaum Muslimin, karena tidak seorang pun di antara umumnya Kaum Muslimin yang tidak mencintai, menghormati dan memuliakannya.Mendengar arah pembicaraan Abu Musa ini, ‘Amr bin ‘Ash pun melihat suatu kesempatan emas yang tak akan dibiarkannya berlalu begitu saja. Dan maksud usul dari Abu Musa ialah bahwa ia sudah tidak terikat lagi dengan pihak yang diwakilinya, yakni Imam Ali. Artinya pula bahwa ia bersedia menyerahkan kha­lifah kepada pihak lain dari kalangan shahabat-shahabat Rasul, dengan alasan bahwa ia telah mengusulkan Abdullah bin Umar. . . -

Demikianlah dengan kelicinannya, ‘Amr menemukan pintu yang lebar untuk mencapai tujuannya, hingga ia tetap mengusul­kan Mu’awiyah. Kemudian diusulkannya pula puteranya sendiri Abdullah bin ‘Amr yang memang mampunyai kedudukan tinggi di kalangan para shahabat Rasulullah saw.Kecerdikan ‘Amr ini, terbaca oleh keahlian Abu Musa. Karena demi dilihatnya ‘Amr mengambil prinsip pencalonan itu sebagai dasar bagi perundingan dan tahkim, ia pun memutar kendali ke arah yang lebih aman. 

Secara tak terduga dinyatakan­nya kepada ‘Amr bahwa pemilihan khalifah itu adalah haq seluruh Kaum Muslimin, sedang Allah telah menetapkan bahwa segala urusan mereka hendaklah diperundingkan di antara mereka. Maka hendaklah soal pemilihan itu diserahkan hanya kepada mereka bersama.Dan akan kita lihat nanti bagaimana ‘Amr menggunakan prinsip yang mulia ini untuk keuntungan pihak Mu’awiyah … !Tetapi sebelum itu marilah kita dengar perdebatan yang bersejarah itu yang berlangsung antara Abu Musa dan ‘Amr bin ‘Ash di awal pertemuan mereka, yang kita ambil dari buku “Al-Akhbaruth Thiwal” buah tangan Abu Hanifah ad Dainawari sebagai berikut: — 

Abu Musa : Hai ‘Amr! Apakah anda menginginkan kemaslahatan ummat dan ridla Allah … ?

Ujar ‘Amr: Apakah itu … ?

Abu Musa: Kita angkat Abdullah bin Umar. la tidak ikut campur sedikit pun dalam peperangan ini.

‘Amr: Dan anda, bagaimana pandangan anda terhadap Mu’a­wiyah … ?

Abu Musa: Tak ada tempat Mu’awiyah di sini dan tak ada haknya …!

‘Amr: Apakah anda tidak mengakui bahwa Utsman dibunuh secara aniaya ?

Abu Musa: Benar! 

‘Amr: Maka Mu’awiyah adalah wali dan penuntut darahnya, sedang kedudukan atau asal-usulnya di kalangan bangsa Quraisy sebagai telah anda ketahui pula. Jika ada yang mengatakan nanti kenapa ia diangkat untuk jabatan itu, padahal tak ada sangkut pautnya dulu, maka anda dapat memberikan alasan bahwa ia adalah wali darah Utsman, sedang Allah Ta’ala berfirman: “Barang siapa yang di­bunuh secara aniaya, maka Kami berikan kekuasaan kepada walinya .. . !” Di samping itu ia adalah saudara Ummu. Habibah, istri Nabi saw. juga salah seorang dari shahabatnya.

Abu Musa: Takutilah Allah hai ‘Amr! Mengenai kemuliaan Mu’awiyah yang kamu katakan itu, seandainya, khilafat dapat diperoleh dengan kemuliaan, maka orang yang paling berhaq terhadapnya ialah Abrahah bin Shabah, karena ia adalah keturunan raja-raja Yaman Attababiah yang menguasai bagian timur dan barat bumi. Kemudian, apa artinya kemuliaan Mu’awiyah dibanding dengan Ali bin Abi Thalib .. . ? Adapun katamu. bahwa Mu’awiyah wali Utsman, maka lebih utamalah daripadanya, putera, Utsman sendiri ‘Amr bin Utsman . . . ! Tetapi seandainya kamu bersedia mengikuti anjuranku, kita hidupkan kembali Sunnah dan kenangan Umar bin Khat­thab dengan mengangkat puteranya Abdullah si Kyai itu. . . !

