acebook


world be a better place..insyaALLAH


 o
.¤ª"˜¨¯¨¨'Salim Maula Abu Hudzaifah¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨Saalim Mawlaa Abi Hudhaifah¸,ø¨¨"ª¤.
Blessed Be the Carrier of the Qur'aan 


Pada suatu hari Rasulullah saw. berpesan kepada para sha­habatnya, katanya:“Ambillah olehmu al-Quran itu dari empat orang, yaitu: Abdullah bin Mas’ud, Salim maula Abu Hudzaifah, Ubai bin Ka’ab dan Mu’adz bin Jabal … !”

Dulu kita telah mengenal Ibnu Mas’ud, Ubai dan Mu’adz! 

Maka siapakah kiranya shahabat yang keempat yang dijadikan Rasul sebagai andalan dan tempat bertanya dalam mengajarkan al-Quran … ?

Ia adalah Salim, maula Abu Hudzaifah …. 

Pada mulanya ia hanyalah seorang budak belian, dan kemudian Islam mem­perbaiki kedudukannya, hingga diambil sebagai anak angkat oleh salah seorang pemimpin Islam terkemuka, yang sebelum masuk Islam juga adalah seorang bangsawan Quraisy dan salah seorang pemimpinnya ….

Dan tatkala Islam menghapus adat kebiasaan memungut anak angkat, Salim pun menjadi saudara, teman sejawat serta maula ( = hamba yang telah dimerdekakan) bagi orang yang memungutnya sebagai anak tadi, yaitu shahabat yang mulia bernama Abu Hudzaifah bin ‘Utbah. Dan berkat karunia dan ni’mat dari Allah Ta’ala, Salim mencapai kedudukan tinggi dan terhormat di kalangan Muslimin, yang dipersiapkan baginya oleh keutamaan jiwanya, serta perangai dan ketaqwaannya ….Shahabat Rasul yang mulia ini disebut “Salim maula Abu Hudzaifah”, ialah karena dulunya ia seorang budak belian dan kemudian dibebaskan! 

Dan ia beriman kepada Allah dan Rasul­Nya tanpa menunggu lama..., dan mengambil tempatnya di antara orang-orang Islam angkatan pertama.Mengenai Hudzaifah bin ‘Utbah, ia adalah salah seorang yang juga lebih awal dan bersegera masuk Islam dengan me­ninggalkan bapaknya ‘Utbah bin Rabi’ah menelan amarah dan kekeeewaan yang mengeruhkan ketenangan hidupnya, disebab­kan keislaman puteranya itu. 

Hudzaifah adalah seorang yang terpandang di kalangan kaumnya, sementara bapaknya mempersiapkannya untuk menjadi pemimpin Quraisy...Bapak dari Hudzaifah inilah yang setelah terang-terangan masuk Islam mengambil Salim sebagai anak angkat, yakni setelah ia dibebaskannya, hingga mulai saat itu ia dipanggilnya “Salim bin Abi Hudzaifah”. Dan kedua orang itu pun beribadah kepada Allah dengan hati yang tunduk dan terpusat, serta menahan penganiayaan Quraisy dan tipu muslihat mereka dengan hati yang shabar tiada terkira...

Pada suatu hari turunlah ayat yang membathalkan kebiasaan mengambil anak angkat. Dan setiap anak angkat pun kembali menyandang nama bapaknya yang sesungguhnya, yakni yang telah menyebabkan lahirnya dan mengasuhnya. Umpamanya Zaid bin Haritsah yang diambil oleh Nabi saw. sebagai anak angkat dan dikenal oleh Kaum Muslimin sebagai Zaid bin Mu­hammad saw., kembali menyandang nama bapaknya Haritsah, hingga namanya menjadi Zaid bin Haritsah. 

Tetapi Salim tidak dikenal siapa bapaknya, maka ia menghubungkan diri kepada orang yang telah membebaskannya hingga dipanggilkan Salim maula Abu Hudzaifah....Mungkin ketika menghapus kebiasaan memungut memberi nama anak angkat dengan nama orang yang mengangkatnya, Islam hanya hendak mengatakan kepada Kaum Muslimin: “Janganlah kalian mencari hubungan kekeluargaan dan silatur rahmi dengan orang-orang diluar Islam sehingga persaudaraan kalian lebih kuat dengan sesama Islam sendiri dan se’aqidah yang menjadikan kalian bersaudara...!”Hal ini telah difahami sebaik-baiknya oleh Kaum Muslimin angkatan pertama. Tak ada suatu pun yang lebih mereka cintai setelah Allah dan Rasul-Nya, dari saudara-saudara mereka se­Tuhan Allah dan se-Agama Islam ! Dan telah kita saksikan bagai­mana orang-orang Anshar itu menyambut saudara-saudara mereka orang Muhajirin, hingga mereka membagi tempat ke­diaman dan segala yang mereka miliki kepada Muhajirin...! 

Dan inilah yang kita saksikan terjadi antara Abu Hudzaifah bangsawan Quraisy dengan Salim yang berasal dari budak belian yang tidak diketahui siapa bapaknya itu. Sampai akhir hayat mereka, kedua orang itu lebih dari bersaudara kandung, ketika menemui ajal, mereka meninggal bersama-sama, nyawa melayang bersama nyawa, dan tubuh yang satu terbaring di samping tubuh yang lain-..!

Itulah dia keistimewaan luar biasa dari Islam, bahkan itulah salah satu kebesaran dan keutamaannya …Salim telah beriman sebenar-benar iman, dan menempuh jalan menuju Ilahi bersama-sama orang-orang yang taqwa dan budiman. Baik bangsa maupun kedudukannya dalam masyarakat tidak menjadi persoalan lagi. Karena berkat ketaqwaan dan keikhlasannya, ia telah meningkat ke taraf yang tinggi dalam kehidupan masyarakat baru yang sengaja hendak di­bangkitkan dan ditegakkan oleh Agama Islam berdasarkan prinsip baru yang adil dan luhur.

Prinsip itu tersimpul dalam ayat mulia berikut ini:

“Sesungguhnya orang yang terrnulia di antara kalian di sisi Allah ialah yang paling taqwa (Q.s 49 al-Hujurat: 13)

dan menurut Hadits: “Tiada kelebihan bagi seorang bangsa Arab atas selain bangsa Arab kecuali taqwa, dan tidak ada kelebihan bagi seorang keturunan kulit putih atas seorang keturunan hulit hitam kecuali taqwa"Pada masyarakat baru yang maju ini, Abu Hudzaifah merasa dirinya terhormat, bila menjadi wali dari seseorang yang dulunya menjadi budak beliannya. 

Bahkan dianggapnya suatu kemuliaan bagi keluarganya, mengawinkan Salim dengan kemenakannya Fatimah binti Walid bin ‘UtbahDan pada masyarakat baru yang maju ini, yang telah meng­hancurkan kefeodalan dan kehidupan berkasta-kasta, serta meng­hapus rasialisme dan diskriminasi, maka dengan kebenaran dan kejujurannya, keimanan dan amal baktinya, Salim menempatkan dirinya selalu dalam barisan pertama.Benar.., ialah yang menjadi imam bagi orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah setiap shalat mereka di mesjid Quba’. Dan ia menjadi andalan tempat bertanya tentang Kitabullah, hingga Nabi menyuruh Kaum Muslimin belajar daripadanya. Ia banyak berbuat kebaikan dan memiliki keunggul­an yang menyebabkan Rasulullah saw. berkata kepadanya:“Segala puji bagi Allah yang menjadikan dalam golonganku, seseorang seperti kamu . . . !”

 Bahkan kawan-kawannya sesama orang beriman menyebutnya:“Salim salah seorang dari Kaum Shalihin”.

Riwayat hidup Salim seperti riwayat hidup Bilal, riwayat hidup sepuluh shahabat Nabi ahli ibadah dan riwayat hidup para shahabat lainnya yang sebelum memasuki Islam hidup sebagai budak beliau yang hina dina lagi papa. Diangkat oleh Islam dengan mendapat kesempurnaan petunjuk, sehingga ia menjadi penuntun ummat ke jalan yang benar, menjadi tokoh penentang kedhaliman pula ia adalah kesatria di medan laga. Pada Salim terhimpun keutamaan-keutamaan yang terdapat dalam Agama Islam. Keutamaan-keutamaan itu berkumpul pada diri dan sekitarnya, sementara keimanannya yang mendalam mengatur semua itu menjadi suatu susunan yang amat indah.Kelebihannya yang paling menonjol ialah mengemukakan apa yang dianggapnya benar secara terus terang. Ia tidak menutup mulut terhadap suatu kalimat yang seharusnya diucap­kannya, dan ia tak hendak mengkhianati hidupnya dengan ber­diam diri terhadap kesalahan yang menekan jiwanya...!

Setelah kota Mekah dibebaskan oleh Kaum Muslimin, Rasul­ullah mengirimkan beberapa rombongan ke kampung-kampung dan suku-suku Arab sekeliling Mekah, dan menyampaikan kepada penduduknya bahwa Rasulullah saw. sengaja mengirim mereka itu untuk berda’wah bukan untuk berperang. Dan sebagai pemimpin dari salah satu pasukan ialah Khalid bin Walid.Ketika Khalid sampai di tempat yang dituju, terjadilah suatu peristiwa yang menyebabkannya terpaksa mengunakan senjata dan menumpahkan darah. Sewaktu peristiwa ini sampai kepada Nabi saw., beliau memohon ampun kepada Tuhannya amat lama sekali sambil katanya:“Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dilaku­kan oleh Khalid . . . !”Juga peristiwa tersebut tak dapat dilupakan oleh Umar, ia pun mengambil perhatian khusus terhadap pribadi Khalid kata­nya:“Sesungguhnya pedang Khalid terlalu tajam … !”

Dalam ekspedisi yang dipimpin oleh Khalid ini ikut Salim maula Abu Hudzaifah serta shahabat-shahabat lainnya . . . . Dan demi melihat perbuatan Khalid tadi, Salim menegurnya dengan sengit dan menjelaskan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Sementara Khalid, pahlawan besar di masa jahi­liyah dan di zaman Islam itu, mula-mula diam dan mendengarkan apa yang dikemukakan temannya itu kemudian membela dirinya, akhirnya meningkat menjadi perdebatan yang sengit. 

Tetapi Salim tetap berpegang pada pendiriannya dan mengemukakan­nya tanpa takut-takut atau bermanis mulut.Ketika itu la memandang Khalid bukan sebagai salah seorang bangsawan Mekah, dan ia pun tidak merendah diri karena dahulu ia seorang budak belian, tidak . . . ! 

Karena Islam telah menyamakan mereka! Begitu pula ia tidaklah memandangnya sebagai seorang panglima yang kesalahan-kesalahannya harus dibiarkan begitu saja..., tetapi ia memandang Khalid sebagai team dan sekutunya dalam kewajiban dan tanggung jawab...! Serta ia menentang dan menyalahkan Khalid itu bukanlah karena ambisi atau suatu maksud tertentu, ia hanya melaksana­kan nasihat yang diakui haqnva dalam Islam, dan yang telah lama didengarnya dari Nabi saw. bahwa nasihat itu merupakan teras dan tiang tengah Agama, sabdanya:“Agama itu ialah nasihat … “Agama itu ialah nasihat. . . Agama itu ialah nasihat …Dan ketika Rasulullah saw. mendengar perbuatan Khalid bin Walid, beliau bertanya, katanya:‘Adakah yang menyanggahnya...?’Alangkah agungnya pertanyaan itu, dan alangkah meng­harukan...!Dan amarahnya saw. menjadi surut, ketika mereka mengata­kan pada beliau:“Ada, Salim menegur dan menyanggahnya . . .”

Salim hidup mendampingi Rasulnya dan orang-orang ber­iman. Tidak pernah ketinggalan dalam suatu peperangan mem­pertahankan Agama, dan tak kehilangan gairah dalam suatu ibadah. Sementara persaudaraannya. dengan Abu Hudzaifah, makin hari makin bertambah erat dan kukuh jua!Saat itu berpulanglah Rasulullah ke rahmatullah. Dan khi­lafat Abu Bakar r.a. menghadapi persekongkolan jahat dari orang-orang murtad. Dan tibalah saatnya pertempuran Yamamah...! Suatu peperangan sengit, yang merupakan ujian terberat bagi Islam...!Maka berangkatlah Kaum Muslimin untuk berjuang. Tidak ketinggalan Salim bersama Abu Hudzaifah saudara seagama. Di awal peperangan, Kaum Muslimin tidak bermaksud hendak menyerang. Tetapi setiap Mu’min telah merasa bahwa pepe­rangan ini adalah peperangan yang menentukan, sehingga segala akibatnya menjadi tanggung jawab bersama!

Mereka dikumpulkan sekali lagi oleh Khalid bin Walid, Yang kembali menyusun barisan dengan cara dan strategi yang mengagumkan. Kedua saudara Abu Hudzaifah dan Salim berpelukan dan sama berjanji siap mati syahid demi Agama yang haq, yang akan mengantarkan mereka kepada keberuntungan dunia dan akhirat. Lalu kedua saudara itu pun menerjunkan diri ke dalam kancah yang sedang bergejolak...!Abu Hudzaifah berseru meneriakkan:“Hai pengikut-pengikut al-Quran … ! Hiasilah al-Quran dengan amal-amal kalian

Dan bagai angin puyuh, pedangnya berkelibatan dan meng­hunjamkan tusukan-tusukan kepada anak buah Musailamah . . . sementara Salim berseru pula, katanya:-Amat buruk nasibku sebagai pemikul tanggung jawab al­Quran, apabila benteng Kaum Muslimin bobol karena kelalaianku .. .“Tidak mungkin demikian, wahai Salim. . Bahkan engkau ada­lah sebaik-baik pemikul al-Quran . . . !”ujar Abu Hudzaifah.Pedangnya bagai menari-nari menebas dan menusuk pundak orang-orang murtad, yang bangkit berontak hendak mengembali­kan jahiliyah Quraisy dan memadamkan cahaya Islam ….Tiba-tiba salah sebuah pedang orang-orang murtad itu me­nebas tangannya hingga putus . – . , tangan yang dipergunakannya untuk memanggul panji Muhajirin, setelah gugur pemanggulnya Yang pertama, ialah Zaid bin Khatthab. 

Tatkala tangan kanannya itu buntung dan panji itu jatuh segeralah dipungutnya dengan tangan kirinya lalu terus-menerus diacungkannya tinggi-tinggi sambil mengumandangkan ayat al-Quran berikut ini:

“Betapa banyaknya Nabi yang bersamanya ikut bertempur pendukung Agama Allah yang tidak sedikit jumlahnya. Mereka tidak patah semangat disebabkan cobaan’ yang menimpa mereka dalam berjuang di jalan Allah itu, daya juang mereka tidak melemah apalagi menyerah kalah, sedang Allah mengasihi orang-orang yang tabah … !”
(Q.S. 3 Ali Imran:146)

Wahai, suatu semboyan yang maha agung … ! Yakni sem­boyan yang dipilih Salim saat menghadapi ajalnya …Sekelompok orang-orang murtad mengepung dan menyerbu­nya, hingga pahlawan itu pun rubuhlah... Tetapi ruhnya belum juga keluar dari tubuhnya yang suci, sampai pertempuran itu berakhir dengan terbunuhnya Musailamah si Pembohong dan menyerah kalahnya tentara murtad serta menangnya tentara Muslimin ….Dan ketika Kaum Muslimin mencari-cari qurban dan syuhada mereka, mereka temukan Salim dalam sekarat maut. Sempat pula ia bertanya pada mereka:

“Bagaimana nasib Abu Hudzaifah …
“Ia telah menemui syahidnya”, ujar mereka.
“Baringkan daku di sampingnya . . . . katanya pula.
“Ini dia di sampingmu, wahai Salim
la telah menemui syahidnya di tempat ini … !”

Mendengar jawaban itu tersungginglah senyumnya yang akhir …. Dan setelah itu ia tidak berbicara lagi ….Ia telah menemukan bersama saudaranya apa yang mereka dambakan selama ini . . . .

Mereka masuk Islam secara bersama. Hidup secara bersama – - – -Dan kemudian mati syahid secara bersama pula …Persamaan nasib yang amat mengharukan, dan suatu taqdir yang amat indah … !

Maka pergilah menemui Tuhannya seorang tokoh Mu’min meninggalkan nama, mengenai dirinya sewaktu telah tiada lagi, Umar bin Khatthab pernah berkata:“Seandainya Salim masih hidup, pastilah ia menjadi peng­gantiku nanti . . . !”



SAALIM MAWLAA ABIHUDHAIFAH  
Blessed Be the Carrier of the Qur'aan 


The Messenger of Allah (PBUH) advised his Companions one day, 
"Take the Qur'aan from four people: Abd Allah Ibn Mas'uud, Saalim Mawlaa Abi Hudhaifah Ubai lbn Ka'b and Mu'aadh lbn Jabal."  
      
 We have met before with Ibn Mas'uud and Ubai and Mu'aadh. So, who was this fourth Companion whom the Messenger made as an authority for the teaching of the Our'aan and a source of reference? 

Verily, he was Saalim Mawlaa Abi Hudhaifah. He was a kind servant. Islam was exalted on account of him until it made him a son of one of the great Muslims who, before his Islam, was honored to be one of the most noble of the Quraish and one of their leaders. When Islam cancelled the practice of adoption, he became a brother, a friend, a protector of those whom he had adopted. Such was the glorious Companion, Abu Hudhaifah Ibn `Utbah. By the grace of Allah and His favor upon Saalim, he reached an elevated lofty position which his spiritual virtues, along with his behavior and his piety, had prepared him for.  Saalim Mawlaa Abi Hudhaifah was known by that name because he had been a slave and emancipated. He believed in Allah and His Messenger early, and took his place among the first generation.  
    
   Abu Hudhaifah Ibn `Utbah became Muslim at an early age and hastened to Islam, leaving his father, `Utbah Ibn Rabii'ah, swallowing his anger and his concerns which disturbed the purity of his life, due to the Islam of his son, who was noble among his people. His father had been preparing him for leadership among the Quraish.  
     
  Abu Hudhaifah adopted Saalim and emancipated him, and he became known as Saalim Ibn Abi Hudhaifah. Both of them continuously worshiped their Lord in awe and fear and were extremely patient under the hardship of the Quraish and their schemes. 

        One day, verses of the Qur'aan were revealed which outlawed the practice of adoption and every adopted person returned to carrying the name of his real father who had begotten him. So, Zaid Ibn Haarithah, for example, whom the Prophet had adopted and who had been known among the Muslims as Zaid lbn Muhammad, returned to carrying the name of his father, Haarithah and became Zaid Ibn Uaarithah. But Saalim's father was not known to him, so Abu Hudhaifah became his guardian and be was called Saalim Mawlaa Abi Hudhaifah. Perhaps when it cancelled the practice of adoption Islam wanted to say to the Muslims, Do not take kinship nor relationship, nor the bond by which you affirm your brotherhood as greater and stronger than Islam itself and the religious faith by which you are really made brothers. The early Muslims understood this very well. So, nothing was more loved to any one of them after Allah and His Messenger than their brethren in faith and in Islam.
  
       We have seen how the Ansaar welcomed their brethren, the Muhaajiruun. They shared with them their wealth, their homes, and all they owned. This is what we saw happening between Abu Hudhaifah, the noble of the Quraish, and Saalim, who was an emancipated slave and did not know his father.  
    
   They remained more than brothers up to the last moment of their lives, even until death: they died together spirit with spirit and body close to body. This is the unique, incomparable greatnesses of Islam, but this is only one of its greatnesses and its superiorities.  
    
   Saalim believed with a sincere faith and took his path to Allah by adopting the behavior of the devout and pious. Neither his genealogy nor his position in society had any consideration for him. He was elevated by his piety and sincerity to the highest degree of the new society which Islam came to establish and caused to rise on a new, great and just foundation, a foundation summarized in the following glorious verse 

"Surely, the most honourable of you in the sight of GOD is the most pious of 
you" (49:13) 

and in the noble hadiiths: "Arabs have no superiority over non-Arabs except in piety" and "The son of a white woman has no superiority over the son of a black woman except in piety."  

        In this new, rightly-guided society, Abu Hudhaifah, who was only a slave yesterday, found for himself honor to be in charge, to have power and to govern. Moreover, he found honor for his family, to marry Saalim to his niece Faatimah Bint Al-Waliid Ibn `Utbah. And in this new, rightly-guided society, which destroyed the unjust class structure and outlawed false distinctions and privileges, Saalim found himself always in the first rank on account of his truthfulness, faith, and bravery.  