‘Amr:  Kalau begitu apa halangannya bila anda mengangkat puteraku. Abdullah yangmemiliki keutamaan dan ke­shalehan, begitupun lebih dulu hijrah dan bergaul dengan Nabi?

Abu Musa: Puteramu memang seorang yang benar! Tetapi kamu telah menyeretnya ke Lumpur peperangan ini! Maka baiklah kita serahkan saja kepada orang baik, putera dari orang baik. . . , yaitu Abdullahbin Umar … !

‘Amr:  Wahai Abu Musa! Urusan ini tidak cocok baginya, karena pekerjaan ini hanya layak bagi laki-laki yang memiliki dua pasang geraham, yang satu untuk makan, sedang lainnya untuk memberi makan . . . !

Abu Musa: Keterlaluan engkau wahai ‘Amr! Kaum Muslimin telah menyerahkan penyelesaian masalah ini kepada kita, setelah mereka berpanahan dan bertetakan pedang. Maka janganlah kita jerumuskan mereka itu kepada fitnah …

‘Amr:  Jadi bagaimana pendapat anda . . . ?

Abu Musa: Pendapatku, kita tanggalkan jabatan khalifah itu dari kedua mereka — Ali dan Mu’awiyah — dan kita serahkan kepada ‘ permusyawaratan Kaum Muslimin yang akan memilih siapa yang mereka sukai.

Amr:  Ya, saya setuju dengan pendapat ini, karena di sanalah terletak keselamatan jiwa manusia … !

Percakapan ini merubah sama sekali akan bentuk gambaran yang biasa kita bayangkan mengenai Abu Musa al-Asy’ari, setiap kita teringat akan peristiwa tahkim ini. Ternyata bahwa Abu Musa jauh sekali akan dapat dikatakan lengah atau lalai. Bahkan dalam soal jawab ini kepintarannya lebih menonjol dari kecerdik­an ‘Amr bin ‘Ash yang terkenal licin dan lihai itu … !

Maka tatkala ‘Amr hendak memaksa Abu Musa untuk me­nerima Mu’awiyah sebagai khalifah dengan alasan kebangsa­wanannya dalam suku Quraisy dan kedudukannya sebagai wali dari Utsman, datanglah jawaban dari Abu Musa, suatu jawaban gemilang dan tajam laksana mata pedang:  Seandainya khilafat itu berdasarkan kebangsawanan, maka Abrahah bin Shabbah seorang keturunan raja-raja, lebih utama dari Mu’awiyah . . . ! Dan jika berdasarkan sebagai wali dari darah Utsman dan pem­bela haknya, maka putera Utsman r.a. sendiri lebih utama men­jadi wali dari Mu’awiyah … !

Setelah perundingan ini, kasus tahkim berlangsung menem­puh jalan sepenuhnya menjadi tanggung jawab ‘Amr bin ‘Ash seorang diri …. Abu Musa telah melaksanakan tugasnya dengan mengembalikan urusan kepada ummat, yang akan memutuskan dan memilih khalifah mereka. Dan ‘Amr telah menyetujui dan mengakui usahanya dengan pendapat ini ….Bagi Abu Musa tidak terpikir bahwa dalam suasana genting yang mengancam Islam dan Kaum Muslimin dengan mala petaka besar ini, ‘Amr masih akan bersiasat anggar lidah, bagaimana juga fanatiknya kepada Mu’awiyah . . . ! Ibnu Abbas telah memperingatkannya ketika ia kembali kepada mereka menyam­paikan apa yang telah disetujui, jangan-jangan ‘Amr akan bersilat lidah, katanya:“Demi Allah, saya khawatir ‘Amr akan menipu anda! Jika telah tercapai persetujuan mengenai sesuatu antara anda berdua, maka silakanlah dulu ia berbicara, kemudian baru anda di belakangnya … ! “Tetapi sebagai dikatakan tadi, melihat suasana demikian gawat dan penting, Abu Musa tak menduga ‘Amr akan main-main, hingga ia merasa yakin bahwa ‘Amr akan memenuhi apa yang telah mereka setujui bersama.