        Yes, he became an Imam for the Muhaajiruun of Makkah to Al Madiinah during their prayer in the Qubaa' Mosque. There is proof in the Book of Allah, when the Prophet ordered the Muslims to learn from him. There were with him men of goodness and excellence, which made the Messenger say to him, "Praise be to Allah, Who made in my nation the like of you." His Muslim brothers called him "Saalim from among the Righteous."  
   
    Indeed, the story of Saalim is like the story of Bilaal and the story of many tens of slaves and the poor from whom Islam shook off the factors of servitude and weakness and made them imams and commanders in a society of guidance, reason, integrity of conduct, and frankness.  

        Saalim was a receiver of all the rightly guided virtues of Islam. These virtues accumulated in him and around him, and his truthful, deep faith arranged them in proper order in the most beautiful disposition. Among his most prominent virtues was his overt, public frankness about what he perceived as the truth. Indeed, he did not keep silent when he perceived something which he felt it was his duty to speak about. He did not betray life by maintaining silence when mistakes were made.  
      
 After Makkah was liberated by the Muslims, the Messenger of Allah (PBUH) sent some detachments to villages and tribes around Makkah to inform them that whenever he sent someone to them, they were coming only as callers to the Faith, so not to harm them or kill them.  

        At the head of one of these companies was Khaalid Ibn Al Waliid. When Khaalid reached his distination, some incident led him to use the sword and shed blood. When the Prophet (PBUH) heard the news of these events, he apologized to his Lord a long time saying, "O Allah, indeed I absolve myself from all that Khaalid has done." The Commander of the Faithful `Umar ever remained to recollect and assess him saying, "In the sword of khaalid, indeed, is a heavy burden."  

        Saalim Mawlaa Abi Hudhaifah accompanied Khaalid on this expedition, along with other Companions. As soon as Saalim saw the actions of Khaalid, he confronted him with a sharp objection and went on enumerating to him the mistakes he had committed. Khaalid, the leader, the great hero in both jaahiliyah and Islam, listened the first time, defended himself the second time, and became more forceful in speech the third time while Saalim, holding on to his point of view, spoke without fear or evasion or circumvention in speech. Saalim at that time did not look at Khaalid as a nobleman from among the nobles of Makkah, while he was one who only yesterday was a slave. No, Islam had created equality between them. He did not look at him as a leader, venerating his errors, but as a partner in duty and responsibility. Moreover, his opposition to Khaalid did not originate from a selfish purpose or interest; it was advice, consecrated by Islam, which was his right. What he heard all the time from his Prophet was a foundation and essence of the entire religion when he said,
 "Religion is sincere advice. Religion is sincere advice. Religion is sincere advice."  

        When the action of Khaalid reached the Messenger (PBUH), he asked,
 "Did anyone stand up to him?" He did not delay to question, and he was not alarmed. His anger was pacified when they said to him, "Yes, Saalim critically examined him and opposed him."  Saalim lived with his Messenger (PBUH) and the believers. He did not stay behind from any battle, nor refrain from performing any worship, and his brotherliness with Abu Hudhaifah increased daily with mutual self-sacrifice and solidarity. 

        The Messsenger (PBUH) passed away to the Most Exalted Guardian and the caliphate Abu Bakr was confronted with the conspiracies of the apostates. Then the Day of Al-Yamaamah came and it was a terrible war. Islam had not gone through anything like it. The Muslims went out to fight and Saalim and his brother Abu Hudhaifah went out to fight in the cause of Allah. At the start of the battle, the Muslims did not withstand the attack. However, each believer there felt that the battle was his own and the responsibility was his own. Khaalid lbn Al-Waliid gathered them together again and reorganized the army with astonishing skill and genius.  

        The brothers Abu Hudhaifah and Saalim embraced and pledged martyrdom in the cause of the religion of truth which gave them the happiness of this world and the next. They threw themselves into the vast, terrible sea of battle. Abu Hudhaifah was calling, "`O people of the Qur'aan, decorate the Qur'aan with your actions," and his sword was like a violent hurricane in the army of Musailamah the Liar. And Saalim was shouting, `What a bad carrier of the Qur'aan I would be if the Muslims were attacked through me.  

        Drive into a trap, O Saalim, but yes, you are our best carrier of the Qur`aan.  
      
 And Saalim's sword was forceful on the necks of the apostates who embarked upon celebrating the jaahiliyah of the Quraish and extinguishing the light of Islam. The swords of apostasy fell upon his right hand and cut it off, while he was carrying with it the standard of the Muhaajiruun after its bearer, Zaid Ibn Al-Khattaab, had fallen. When his right hand was cut off, he picked up the standard with his left and kept on waving it high while shouting the following noble Qur'aanic verses: "And how many of the Prophets have fought, and with them large troops of godly people? But they never lost heart when adversity befell them in GOD's cause, nor did they weaken, nor did they fail. And GOD loves those who show fortitude" (3:146).

        Is not that the most magnificent slogan? That is the one he chose on the day of death.  
   
    A group of apostates circled around him, so the hero fell, but his spirit kept on repeating in his purified body, until the battle ended with the killing of Musailamah the Liar, the defeat of his army, and the triumph of the Muslim army.  

        When the Muslims were examining their sacrificed and martyrs, they found Saalim in the last agony of death. He asked them, 
"What has Abu Hudhaifah done?" 
They said, "`He died a martyr." 
He said, "Lay me next to him." 
They said, "He is next to you, O Saalim." 
He had died a martyr in the same place.  

        He smiled his last smile and did not speak again. He and his companion had realized what they desired. Together they had become Muslims. Together they had lived and together they had died as martyrs.  

       Oh, the magnificence of fortune and beauty of destiny! And he went to Allah, that great believer about whom `Umar lbn Al Khattaab said while he was dying, "If Saalim were alive, I would have given him the command after me".



.¤ª"˜¨¯¨¨'Salim Maula Abu Hudzaifah¸,ø¨¨"ª¤.
.¤ª"˜¨¯¨¨Saalim Mawlaa Abi Hudhaifah¸,ø¨¨"ª¤.





palestine song dedicated to the murdered vittorio arrigoni - onadekom



biddu enclave - west bank | august 2012 (Part 2) 



biddu enclave - west bank | august 2012 (part 1) 


free palestine chants at football match edinburgh 2012 15 july 2012





tens of thousands attend khilafah conference in palestine chanting for liberation







stop the palestinian holocaust 2012




marvix and mohammed omar




israeli apartheid week: Call it as it is 



il mio cuore e'con te palestina! di nico guevara 





.¤ª"˜¨¯¨¨'Amr Bin 'Ash o'Amr Ibn Al-AAs¸,ø¨¨"ª¤. 
Pembebas Mesir dari cengkeraman Romawi.



Ada tiga orang gembong Quraiay yang amat menyubahkan Rasulullah saw. disebabkan sengitnya perlawanan mereka terhadap da’wahnya dan siksaan mereka terhadap shahabatnya. Maka Rasulullah selalu berdoa dan memohon kepada Tuhannya agar menurunkan adzabnya pada mereka. 

Tiba-tiba sementara ia berdoa dan memohon itu, turunlah wahyu atas kalbunya berupa ayat yang mulia ini: 

“Tak ada sesuatu pun kekuasaanmu mengenai urusan itu, apakah la akan menerima taubat mereka atau akan me nyiksa mereka, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang aniaya … (Q.S. 3 Ali Imran: 128)

Rasulullah memahami bahwa maksud ayat itu ialah menyuruhnya agar menghentikan doa untuk menyiksa mereka serta menyerahkan urusan mereka kepada Allah semata. Kemungkinan, mereka tetap berada dalam keaniayaan hingga akan menerima adzab-Nya. Atau mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka hingga akan memperoleh rahmat karunia-Nya. Maka ‘Amr bin ‘Ash adalah salah satu dari ketiga orang tersebut. Allah memilihkan bagi mereka jalan untuk bertaubat dan menerima rahmat, maka ditunjuki-Nya mereka jalan untuk menganut Islam, dan ‘Amr bin ‘Ash pun beralih rupa menjadi seorang Muslim pejuang, dan salah seorang panglima yang gagah berani...Dan bagaimana pun juga sebagian dari pendiriannya yang arah pandangannya tak dapat kita terima,namun peranannya sebagai seorang shahabat yang mulia, yang telah memberi dan berbuat jasa, berjuang dan berusaha, akan selalu membuka mata dan hati kita terhadap dirinya....

Dan di sini di bumi Mesir sendiri, orang-orang yang me mandang Islam itu adalah Agama yang lurus dan mulia, dan melihat pada diri Rasulnya rahmat dan ni’mat serta karunia, serta penyampai kebenaran utama, yang menyeru kepada Allah berdasarkan pemikiran dan mengilhami kehidupan ini dengan sebagian besar dari kebenaran dan ketaqwaan..., orang-orang yang beriman itu akan memendam rasa cinta kasih kepada laki-laki, yang oleh taqdir dijadikan alat  alat bagaimanapun untuk memberikan Islam ke haribaan Mesir, dan menyerahkan Mesir ke pangkuan Islam . . . ! Maka alangkah tinggi nilai hadiah itu, dan. alangkah besar jasa Pemberinya … ! Sementara laki-laki yang menjadi taqdir dan dicintai oleh mereka itu, itulah dia ‘Amr bin ‘Ash r.a....Para muarrikh atau ahli-ahli sejarah biasa menggelari ‘Amr dengan “Penakluk Mesir”. Tetapi, menurut kita gelar ini tidaklah tepat dan bukan pada tempatnya. Mungkin gelar yang paling tepat untuk ‘Amr ini dengan memanggilnya “Pembebas Mesir”. 

Islam membuka negeri itu bukanlah menurut pengertian yang lazim digunakan di masa modern ini, tetapi maksudnya tiada lain ialah membebaskannya dari cengkraman dua kerajaan besar yang menimpakan kepada negeri ini serta rakyatnya perbudakan dan penindasan yang dahsyat, yaitu imperium Persi dan Romawi...Mesir sendiri, ketika pasukan perintis tentara Islam memasuki wilayahnya, merupakan jajahan dari Romawi, sementara per juangan penduduk untuk menentangnya tidak membuahkan hasil apa-apa …. Maka tatkala dari tapal batas kerajaan-kerajaan itu bergema suara takbir dari pasukan-pasukan yang beriman: “Allahu Akbar, Allahu Akbar . . . “, mereka pun dengan ber duyun-duyun segera menuju fajar yang baru terbit itu lalu memeluk Agama Islam yang dengan perantaraannya menemukan kebenaran mereka dari kekuasaan kisra maupun kaisar.