Keesokan harinya, kedua mereka pun bertemu muka . . . , Abu Musa mewakili pihak Imam Ali dan ‘Amr bin ‘Ash mewakili pihak Mu’awiyah.Abu Musa mempersilakan ‘Amr untuk bicara, ia menolak, katanya:“Tak mungkin aku akan berbicara lebih dulu dari anda … ! Anda lebih utama daripadaku, lebih dulu hijrah dan lebih tua … !”

Maka tampillah Abu Musa, lalu menghadap ke arah khalayak dari kedua belah pihak yang sedang duduk menunggu dengan berdebar, seraya katanya:“Wahai saudara sekalian! Kami telah meninjau sedalam-­dalamnya mengenai hal ini yang akan dapat mengikat tali kasih sayang dan memperbaiki keadaan ummat ini, kami tidak melihat jalan yang lebih tepat daripada menanggalkan jabatan kedua tokoh ini, Ali dan Mu’awiyah, dan menyerah­kannya kepada permusyawaratan ummat yang akan memilih siapa yang mereka kehendaki menjadi khalifah . . . . Dan sekarang, sesungguhnya saya telah menanggalkan Ali dan Mu’awiyah dari jabatan mereka . . . . Maka hadapilah urusan kalian ini dan angkatlah orang yang kalian sukai untuk menjadi khalifah kalian . . . !”Sekarang tiba giliran ‘Amr untuk memaklumkan penurunan Mu’awiyah sebagaimana telah dilakukan Abu Musa terhadap Ali, untuk melaksanakan persetujuan yang telah dilakukannya kemarin. ‘Amr menaiki mimbar, lalu katanya:“Wahai saudara sekalian! Abu Musa telah mengatakan apa yang telah sama kalian dengar, dan ia telah menanggalkan shahabatnya dari jabatannya . . . ! 

Ketahuilah, bahwa saya juga telah menanggalkan shahabatnya itu dari jabatannya sebagaimana dilakukannya, dan saya mengukuhkan shahabat­ku Mu’awiyah, karena ia adalah wali dari Amirul Mu’minin Utsman dan penuntut darahnya serta manusia yang lebih berhak dengan jabatannya ini … !”Abu Musa tak tahan menghadapi kejadian yang tidak di­sangka-sangka itu. Ia mengeluarkan kata-kata sengit dan keras sebagai tamparan kepada ‘Amr. 

Kemudian ia kembali kepada sikap mengasingkan diri . . . , diayunnya langkah menuju Mekah … , di dekat Baitul Haram, menghabiskan usia dan hari-harinya di sana …Abu Musa r.a. adalah orang kepercayaan dan kesayangan Rasulullah saw. juga menjadi kepercayaan dan kesayangan para khalifah dan shahabat-shahabatnya ….Sewaktu Rasulullah saw. masih hidup, ia diangkatnya ber­sama Mu’adz bin Jabal sebagai penguasa di Yaman. 

Dan setelah Rasul wafat, ia kembali ke Madinah untuk memikul tanggung jawabnya dalam jihad besar yang sedang diterjuni oleh tentara Islam terhadap Persi dan Romawi.Di masa Umar, Amirul Mu’minin mengangkatnya sebagai gubernur di Bashrah, sedang khalifah Utsman mengangkatnya menjadi gubernur di Kufah.Abu Musa termasuk ahli al-Quran menghafalnya, mendalami dan mengamalkannya. Di antara ucapan-ucapannya yang mem­berikan bimbingan mengenai al-Quran itu ialah:“Ikutilah al-Quran . . . dan jangan kalian berharap akan diikuti oleh al-Quran … !”Ia juga termasuk ahli ibadah yang tabah. Waktu-waktu siang di musim panas, yang panasnya menyesak nafas, amat dirindukan kedatangannya oleh Abu Musa, dengan tujuan akan shaum padanya, katanya:“Semoga rasa hawa di panas terik ini akan menjadi pelepas dahaga bagi kita di hari qiamat nanti … !”