Jika demikian halnya, ‘Amr bin ‘Ash bersama anak buahnya tidaklah menaklukkan Mesir! Mereka hanyalah merintis serta membuka jalan bagi Mesir agar dapat mencapai tujuannya dengan kebenaran dan mengikat norma danperaturan-peraturannya dengan keadilan, serta menempatkan diri dan hakikatnyadalam cahaya kalimat-kalimat Ilahi dan dalam prinsip-prinsip Islami . . . !‘Amr bin ‘Ash r.a., amat berharap sekali akan dapat meng hindarkan penduduk Mesir dan orang-orang Kopti dari peperangan, agar pertempuran terbatas antaranya dengan tentara Romawi Saja, yang telah mendudukinegeri orang secara tidak Sah, dan mencuri harta penduduk dengan sewenang-wenang...Oleh sebab itulah kita dapati ia berbicara ketika itu kepada pemuka-pemuka golongan Nasranidan uskup-uskup besar mereka, katanya:“Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad saw. membawa kebenaran dan menitahkan kebenaran itu... Dan sesungguhnya ia saw. telah menunaikan tugas risalatnya kemudian berpulang setelah meninggalkan kami di jalan lurus terang benderang.Di antara perintah-perintah yang disampaikannya kepada kami ialahmemberikan kemudahan bagi manusia. Maka kami menyeru kalian kepada Islam...

Barang siapa yang memenuhi seruan kami, maka ia termasuk golongan kami, memperoleh hak seperti hak-hak kami dan memikul kewajiban seperti kewajiban-kewajiban kami... Dan barang siapa yang tidak memenuhi seruan kami itu, kami tawarkan membayar pajak, dan kami berikan padanya keamanan serta perlindungan. Dan sesungguhnya Nabi kami telah memberitakan bahwa Mesir akan menjadi tanggung jawab kami untuk mem bebaskannya dari penjajah, dan diwasiatkannya kepada kami agar berlaku baik terhadap penduduknya, sabdanya:

“Sepeninggalku nanti, Mesir, menjadi kewajiban kalian untuk membebaskannya, maka perlakukanlah penduduk nya dengan baik, karena mereka masih mempunyai ikatan dan hubungan kekeluargaan dengan kita . . . ! “Maka jika kalian memenuhi seruan kami ini, hubungan kita semakin kuat dan bertambah erat ...!

‘Amr menyudahi ucapannya, dan sebagian uskup dan pen deta menyerukan: ”Sesungguhnya hubungan silaturrahmi yang diwasiatkan Nabimu itu adalah suatu pendekatan dengan pan dangan jauh, yang tak mungkin disuruh hubungkan kecuali oleh Nabi...! “Percakapan ini merupakan permulaan yang baik untuk tercapainya Saling pengertian yang diharapkan antara ‘Amr dan orang Kopti penduduk Mesir, walau panglima-panglima Romawi berusaha untuk menggagalkannya...‘Amr bin ‘Ash tidaklah termasuk angkatan pertama yang masuk Islam.la baru masuk Islam bersama Khalid bin Walid tidak lama sebelum dibebaskannya kota Mekah...Anehnya keislamannya itu diawali dengan bimbingan Negus raja Habsyi. Sebabnya ialah karena Negus ini kenal dan menaruh rasa hormat terhadap ‘Amr yang Sering bolak-balik ke Habsyi dan mempersembahkan barang-barang berharga sebagai hadiah bagi raja... 

Di waktu kunjungannya yang terakhir ke negeri itu, tersebutlah berita munculnya Rasul yang menyebarkan tauhid dan akhlaq mulia di tanah Arab.Maharaja Habsyi itu menanyakan kepada ‘Amr kenapa ia tak hendak beriman dan mengikutinya, padahal orang itu benar- benar utusan Allah? “Benarkah begitu … ?” tanya ‘Amr kepada Negus. “Benar”, ujar Negus, “Turutlah petunjukku, hai ‘Amr dan ikutilah dia! Sungguh dan demi Allah, ia adalah di atas kebenaran dan akan mengalahkan orang-orang yang menen tangnya...!”Secepatnya ‘Amr terjun mengarungi lautan kembali ke kampung halamannya, lalu mengarahkan langkahnya menuju Madinah untuk menyerahkan diri kepada Allah Robbul’alamin.Dalam perjalanan ke Madinah itu ia bertemu dengan Khalid bin Walid dan Utsman bin Thalhah, yang juga datang dari Mekah dengan maksud hendak bai’at kepada Rasulullah saw

Demi Rasul melihat ketiga orang itu datang, wajahnya pun berseri-seri, lalu katanya pada shahabat-shahabatnya: “Mekah telah melepas jantung-jantung hatinya kepada kita...Mula-mula tampil Khalid dan mengangkat bai’at. Kemudian majulah ‘Amr dan katanya:“Wahai Rasulullah . . . ! Aku akan baiat kepada anda, asal Saja Allah mengampuni dosa-dosaku yang terdahulu …Maka jawab Rasulullah saw.:  “Hai ‘Amr! Baiatlah, karena Islam menghapus dosa-dosa yang sebelumnya … !”‘Amr pun bai’at, dan diletakkannya kecerdikan dan keberanian nya dalam darma baktinya kepada Agamanya yang baru ….Tatkala Rasulullah saw. berpindah ke Rafiqul A’la, ‘Amr sedang berada di Oman menjadi gubernurnya. Dan di masa pemerintah Umar, jasa-jasanya dapat disaksikan dalam peperang an-peperangan di Syria, kemudian dalam membebaskan Mesir dari penjajahan Romawi.

Wahai, kenapa ‘Amr bin ‘Ash tidak menahan ambisi pribadi nya untuk dapat berkuasa! Seandainya demikian, tentulah ia akan dapat mengatasi dengan mudah sebagian kesulitan yang dialaminya disebabkan ambisinya ini . . . !Tetapi ambisinya ingin berkuasa ini, sampai suatu batas tertentu, hanyalah merupakan gambaranlahir dari tabiat bathin nya yang bergejolak dan dipenuhi bakat . . – !Bahkan bentuk tubuh, cara berjalan dan bercakapnya, memberi iayarat bahwa ia diciptakan untuk menjadi amir atau penguasa . . . !

 Hingga pernah diriwayatkan bahwa pada suatu hari Amirul Mu’minin Umar bin Khatthabmelihatnya datang. Ia tersenyum melihat caranya berjalan itu, lalu katanya:“Tidak pantas bagi Abu Abdillah akan berjalan di muka bumi kecuali sebagai amir … !”Sungguh, sebenarnya ‘Amr atau Abu Abdillah tidak me ngurangkan haq dirinya ini … ! Bahkan ketika bahaya-bahaya besar datang mengancam Kaum Muslimin, ‘Amr menghadapi peristiwa-peristiwa itu dengan cara seorang amir . . . seorang amir yang cerdik dan licin serta berkemampuan, menyebabkan nya percaya akan dirinya,serta yakin akan keunggulannya . . . !

Tetapi di samping itu ia juga memiliki sifat amanat, menye babkan Umar bin Khatthab, seorang yang terkenal amat teliti dalam memilih gubernur-gubernurnya, menetapkan sebagai gubernur di Palestine dan Yordania,kemudian di Mesir selama. hayatnya Amirul Mu’minin ini ….Bahkan ketika Amirul Mu’minin mengetahui bahwa ‘Amr, dalam kesenangan hidup telah melampaui batas yang telah digariskannya terhadap para pembesarnya, dengan tujuan agar taraf hidup mereka setingkat atau hampir setingkat dengan taraf hidup umumnya rakyat biasa, maka khalifah tidaklah memecatnya, hanya mengirimkan Muhammad bin Maslamah dan memerintahkannya agar membagi dua semua harta dan barang ‘Amr, lalu meninggalkan untuknya separohnya, sedang yang separuhnya lagi hendaklah dibawanya ke Madinah untuk Baitulmal.

Seandainya Amirul Mu’minin mengetahui bahwa ambisi ‘Amr terhadap kekuasaan sampai menyebabkannya agak lalai terhadap tanggung jawabnya, tentulah jiwanya yang waspada itutidak akan membiarkannya memegang kekuasaan walau agak sekejap pun. . . !‘Amr bin ‘Ash r.a. adalah seorang yang berfikiran taiam, cepat tanggap dan berpandangan jauh . . . hingga Amirul Mu’minin Umar, setiap ia melihat seorang yang sedikit akal,dipertepuk kannya kedua telapak tangannya dengan keras karena herannya, seraya katanya:“Subhanallah . . . ! Sesungguhnya Pencipta orang ini dan Pencipta ‘Amr bin ‘Ash hanyalah Tuhan Yang Tunggal, keduanya sama benar … !”

Di samping itu ia juga seorang yang amat berani dan ber kemauan keras ….Pada beberapa peristiwa dan suasana, keberaniannya itu dihadapinya dengan kelihaiannya, hingga disangka orang ia sebagai pengecut atau penggugup. 

Padahal itu tiada lain dari tipu mus lihat yang keistimewaanya yang oleh ‘Amr digunakannya secara tepat dan dengan keeerdikan mengagumkanuntuk membebaskan diri nya dari bahaya yang mengancam … !Amirul Mu’minin Umar mengenal bakat dan kelebihannya ini sebaik-baiknya, serta menghitungkannya dengan sepatutnya. Oleh sebab itu sewaktu ia dikirimnya ke Syria sebelum pergi ke Mesir, dikatakan orang kepada Umar bahwa tentara Romawi dipimpin oleh Arthabon, maksudnya panglima yang lihai dan gagah berani. Jawaban Umar ialah:“Kita hadapkan arthabon Romawi kepada arthabon Arab, dan baiklah kita saksikan nanti bagaimana akhir kesudah annya . . . !”

Ternyata bahwa pertarungan itu berkesudahan dengan kemenangan mutlak bagi arthabon Arab dan ahli tipu muslihat mereka yang ulung ‘Amr bin ‘Ash, sehingga arthabon Romawi, meninggalkan tentaranya menderita kekalahan dan meluputkan diri ke Mesir . .. , yang tak lama antaranya akan disusul oleh ‘Amr ke negeri ituuntuk membiarkan bendera dan panji-panji Islam di angkasanya yang aman damai ….Tidak sedikit peristiwa, di mana kecerdikan dan kelicinan ‘Amr menonjol dengan gemilang! 