Dan pada suatu hari yang lembut, ajal pun datang menyam­but . . . . Wajah menyinarkan cahaya cemerlang, wajah seorang yang mengharapkan rahmat serta pahala Allah ar-Rahman. Rahmat yang selalu diulang-ulang, dan menjadi buah bibirnya, sepanjang hayatnya yang diliputi keimanan itu, diulang dan menjadi buah bibirnya pula di saat ia hendak pergi berlalu ….Kalimat-kalimat itu ialah:“Ya Allah, Engkaulah Maha Penyelamat, dan dari Mu lah kumohon keselamatan “.



ABU MUUSAA AL-ASH'ARIY  
Sincerity and Let Be What Will Be 

        When the Commander of the Faithful `Umar Ibn Al-Khattaab sent him to Basra to become its commander and governor, he gathered its inhabitants and spoke to them saying, "Indeed the Commander of the Faithful `Umar sent me to you to instruct you in the Book of your Lord and the traditions of your Prophet and to purify your ways for you". 

        The people were overcome with astonishment and surprise at what he said when they came to understand that one of the incumbent duties of the commander and governor was to show them how to become people of culture and education and to give them understanding of their religion. Also among his obligations was the purifying of their ways, and that was something new for them - one could even say exciting and remarkable.  

        So, who was this ruler about whom such good is said: `No horseman ever came to Basra who was better for its people than him"? Indeed, he was `Abd Allah Ibn Qais, nicknamed Abu Muusaa Al-Ash' ariy.  
       
He departed his country and homeland of Yemen for Makkah immediately upon hearing of the appearance of a Messenger there who was calling to monotheism and inviting to Allah with clear vision and ordering noble morals. In Makkah, he sat in the presence of the Messenger of Allah (PBUH) and received from him guidance and certainty. He then returned to his country carrying the word of Allah. Afterwards, he returned to the Messenger (PBUH) immediately after the victory over Khaibar. His arrival coincided with the arrival of Ja'far Ibn Abi Taalib, returning with his companions from Abyssinia, so the Messenger gave all of them a share of the booty. 

       On this occasion, Abu Muusaa did not come alone, but with approximately 50 men from the people of Yemen, including his two brothers Abu Ruhm and Abu Burdah, to whom the Messenger (PBUH) taught Islam.

        The Messenger (PBUH) named this delegation and its people the Ash'ariyiin. The Messenger (PBUH) described them as the people with the most delicate feelings and kind, gentle hearts. That which is most often mentioned about them as the highest example of his Companions is as follows: "If they exhausted their food in a military campaign or their food became diminished, they would gather what they possessed in one garment and divide it among themselves equally. So they are from me and I from them." 

        From that day, Abu Muusaa took his permanent and high place among the Muslims and believers who were destined to be the Companions of the Messenger of Allah and his pupils, and to become the carriers of Islam to the world in every age and time.  Abu Muusaa was a wonderful combination of extraordinary attributes. He was a bold and daring fighter, a firm combatant when he was forced to fight, while at the same time he was peaceful, good, and gentle to the most extreme degree of goodness and kindness. He was a scholar who possessed comprehension, sound judgment, and judicious discrimination. He was intelligent, and his understanding excelled in the most complicated, abstruse and obscure issues which radiated in legal decisions and judgments, until it was said of him,  "The judges of this nation are four: `Umar, `Aliy, Abu Muusaa and Zaid Ibn Thaabit."  
      
 In addition to that, he possessed an innocent nature. Whoever attempted to deceive him in matters of Allah was himself deceived. He possessed great loyalty and responsibility and great trust of the people. If we wanted to choose a fact of his life as a slogan, it would be this expression: "Sincerity, and let be what will be."