Dalam hal ini kita tidak memasukkan perbuatan sehubungan dengan Abu Musa al-Asy’ari pada peristiwa tahkim, yakni ketika kedua mereka menyetujui bahwa masing-masing akan menanggalkan Ali dan Mu’awiyah dari jabatan mereka, agar urusan itu dikembalikan kepada Kaum Muslimin untuk mereka musyawarahkan bersama. Ternyata Abu Musa melaksanakan hasil persetujuan tersebut, sementara ‘Amr tidak melaksanakannya ….

Sekiranya kita ingin menyaksikan bagaimana kelicinan serta kesigapan tanggapnya, maka pada peristiwa yang dialaminya bersama komandan benteng Babilon di saat peperangannya dengan orang-orang Romawi di Mesir, atau menurut riwayat riwayat lain, bersama arthabon Romawi di pertempuran Yarmuk di Syria … !Yakni ketika ia diundang oleh komandan benteng atau oleh arthabon untuk berunding, dan sementara itu komandan Romawi telah menyuruh beberapa orang anak buahnya untuk menggulingkan batu besar ke atas kepalanya sewaktu ia hendak pulang meninggalkan benteng itu, sementara segala sesuatu dipersiapkan, agar rencana tersebut dapat berjalan lancar dan menghasilkan apa yang dimaksud mereka ….‘Amr pun berangkat menemui komandan, tanpa sedikit pun menaruh curiga, dan setelah berunding mereka berpisahlah. Tiba-tiba dalam perjalanannya ke luar benteng, terkilaslah olehnya di atas tembok, gerakan yang mencurigakan,hingga membangkitkan gerakan refleknya dengan amat cepatnya,dan dengan tangkas berhasil menghindarkan diri dengan cara yang mengagumkan ….Dan sekarang ia kembali mendapatkan komandan benteng dengan langkah-langkah yang tepat dan tegap serta kesadaran tinggi yang tak pernah goyah, seolah-olah ia tak dapat dikejutkan oleh sesuatu pun dan tidak dapat dipengaruhi oleh rasa curiga . . . ! Kemudian ia masuk ke dalam, lalu katanya kepada komandan:

“‘Tirnbul dalam hatiku suatu fikiran yang ingin kusampaikan kepada anda sekarang ini. Di pos komandoku sekarang ini sedang menunggu segolongan shahabat Rasul angkatan pertama masuk Islam, yang pendapat mereka biasa didengar oleh Amirul Mu’minin untuk mengambil sesuatu keputusan penting. Bahkan setiap mengirim tentara, mereka selalu diikutsertakan untuk mengawasi tindakan tentara dan langkah-langkah yang mereka ambil. Maka maksudku hendak membawa mereka ke sini agar dapat mendengar dari mulut anda apa yang telah kudengar, hingga mereka memperoleh penjelasan yang sebaik-baiknya mengenai urusan kita ini … ! “

Komandan Romawi itu secara bersahaja maklum bahwa karena nasib mujurnya, ‘Amr lolos dari lobang jarum . . . ! Dengan sikap gembira ia menyetujui usul ‘Amr, hingga bila ‘Amr nanti kembali dengan sejumlah besar pimpinan dan panglima Islam pilihan, ia akan dapat menjebak mereka semua, daripada hanya ‘Amr seorang. . ?Dan secara sembunyi-sembunyi hingga tidak diketahui oleh ‘Amr, dipertahankannyalah untuktidak mengganggu ‘Amr dan menyiapkan kembali perangkap yang disediakan untuk panglima Islam tadi,guna menghabisi para pemimpin mereka yang utama ….

Lalu dilepasnya ‘Amr dengan besar hati, dan disalaminya amat hangat sekali …. disambut oleh ahli siasat dan tipumuslihat Arab itu dengan tertawa dalam hati . . ..Dan di waktu subuh keesokan harinya, dengan memacu kudanya yang meringkik keras dengan nada bangga dan meng ejek, ‘Amr kembali memimpin tentaranya menuju benteng.Memang, kuda itu merupakan suatu makhluq lain yang banyak mengetahui kelihaian dan kecerdikan tuannya …Dan pada tahun ke-43 Hijrah, wafatlah ‘Amr bin ‘Ash di Mesir, sewaktu ia menjadi gubernur di sana . . . .Di saat-saat kepergiannya itu, ia mengemukakan riwayat hidupnya, katanya:“Pada mulanya aku ini seorang kafir, dan orang yang amat keras sekali terhadap Rasulullah saw hingga seandainya aku meninggal pada saat itu, pastilah masuk neraka!Kemudian aku bai’at kepada Rasulullah, maka tak seorang pun di antara manusia yang lebih kucintai, dan lebih mulia dalam pandangan mataku, daripada beliau … !

Dan seandainya aku diminta untuk melukiskannya, maka aku tidak sanggup karena disebabkan hormatku kepadanya, aku tak kuasa menatapnya sepenuh mataku . . . !Maka seandainya aku meninggal pada saat itu, besar harapan akan menjadi penduduk surga . . . !Kemudian setelah itu, aku diberi ujian dengan memperoleh kekuasaan begitupun dengan hal-hal lain.Aku tidak tahu, apakah ujian itu akan membawa keuntungan bagi diriku ataukah kerugian … !”Lalu diangkatnya kepalanya ke arah langit dengan hati yang tunduk, sambilbermunajat kepada Tuhannya Yang Maha Besar lagi Maha Pengasih, katanya:

“Oh Allah, daku ini orang yang tak luput dari kesalahan, maka mohon dimaafkan … !Daku tak sunyi dari kelemahan, maka mohon diberi per tolongan … !Sekiranya daku tidak memperoleh rahmat karunia-Mu, pasti celakalah nasibku … !”

Demikianlah ia asyik dalam permohonan dan penghinaan diri hingga akhirnya ruhnya naik ke langit tinggi, di sisi Allah Rabbul ’izzati, sementara akhir ucapan penutup hayatnya, ialah : La ilaha illallah ….

Di pangkuan bumi Mesir, negeri yang diperkenalkannya dengan ajaran Islam itu, bersemayamlah tubuh kasarnya... Dan di atas tanahnya yang keras, majliasnya yang selama ini digunakannya untuk mengajar,mengadili dan mengendalikan pemerintahan, masih tegak berdiri melalui kurun waktu, di naungi oleh atap mesjidnya yang telah berusia lanjut “Jami’u ‘Amr”, yakni mesjid yang mula pertama didirikan di Mesir,yang disebut di dalamnya asma Allah Yang Tunggal lagi Esa serta dikumandangkanke setiap pojoknya dari atas mimbaruya kalimat-kalimat Allah serta pokok-pokok Agama Islam ….

`AMR IBN AL -`AAs  
Liberator of Egypt from Rome! 


        There were three from the Quraish who used to trouble the Messenger of Allah (PBUH) with the fierceness of their resistance to his call and their torture of his Companions.  
    
   The Messenger called them and pleaded to his glorious Lord to inflict them with His punishment, and while he was calling and inviting, he received the revelation of these noble verses: "The matter is not in your hands, whether GOD turns to them or chastises them, for surely they are evil doers" (3: 128).  
    
   The Messenger's understanding of the verse was that he was to stop calling Allah to punish them and to leave their affair to Allah alone. Either they would continue their wrongdoing and His punishment would be inflicted upon them, or He would accept their repentance.  
     
  They repented, so His mercy reached them. `Amr Ibn Al-'Aas was one of these three. Allah had chosen for them the path of repentance and mercy, so He guided them to Islam. He transformed `Amr Ibn Al-'Aas into a Muslim fighter and into one of the brave leaders of Islam.  

        In spite of some of `Amr's positions, his point of view of which we cannot be convinced, he played a role as a glorious Companion; he sacrificed and gave generously; he was a defender and combatant, and our eyes and our hearts shall continue to open on his countenance, especially here in Egypt. Those who see in Islam a glorious valuable religion and see in its Messenger a merciful gift and a blessed gift. Those who see the truthful Messenger who called to Allah according to clear vision and inspired life abundantly with its sensible conduct, forthrightness and devout piety. Those who carry this faith shall continue with enhanced allegiance to look to the man whom fate made the cause - for whatever reason - for the introduction of Islam to Egypt and the guidance of Egypt to Islam. So, blessed is the gift and blessed is the gift giver.  
  
      That is he, `Amr Ibn Al-'Aas. The historians were accustomed to describing `Amr as the conqueror of Egypt. However, I see in this description an underestimation and an overestimation. Perhaps a more truthful description of `Amr would be that which we call him, "Liberator of Egypt". For Islam did not conquer the country with the modern understanding of conquering, but it liberated it from the hegemony of two imperial powers, two modes of worship of two countries, and the worst punishment, the imperial power of Persia and the imperial power of Rome.  

        Egypt, in particular, on the day the advanced guard of Islam appeared, had been plundered by the Romans, and its inhabitants were resisting without result. When the shouts of believing armies reverberated over the frontiers of their country, "Allah akbaar! (Allah is the Greatest)" they hastened all together, in a glorious crowd, toward the coming dawn and embraced it, finding in it liberation from Caesar and from Rome.  
  
      So, `Amr and his men did not conquer Egypt but opened the way for Egypt to attach its destiny to the truth, tie its fate to justice, and find itself and its reality in the light of the words of Allah and the principles of Islam. He was careful to separate the inhabitants of Egypt and its Copts away from the army and keep the fighting restricted between himself and the Romans who occupied the land and robbed the wealth of its people.  

        On account of that, we find him talking to the Christian leaders of that day and their high priest. He said to them, "Indeed Allah sent Muhammad with the truth and ordered him to teach it. The Prophet carried out his mission, and he died after leaving us on that path, the clear straight path. Among the things he ordered us to do was to be responsible to the people, so we call you to Islam. Whoever responds is of us. He has what we have and he has the same rights and obligations as we do. And whoever does not respond to Islam, we enforce on him the payment of jizyah and we offer to him defense and protection. Our Prophet informed us that Egypt would open for us and advised us to be good to its people, saying, Egypt will be opened to you after me, so you are advised to treat its Copts well, for indeed, they have a covenant of protection and kinship relations,' so if you answer to what we call you to, you will have protection and security."  