        In the sphere of jihaad, Al-Ash'ariy carried his responsibility in such a glorious and heroic manner that it made the Messenger of Allah (PBUH) call him, " Master of horsemen, Abu Muusaa." He shows us a picture of his life as a fighter when he says, "We went out with the Messenger of Allah on a military campaign and our feet were full of holes and my feet were also full of holes until I lost my toe nails and we wrapped our feet with rags." 

      His goodness and the peace of his real conviction and inner-most thoughts were not provoked by an enemy in battle. He was in such a posture that he saw matters in complete clarity and he decided them with decisive willpower and determination. It happened that while the Muslims were conquering the kingdom of Persia, Al-Ash'ariy came down with his army upon the people of Isfahan, who agreed to pay him the jizyah so he made a peace settlement with them.  

        However, it seems that they were not truthful in their agreement. They only wanted to make themselves ready for the opportunity to prepare a treacherous attack. Nevertheless, in the time of need the cleverness of Abu Muusaa was not oblivious to their secret plan. He perceived and saw through their scheme and the evil plans they were contriving, so when they began their attack the leader was not taken by surprise. Therefore, the war overwhelmed them, and the first half of the day was not over before he gained a decisive victory.  
   
    In the battles in which the Muslims engaged against Imperial Persia, the performance of Abu Muusaa (May Allah be pleased with him) was outstanding, and his fighting for the cause of Allah was noble. 

        In the Battle of Tustar particularly, in which Hurmuzan withdrew with his army to fortify his position and gathered massive armies, Abu Muusaa was the hero. On that day, the Commander of the Faithful `Umar supplied him with a massive number of Muslims, at the head of which were `Ammaar Ibn Yaasir, Al-Baraa' Ibn Maalik and Anas Ibn Maalik and Maja'ah Al-Bakriy and Salamah lbn Rajaa'. 

The two armies - the Muslims under the command of Abu Muusaa and the Persians under the command of Hurmuzan - met in the battle which was one of the fiercest in ruthlessness and violence. The Persians withdrew inside the fortified city of Tustar and the Muslims besieged it for many days until Abu Muusaa employed his skill and intelligence and sent 200 cavalry men with a Persian agent. Abu Muusaa instructed him to enter the fort in order to open the gate of the city in front of the advanced guard which he chose for the mission. The gates had hardly opened when the soldiers of the advanced guard charged on the fortified citadel until Abu Muusaa swooped down with his army in a massive attack.  

        He captured this important fortified position in only hours, and the Persian leader surrendered, after which Abu Muusaa sent them to Al-Madiinah to learn the Commander of the Faithful's judgment. However, this fighter of great prowess did not leave the field of battle until he changed to a persistent worshiper with much weeping, and was mild-tempered, peaceable, and gentle-hearted as a sparrow.  

        He recited the Qur'aan with such a voice that made the inner heart of the one who listened to it tremble that the Messenger (PBUH) said about him, " Abu Muusaa was given a musical voice like the musical instruments of the people of Dawuud." Every time Umar saw him he called him to recite to him from the Book of Allah saying to him, "Make us aspire to our Lord, O Abu Muusaa."  

        Also, Abu Muusaa did not participate in fighting except against the army of the polytheists or armies fighting against the religion, wanting to extinguish the light of Allah Whenever there was a fight between Muslims, he indeed ran away from it and never had any role in it. This position of his was clear in the dispute between `Aliy and Mu'aawiyah and in the war which ignited between the Muslims, as we shall see.  
       
Perhaps this point, from the account which follows, will bring us to an understanding of the most famous position of his life, and that is his position in the arbitration between Imam `Aliy andMu'aawiyah.This position is often taken as evidence of the immoderation in Abu Muusaa's good nature or his extraordinary naivete, which made tricking him quite easy. However, the situation, as we shall see, in spite of what hastiness or error there might have been, reveals the greatness of his soul, the greatness of his faith in the truth and in people. 