        No sooner had `Amr finished his words, than some of the priests and rabbis shouted, saying, "Indeed the kinship of which your Prophet advised you is a remote kinship relationship, the like of which cannot be reached except by the prophets." This was a good start for the hoped for understanding between `Amr and the Copts of Egypt, in spite of what the Roman leader had tried to do to frustrate it.  

        Amr Ibn Al-'Aas was not among the earliest ones to embrace Islam. He embraced Islam with Khaalid Ibn Al-Waliid, just shortly before the Conquest of Makkah. It is surprising that his Islam began at the hands of An-Najaashiy in Abyssinia, and that is because An Nagaashiy knew `Amr and respected him because of his several visits to Abyssinia and abundant gifts which he used to carry to An Najaashiy. 

In his final visit to that country, mention was made of the Prophet who was calling to monotheism and to the nobility of morals in the Arabian Peninsula. The Abyssinian ruler asked `Amr, `How could you not believe in him and follow him, when he is truly a Messenger from Allah?" Amr then asked An- Najaashiy, "Is he thus?" An Najaashiy answered, "Yes, so obey me, O `Amr, and follow him, for indeed, by Allah, he is on the path of truth and he will surpass those who stood against him!"  
       
`Amr traveled, taking the sea route, immediately returning to his country and turning his face in the direction of Al-Madiinah to surrender to Allah, Lord of the Worlds.  

        On the road leading to Al-Madiinah, he met Khaalid Ibn Al Wallid coming from Makkah, going also to the Messenger to swear allegiance to Islam. No sooner did the Messenger see the two of them coming than his face beamed with joy and he said to his Companions, "Makkah has gifted you with its most noble leaders." Khaliid approached and swore allegiance. Then `Amr approached and said, "Indeed, I swear allegiance to you provided that you ask Allah to forgive me my previous sins." So the Messenger answered him saying, "O `Amr, swear allegiance, for indeed Islam disregards whatever preceded it."  

        `Amr swore allegiance and placed his wits and bravery at the service of his new religion. When the Messenger passed on to Allah, Most Exalted, `Amr was appointed ruler over Oman and during the caliphate of `Umar he performed his famous deeds in the Syrian wars and then in the liberation of Egypt from the rule of Rome.          Oh, if only Amr Ibn Al-'Aas could have resisted the love of commanding and rule in his soul, then he would have greatly overcome some of the positions which this love entangled him in. Yet, `Amr's love for the authority of ruling, to a certain extent, was a direct expression of his nature, which was filled with talent. Moreover, his external appearance, his way of walking and conversing, indicated that he was created for commanding to the extent that it has been related that the Commander of the Faithful Umar Ibn Al-Khattaab saw `Amr once approaching, so he smiled at the way he was walking and said, "It should not be for Abu `Abd Allah to walk on the earth except as a commander."  

 The truth also is that Abu `Abd Allah did not forget the right. Even when dangerous events overwhelmed the Muslims, `Amr dealt with these events in a commanding manner, as one who possesses intelligence, wits, and a capability which made him self-confident and proud of his excellence. Moreover, he possessed such a portion of honesty that it made Umar lbn Al-Khattaab - even though he was strict in choosing his governor - choose Amr as governor over Palestine and Jordan, then over Egypt, throughout the life of `Umar. This even though the Commander of the Faithful knew that `Amr had exceeded a certain limit in the opulence of his life style, while the Commander of the Faithful demanded from his governors to set an example by staying always at the level or at least close to the general level of the people. 
  
     Even though the caliph knewabout the abundance of `Amr's wealth, he did not remove him but sent Muhammad Ibn Maslamah to him and ordered `Amr to split with him, all of his wealth and possessions. 

So, he left him one half of it and carried the other half to the treasury in Al-Madiinah. However, if the Commander of the Faithful had known that `Amr's love for wealth would lead him to carelessness in his responibility, it is conceivable that his reasonable conscience would not have allowed him to stay in power for even one moment.  `Amr (May Allah be pleased with him) was sharp-witted with strong intuitive understanding and deep vision, so much so that whenever the Commander of the Faithful saw a person incapable of artifice, he clapped his palms in astonishment and said, "Glory be to Allah Indeed, the Creator of this and the Creator of `Amr lbn  Al-Aas is one God." 

       `Amr was also very daring and unhesitant. He used to combine his daring with his wits in some instances so that he would be thought to be cowardly or hesitant. However, it was the capacity to trick which `Amr perfected with great skill to get himself out of a destructive crisis.  The Commander of the Faithful Umar knew these talents of his and appreciated their true value. For that reason, when he sent him to Syria, before his going to Egypt, it was said to the Commander of the Faithful, "At the head of the armies of Rome in Syria is Artubun; a shrewd and brave leader and a prince." `Umar's response was, "We have hurled at Artubun of Rome Artubun of the Arabs, so let us see how the matter unfolds."  
      
 Matters unfolded in a massive victory for the Artubun of the Arabs, their dangerous, sly old fox, `Amr Ibn Al-'Aas over the Artubun of Rome, who left his army to defeat and fled to Egypt. `Amr would catch him shortly thereafter to raise the standard of Islam above its secure lands.  
   
     What are the situations in which the intelligence and wits of `Amr excelled? We do not count among them his position with Abu Muusaa Al-Ash'ariy in the incident of arbitration when the two of them agreed to depose `Aliy and Mu'aawiyah to refer the matter back to consultation between the Muslims. Abu Muusaa implemented the agreement and `Amr relented from carrying out his part of the agreement.  If we want to witness a picture of his wits and the skill of his intuitive insight, we find it in his position with respect to the commander of the Citadel of Babylon (near present day Cairo) during his war with Rome in Egypt, and, in another historical narration, in the battle we shall mention which took place in Yarmuuk with Artubun of Rome.  
  
     When Artubun and the commander invited `Amr to talk, they gave an order to some of their men to throw a rock at him immediately upon his departure from the Citadel and to prepare everything so that the killing of `Amr would be an inevitable matter.  

       `Amr met the commander, not suspecting anything from him, and their meeting ended. While `Amr was on his way out of the Citadel, he glimpsed over the walls something suspicious that aroused in bun a strong sense of danger, and immediately he behaved in an outstanding manner. He returned back to the commander of the Citadel, in safe, secure, slow steps, with confident, happy feelings, as if nothing had scared him at all or had aroused his suspicion. He met the commander and said to him, "An idea came across my mind I wanted you to know. I have with me, where my companions are camped, a group from among the first Companions of the Messenger to enter into Islam. The Commander of the Faithful would not decide anything without consulting them and would not send an army unless he put them at the head of its fighters and soldiers. I will bring them to you so that they hear from you that which I heard, so they will become as clear in the matter as I am."  

       The Roman commander realized that `Amr, by his naiveté, had granted him the opportunity of a lifetime. Therefore, he thought, Let us agree with him, and when he returns with this number of Muslim commanders and the best of their men and their leaders, we will deliver the coup de grace and finish off all of them at once, instead of finishing off Amr alone.  
   
  Secretly he gave his order to put off the plan that was devised to assassinate `Amr, and he saw `Amr off cordially and shook his hand with enthusiasm and fervor. `Amr smiled the most intelligent of Arab smiles as he was leaving the Citadel.  
    
    In the morning Amr returned to the Citadel at the head of an army, mounted on his horse that whinnied in a loud burst of laughter, behaving proudly and haughtily and making fun. Yes, for it, too, knew a lot of things about the shrewdness of its owner.  

       In A.H. 43, death caught up with `Amr Ibn Al-'Aas in Egypt, where he was ruling. He recaptured his life in the moments of departure, saying, "In the first part of my life I was a disbeliever, and I was one of the fiercest people against the Messenger of Allah, so if I had died on that day, the fire would have been my fate. Then, I swore allegiance to the Messenger of Allah, and there was no person more dear to me than he and more glorious in my eyes than he. If I wanted to describe him, I could not, because I was not able to fill my eyes with him on account of being in awe of him. If I had died back then, I would have wished to be of the inhabitants of Paradise. Then after that I was tested with command and with material things. I do not know if they were for me or against me."  

      Then he raised his sight to the sky in awe, calling upon his Lord, the Merciful, the Magnificent, saying, "O Allah, I am not innocent, so forgive me. I am not mighty, so help me. And if Your mercy does not come to me, I will surely be of those destroyed."  
   
    And he continued in his yearning and his prayers until his spirit ascended to Allah and his last words were, "There is no god but Allah."  

        Under the ground of Egypt, which `Amr acquainted with the path of Islam, where his corpse was finally placed, and above its hard earth, his seat is still standing throughout the centuries. Here he used to teach, judge, and rule, beneath the ceiling of his ancient mosque, the Mosque of `Amr, the first mosque in Egypt, in which the name of Allah, the One and Only is mentioned and declared between its walls and from its pulpit, the words of Allah and the principles of Islam.


not crazy but amazing... seriously amazing!





.¤ª"˜¨¯¨¨'Ubaidah Bin Shamit o'Ubaadah Ibn As-Saamit¸,ø¨¨"ª¤. 
Suatu fithrah yang cerdas. 



Di bumi Daus, dari keluarga yang mulia dan terhormat, muncullah tokoh kita ini . . . . la dikaruniai bakat sebagai pe­nyair, hingga nama dan kemahirannya termasyhur di kalangan suku-suku. 

Di musim ramainya pekan ‘Ukadh, tempat berkumpul dan berhimpunnya manusia, untuk mendengar dan menyaksikan penyair-penyair Arab yang datang berkunjung dari seluruh pelosok serta untuk menonjolkan dan membanggakan penyair masing-masing, maka Thufeil mengambil kedudukannya di barisan terkemuka . . . . Walaupun bukan pada musim ‘Ukadh, ia Sering pula pergi ke Mekah ….

Pada suatu ketika, saat ia berkunjung ke kota suci itu, Rasul­ullah telah mulai melahirkan da’wahnya . . . . Orang-orang Quraisy takut kalau-kalau Thufeil menemuinya dan masuk Islam, lalu menggunakan bakatnya sebagai penyair itu membela Islam, hingga merupakan bencana besar bagi Quraisy dan berhala­ berhala mereka . . . .