        Indeed, the view of Abu Muusaa in the case of arbitration can be summarized by the fact that he saw the Muslims killing one another and each party fanatically clinging to imam (ruler). As he saw it, the situation between the combatants had reached a critical state that was impossible of resolve and placed the destiny of the Muslim nation on the edge of an abyss. In his opinion, the situation had reached a stage of deterioration. It was exemplified in the change of the whole situation, which thus required starting over again.  

       The civil war, at that point, revolved around two parties of the Muslims disputing over the person of the ruler. Some desired Imam `Aliy to relinquish the caliphate temporarily and Mu'aawiyah to renounce it, so that the entire matter could be referred again to the Muslims. Then, they could choose, by way of consultation, the caliph they wanted. This was how Abu Muusaa argued the case and this was the way he saw its resolution.  
  
      It is correct that Imam `Aliy was soundly sworn in as caliph and correct that every illegal rebellion should not be allowed to achieve its aim of overturning the legal right. However, the issues in the dispute between the Imam and Mu'aawiyah and between the peoples of Iraq and Syria had, in the view of Abu Muusaa, reached a state which imposed a new kind of thinking and resolution. For the insurgency of Mu`aawiyah was not considered just a revolt alone, and the rebellion of the people of Syria was not considered just an insurrection alone, and the entire difference was not considered just a difference in opinion nor a matter of choice. All these things developed into a harmful civil war in which thousands were killed on both sides and continued to threaten Islam and Muslims with the worst ramifications and consequences. So removal of the causes of the dispute and war and stepping aside of both parties was in the thinking of Abu Muusaa, the starting point on the road to salvation. The view of Imam `Aliy, when he accepted the principle of arbitration, was that `Abd Allah lbn Abbaas or someone from among his companions would represent his front in arbitration, but a large party of those with power in his group and army imposed on him Abu Muusaa Al-Ash'ariy. The reason for their choice of Abu Muusaa was that he had never participated in the dispute between `Aliy and Mu'aawiyah since the dispute began, but had separated himself from both parties after giving up all hope of encouraging the two of them to a common understanding and peace. So he withdrew from the fight between them. He had, from this respect, the most right of all the people to arbitrate.  
  
      There was nothing in the religion of Abu Muusaa nor in his sincerity and truthfulness that made the Imam suspicious. Nevertheless, he did realize the intentions of the other side and the degree of their dependency on maneuvers, deception, and trickery, and that Abu Muusaa, in spite of his understanding and knowledge, hated deception and maneuvers and loved to deal with people on the basis of truth and not his wits. Therefore, Imam `Aliy was afraid Abu Muusaa would be deceived by the others and that the arbitration would be turned into maneuvers by one side, which would make matters worst.  
       
The arbitration between the two parties began, with Abu Muusaa Al-Ash'ariy representing the party of Imam `Aliy and `Amr Ibn Al-'Aas representing the party of Mu'aawiyah. It is true that `Amr Ibn Al- 'Aas depended on his sharp wits and his broad cunning in carrying the banner for Mu'aawiyah.  

        The meeting between the two men, Al-Ash'ariy and `Amr, began with a proposal presented by Abu Muusaa. It was for the two arbitrators to agree on the nomination of `Abd Allah Ibn `Umar, declaring him the Caliph of the Muslims because he enjoyed a broad consensus in respect to his love, admiration, and distinction. `Amr Ibn Al-'Aas saw in this orientation and direction of Abu Muusaa a great opportunity, so he took advantage of it.  

          The content of the proposal by Abu Muusaa did not consider a conditional link with the party which he represented, which was the party of Imam `Aliy. That meant, also, that Abu Muusaa was ready to give support and backing for caliph to others from among the Prophet's Companions, the proof for that point being his suggestion of `Abd Allah Ibn `Umar.  
      
  Thus, `Amr found, by his shrewdness and wits, a wide entrance for the achievement of his goal. So he therefore suggested Mu'aawiyah. Then he suggested his own son `Abd Allah, who possessed a great position among the Messenger's Companions. The intelligence of Abu Muusaa was not less than the wits of `Amr. When he saw `Amr adopting the principle of nomination as a rule for the discussion of arbitration, he boldly confronted `Amr, saying that the choice of caliph was the right of all Muslims and that Allah had made their affair one of consultation between themselves, so it was incumbent to leave them alone entirely to the right of choice.  

        We shall now see how `Amr exploited this lofty principle for the interest of Mu'aawiyah. However, before that, let us listen to the historical dialogue which took place between Abu Muusaa and `Amr Ibn Al-' Aas at the beginning of their meeting. We transmit it on the authority of the book Al-Akhbaar At- Tawaal by Abu Hunaifah Ad Daiyanuuriy; 

        Abu Muusaa: O `Amr, do you desire in this matter the good of the nation and the pleasure of Allah? 

        `Amr: And what is it? 

        Abu Muusaa: That we appoint `Abd Allah Ibn `Umar, for indeed he never involved himself in the war.  

        `Amr: And where are you with respect to Mu'aawiyah?  

        Abu Muusaa: Mu'aawiyah does not deserve it nor is he worthy of it.
  
        Amr: Do you not know that `Uthmaan was unjustly killed?  

        Abu Muusaa: Yes.  

        `Amr: So indeed Mu'aawiyah is guardian (walii) of the blood of `Uthmaan and his house is in the 
Quraish, as you know. So the people said, Why not assume responsibility for the matter since it has no 
precedents. In that you have no excuse. You say, I indeed found him the guardian of `Uthmaan's blood 
and Allah Most High says,

 "And whoever is killed (intentionally with hostility and oppression and not by mistake), We have given his heir [walii] the authority" (17: 33).  

        The brother of Umm Habiibah, the wife of the Prophet (PBUH) has this and he is one of his Companions. 

        Abu Muusaa: Fear Allah, O `Amr! As for what you mentioned concerning the nobility of Mu'aawiyah, if worthiness for the caliphate were based on nobility, the one with the most right to it among the people would be Abrahah Ibn As-Sabbaah, for indeed he is one of the sons in the line of the kings of Yemen, who ruled the east of the earth and its west. Furthermore, how does the nobility of Mu'aawiyah compare with that of `Aliy Ibn Abi Taalib? As for your talk that Mu'aawiyah was the guardian of `Uthmaan`s blood, his son `Amr Ibn `Uthmaan is more `Uthmaan`s guardian than he. But if you acceded to me, we would revive the practice of `Umar Ibn Al-Khattaab and his son `Abd Allah. 

        `Amr: What prevents you from my son `Abd Allah, with his merit and goodness and his previous Hijrah and his companionship? 

 Abu Muusaa: Indeed your son is a truthful man, but you have completely immersed him into these wars. We have made it (i.e. the caliphate) for a good man and the son of a good man. `Abd Allah Ibn Umar. `Amr: O Abu Muusaa, no man is suitable for this affair unless he has two molars. He eats with one and he feeds (others) with the other.
  
        Abu Muusaa: Woe to you, O `Amr! Indeed, the Muslims have entrusted the matter to us, after they have fought with one another by force of arms and swords. Do not hurt them with spears! Do not turn them back to civil war and discord.  
        `Amr: So what do you see? 
        Abu Muusaa: I see that we should depose the two men, `Aliy and Mu'aawiyah. Then make consultation between the Muslims. They will choose for themselves who they want.  
        `Amr: I am pleased with this view. So indeed the goodness of the heart is in it. 

        This argument completely changes the form which we are accustomed to see every time we mention the incident of arbitration. Indeed, in these arguments Abu Muusaa was not of a neglectful mind, but very active. On the contrary, in this dialogue, his intelligence was more active than the intellect of `Amr Ibn Al-'Aas who was famous for his wit and shrewdness. So when `Amr wanted to propose the caliphate of Mu'aawiyah based on genealogy in the Quraish and guardianship of the blood of `Uthmaan, the refutation of Abu Muusaa came sharply and brilliantly as the edge of a sword.  
  