Oleh sebab itu mereka menelingkunginya selalu dan menyedia­kan segala kesenangan dan kemewahan untuk melayani dan menerima kedatangannya sebagai tamu, lalu menakut-nakutinya agar tidak berjumpa dengan Rasulullah saw. katanya:  ”Muham­mad memiliki ucapan laksana sihir, hingga dapat mencerai ­beraikan anak dari bapak dan seseorang dari saudaranya, serta seorang suami dari istrinya . .. ! Dan sesungguhnya kami ini cemas terhadap dirimu dan kaummu dari kejahatannya, maka janganlah ia diajak bicara, dan jangan dengarkan apa kata­nya . . . !Dan marilah kita dengarkan Thufeil menceritakan sendiri kisahnya katanya:  ”Demi Allah, mereka selalu membuntutiku, hingga aku hampir saja membatalkan maksudku untuk me­nemui dan mendengar ucapannya . . . . 

Dan ketika aku pergi ke Ka’bah, kututup telingaku dengan kapas, agar bila ia berkata, aku tidak mendengar perkataannya . . . . Kiranya ia kudapati sedang shalat dekat Ka’bah, maka aku berdiri di dekatnya, taqdir Allah menghendaki agar aku mendengarkan sebahagian apa yang dibacanya, dan terdengarlah olehku perkataan yang baik. . . .Lalu kataku kepada diriku: “Wahai malangnya ibuku ke­hilangan daku . . . ! Demi Allah, aku ini seorang yang pandai dan jadi penyair, dan mampu membedakan mana yang baik dari yang buruk! Maka apa salahnya jika aku mendengarkan apa yang diucapkan oleh laki-laki itu? Jika yang dikemukakannya itu barang baik, dapatlah kuterima, dan seandainya jelek, dapat pula kutinggalkan . . . . Kutunggu sampai ia berpaling hendak pulang ke rumahnya, lalu kuikuti hingga ia masuk rumah, maka kuiringkan dari belakang dan kukatakan kepadanya:  ”Wahai Muhammad! Kaummu telah menceritakan padaku bermacam­-macam, tentang dirimu!Dan demi Allah, mereka selalu menakut­-nakutiku terhadap urusanmu, hingga kututupi telingaku dengan kapas agar tidak mendengar perkataanmu . . . . 

Tetapi iradat Allah menghendaki agar aku mendengarnya, dan terdengarlah olehku ucapan yang baik, maka kemukakanlah padaku apa yang menjadi urusanmu itu … !”Rasul pun mengemukakan padaku terperinci tentang Agama Islam dan dibacakannya al-Quran …. Sungguh! Demi Allah, tak pernah kudengar satu ucapan pun yang lebih baik dari itu, atau suatu urusan yang lebih benar dari itu . . . !Maka masuklah aku ke dalam Islam, dan kuucapkan syahadat yang haq, lalu kataku: “Wahai Rasulullah! Sesungguh­nya aku ini seorang yang ditaati oleh kaumku, dan sekarang aku akan kembali kepada mereka, serta akan menyeru mereka kepada Islam. Maka du’akanlah kepada Allah agar aku diberi-Nya suatu tanda yang akan menjadi pembantu bagiku mengenai soal yang kuserukan pada mereka itu. 
Maka sabda Rasulullah saw.
“Ya Allah! Jadikanlah baginya suatu tanda. . .

Dalam kitab suci-Nya Allah Ta’ala telah memuji

 “orang­-orang yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti yang terbaik di antaranya . . . “. 

Nah, sekarang kita bertemu dengan salah seorang di antara mereka itu . . . , dan ia merupakan suatu gambaran yang tepat mengenai fithrah yang cerdas . . . !

Demi telinganya mendengar sebagian ayat-ayat mengenai petunjuk dan kebaikan yang diturunkan Allah atas kalbu hamba­Nya, maka seluruh pendengaran dan seluruh hatinya terbuka selebar-lebaruya, dan diulurkannya tangannya untuk bai’at kepada Rasulnya ….Dan tidak hanya sampai di sana, tetapi dengan secepatnya dibebaninya dirinya dengan tanggung jawab menyeru kaum dan keluarganya kepada Agama yang haq dan jalan yang lurus ini…Oleh sebab itu, baru saja ia sampai di rumah dan kampung halamannya Daus, dikemukakannyalah kepada bapaknya ‘Aqidah dan keinginan yang terkandung dalam hatinya, dan diserunya ia kepada Islam, yakni setelah menceritakan perihal Rasul yang menyebarkan Agama itu, tentang kebesaran, kesucian, amanah dan ketulusan serta ketaatannya kepada Allah Robbul­’alamin ….

Dan pada waktu itu juga bapaknya masuk Islam. Lalu ia beralih kepada ibunya, yang juga menganut Islam. Kemudian kepada istrinya yang mengambil tindakan yang serupa. Dan tatkala hatinya menjadi tenteram karena Islam telah meliputi rumahnya, ia pun berpindah tempat kepada kaum keluarga, bahkan kepada seluruh penduduk Daus. Tetapi tak seorang pun di antara .mereka yang memenuhi seruannya memeluk Islam, kecuali Abu Aurairah r.aKaumnya itu menghinakan dan memencilkannya, hingga akhirnya hilanglah keshabarannya terhadap mereka. Maka dinaikinya kendaraannya menempuh padang pasir dan kembali kepada Rasulullah saw. mengadukan halnya dan membekali diri dengan ajaran-ajarannya ….

Dan tatkala tibalah ia di Mekah, segeralah ia ke rumah Rasul, dibawa oleh hatinya yang rindu. Katanya kepada Nabi saw.:  ”Wahai Rasulullah . .. ! Saya kelabakan menghadapi riba dan perzinahan yang merajalela di desa Daus . . . ! Maka mohonkanlah kepada Allah agar Ia menghancurkan Daus … !”
Tetapi alangkah terpesonanya Thufeil ketika dilihatnya Rasulullah mengangkatkan kedua tangannya ke langit serta katanya: 
 ”Ya Allah, tunjukilah orang-orang Daus, dan datang­kanlah mereka ke sini dengan memeluk Islam … !” 

Lalu sambil berpaling kepada Thufeil, katanya: 
 ”Kembalilah kamu kepada kaummu, serulah mereka dan bersikap lunak-lembutlah kepada mereka”

Peristiwa yang disaksikannya ini memenuhi jiwa Thufeil dengan keharuan dan mengisi ruhnya dengan kepuasan, lalu dipujinya Allah setinggi-tingginya, yang telah menjadikan Rasul, insan pengasih ini sebagai guru dan pembimbingnya, dan men­jadikan Islam sebagai Agama dan tempat berlindungnya ….Maka bangkitlah ia pergi kembali ke kampung halaman dan kaumnya. Dan di sana, ia terns mengajak mereka kepada Islam secara lunak lembut sebagai dipesankan oleh Rasulullah saw.

Dalam pada itu, selama tenggang waktu yang dilaluinya di tengah-tengah kaumnya, Rasulullah telah hijrah ke Madinah, dan telah terjadi perang Badar, Uhud dan Khandak. 

Tiba-tiba ketika Rasulullah sedang berada di Khaibar, yakni setelah kota itu diserahkan Allah ke tangan Muslimin, satu rombongan besar yang terdiri dari delapan puluh keluarga Daus datang menghadap Rasulullah sambil membaca tahlil dan takbir. Mereka lalu duduk di hadapannya mengangkat bai’at secara bergantian.Dan tatkala selesailah peristiwa mereka yang bersejarah dan upacara bai’at yang diberkahi itu, Thufeil pergi duduk seorang diri, merenungkan kembali kenangan-kenangan lama­nya dan mengira-ngirakan langkah yang akan diambilnya untuk masa mendatang . . . .

Maka teringatlah ia akan saat kedatangannya kepada Rasul­ullah memohon agar ia menadahkan tangannya ke langit untuk mengucapkan du’a “Ya Allah, hancurkanlah orang-orang Daus . . . . .., tetapi ternyata Rasulullah menyampaikan per­mohonan lain yang menggugah keharuannya dengan ucapan sebagai berikut:
 “Ya Allah, tunjukilah orang-orang Daus, dan bawalah mereka ke sini setelah menganut Islam … !”

Sungguh, Allah telah menunjuki orang-orang Daus dan Ia telah mendatangkan mereka sebagai Kaum Muslimin . . . ! 

Mereka terdiri dari 80 kepala keluarga beserta penghuni rumahnya dan merupakan bagian terbesar dari penduduk, serta meng­ambil kedudukan mereka di barisan suci di belakang Rasulullah al- Amin . . . .Thufeil melanjutkan usahanya bersama jama’ah yang telah beriman itu. Tatkala tibalah saat pembebasan Mekah ia ikut rombongan yang memasukinya, yang jumlahnya sepuluh ribu orang, yang sekali-kali tidak merasa bangga atau besar kepala, hanya sama-sama menundukkan kening karena hormat dan ta’dhim, mensyukuri ni’mat Allah yang telah membalas usaha mereka dengan kemenangan nyata, dan pembebasan Mekah yang tak usah menunggu lama ….

Thufeil melihat Rasulullah menghancurkan berhala-berhala di Ka’bah dan membersihkan dengan tangannya kotoran dan najis yang telah lama berkarat. Putera Daus itu teringat akan sebuah berhala milik Amr bin Himamah. Amr ini Sering mem­bawanya memuji berhala itu sewaktu ia menginap di rumahnya sebagai tamunya, hingga ia berlutut di hadapannya dan meren­dahkan diri dan memohon kepadanya … !Datanglah sudah saatnya bagi Thufeil sekarang ini untuk menghapus dan melebur dosa-dosanya di hari itu. Ketika itu pergilah ia kepada Rasulullah saw. meminta idzin untuk pergi membakar berhala milik Amr bin Humamah tadi, yang biasa disebut “Dzal kaffain”, atau “si Telapak tangan dua”.

Rasulullah memberinya idzin, maka pergilah ia ke tempat berhala itu lalu membakarnya dengan api yang bernyala; setiap api itu surut, dinyalakannya kembali, dan sementara itu mulut­nya asyik berpantun:“Hai Dzal kaffain, aku ini bukan hambamu, Kami lebih dulu lahir daripadamu!Nah, terimalah api ini untuk pengisi perutmu!Demikianlah Thufeil melanjutkan hidupnya bersama Nabi, sahalat di belakangnya dan belajar kepadanya serta berperang dalam rombongannya. Dan ketika Rasulullah naik ke Rafiqul Ala, Thufeil berpendapat bahwa dengan wafatnya Rasulullah itu, tanggung jawabnya sebagai seorang Muslim belumlah ber­henti, bahkan boleh dikata baru saja mulai!

Ketika pertempuran melawan orang-orang murtad berkobar, Thufeil menyingsingkan lengan bajunya, lalu terjun mengalami pahit getirnya dengan semangat dan kegairahan dari seorang yang rindu menemui syahid . . . . la ikut dalam perang riddah itu, pertempuran demi pertempuran ….Pada pertempuran Yamamah, ia berangkat bersama Kaum Muslimin dengan membawa puteranya ‘Amr bin Thufeil. Baru saja perang mulai, telah dipesankannya kepada puteranya itu agar berperang mati-matian menghadapi tentara Musailamah si pembohong itu, bahkan walau akan mati syahid sekalipun … ! Dibisikkannya pula kepada puteranya itu bahwa menurut fira­satnya, dalam pertempuran kali ini ia akan menemui ajalnya...!Setelah itu disiapkannya pedangnya dan diterjuninya pertempuran dengan semangat berqurban dan berani mati...! Bukan hanya membela nyawanya dengan mata pedangnya …. tetapi pedangnya pun dibelanya dengan nyawanya...!

Hingga ketika ia wafat dan tubuhnya rubuh, pedangnya masih teracung dan siap sedia, untuk ditebaskan oleh tangannya yang sebelah yang tidak mengalami cedera apa-apaMaka dalam pertempuran itu tewaslah Thufeil ad-Dausi r.a. memenuhi syahidnya..., dan jasadnya pun rubuh disebab­kan tusukan senjata, sementara sinar matanya seakan hendak memberi isyarat kepada puteranya yang tak kunjung dilihatnya dekat arena.. Yah, isyarat agar ia waspada dan tidak menyusul dan mengikuti langkahnya ….Tetapi sungguh, rupanya puteranya itu tak hendak ketinggal­an, lalu menyusul ayahandanya pula, memang tidak pada waktu itu, hanya beberapa lama setelahnya . . . ! 

Di pertempuran sebagai di Syria, ketika Amr bin Thufeil turut mengambil bagian sebagai Pejuang, di sanalah ia menemui apa yang dicitanyaSementara ia hendak menghembuskan nafasnya yang peng­habisan, diulurkannya tangannya yang kanan dan dibentangkannya telapaknya seakan hendak menjawab dan menyalami tangan seseorang...! Yah, siapa tahu, mungkin waktu itu ia hendak bersalaman dengan ruh bapaknya...!

AT-TUFAIL IBN `AMR AD-DAWSIY  
The Rightly Guided Nature 

        In the land of Daws, he grew up in a noble, respected family. He was gifted with poetry, and his fame and excellence spread among the tribes. During the season of `Ukaadh, when Arab poets came from all directions and the people gathered and assembled to show off their poetry, At-Tufail used to take his place in the forefront.  

       He used to frequent Makkah at times other than Ukaadh. Once he visited Makkah when the Messenger had just started declaring his mission and the Quraish feared that At-Tufail would meet him and convert to Islam and then put his poetic gift at the service of Islam. That would be a curse upon the Quraish and their idols. On account of this, they circled around him and prepared for him a hospitality that included every kind of joy, comfort, and ease. Then they went on to warn him about meeting the Messenger of Allah. They said to him, "He has charming speech like magic and he makes division between a man and his son, and a man and his brother, and a man and his wife. I fear for you and your people from him. So do not talk to him nor listen to any talk from him."  
  
      Let us listen to At-Tufail himself telling the remainder of the story: So by Allah, they were still insisting on my not listening to anything from him and not meeting him. And when I went over to the Ka'bah, I filled my ears with cotton so as not to hear anything he had to say when he spoke. There I found him standing praying at the  Ka' bah, so I stood close to him. Allah refused nothing but He made me hear some portion of what he was reading. I heard a fine speech, and I said to myself, "Oh, may I lose my mother! Indeed I am an intelligent poet. I would not fail to recognize the good from the ugly. What is it that hinders me from listening to the man and what he says? If that which he brings is good, I should accept it, and if it is bad...." 
  
      I stayed until Muhammad departed to his house. I followed him until he entered his house, so I entered behind him and said to him, "O Muhammad, verily your people have told me such-and-such about you. By Allah, they kept making me afraid of you until I blocked my ears with cotton in order not to hear your words. But Allah willed that I hear, so I heard a fine speech. Set forth to me your message."  

        So the Messenger presented to me Islam and recited to me from the Qur'aan. By Allah, I had never heard a speech better than it, nor a matter more just than it. So, I surrendered and bore witness to the truth.  

        I said, "O Messenger of Allah, indeed I am a person of credibility among my people and I am returning to them to invite them to Islam, so call on Allah to make a sign for me that will be a help for me in that which I call them to." 
He said,
 "O Allah, make for him a sign."  
     
   Allah has spoken appreciatively in His book

 " Those who listen to the speech and follow the best part of it " (39:18).  

        We have met one of those great people and he is, indeed, a true picture of the image of the rightly guided nature.  

        So, no sooner had he heard it than he accepted the message of some of the blessed guiding verses which Allah had revealed to the heart of His Messenger until all his hearing was opened and all his heart, until he stretched out his right hand to swear the oath of allegiance. Not only that, but he immediately took upon himself the responsibility of inviting his people and kin to this religion of truth and the straight path.  

       For this reason, as soon as he reached his country and house in the land of Daws, he confronted his father about that which was in his heart concerning the principles of faith and perseverance. He called his father to Islam after speaking to him about the Messenger who calls to Allah. He spoke to him about his greatness, about his purity and honesty, and his father became a Muslim immediately. Then he went to his mother, and she became a Muslim. Then to his wife, and she became a Muslim. When he was sure that Islam had swept over his household, he moved on to his tribe and to all the inhabitants of Daws. However, no one from among them accepted Islam except Abu Hurairah (May Allah be pleased with him).  

        They went on disappointing him and turning away from him until he ran out of patience with them, so he rode his beast, cutting through the desert, returning to the Messenger of Allah to complain to him and to take more and more of his teachings. When he arrived in Makkah, he hastened to the house of the Messenger, driven by his yearning to see him. He said to the Prophet (PBUH), "O Messenger of Allah, indeed adultery and usury have beaten me in our fight over Daws. So, call on Allah to destroy Daws." Suddenly, At-Tufail was baffled when he saw the Messenger (PBUH) raise his hands to the sky while saying,
 "O Allah, guide Daws and bring them to Islam as Muslims." 
Then he turned to At-Tufail and said to him.
 "Return to your people, call them and be lenient with them."  
    
    This scene filled the soul of At-Tufail with awe and filled his spirit with peace. He thanked Allah with the deepest praise for making this human merciful Messenger his teacher and instructor, and for making Islam his religion and his joy. He returned to his land and people, and there he went on calling to Islam gradually and leniently, just as the Messenger had advised him.  

        During the period he spent among his people, the Messenger emigrated to Al-Madiinah and the battles of Badr, `Uhud and Khandaq took place. While the Messenger of Allah was in Khaibar, after Allah had given the Muslims victory over it, a full procession including 80 families from Daws approached the Messenger saying, "There is no god but Allah and Allah is the Greatest." They sat before him giving the oath of allegiance one after the other.  
      
  When this lavish spectacle of theirs and their blessed oath was over At-Tufail Ibn `Amr sat alone by himself reiterating his memories and contemplating his steps along the way. He remembered the day he came to the Messenger asking him to raise his hands to the sky saying, "O Allah, destroy Daws." Yet, the Prophet supplicated and humbly prayed to Allah on that day with another prayer which aroused his amazement. "O Allah, guide Daws and bring them to Islam as Muslims!" And Allah had guided Daws and brought them as Muslims. And here they were, 80 families of them, consisting of the majority of its inhabitants, taking their place in the pure ranks behind the trustworthy Messenger of Allah.  
  
     At-Tufail continued his work with the believing community, and on the day of the Conquest of Makkah, he entered it with tens of thousands of Muslims. They never withdrew in pride and strength but with their foreheads bowed in adoration, glorifying and thanking Allah Who rewarded them with victory and a clear help.  

        At-Tufail saw the Messenger of Allah destroying the idols of the Ka`bah and purifying it with his own hands from the impurity which had lingered for so long. Immediately afterwards, he remembered an idol belonging to Amr Ibn Humamah. Whenever he stayed over as his guest, he used to show it to him, so he became fearful in its presence and pleaded to it. Now the opportunity had come for At-Tufail to erase the sin of those days from his soul. He approached the Messenger, requesting permission to go burn the idol of Humamah called "The Two Palms", and the Prophet (PBUH) gave him permission.  

        At-Tufail went over and lit the fire on it and every time the flame went down, he stoked it again to a blazing fire. All the while he said,  

O Idol of Two Palms, 
I am not one of your worshipers.
Our origin is older than your origin. 
I have filled fire in your heart. 
  
      Thus did At-Tufail live with the Prophet (PBUH), praying behind him, learning from him, and fighting with him. The Prophet (PBUH) was transported to the most exalted horizon. However, At-Tufail saw that his responsibility as a Muslim did not end with the death of the Messenger, but rather it was about to start. Therefore, no sooner had the apostasy wars erupted than At-Tufail prepared for them and embarked courageously on their hardships and terrors with a yearning for martyrdom. He participated in the apostasy wars, battle after battle. 
     
  In Battle of Al-Yamaamah, he went out with the Muslims accompanied by his son `Amr Ibn At- Tufail. At the beginning of the battle he advised his son to fight the army of Musailamah the Liar, like one who desires death and martyrdom.  

        He told him that he felt he would die in this battle, and thus his sword carried him. He plunged into the fight in a glorious performance. He did not defend his life with his sword but he defended his sword with his life. So, when he died his body fell down, but the sword remained sharp and intact so that another hand whose owner had not yet fallen could strike with it.  

      In the battle, At-Tufail Ad-Dawsiy was martyred. His body fell down under the flurry of stabs and strikes while he was waving to his son, who was unable to see him admist the crowd.  

        He was waving to him as if he were calling him to follow and join him. And he did actually follow him, but after a while. In the Battle of Yarmuuk in Syria, `Amr Ibn At-Tufail went out to fight and died as a martyr. At the time his spirit was coming out of his breast, he extended his right hand and opened his palm as if he would shake the hand of someone else. And who knows ? Perhaps at that time he was shaking the spirit of his father.

.¤ª"˜¨¯¨¨'Ubaidah Bin Shamit o'Ubaadah Ibn As-Saamit¸,ø¨¨"ª¤.