     "If the caliphate were based on nobility, then Abrahah Ibn As Sabbaah, who is from a line of kings, is more worthy of guardianship than Mu'aawiyah. And if the caliphate were based on guardianship of the blood of `Uthmaan and defense of his right, then Ibn `Uthmaan is more worthy of this guardianship than Mu' aawiyah."

        After this dialogue, the responsibility for what followed was assumed by' Amr Ibn Al-'Aas alone.  
  
      So, Abu Muusaa was exonerated from guilt by referring the matter back to the nation to give their word and choose their caliph. `Amr agreed and adhered to this view. It did not come to his mind that `Amr was going to threaten Islam and the Muslims with an evil disaster, and that he would resort to maneuvers whatever may be his conviction about Mu'aawiyah. Ibn `Abbaas warned him when he returned to them and informed them about the maneuvers of `Amr and said to him, "By Allah I fear that `Amr will trick you, so if the two of you agree on something, let him come forward before you to speak. Then you speak after him.!' 

        However, Abu Muusaa saw the situation on a more lofty and sublime level than the maneuvers of `Amr. From then on, he had no doubt or suspicion of the commitment of `Amr with regards to what they had agreed on. They gathered the following day, Abu Muusaa representing the side of Imam `Aliy and `Amr Ibn Al-'Aas representing the side of Mu'aawiyah. Abu Muusaa invited `Amr to speak first, but `Amr refused and said to him, "I am not going to precede you when you are more virtuous thin I, and emigrated before me, and are older than me".  

        Abu Muusaa advanced first and greeted the waiting crowd from both parties and said, "O people, indeed, in this matter concerning which Allah has gathered together this nation and to put its affair in proper order, we do not see anything better than the deposition of the two men, `Aliy and Mu'aawiyah and to call for consultation among the people to choose for themselves whom they like. Therefore, I depose `Aliy and Mu'aawiyah. So take upon yourselves as guardians whom you love.  

 Now, the turn of `Amr Ibn Al-`Aas came to announce the deposition of Mu'aawiyah, just as Abu Muusaa had deposed `Aliy, in fulfillment of the confirmed, established agreement of the previous day.  `Amr ascended the pulpit and said, "O people, indeed, Abu Muusaa has said what you heard and deposed his companion. indeed, I depose his companion just as he deposed him and confirm my companion Mu`aawiyah. He is indeed, the guardian of the Commander of the Faithful Uthmaan and the guardian of his blood and the one having the most right to his dignified position."
  
        Abu Muusaa did not conceive as possible this sudden happening, and he reprimanded `Amr severely with angry and furious words.  
     
  He returned again to his seclusion and made his way swiftly to Makkah, in the vicinity of the House of Allah and spent there the remainder of his days.  
  
      Abu Muusaa (May Allah be pleased with him) had a position of trust and love with the Messenger and a position of trust with his Companions and successors. In his life the Prophet gave him, along with Mu'aadh Ibn Jabal, the governorship over Yemen. After the death of the Messenger, he returned to Al- Madiinah to carry his responsibility in the great holy war which the Muslim armies engaged in against Persia and Rome.  

        In the period of Umar the Commander of the Faithful, Abu Muusaa was governor of Basra, and Caliph `Uthmaan put him in charge of Kufa. He was one of the people of the Qur'aan, those who memorized it, understood it, and acted on it. Some of his radiant words about the Qur'aan were Follow the Qur'aan and do not desire that the Qur'aan should follow you."  
   
    He was of the people of persistent worship and on the very days which almost caused the breath of people to pass away, he would yearn to fast and say, "Perhaps the thirst of the midday heat will be intercession for us on the Day of Judgment."  

        On that Humid day, his appointed time of death came to him and covered his countenance with a radiance which is for those who hope for the mercy of Allah and a good reward. And the words which he was always repeating during his faithful life his tongue went on repeating while he was in the departing moments of death: "O Allah, You are peace and from You is peace."  

.¤ª"˜¨¯¨¨Abu Musa Al-Asy'ari oAbu Muusaa Al-Ash'ariy¸,ø¨¨"ª¤. 




Categories: